Jurnal Auditor

Transcription

Jurnal Auditor
Volume IX/ No.17 / Juni 2016
ISSN : 1979 - 7524
JURNAL
Audit Dengan Tujuan Tertentu Untuk
Memastikan Perhitungan Volume Galian
Non Struktur
Elbert MH
Feasibility Study of Material Recovery
Facility Redevelopment In Malang City
Indonesia
Faizal Fahmi
Evaluasi Peningkatan Kinerja Campuran
Laston Lapis Aus (AC-WC) Dengan Perbaikan
Sifat Reologi Visco-Elastic Aspal Ditambah
Asbuton Murni
Elvibryna Nofriza
Road Safety Management Towards Zero
Accident: A Literature Review
Zuni Asih Nurhidayati
2
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Daftar Isi
Volume IX/No.17/Juni 2016
Audit Dengan Tujuan Tertentu Untuk Memastikan Perhitungan
Volume Galian Non Struktur
7 - 14
Elbert MH
Feasibility Study of Material Recovery Facility Redevelopment In
Malang City Indonesia
15 - 23
Faizal Fahmi
Evaluasi Peningkatan Kinerja Campuran Laston Lapis Aus
(AC-WC) Dengan Perbaikan Sifat Reologi Visco-Elastic Aspal
Ditambah Asbuton Murni
25 - 40
Elvibryna Nofriza
Road Safety Management Towards Zero Accident: A Literature
Review
41 - 51
Zuni Asih Nurhidayati
Diterbitkan berdasarkan Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.16/KPTS/IJ/2016
tanggal 22 Februari 2016, SIT No.2504/SK/PPG/1998 tanggal 30 September 2002. Penanggung Jawab : Inspektur Jenderal.
Redaktur/Koordinator : Sekretaris Inspektorat Jenderal. Anggota : Para Inspektur di Inspektorat Jenderal. Pemimpin Redaktur:
Ir. Bambang Sudiatmo, Dipl.SE. Wakil Pemimpin Redaktur : Kabag HKP. Anggota Redaktur : Drs. Sunarto, M.Si, Ir. M. Kamil, MM, Ir.
Herman Suroyo, MT, Hari Primahadi, BAE, S.Sos, M.Ak, Drs. Slamet Haryono, MT, Mohamad Ikhsan, SH, Irnanda Kristandi, ST. Redaktur
Pelaksana: Drs. Syafrudin Dino Syaf, M.Si, A.S.B. Rahayu, ST, Sp.1, MT. Korektor : Krisudiyati, SE, M.Si, Dwita Gustiana. Tata Letak dan
Setting : Moh. Danang Sanjoyo, Ariyanto, Ari Sumadi Nugroho. Fotografer/Dokumentasi : Loka Secowicaksono, Hari Susyanto.
Sekretariat/Tata Usaha : Sangidan, Indri Margianti, Endang Sutisna. Staf Sekretariat : Susanto, Rahmat Nursidiq, Sulardi, Triyono.
Alamat Redaksi/Tata Usaha : Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jl. Pattimura No.20 Lt.15
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110. No telp. (021) 7262608 E-mail : buletwas_itjen@yahoo.co.id
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
3
4
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Pengantar Redaksi
Jurnal Auditor volume IX, nomor 17, bulan Juni tahun 2016 tanpa terasa mengantar kita memasuki
penerbitan tahun ke sembilan. Sungguh suatu usia yang tidak muda lagi dan membutuhkan perjuangan
yang tidak mudah untuk mempertahankannya agar tetap rutin terbit dengan mengemban misi yang
telah ditetapkan.
Tujuan diterbitkannya Jurnal Auditor ini adalah untuk menyalurkan hasil penulisan para Auditor yang
berupaya menggali masalah-masalah di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat dan dikaji secara ilmiah.
Kali ini disajikan empat buah tulisan, antara lain mengenai cara pengukuran lapangan dan perhitungan
volume hasil pengukuran oleh Auditor untuk mendapatkan keyakinan memadai bahwa volume yang
telah dibayarkan sesuai dengan fisik di lapangan. Sedangkan tenaga ahli diperlukan untuk melakukan
pengujian dan analisis guna memastikan kesesuaian metode galian dengan jenis tanahnya, karena hal
tersebut menjadi batasan pada saat pelaksanaan audit dengan tujuan tertentu.
Tulisan kedua mengetengahkan penanganan permasalahan sampah yang dijumpai di kota-kota besar
Indonesia yang menjadi salah satu dasar gerakan pembangunan bank sampah. Faktanya banyak bank
sampah yang tidak dapat berkembang dikarenakan alasan operasional. Penulis mencoba memberikan
alternatif jalan keluar terhadap permasalahan ini.
Tulisan berikutnya merupakan hasil penelitian tentang perbaikan sifat reologi aspal dengan tiga variasi
kadar asbuton dalam campuran aspal yang diuji dan dibandingkan dengan Spesifikasi Umum Bina Marga
2010 Revisi 3. Hasil pengujian menunjukkan beberapa kondisi yang secara rinci dapat dibaca pada tulisan
Elvibryna Nofriza.
Sedangkan tulisan terakhir membahas tentang program keselamatan jalan yang merupakan salah
satu kebijakan yang efektif dalam rangka aksi mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Bertujuan
untuk menggali informasi terkait peran manajemen keselamatan jalan terhadap angka kematian pada
kecelakaan lalu lintas. Dengan menggunakan metode Literature Review, mengulas hubungan antara
efektifitas manajemen keselamatan dengan tingkat kematian dalam kecelakaan lalu lintas.
Selamat membaca, semoga terbitan kali ini dapat menjadi bahan masukan dan renungan.
Redaksi AUDITOR menerima tulisan yang mencakup hasil studi, kajian, penelitian, maupun
pengalaman bidang pengawasan, pemeriksaan, administrasi, hukum dan manajemen
pembangunan bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Naskah yang dimuat akan diberikan imbalan.
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
5
6
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
AUDIT DENGAN TUJUAN TERTENTU
UNTUK MEMASTIKAN PERHITUNGAN VOLUME
GALIAN NON STRUKTUR
Oleh :
Elbert Marangkup H, ST.,MT.
Auditor Muda Inspektorat I, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR
Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Email: ebets99@gmail.com
ABSTRAK
Audit sebagai bentuk pengawasan fungsional telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan/pengelolaan pekerjaan satuan kerja. Pada awalnya audit
lebih banyak difokuskan pada pengelolaan keuangan. Untuk hal-hal yang berhubungan
dengan teknik, auditor dapat meminta bantuan tenaga ahli. Namun dengan
bertambahnya auditor yang berlatar belakang teknik, porsi tenaga ahli untuk beberapa
tahapan dapat digantikan oleh auditor tersebut. Sesuai dengan bahasan topik audit
dengan tujuan tertentu untuk memastikan perhitungan volume galian, maka auditor
menggantikan peran tenaga ahli untuk melakukan pengukuran kembali di lapangan
dan menghitung volume hasil pengukuran di lapangan guna mendapatkan keyakinan
memadai bahwa volume yang dibayarkan telah sesuai dengan fisik. Sedangkan untuk
memastikan kesesuaian metode galian dengan jenis tanahnya, diperlukan tenaga ahli
untuk melakukan pengujian dan analisis yang menjadi batasan audit tujuan tertentu.
Kata Kunci : Audit, volume, galian.
I. LATAR BELAKANG
Audit adalah salah satu bentuk pengawasan
fungsional yang dilaksanakan oleh Inspektorat
Jenderal melalui proses identifikasi masalah,
analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara
independen, obyektif, dan profesional berdasarkan
standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran,
keakuratan, dan keandalan informasi mengenai
pengelolaan dan tanggung jawab penggunaan
APBN dengan cara menguji tingkat kesesuaian
antara kondisi yang menyangkut kegiatan auditi
dan kriterianya dan melengkapi hasilnya dengan
bukti-bukti pendukungnya, menjadi simpulan dan
konsep rekomendasi kepada auditi dengan tujuan
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
7
memperbaiki dan meningkatkan kinerja auditi.
Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum nomor 07/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Menyeluruh
di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.
Sesuai dengan ruang lingkup Standar Audit Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah yang ditetapkan
oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008.
Kegiatan audit yang dapat dilakukan oleh Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah pada dasarnya
dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis audit,
yaitu:
1. Audit atas laporan keuangan yang bertujuan
untuk memberikan opini atas kewajaran
penyajian laporan keuangan sesuai dengan
prinsip akuntansi yang diterima umum.
2. Audit kinerja yang bertujuan untuk
memberikan simpulan dan rekomendasi
atas pengelolaan instansi pemerintah secara
ekonomis, efisien dan efektif.
3. Audit dengan tujuan tertentu, yaitu audit
yang bertujuan untuk memberikan simpulan
atas suatu hal yang diaudit. Termasuk dalam
kategori ini adalah audit investigatif, audit
terhadap masalah yang menjadi fokus
perhatian pimpinan organisasi dan audit yang
bersifat khas.
Permintaan untuk melakukan audit atas
perhitungan ulang volume dapat digolongkan
kedalam audit dengan tujuan tertentu, untuk
mengungkap suatu hal yang menjadi fokus
perhatian pimpinan organisasi. Seperti kebenaran
volume tambah, jenis galian berdasarkan jenis
tanah, serta harga dan peralatan yang digunakan.
Untuk hal-hal yang membutuhkan penilaian
profesional ahli maka pimpinan dapat
8
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
menyertakan tenaga ahli dalam tim audit. Tenaga
ahli yang dimaksud bisa saja dari unsur peneliti,
penilai, insinyur, konsultan lingkungan, dari
dalam maupun dari luar organisasi. Hal ini
telah diatur dalam standar umum audit yang
dikeluarkan Kementerian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara. Penggunaan tenaga ahli dari luar
dapat digunakan apabila APIP tidak mempunyai
keahlian yang diharapkan untuk melaksanakan
penugasan (standar umum 2240).
Penelitian ini mengambil studi kasus pembangunan
yang membutuhkan galian untuk pembentukan
dinding tebing.
II. MAKSUD DAN TUJUAN
Perubahan ruang lingkup dalam kontrak berupa
penambahan volume suatu item pembayaran akan
menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak
seperti pimpinan organisasi, auditor ataupun
penegak hukum. Dikarenakan banyak terjadi
permasalahan di lapangan terkait pembayaran
tambahan untuk volume galian yang melebihi
volume kontrak awal maka diperlukan audit atas
perhitungan ulang untuk volume galian tambahan
yang akan atau sudah dibayarkan. Oleh sebab itu
tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Menilai pelaksanaan kegiatan secara independen, obyektif, dan profesional sesuai
dengan standar audit dan standar teknis yang
berlaku.
2. Merancang metodologi pemeriksaan perhitungan ulang volume galian untuk menilai
kebenaran, keakuratan, dan keandalan informasi yang disajikan.
III. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada
masalah:
1. Perhitungan ulang volume galian tanah pada
lereng yang telah terbentuk;
2. Tidak melakukan uji tekan bebas pada
material untuk menentukan jenis tanah/
batuan guna penentuan metode galian yang
seharusnya dilakukan; serta
3. Tidak memperhitungkan kewajaran biaya.
IV. PROGRAM DAN METODOLOGI
AUDIT
4.1. Program Audit
Auditor merancang metode audit dalam
program kerja audit untuk memastikan bahwa
pelaksanaan audit telah sesuai dengan standar
audit dan standar teknis yang berlaku. Langkahlangkah audit dalam program kerja audit
direncanakan secara seksama untuk menguji
kebenaran, keakuratan, dan keandalan informasi
yang disajikan.
Program audit yang akan dilaksanakan seperti
bagan alir pada gambar 4.1 dibawah ini:
Gambar 4.1. Rancangan program audit
4.2. Metodologi Audit
Metode audit ini disusun sesuai dengan alur pikir
pada program kerja penelitian umumnya untuk
menjelaskan setiap tahapannya.
1. Tahap 1 (satu) Pengumpulan Data
Pengumpulan data dibedakan menjadi pengumpulan data sekunder dan data primer,
yaitu:
a. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder berarti data
yang didapat dari pihak kedua atau ketiga,
dapat juga berarti data yang belum dilakukan
analisis. Data sekunder yang dikumpulkan
dalam penelitian ini adalah data kontrak,
amandemen, back up data, gambar desain,
justifikasi teknis, hasil uji laboratorium
dan literatur terkait.
b. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer yang dilaksanakan adalah dengan melakukan
pengukuran langsung untuk mendapatkan
data yang akan diverifikasi terhadap back
up yang telah dikerjakan sebelumnya.
Cara mengumpulkan data primer adalah
melakukan pengukuran dengan alat ukur
atau total station untuk mendapatkan
potongan melintang dari setiap segmen
yang akan diverifikasi.
2. Tahap 2 (dua) analisis
Analisis dilakukan terhadap semua data yang
didapat, berupa perhitungan galian dengan
beberapa metode, analisis terhadap kewajaran
back up data yang disampaikan, serta analisis
terhadap justifikasi teknis.
Langkah kerja tahap analisis antara lain:
a. Analisis justifikasi teknis yang ada;
b. Analisis laporan harian, bulanan dan
dokumentasi lapangan serta laporan jumlah
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
9
truk yang mengangkut hasil galian;
c. Analisis laporan penyelidikan geoteknik;
d. Analisis data ukur hasil laporan juru ukur
(handwriting);
e. Analisis kesesuaian gambar Shop Drawing
terhadap kondisi lapangan, dan dapatkan
As Built Drawing pekerjaan yang telah
selesai; serta
f. Analisis perhitungan volume sebelumnya
dibandingkan dengan perhitungan volume
yang dilakukan tim auditor dan back up data
kuantitas.
3. Tahap 3 (tiga) Kesimpulan
Kesimpulan terhadap analisis yang telah
dilakukan untuk menjawab tujuan dari audit
tertentu didasarkan pada bukti yang benar,
akurat, lengkap dan relevan.
V. KAJIAN PUSTAKA
5.1. Pekerjaaan Galian
Pekerjaan galian adalah pekerjaan pemotongan
tanah, pengupasan dan pembuangan bahan
perkerasan beraspal dengan tujuan untuk
memperoleh bentuk/profil dan penampang
serta elevasi permukaan sesuai dengan gambar
yang telah direncanakan.
Pekerjaan galian dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu: 1) galian biasa
(common excavation); 2) galian batu lunak;
3) galian batu ; 4) galian struktur; 5) galian
perkerasan beraspal; 6) galian perkerasan
berbutir; dan 7) galian perkerasan beton.
5.2. Galian Tanah Biasa
Pekerjaan galian biasa harus mencakup seluruh galian yang tidak diklasifikasikan sebagai
galian batu, galian struktur, galian sumber
bahan (borrow excavation), galian perkerasan
jalan, galian perkerasan berbutir dan galian
perkerasan beton.
10
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
5.3. Galian batu lunak
Pekerjaan galian batu lunak harus mencakup
galian pada batuan yang mempunyai kuat tekan
uniaksial 300–400 kg/cm2 sesuai ASTM D 7012
dan pekerjaan galian yang menurut pendapat
direksi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan
excavator bucket biasa namun memerlukan
kuku baja khusus jenis penetration plus tip
dengan kuat leleh 1000 Mpa.
5.4. Galian Batu
Galian batu mencakup galian bongkahan
batu dengan volume 1 m3 atau lebih dimana
seluruh batu atau bahan lainnya tersebut
tidak praktis digali, tidak termasuk galian
yang dapat dibongkar dengan penggaru
(ripper) tunggal yang ditarik oleh traktor
dengan berat maksimum 15 ton dan tenaga
kuda netto maksimum sebesar 180 PK.
5.5. Galian struktur
Pekerjaan galian ini mencakup galian pada
segala jenis tanah dalam batas pekerjaan
yang ditunjukkan dalam gambar struktur.
Galian ini terbatas pada lantai beton pondasi
jembatan, tembok penahan tanah beton, dan
struktur beton pemikul lainnya.
5.6. Galian perkerasan beraspal
Pekerjaan galian ini mencakup pembuangan
lapisan beraspal dengan atau tanpa cold milling
machine.
5.7. Galian perkerasan berbutir
Pekerjaan ini mencakup galian perkerasan
berbutir lama dan pembuangan bahan perkerasan berbutir yang tidak terpakai.
5.8. Galian perkerasan beton
Pekerjaan ini mencakup galian pada perkerasan beton lama dan pembuangan bahan
perkerasan beton yang tidak dipakai.
5.9. Survei Pendahuluan (Reconnaissance Survey)
Geologi dan Geoteknik
Dalam perencanaan teknik jalan baru diper-
lukan pekerjaan lapangan yang mencakup
keseluruhan kegiatan survei dan investigasi
lapangan untuk memperoleh data-data akurat
yang diperlukan dalam perencanaan teknik.
Salah satu survei pendahuluan yang dilakukan
adalah survei geologi dan geoteknik.
Survei penyelidikan tanah dimaksudkan
untuk mendapatkan gambaran mengenai
kondisi tanah. Hasil penyelidikan ini akan
digunakan sebagai dasar untuk perencanaan
galian dan timbunan, kajian penurunan tanah,
analisis lapisan dan tebal bahan sebagai tanah
dasar, dan sebagainya.
5.10. Uji CBR (California Bearing Ratio)
Perencanaan perkerasan jalan menggunakan uji
CBR untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan
(subgrade). CBR merupakan suatu perbandingan
antara beban percobaan (test load) dengan beban
standar (standar load) dan dinyatakan dalam
persentase, dengan kondisi sebagai berikut:
a. Tanah dasar lunak, dimana CBR < 2 %.
Kondisi tanah lunak memerlukan perbaikan tanah dasar dengan cara dipadatkan,
distabilisasi atau dibuang seluruhnya.
b. Tanah dasar dengan daya dukung sedang,
dimana 2% ≤ CBR ≤ 6 %.
Kondisi tanah dasar dengan daya dukung
sedang memerlukan perbaikan tanah dasar
dengan cara stabilisasi menggunakan kapur
atau dengan menambah timbunan pilihan
sampai ketebalan tertentu seperti yang disyaratkan dalam spesifikasi.
c. Tanah galian dengan daya dukung cukup,
dimana CBR > 6 %.
Kondisi tanah dasar ini tidak memerlukan
perbaikan tanah dasar.
VI. DATA DAN ANALISIS
Setelah melakukan pembahasan dengan Auditi
untuk mendapatkan penjelasan kronologis proyek
dan mengevaluasi data serta dokumen proyek,
Auditor bersama dengan Auditi melakukan
survei dan perhitungan ulang volume galian
menggunakan alat ukur di lokasi proyek sebagai
bahan analisis.
A. Penelitian Dokumen
1. Penelitian Profil Memanjang (Long Section)
dan Melintang (Cross Section)
Interval jarak yang umumnya ditemui di lapangan
adalah 10, 15, 25, 50, 100 meter. Lebar profil
tergantung dari kebutuhan dan tujuan proyek, tapi
umumnya batas lebar profil melintang kiri dan
kanan dari garis sumbu proyek adalah 50 – 100
meter. Pada penelitian ini, dari laporan hasil juru
ukur dan As Built Drawing diketahui bahwa
interval jarak pengukuran adalah 25 m.
Langkah kerja penelitian terhadap dokumen
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memeriksa dimensi setiap profil yang terbentuk
dalam back up data quantity;
b. Membandingkan antara hasil pengukuran
juru ukur dengan as built drawing untuk
pengukuran profil tiap segmen dan pengecekan
elevasi tanah asli pada tiap STA;
c. Menganalisis kesesuaian potongan melintang
pada gambar as built drawing dengan peta
situasi dan dokumentasi lapangan Auditi;
d. Mengecek sistem koordinat yang digunakan
(x,y,z).
2. Penentuan Sampel Pengukuran Kembali
Setelah dilakukan penelitian terhadap dokumen,
langkah selanjutnya adalah menentukan sampel
yang akan dilakukan pengukuran kembali. Penentuan
sampel dilakukan berdasarkan analisis terhadap:
a. Peta situasi
Dengan melihat peta situasi (gambar 6.1), auditor dapat melakukan penilaian profil-profil yang
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
11
memiliki risiko lebih tinggi. Risiko kekurangan
volume terletak pada bagian belokan. Untuk
itu dianjurkan untuk menetapkan sampel pada
bagian belokan.
Gambar 6.1. Peta situasi
Gambar 6.2. Potongan memanjang rencana galian jalan
b. Potongan memanjang rencana awal galian jalan
(Gambar 6.2) memperlihatkan besaran volume
galian yang akan digali. Semakin besar rencana
volume untuk galian maka potensi risiko/
penyimpangan akan semakin besar. Oleh sebab
itu dianjurkan untuk menetapkan segmen yang
akan menjadi sampel berdasarkan penilaian
segmen yang memiliki volume besar.
c. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng menunjukkan risiko setiap
segmen. Semakin curam lereng yang terbentuk
maka risiko pelaksanaan semakin tinggi. Untuk
itu dianjurkan untuk menetapkan sampel
berdasarkan tingkat curam suatu lereng.
d. Kombinasi ketiga metode
Untuk efektifitas, efisiensi pelaksanaan audit,
segmen dengan kriteria kombinasi ketiga
metode diatas dianjurkan untuk diambil
menjadi sampel audit.
B. Analisis Hasil Pengukuran
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilak-
12
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
sanakan dilakukan analisis terhadap kesesuaian
volume dan kualitas hasil pekerjaan (lereng) yang
telah terbentuk. Kesesuain hasil pengukuran
ulang dengan volume dalam back up data quantity
menunjukkan pekerjaan yang dilaksanakan telah
sesuai dengan kenyataan. Sedangkan kualitas hasil
pelaksanaan pekerjaan dapat terlihat dari lereng
yang telah terbentuk. Lereng yang masih memiliki
kemiringan sama dengan gambar as buit drawing
menunjukkan bahwa pelaksanaan pekerjaan telah
dilaksanakan sesuai dengan spesifikasi teknis.
1. Stabilitas Lereng Galian
Stabilitas galian secara visual dapat dilihat dari
kemiringan lereng dan jenis tanah galian serta
potongan melintang pada gambar As Built
Drawing. Diketahui bahwa perbandingan lereng
rata-rata pada lokasi adalah V : H = 1,5 : 1 (Gambar
6.3), sehingga lereng dapat dikategorikan cukup
curam yang mengindikasikan bahwa konsistensi
tanah cukup padat. Selain itu, tidak terdapat
longsoran galian yang menandakan bahwa tanah
memiliki ikatan butiran yang cukup baik. Namun,
diketahui bahwa tanah pada lokasi merupakan
tanah yang dapat berubah struktur batuannya jika
terekspos cuaca. Hal ini ditandai dengan batuan
pasiran yang berubah menjadi pasir pada lokasi
galian.
Kadar air tanah juga dapat menggambarkan
konsistensi dan daya dukung tanah yang mempengaruhi stabilitas. Pada saat peninjauan ke
lapangan, terdapat air yang mengalir pada dasar
galian, berasal dari sungai kecil yang berada di
lokasi, yang lambat laun menggerus lapisan tanah
dan merubah struktur lapisan batuan.
Dalam perencanaan jalan, sumber air yang
mengalir ke perkerasan seperti aliran air tanah dari
galian atau saluran irigasi dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk pemasangan sistem drainase
bawah permukaan.
planimeter. Selain itu, dapat juga menggunakan
bantuan perangkat lunak Autocad. Data-data
tersebut diukur langsung dari lapangan sesuai
dengan hasil akhir konstruksi. Data-data ini pula
yang dipergunakan sebagai dasar-dasar hitungan
MC100 dan penggambaran purna bangun (As
build drawing).
Gambar 6.3. Potongan melintang galian di lapangan
Gambar 6.4. Volume dengan metode luas ujung rata-rata
2. Perhitungan Volume Galian Tanah
Pada studi kasus ini digunakan perhitungan
volume galian dengan menggunakan metode luas
ujung rata-rata (Gambar 6.4), dengan rumus luas
ujung rata-rata (average end area formula):
dimana:
Setelah mendapatkan luas ujung setiap stasiun,
dilanjutkan dengan membuat kesimpulan berdasarkan perbandingan antara hasil perhitungan
volume ulang Auditor dengan hasil perhitungan
volume Auditi dari as built drawing (gambar 6.5).
Ve
= volume luas ujung rata-rata (m3)
A1 dan A2 = luas ujung pada dua stasiun
terpisah oleh jarak horizontal (m2)
L
= jarak horizontal (m)
Dalam menentukan luas ujung dapat dilakukan
secara grafis atau dengan hitungan. Dalam
metode grafik, tampang melintang dan mal-acuan
digambar dengan skala pada kertas kisi (kertas
mm); kemudian jumlah bujur sangkar kecil dalam
tampang dapat dihitung dan diubah jadi luas, atau
luas dalam batas tampang diukur menggunakan
Gambar 6.5. Contoh potongan melintang pada
as built drawing
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
13
Tabel 6.1. Perhitungan volume beberapa sampel segmen
berdasarkan pengukuran ulang
Berdasarkan pengamatan visual di lapangan,
kemiringan dinding tebing cukup tegak mencapai 1H : 1.5V. Hal ini menandakan bahwa
pembentukan dinding dilakukan dengan benar
dimana hasil akhir dinding tebing tersebut cukup
stabil yang diperkuat dengan tidak didapati adanya
tanda-tanda kelongsoran.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan pengukuran ulang volume pada
beberapa sampel segmen didapati hasil pengukuran
ulang yang lebih besar dari back up yang dibayarkan.
Perbedaan ini terjadi karena adanya gerusan
pada lantai segmen pada saat pengukuran ulang
sehingga tinggi permukaan berbeda pada saat
pengukuran awal dan pengukuran ulang. Secara
teknis maka pengukuran ulang yang dilakukan
menunjukkan hasil bahwa pengukuran awal yang
dilakukan dapat diterima karena tidak lebih besar
daripada pada saat pengukuran ulang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil perhitungan profil segmen yang
menjadi sampel, perhitungan ulang volume galian
yang dilaksanakan menunjukkan hasil yang lebih
besar daripada volume yang dibayarkan sehingga
auditor mendapatkan keyakinan yang memadai
bahwa hasil pengukuran awal telah dilaksanakan
dengan benar. Selain dari pengukuran ulang
volume, auditor dapat menilai kualitas dari
pekerjaan yang telah dilaksanakan.
14
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Braja M,Das. (1985) Mekanika Tanah. Endah, Noor &
Mochtar, Indrasurya. Erlangga.
Spesifikasi Umum Bina Marga Revisi III tahun 2015
Pedoman Konstruksi dan Bangunan No: 003-01/
BM/2006, Pekerjaan Tanah Dasar Buku 1 Umum
Manual Desain Perkerasan Jalan No 02/M/BM/2013
tahun 2013.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara nomor : PER/05/M.PAN/03/2008, Standar
Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
Feasibility Study of Material Recovery
Facility Redevelopment in
Malang City Indonesia
Oleh : Faizal Fahmi
*) Staf Pengadministrasi Umum pada Inspektorat II, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR
Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Email: faizal.fahmi82@gmail.com
A master thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Master of Engineering Science
(Extension) at University of New South Wales Australia
INTRODUCTION
It is a typical situation in major cities in Indonesia where local government are unable to
give comprehensive waste serviceability to their resident and Malang-city is one among
those cities. The lack of capabilities results from various problems, like council’s limited
budget, decreasing capacity of current operating landfills and community rejection
of landfill expansions.
Those waste management issues were backgrounds of environmentally-aware community
to operate independent recycling centres. Unfortunately, the recent data shows that their
members/recyclable supplier are decreasing, as well as their recyclable waste input. One
of the options to keep the recycling centres continues to operate is rebuilding the site and
supplying the centre with recycling machinery and heavy equipment. Thus, the objective of
this study is estimating the feasibility of improving the recycling centre workability with
new waste recycling machineries instalment.
The feasibility study consists of 5 approaches: proposing 3 methods for the MRF (manual
handling, hybrid, and full equipment), financial assessment with Net Present Value
calculation and comparison, technical assessment of plant processing time with Monte
Carlo Simulation, social impact assessment based on field observation and key-issue
identification, and environment assessment by life-cycle-assessment (LCA).
The result of those approaches depicts manual handling method as the best solution and it
will not feasible to purchase a land and then construct full equipment MRF and hybrid
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
15
MRF plant in Malang city if the recycling waste selling price and consumer demand
of recycling products are still low. Government incentives and financial supports are
absolutely required for the MRF. Contract with potential buyer of processed waste to get
better selling prices is also recommended.
Kata Kunci : Solid waste, waste recycling plant, feasibility study, redevelopment.
INTRODUCTION
Challenges in Solid Waste Management in
Indonesia
As country with high dense population, specifically
in most major cities, Indonesia is struggling in
providing its people with decent basic services.
Water for domestic usage, proper sanitation and
comprehensive domestic waste serviceability are
several issues that this country must improve for
the sake of its people rights of basic domestic
services.
In regards with the coverage of service, collection
rate, method of collection, and disposal system,
70 years after its independent day from the civil
war, there are still many things to improve. Those
challenges can be categorized into two major
aspects: waste mobilisation and waste disposal.
Challenge in Waste Mobilisation
Like many other developing countries, composition
of domestic waste in Indonesia is dominated
by organic/putrescibles waste. Research from
decades of 90’s shown that 60-70% (based on
weight) of domestic waste is organic (Sicular,
1992). Cointreau in her study in 1982 wrote
percentage (by weight) of compostable waste in
Jakarta, Indonesia’s capitol city is 85% (Cointreau,
1982, cited in (Sicular, 1992)). In recent decades,
16
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
the characteristic are still not far from those
studies. Putrescibles waste was still dominating
with 70% (by weight) of total domestic waste
stream (Supriyadi, Kriwoken, & Birley, 2000).
High composition of organic waste with high
moisture content also required vast collection or
mobilisation to avoid odour issues and potential
risk of health contamination.
With majority of waste is organic/putrescibles,
waste mobilization are known to be challenging.
High density waste (high volume transportation),
risk of waste spills during transportation and high
moisture content (required fast mobilisation to
avoid odour) are several issue to deal from high
organic waste mobilisation (Pasang, Moore, &
Sitorus, 2007).
Generally, in major cities of Indonesia, service
coverage/serviceability of local authorities in
managing domestic waste is low. In Jakarta,
collection rate was claimed to achieve 80% of
total daily waste generation (Pasang et al., 2007).
In Semarang, third largest city in Indonesia, the
collection rate of total waste generation was 87%,
slightly better than Jakarta (Supriyadi et al., 2000).
Malang, smaller city than two earlier, has 70%
collection rate of its total waste generation (C. o.
M. S. a. L. Office, 2013). These low serviceability
shows that there are big amount of uncollected
solid waste every day. According to data from
Malang Office of Sanitation and Landscaping
(2013) there are approximately 190 Ton/day of
uncollected waste.
Challenge in Waste Disposal
In waste disposal, it is a common situation when
Ministry of Public Works Indonesia, the office
that responsible to build and manage any public
infrastructure in Indonesia, are difficult to build
landfills. There are many backgrounds of that
difficulty, but most of them are community
rejections, limited availability of vast land to use as
project site, people/private companies reluctance
to sell their land for waste landfill.
On the other hand, in the current operating
landfill, most of them have issues, such as almost
full-capacity to receive waste input, limited
budget of landfill operation and maintenance, and
community rejection for landfill land expansion.
THEORETICAL FRAMEWORK
Those two challenges are several things that
support statement that Indonesia should start to
more focus on waste recovery instead of waste
disposal. A very good comparison of positive
and negative aspect of recovery based system and
disposal based system were discussed by (Sicular,
1992):
Positive aspects of disposal based system:
• A conservation of materials and energy,
• No virgin raw materials used in the process,
• Channelling of environmentally-risk materials
such as plastic. They converted directly into
new plastic-based product.
• It does not require expansion of land
• Revenue from sale of recovered materials can
subsidize improvement of the entire system
Negative aspects of disposal based system:
• Recovery based system require large initial
investment and subsidise in the short term, but
in the long term the operation cost are lower
and more stable compared to landfill based
system.
Meanwhile, for disposal based system like landfill,
• It has the potential risk to contaminate the
environment if the site was not properly lined
with impermeable lining system and leachate
recovery system.
• It requires abundant of soil to use as cover
lining and it has to be done every day following
daily waste input into landfill. In some region
in Indonesia like Malang, soil is an economical
commodity and requires initial purchasing.
• It requires proper methane production system
to avoid the gas pollute the air and trigger fire/
explosion within the waste.
• In tropical country like Indonesia, the warm
temperature climate and high humidity level
will fasten the process of decomposition, thus
it requires quick approach.
• As the waste input more likely to increase, it
require expansion of land to increase capacity.
Above passage shown that there are more benefits
of adopting recovery-based waste management
system than a disposal system. Indonesia still
requires disposal-based system, but it should not
only solely rely upon it.
Potential Development of Recycling
Practices in Indonesia
Generally, most Indonesian and authorities know
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
17
waste recovery and/or recycling practices, but
unfortunately recycling, especially in domestic
waste, are not completely developed. Many
excuses related to resident reluctance to recycle
their own waste, for example not really aware of
the benefits of recycling, do not get direct benefit
after recycling their waste, and do not really care
about the environment.
Malang Waste Bank or Independent
Recycling Centre
Thus, it was a very good momentum when a
community in Malang start to build and operate
recycling centre in 2011. They announce the
recycling waste centre as “waste-bank”. It is means
literally because they open registration for people
who would like to sell their domestic waste and
gain some money from it.
METHODOLOGY
Introduction
In order to ensure the thesis objective achieved,
several steps of a methodology are defined and has
been completed. The methodology was selected to
ensure that the every aspect in a feasibility study
(technical, economic, environmental, and social)
is examined comprehensively.
Future Recyclable Waste Estimation
First of all, Material Recovery Facility (MRF) is
the technology chosen for the improvement of the
current recycling centre in this thesis. Three type
of MRF, which are manual handling (current),
hybrid, and full equipment, are included within
this study.
In estimation of recyclable waste input, year of
2018 is planned to be the construction year of the
18
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
new plant. Steps in estimating future recyclable
waste are:
• Estimate fixed population growth rate of
Malang city
• Estimate recyclable waste generation from
2013 until 2018 based on population growth
rate.
• Estimate waste input for MRF based on 4
type of waste (paper, glass, metal/scrap, and
plastic).
Economic Feasibility
In economic feasibility, the main objective is to
figure out which MRF technology has the biggest
Net Present Value among other. Steps in this
stage are initially with defining and estimating
every possible cost related with setting-up new
MRF plant. Then estimate potential income
from processed waste selling. Details of economic
feasibility are:
• Estimate construction cost
• Estimate land purchase cost
• Estimate equipment cost (for full equipment
and hybrid MRF)
• Estimate salvage value of equipment (for full
equipment and hybrid MRF)
• Estimate operation and maintenance cost
• Estimate production material cost
• Estimate potential income/benefit from
processed waste selling.
• Estimate Net Present Value
• Comparison of NPV value for all three types
of MRF and decide which MRF method have
best NPV.
Technical Feasibility
Technical feasibility is based on comparison of
production time of each MRF methodology and
the calculation was based on uncertainty analysis
with the Monte Carlo Simulation and random
number table.
Environmental Feasibility
In environment feasibility, the objective is to find
which MRF technology has the lowest impact
to the environment/the lowest carbon dioxide
emitter. Details of the study are:
• Calculate amount of energy required based
on quantity of recyclable waste processed.
Fuel for heavy equipment (loader/dozer) and
electricity for processing machine (conveyor,
shredder, grinder, separator, breaker)
• Calculate amount of CO2 emission based on
quantity of energy usage per equipment
• All input data of energy required and emission
emitted are based on research by Damgaard
et al (2009), Astrup et al (2009), Larsen et al
(2009), and Merrild et al (2009).
• CO2 emission and fuel usage are compared for
each method of MRF (manual, hybrid and full
equipment).
Social Feasibility
In social feasibility, the objective is to find which
MRF technology has the lowest impact to the
community and the scavengers as one of the vital
stakeholder in landfill. Details of the study are:
• Social key issue and stakeholder identification
• Score MRF based on social key issue with
Technique for Order Preference using
Similarity to Ideal Solution (TOPSIS).
Uncertainty Analysis
There are three parameters in MRF operation
that depends on waste input. The three variables
are production time, material cost, and potential
income. Since the daily waste inputs are fluctuated,
those three parameters can be categorized as
uncertainty parameters. The details of analysis
are:
• Production time of MRF (activity-on-node
(AON) diagram and the Monte Carlo
simulation)
• Production material cost of MRF (buying
price, composition of waste, waste input and
cost of production material and the Monte
Carlo simulation).
• Potential income of MRF (selling price,
composition of waste, waste input and
potential daily income and the Monte Carlo
simulation).
RESULTS
The summary of results are shown in below table:
Table.1 Result of Calculation
Feasibility Study Aspects
Economic (NPV)
Technical
(Production
time for 1
day input)
Env
(CO2 emission)
Env
(Electricity
required)
Env
(Fuel
required)
Social (less
impact to
neighbourhood)
Final
Opt
No.
MRF Types
1
Manual Handling
-$5,961,942
4.99 dayss
1031.07 Kg
CO2-eq/day
N/A
381.87
L/day
1st option
1st
2
Hybrid
-$46,731,362,692
7.59 days
21,195.96 Kg
CO2-eq/day
22405.4
kWh/day
381.87
L/day
2nd option
2nd
3
Full equipment
-$53,253,037.692
13.4 days
31,278.4 Kg
CO2-eq/day
33608.1
kWh/day
381.87
L
3rd option
3rd
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
19
Explanations of above table:
• Financial feasibility estimation shows manual
handling MRF as the 1st choice since it has
the biggest NPV value. However since the
result of all NPV are negative, it shows that the
potential income is lower than the initial cost
and operational cost.
• Technical feasibility in production time
required shows manual handling has the
shortest production time to other options.
• Manual handling MRF has the lowest social
impact compared to other two MRF.
• Since it employ less machinery in processing
recyclable, it is obvious that manual handling is
the MRF with lowest carbon dioxide emission
compared to other MRF.
• Lastly, in social feasibility, manual handling
MRF, which able to hired most current
scavengers, has the lowest risk of social conflict
with stakeholders in landfill site.
Based on above table, it is obvious that manual
MRF is the suggested MRF type for the Waste
Bank of Malang. However, the result shows
manual handling MRF has negative NPV. Thus,
further calculation is required to know what type
of manual handling MRF will be beneficial to
operate.
Several new assumptions are made for this
calculation:
1. Manual handling MRF is the only MRF
considered.
2. No land purchasing and no new constructions
for new form of MRF.
3. MRF operator has options to sign long-term
contract with manufacturers for better selling
prices (assumed to reach 5X of usual selling
prices) or not signing any contract.
4. MRF operator has options to receive the
Government support for cost of production
material and salary of sorters or not receive any
support.
5. Number of sorter are 250 people and sorters
salary is still same with previous assumptions,
$20/month/person.
6. There will be 4 model of manual handling
MRF considered:
• Model 1: Long-term contract + the
Government incentives (cost of production
material and sorter’s salary).
• Model 2: Long-term contract + without
the Government incentives.
• Model 3: No long-term contract + the
Government incentives.
• Model 4: No long-term contract + no the
Government incentives.
7. Buying prices of recyclables will still same for
all 4 models of manual MRF.
8. Selling prices are assumed to be higher 5x in
manual MRF model with long term contract
and selling prices is still same for models
without long term contract.
The result of manual MRF new model
calculation:
Table 2. Result of Manual MRF Calculation
No.
Parameters
1.
Production material cost
2.
Potential income (old selling prices)
20
Model 1
(long term contact +
govt incentives)
Model 2
(long term contract
and without govt
incentives)
Model 3
(no long term contract but with govt
incentives)
Model 4
(no contract and no
govt incentives)
1685.697
1685.697
1685.697
1685.697
N/A
N/A
1800.605
1800.605
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
3.
Sorter salary
• Salary in $/year
• Salary estimation is $20/month/
sorter
• Number of sorters is 250 workers
60000
60000
60000
60000
4.
Government incentive on sorter salary
and material cost
61685.6965
N/A
61685.6965
N/A
5.
New potential income (new selling
price with long term contract)
9307.84749
9307.84749
N/A
N/A
9307.85
-52377.85
1800.60
-59885.09
Net Present Value (NPV)
Above table shows that manual MRF will
beneficially operate with the government
incentives only and will be feasible operate
without higher selling prices from contract with
manufacturers.
Conclusion
• In the case of Malang city recycling centre,
since the cost of sorters salary is low, labour
intensive plant/manual handling MRF will
more efficient and economically feasible than
the other two MRF.
• In economic feasibility, the low selling price
of recyclable waste, cost of land purchase and
construction cost of new plant are backgrounds
of negative NPV.
• In technical feasibility, it is clear that
mechanisation process will not guarantee
MRF to have faster production time.
• Government incentives in MRF operation is a
must to ensure MRF operation continuity.
RECOMMENDATION
Recommendation will be made in three aspects,
policy, operation/technical, and economic aspects.
Details of the recommendation are:
In policy/regulation aspect:
In short term period, due to its direct link to
public welfare and basic service, the Waste Bank
of Malang recycling practice must be supported
by the Government of Indonesia. Modelling of
manual MRF with the government incentive in
sorters salary and material cost shows it will be
operate beneficially. The bank should also receive
support in a form of working capital and tax
reduction. Moreover, The Government may also
link its waste collection process with the bank
operation, so the bank will receive direct input
from local waste collection waste trucks.
In long term period, the Government must
encourage manufacturer and other related
industries to purchase recycled waste from local
suppliers instead of importing the recyclables
from other countries. On the other hand, the
Government must offer real incentive for its
people to start sorting their domestic waste and
give reward for industries that recycled their own
waste.
In MRF operation/technical aspect:
Since manual recycling operation has estimated
to be the most suitable option to the Waste
Bank of Malang, several ways can be suggested to
technically improve its capability:
• Propose new process workflow in manual
handling MRF
New workflow in MRF must have specific
sorting line for each type of recyclables. The
new plan also suggests pre-storage area as a part
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
21
of tipping point area. New approach of storage
management is a must in the new manual
handling plan. Since it is less likely to mobilize
processed waste to the customer in daily basis,
suitable storage area with “first-in-first-out”
system is also mandatory.
• Propose extended working hours
The operator of MRF may also double its daily
production time from 10 hours/day to 20
hours/day by adding extra working shift for its
sorters. Extended working hours may reduce
need to have storage expansions of recyclables.
In economic aspect:
• Postpone purchase land and construct new
plant of MRF
From calculation of economic feasibility, it is
obvious that construction cost of MRF plant
and land purchasing are the biggest initial cost.
These two costs are items that make net present
value become negative. Hence, instead of
buying new land area and construct new plant,
it is better to increase number of waste-bank
branches without building a centralized plant.
• Expand area of service coverage to increase
input quantity
For MRF operator, in order to ensure
continuity of supplies and higher quantity of
recyclable input, it is recommended to expand
the area of service coverage, not only area within
the City of Malang, but also in neighbouring
region. The Waste Bank of Malang should
sign agreement with local authorities and local
commercials (supermarkets and convenience
stores) to guarantee the recyclable supplies.
• Sign long term agreement to get better selling
prices
It is also suggested to have a long duration
contract with industries that require recycled
22
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
waste for their production. Long-term
contracts means the MRF have opportunity to
increase the selling price of recyclables.
Further Work
Further work should be conducted in analysing
existing market of recycled waste in Indonesia.
Until this research is completed, there is no
scientific research that study about condition of
recyclable market (consumer and commercial
scale) and its future development. Data of
recyclable waste import from Industrial Ministry
of Indonesia from 2007 – 2011 shows that
recyclable have firm markets in Indonesia
(Industries, 2011). If only majority of industries,
which usually import recyclable, stop import and
start to purchase recyclable from the waste bank,
the recycling practice in Indonesia will be welldeveloped.
REFERENCES
Astrup, T., Fruergaard, T., & Christensen, T. H. (2009).
Recycling of plastic: accounting of greenhouse
gases and global warming contributions. Waste
Management & Research.
C.K.Smoley. (1993). Material recovery facility design
manual. Chelsea, MI: Chelsea, MI : C.K. Smoley.
Damanhuri, E. (2005). Some principal issues on
municipal solid waste management in Indonesia.
Paper presented at the Expert Meeting on Waste
Management in Asia-Pacific Islands, Oct.
Damgaard, A., Larsen, A. W., & Christensen, T.
H. (2009). Recycling of metals: accounting of
greenhouse gases and global warming contributions.
Waste Management & Research.
Davis, S. (2014a). Network Formation. Course Note.
School of Civil Engineering and Environmental.
University of New South Wales Australia. Australia.
Retrieved from http://moodle.telt.unsw.edu.
au/pluginfile.php/1019383/mod_resource/
content/1/Lecture_02a_Network_Formation.pdf
Davis, S. (2014b). Stochastic Networks. Course note.
School of Civil Engineering and Environmental.
University of New South Wales Australia. Australia.
Retrieved from http://moodle.telt.unsw.edu.
au/pluginfile.php/1019412/mod_resource/
content/3/lecture_08_stochastic_projects.pdf
Glaub, J. C., Jones, D. B., & Savage, G. M. (1982).
The design and use of trommel screens for processing
municipal solid waste. Paper presented at the Proc.
ASME National Solid Waste Processing Conf., New
York.
Hariyani, N., Prasetyo, H., & Soemarno, S. (2013).
PARTISIPASI
PEMULUNG
DALAM
PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA SUPIT
URANG MULYOREJO SUKUN KOTA
MALANG. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari,
4 (1).
Industries, I. M. o. (2011). Data of waste import of
Indonesian industries. Retrieved October 5, 2015,
from
http://www.kemenperin.go.id/statistik/
query_komoditi.php?komoditi=waste&negara=&j
enis=i&action=Tampilkan
Jain, R., Urban, L., Balbach, H., & Webb, M. D.
(2012). Handbook of environmental engineering
assessment: strategy, planning, and management:
Butterworth-Heinemann.
Kristanto, G. A., Gusniani, I., & Ratna, A. THE
PERFORMANCE OF MUNICIPAL SOLID
WASTE RECYCLING PROGRAM IN DEPOK,
INDONESIA.
Larsen, A. W., Merrild, H., & Christensen, T. H. (2009).
Recycling of glass: accounting of greenhouse
gases and global warming contributions. Waste
Management & Research.
Malang, B. S. (2014). Purchasing price and Selling
Price of Recyclable Waste. Retrieved 20 September,
2015, from http://banksampahmalang.com/home.
php?page=profil/daftar_harga
Malang, B. S. (2015a). Recycled waste price list.
Retrieved May 14, 2015
Malang, B. S. (2015b). Workflow of Waste Bank of
Malang. Retrieved 25 September, 2015, from http://
banksampahmalang.com/home.php?page=profil/
pengurus_nasabah
Malang, S. a. L. A. C. o. (2013). Waste Management in
Malang City. Malang: Sanitary and Landscaping
Agency City of Malang.
Manser, A., & Keeling, A. (1996). Practical handbook
of processing and recycling municipal waste: CRC
Press.
Merrild, H., Damgaard, A., & Christensen, T. H. (2009).
Recycling of paper: accounting of greenhouse
gases and global warming contributions. Waste
Management & Research, 27(8), 746-753.
Nezhad, A. A. (2014). Project Selection. Course note
of Project Management Framework. School of Civil
and Environmental Engineering. University of New
South Wales. Australia.
Office, C. o. M. S. a. L. (2013). Waste Management in
City of Malang. Malang-Indonesia: City of Malang
Sanitation and Landscaping Office.
Office, P. a. c. r. (2015). Malang City residents
population. Retrieved May 14, 2015, from http://
dispendukcapil.malangkota.go.id/
Pasang, H., Moore, G. A., & Sitorus, G. (2007).
Neighbourhood-based waste management: a
solution for solid waste problems in Jakarta,
Indonesia. Waste management, 27 (12), 1924-1938.
Rahajeng, A. S., Meidiana, C., & Anggraeni, M. (2015).
Pengelolaan Tpa Supit Urang Dengan Keterlibatan
Sektor Informal. Jurnal Tata Kota dan Daerah, 6
(2).
Raharjo, S., Matsumoto, T., Ihsan, T., Rachman, I., &
Gustin, L. Community-based solid waste bank
program for municipal solid waste management
improvement in Indonesia: a case study of
Padang city. Journal of material cycles and waste
management, 1-12.
Schloemann, E., Reiner, M., & Pendley, A. (1979).
High performance magnetic separator for removal
of partially magnetic particles from shredded waste.
Magnetics, IEEE Transactions on, 15(6), 15321534.
Sicular, D. T. (1992). Scavengers, recyclers, and solutions
for solid waste management in Indonesia: Center for
Southeast Asia Studies, University of California at
Berkeley.
Supriyadi, S., Kriwoken, L. K., & Birley, I. (2000).
Solid waste management solutions for Semarang,
Indonesia. Waste management and Research, 18(6),
557-566.
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
23
24
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
evaluasi peningkatan kinerja campuran
laston lapis aus (ac-wc) dengan perbaikan
sifat reologi visco-elastic aspal ditambah
asbuton murni
Oleh :
Elvibryna Nofriza
Auditor Pertama Pada Inspektorat Wilayah I, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR
Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Email: elvibrynanz@gmail.com
ABSTRAK
Umur perkerasan jalan tidak terlepas dari sifat bahan terutama aspal sebagai bahan
pengikat. Dengan adanya perbaikan sifat reologi dari aspal, diharapkan mampu
mengatasi berbagai permasalahan kerusakan pada awal umur rencana yang diakibatkan
oleh suhu tinggi dan beban lalu lintas padat. Dari penelitian perbaikan sifat reologi
aspal terdahulu, kadar asbuton optimum yang disarankan adalah sebesar 10%. Untuk
melihat kinerja campuran terhadap perbaikan sifat reologi aspal, dilakukan penelitian
dengan 3 variasi kadar asbuton dalam campuran aspal. Reologi dasar aspal diuji dan
dibandingkan dengan Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Revisi 3. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan asbuton maka nilai penetrasi semakin
kecil, nilai indeks penetrasi dan titik melembek semakin besar, begitu pula dengan nilai
viskositas yang menaikkan suhu pencampuran dan pemadatan.
Hasil Pengujian Marshall menunjukkan bahwa penambahan kadar Asbuton dalam
aspal pen 60/70 dapat meningkatkan Stabilitas Marshall. Berdasarkan uji Marshall
Immersion nilai IKS paling baik adalah pada campuran dengan 8% asbuton yaitu
97,64%. Nilai Modulus Resilien dengan pengujian UMATTA nilai tertinggi terdapat
pada campuran dengan 10% Asbuton. Sedangkan hasil pengujian deformasi permanen
dengan Wheel Tracking Machine menunjukkan stabilitas dinamis paling baik
ditunjukkan oleh campuran dengan kadar asbuton 8%. Untuk uji fatigue dengan Four
Point Bending Apparatus menunjukkan yang paling tahan terhadap retak lelah adalah
campuran dengan kadar asbuton 8% yang ditandai dengan nilai Phase Angle (δ) yang
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
25
paling kecil adalah pada campuran dengan 10% asbuton. Dari hasil pengujian diperoleh
bahwa campuran aspal pen 60/70 ditambah 8% asbuton dengan kadar aspal optimum
5,94% menunjukkan kinerja lebih baik. Penambahan aspal Asbuton murni sebagai aditif
dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan ketahanan terhadap deformasi
permanen dan retak lelah.
Kata Kunci : AC-WC, Asbuton, Modulus Resilien, Deformasi Permanen, Fatigue
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki Sumber Daya Alam yang
belum diamanfaatkan secara optimal, salah satunya
adalah Asbuton. Asbuton merupakan aspal alam
dengan deposit terbesar dibanding deposit aspal
alam lainnya di dunia (Hetzel, 1936), dan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengikat pada
perkerasan jalan menggantikan aspal minyak.
Ada beberapa permasalahan perkerasan jalan yang
dihadapi oleh Indonesia yaitu perkerasan yang
mengalami retak lelah akibat beban lalu lintas yang
padat dan suhu yang tinggi. Asbuton merupakan
material yang dapat meningkatkan ketahanan
terhadap deformasi permanen dan Fatigue pada
campuran serta dapat menjadi material pengisi
atau pengikat pada suatu campuran beraspal.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut pada material
campuran beraspal agar diperoleh campuran yang
tahan terhadap Fatigue dan deformasi permanen.
Langkah perbaikan kinerja pada campuran
material tersebut dapat melalui perbaikan dalam
pemilihan agregat ataupun dengan perbaikan
reologi aspal dan Asbuton dapat dijadikan sebagai
salah satu solusi dari permasalahan tersebut.
Berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang
26
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
mengkaji reologi aspal dengan penambahan variasi
kadar Asbuton pada aspal minyak pen 60/70 yang
ditinjau dari beberapa parameter dan kriterianya
didapatkan kadar optimum penggunaan Asbuton
murni sebesar sekitar 10%, dimana terdapat
peningkatan kekakuan bitumen, ketahanan terhadap deformasi permanen, dan penurunan
terhadap kriteria Fatigue cracking (Indriyanti Eva
Wahyu, 2012 dan Ekawati Basyir, 2014).
Penambahan asbuton murni ini diharapkan
mampu memperbaiki sifat dari aspal tersebut
dan dapat bersinergi dengan baik pada campuran
aspal Lapis Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC)
yang merupakan lapisan paling atas dari struktur
perkerasan yang berhubungan langsung dengan
roda kendaraan, mempunyai tekstur yang lebih
halus dibandingkan dengan Lapis Beton Aspal
Lapis Pengikat (AC-Binder Course). Disamping
sebagai pendukung lalu lintas, lapisan ini
mempunyai fungsi utama sebagai pelindung
konstruksi di bawahnya dari kerusakan akibat
pengaruh air dan cuaca, sebagai lapisan aus
dan menyediakan permukaan jalan yang rata
dan tidak licin (Bina Marga Dept. PU, 1987).
Sehingga terjadinya retak yang rentan terjadi pada
campuran beraspal diharapkan mampu diatasi
oleh campuran beton aspal yang dimodifikasi
dengan menggunakan asbuton murni tersebut.
1.2. Ruang Lingkup Penelitian
1. Asbuton yang digunakan adalah asbuton
murni yang telah diekstraksi murni mendekati
100% yang diproduksi oleh Wika Bitumen.
Sedangkan aspal pen 60/70 yang digunakan
adalah produksi dari Shell.
2. Variasi perbandingan aspal Pen 60/70 dan
asbuton yang digunakan, yaitu 100% aspal Pen
60/70, 92% aspal Pen 60/70 + 8% asbuton,
dan 90% aspal Pen 60/70 + 10% asbuton.
3. Jenis campuran beraspal yang digunakan
adalah Laston Lapis Aus (AC-WC).
4. Perencanaan campuran beraspal panas menggunakan metoda Marshall dan pendekatan
kepadatan mutlak untuk mendapatkan KAO
(Kadar Aspal Optimim) dari Laston Lapis Aus
(AC-WC).
5. Pengujian laboratorium pada kondisi KAO
(Kadar Aspal Optimum) campuran terdiri
dari:
a. Uji Marshall Immersion (Perendaman
Marshall).
b. Uji Modulus Resilient dengan alat
UMATTA (Universal Material Testing
Apparatus Asphalt).
c. Uji Stabilitas dinamis (untuk mengetahui
tingkat ketahanan campuran terhadap
deformasi permanen) dengan alat Wheel
Tracking.
d. Uji Fatigue dengan alat Four Point Bending
Apparatus.
6. Pengujian yang dilakukan mengacu pada
Spesifikasi Umum Bina Marga Kementerian
Pekerjaan Umum Tahun 2010 Revisi 3, SNI,
ASTM dan AASHTO.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Rencana kerja pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Program Kerja
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
27
III. PENYAJIAN DATA
3.1. Hasil Pengujian Agregat
Hasil pengujian karakteristik agregat dilakukan dengan mengacu pada peraturan Spesifikasi Umum
Bina Marga Kementerian PU Tahun 2010 (Revisi 3). Tabel 1 berikut menampilkan data karakteristik
agregat.
Tabel 1. Hasil Pengujian Karakteristik Agregat
3.2. Hasil Pengujian Aspal
Hasil pengujian Karakteristik Aspal pen 60/70 dan Aspal dengan penambahan 5% Asbuton, aspal pen
60/70 dengan penambahan 10% Asbuton dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengujian Karakteristik Aspal
28
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
3.3. Hasil Pengujian Marshall
Pengujian dilakukan pada Kadar Aspal Optimum dari masing-masing komposisi aspal modifikasi. Untuk
mendapatkan nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) digunakan perencanaan dengan Metoda Marshall
dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak. Hal ini sesuai dengan spesifikasi dari Departemen Pekerjaan
Umum mengenai Pedoman Teknis Perencanaan Campuran Beraspal dengan Pendekatan Kepadatan
Mutlak tahun 1999.
Kadar aspal optimum ditentukan dengan menggunakan metode Marshall. Beberapa parameter seperti
stabilitas, kelelahan, kepadatan, volume rongga dalam campuran (VIM), volume rongga dalam mineral
agregat (VMA) dan rongga terisi aspal (VFA), diperoleh dari hasil analisis terhadap pengujian Marshall.
Nilai KAO disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Parameter Marshall Semua Campuran
3.4. Hasil Pengujian Modulus Resilien dengan UMATTA
Pengujian Modulus Resilien dilakukan dengan menggunakan alat UMATTA, yaitu menggunakan benda
uji diametral seperti benda uji Marshall dan dibuat pada rentang Kadar Aspal Optimum. Pengujian
mengacu pada ASTM D 4123-82 (1987) dengan temperatur yang dipakai yaitu 25°C, 35°C, 45°C. Hasil
pengujian untuk ketiga variasi ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Pengujian Modulus Resilien dengan UMATTA
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
29
3.5. Hasil Pengujian Wheel Tracking
Pengujian Wheel Tracking dilakukan pada 2 variasi temperatur yaitu 45°C dan 60°C. Masing-masing
benda uji dibuat pada kondisi Kadar Aspal Optimum (KAO). Hasil Pengujian Wheel Tracking
ditunjukkan pada Tabel 5 dan Tabel 6 dibawah ini:
Tabel 5. Hasil Pengujian Wheel Tracking Suhu 45°C
Tabel 6. Hasil Pengujian Wheel Tracking Suhu 60°C
3.6. Hasil Pengujian Fatigue
Metode pengujian ini mengacu pada AASHTO T 321-03. Hasil Pengujian Fatigue ditunjukkan pada
Tabel 7 berikut ini:
30
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Tabel 7. Hasil Pengujian Fatigue
Kelelahan merupakan salah satu parameter
kriteria kerusakan (failure) pada campuran
beraspal dalam konsep metode mekanistik selain
deformasi permanen (permanent deformation).
Adapun pendekatan yang digunakan untuk
mengkaji parameter ini adalah Pembebanan 4
Titik (4 Point Loading) pada balok.
IV. ANALISIS DATA
4.1. Analisis Pengujian Agregat
Agreagat secara keseluruhan memenuhi spesifikasi
Umum 2010 (revisi 3) untuk kriteria kuat dan
awet. Untuk memenuhi kriteria bersih agregat
kasar perlu dilakukan pencucian karena kadar
partikel halus yang melekat banyak dan tidak
merata.
4.2. Analisis Pengujian Aspal
a. Kenaikan kadar asbuton pada aspal pen 60/70
menurunkan nilai penetrasi dan titik lembek
aspal semakin meningkat menunjukkan bahwa
sifat aspal semakin keras dan kaku dengan
penambahan asbuton. Sifat keras dan kaku
aspal tersebut dapat meningkatkan kekakuan
campuran karena dipengaruhi oleh Modulus
Kekakuan aspal (Sbit).
b. Kenaikan kadar asbuton meningkatkan suhu
pencampuran dan pemadatan sehingga
memerlukan energi yang lebih besar.
c. Kepekaan Aspal yang meningkat berdasarkan
nilai Indeks Penetrasi aspal yang semakin
negatif menunjukkan bahwa temperatur
sangat mempengaruhi sifat viskoelastis aspal.
Dimana pada kondisi dingin aspal berupa semi
padat dan pada kondisi panas berupa cair.
Kepekaan ini akan mempengaruhi handling
pada saat pencampuran dan pemadatan. Nilai
Indeks Penetrasi seluruh Aspal disajikan pada
Tabel 8
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
31
Tabel 8. Hasil perhitungan Penetration Indeks (PI)
aspal Pen 60/70 memiliki kepadatan lebih
tinggi bila dibandingkan dengan campuran
Pen 60/70. Penambahan Asbuton dilihat pada
setiap kadar aspal maupun pada kadar aspal
optimum.
Tabel 9. Suhu Pencampuran dan Pemadatan
Temperatur pencampuran ditentukan pada
saat nilai viskositas aspal sebesar 170 ± 20 Cst,
sedangkan temperatur pemadatan ditentukan
pada nilai viskositas aspal sebesar 280 ± 30 Cst.
Grafik hubungan Viskositas dan suhu ditunjukkan
pada Gambar 2.
Gambar 2. Nilai viskositas pada aspal dengan kadar
Asbuton 0%, 8% dan 10%
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa dengan
penambahan asbuton, nilai viskositas semakin
meningkat sehingga suhu pencampuran dan
pemadatan juga semakin meningkat.
4.3 Analisis Pengujian Marshall
4.3.1 Volumetrik Campuran
Nilai kepadatan, VFA, VIM dan VMA terhadap
kadar aspal ditunjukkan pada Gambar 5.
Berdasarkan grafik tersebut untuk campuran
32
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Gambar 3. Nilai Kepadatan, VIM, VMA, dan VFA
campuran terhadap kadar aspal
Campuran Aspal Modifikasi Asbuton 8% dan
10% memiliki nilai kepadatan lebih rendah dibandingkan dengan campuran Aspal pen 60/70.
Hal ini terjadi karena pengisian rongga campuran
pada Aspal pen 60/70 dapat lebih mudah dan
cepat bila dibandingkan dengan Aspal Modifikasi
Asbuton 8% dan 10%, karena Aspal Modifikasi
Asbuton 8% dan 10% memiliki sifat yang lebih
keras dan kaku dibandingkan dengan Aspal
pen 60/70. Campuran beraspal Asbuton 0%
memiliki nilai VIM yang lebih tinggi, namun
memenuhi ketentuan dari Spesifikasi Umum
Bina Marga (revisi 3) yaitu 3–5%. Perbedaan nilai
VIM pada ketiga campuran tersebut sangat kecil
(tidak signifikan). Nilai VIM yang rendah
menunjukkan kemampuan untuk mengalir yang
cukup baik.
Campuran beraspal Asbuton 0% memiliki nilai
VMA yang lebih tinggi dibandingkan campuran
beraspal Asbuton 8% dan 10%. Nilai kepadatan
yang besar menyebabkan nilai VMA yang rendah,
sehingga aspal yang menyelimuti agregat menjadi
terbatas dan menghasilkan ketebalan aspal yang
tipis. Campuran beraspal Asbuton 10% memiliki
nilai VFA yang lebih tinggi dibandingkan dengan
campuran beraspal Asbuton 0% dan 8%. Nilai
VFA merupakan kandungan aspal efektif. Nilai
VFA berkaitan dengan parameter VIM. Semakin
kecil rongga dalam campuran diakibatkan oleh
semakin banyaknya lapisan aspal yang menyelimuti
agregat dan mengisi rongga dalam campuran serta
untuk membatasi nilai VMA yang mendekati nilai
minimum sehingga akan membutuhkan nilai VFA
yang tinggi.
4.3.2 Stabilitas Marshall
Campuran dengan penambahan asbuton memiliki
stabilitas cenderung lebih tinggi (lebih kaku)
dibandingkan campuran asal pen 60/70 dilihat
dari stabilitas campuran yang meningkat. Hal
tersebut sejalan dengan nilai penetrasi aspal yang
semakin menurun, menunjukkan sifat aspal yang
semakin kaku.
Gambar 4. Nilai Stabilitas dan Flow terhadap kadar aspal
Hasil pengujian flow pada penelitian menunjukkan
bahwa untuk tingkat kadar aspal dibawah 6%,
sebaran nilai flow tidak merata sehingga tidak
bisa dilihat kecenderungan nilai flow. Kondisi
ini disebabkan karena penambahan Asbuton
sebanyak 8% dan 10% membuat aspal menjadi
aspal keras dengan penetrasi rendah yang
mempunyai temperatur pencampuran lebih
tinggi daripada aspal Pen 60/70. Bertambahnya
temperatur pencampuran menyebabkan flow akan
naik. Hal ini menunjukkan bahwa film aspal
yang menyelimuti agregat terlalu tebal, sehingga
campuran menjadi semakin plastis.
Gambar 5. Nilai MQ terhadap Kadar Aspal
Berdasarkan gambar diatas kita ketahui bahwa nilai
MQ pada campuran Aspal Modifikasi Asbuton
8% dan 10% lebih tinggi daripada campuran Aspal
pen 60/70. Hal ini sesuai dengan nilai stabilitas
yang didapatkan, dimana nilai stabilitas pada Aspal
Modifikasi Asbuton 8% dan 10% lebih tinggi yang
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
33
berarti campuran lebih kaku.
4.4. Analisis Pengujian Modulus Resilien
Campuran
Pengujian menggunakan alat UMATTA (Universal Material Testing Aparatus) pada suhu 25°C,
35°C dan 45°C. Nilai Modulus resilien hasil
pengujian ditunjukkan pada gambar berikut ini.
4.5. Analisis Pengujian Wheel Tracking
Pengujian deformasi dengan Wheel Tracking
Machine bertujuan untuk mensimulasikan
deformasi yang terjadi pada perkerasan akibat
lintasan kendaraan. Hasil pengujian dilakukan
pada 2 (dua) variasi temperatur yaitu 45°C dan
60°C menunjukkan bahwa deformasi meningkat
sejalan dengan peningkatan suhu, seperti terlihat
pada Gambar 7.
Gambar 6. Nilai Modulus Resilien
Dari Gambar 6 diatas menunjukkan bahwa
kenaikan suhu sangat berpengaruh terhadap
penurunan nilai Modulus Resilien. Pada suhu
pengujian 25°C, 35°C dan 45°C campuran
beraspal dengan penambahan 10% Asbuton
memiliki nilai Modulus Resilien yang lebih besar
dibandingkan campuran beraspal Pen 60/70 dan
penambahan 8% Asbuton. Nilai stabilitas aspal
dengan penambahan Asbuton akan memperbesar
nilai Modulus Resiliennya. Hal ini dikarenakan
pada suhu tinggi aspal akan menjadi material
yang semakin tidak elastis sehingga kemampuan
aspal dalam mengikat akan sangat berkurang,
menjadikan ikatan antara agregat dalam campuran
menjadi tidak interlocking.
Pada saat aspal tidak lagi sebagai pengikat dalam
campuran, maka campuran yang akan mempunyai
nilai Modulus Resilien besar adalah campuran
yang memiliki aspal dengan nilai penetrasi indeks
dan Sbit yang besar, yaitu aspal dengan penambahan
10% Asbuton.
34
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Gambar 7. Hubungan Deformasi dengan Waktu pada
Suhu Uji 45°C dan 60°C
Gambar 8. Hubungan Total deformasi terhadap suhu
Pada suhu 45°C terlihat bahwa campuran pen
60/70 mempunyai total deformasi paling tinggi,
sedangkan pada suhu 60°C campuran yang
memiliki nilai total deformasi paling tinggi
adalah asbuton 10%, dan untuk campuran
asbuton 8% memiliki nilai total deformasi
paling kecil pada kedua suhu tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa campuran asbuton 8%
lebih tahan terhadap perubahan temperatur
dibandingkan campuran asbuton 10% dan
campuran pen 60/70.
campuran ini yang mempunyai kinerja lebih baik
pada suhu sedang. Tetapi pada temperatur yang
lebih tinggi (60°C) kinerja campuran asbuton 8%
lebih baik dibandingkan dengan campuran
lainnya. Hal ini bisa disebabkan oleh pengadukan
campuran yang tidak rata serta pengecekan suhu
pencampuran dan pemadatan yang tidak teliti.
Pada saat melakukan pencampuran pada campuran
asbuton 10% dimana nilai PI (Penetration Indeks)
nya lebih baik bila dibandingkan dua campuran
lainnya, sehingga seharusnya campuran tersebut
lebih tahan terhadap perubahan suhu. Secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kadar
asbuton optimum dari pengujian Wheel Tracking
adalah 8% asbuton.
4.6. Analisis Pengujian Fatigue
Pengujian kelelahan ini dilakukan dengan
menggunakan kontrol terhadap regangan.
Pada campuran yang diuji diberikan 3 (tiga)
tingkat regangan yaitu 500 με, 600 με dan 700
με. Pemilihan besar regangan ini didasarkan
pada ketentuan AASHTO T 321-03 yang
mensyaratkan nilai regangan berkisar antara 250
με – 750 με. Hubungan antara regangan dan umur
kelelahan yang dilakukan hingga kondisi runtuh
tercapai bagi setiap variasi campuran, disajikan
dalam Gambar 10.
Gambar 9. Hubungan Stabilitas Dinamis dan Laju
deformasi terhadap suhu
Nilai stabilitas dinamis akan menurun sejalan
dengan perubahan temperatur. Pada temperatur
sedang (45°C) campuran asbuton 10% menghasilkan nilai stabilitas dinamis yang lebih
tinggi. Hal ini sejalan juga dengan laju deformasi
Gambar 10. Hubungan Umur Kelelahan dan Regangan
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
35
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa nilai
regangan berbanding terbalik dengan umur
kelelahan, dimana semakin besar regangan yang
diberikan maka jumlah siklus pembebanan akan
semakin pendek. Hal ini disebabkan karena
untuk mempertahankan regangan tersebut maka
makin besar regangan yang diberikan akan
menghasilkan tegangan yang semakin besar pula.
Akibatnya beban yang diterima campuran
akan semakin besar dan berdampak pada
makin cepatnya campuran tersebut mengalami
keruntuhan. Secara umum, campuran dengan
penambahan Asbuton memiliki ketahanan yang
lebih baik dibandingkan dengan campuran aspal
Pen 60/70.
Pada Gambar 11 secara garis besar dapat dilihat
bahwa Modulus kekakuan lentur pada 8%
Asbuton mempunyai nilai paling tinggi diantara
kedua campuran lainnya pada saat nilai regangan
500 με, 600 με dan 700 με. Hal ini dikarenakan
untuk mempertahankan regangan seperti yang
ditentukan diawal, dibutuhkan nilai tegangan. Nilai
tegangan yang didapatkan pada setiap campuran
untuk menghasilkan regangan yang sama berbeda
antara satu dengan lainnya. Nilai tegangan awal
pada campuran dengan penambahan 8% Asbuton
lebih besar dibandingkan kedua campuran
lainnya, sehingga nilai Modulus kekakuan lentur
dengan penambahan 8% Asbuton lebih besar bila
dibandingkan yang lainnya pula.
Sejalan dengan nilai Modulus kekakuan lentur,
trend yang sama terjadi terhadap nilai Modulus
elastisitas, dimana peningkatan Modulus elastisitas
juga berpengaruh terhadap peningkatan umur
kelelahan. Pada campuran dengan penambahan
8% Asbuton yang diberi regangan 500 με, 600
με, dan 700 με nilai Modulus elastisitasnya
juga paling besar bila dibandingkan dengan 2
campuran lainnya. Hal ini merupakan pengaruh
dari besarnya tegangan awal pada campuran 8%
asbuton tersebut.
Gambar 11. Hubungan Flexural Stiffness dan Modulus
of Elasticity dan Regangan
36
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Gambar 12. Nilai Phase Angle (δ) terhadap penambahan
asbuton ekstraksi murni
Gambar 12 menunjukkan bahwa peningkatan kadar Asbuton semakin menurunkan nilai Phase
Angle. Penurunan tersebut semakin signifikan pada saat 500 με. Hal ini menjelaskan bahwa
peningkatan kadar Asbuton membuat aspal menjadi semakin keras atau menuju sifat elastiknya.
Sifat termoplastik aspal menjelaskan bahwa dengan peningkatan temperatur, aspal akan menuju sifat
viscous.
Secara keseluruhan hasil rekapitulasi pengujian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 10. Rekapitulasi hasil pengujian campuran AC-WC ditambahkan asbuton
: Hasil pengujian paling baik
Dari Tabel 10 dapat ditarik kesimpulan bahwa
kadar asbuton optimum yang disarankan untuk
campuran AC-WC (Spesifikasi Umum Bina Marga
2010 revisi 3) dalam pen 60/70 adalah 8%. Untuk
hasil pengujian Marshall dan UMATTA campuran
dengan asbuton 10% memang menunjukkan hasil
yang lebih baik, tapi hasil tersebut tidak berbeda
jauh dengan campuran asbuton 8%.
Selanjutnya hasil pengujian Indeks Kekuatan
Sisa (IKS) campuran asbuton 8% memiliki nilai
yang lebih baik bila dibandingkan dengan dua
campuran lainnya. Hasil uji lanjut Wheel Tracking
dan Fatigue juga memiliki hasil paling baik yaitu
lebih tahan terhadap deformasi permanen dan
fatigue cracking dibandingkan dua campuran
lainnya. Sedangkan jika kadar asbuton pada
campuran melebihi kadar asbuton optimum
(8%) yaitu sebesar 10%, kinerja campuran terhadap deformasi permanen dan fatigue cracking
mengalami penurunan kinerja sebagaimana ditunjukkan pada tabel tersebut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
37
1. Evaluasi Karakteristik Aspal, Marshall dan
kepadatan mutlak adalah sebagai berikut:
a. Pengujian karakteristik aspal, Pen 60/70
dengan penambahan Asbuton menghasilkan
kinerja aspal paling baik, membuktikan bahwa
penambahan Asbuton dapat memperbaiki
sifat reologi aspal Pen 60/70, ditunjukkan
dengan nilai Penetrasi Indeks (PI) paling
tinggi adalah (-0.158) yang menunjukkan
peningkatan ketahanan terhadap perubahan
suhu. Selanjutnya terjadi peningkatan kekerasan pada bitumen (nilai Pen mengalami
penurunan) dimana nilai penetrasi aspal pen
60/70 sebesar 64dmm, campuran dengan
8% asbuton sebesar 44dmm, dan campuran
dengan 10% asbuton sebesar 39,1dmm. Untuk
nilai titik lembek (Softening Point) mengalami
peningkatan: untuk aspal pen 60/70 sebesar
51°C, campuran dengan 8% asbuton sebesar
55°C, dan campuran dengan 10% asbuton
meningkat menjadi 57°C serta mempunyai
nilai daktilitas lebih besar dari 100cm.
b. Hubungan penambahan kadar Asbuton
terhadap suhu adalah bahwa seiring bertambahnya kadar Asbuton maka terjadi
peningkatan suhu pencampuran dan suhu
pemadatan, ditunjukkan dengan hasil pengujian viskositas yang semakin meningkat.
c. Berdasarkan hasil pengujian Marshall
Immersion, penambahan Asbuton dalam
campuran AC-WC dapat menaikkan nilai
VFA dan nilai stabilitas campuran AC-WC;
menurunkan nilai kepadatan dan VIM; serta
memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap
pengaruh infiltrasi air dan suhu tinggi. Nilai
IKS (Indeks Kekuatan Sisa) paling baik pada
campuran dengan 8% asbuton yaitu 97,64%
sehingga campuran ini memiliki ketahanan
terhadap pengaruh air yang lebih baik bila
38
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
dibandingkan dengan campuran pen 60/70
yang memiliki IKS 95,12% dan campuran
dengan 10% asbuton sebesar 96,62%.
2. Evaluasi nilai Modulus Resilien dari
campuran AC-WC
a. Perbaikan sifat reologi dibuktikan dengan
peningkatan nilai Modulus Resilien pada
campuran dengan penambahan asbuton 10%.
Nilai Modulus Resilien pada suhu 25°C
sebesar 5549 MPa, 35°C sebesar 1734 MPa
dan 45°C sebesar 628 MPa. Campuran ACWC dengan penambahan 10% Asbuton
memiliki nilai Modulus Resilien paling baik
diantara kedua campuran lainnya.
b. Perbandingan nilai Modulus Resilien hasil
Pengujian dan hasil perhitungan menggunakan
persamaan Nottingham menunjukkan bahwa
nilai Modulus Resilien pada campuran ACWC dengan penambahan 10% Asbuton
pada suhu 45°C paling baik diantara kedua
campuran lainnya, dimana rasio yang diperoleh
sebesar 1,02.
c. Rasio rata-rata nilai pengujian di laboratorium
dengan perhitungan Modulus Resilien secara teoritis adalah sebesar 1,07. Hal ini
membuktikan bahwa persamaan Nottingham
dapat digunakan untuk perhitungan nilai
Modulus kekakuan campuran AC-WC
dengan penambahan Asbuton.
3. Evaluasi kinerja ketahanan deformasi
campuran dengan Wheel Tracking Test
a. Pada temperatur sedang (45°C), campuran
AC-WC dengan penambahan asbuton 10%
mempunyai nilai stabilitas dinamis paling
tinggi. Sedangkan pada temperatur tinggi
(60°C), campuran dengan penambahan
asbuton 8% mempunyai nilai stabilitas
dinamis paling tinggi, dan campuran dengan
penambahan asbuton 10% mengalami penurunan stabilitas dinamis. Ini menunjukkan
bahwa pada temperatur tinggi campuran ini
bersifat lebih lentur.
b. Peningkatan laju deformasi pada campuran
akan bertambah seiring dengan turunnya nilai
stabilitas dinamis.
c. Hasil total deformasi pada campuran ACWC, menunjukkan bahwa penambahan kadar asbuton ke dalam campuran aspal dapat
meningkatkan ketahanan terhadap total deformasi yang terjadi.
d. Kadar penambahan asbuton paling optimum
berdasarkan hasil pengujian Wheel Tracking
adalah 8%.
4. Evaluasi ketahanan campuran terhadap retak
lelah (fatigue cracking) berdasarkan Controlled
Strain
a. Pengujian fatigue menunjukkan bahwa
penggunaan Asbuton pada campuran ACWC meningkatkan umur kelelahan bila
dibandingkan campuran AC-WC tanpa
Asbuton (Pen 60/70), dimana pada regangan
500με diperoleh umur kelelahan pada
pen 60/70 sebesar 55550 Cycles, dengan
penambahan 8% Asbuton sebesar 62520
Cycles, sedangkan pada campuran dengan
penambahan 10% Asbuton umur kelelahan
mengalami penurunan menjadi 44330 Cycles.
b. Perbandingan umur kelelahan hasil pengujian dan hasil perhitungan menggunakan
persamaan Nottingham menunjukkan bahwa,
umur kelelahan pada campuran AC-WC
dengan penambahan 8% Asbuton pada
regangan 700με memberikan koreksi yang
paling baik diantara kedua campuran lainnya,
dimana rasio yang diperoleh sebesar 1,12.
c. Nilai Phase Angle (δ) akan menurun seiring
dengan peningkatan kadar asbuton ekstraksi
murni dalam campuran dan makin signifikan
pada saat pengujian dengan regangan 500με.
Nilai Phase Angle (δ) yang makin kecil
menunjukkan bahwa campuran tersebut lebih
elastis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
campuran tersebut memiliki ketahanan lebih
baik terhadap fatigue cracking.
d. Kadar penambahan asbuton yang paling
optimum berdasarkan hasil pengujian fatigue
adalah 8%.
5. Kesimpulan Keseluruhan Pengujian
Berdasarkan seluruh pengujian yang dilakukan
dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis campuran
yang memiliki kinerja yang paling baik dari
ketiga jenis campuran adalah campuran dengan
8% asbuton, (Tabel 10) yang dapat disimpulkan
bahwa kadar asbuton optimum yang disarankan
untuk campuran AC-WC (Spesifikasi Umum
Bina Marga 2010 revisi 3) dalam pen 60/70
adalah 8%, ditunjukkan dengan hasil uji lanjut
Wheel Tracking dan Fatigue yang memiliki hasil
paling baik, yaitu lebih tahan terhadap deformasi
permanen dan fatigue cracking dibandingkan dua
campuran lainnya.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, diusulkan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Penambahan kadar asbuton ke dalam
campuran harus dibatasi agar tidak terjadi
penurunan kinerja campuran utamanya pada
parameter kekakuan dan total deformasi.
2. Perlu adanya pengembangan spesifikasi khusus
untuk Asbuton murni hasil Ekstraksi dan
menyertakan tingkat penambahan kadar aspal
pada pengujian karakteristik aspal.
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
39
3. Agar melakukan konfirmasi sifat reologi aspal
untuk mengetahui nilai Performance Grade
(PG) pada jenis campuran AC-WC ini.
4. Melakukan pengujian reologi campuran untuk
campuran HRA & SMA berdasarkan kadar
asbuton optimum.
DAFTAR PUSTAKA
AASHTO. (1998). Standard Spesification for
Transportation Materials and Methods of Sampling
and Testing, Washington D.C.
Affandi, Furqon. (2006a). Hasil Pemurnian Asbuton
Lawalele sebagai Bahan pada Campuran Beraspal
Untuk Perkerasan Jalan. Jurnal Jalan-Jembatan vol
23 no. 3 November 2006, Puslitbang Jalan dan
Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum.
Affandi, Furqon.(2006b). Ekstraksi Aspal Asbuton untuk
Campuran Beraspal Panas. Jurnal Jalan-Jembatan
vol 23 no. 1 2006, Puslitbang Jalan dan Jembatan,
Departemen Pekerjaan Umum.
Basyir, Ekawati. (2014). Analisis Pengaruh Waktu
Pembebanan (Time Sweep) Terhadap Sifat Reologi
Dasar dan Reologi Mekanistik pada Aspal Pen 60/70
dengan Penambahan Asbuton Murni. Tesis, Program
Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Djunaedi, Rico Octriyana. (2014). Kajian Karakteristik
Reologi
Campuran
Lataston
(HRS-WC)
Berdasarkan Spesifikasi Kementerian Pekerjaan
Umum Menggunakan Aspal Pen 60/70 Dengan
Penambahan Asbuton Murni. Tesis, Program Pasca
Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Fitriadi, Harry.(2006). Evaluasi Modulus Kekakuan
dari Campuran LATASTON Lapis Aus (HRS-WC)
memakai Asbuton Lawele. Tesis, Program Pasca
Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Haryono, Nintyo Tri (2014). Kajian Reologi Campuran
Aspal Laston AC-BC dengan Bahan Pengikat Aspal
40
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Pen 60-70 Dan Bahan Modifikasi Asbuton murni.
Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi
Bandung.
Indriyati, Eva Wahyu (2012). Kajian Perbaikan Sifat
Reologi Visco-Elastic aspal dengan penambahan
Asbuton murni menggunakan Parameter Complex
Shear Modulus. Tesis, Program Pasca Sarjana,
Institut Teknologi Bandung.
Lusyana.(2006). Kajian Deformasi dan Stabilitas
Dinamis Campuran LATASTON Lapis Aus
(HRS-WC) yang Mengandung Asbuton Lawele.
Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi
Bandung.
Primadiyanti, Suci Putri (2014). Evaluasi Perbaikan
Sifat Reologi Visco-Elastic Aspal dengan Penambahan
Asbuton Murni untuk Meningkatkan Kinerja
Campuran Laston Lapis Pengikat (AC-BC)
Bergradasi Kasar. Tesis, Program Pasca Sarjana,
Institut Teknologi Bandung.
Rahman, Harmein (2010). Evaluasi Model Modulus
Bitumen Asbuton dan Model Modulus Campuran
yang Mengandung Bitumen Asbuton. Laporan
Disertasi, Institut Teknologi Bandung.
Ramdhani, Fitra. (2013) Evaluasi Reologi Campuran
Aspal Pen 80/100 Dan Bahan Modifikasi Asbuton
Ekstraksi Penuh Sebagai Dasar Penentuan Kadar
Bahan Modifikasi Optimum, Tesis, Program Pasca
Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Subagio, Bambang Sugeng, Karsaman, Rudy, Adwang,
Jimmy, dan Fahmi, Ishaq.
(2005). Fatigue Performance of HRA and superpave
mixes using
Indonesia rock asphalt (asbuton) as fine aggregate
and filler. Jurnal Teknik Sipil, Institut Teknologi
Bandung.
Road Safety Management Towards Zero
Accident: A literature review
Oleh :
Zuni Asih Nurhidayati
Auditor Pertama Pada Inspektorat IV, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR
Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Email: zuniasih@yahoo.com
ABSTRAK
The effective road safety programmes set up long-term strategy includes road infrastructure
improvements and road safety policy measurement in order to reduce the fatalities number.
Thus, this paper aims to provide an overview about road safety management; investigating
the role of it towards zero accident vision; and analysing the barrier and challenges within
those framework. By using literature review method, the paper will present an effective road
safety management system gathered from many countries that successfully establish the system
as lesson learned. Afterwards, it will be correlate with the number of fatalities, whether it is
strongly influence or not within the discussion part. As the result, road safety management
system is not directly linked to zero accident, yet it is a good start to gain
high-quality performance on road safety.
Kata Kunci : road safety programmes, road safety management, literature review,
number of fatalities.
INTRODUCTION
Global Status Report on Road Safety (WHO,
2013) revealed that around 3400 people death due
to traffic casualties every day. Many people travel
from their origins to its destination, yet never to
return caused by road crash accident. Road safety
is multi-sectoral problems as multi-disciplinary
activity. In fact, pedestrians, cyclists, and other
Vulnerable Road Users (VRU’s) are among the
most victim constitutes to road traffic injuries.
One of the main reason for their vulnerability is
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
41
the current road safety action plan. In response to
this issues, road safety management system is the
closest point related to road safety policy which
formulate current action plan.
In details, aside of the number of traffic fatalities
reason, road safety management system is urgently
needed due to the high cost of motorised mobility
(Elvik, 2008). It also has highly effect on society
and public health regarding to Elvik (2008). The
serious health loss were raised year to year in many
countries due to traffic accident, particularly in
low and middle income countries (Bliss & Breen,
2012). Moreover, the ambitious targets has been
set for road safety in holistic point of view, such as
sustainable safety known as road safety principle
introduced by Netherland (Wegman, Aarts, &
Bax, 2008), the zero vision approach by Sweden
(Tingvall et al., 2010), and etc.
Since road safety management play a significant
part on the application of road safety performance
as the first pillar programme within the road
safety action plan, this paper is try to examine
more about this issues. Several research shows
that road safety performance is significant factor
influencing road accident occurrences ( Jahi,
Muhlrad, Buttler, Gitelman, Bax, Dupont, &
Yannis, 2012) (Wegman et al., 2015) (Tiwari and
Mohan, 2015) and certainly linked to the road
safety management indicators such as “vision
and strategy”, budget, evaluation and reporting,
and measurement of road user attitudes and
behaviour” (Papadimitriou and Yannis, 2013).
Furthermore, a conceptualization of effective
road safety management system needs to enhance
to achieve synergism among each related actors.
Some factors such as leadership, ownership and
accountability are requires for achieving the zero
42
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
vision targets ( Johansson, 2009).
Improving road safety management system can be
viewed as holistic context which involving road
users, public and private stakeholders towards on
an effective road safety policy. These collaboration
process were assessed by several components
as road safety measurement such as targets and
programmes on each level ( Jahi et al., 2012)
(Tiwari and Mohan, 2015). As a consequence,
complex problems arise from this activities
due to conflict of interest among each actors.
Moreover, the intervention of political situation
and geographical levels took strong enough part
within this scenario. Thus, building up an effective
road safety management structures is a long term
vision and require policy formulation, adoption,
implementation and evaluation (Tiwari and
Mohan, 2015).
This paper carries the theme “Road Safety
Management Towards Zero Accident: A
Literature Review” adresses the emergence of road
safety management based on the several paper as
literature review over the last decade. This resulted
in 124 full text online literature (journal articles,
book, dissertation and conference proceeding) on
road safety management and zero road accident
from 1989 to date. Moreover, according to library
database, it leads to main literature concern
more on road safety management system and its
evaluation methods. By using literature review
as research methodology, the aim of this paper
are (1) provide an overview about road safety
management; (2) investigating the role of road
safety management towards zero accident vision;
and (3) analysing the barrier and challenges within
those framework.
ROAD SAFETY MANAGEMENT
1. Main component on road safety
management
Road safety management were established and
developed to obtain an effective road safety
programme on reducing the number of fatalities
in road, including the number of serious injuries
by 50% by 2020 (Elvik, 2008). A system of
structured management are being expected to
improve and furthermore to achieve those target
based on several research recently. For instance,
some research has hypothesis does road safety
management highly affecting to the road safety
performance (Elvik, 2008) (Elvik, 2012) (Elvik,
2008). However, creating an effective road safety
management is not an easy way as it thought.
There are several requirements or conditions
on the way to establish a successful road safety
management (Elvik, 2008): (1) the highly
motivation from the top of management (leading
politicians), actualized in a firm commitment to
gain the goal; (2) the challenging targets; (3) the
reasonable targets in which clearly achievable;
(4) the authority agency in actualizing the
policy instruments; (5) A sufficient funding or
budget to accommodate the action plan; (6) a
system of monitoring and evaluation for each
agencies performance; and (7) an incentives for
those agencies who successfully commit for their
responsibilities.
Aline with those requirements, the tools for
road safety management are also needed, that is
a road safety audits, safety inspection, network
screening, road crash accident modelling, road
protection scoring, the hazardous location
identification, the road safety impact assessment,
road user behaviour monitoring, traffic conflict
studies and in–depth road crash accident research
(Elvik, 2012). According to (Persaud, Lan, Lyon,
& Bhim, 2010), two of the most significant tools
are network screening and road safety impact
assessment (before-after evaluation). Therefore,
a comprehensive road safety management system
are needed to formulate and synchronised those
tools.
However, such a comprehensive road safety
management consist of main component for the
diagnosis (Muhlrad, 2009). First component is the
road crash and injury situation or safety data (Li
& Chen, 2007). A briefly and trusted information
regarding to the number of traffic casualties were
strongly needed as basic knowledge to analyse
the root of road safety policy implementation
(Muhlrad, 2009). Contextual to this, Bayesian
hierarchical models can be used for analysing the
road crash prediction models (Huang & AbdelAty, 2010).
The second one for the main component diagnosis
is the road safety actors and current measurement
(Muhlrad, 2009) or safety action plan (Li & Chen,
2007). For additional information, (Elvik, Vaa,
Erke, & Sorensen, 2009) formulate the Handbook
of Road Safety Measures in order to provide the
readers, road safety actors in particular, a brief
knowledge about the effects of road safety measures
at any level and element of the road system.
The third component, the institutional
organization and road safety management
methods, is a complete inventory of actors
(Muhlrad, 2009). Within this component are
underlined the responsibilities, tasks and function
of each actors on how road safety interventions can
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
43
be actualised. Lastly, the fund allocation or budget
for financing the tasks including accommodate
the personnel training, logistic, maintenance,
operational, monitoring, and evaluation cost.
To summarise the comprehensive of road safety
management system framework in cycle, the figure
1 below are provided.
For the interventions level, it related with the road
network: (1) planning, design, operation and use;
(2) entry and exit of drivers and vehicles; and (3)
recovery and rehabilitation of crash victims (Bliss
& Breen, 2012). For instance, the hazardous
location detection from road safety agency will be
executed by related institution through physical
improvement such as shoulders
rehabilitation, traffic calming,
etc. Lastly, for the results
level, it is focus on social cost,
final outcomes, intermediate
outcomes and output’s (Bliss &
Breen, 2012).
2. Vision Zero Requirements
As an ideal goal of road safety
framework, the so–called
zero–tolerance on road crash
casualties or known as Vision
Zero approach (Tingvall et al.,
2010) is presented as a longterm targets (Elvik et al., 2009),
Figure 1. Framework of road safety management system (Li & Chen, 2007)
a fully commitment which
Contextual to the road safety management
underlined in each road safety actors mind to
framework as above, the road safety management
prevent of serious injuries, road accident leads
system is derives from three main levels, that
to fatality ( Johansson, 2009) (Corben, Logan,
is institutional management function level,
Fanciulli, Farley, & Cameron, 2010). The notion
interventions level and the results level (Bliss
of Zero Vision strategy literally introduced in
& Breen, 2012). The institutional management
1997 by the Road Traffic Safety Bill, the Swedish
functions are encompass coordination, legislation,
Parliament as a commitment that no one of road
funding and resource allocation, promotion,
users will be killed or fatality injured in a road
monitoring and evaluation, and the last is research
transport system (Larsson, Dekker, & Tingvall,
and development knowledge transfer (Bliss &
2010). The Vision Zero Approach explicitly states
Breen, 2012). In this level, the role of government
that the road safety is a shared responsibility by
as central lead command to enhance, manage,
each actors of road transport system (designers,
synchronise all of road safety actors. According
administrators, professional users, and road users)
to several lesson learned country, it can be done
(Larsson et al., 2010). Concisely, according to
by establish a lead agency in advance (Gitelman,
Larsson et al. (2010), the systems theory of Vision
Hendel, Carmel, & Bekhor, 2012).
Zero can be found as foundation in these features:
44
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
(1) safety as an emergent component; (2) system
and performance variability; and (3) systems as
hierarchical structures.
As a traffic safety policy, Vision Zero requires
several condition that is (1) the responsible road
transport system designers, (2) the responsible
road users in daily activities, and (3) a reliable road
system design that prevent the road users from
fatality accidents ( Johansson, 2009). Moreover,
zero accident targets stressed the following
principles for road system design, integration and
separation to establish the error-tolerance within
road system network ( Johansson, 2009).
RESEARCH METHODOLOGY
The literature review discusses the main
component factors on road safety management
and the requirement parameter to gain the zero
accident as the main goal of the framework.
Literature was selected from various disciplines
such as economics, engineering, public health,
social welfare, environment, government, political
science, public health, and social science. This
paper using Hasselt University Library database
within seeking road safety management keyword
as a guideline and it resulted in some journal
articles and publication. Focusing on road safety
management as the main topic, this paper specify
filtering component, importance factors and
relates articles to that for narrowing down the
literature quarry. The number of countries which
are the best practice in road safety management
were investigated based on several research such
as Johnston (2010), Wegman et al. (2015),
Papadimitriou & Yannis (2013). Those countries
will be compare with the countries which has least
number of traffic accident leads to fatality.
Furthermore, the paper also investigate barriers
and challenge, determining the effective parameter
to achieve the goal of road safety framework. By
obtaining this method, the author try to provide
a clearly information for the reader regarding to
road safety management and its matter. By the
end of the article, all of component were measured
towards the number of accident in some countries
as lesson learned, whether it’s successfully affecting
or not.
DISCUSSIONS
1. Review of Road Safety Management
Development
Nowadays, most countries have an explicit
ambition to eliminate fatality and serious
injury from traffic accident occurrences, for
both groups, low and middle income countries
and also developed countries (OECD, 2008).
Contextual to this, an effective road safety action
plan requires an effective road safety management
system. In term of European countries assessment,
it has been investigated through 14 European
countries in 2010 and five main elements of road
safety management ( Jähi et al., 2012). The five
main criteria regarding to Jähi et al. (2012) are:
(1) institutional organisation, coordination and
stakeholders’ intervention; (2) policy formulation
and adoption; (3) Policy implementation and
funding/budget; (4) monitoring and evaluation;
and (5) scientific data, information and capacity
building. Based on this research, the beneficial
result from the investigation will lead on the best
practice recommendation at national, local level
and European Level. For example, at national
and local level, it is recommend to adopting the
safe system approach ( Johnston, 2010) such as
Zero Vision Strategy as Sweden Government
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
45
Commitment in road safety policy ( Johansson,
2009).
For the case of low and middle income countries,
the result from research above are also adaptable
as development and analysist tools to investigate
the road safety management condition and
policy making for both national and local level
( Jähi et al., 2012). The framework developed in
the research also covers the significant elements
of road safety management assessment from
beginning (pre-conditions), execution process
of the program, road safety actors, data and
reporting, monitoring and evaluation phase, and
proposal for future improvement. Moreover, it
also provide a comprehensive description of road
safety management situation in the representative
country as a lesson learned for each other
( Johnston, 2010).
2. Correlation Between Road Safety
Management And Zero Accident Target
Since the zero accident target can be set as a goal
within road safety performance indicator, the
correlation among road safety management and its
target were hypotheses as highly influenced each
other. Firstly, the leading countries on road safety
management were examined using a formal tools
Elvik (2012) as Table 1 below.
Table 1. Sample of Use of Formal Tools for Road Safety Management (Elvik, 2012)
46
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
Regarding to above information, the sample of
5 countries categorised within best road safety
management evaluation are Netherlands, Finland,
Norway, Great Britain and Norway (Elvik, 2012).
Thus, second step is comparing with the number
of fatalities trend for each countries. The result
shows there is no direct relationship between
road safety management and the number of road
accident fatalities. Yet it has been suggested to
correlate the road safety management with road
safety performance (Papadimitriou & Yannis,
2013). These suggestion are proposed as policy
improvement since it can reduce the number
of fatalities on road network. According to the
result, it also shows that there are a decreased
trend for all of those countries (aside of Iceland)
in traffic fatality number from 1990 to 2009, even
though the effect of road safety management is
indirect ( Jähi et al., 2012). To summarise, based
on those research, it has been expected that the
more extensive the use of road safety management
evaluation tools, the lower of the road accident
fatality number (Elvik, 2012). Johnston (2010)
also support those number of road crash fatality
improvement for several countries sample above as
Table 3 below.
Table 2. Road crash fatality improvements ( Johnston, 2010)
Furthermore, this trend also a line with the
result from road safety management evaluation
by conducting 3 different subjects (1) ex-post
evaluation (2) ex-ante evaluation and (3) research
results transferability (Wegman et al., 2015). For
instance, Netherlands conduct an evaluation every
four years to check current road safety policy
strategies. From the ex-ante evaluation, it has been
show that the target was not obtained regarding to
the number of serious injuries. Meanwhile for the
ex-post evaluations, it concluded that the 10 years
evaluation for several policy is still relevant.
Contextual to this, the Vision Zero approach
can be seen not achieved yet, particularly for
developed countries who adopt this public road
safety policy ( Johnston, 2010). To date, the Vision
Zero principle has been used as the fundamental
of basic road safety policies improvement such
as sustainable safety principle in Netherlands
(Wegman et al., 2008). The sustainable safety
principles are encompass 4 key elements: (1) the
road crash prevention vision; (2) all main factors
(vehicles, roads and traffic system) must performed
maximise; (3) reduced number on latent errors on
road traffic system and (4) the shared responsibility
among each elements and good coordination
(Wegman et al., 2008).
Thus, the keys to achieve the zero accident vision
in which related to best practice of road safety
management can be summed up in four part,
that is constituency, commitment, cooperation
and coordination ( Johnston, 2010). The ideal
best practice is occur when the decision makers
(municipalities, road authorities, police authority,
and related institution) have a good understanding
and willingness to apply the modelling work form
practitioners (professional, researchers) on the
way to gain a safe system (Wegman et al., 2015).
3. Barriers and Challenges
Within the journey to gain the Zero Vision targets,
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
47
there are barriers on each levels of the road safety
management system identification regarding to
Bliss & Breen (2012) as below:
Coordination – the coordination among each
institution is one of the main issue during the
process in actualising the effective road safety
management system. Lead responsibility for road
safety enhancement needs to be synchronised
and conducted in sustainable way through the
lead agency. For instance, a reciprocal working
relationship
between
police
authorities,
transportation institution and roads authorities
within road safety audits team could be done
during the action plan by the arrangement of the
lead agency. The barriers and challenges during
those reciprocal working can be occurs such as
the communication, the capability of actors, the
schedule list for each institution, etc. In briefly,
multi-sectoral coordination should be refers to
the triumph of local precedents (Bliss & Breen,
2012).
Moreover, sharing responsibility among central
and local government within the bilateral
partnership is a new road safety vision as known as
sustainable safety (Wegman et al., 2008). The level
of coordination are also became one of barrier
in bureaucracy system (Wegman, 2000). The
national coordinating arrangements and structures
should be act as an extension as the use of platform
to manage the targets and the resources (Bliss &
Breen, 2012). Thus, the need of formal statement
such as Memorandum of Understanding (MoU)
among each actors (including non-government
organization, the business sector, and professional
institutes) cannot be neglected in this case since
it can encourage the members related with their
responsibility, accountability to achieve the targets.
48
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
The best practice coordination model are
provided as Figure 2 as below.
Figure 2. the best practice of road safety managemen
system in coordination based on The World Bank and
OECD (Wegman, 2000)
Legislation – Typically, the legislation function
are concerned on several elements such as the
legislative framework (reviewed periodically),
effectiveness, and cost and benefit analysis, the
public awareness, and road safety strategy in
practical (Canoquena, 2013). It also involves the
consolidating legislation and other legislative
instruments related with road safety action
plan (Bliss & Breen, 2012). For the barriers and
challenges within legislation element can be
addresses on land use, vehicles, roads, road user’s
safety standards, post-crash handling, and etc.
Funding/Budget and resource allocation – It
is important to ensure the budget for the road
safety action plan and its system since it should be
sufficiently accommodate the whole action. Thus,
new funding efforts and mechanism may need
to be enhanced to gain high performance road
safety targets such as road safety investment (i.e.
injury insurance companies, road accident victim’s
rehabilitation in trauma, etc.) (Bliss & Breen,
2012).
Moreover, the funding source also can be gained
from fuel taxes, vehicles taxes and registration,
freight transport taxes, users fees (i.e. toll road,
Electronic Road Pricing, etc.), licensing, earmarked
taxes, and insurance levies. Yet, the barriers and
challenges are occurs during the process such as the
road safety officers commitment, the bureaucracy
commitment on corruption and bribery, the
willingness of road users to participate with the
action plan, and etc. Meanwhile for the resource
allocation, the barriers and challenges is commonly
underlined in cost-benefit analysis (Bliss & Breen,
2012).
Promotion – regarding to promotion element, it
closely related to road safety campaign activities
through all media (newspaper, electronic media,
and etc.). Publication in road safety has barriers
and challenges in process such as the funding or
budget, personal skills trainer, and educational
level, surveillance and the limited information
(Larsson et al., 2010).
Monitoring and evaluation programs – Periodic
monitoring and evaluation within road action
programmes is essential action since it leads to
the road safety performance assessment. Yet there
are several barriers and challenges regarding this
scene such as the resource for road safety officers,
the licensed driver numbers, registered vehicles
numbers, the population levels, the road users
behaviour, roads performance, medical handling
due to road accident occurrences, driving license
issues, new transport policy implementation,
cheap motorised vehicle’s sales, and etc., (Bliss &
Breen, 2012).
Research and development knowledge transfer –
The last element from this scene are encompass
research and study related with road safety field.
It aims to generate comprehensive knowledge, skills
and its road safety evolution. The best practice
model from countries as the lesson learned is the
effective way to apply the road safety management
system structures ( Johnston, 2010). Knowledge
transfer should be undertaken and taking into
account from top management to the bottom
level to achieve Zero Vision targets ( Johansson,
2009). Contextual to this, the barriers and
challenges within this scene are also cannot be
neglected. For instance the coordination among
the politician who has an authority to execute road
safety policy in road safety management system
and the researchers, the limitation of fund and
budget for road safety management research and
the commitment of lead agency to integrate road
safety research into practical are also important to
be handled. Thus, each of institution should be
linked by developing capacity for this element.
Meanwhile for the developing of road safety
management in effective way and efficient, there
should be existed two pre-condition factors
according to Jähi et al. (2012). The first one is
the political will at the higher level of authority.
A strong of political will to establish a wellorganised of the road safety management body.
Yet, the common problems for this is usual
administrative sectoral hierarchies or bureaucracy
system such as bribery, corruption and etc. Those
such political will could be assessed through
several component (Bliss & Breen, 2012): the
establishment of lead agency at national level; the
adopting policy as long-term vision strategy; a
compelling targets in number; strong commitment
at the higher level; a national road safety action
plan; an accountable funding/budget; an effective
institutional structures (well-coordinated); a
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
49
clear task and responsibility for each of road
safety actors; feedback and monitoring system
after applying new transport policy and program
implementation; and supporting knowledge
process, both of production and transferring to
each level.
The second requirement as seen as barriers and
challenge is the existence of road safety culture
climate ( Jähi et al., 2012). The culture of the road
user and road safety officer are underlined within
this pre-condition. The road user’s perception
regarding to current issues are important in this
part since the knowledge transfer play a part
due to the road safety issues ( Jähi et al., 2012).
Thus, a recommended road safety culture climate
encompass several part: an active information
policy; scientific agencies; an effective national
road safety program and transport environment
( Jähi et al., 2012).
CONCLUSIONS
Developing road safety management system is
a comprehensive task as an integral part within
road safety improvement towards zero accident.
It requires an enabling organisational setting, an
effective institutional management structure and
well coordination in process to achieve the targets.
An effective road safety management system
is not directly linked to zero accident, yet it is a
good foundation to start the road safety action
plan which leads to high-quality performance,
zero accident number in traffic fatalities on road
network. The barriers and challenges aspects of road
safety management system towards zero accident
target should not be neglected. Starting from the
coordination element to research and development
knowledge transfer element should be integrated
50
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
and sustained in a transversal linkages (involving
all of actors in road safety) at national and local
level. Thus, the legal and regulatory are needed
in making institutional management working in
sustainable way. Furthermore, the political will
at higher level and the road safety culture climate
are two main factors as precondition requirement
within building and enhancing an effective road
safety management in future.
REFERENCES
Bliss, T., & Breen, J. (2012). Meeting the management
challenges of the Decade of Action for Road
Safety. IATSS Research, 35(2), 48–55. http://doi.
org/10.1016/j.iatssr.2011.12.001
Canoquena, J. M. da C. (2013). Reconceptualising policy
integration in road safety management. Transport
Policy, 25, 61–80. http://doi.org/10.1016/j.
tranpol.2012.09.003
Corben, B. F., Logan, D. B., Fanciulli, L., Farley, R.,
& Cameron, I. (2010). Strengthening road safety
strategy development “Towards Zero” 2008–2020 –
Western Australia’s experience scientific research on
road safety management SWOV workshop 16 and
17 November 2009. Safety Science, 48(9), 1085–
1097. http://doi.org/10.1016/j.ssci.2009.10.005
Elvik, R. (2008). Road safety management by objectives:
A critical analysis of the Norwegian approach.
Accident Analysis & Prevention, 40(3), 1115–1122.
http://doi.org/10.1016/j.aap.2007.12.002
Elvik, R. (2012). Does Use of Formal Tools for Road
Safety Management Improve Safety Performance?
Transportation Research Record: Journal of the
Transportation Research Board, 2318, 1–6. http://
doi.org/10.3141/2318-01
Elvik, R., Vaa, T., Erke, A., & Sorensen, M. (2009).
The Handbook of Road Safety Measures, Second
Edition. Emerald Group Publishing.
Gitelman, V., Hendel, L., Carmel, R., & Bekhor, S.
(2012). An examination of the national road-safety
programs in the ten world’s leading countries in road
safety. European Transport Research Review, 4(4),
175–188.
http://doi.org/10.1007/s12544-0120081-x
Huang, H., & Abdel-Aty, M. (2010). Multilevel data
and Bayesian analysis in traffic safety. Accident
Analysis & Prevention, 42(6), 1556–1565. http://
doi.org/10.1016/j.aap.2010.03.013
Jähi, H., Muhlrad, N., Buttler, I., Gitelman, V., Bax, C.,
Dupont, E., … Yannis, G. (2012). Investigating Road
Safety Management Processes in Europe. Procedia
- Social and Behavioral Sciences, 48, 2130–2139.
http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.06.1186
Johansson, R. (2009). Vision Zero – Implementing a
policy for traffic safety. Safety Science, 47(6), 826–
831. http://doi.org/10.1016/j.ssci.2008.10.023
Johnston, I. (2010). Beyond “best practice” road safety
thinking and systems management – A case for
culture change research. Safety Science, 48(9), 1175–
1181. http://doi.org/10.1016/j.ssci.2009.12.003
Larsson, P., Dekker, S. W. A., & Tingvall, C. (2010).
The need for a systems theory approach to road
safety. Safety Science, 48(9), 1167–1174. http://
doi.org/10.1016/j.ssci.2009.10.006
Li, N., & Chen, W. (2007). Comprehensive System
of Road Safety Management: Framework for
Improving Road Safety in China. Transportation
Research Record: Journal of the Transportation
Research Board, 2038, 34–41. http://doi.
org/10.3141/2038-05
Papadimitriou, E., & Yannis, G. (2013). Is road safety
management linked to road safety performance?
Accident Analysis & Prevention, 59, 593–603.
http://doi.org/10.1016/j.aap.2013.07.015
Persaud, B., Lan, B., Lyon, C., & Bhim, R. (2010).
Comparison of empirical Bayes and full Bayes
approaches for before–after road safety evaluations.
Accident Analysis & Prevention, 42(1), 38–43.
http://doi.org/10.1016/j.aap.2009.06.028
Tingvall, C., Stigson, H., Eriksson, L., Johansson, R.,
Krafft, M., & Lie, A. (2010). The properties of Safety
Performance Indicators in target setting, projections
and safety design of the road transport system.
Accident Analysis & Prevention, 42(2), 372–376.
http://doi.org/10.1016/j.aap.2009.08.015
Tiwari G, Mohan D. (2015). Road Safety Management
from national to local level. Transportation planning
and Road Safety
Wegman, F., Aarts, L., & Bax, C. (2008). Advancing
sustainable safety: National road safety outlook for
The Netherlands for 2005–2020. Safety Science,
46(2),
323–343.
http://doi.org/10.1016/j.
ssci.2007.06.013
Wegman, F., Berg, H.-Y., Cameron, I., Thompson, C.,
Siegrist, S., & Weijermars, W. (2015). Evidencebased and data-driven road safety management.
IATSS Research, 39(1), 19–25. http://doi.
org/10.1016/j.iatssr.2015.04.001
Wegman, F. (2000). Sharing responsibility: central and
local government partnership. In ETSC Best in
Europe Conference, Brussels.
WHO. 2013. Global Status Report on Road Safety.
Supporting a Decade of Action (DoA). Retrieved
from:
http://www.who.int/violence_injury_
prevention/road_safety_status/2013/report/en/
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
51
52
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
PETUNJUK PENULISAN NASKAH
1.
Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang pengawasan, hukum, administrasi
dan manajemen pada umumnya dari dalam dan luar lingkungan Inspektorat Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Naskah yang masuk diperiksa
oleh penyunting ahli.
2. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian, pengalaman yang belum dan tidak
akan dipublikasikan dalam media cetak lain. Keaslian karya tulisan dan belum pernah
dipublikasikan sangat dijunjung tinggi.
3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diserahkan dalam file
elektronik dalam program MS Office disertai dua eksemplar cetakan. Jumlah tulisan
maksimum 15 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar rujukan.
4. Sistematika penulisan disusun sebagai berikut: Bagian awal: nama penulis, abstrak
(abstrak ditulis dengan huruf italic). Bagian utama: Pendahuluan, tulisan pokok,
kesimpulan dan saran. Bagian akhir: simbol dan daftar pustaka.
5. Judul tulisan sesingkat mungkin, tetapi tidak memberikan peluang penafsiran yang
beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital posisi tengah.
6. Intisari (Abstrak) memuat permasalahan, pemecahan, hasil yang diperoleh, harus ada
kata kunci (keyword) dan tidak lebih dari 200 kata.
7. Teknik Penulisan:
a. Naskah diketik dalam 2 (dua) spasi pada kertas ukuran A4 dengan margin sisi kiri dan
bawah: 4cm, sisi atas dan kanan 3cm. Diharapkan panjang naskah diantara 12 sampai
15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka.
b. Kata Asing ditulis dengan huruf italic, bilangan ditulis dengan angka kecuali pada awal
kalimat.
c. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Judul tabel diletakan dibagian
atas, sedang judul gambar dibagian bawah.
d. Sumber pustaka ditulis dalam urutan abjad nama penulis dan disusun menurut
aturan yang sudah baku.
8. Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan.
9. Dewan Redaksi dapat menyesuaikan bahasa dan/atau istilah tanpa mengubah isi dan
pengertiannya dengan tidak memberitahu kepada penulis, dan apabila dianggap perlu
akan berkonsultasi dahulu dengan penulis.
10. Tulisan yang dimuat dalam Jurnal ini menjadi hak milik Inspektorat Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016
53
Inspektorat Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat