Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau
Transcription
Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau
PETA KEPULAUAN RIAU 93 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau A. Umum 1. Dasar Hukum Kepulauan Riau merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari provinsi Riau. Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 tanggal 24 September 2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia. 2. Lambang Lambing Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 6 dengan rincian sebagai berikut : Bintang berwarna kuning melambangkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mata rantai berjumlah 32 berwarna hitam melambangkan kebersamaan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau yang bersatu padu dan menunjukkan berdirinya Provinsi Kepulauan Riau sebagai provinsi ke 32 di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perahu berwarna kuning melambangkan semangat kebersamaan dalam satu tekad mengisi laju pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau. Padi berwarna kuning berjumlah 24 butir dan kapas yang berwarna putih dan hiau berjumlah 9 kuntum melambangkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau sebagai tujuan utama dan mengingatkan tanggal disahkannya Undang-undang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau sebagai provinsi ke 32 tanggal 24 September 2002. 3. Pemerintahan Sebagai sebuah provinsi tentunya di dukung oleh pemerintahan tingkat 2 yang menjadi penopang berdirinya suatu provinsi. Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 5 kabupaten dan 2 Pemerintahan kota, dengan rincian sebagai berikut : No. Nama Kabupaten / Kota Ibukota 1. Pemerintahan Kota Tanjungpinang 2. Pemerintahan Kota Batam 3. Kabupaten Bintan Bandar Seri Bentan 4. Kabupaten Karimun Tanjung Balai Karimun 5. Kabupaten Natuna Ranai 6. Kabupaten Lingga Daik 7. Kabupaten Kepulauan Anambas Tarempa 4. Letak Geografis dan Batas Wilayah Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau terletak diantara 5o Lintang Utara – 1o lintang selatan dan 101o – 109o Bujur Timur. Luas wilayah secara keseluruhan adalah 8.084,01 km2. Batas wilayah : Utara = Laut cina selatan dan selat singapura Selatan = selat karimata Barat = selat berhala Timur = selat karimata 5. Komposisi Penganut Agama a. Islam = 92% b. Kristen = 2,8 % 94 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau 6. 7. 8. c. Hindu = 0,0046% d. Budha = 4,6% Bahasa dan Suku Bangsa Bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu riau, tetapi sebagian besar masyarakat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Sementara suku bangsa yang mendiami wilayah provinsi kepulauan riau adalah suku melayu, suku bugis dan lain-lain. Budaya a. Lagu Daerah b. Tarian Tradisional c. Senjata Tradisional d. Rumah Tradisional e. Alat Musik Tradisional f. Makan Khas Daerah tarik Bandara dan Pelabuhan Laut a. Bandara : Hang Nadim (batam) b. Pelabuhan Laut : Sekupang (batam), dll 9. Perguruan Tinggi Negeri 10. Industri dan Pertambangan B. : Dendang Nelayan, Segantang Lada : Tari Joget Lambak, Tari Zapin, Tari Makinang : Badik : Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar : gendang : Otak – otak, Lakse, mie lender, siput gong gong, kopi tarik, teh : UMRAH : Industri Pakaian Jadi, Bouksit, Gas, Minyak. Obyek Wisata 1. Wisata Sejarah a. 95 Masjid Sultan Riau Masjid Raya Sultan Riau adalah salah satu obyek wisata sejarah termasyhur yang berada di Pulau Penyengat, Propinsi Kepulauan Riau. Masjid ini mulai dibangun ketika pulau ini dijadikan sebagai tempat tinggal Engku Puteri Raja Hamidah, istri penguasa Riau waktu itu, Sultan Mahmudsyah (1761— 1812 M). Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi kurang lebih 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah jamaah yang terus bertambah, sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman —Sultan Kerajaan Riau pada 1831—1844 M— berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut. Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman menyeru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 H (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idulfitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut. Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada sang Pencipta dan sang sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau pembangunan masjid tersebut, sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, pondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu. Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur, sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek yang berkebangsaan India dari Tumasik (sekarang Singapura) punya ide untuk memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini. Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini adalah bangunan istimewa yang wajib dilindungi, karena merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan RiauLingga yang masih utuh. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba. Dari Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di India. Susunan kubahnya bervariasi, mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlah, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rekaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari. Dilihat dari bentuk arsitekturnya, Masjid Sultan Riau di Penyengat ini sangat unik. Tidak diketahui secara persis gaya arsitektur mana yang diadopsi oleh masjid ini. Ada yang mengatakan, masjid ini bergaya India, karena tukang-tukang yang membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Tumasik (Singapura). Namun, dilihat dari bentuk bangunan utama dan bagian-bagian yang mendukungnya, arsitektur masjid ini merupakan perpaduan dari berbagai gaya, yaitu Arab, India, dan Melayu. Dalam dua kali pameran masjid pada Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1991 dan 1995, Masjid Sultan Riau ini ditetapkan sebagai masjid pertama di Indonesia yang memakai kubah di atapnya. Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867 M. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Mushaf bergaya Istambul ini ditulis oleh penulisnya di sela-sela kegiatannya mengajar agama Islam di Pulau Penyengat. Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Alquran tulisan tangan yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya, karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui 96 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau siapa penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada wisatawan lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300-an kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan RiauLingga, saat terjadi eksodus besar-besaran masyarakat Riau ke Singapura dan Johor pada awal abad ke-20 karena kecamuk perang melawan penjajah Belanda. Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara yang terkenal dengan kerajinan ukirnya sejak lama. Sebenarnya ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah Daik. Di dekat mimbar Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah Mekkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lainnya seperti permadani dari Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak. Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Sedangkan rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid. Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu shalat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan rumah sotoh—bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini. Masjid Raya Sultan Riau terletak di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Pengunjung tidak dipungut biaya. Namun, bagi pengunjung yang ingin beramal, di pintu utama masjid terdapat kotak amal, atau dapat diberikan langsung kepada pengurus masjid. Untuk mencapai Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, pengunjung harus menaiki perahu motor yang dermaganya berada di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang. Perahu motor berkapasitas 13 orang yang bentuknya seperti bangunan rumah adat Melayu itu akan membawa pengunjung melintasi laut selama kurang lebih 15 menit, dengan ongkos perjalanan Rp 5.000 (Juli 2008). Namun, ongkos perahu motor tersebut menjadi berlipat-lipat bagi rute sebaliknya, yaitu dari Pulau Penyengat menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura. Jika malam belum tiba, ongkos balik tersebut berada pada kisaran antara Rp 10.000— 15.000. Namun, jika malam sudah menjelang, ongkosnya bisa naik mencapai 100 persen, yaitu sekitar Rp 30.000 sekali jalan. b. 97 Makam Raja Ali Haji Di Pulau Penyengat Indera Sakti, Kepulauan Riau, terdapat sebuah makam seorang tokoh yang sangat termasyhur tidak hanya di wilayah Riau saja, melainkan juga hampir di seluruh penjuru Nusantara, yakni Makam Raja Ali Haji. Bahkan Pulau tempat makam Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau tersebut bernaung, Penyengat, selalu dikait-kaitkan dengan nama besar sang pujangga besar Nusantara tersebut. Oleh masyarakat Melayu, khususnya di semenanjung Malaka, nama ini dianggap sebagai pahlawan besar yang layak diagungkan dan dimonumenkan. Nama lengkap Raja Ali Haji adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia dilahirkan pada tahun 1808 M/1193 H di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau dan meninggal pada tahun 1873 M di pulau itu juga. Seperti tercatat dalam sejarah, Raja Ali Haji (RAH) adalah cucu dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Riau-Lingga dan juga merupakan bangsawan Bugis dari garis keturunan nenek, Opu Daeng Celak, yang telah bermigrasi ke Riau dan memperoleh gelar Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan dalam urusan pemerintahan). Riwayat tentang garis keturunan Bugis RAH sangat terkait dengan Raja Bugis yang pertama kali memeluk agama Islam, La Madusilat. Ayah RAH bernama Raja Ahmad dengan gelar Engku Haji Tua. Ia dikenal sebagai intelektual muslim yang produktif menulis karya-karya besar seperti, Syair Perjalanan Engku Putri ke Lingga (1835 M) dan Syair Perang Johor (1843 M). Sedangkan ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor atau Putri Raja Selangor yang meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844 M. Sejak kecil, RAH telah mendapatkan pendidikan yang cukup dari ayahnya (Raja Ahmad), selain tambahan pelajaran informal dari suasana lingkungan Istana Kerajaan RiauLingga. Dalam iklim kehidupan istana ini, RAH banyak mendapatkan pelajaran berharga dari tokoh-tokoh terkemuka yang sering berkunjung. Saat itu, sebagai pusat kebudayaan Melayu yang giat mengembangkan bidang agama, bahasa, dan sastra, kerajaan ini memang banyak didatangi oleh para tokoh maupun ulama terkemuka, baik untuk keperluan mengajar maupun belajar. Di antara para ulama ini adalah Habib Syeikh as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minangkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas alManduri, dan masih banyak lagi. Di luar kerajaan, RAH juga sempat mengenyam pendidikan di Batavia, Mekkah, dan Kairo. Pulau Penyengat sebagai tempat kelahiran RAH memiliki arti khusus dalam pembentukan kepribadiannya. Di pulau inilah ia mendedikasikan pengetahuan kepada suluruh masyarakat Riau, dan kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Konon, sebelum dijadikan pusat kerajaan, Penyengat dikenal sebagai pulau yang sering dikunjungi oleh para nelayan atau pelaut yang ingin mencari air bersih. Pada suatu waktu, saat mengambil air, seorang di antara mereka dikejar-kejar oleh sejenis hewan yang punya alat sengat. Sejak saat itulah pulau ini oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Pulau Penyengat. Selain itu, Penyengat juga dikenal sebagai pulau mas kawin. Menurut legenda masyarakat Melayu, pulau ini dihadiahkan Sultan Mahmud Marhum Besar, Sultan Riau-Lingga periode 1761—1812 M, kepada Engku Putri Raja Hamidah, sebagai mas kawin untuk meminangnya. 98 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Illustrasi wajah Raja Ali Haji Sumber Foto: www.rajaalihaji.com Raja Ali Haji selama masa hidupnya banyak mengahasilkan karya-karya besar di bidang sejarah, sastra, agama, dan politik. Namun oleh masyarakat, ia lebih dikenal sebagai seorang pujangga besar Nusantara yang telah melahirkan karya monumental “Gurindam Dua Belas”—diterbitkan dalam bahasa Belanda Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap II (oleh E. Netscher) pada tahun 1854 M. Aktivitas politiknya yang padat, yakni sebagai Penasehat Keagamaan Sultan Ali bin Ja’far (Yang dipertuan Muda Riau VIII), serta lawatannya ke berbagai wilayah di Nusantara tak menyurutkan RAH untuk terus berkarya. Dari buah tangannya tak kurang ada puluhan karya, di antaranya Bustanul Katibin (dicetak di Betawi pada tahun 1850 M), Tuhfat al-Nafis (diselesaikan tahun 1866 M), Mukkadimah fi Intizam, Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Karya-karya ini banyak dibicarakan oleh para pengkaji bahasa, sastra, dan sejarah di Nusantara dan juga di luar negeri. Selain itu, RAH juga dianggap peletak dasar pertama tata bahasa Melayu melalui Kitab Pengetahuan Bahasa (1885/1886 M), yakni buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dikemudian hari ditetapkan oleh Konggres Pemuda Indonesia sebagai bahasa nasional (Bahasa Indonesia) pada tanggal 28 Oktober 1928. Karena jasanya yang begitu besar, maka pada tanggal 10 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawanan Nasional kepada RAH, pada saat peringatan Hari Pahlawan 10 November di Istana Negara, Jakarta. Mengunjungi Pulau Penyengat sungguh dapat membawa alam imajinasi wisatawan pada kebesaran Kerajaan Riau-Lingga di masa lalu. Bayangkan saja, di pulau yang hanya memiliki lebar sekitar satu kilometer dan panjang sekitar dua sampai tiga kilometer ini, terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sultan, entah itu berbentuk istana, gedung mahkamah, tempat mandi, gedung tabib, masjid, ataupun makam—termasuk di dalamnya Makam Raja Ali Haji sendiri. Beragam situs bersejarah yang menyebar di pulau ini seolah terangkai dalam satu kontinum yang menggambarkan kebesaran sejarah kerajaan Malayu Riau. Terletak di kaki bukit kecil yang dikelingi oleh pohon rindang ambacang, mengkudu, dan jambu, kompleks makam Raja Ali Haji terkesan sederhana. Ada beberapa bangunan yang tampak saat wisatawan memasuki kompleks pemakaman ini, di antaranya sebuah masjid mini, berkubah, dan bermihrab. Dinding-dindingnya didominasi warna kuning dan sedikit warna hijau, dengan jendela bulat layaknya jendela kapal. Di dalam bangunan utama ini terdapat cuplikan “Gurindam Dua Belas”. Makam Raja Ali Haji sendiri terletak di luar bangunan utama dengan naungan atap berwarna hijau. Tidak adanya dinding penyekat yang menutupi makam, seolah membiarkan para peziarah masuk dan melihat secara lebih leluasa. Dua nisan di atas makam ini dibungkus rapi oleh kain berwarna kuning, mirip seperti cara membungkus jenazah saat prosesi penguburan. Mengamati detail makam ini, wisatawan 99 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau akan segera menangkap tulisan di atas makam yang berbunyi: “Raja Ali Haji, Terkenal, Gurindam XII”. Makam Raja Ali Haji dari dekat Sumber Foto: www.melayuonline.com Sebenarnya dalam kompleks ini terdapat banyak makam para raja/sultan Kesulatanan Riau Lingga yang bersanding-sisi dengan makam Raja Ali Haji. Makam permaisuri terletak di bangunan utama, sedangkan makam raja laki-laki—seperti Raja Ahamad Syah, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX, dan Raja Ali Haji sendiri—terdapat di luar ruangan. Makam Engku Putri Raja Hamidah yang secara simbolis merupakan pemilik mas kawin Pulau Penyengat dari Sultan Mahmud Marhum Besar, terdapat di dalam ruang utama. Selain itu, masih terdapat banyak makam orang-orang yang punya hubungan kekerabatan kerajaan di luar pagar kompleks makam. Melongok makam RAH mungkin akan menimbulkan kesan unik bagi wisatawan. Pasalnya, meski secara resmi dikenal sebagai kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah, pengelola makam sengaja menonjolkan atribut formal untuk penghormatan terhadap Raja Ali Haji. Lihat saja, dua baliho yang merujuk pada kebesaran sang pujangga: “Raja Ali Haji Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia” dan sebuah lagi, “Raja Ali Haji Bapak Bahasa Melayu-Indonesia, Budayawan di Gerbang Abad XX”. Mungkin hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap tokoh besar Nusantara (RAH) yang ditabalkan oleh Keppres RI Nomor 089/TK/2004 sebagai Pahlawan Nasional, tanpa menafikan penghormatan terhadap raja-raja lain dalam makam ini. Baliho yang mengangungkan kebesaran Raja Ali Haji di makamnya Jika masih belum puas mengunjungi makam RAH, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan wisatanya di pulau kecil ini. Di antaranya adalah Istana Kedaton tempat Sultan 100 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Riau-Lingga terakhir tinggal; Istana Bahjah tempat tinggal Raja Ali Kelana; Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah dengan tiang-tiang kukuh menyerupai bangunan Yunani kuno; Gedung Tabib, bekas tempat praktek Engku Haji Daud, tabib kerajaan; dan Perigi Kunci, tempat mandi putri istana. Selain situs-situs sejarah ini juga masih terdapat situs lain di antaranya makam Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah, Tapak Percetakan Kerajaan, Benteng Bukit Kursi, Makam Embung Fatimah di Bukit Bahjah, dan Bukit Penggawa. Daftar situs-situs sejarah ini tercatat rapi pada katalog wisata yang dijajakan penduduk kepada para wisatawan saat mengunjungi pulau Penyengat. Makam Raja Ali Haji terletak di Pulau Penyengat, Kelurahan Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Indonesia. Lokasinya terletak di kompleks pemakaman Engku Putri Raja Hamidah, tepatnya di luar bangunan utama Makam Engku Putri Raja Hamidah. Kota terdekat untuk mencapai Pulau Penyengat adalah Tanjungpinang, Pulau Bintan. Jaraknya sekitar enam kilometer atau sekitar 30 menit perjalanan laut dengan menggunakan perahu pompong (perahu kecil). Namun, meskipun begitu, wisatawan yang berasal dari luar daerah Kepulauan Riau biasanya mengambil rute melalui Pulau Batam—juga masih termasuk Kepulauan Riau—karena jumlah penerbangan ke kota ini cukup ramai. Di Kota Batam terdapat Bandara Hang Nadim, tempat singgah sebelum menuju Penyengat. Dari bandara ini, wisatawan dapat mencari taksi menuju pelabuhan terdekat. Setelah sampai di pelabuhan, wisatawan disarankan untuk naik kapal feri menuju Pulau Bintan dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Sepanjang perjalanan wisatawan akan disuguhi pemandangan pulaupulau kecil nan eksotis dengan hiasan hijau pohon bakau dan dedaunan yang melambai, serta air laut yang jernih. Selain itu, perahu yang saling berselisih jalan juga akan menambah suasana riang perjalanan. Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau Setelah kapal feri merapat di Pulau Bintan, tepatnya di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, wisatawan dapat melanjutkan perjalanan dengan berpindah dermaga, untuk mencari kapal kecil bermesin tempel alias pompong. Caranya cukup mudah, yakni memutar ke arah pusat Kota Tanjungpinang dengan menggunakan becak atau jalan kaki menuju dermaga. Di dermaga Tanjungpinang, wisatawan akan menemukan perahu pompong yang akan mengantarnya menuju Pulau Penyengat. Jika tak mau terburu-buru, singgahlah dulu untuk sekedar berkeliling di Kota Tanjungpinang. Di kota ini banyak tersedia toko pakaian, kedai cenderamata, kantor agen perjalanan, tempat penukaran uang, restoran, toko emas, dan lain-lain. Saat berangkat dengan pompong dari Tanjungpinang, wisatawan secara jelas dapat menikmati gugusan kecil Pulau Penyengat yang telah semakin dekat. Dalam waktu kurang dari 30 menit, wisatawan akan sampai di sebuah dermaga kecil yang tak jauh dari Masjid Sultan Riau, di Pulau Penyengat. Menjejakkan kaki pertama di pulau ini, wisatawan akan disambut oleh pintu gerbang pulau yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari bibir pantai. Jika wisatawan telah masuk beberapa ratus meter, deretan becak motor akan menawarkan jasanya berkeliling pulau dengan tarif sekitar Rp 20.000 (November 2008). Tentu harga ini 101 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau bisa ditawar oleh para pengunjung. Dengan becak inilah wisatawan dapat berkeliling menuju situs-situs bersejarah di Pulau Penyengat, tak terkecuali Makam Raja Ali Haji. c. Gedung Mesiu Pulau Penyengat yang terletak di sebelah barat Kota Tanjung Pinang dengan panjang sekitar 3,5 km ini banyak menyimpan simbolisasi kejayaan Kerajaan Melayu Riau. Simbolisasi kejayaan tersebut terlihat dari peninggalan benda dan gedung-gedung bersejarah, seperti istana, kompleks makam, dan gedung persenjataan. Salah satu dari sekian gedung yang masih berdiri kokoh hingga sekarang adalah Gedung Obat Bedil (Gudang Mesiu). Penamaan gedung obat bedil disesuaikan dengan penyebutan masyarakat Melayu terhadap bubuk mesiu yang lebih dikenal dengan obat bedil. Pada masa lalu, gedung mesiu ini memiliki fungsi penting sebagai tempat penyimpanan bubuk mesiu ketika terjadi peperangan melawan musuh. Pada masa jaya Kerajaan Riau, Gedung Obat Bedil didirikan sebanyak empat bangunan. Untuk memudahkan para prajurit kerajaan menjalankan tugas pertahanan, maka lokasi Gedung Obat Bedil diusahakan tidak terlalu jauh dari benteng pertahanan dan juga pusat kerajaan. Akan tetapi, dari empat bangunan tersebut, sekarang hanya tinggal satu bangunan saja. Sementara gedung yang lain telah hancur karena kurangnya perawatan dan pelestarian oleh Pemda setempat. Semenjak tahun 2002, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melakukan beberapa upaya untuk menyelamatkan peninggalan sejarah yang tersisa di Pulau Penyengat dengan cara memugar bangunan-bangunan bersejarah, termasuk Gedung Obat Bedil. Pemugaran dilakukan untuk mengembalikan nuansa bangunan agar terlihat lebih indah dengan memoles bagian-bagian bangunan yang sudah lusuh dan usang. Pemilihan warna pun disesuaikan dengan warna khas Melayu, yaitu warna kuning. Setelah dilakukan pemugaran, bangunan yang semula terlihat kusam dan lusuh tersebut berubah memancarkan pesona indah dan menawan. Gedung Obat Bedil sekilas terlihat kokoh dan tebal. Gedung ini sengaja didesain khusus agar tahan dari pengaruh cuaca lembab dan basah. Untuk itu, mulai dari pondasi sampai atap bangunan dibuat menggunakan beton dan ukuran dinding dibuat melebihi ketebalan bangunan biasa. Sehingga, bubuk mesiu yang tersimpan di dalam bangunan kualitasnya tetap terjaga. Pada sisi kanan dan kiri gedung dilengkapi dengan jendela kecil yang dipasang jeruji besi. Pada zaman dahulu, jendela tersebut berfungsi untuk memberi cahaya masuk ke dalam bangunan. Sembari melihat keindahan bangunan Gedung Obat Bedil, para wisatawan dapat menyaksikan beberapa peninggalan sejarah kejayaan Kerajaan Melayu Riau yang menjadi destinasi objek wisata menarik Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang, seperti Istana Raja Ali Haji, Masjid Sultan Riau, makam para raja dan pembesar Kerajaan Melayu Riau, serta Benteng Bukit Kursi. Gedung Obat Bedil terletak di Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjung Pinang, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk menuju Gedung Obat Bedil, para wisatawan dapat menggunakan kapal laut. Perjalanan dimulai dari Bandar Udara Raja Haji Fisabilillah di Kota Tanjung Pinang menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura dengan menggunakan angkutan kota. Kemudian, dari Pelabuhan Sri Bintan Pura perjalanan dilanjutkan menuju Pulau Penyengat dengan menggunakan perahu motor berbentuk bangunan rumah adat Melayu yang oleh masyarakat setempat 102 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau d. disebut pompong sekitar 15 menit dengan ongkos sekitar Rp 5.000. Disarankan, bagi para pelancong agar tidak menempuh perjalanan pada sore hari menjelang malam. Karena pada saat itu biasanya biaya yang mesti dikeluarkan untuk ongkos perjalanan bisa naik mencapai 200—300% dari harga normal. Sesampainya di Pulau Penyengat, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan becak bermotor menuju Gedung Obat Bedil dan obyek wisata lainnya dengan uang sewa sebesar Rp 20.000 selama satu jam (November 2008). Masjid Jamik Daik Masjid Jamik Daik dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Riayat Syah (1761-1812 M), di saat ia memindahkan pusat kerajaan dari Bintan ke Lingga. Sumber setempat menyebutkan bahwa, pembangunan masjid dimulai sekitar tahun 1803 M. Seluruh bangunan asli berasal dari kayu. Ketika Masjid Penyengat selesai dibangun, Masjid Jamik ini kemudian dirombak dan dibangun lagi dari beton. Struktur ruang utama masjid tidak menggunakan tiang untuk menyangga kubah atau loteng. Pada mimbar, terdapat tulisan yang terpahat dalam aksara Arab-Melayu (Jawi), bertuliskan: "Muhammad saw. Pada 1212 H hari bulan Rabiul Awal kepada hari Isnen membuat mimbar di dalam negeri Semarang Tammatulkalam." Tulisan ini memberi petunjuk bahwa mimbar indah ini dibuat di Semarang, Jawa Tengah, dengan memasukkan motif-motif ukiran tradisional Melayu. Masjid Jamik Daik terletak di kampung Darat, Daik, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. e. 103 Pulau Galang Pulau Galang mulai mencuat namanya sejak tahun 1980-an, ketika ratusan ribu penduduk Vietnam bagian selatan lari meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain pascaperang saudara di Vietnam. Para pengungsi ini, meninggalkan negaranya dengan menggunakan perahu-perahu yang kondisinya memprihatinkan. Dalam satu perahu, bisa ditempati 40—100 orang. Berbulan-bulan para pengungsi terombang-ambing di tengah perairan Laut Cina Selatan, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan, dan sebagian lagi dapat mencapai daratan yang termasuk wilayah Indonesia, seperti Pulau Galang, Tanjung Pinang, dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Gelombang pengungsi ini menarik perhatian United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan juga Pemerintah Indonesia. Pulau Galang, tepatnya di Desa Sijantung, Provinsi Kepulauan Riau, akhirnya disepakati untuk digunakan sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi. UNHCR dan pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000 pengungsi. Di tempat ini, para pengungsi Vietnam meneruskan hidupnya sepanjang tahun 1979—1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka di negara-negara maju yang mau menerima mereka, ataupun dipulangkan ke Vietnam. Para pengungsi ini, dikonsentrasikan di satu permukiman seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan, pengaturan, penjagaan keamanan, sekaligus untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin Vietnam Rose yang dibawa oleh para pengungsi ini. Saat ini, bekas kamp pengungsian tersebut dijadikan tempat wisata oleh pihak Otorita Batam, sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan program Visit Batam 2010. Berkunjung ke tempat ini, dapat mengingatkan Anda akan tragedi masa lalu, yang menyebabkan ratusan ribu orang harus hengkang dari negaranya untuk mencari perlindungan. Datang ke kawasan ini, pengunjung dapat melihat beberapa monumen dan sisa peninggalan dari kamp pengungsian. Dari sisa-sisa peninggalan ini, pengunjung dapat membayangkan bagaimana para pengungsi Vietnam mencoba bertahan hidup, jauh dari tanah kelahirannya. Pengunjung yang memasuki pulau ini akan disambut dengan Patung Taman Humanity atau Patung Kemanusiaan. Patung ini, menggambarkan sosok wanita yang bernama Tinhn Han Loai, yang diperkosa oleh sesama pengungsi. Malu menanggung beban diperkosa, akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Dalam rangka mengenang peristiwa tragis itulah maka patung ini dibuat oleh para pengungsi. Pemerkosaan bukanlah satu-satunya tindakan kriminal yang dilakukan oleh para pengungsi. Beberapa dari mereka juga mencuri bahkan membunuh. Oleh karena itulah sebuah penjara juga dibangun di tempat ini. Penjara ini digunakan untuk menahan para pengungsi yang melakukan tindakan-tindakan kriminal tersebut, juga untuk menahan pengungsi yang mencoba melarikan diri. Selain itu, bangunan penjara ini juga dijadikan markas satuan Brimob Polri yang bertugas di Pulau Galang. Tak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave. Di sini, dimakamkan 503 pengungsi Vietnam yang meninggal karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu, depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah. Hampir setiap tahun, banyak sanak keluarga dari yang meninggal ini, datang ke Pulau Galang untuk berziarah. 104 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Patung Taman Humanity Sumber Foto: inzagiena.multiply.com Ngha Trang Grave Sumber Foto: taufikjalanjalan.blogspot.com Di pulau ini, para wisatawan juga dapat melihat Monumen Perahu, yang terdiri dari tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan Vietnam. Dengan perahu seperti itulah mereka selama berbulan-bulan mengarungi Laut Cina Selatan, hingga akhirnya tiba di Pulau Galang dan sekitarnya. Pada tahun 1996, perahu-perahu ini dengan sengaja ditenggelamkan oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi. Lima ribu pengungsi ini dipulangkan karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan baru. Mereka tidak hanya menenggelamkan perahu sebagai bentuk protesnya, namun juga dengan membakarnya. Sepeninggal para pengungsi ini, oleh Pemerintah Otorita Batam, perahu ini diangkat ke daratan, diperbaiki, dan dipamerkan ke publik sebagai benda bernilai sejarah, yang mengingatkan pengunjung akan penderitaan para pengungsi tersebut. 105 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Monumen Perahu Sumber Foto: inzagiena.multiply.com Selain itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga mushola. Vihara Quan Am TU, merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di situ. Cat bangunan yang berwarna-warni membuat pengunjung dapat mengenalinya dari kejauhan. Dalam bangunan ini, terdapat tiga patung berukuran besar dengan warna-warna yang mencolok. Di depannya terdapat patung naga raksasa yang seakan menjaga ketiga patung ini. Salah satu dari ketiga patung ini adalah Patung Dewi Guang Shi Pu Sha. Di bawah kaki patung sang dewi, terdapat plakat yang menceritakan bahwa dewi ini dapat memberikan hoki, jodoh, keharmonisan dalam rumah tangga, dan juga dapat memberi kepintaran serta mengabulkan cita-cita bagi anak-anak. Jika ingin mendapat berkat-berkat yang bisa diberikan oleh Dewi Guang Shi Pu Sha, maka pengunjung dapat berdoa, memohon sang dewi mengabulkan permintaan, setelah itu melemparkan koin ke arah dewi tersebut. Vihara Quan Am Tu Sumber Foto: anied.blogspot.com Salah satu tempat yang dapat memberikan gambaran jelas kepada pengunjung mengenai kehidupan sehari-hari para pengungsi adalah gedung bekas kantor UNHCR. Memasuki gedung ini, pengunjung dapat melihat foto seribu wajah pengungsi yang pernah tinggal di pulau tersebut. Selain itu, di gedung yang kini difungsikan sebagai kantor resepsionis dan sumber informasi bagi pengunjung ini, terdapat foto-foto berbagai peristiwa yang terjadi pada orang-orang Vietnam ini selama masa pengungsian. Tempat ini, terletak sekitar 50 km dari pusat Kota Batam. Tepatnya di Desa Sijantung, Pulau Galang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk memasuki pulau ini, pengunjung harus menyusuri Jembatan Barelang dan melewati beberapa pulau lainnya terlebih dahulu. Untuk sampai ke Pulau Galang, pengunjung dapat menggunakan taksi ataupun menyewa mobil travel dari Pulau Batam. Perjalanan menuju Pulau Galang ini, memakan waktu sekitar satu jam. Memasuki lokasi Bekas Kamp Pengungsi Vietnam ini, pengunjung dikenakan tiket masuk seharga Rp 20.000,00—Rp 25.000,00 per mobil (Mei 2008). 106 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau f. Benteng Bukit Kursi Benteng Bukit Kursi yang terdapat di Pulau Penyengat, merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah Kerajaan Melayu dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan diri dari serangan musuh. Nama benteng tersebut diambil dari nama tempat di mana benteng itu dibangun, yaitu Bukit Kursi. Bukit Kursi merupakan lokasi yang cukup strategis untuk benteng pertahanan. Selain berada pada dataran tinggi di Pulau Penyengat, bukit ini juga langsung menghadap laut lepas. Mengingat pentingnya peran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan, maka muncullah ide untuk membangun benteng pertahanan. Ide tersebut disetujui oleh Raja Haji Fisabillah yang saat itu menjabat sebagai Raja Kerajaan Melayu Riau. Sebuah benteng kemudian dibangun di Bukit Kursi dalam waktu 4 tahun atau sekitar tahun 1782—1784 M. Untuk menyempurnakan keberadaan benteng sebagai basis pertahanan kerajaan, maka didatangkan sebanyak 80 meriam dari Eropa yang dipasang di tiap-tiap sudut strategis untuk memudahkan para prajurit kerajaan menghalau tentara musuh. Berkat Benteng Bukit Kursi ini, istana dan bangunan kerajaan lainnya yang terdapat di dalam kompleks kerajaan bisa terhindar dari serangan musuh dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, pernah tercatat dalam sejarah perjuangan Kerajaan Melayu Riau, benteng ini mampu menjadi perisai yang tangguh guna menghalau penjajah Belanda yang akan memasuki Pulau Penyengat. Butuh strategi yang matang dan waktu yang cukup lama bagi Pemerintah Kolonial Belanda menguasai basis kerajaan dan benteng pertahanan tersebut. Desain bangunan benteng ini cukup menarik. Benteng pertahanan yang terletak di atas bukit ini dibangun dalam bentuk parit-parit. Desain ini dibuat untuk menghindari serangan musuh yang datang dalam jumlah besar serta memiliki persenjataan yang lengkap. Di samping itu, paritparit tersebut juga berfungsi sebagai jalur untuk menyuplai bubuk mesiu bagi persenjataan meriam. Hingga saat ini, parit-parit tersebut masih membentang di Benteng Bukit Kursi. Parit-parit ini digali dengan kedalaman 1 m dan menghubungkan tiap-tiap lokasi meriam berdiri. Tetapi kondisi parit-parit tersebut, sekarang ini kurang terawat dan terkesan kumuh. Di atas Benteng Bukit Kursi ini, terdapat beberapa peninggalan meriam kuno. Tetapi, jumlah meriam yang terdapat di bukit tersebut jauh berkurang dari jumlah semula yang berjumlah sekitar 90 meriam. Sebagian meriam-meriam tersebut, oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dijual ke Singapura dengan harga yang cukup murah sebagai barang 107 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau rongsokan. Sementara itu, sebagian lainnya hilang karena kurangnya pemeliharaan dan perawatan dari pemerintah daerah setempat. Tak jauh dari Benteng Bukit Kursi, terdapat sebuah bangunan yang pada zaman dahulu dipergunakan untuk menyimpan bubuk mesiu. Oleh masyarakat setempat bangunan ini dinamakan Gedung Obat Bedil (gudang mesiu). Keberadaan gudang mesiu ini erat kaitannya dengan Benteng Bukit Kursi. Ketika pertempuran sedang berkecamuk, gudang ini menjadi penyuplai mesiu untuk senjata meriam guna menghalau musuh. Gedung Obat Bedil hingga sekarang masih berdiri kokoh walau telah berusia cukup lama. Bentang Bukit Kursi terletak di Pulau Penyengat, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjung Pinang, Kota Tanjung Pinang, Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk menuju Benteng Bukit Kursi, para wisatawan mesti melintasi laut lepas. Perjalanan dapat dimulai dari Bandar Udara Raja Haji Fisabilillah menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura dengan menggunakan angkutan kota. Kemudian, dari Pelabuhan Sri Bintan Pura perjalanan dilanjutkan menuju Pulau Penyengat dengan lama perjalanan sekitar 15 menit menggunakan perahu pompong dengan ongkos perjalanan sekitar Rp 5.000. Bagi para pelancong disarankan agar tidak menempuh perjalanan pada sore hari menjelang malam. Karena biaya yang dikeluarkan untuk ongkos perjalanan dari pelabuhan menuju Pulau Penyengat atau sebaliknya bisa naik mencapai 200—300% dari harga normal. Sementara itu, di Pulau Penyengat para wisatawan dapat menggunakan jasa becak bermotor untuk mengelilingi pulau tersebut. Termasuk menuju Benteng Bukit Kursi. Untuk mendapatkan jasa pelayanan becak bermotor tersebut, para wisatawan cukup membayar uang sebesar Rp 20.000 selama satu jam (November 2008). Para wisatawan tinggal duduk dan menunjukkan daerah tujuan wisata kepada pengemudi yang sekaligus bertindak sebagai pemandu. g. Benteng Bukit Cening Daik sebagai pusat kerajaan Riau-Lingga tentulah memerlukan pengawalan ketat. Perairan selat Malaka yang masa silam selalu ramai dengan desingan peluru dan asap mesiu. Untuk menjaga berbagai kemungkinan dalam pertempuran, di Daik Lingga dan sekitarnya didirikan kubu-kubu yang kokoh dengan persenjataan lengkap menurut keadaan zamannya, yang terdapat di pulau Mepar, Kubu Bukit Ceneng dan Kubu Kuala Daik. h. Makam Merah Disebut makam merah karena warna cat bangunannya merah, tiangnya terbuat dari besi, pagarnya dari besi dan atapnya seng tebal. Makam ini tidak berdinding dan atapnya berbentuk segi empat melingkari makam. Makam ini letaknya tidaklah berapa jauh dari bekas istana Damnah. Makam ini terkenal bukanlah karena bangunan makamnya, tetapi karena yang dimakamkan disini adalah Raja Muhammad Yusuf Yang Dipertuan Muda Riau X. i. Bekas Istana Damnah Yang tersisa dari bangunan yang dahulunya sangat megah ini hanyalah tangga muka, tiang-tiang dari sebahagian tembok pagarnya yang seluruhnya terbuat dari beton. Sekarang puing istana ini terletak dalam hutan belantara yang disebut kampung Damnah. Istana Damnah didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf AIAhmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X (1857-1899). Dalam tahun 1860 olehnya didirikan istana Damnah untuk kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, 108 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau dimana sebelumnya Sultan ini di Istana Kota Baru tak berjauhan dari pabrik sagu yang didirikannya. 2. j. Gedung Bilik 44 Yang disebut gedung bilik 44 adalah pondasi gedung yang akan dibangun oleh Sultan Mahmud Muzafar Syah. Gedung ini baru dikerjakan pondasinya saja karena Sultan keburu dipecat Belanda tahun 1812. Lokasinya terletak di lereng gunung Daik. Walaupun gedung ini belum sempat berdiri, tetapi dari pondasinya yang berjumlah 44 itu sudah dapat kita bayangkan betapa besarnya minat Sultan Mahmud untuk membangun negerinya. Di gedung ini, menurut rencana Sultan akan ditempatkan para pengrajin yang ada di kerajaan Riau-Lingga, supaya mereka dapat bekerja lebih tenang serta mengembangkan keahliannya. Namun cita-cita Sultan Mahmud terkandas oleh penjajah asing. k. Rumah Datuk Laksemane Daik Bangunan tua ini terletak di kampung Bugis, berbentuk limas penuh. Rumah ini selain pernah ditempati oleh Datuk Laksemana Daik,pernah pula ditempati oleh Datuk Kaya pulau Mepar, karena beliau ini menantu Datuk Laksemana. Rumah ini masih agak baik dan ditempati oleh keluarga Datuk Laksemana dan Datuk Kaya Daik. Di rumah ini masih tersimpan sisa-sisa benda milik Datuk Laksemana dan Datuk Kaya, seperti : beberapa jenis pakatan kebesaran Datuk Kaya dan Datuk Laksemana, bendabenda upacara adat, motifmotif tenunan, batik, ukiran-ukiran dan sebagainya. Wisata Alam a. Pantai Trikora Berkunjung ke Bintan, Propinsi Kepulauan Riau terasa kurang lengkap sebelum melihat keindahan panorama alam Pantai Trikora. Pantai yang mempunyai panjang kurang lebih 25 km ini memiliki panorama alam yang indah, baik kawasan daratnya maupun kondisi dasar lautnya. Pantai ini merupakan salah satu obyek wisata kebanggaan Pemerintah Kabupaten Bintan. Untuk meningkatkan kunjungan wisatawan, Pemerintah Kabupaten Bintan bertekad akan terus mengembangkan kawasan wisata ini menjadi obyek wisata berkelas dunia seperti Pantai Kuta di Pulau Bali atau Pantai Lagoi yang terletak satu kabupaten dengan pantai ini. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Trikora ini terkait dengan kunjungan seorang bule ke pantai ini puluhan tahun yang lalu. Sewaktu bule itu berkunjung, kondisi pantai ini masih sepi dan belum banyak orang yang menghuninya. Karena bule itu merasa belum mengenal daerah yang ia kunjungi, maka kemudian ia bertanya kepada seorang warga yang kebetulan ia temui dengan sebuah pertanyaan yang di dalamnya terdapat kata “three Corrals”. Karena merasa bahasa yang diucapkan bule itu tidak dipahaminya, maka 109 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau pertanyaan yang disampaikan bule itu tidak dijawabnya. Dengan rasa penasaran terhadap kata “three Corrals”, warga tersebut kemudian menyebarkan kata itu ke seluruh warga lainnya. Selain itu, terdapat juga versi lain yang menyebutkan bahwa nama Pantai Trikora ini dihubungkan dengan peristiwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia tahun 1961 yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan Indonesia dengan rencana penggabungan antara Brunei, Sabah, dan Sarawak oleh kolonial Inggris. Oleh sebab itu, bagi sebagian orang, nama Pantai Trikora dianggap memiliki semangat nasionalisme. Keistimewaan Pantai Trikora terletak pada hamparan pasir putihnya yang luas dan landai, sehingga pelancong dapat bermain, berjemur, maupun olahraga seperti sepakbola, lari-lari, jalan santai, dan lain-lain. Di tempat ini, pelancong juga dapat berenang atau sekedar berendam menikmati terpaan gelombang air laut yang pelan dan jernih. Keindahan alam lainnya tampak pada banyaknya pohon kelapa yang berjajar rapi di sepanjang tepian pantai. Terdapat juga batu-batu besar yang teronggok di tepian hingga menjorok ke laut yang turut menambah suasana indah di Pantai Trikora. Dari atas batu-batu ini, pelancong dapat dudukduduk bersantai menikmati deburan ombak yang saling berkejaran atau melihat perahu nelayan yang berlalu-lalang di kejauhan. Di pantai ini, pelancong juga dapat melihat berbagai macam tumbuhan dan binatang laut berukuran kecil-kecil yang berada di pinggiran pantai. Jika wisatawan ingin melihat keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya, dapat menyelam menyusuri dasar laut untuk melihat karang-karang yang cantik, tumbuhan-tumbuhan laut, berbagai macam ikan laut, dan berbagai bentuk kerang laut. Pelancong tak perlu khawatir dengan kegelapan selama menyelam karena sinar matahari dapat menembus sampai ke dasar laut. Para pelancong juga diperbolehkan membawa pulang kerang cantik yang ditemuinya selama menyelam itu. Setelah puas menikmati keindahan dasar lautnya, pelancong dapat berkunjung ke pulau-pulau kecil yang berada di tengah laut atau sekitar puluhan meter dari pantai ini. Di pulau-pulau kecil ini, pelancong dapat melihat berbagai macam binatang seperti kera, ular piton, burung, dan satwa-satwa lainnya. Namun, bagi wisatawan yang ingin melanjutkan perjalanan wisatanya, dapat menuju Rumah Kelong, tempat untuk menangkap ikan teri yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun rumbia. Dari Rumah Kelong ini, pelancong dapat melihat nelayan yang sedang mencari ikan teri dari dekat. Untuk menuju kedua lokasi itu, pelancong dapat menyewa perahu-perahu nelayan yang berada di Pantai Trikora ini. Obyek wisata Pantai Trikora terletak di Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk menuju lokasi obyek wisata Pantai Trikora ini perjalanan dapat dimulai dari Kota Tanjung Pinang dengan menggunakan mobil sewaan, taksi, travel, atau naik ojek, karena di daerah ini masih jarang terdapat kendaraan umum (bus) yang dapat mengantarkan pelancong sampai ke lokasi wisata. Jika pelancong naik taksi dari Kota Tanjung Pinang, untuk sampai ke lokasi obyek wisata Pantai Trikora ini akan membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan, dengan tarif kurang lebih Rp 30.000. Namun, jika wisatawan naik ojek dari Tanjung Pinang sampai ke lokasi wisata itu, maka tarif yang harus dikeluarkan pelancong sekitar Rp 60.000 per orang (Desember 2008). b. 110 Gunung Daik Bila Anda berkunjung ke Provinsi Kepulauan Riau, sempatkanlah bertamasya ke Kabupaten Lingga. Sebab, selain menyimpan situs-situs dan benda-benda bersejarah yang berusia ratusan tahun, kabupaten yang dijuluki Bunda Tanah Melayu ini juga memiliki berbagai destinasi wisata alam yang membuat para turis berdecak kagum tatkala melihatnya. Salah satunya adalah Gunung Daik. Menyebut Gunung Daik, seseorang akan terkenang dengan sebuah pantun yang sangat familiar, terutama pada masyarakat rumpun Melayu: Pulau Pandan jauh di tengah/ Gunung Daik bercabang tiga/ Hancur badan dikandung tanah/ Budi baik dikenang juga. Cabang gunung yang paling tinggi disebut Gunung Daik, yang menengah dinamakan Gunung Pejantan atau Gunung Pinjam-pinjaman, dan yang paling rendah dinamakan Gunung Cindai Menangis. Masyarakat setempat mempercayai, puncak Gunung Daik dihuni oleh mahkluk halus bernama bunian. Sedangkan para nelayan yang berada di sekitar gunung itu meyakini bahwa Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau arwah nenek moyang mereka, yakni Datuk Kemuning dan istrinya, bersemayam di gunung tersebut. Konon, nama Lingga yang berasal dari akar kata Ling (naga) dan Ge (gigi), terilhami oleh bentuk puncak Gunung Daik yang mirip dengan gigi naga. Keberadaan gunung ini kian populer berkat sebuah pabrik sagu dari kabupaten tersebut yang menjadikan Gunung Daik sebagai merek dagangnya, yaitu Sagu Cap Gunung Daik. Merek tersebut merupakan jaminan sagu berkualitas, yang dari dahulu hingga sekarang banyak dikirim ke berbagai daerah, seperti Cirebon, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Melalui merek tersebut, perlahan-lahan Gunung Daik ikut dikenal oleh masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Penuh mistis, tapi eksotis. Menakutkan, namun memesona. Begitulah kira-kira kesan pelancong ketika mengunjungi Gunung Daik, gunung tertinggi di Provinsi Kepulauan Riau, yang memiliki ketinggian sekitar 1.165 meter di atas permukaan laut (mdpl). Meskipun rute menuju gunung tersebut penuh tantangan, namun semuanya akan terbayarkan begitu memasuki kawasan hutannya yang berhawa sejuk. Kontur medan yang beragam dengan jalan setapak yang berliku-liku, mengakomodir keinginan wisatawan yang menyukai olahraga lintas alam, menyusuri lembah, memotret, berkemah, dan off road. Sepanjang perjalanan, wisatawan akan terpesona melihat kawasan hutan yang masih perawan dengan aneka pohon besar dan kecil yang berdaun rimbun dan hijau. Di kawasan hutan ini dapat ditemukan dengan mudah berbagai jenis tumbuhan, seperti pohon cucuk atap, cantiqi, pakis hutan (diplazium esculentum/faco fem), getah merah (gutta perca/isonandra gutta), pohon aren (arenga pinnata merr), dan aneka jenis buah-buahan. Burung murai batu (copsychus malabaricus), beo (gracula religiosa), ular piton (python molurus), ular kobra (ophiophagus hannah) dan babi hutan (sus scrofa) adalah binatangbinatang langka yang masih dapat dijumpai di kawasan hutan Gunung Daik. Sebelum sampai di kaki gunung, terdapat sebuah sungai kecil dan air terjun bernama Air Terjun Daik. Biasanya, kawasan air terjun ini digunakan oleh pelancong sebagai tempat beristirahat, selain Pos Gajeboh I dan Pos Gajeboh II. Suara gemericik air terjun yang jatuh di atas batu-batu kali, dapat mengobati rasa penat selama menempuh perjalanan. Untuk melepas gerah, pelancong juga memanfaatkan air terjun yang berair jernih ini untuk mencuci muka dan mandi. Sesampainya di Kaki Puncak Daik, batas akhir perjalanan, pelancong akan terkesima melihat gunung nan eksotis dan penuh mistis tersebut. Biasanya, kawasan ini merupakan tempat favorit pelancong untuk berkemah. Pada sore hari, bila cuaca sedang cerah, pelancong akan berdecak kagum melihat matahari terbenam. Pada pagi hari, bila cuaca sedang cerah, pelancong juga akan terpesona melihat indahnya matahari terbit. Secara administratif, Gunung Daik masuk dalam wilayah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Bagi wisatawan yang berada di Kota Tanjung Pinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau, dapat menuju Gunung Daik dengan naik kapal feri dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, menuju Pelabuhan Mepar/Dabo, Pulau Singkep, dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Dari Pelabuhan Mepar, wisatawan dapat naik kapal kecil (pompong) sekitar 10 menit menuju Pelabuhan Daik, Pulau Lingga. Setelah sampai di Daik, Ibu Kota Kabupaten Lingga, perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek menuju pintu gerbang Gunung Daik. Kemudian, wisatawan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Daik dengan berjalan kaki. Perjalanan akan berakhir di Kaki Puncak Daik, yang oleh masyarakat setempat diberi nama Kandang Babi, yaitu sebuah lokasi yang berada di ketinggian 1.000 meter di atas 111 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau permukaan laut (mdpl). Puncak Gunung Daik sendiri tidak bisa didaki karena puncaknya terdiri dari bebatuan yang rapuh dan tebing yang curam. c. Gunung Bintan Berwisata ke Pulau Bintan, Propinsi Kepulauan Riau terasa kurang lengkap sebelum menyambangi Gunung Bintan. Satu-satunya gunung yang berada di Pulau Bintan ini sebenarnya lebih mirip sebuah bukit, karena ketinggiannya hanya sekitar 400 m di atas permukaan laut. Ketinggian gunung ini mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa, namun Gunung Bintan mempunyai peran penting bagi masyarakat setempat, yaitu sebagai daya tarik kunjungan wisata dan area resapan air (catchment area). Gunung yang terletak di tengah-tengah Pulau Bintan dan berjarak sekitar 55 km dari Kota Tanjung Pinang (Ibukota Propinsi Kepulauan Riau) ini juga merupakan kawasan hutan lindung yang di dalamnya terdapat ekosistem khas hutan hujan tropis yang masih terjaga keasliannya, baik aspek flora maupun faunanya. Pengunjung akan mendapati banyak hal menarik selama mendaki gunung ini. Gunung yang puncaknya dapat dicapai hanya dalam waktu dua jam dengan berjalan kaki ini menyimpan keindahan panorama alam yang memesona. Dari puncak gunung, pengunjung dapat menikmati keindahan pemandangan di sekeliling Pulau Bintan. Pemandangan alam dari atas Gunung Bintan Sebagai kawasan hutan hujan tropis, Gunung Bintan juga menyimpan kekayaan flora dan fauna yang khas. Pengunjung dapat melihat berbagai jenis tumbuhan tropis dan pohonpohon raksasa yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) kawasan hutan dari ancaman erosi. Di kawasan yang juga berfungsi sebagai area resapan ini juga hidup aneka satwa seperti monyet, tupai, ular, pelanduk, berbagai jenis burung, dan sebagainya. 112 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Pepohonan di Gunung Bintan Setelah puas menyisir keindahan alam dari puncak gunung, pengunjung dapat melengkapi perjalanan wisatanya menuju sebuah air terjun yang terletak di kaki gunung. Tempat ini sering digunakan oleh para pengunjung sebagai tempat singgah setelah lelah menyusuri kawasan wisata ini. Tak jarang di antara mereka memanfaatkan air terjun ini sebagai tempat mandi karena kesejukannya dianggap dapat menghilangkan rasa lelah. Air terjun di kaki Gunung Bintan Kawasan di kaki gunung juga dimanfaatkan penduduk setempat sebagai lahan pertanian mereka. Di tempat ini banyak terdapat kebun buah penduduk, seperti durian, rambutan, manggis, duku, dan lain-lain. Jika wisatawan berkunjung tepat pada saat musim buah, wisatawan dapat membeli buah langsung dari petaninya, tentu saja dengan harga yang lebih murah. Selain itu, rasanya juga lebih enak dan segar karena langsung dipetik dari pohonnya. Bagi wisatawan yang tertarik dengan acara-acara khas pariwisata, sempatkanlah bertandang ke Gunung Bintan pada bulan Juli. Pada setiap bulan ini diselenggarakan acara tahunan yang bertajuk `Bintan Mountain Tracking and Durian Party`. Acara ini berupa perlombaan menyusuri jalan berundak menuju puncak gunung pada malam hari yang kemudian diakhiri dengan pesta makan durian dan ikan bakar. Acara yang telah dimasukkan ke dalam kalender wisata Pemerintah Kabupaten Bintan ini selalu berlangsung meriah, karena diikuti tidak hanya oleh wisatawan lokal, tetapi juga oleh turis mancanegara. Gunung Bintan terletak di Kampung Bekapur, Desa Bintan Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk menuju Pulau Bintan, wisatawan biasanya harus transit terlebih dahulu di Pulau Batam, karena Batam telah menjadi semacam pintu masuk menuju Pulau Bintan. Akses menuju Batam terbilang mudah, karena setiap hari terdapat rute penerbangan dari kota-kota besar di Indonesia menuju Batam. Dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, akses menuju Batam malah lebih mudah, cukup naik kapal feri satu kali. Dari kota Batam, perjalanan ke Bintan terlebih dahulu harus melewati pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur, menggunakan taksi dengan biaya antara Rp 60.000—Rp 65.000. Sesampainya di pelabuhan Telaga Punggur, pengunjung dapat menyeberang ke 113 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Pulau Bintan dengan menggunakan kapal feri menuju kota Tanjung Pinang, kota yang ditetapkan sebagai Ibu Kota Propinsi Kepulauan Riau. Sarana angkutan penyeberangan Telaga Punggur—Tanjung Pinang beroperasi setiap hari, mulai dari jam 7:30 pagi hingga jam 8 malam, begitu juga sebaliknya. Wisatawan dapat memilih menggunakan feri yang berukuran agak besar, atau memilih menggunakan speed boat yang berukuran lebih kecil. Pengelola jasa transportasi ini juga fleksibel dalam menentukan tarif. Pengunjung dapat membeli tiket untuk sekali jalan sebesar Rp 35.000 per orang, atau sekaligus tiket pergipulang sebesar Rp 60.000 (November 2008). Selain itu, tiket yang sudah dibeli juga berlaku kapan saja, asalkan masih dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan, yaitu satu bulan. Sesampainya di Tanjung Pinang, perjalanan sekitar 55 km menuju Gunung Bintan dapat ditempuh dengan menggunakan taksi atau mobil sewaan. Letak Gunung Bintan yang tepat di tengah-tengah Pulau Bintan, didukung dengan kondisi jalan yang sudah baik, membuat perjalanan menuju ke gunung ini terasa mudah. d. Wisata Sungai Sebong Pulau Bintan tidak hanya terkenal dengan kawasan pantainya yang elok, tetapi juga terkenal dengan keindahan dan keaslian lingkungan alamnya. Keaslian kawasan hutan bakau menjadi salah satu ciri khas Pulau Bintan. Hutan bakau di Pulau Bintan yang masih kaya akan flora dan fauna ini pernah dinobatkan sebagai obyek wisata ekologi terbaik dengan meraih penghargaan bergengsi, yaitu PATA Gold Award 2003. Salah satu kawasan di Pulau Bintan dengan kualitas hutan bakau yang masih bagus ada di sepanjang Sungai Sebong. Dengan potensi yang dimilikinya, Pemerintah Kabupaten Bintan menetapkan kawasan ini sebagai bagian dari obyek-obyek wisata andalan di Kabupaten Bintan. Daya tarik kawasan wisata ini kian bertambah setelah beberapa tahun belakangan masyarakat setempat memanfaatkannya sebagai lokasi untuk wisata memancing. Wisatawan akan disuguhi bagaimana nelayan setempat memeragakan kebolehannya dalam menangkap ikan. Untuk menarik perhatian para wisatawan, nelayan setempat sengaja tidak menggunakan perlengkapan modern, melainkan memilih menggunakan alat-alat penangkap ikan tradisonal. Kondisi hutan bakau di Sungai Sebong yang masih terjaga dengan baik Sumber Foto: www.ekowisata.info Kegiatan wisata ini sangat sederhana. Nelayan setempat hanya membawa wisatawan mengarungi Sungai Sebong dengan menggunakan sampan (perahu tradisional) sembari dia memeragakan keahliannya dalam menangkap ikan. Di Sungai yang tenang dan dikelilingi oleh hutan bakau ini, wisatawan juga dapat menyaksikan aneka satwa menari-nari lincah di pohon-pohon bakau menunjukkan ketangkasannya seakan-akan tak mau kalah dengan kecekatan para nelayan dalam menangkap ikan. 114 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Nelayan setempat mengajak wisatawan menyisir keindahan alam Sungai Sebong dengan sampan Sumber Foto: www.ekowisata.info Berwisata di Sungai Sebong melihat para nelayan setempat menangkap ikan sungguh merupakan pemandangan yang menarik. Wisatawan akan disuguhi beberapa teknik menangkap ikan dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti tangkul, bubu, dan jala. Tangkul merupakan jaring lebar berukuran sekitar 10 x 8 m yang digunakan khusus untuk menangkap ikan belanak. Tangkul biasanya dioperasikan minimal dua orang. Nelayan harus menunggu ikan melewati tangkul ini, kemudian setelah ada tanda-tanda bahwa ikan belanak telah terjebak di dalamnya, maka seketika para nelayan akan menarik tangkul secara serentak. Biasanya, kegiatan‘nangkul‘ ini dapat memakan waktu 6 sampai 8 jam, tergantung seberapa sering ikan melewati jaring raksasa ini. Cara menangkap ikan dengan tangkul Sumber Foto: www.ekowisata.info Masih di lokasi yang sama, wisatawan juga dapat melihat cara lain menangkap ikan dengan menggunakan bubu dan jala. Bubu adalah perangkap ikan yang terbuat dari kayu nipah, sebuah alat yang biasanya digunakan untuk menangkap Kepiting Bakau. Sedangkan jala digunakan para nelayan untuk menangkap udang. Setelah satu-persatu teknik menangkap ikan selesai diperagakan, para nelayan biasanya menawari dan mengajak wisatawan untuk mencoba memeragakan teknik-teknik menangkap ikan tersebut. 115 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Menangkap Kepiting Bakau dengan bubu dan menangkap udang dengan jala Sumber Foto: www.ekowisata.info Perjalanan wisata yang biasanya berdurasi 2,5 jam ini juga akan mengantarkan wisatawan menyisir pemandangan alam sepanjang Sungai Sebong yang memiliki kekayaan flora dan fauna mengagumkan. Selama perjalanan, wisatawan dapat menyaksikan aneka jenis pohon bakau, kera, burung bangau, ular, biawak, burung "Raja Udang", yang masih banyak berkeliaran di kawasan ini. Kekhasan lainnya dari Sungai Sebong ini adalah adanya pohon yang oleh masyarakat setempat disebut pohon kacang-kacang, pohon yang daunnya menjadi makanan kunang-kunang, sejenis serangga yang badannya mengeluarkan sinar pada malam hari. Jika wisatawan tertarik untuk menyaksikan kunang-kunang ini, maka trip malam hari dapat menjadi pilihan. Melalui pemandu wisata yang menyertai perjalanan, wisatawan akan diajak mengenali lebih detail setiap informasi yang terkait dengan ekosistem hutan bakau yang ada di Sungai Sebong ini. Pemandu wisata memberi informasi tentang kegiatan wisata di Sungai Sebong Sumber Foto: www.ekowisata.info Di akhir perjalanan wisata, wisatawan akan disuguhi makanan khas daerah Bintan, seperti Mie Lendir dan Siput Gonggong. Sembari menikmati makanan, wisatawan akan dihibur oleh penari lokal dengan tarian tradisional Melayu. Wisatawan juga dipersilakan untuk ikut menari bersama bagi mereka yang tertarik. Sebelum pulang, wisatawan akan diajak singgah di sebuah kelong atau bangunan khas nelayan Melayu, yang di dalamnya terdapat beberapa outlet yang menawarkan souvenir khas Bintan buatan para ibu-ibu setempat. 116 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Para penari tradisonal Melayu menghibur para wisatawan Sumber Foto: www.ekowisata.info Satu hal lagi yang membuat perjalanan wisata di Sungai Sebong ini terasa istimewa adalah mekanisme pelayanan pariwisata yang telah tersusun secara rapi. Masing-masing anggota masyarakat yang terlibat bekerja sesuai dengan peran dan bidang keahliannya masing-masing. Nelayan bertugas mendayung sampan dan melakukan atraksi menangkap ikan, pemandu bertugas memandu acara dengan baik, penari menampilkan tarian Melayu, dan ibu-ibu bertugas membuat makanan dan benda-benda kerajinan. Mereka yang terlibat dalam kegiatan wisata ini menerima pendapatan sesuai dengan perannya masing-masing, yang nominalnya telah ditentukan secara bersama. Sungai Sebong terletak di Desa Sebong Lagoi, Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Untuk menuju Pulau Bintan, wisatawan biasanya harus transit terlebih dahulu di Pulau Batam, karena Batam telah menjadi semacam pintu masuk menuju Pulau Bintan. Akses menuju Batam terbilang mudah, karena Batam memiliki Bandara Udara Internasional Hang Nadim yang setiap hari terdapat rute penerbangan dari kota-kota besar di Indonesia maupun dari luar negeri. Jika wisatawan menggunakan jalur laut, banyak rute menggunakan kapal ferry menuju Batam, terutama dari kota-kota di Sumatra, seperti dari Pekanbaru, Dumai, Pulau Karimun, Pulau Natuna, Palembang, dan Kuala Tungkal di Jambi. Dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, akses menuju Batam malah jauh lebih mudah, karena cukup naik kapal ferry satu kali. Dari kota Batam, perjalanan ke Bintan terlebih dahulu harus melewati pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur, menggunakan taksi dengan biaya antara Rp 60.000—Rp 65.000. Sesampainya di Pelabuhan Telaga Punggur, pengunjung dapat menyeberang ke Pulau Bintan dengan menggunakan kapal ferry menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura di Kota Tanjung Pinang, kota yang ditetapkan sebagai Ibu Kota Propinsi Kepulauan Riau. Sarana angkutan penyeberangan Telaga Punggur—Sri Bintan Pura beroperasi setiap hari, mulai dari jam 7.30 pagi hingga jam 8 malam, begitu juga sebaliknya. Wisatawan dapat memilih menggunakan ferry yang berukuran agak besar, atau memilih menggunakan speed boat yang berukuran lebih kecil. Pengelola jasa transportasi ini juga fleksibel dalam menentukan tarif. Pengunjung dapat membeli tiket untuk sekali jalan sebesar Rp 35.000 per orang, atau sekaligus tiket pergi-pulang sebesar Rp 60.000 (November 2008). Selain itu, tiket yang sudah dibeli juga berlaku kapan saja, asalkan masih dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan, yaitu satu bulan. Sesampainya di Tanjung Pinang, perjalanan sekitar 2 jam menuju Desa Sebong Lagoi, Kecamatan Teluk Sebong, dapat ditempuh dengan menggunakan taksi, mobil sewaan, atau jasa travel. e. 117 Pantai Nongsa Kota Batam menyandang imej sebagai kota industrial, mulai dari garmen, elektronik, sampai galangan kapal. Ia juga menjadi kota pusat belanja murah, seperti barang-barang elektronik, hingga sebutan sebagai kota ‘ruli‘ (rumah liar) akibat tingginya arus migrasi dari berbagai daerah di Nusantara untuk mencari pekerjaan di kota ini. Namun, pada kenyataanya Kota Batam memiliki kawasan wisata alam yang layak diperhitungkan Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau keberadaannya. Yakni, sebuah pantai yang terletak di bagian timur laut Pulau Batam. Pantai Nongsa namanya. Pantai Nongsa merupakan salah satu potensi wisata alam yang mampu menyedot wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang ke Kota Batam. Karena, pantai yang terletak di bagian timur laut Pulau Batam ini memadukan keindahan pantai dengan nuansa kota modern. Nama ‘nongsa‘ diadopsi dari nama seorang tokoh Melayu yang pertama kali mengembangkan wilayah pesisir ini, dari lahan kosong dan tidak terurus dengan balutan semakbelukar berupa pohon bakau dan perdu menjadi kawasan yang memiliki nilai jual. Oleh masyarakat setempat, kawasan ini dijuluki sebagai wilayah Nongsa Tua. Dari pantai ini, pesisir pantai Singapura bagian selatan bisa dicapai hanya dengan setengah jam berperahu motor. Dekatnya jarak ini menyebabkan masyarakat desa di sana pada tahun 1970an hingga 1980an lebih mengenal mata uang dolar Singapura atau ringgit Malaysia ketimbang rupiah. Pada periode itu, para nelayan di wilayah Nongsa menjual ikannya, seperti ikan kerapu, selar, dan ikan-ikan karang lainnya, langsung ke Singapura. Selain menjual ikan, mereka juga biasa menjajakan kayu dari hutan-hutan di Pulau Batam yang kala itu wajah pulau ini masih berupa hutan bakau yang menjadi habitat berang-berang, pelbagai burung rawa, serta elang laut putih. Kini, Pantai Nongsa Tua telah menjelma sebagai kawasan rekreasi yang prestisius. Tempat ini juga merupakan sebuah kawasan yang selalu diperebutkan oleh para investor untuk membangun resort. Tak jarang penduduk lokal hanya bisa melihat resort eksklusif yang tak terjangkau harganya. Sebagai masyarakat nelayan yang menjadikan laut sebagai penopang hidupnya, penduduk lokal kini tidak lagi bisa bebas berlayar. Pengelola resort kerap melarang mereka membangun bagang di sekitar pantai karena dianggap membahayakan kapal-kapal pesiar atau kapal wisata yang akan berlabuh di salah satu resort yang ada. Biasanya orang mengungkapkan kekagumannya, kesannya, pada pantai yang dikunjungi tidak jauh dari apa yang ‘dimiliki‘ pantai itu. Misalnya hal-hal lumrah seperti kondisi air pantai yang tenang atau berombak besar, warna air lautnya, pasirnya yang putih, terumbu karang sebagai rumah ribuan biota laut, dan seterusnya. Dari semua itu, Pantai Nongsa punya hal lain dan unik yang tidak banyak dimiliki sebagian besar pantai di Indonesia, yakni pemandangan kota Singapura pada malam hari. Pantai ini menghadap ke barat laut, karena itu Anda akan disuguhi pemandangan matahari terbenam yang memukau di kala senja. Saat senja, pudarnya mega di ufuk barat mengiringi kepergian sang surya, sementara di sebelah utara Anda akan menyaksikan gemerlap lampu-lampu gedung di Singapura mulai menyala mengganti peran matahari. Singapura malam hari menampilkan kerlap-kerlip dan kilau ribuan lampu kota megapolitan a la New York khas Asia Tenggara, di mana tampak gedung-gedung hunian dan perkantoran pencakar langit masa kini. Moment ini jangan pernah terlewat bila mengunjungi Pantai Nongsa. Lebih dari itu, mengunjungi Pantai Nongsa akan terasa natural karena lingkungannya terjaga dengan baik. Bagi pengunjung yang ingin berenang di resiknya air laut, maupun ber-snorkeling menyaksikan panorama bawah laut, ada baiknya lebih berhati-hati karena di tempat ini belum ada penjaga pantai yang memantau wisatawan. Terutama bagi para orang tua yang membawa putra-putrinya untuk bermain air. 118 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Selain keindahan pantai dan laut, serta nuansa metropolis Singapura yang dapat Anda nikmati sepuasnya, ada baiknya Anda mengunjungi masyarakat lokal di kawasan ini yang sebagian besar merupakan warga asli Melayu. Di sini, Anda dapat mengunjungi permukiman penduduk yang terdapat di sepanjang pesisir pantai di Teluk Tering, yakni Kampung Batu Besar dan Kampung Nongsa. Mayoritas dari mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, sebagian yang lain berprofesi sebagai pedagang di kawasan sekitar pantai. Menyaksikan dan mengikuti aktivitas keseharian mereka yang barangkali berbeda jauh dari kehidupan rutin Anda, tentunya merupakan sebuah pengalaman yang mengasyikkan. Kawasan ini makin istimewa karena wisatawan mudah menjangkau tempat wisata unggulan lainnya di Provinsi Kepulauan Riau, seperti Pantai Sekilak dan Pantai Maimun yang juga tidak kalah cantiknya dengan Pantai Nongsa, Pulau Penyengat, Pulau Lingga, Jembatan Barelang, Kamp Pengungsian Vietnam di Pulau Galang, serta pusat-pusat perbelanjaan di Kota Batam, seperti kawasan Nagoya yang hanya memerlukan waktu 20 menit perjalanan. Kawasan wisata pantai ini terletak di Kelurahan Sambu, Kecamatan Batam Timur, Kota Batam, Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk sampai di Pantai Nongsa, wisatawan dapat menggunakan taksi yang ‘berkeliaran‘ di sekitar Kota Batam. Dengan taksi, wisatawan membutuhkan waktu lebih-kurang 40 menit dengan tarif Rp75.000,- dari pusat Kota Batam (November 2008). Bila dari Bandara Hang Nadim, Kota Batam, kurang lebih akan memakan waktu 25 menit dengan mobil atau sepeda motor sewaan. Untuk menuju Pantai Nongsa dari bandar udara ini, pengunjung disarankan melalui Jalan Hang Tuah ke arah timur, hingga bertemu pertigaan jalan. Kemudian belok kiri (ke arah utara), melewati Jalan Hang Jebat sampai di pertigaan jalan kedua. Di persimpangan ini, pengunjung harus belok kiri untuk kali kedua dan lewat Jalan Hang Lekiu yang langsung menuju Pantai Nongsa dengan waktu tempuh 10 sampai 15 menit. Alangkah lebih baik menanyakan arah dan jalan pada warga sekitar agar tidak tersesat. Karena, ada kemungkinan arah dan jalan di sekeliling pantai akan terasa membingungkan untuk kunjungan kali pertama. Selain itu, bagi wisatawan yang tengah berada di Singapura, dapat menggunakan kapal ferry dari pelabuhan Tanah Merah, Singapura. Kapal ferry ini akan berlabuh di Terminal Ferry Nongsa (ferry port Nongsa). f. 119 Gunung Ranai Berkunjung ke Kabupaten Natuna, salah satu kabupaten kepulauan terluar di Indonesia, akan memberikan pengalaman menarik bagi wisatawan. Daerah ini memiliki perairan yang relatif bersih dengan lingkungan alam yang masih asri. Pada salah satu pulau terbesar di kabupaten ini, yaitu Pulau Ranai, terdapat potensi obyek-obyek wisata yang belum banyak dikenal, di antaranya Gunung Ranai dan Pantai Tanjung Ranai. Mengunjungi pulau ini, sejak pendaratan pertama mata wisatawan akan langsung tertambat oleh bentangan lanskap alam berupa Gunung Ranai yang tampak elok menantang. Bahkan karena keindahannya, kantor-kantor Pemerintah Kabupaten Natuna seolah-olah memanfaatkannya sebagai latar belakang (background) pemandangan yang alami. Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Gedung-gedung perkantoran dengan latar belakang Gunung Ranai Sumber Foto: liamustafa.multiply.com Sebagai sebuah gunung tertinggi di kawasan Natuna, Gunung Ranai tak hanya dikenal sebagai daerah pendakian yang menarik. Penduduk setempat yang umumnya bekerja sebagai nelayan juga memiliki pedoman mistis berkaitan dengan Gunung Ranai. Masyarakat percaya, apabila puncak gunung tersebut nampak diselimuti oleh awan tebal, maka perairan laut Natuna sedang tidak bersahabat. Hujan lebat, gelombang besar, bahkan badai dapat “dideteksi” melaui pertanda alam tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika Gunung Ranai tampak dilatari langit yang cerah tanpa awan, pertanda laut sedang menyambut para nelayan untuk menangkap ikan. Gunung Ranai merupakan gunung dataran rendah, sebab ketinggiannya berkisar antara 300—1.035 meter di atas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian, para pelancong yang mendaki gunung ini akan menemukan fenomena menarik, yaitu gradasi jenis-jenis tanaman dari hutan dataran rendah hingga hutan dataran atas. Pada ketinggian tertentu, para pendaki akan menemukan tipe-tipe vegetasi yang memperlihatkan ciri khas pegunungan dataran atas (gunung dengan ketinggian rata-rata 2.000 meter dpl). Menurut pengamatan tim dari Highcamp The Adventure‘s, sampai ketinggian 800 meter dpl, hutan di Gunung Ranai masih dominan ditumbuhi oleh jenis-jenis tanaman seperti meranti (dipterocarpaceae), rasamala (altingia excelsa), keruing (dipterocarpus spp.), dan turi (quercus spp.). Namun, antara ketinggian 800—968 meter dpl, akan tampak perubahan tipe vegatasi, yaitu perubahan dari tipe hutan dataran rendah ke tipe kawasan hutan dataran atas. Hal ini terlihat misalnya dari tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh semak, belukar, dan pohon-pohon dengan ukuran pendek seperti umumnya pada hutan dataran atas. Fenomena alam ini biasa disebut sebagai hutan berawan dataran rendah (Lowland Cloud Forest). Hutan berawan (Cloud Forest) umumnya terjadi di wilayah pegunungan yang terdapat di pulau besar serta jauh dari pantai, atau bisa juga terjadi pada pegunungan di wilayah pulau yang kecil serta dekat dengan pantai. Tipe hutan seperti ini sebagian wilayahnya sering diselimuti oleh kabut, sehingga memungkinkan tipe-tipe vegetasi tertentu dapat tumbuh di kawasan gunung tersebut. Untuk mencapai puncak Gunung Ranai, para pendaki harus melampaui tiga puncak berupa tebing batu dengan ketinggian yang berbeda-beda. Puncak pertama bernama Puncak Serendit dengan ketinggian 968 meter dpl. Puncak ini merupakan gugusan tebing dengan tinggi mencapai 100 meter. Puncak selanjutnya adalah Puncak Erik Samali yang berada pada ketinggian 999 meter dpl. Puncak ini merupakan tebing kedua dengan tinggi tebing sekitar 150 meter. Sementara puncak ketiga (puncak tertinggi) bernama Puncak Datuk Panglima Husin, terletak pada ketinggian 1.035 meter dpl. Seperti dua puncak sebelumnya, Puncak Datuk Panglima Husin juga merupakan tebing dengan ketinggian kira-kira 200 meter. 120 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Salah satu tim ekspedisi pendakian Gunung Ranai Sumber Foto: mozank3roet.multiply.com Para pendaki yang ingin menjajal tantangan Gunung Ranai sebaiknya berhati-hati dengan kondisi cuaca yang berubah-ubah. Sebab, tak jarang para pendaki harus rela turun sebelum mencapai puncak teratas akibat didera angin kencang dan diselimuti kabut tebal. Keputusan untuk mendirikan tenda atau menginap di atas gunung juga harus mempertimbangkan banyak faktor, seperti ketersediaan bahan logistik, peralatan yang cukup, dan kondisi cuaca yang bersahabat. Selain mendaki Gunung Ranai, wisatawan juga dapat menikmati panorama Kota Ranai dari ketinggian melalui obyek wisata Bukit Batu Sindu. Gunung Ranai terletak di Pulau Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Pulau Ranai merupakan lokasi pusat Pemerintahan Kabupaten Natuna. Pulau ini berjarak sekitar 562 km dari Kota Tanjungpinang atau sekitar 589 km dari Kota Batam. Perjalanan menuju pulau ini dapat ditempuh dengan kapal laut maupun pesawat udara. Untuk transportasi laut, telah ada kapal laut dengan rute Tanjungpinang-Natuna. Hanya saja, kapal laut tersebut dapat mengundurkan jadwalnya karena cuaca buruk. Terutama pada bulan Oktober—April, di mana sedang berlangsung musim angin utara, biasanya perjalanan dapat terganggu oleh curah hujan yang tinggi, gelombang besar, maupun badai. Selain kapal laut, wisatawan juga dapat memanfaatkan penerbangan Riau Air Lines (RAL) dengan rute Pekanbaru-Tanjungpinang-Ranai (PP) atau Pekanbaru-Batam-Ranai (PP) yang melayani penerbangan setiap hari. Setelah mendarat di Bandara Perintis Pulau Ranai (bandara yang dikelola oleh TNI-AU), wisatawan dapat melanjutkan perjalanan dengan mobil sewaan menuju Gunung Ranai. g. 121 Pantai Lagoi Pantai Lagoi merupakan salah satu obyek wisata kebanggaan Pemerintah Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau. Obyek wisata berkelas dunia ini memiliki pemandangan alam yang indah dan kondisi lingkungan yang bersih. Pohon kelapa yang berjajar rapi di sepanjang tepian pantai juga menjadi salah satu daya tarik kawasan wisata Pantai Lagoi. Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau Di samping keindahan alamnya, keramahan penduduk setempat juga menjadi keistimewaan tersendiri, sehingga mampu memikat para pelancong yang berkunjung ke kawasan wisata ini. Keberadaan obyek wisata Pantai Lagoi didukung pula dengan keindahan alam lainnya yang tak kalah menarik, yaitu Sungai Sebong, Hutan Mangrove, dan berbagai macam resort. Berbagai tempat tersebut masing-masing menawarkan panorama alam yang indah beserta keistimewaan-keistimewaannya. Mengunjungi Pantai Lagoi Anda dapat menyaksikan deburan ombak sambil melakukan aktivitas-aktivitas seperti mandi, berenang, berendam, atau menyelam menyusuri keindahan dasar lautnya. Setelah puas menikmati aktivitas di air ini, pelancong dapat berjemur di atas hamparan pasir putihnya yang luas dan landai, sembari menikmati hangatnya sinar matahari. Anda juga dapat berjalan-jalan santai menyusuri keindahan pesisir pantai sambil menghirup udaranya yang sejuk. Setelah puas menikmati panorama alam tersebut, pelancong juga dapat menikmati keindahan dan kenyamaan resort-resort yang berada ratusan meter dari pantai ini. Di resort ini, pelancong dapat bermain golf, berenang di kolam renang, menikmati spa, melihat keindahan wahana laut, dan melakukan aktivitas seperti diving, snorkeling, dan lain-lain. Pelancong juga dapat melanjutkan berwisata menyusuri keindahan Sungai Sebong dengan menyewa perahu nelayan. Selama perjalanan, pelancong dapat melihat indahnya berbagai macam tumbuhan mangrove. Pemandangan menarik lainnya adalah berbagai macam tumbuhan yang tumbuh subur di pinggiran sungai seperti rhizophora, bakau, pandan, dan pohon nipah yang tergolong langka. Dari atas perahu itu, pelancong juga dapat melihat hewan-hewan liar yang hidup di pinggiran Sungai Sebong. Bagi pelancong yang gemar memancing, dapat mengunjungi gubuk-gubuk kecil milik nelayan yang berada di muara Sungai Sebong. Gubukgubuk kecil yang terbuat dari pohon bakau dan beratapkan daun nipah ini, biasanya digunakan untuk menangkap ikan bilis dan cumi-cumi. Keistimewaan Hutan Mangrove di Sungai Sebong yaitu kondisi airnya terbagi menjadi tiga jenis: air asin, air payau, dan air tawar. Dari kawasan ini, wisatawan dapat melihat berbagai spesies tumbuhan yang hidup di dalamnya. Di daerah air asin misalnya, pelancong dapat melihat jenis spesies rhizophora. Di zona air payau terdapat tumbuhan dengan jenis bruguiera. Sementara pada daerah air tawar terdapat tumbuhan jenis xylocarpus. Pantai Lagoi terletak di Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk menuju Pantai Lagoi, perjalanan dapat dimulai dari Tanjung Pinang dengan menggunakan mobil sewaan, taksi, atau travel. Dari kota Tanjung Pinang sampai ke lokasi wisata biasanya akan dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Bagi wisatawan dari Batam, perjalanan dapat dimulai dari pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur. Dari pelabuhan ini, pelancong dapat naik speed boat menuju Tanjung Uban dengan ongkos sekitar Rp 30.000 per orang. Setelah sampai di Tanjung Uban, kemudian pelancong naik taksi menuju Pantai Lagoi. Perjalanan dari Tanjung Uban sampai ke lokasi wisata membutuhkan waktu sekitar 15—25 menit. Selain speed boat, wisatawan juga dapat naik kapal ferry dari Telaga Punggur menuju ke Lagoi. Kapal ferry menuju Lagoi beroperasi sebanyak 3 kali setiap hari (Desember 2008). 122 Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau
Similar documents
representasi budaya masyarakat lokal dan politik identitas desa adat
Bali, mengalami banyak perubahan fisik dan transformasi sosial budaya dalam kehidupan masyarakat di dalamnya. Realitas ini diterima dan disadari oleh komuniti desa adat, dalam hal ini Desa Adat Kut...
More information