Pendekar Tongkat Emas - epaper harian suara merdeka
Transcription
Pendekar Tongkat Emas - epaper harian suara merdeka
MINGGU, 30 NOVEMBER 2014 Pendekar Tongkat Emas Tarian Silat di Keindahan Sumba mematikan dari senjata Tongkat Emas. Dua orang murid yang telah dikhianati, dalam keadaan terluka dan penuh amarah, harus meneSebuah film bisa dan boleh mukan pendekar itu sebelum semuanya terlambat. Sumba Timur dibuat berdasarkan apa saja. Menyaksikan thriler film yang disutradarai Ifa Ifansyah sungguh memikat. Trik dan teknik kamera Mira Lesmana sangat serta akting para pemainnya enak ditonton. Pemilihan lokasi syuting di Sumba Timur, menammenyukai komik silat. bah kesan yang luar biasa. Kemurnian alam pendesaan tempat syuting dilakukan khususnya, serta keindahan alam Sumba Timur secara keseluruhan ejumlah komik silat favoritenya di benar-benar menggoda. antaranya Si Buta dari Goa Hantu Menurut Mira pemilihan lokasi syuting karena karya Ganes TH, Djaka Sembung Sumba dapat merepresentasikan latar belakang (Djair), Panji Tengkorak (Hans Jalafilm ini secara tepat. Selain karena pemandangandara), Pendekar Seruling Gembala nya yang memukau, mereka melihat di Sumba ada (Hengky), dan beberapa lainnya. beberapa titik yang emosinya sangat mengena. Mira mengaku sudah lama terobesesi membuMasalahnya lokasi syuting yang terpencil at film silat. Obsesinya itu terwujud setelah ia berteberdampak pada proses pengambilan gambar itu mu Riri Riza yang ternyata juga memiliki kegemaran sendiri. yang sama. Lalu jadilah ia dan Riri bahu membahu Film yang secara resmi akan mulai ditayangkan memproduksi Pendekar Tongkat Emas (The Golden di bioskop 18 Desember mendatang dari sisi adeCane Warrior). gan laga, rasanya tak terlalu njomplang Sebelumnya, Mira dan Riri meminta jika dibandingkan dengan film silat Jujur Prananto untuk menulis naskah. macam Crouching Tiger, Hidden Naskah tulisan Jujur disempurJudul Film: Dragon (2000) besutan Ang nakan lagi oleh Seno Gumira Pendekar Tongkat Emas Lee atau Hero (2002) yang Ajidarma. Tentu kerja mereka (The Golden Cane Warrior). dibintangi Jet Lee. Apalagi belumlah usai, masih butuh Sutradara: diakui secara jujur oleh proses dan perjuangan Ifa Infansya sang sutradara bahwa ia keras untuk mewujudkan Skenario: banyak banyak menfilm itu. Apalagi, Mira dan Jujur Prananto dan Seno jadikan film silat Tiongkok Riri adalah sineas yang Gumira Ajidarma sebagai referensi. selalu ingin membuat karya Pemain: Memang laiknya berkualitas. Christine Hakim, Nicholas Saputra, sebuah film silat peran Lalu seperti apakah Eva Celia Latjuba, Reza Rahadian, pengganti sangat dominan. Pendekar Tongkat Emas? Tara Baskoro, dll. Namun, tak berarti pemeran ‘’Film ini Indonesia banget. Produksi: asli dapat dipandang sebelah Segala sesuatu yang ada, baik Miles Production mata. Para pemain Pendekar musik, lokasi, cerita silat tahun 70Tongkat Emas, rata-rata menunjuk80an, dan baju, semua milik negara kan kepiawaiannya dalam berakting. kita,’’ kata Mira seperti dilansir sejumlah Padahal, nyaris semua bintang dalam film ini boleh media pekan lalu. dibilang belum pernah bermain dalam film silat. Kehadiran film ini terasa pas jika menilik Tapi, lihat bagaimana Nicholas Saputra, Reza langkanya film silat nasional yang diproduksi bebeRahardian, bahkan Christine Hakim dan Eva Celia. rapa dekade terakhir. Dibuat dengan biaya mencaMereka tangkas mempraktikan ilmu beladiri pai Rp 25 miliar, Pendekar Tongkat Emas melisilat. Tak perlu kaget jika mereka bisa seperti itu. batkan sejumlah bintang papan atas negeri ini, plus Menurut Mira Lesmana, jauh sebelum syuting dila350 figuran dan tambahan 80 kru masyarakat kukan para bintang itu lebih dulu belajar wushu di Sumba Timur. Sumba Timur, NTT, dipilih menjadi sebuah perguruan ilmu beladiri itu. Memang belum lokasi syuting secara keseluruhan. sempurna, tetapi tak terlalu kaku ketika mereka Film yang proses pembuatannya memakan harus melakukan akting yang mengharuskan merewaktu lebih dari dua tahun ini, menceritakan tenka berkelahi. tang seorang guru silat bernama Cempaka (Christin Satu hal yang juga membuat Pendekar Tongkat Hakim) yang harus mewariskan ilmunya kepada Emas terasa lain dari film silat produk nasional lainmurid-muridnya. Mereka adalah Elang (Nicholas nya adalah digunakannya kamera khusus Red Epic Saputra), Dara (Eva Celia Latjuba), Biru (Reza Dragon 6K resolution. Kamera ini pertama kali Rahadian) dan Gerhana (Tara Basro). dipakai di film Indonesia. Kamera ini digunakan Cempaka paling dihormati dan ditakuti sebagai karena banyaknya adegan laga yang butuh kamera pendekar pemilik senjata Tongkat Emas yang khusus untuk mengambil adegan tersebut agar tersangat kuat. Ia akan mengumumkan siapa murid lihat apik. yang akan menjadi penerusnya. Sesaat setelah Ujian pertama Pendekar Tongkat Emas di pasar pewaris dia sampaikan serangkaian pembunuhan datang dari dua film silat Hongkong yang kini dan pengkhianatan terjadi. Tongkat Emas yang sedang dan akan tayang di bioskop nasional yakni jatuh ke tangan yang salah mengakibatkan kekaKungfu Jungle dan Rise of The Legend. Siapakah cauan. yang akan memenangkan pertarungan, kita lihat Satu-satunya orang yang dapat memulihkan saja. Yang pasti, Pendekar Tongkat Emas jauh keadaan yang pelik ini, hanyalah Pendekar Naga meninggalkan film silat produk lokal yang pernah Putih yang telah lama hilang. Dia adalah orang yang ada. (92) terakhir, yang mampu menggunakan teknik Oleh Hasan Fikri S Reza Rahardian dan Tara Basro Beraksi dengan Koreografi ilm Pendekar Tongkat Emas adalah film silat dengan seting cerita awal 70-an. Meski mengusung tema silat film ini sama sekali tak menggunakan aktor yang memiliki latar belakang silat. Mira Lesmana, produser film ini, beralasan karena film ini merupakan film drama yang tokohnya adalah pendekar silat. ‘’Kami lebih memilih kemampuan aktor ketimbang skil silat, apalagi sang sutradara lebih suka pemain yang tidak memiliki latar belakang silat,’’ ujar Mira. Agar para pemain siap, mereka pun dibuatkan kurikulum ketrampilan laga yang dirancang untuk waktu tujuh bulan agar mahir dalam koreografi silat. Dan semua pemain seperti Nicholas Saputra, Reza Rahardian, Christine Hakim, juga Eva Celia dan bintang lainnya menjalani proses itu. Maklum sepanjang karier, mereka belum pernah main dalam film laga. Itulah sebabnya, mereka mengaku mendapatkan pengalaman baru mengesankan terlibat dalam film tersebut. Misalnya, Eva Celia (22). Bagi Eva main dalam film itu seperti mendapatkan durian runtuh. Pemeran Dara ini mengaku cita-citanya terwujud. ‘’Main action itu cita-cita saya. Saya sangat tersanjung bisa terlibat dalam film ini,’’ tutur Eva. Meski untuk pertama kali main film laga, Reza Rahadian tak canggung melakukan adegan berbahaya. Ia ngotot menaiki kuda tanpa pedal. Padahal, adegan naik kuda bukan hal mudah, bahkan F berbahaya. Para pemain Pendekar Tongkat Emas sempat dilarang untuk menaiki kuda tanpa pelana. Keterlibatan Nicholas Saputra dalam film silat itu, tak lepas dari tekatnya yang tak mau setengah-setengah daam bermain film. Baginya, sebagai aktor penting untuk terus mengembangkan pengalaman dan kualitas di depan kamera. Salah satunya dengan bermain dalam genre film yang belum pernah dimainkan sebelumnya. Nicholas mengaku tertantang bermain di film yang banyak melakukan adegan fisik ini. Tokoh Elang yang diperankan Nicholas adalah seorang yang serius, misterius, dan senang berpetualang. ‘’Elang itu karakter yang misterius. Dia membaur dengan masyarakat, nggak menunjukkan kemampuannya di sembarang tempat,’’ ungkap Nicholas yang menganggap film ini lebih sebagai film drama silat. Selain bintang yang semuanya baru pertama main dalam film laga, Pendekar Tongkat Emas juga melibatkan Diva musik Indonesia yang popular di Eropa, Anggun Cipta Sasmi. Anggun diminta melantunkan lagu latar (soundtrack) film ini yang berjudul ‘’Fly My Eagle’’. Lirik lagu ini ditulis Mira sedangkan musik digarap Erwin Gutawa. (Fikri-92) Eva Celia Foto : Indonesiafilmcentre/milesproduction S MILOKUI SARONI ASIKIN epilude99.wordpress.com @PengendaraAngin i tempat Jon Lebay bekerja, ada kolega yang sering membawa penganan ringan. Dia tentu saja sering ikut menikmatinya dengan hati riang. ‘’Kalau bisa gratis, kenapa repot-repot membayar?’’ candanya selalu. Tapi ada jenis penganan yang hanya dia pandang dengan kening mengerut. Dirayu-rayu plus diberi argumentasi teoretis menyangkut kelezatan sang penganan pun, dia tetap mengerutkan kening sambil menggelenggelengkan kepala. Apa? Namanya gembus. Perlu saya jelaskan dulu soal nomenklatur, eh maaf agar tidak dianggap sok akademis atau birokratis, sebut saja penamaan gembus yang berbeda, khususnya di Jateng. Di wilayah Banyumas, gembus adalah penganan berbahan singkong alias ubi kayu alias budin. Di wilayah Jateng lainnya, gembus adalah penganan yang terbuat dari ampas tahu yang diragikan. Yang membuat kening Jon Lebay D Singkong Berkelas Menteri berkerut adalah gembus yang disebut terakhir, yang di Jabar khususnya disebut oncom. Gembus yang itu diolah sebagai lauk atau hanya sebagai kudapan. Di Solo dan beberapa kota lain, olahannya ada yang disebut sate kere. Bila gembus dengan segala olahannya selalu diogahi Jon, ada penganan lain yang bernasib hampir serupa. Namanya singkong. Tapi terhadap singkong, Jon tidak konsisten: menolak singkong rebus, tapi lahap mengudap segala jenis olahannya seperti ceriping, gethuk, dan lain-lain. Tak ada persoalan sebenarnya. Jon atau siapa pun orangnya punya hak menolak atau malah rakus mengudap suatu penganan (yang halal tentu saja berdasarkan keyakinan agama, dan halal cara pemerolehannya). Yang agak menganggu, kenapa dia harus memainkan jurus kening berkerut? Kenapa setiap kali melihat para kolega dengan lahap melalap gembus atau singkong rebus, dia geleng-geleng kepala. Itu juga yang jadi pertanyaan para kolega yang masih belum kapok bilang, ‘’Wong lezat sekali loh....’’ Jon membiarkan para kolega bertanya-tanya, tapi tidak pada saya. Dia bilang, ‘’Kedua pen- ganan itu mengingatkanku pada kemiskinan.’’ ‘’Lo kok bisa? Kau bilang, kolega-kolegamu yang lahap menandaskan gembus itu termasuk kalangan sosialita. Mana ada sosialita yang miskin?’’ ‘’Kubilang, aku teringat kemiskinan. Kalau mereka, urusan merekalah.’’ Ketimbang berdebat dengan Jon yang tampak mulai agak berang, lebih baik saya persilakan dirinya menceritakan hubungan antara gembus, juga singkong rebus, dengan kemiskinan. Oalah, jebul itu berasal dari masa lalunya. Ketika dia kanak-kanak, gembus adalah penganan orangorang miskin, termasuk keluarganya. Dia bahkan sempat punya julukan ‘’keren’’ sebagai anak gembus, dan selalu marah ketika dirundung (di-bully) dengan sebutan ‘’keren’’nya itu. Singkong rebus juga begitu. Pernah beberapa kali perutnya hanya terisi singkong rebus lantaran orang tuanya sedang tidak punya beras untuk ditanak. *** YA, sesuatu seperti penganan, ternyata tak berhenti sebagai sesuatu yang dikudap. Ia menyimpan tanda-tanda. Kenapa? Itu lantaran selalu ada proses penandaan. Penandaan inilah yang pada akhirnya memengaruhi orang untuk menerima atau ‘’terpaksa’’ menerima. Singkong atau apa pun sebutan khasnya di daerah Anda adalah tanaman jenis umbiumbian yang tumbuh di wilayah tropis. Kita di sini tentu akrab dengan penganan itu. Tapi entah sejak kapan, singkong ‘’diberi tanda’’ sebagai penganan yang kelasnya jauh di bawah roti, apalagi roti berkeju. Penyanyi Ari Wibowo pun sampai merepet-repet saat cintanya kandas lantaran dia hanya ‘’anak singkong’’ sementara sang gebetan berparfum dari Paris, bersepatu dari Italia, dan lebih suka makan keju. Tapi penandaan itu juga dinamik, maksudnya gampang berubah, gampang dikemas. Menu singkong berkeju yang mungkin sudah dijumpai di hotel berbintang tentu saja tidak bisa disebut makanan kaum papa. Pelbagai jenis olahan dari singkong yang disajikan di berbagai tempat dan dikudap berbagai kalangan tak pelak lagi menjadikan kita lupa bahwa singkong pernah punya label rendahan. Lantas muncullah surat edaran dari Pak Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bernomor 13 tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana. Salah satu isinya adalah soal konsumsi rapat hanya berisi makanan tradisional seperti singkong rebus, jagung rebus, combro, lemet, singkong urap, ubi rebus, dan makanan tradisional lainnya yang sejenis. Banyak yang menyambut bagus surat edaran itu lantaran ‘’hidup sederhana’’ yang disebut-sebut Pak Menteri, adalah konsep mulia. Ada pula yang berkomentar bahwa singkong rebus naik kelas. Ini bukti bahwa singkong pernah punya kelas yang tidak membuat pemakannya bermuka bangga. Kini, pemakan singkong tak lagi harus minder yang dengan lirih mendesah, ‘’Ah, aku hanya anak singkong.’’ Sebab, singkong sudah berkelas menteri. Petani penanam singkong bolehlah berbangga bahwa tanamannya kini sudah berkelas menteri dan boleh membayangkan harga jual yang lebih bagus karena ada tambahan kelasnya. Tapi masih banyakkah petani yang menanam singkong? Bisakah hasil panen singkong petani kita mencukupi kebutuhan kudapan di kantor-kantor pemerintah? ‘’Kalau tidak cukup, ya impor dong. Kan kita sudah jadi bangsa yang pandai mengimpor barang yang pernah diproduksi berlebihan oleh diri sendiri?’’ ujar Jon, sinis. ‘’Wah, bila seperti itu, mahal juga ya untuk mengudap singkong berkelas menteri....’’ (62)