Waktu Berharga

Transcription

Waktu Berharga
M e w a r t a k a n
I m a n
d a n
K a s i h
BERITA U.K.I
O K T O B E R
DI BULAN
NOPEMBER
Misa Minggu II,
Saat Menyatakan
Segala Sesuatu
10 Nopember 2013

Misa Minggu IV,
24 Nopember 2013

Rekoleksi Adven
Berharga
30 Nopember 2013
GEREJA
St. Anselm’s Church
1 MacNaughton Rd.
(Bayview & Millwood)
Toronto
ON M4G 3H3
Ph: (416) 485-1792
Subway Stn:
Davisville
Redaksi:
Angelina Hanapie
Julian Wibowo
Novius Handy
Yusup Yusup
Penasehat:
Rm. A. Purwono SCJ
Alamat Redaksi:
c/o Priests of the
Sacred Heart
58 High Park Blvd.
Toronto
ON M6R 1M8
Email:
redaksi@uki.ca
W W W . U K I . C A
Waktu
Saat Bersyukur dan
KEGIATAN

2 0 1 3 / N O . 2 5 7
aktu berlalu, tentulah sebuah kodrat.
Karena tak ada yang bisa
menghentikannya. Ia berjalan dan terus
berjalan tanpa henti. Di lingkarannya, kita hidup
dan terus mencari serta menemukan arti
kehidupan tersebut. Dan tak satupun dari kita,
ingin menjadi frustrasi, setelah mendapatkan
semua yang dicari di dunia ini, dan menemukan
itu semua tiada arti. Sebagai orang beriman, kita
yakin akan apa yang kita imani. Tidak ada
satupun yang tidak berarti ataupun sia-sia, sejauh
semuanya itu bertujuan untuk semakin yakin
bahwa Tuhan mencintai kita dan ingin membuat
kehidupan manusia berharga. Dan keyakinan itu,
adalah kata “amin” kita, dalam upaya untuk
menghidupi diri sebagai orang-orang yang dicintai
Tuhan, dan membuat kehidupan semakin
berharga.
Waktu berharga, adalah sebuah pilihan. Dan
pilihan kita adalah tidak membiarkan waktu
berlalu dengan sia-sia. Musim panas baru saja
lewat, berlanjut dengan musim gugur. Kurun
W
waktu itu, aneka kegiatan kita laksanakan, baik
secara pribadi maupun bersama, dalam keluarga
maupun komunitas UKI. Semua kegiatan itu
tentu menyisakan butir –butir pengalaman
berharga. Kehangatan, keharmonisan,
persaudaraan, sukacita, kesegaran, atau bahkan
pengalaman yang tidak kita kehendaki; yang
menimbulkan kesedihan, kehilangan dan
sebagainya. Itu semua adalah butir-butir
pengalaman berharga.
Butir-butir pengalaman itu, mestinya semakin
meyakinkan kita, bahwa Tuhan yang mencintai
kita adalah mahakuasa. Kuasa-Nya mampu
menerobos keterbatasan pemahaman kita, yang
sering bertanya; mengapa? Dan rasanya, bukan
jawaban atas pertanyaan itu yang sungguh kita
butuhkan, karena kita sadar, pastilah Tuhan
punya rencana. Dan yang sungguh kita inginkan
adalah; kekuatan untuk ikhlas menjalani semua
pengalaman itu. Keikhlasan tersebut akhirnya
menuntun kita menjadi penyembah-Nya. Menjadi
penyembah yang ikhlas dicintai dan dibentukBersambung ke halaman 10,
Pastor Pamong
Rm. Antonius Purwono SCJ
Antpur_scj74@yahoo.ca
Deacon
Deacon Val Danukarjanto, (416) 497.2274
danu@sympatico.ca
DEWAN PENGURUS
UMAT KATOLIK INDONESIA
Koordinator
Christine Budihardjo, (647) 895.7089
koordinator@uki.ca
Wakil Koordinator
Albert Tee, (905) 824.1168
Albert.tee1@gmail.com
Sekretaris
Kiki Hermyana, (647) 928.7119
sekretaris@uki.ca
Bendahara
Janto Solichin, (416) 587.2362
bendahara@uki.ca
WILAYAH TIMUR
Ketua Wilayah
Nani Widjaja, (416) 890.0894
east@uki.ca
Seksi Liturgi
Jeffrey Susilo, (416) 388.6169
liturgyukieast@yahoo.ca
Seksi Bina Iman
Reza Aguswidjaya, (647) 863.0030
rezaagus@yahoo.co.uk
Seksi Sosial
Sofjan “Chopi” Suhadi, (416) 949.3900
soflykos@yahoo.ca
Seksi Rumah Tangga
Selvie Widjaja, (647) 896.6121
selviewidjaja@yahoo.com
Usher
Harty Doyle, (647) 533.6246
Harty.doyle@gmail.com
WILAYAH BARAT
Ketua Wilayah
Ben Dijong, (905) 997.5765
west@uki.ca
Seksi Liturgi
Raymond Wirahardja, (905) 812.9491
liturgyukiwest@yahoo.com
Seksi Bina Iman
Maya Adisuria, (905) 814.8475
mayarudi@rogers.com
Seksi Sosial
Lucas Noegroho, (416) 859.0222
Lucas_noe@hotmail.com
Seksi Rumah Tangga
Ribkah Mesach, (905) 286.9081
rebeccamesach@yahoo.ca
Usher
Joyo Sudardi, (905) 785.6379
sudardi@lycos.com
BIDANG KHUSUS
Mudika, Yoanitha
mudikatoronto@gmail.com
PELAKSANA KHUSUS
Ketua Lektor
Lilian Tjokro, (905) 887.9546
Lilian.tjokro@rogers.com
Ketua Sakristi
Hendry Wijaya, (416) 450.6536
Hendry.wijaya@rogers.com
Warga UKI yang terkasih,
Dalam rangka menertibkan penyelenggaraan Misa UKI, permintaan ujud
misa dan doa umat, mohon disampaikan paling lambat satu minggu
sebelum Misa UKI, (bila dalam keadaan mendadak permintaan dapat
dilakukan sebelum Misa UKI) kepada
PERMOHONAN
Ujud Misa dan Doa Umat
DI MISA UKI
Wilayah WEST
Seksi Liturgy: Raymond Wirahardja (liturgyukiwest@yahoo.ca)
Ketua Wilayah: Ben Dijong (west@uki.ca)
Wilayah EAST
Seksi Liturgy: Jeffrey Susilo (liturgyukieast@yahoo.ca) atau
Ketua Wilayah: Nani Widjaja (east@uki.ca)
OKTOBER
2013/NO.257
HALAMAN
1.
3
3.
(1) Juara I, Kelompok Bible Study & PD
West: Iis, Cindra, Rosa, Siu Yang,
Christine. (2) Juara II, Kelompok Choir
West; Denny, Melly, Tiny, Dominicus,
Djoni. (3) Juara III, Kelompok PI
Ursula; Taufik, Yanti, Chopy, Lilian,
Hendry.
2.
Bible Games
Dalam rangka
menyambut bulan
KITAB SUCI, dan
sebagai acara tetap
tahunan di UKI
diadakan Bible Games
pada tanggal 22
September 2013. Ini
adalah tahun yang ke
enam dan acara
diselenggarakan seusai
Misa Minggu II. Tujuan
dari kegiatan ini
sederhana yakni agar
setiap kontestan
membaca dan
memahami alkitab.
cara yang dihadiri 19 orang dibagai
menjadi 5 grup. Dipandu oleh Maya
Adisuria sebagai MC, didampingi
oleh Romo Pamong, Antonius Purwono
SCJ sebagai juri, Ketua Bina Iman East Reza Agus dan Emerintia Muliadi sebagai
pemain music. Kehadiran para teknisi electronic, Lucas Noegroho, Chopi Suhadi dari
Seksi Sosial turut membantu lancarnya
acara Bible Games ini dengan menyediakan sound system, dan system tekan
tombol bel untuk para peserta berebut dan
berlomba mengumpulkan points. Wajah
wajah peserta, dari tahun ke tahun tidak
berbeda banyak. Lima grup peserta ini
mewakili dari kelompok kegiatan yang ada
di UKI, kelompok I mewakili grup Bible
Study dan PD West, kelompok II mewakili
grup Bible Study Ferry, kelompok III me-
A
wakili grup Choir West, kelompok IV mewakili Mudika , dan kelompok V mewakili PI
Ursula.. Diakui oleh Maya Adisuria, mencari peserta untuk ikut lomba tidak mudah,
peserta semakin sukar dicari sebab tidak
punya waktu untuk belajar. Namun beliau
tidak patah semangat, mengikuti anjuran
kegiatan yang pernah dilakukan oleh Christine Tanujaya, mantan Ketua Sie. Bina
Iman West, sebaiknya pertanyaan dikemas
sedemikian rupa agar tanpa belajar mereka
bisa menjawab. Disisi lain Maya sendiri
juga rindu mengingatkan janji-janji indah
dari Tuhan serta peringatan-peringatanNya
yang tertulis dalam kitab Suci untuk kita
dapat lebih baik dalam berlaku dan bertindak.
Dengan latar belakang ini, memang lomba Bible Quiz atau Games tahun
Bersambung ke halaman 7,
HALAMAN
4
Peluncuran Ensiklik Pertama Paus Fransiskus
Bersama Benediktus XVI: LUMEN FIDEI
ENCYCLICAL LETTER
LUMEN FIDEI
OF THE SUPREME PONTIFF
FRANCIS
TO THE BISHOPS PRIESTS AND
DEACONS
CONSECRATED PERSONS
AND THE LAY FAITHFUL
ON FAITH
Continuation,
13. The history of Israel also shows us
the temptation of unbelief to which the
people yielded more than once. Here the
opposite of faith is shown to be idolatry.
While Moses is speaking to God on Sinai,
the people cannot bear the mystery of
God’s hiddenness, they cannot endure
the time of waiting to see his face. Faith
by its very nature demands renouncing
the immediate possession which sight
would appear to offer; it is an invitation to
turn to the source of the light, while respecting the mystery of a countenance
which will unveil itself personally in its
own good time. Martin Buber once cited a
definition of idolatry proposed by the rabbi
of Kock: idolatry is "when a face addresses a face which is not a face".[10] In
place of faith in God, it seems better to
worship an idol, into whose face we can
look directly and whose origin we know,
because it is the work of our own hands.
Before an idol, there is no risk that we will
be called to abandon our security, for
idols "have mouths, but they cannot
speak" (Ps 115:5). Idols exist, we begin
BERITA
U.K.I
to see, as a pretext for setting ourselves at
the centre of reality and worshiping the
work of our own hands. Once man has lost
the fundamental orientation which unifies
his existence, he breaks down into the
multiplicity of his desires; in refusing to
await the time of promise, his life-story
disintegrates into a myriad of unconnected
instants. Idolatry, then, is always polytheism, an aimless passing from one lord to
another. Idolatry does not offer a journey
but rather a plethora of paths leading nowhere and forming a vast labyrinth. Those
who choose not to put their trust in God
must hear the din of countless idols crying
out: "Put your trust in me!" Faith, tied as it
is to conversion, is the opposite of idolatry;
it breaks with idols to turn to the living God
in a personal encounter. Believing means
entrusting oneself to a merciful love which
always accepts and pardons, which sustains and directs our lives, and which
shows its power by its ability to make
straight the crooked lines of our history.
Faith consists in the willingness to let ourselves be constantly transformed and renewed by God’s call. Herein lies the paradox: by constantly turning towards the
Lord, we discover a sure path which liberates us from the dissolution imposed upon
us by idols.
14. In the faith of Israel we also encounter
the figure of Moses, the mediator. The
people may not see the face of God; it is
Moses who speaks to YHWH on the mountain and then tells the others of the Lord’s
will. With this presence of a mediator in its
midst, Israel learns to journey together in
unity. The individual’s act of faith finds its
place within a community, within the common "we" of the people who, in faith, are
like a single person — "my first-born
son", as God would describe all of Israel
(cf. Ex 4:22). Here mediation is not an
obstacle, but an opening: through our
encounter with others, our gaze rises to
a truth greater than ourselves. Rousseau
once lamented that he could not see God
for himself: "How many people stand
between God and me!"[11] … "Is it really
so simple and natural that God would
have sought out Moses in order to speak
to Jean Jacques Rousseau?"[12] On the
basis of an individualistic and narrow
conception of knowledge one cannot
appreciate the significance of mediation,
this capacity to participate in the vision of
another, this shared knowledge which is
the knowledge proper to love. Faith is
God’s free gift, which calls for humility
and the courage to trust and to entrust; it
enables us to see the luminous path
leading to the encounter of God and humanity: the history of salvation.
The fullness of Christian faith
15. "Abraham rejoiced that he would see
my day; he saw it and was glad" (Jn
8:56). According to these words of Jesus, Abraham’s faith pointed to him; in
some sense it foresaw his mystery. So
Saint Augustine understood it when he
stated that the patriarchs were saved by
faith, not faith in Christ who had come
but in Christ who was yet to come, a faith
pressing towards the future of Jesus.[13]
Christian faith is centred on Christ; it is
the confession that Jesus is Lord and
that God has raised him from the dead
(cf. Rom 10:9). All the threads of the Old
Testament converge on Christ; he becomes the definitive "Yes" to all the
OKTOBER
2013/NO.257
promises, the ultimate basis of our
"Amen" to God (cf. 2 Cor 1:20). The history of Jesus is the complete manifestation of God’s reliability. If Israel continued to recall God’s great acts of love,
which formed the core of its confession
of faith and broadened its gaze in faith,
the life of Jesus now appears as the
locus of God’s definitive intervention, the
supreme manifestation of his love for us.
The word which God speaks to us in
Jesus is not simply one word among
many, but his eternal Word (cf. Heb 1:12). God can give no greater guarantee of
his love, as Saint Paul reminds us (cf.
Rom 8:31-39). Christian faith is thus faith
in a perfect love, in its decisive power, in
its ability to transform the world and to
unfold its history. "We know and believe
the love that God has for us" (1 Jn 4:16).
In the love of God revealed in Jesus,
faith perceives the foundation on which
all reality and its final destiny rest.
16. The clearest proof of the reliability of
Christ’s love is to be found in his dying
for our sake. If laying down one’s life for
one’s friends is the greatest proof of love
(cf. Jn 15:13), Jesus offered his own life
for all, even for his enemies, to transform
their hearts. This explains why the evangelists could see the hour of Christ’s
crucifixion as the culmination of the gaze
of faith; in that hour the depth and
breadth of God’s love shone forth. It was
then that Saint John offered his solemn
testimony, as together with the Mother of
Jesus he gazed upon the pierced one
(cf. Jn 19:37): "He who saw this has
borne witness, so that you also may believe. His testimony is true, and he
knows that he tells the truth" (Jn 19:35).
In Dostoevsky’s The Idiot, Prince Myshkin sees a painting by Hans Holbein the
Younger depicting Christ dead in the
tomb and says: "Looking at that painting
might cause one to lose his faith".[14]
HALAMAN
The painting is a gruesome portrayal of the
destructive effects of death on Christ’s
body. Yet it is precisely in contemplating
Jesus’ death that faith grows stronger and
receives a dazzling light; then it is revealed
as faith in Christ’s steadfast love for us, a
love capable of embracing death to bring
us salvation. This love, which did not recoil
before death in order to show its depth, is
something I can believe in; Christ’s total
self-gift overcomes every suspicion and
enables me to entrust myself to him completely.
17. Christ’s death discloses the utter reliability of God’s love above all in the light of
his resurrection. As the risen one, Christ is
the trustworthy witness, deserving of faith
(cf. Rev 1:5; Heb 2:17), and a solid support
for our faith. "If Christ has not been raised,
your faith is futile", says Saint Paul (1 Cor
15:17). Had the Father’s love not caused
Jesus to rise from the dead, had it not
been able to restore his body to life, then it
would not be a completely reliable love,
capable of illuminating also the gloom of
death. When Saint Paul describes his new
life in Christ, he speaks of "faith in the Son
of God, who loved me and gave himself for
me" (Gal 2:20). Clearly, this "faith in the
Son of God" means Paul’s faith in Jesus,
but it also presumes that Jesus himself is
worthy of faith, based not only on his having loved us even unto death but also on
his divine sonship. Precisely because Jesus is the Son, because he is absolutely
grounded in the Father, he was able to
conquer death and make the fullness of life
shine forth. Our culture has lost its sense
of God’s tangible presence and activity in
our world. We think that God is to be found
in the beyond, on another level of reality,
far removed from our everyday relationships. But if this were the case, if God
could not act in the world, his love would
not be truly powerful, truly real, and thus
not even true, a love capable of delivering
5
the bliss that it promises. It would make
no difference at all whether we believed in
him or not. Christians, on the contrary,
profess their faith in God’s tangible and
powerful love which really does act in
history and determines its final destiny: a
love that can be encountered, a love fully
revealed in Christ’s passion, death and
resurrection.
18. This fullness which Jesus brings to
faith has another decisive aspect. In faith,
Christ is not simply the one in whom we
believe, the supreme manifestation of
God’s love; he is also the one with whom
we are united precisely in order to believe. Faith does not merely gaze at Jesus, but sees things as Jesus himself
sees them, with his own eyes: it is a participation in his way of seeing. In many
areas in our lives we trust others who
know more than we do. We trust the architect who builds our home, the pharmacist who gives us medicine for healing,
the lawyer who defends us in court. We
also need someone trustworthy and
knowledgeable where God is concerned.
Jesus, the Son of God, is the one who
makes God known to us (cf. Jn 1:18).
Christ’s life, his way of knowing the Father and living in complete and constant
relationship with him, opens up new and
inviting vistas for human experience.
Saint John brings out the importance of a
personal relationship with Jesus for our
faith by using various forms of the verb "to
believe". In addition to "believing that"
what Jesus tells us is true, John also
speaks of "believing" Jesus and "believing
in" Jesus. We "believe" Jesus when we
accept his word, his testimony, because
he is truthful. We "believe in" Jesus when
we personally welcome him into our lives
and journey towards him, clinging to him
in love and following in his footsteps
along the way.
HALAMAN
6
To enable us to know, accept and follow
him, the Son of God took on our flesh. In
this way he also saw the Father humanly,
within the setting of a journey unfolding in
time. Christian faith is faith in the incarnation of the Word and his bodily resurrection; it is faith in a God who is so close to
us that he entered our human history. Far
from divorcing us from reality, our faith in
the Son of God made man in Jesus of
Nazareth enables us to grasp reality’s
deepest meaning and to see how much
God loves this world and is constantly
guiding it towards himself. This leads us,
as Christians, to live our lives in this world
with ever greater commitment and intensity.
Salvation by faith
19. On the basis of this sharing in Jesus’
way of seeing things, Saint Paul has left
us a description of the life of faith. In accepting the gift of faith, believers become
a new creation; they receive a new being;
as God’s children, they are now "sons in
the Son". The phrase "Abba, Father", so
characteristic of Jesus’ own experience,
now becomes the core of the Christian
experience (cf. Rom 8:15). The life of
faith, as a filial existence, is the acknowledgment of a primordial and radical gift
which upholds our lives. We see this
clearly in Saint Paul’s question to the Corinthians: "What have you that you did not
receive?" (1 Cor 4:7). This was at the very
heart of Paul’s debate with the Pharisees:
the issue of whether salvation is attained
by faith or by the works of the law. Paul
rejects the attitude of those who would
consider themselves justified before God
on the basis of their own works. Such
people, even when they obey the commandments and do good works, are centred on themselves; they fail to realize
that goodness comes from God. Those
who live this way, who want to be the
source of their own righteousness, find that
the latter is soon depleted and that they are
unable even to keep the law. They become
closed in on themselves and isolated from
the Lord and from others; their lives become futile and their works barren, like a
tree far from water. Saint Augustine tells us
in his usual concise and striking way: "Ab
eo qui fecit te, noli deficere nec ad te", "Do
not turn away from the one who made you,
even to turn towards yourself".[15] Once I
think that by turning away from God I will
find myself, my life begins to fall apart (cf.
Lk 15:11-24). The beginning of salvation is
openness to something prior to ourselves,
to a primordial gift that affirms life and sustains it in being. Only by being open to and
acknowledging this gift can we be transformed, experience salvation and bear
good fruit. Salvation by faith means recognizing the primacy of God’s gift. As Saint
Paul puts it: "By grace you have been
saved through faith, and this is not your
own doing; it is the gift of God" (Eph 2:8).
20. Faith’s new way of seeing things is
centred on Christ. Faith in Christ brings
salvation because in him our lives become
radically open to a love that precedes us, a
love that transforms us from within, acting
in us and through us. This is clearly seen in
Saint Paul’s exegesis of a text from Deuteronomy, an exegesis consonant with the
heart of the Old Testament message. Moses tells the people that God’s command is
neither too high nor too far away. There is
no need to say: "Who will go up for us to
heaven and bring it to us?" or "Who will go
over the sea for us, and bring it to us?" (Dt
30:11-14). Paul interprets this nearness of
God’s word in terms of Christ’s presence in
the Christian. "Do not say in your heart,
‘Who will ascend into heaven?’ (that is, to
bring Christ down), or ‘Who will descend
into the abyss?’ (that is, to bring Christ up
from the dead)" (Rom 10:6-7). Christ came
down to earth and rose from the dead; by
his incarnation and resurrection, the Son
of God embraced the whole of human life
and history, and now dwells in our hearts
through the Holy Spirit. Faith knows that
God has drawn close to us, that Christ
has been given to us as a great gift which
inwardly transforms us, dwells within us
and thus bestows on us the light that illumines the origin and the end of life.
21. We come to see the difference, then,
which faith makes for us. Those who believe are transformed by the love to which
they have opened their hearts in faith. By
their openness to this offer of primordial
love, their lives are enlarged and expanded. "It is no longer I who live, but Christ
who lives in me" (Gal 2:20). "May Christ
dwell in your hearts through faith" (Eph
3:17). The self-awareness of the believer
now expands because of the presence of
another; it now lives in this other and
thus, in love, life takes on a whole new
breadth. Here we see the Holy Spirit at
work. The Christian can see with the eyes
of Jesus and share in his mind, his filial
disposition, because he or she shares in
his love, which is the Spirit. In the love of
Jesus, we receive in a certain way his
vision. Without being conformed to him in
love, without the presence of the Spirit, it
is impossible to confess him as Lord (cf. 1
Cor 12:3).
The ecclesial form of faith
22. In this way, the life of the believer
becomes an ecclesial existence, a life
lived in the Church. When Saint Paul tells
the Christians of Rome that all who believe in Christ make up one body, he urges them not to boast of this; rather, each
must think of himself "according to the
measure of faith that God has assigned" (Rom 12:3). Those who believe
come to see themselves in the light of the
faith which they profess: Christ is the mir-
OKTOBER
2013/NO.257
ror in which they find their own image fully
realized. And just as Christ gathers to
himself all those who believe and makes
them his body, so the Christian comes to
see himself as a member of this body, in
an essential relationship with all other
believers. The image of a body does not
imply that the believer is simply one part
of an anonymous whole, a mere cog in a
great machine; rather, it brings out the
vital union of Christ with believers and of
believers among themselves (cf. Rom
12:4-5). Christians are "one" (cf. Gal
3:28), yet in a way which does not make
them lose their individuality; in service to
others, they come into their own in the
highest degree. This explains why, apart
from this body, outside this unity of the
Church in Christ, outside this Church which —
in the words of Romano Guardini — "is the
bearer within history of the plenary gaze of
Christ on the world"[16] — faith loses its
"measure"; it no longer finds its equilibrium,
the space needed to sustain itself. Faith is
necessarily ecclesial; it is professed from
within the body of Christ as a concrete communion of believers. It is against this ecclesial
backdrop that faith opens the individual Christian towards all others. Christ’s word, once
heard, by virtue of its inner power at work in
the heart of the Christian, becomes a response, a spoken word, a profession of faith.
As Saint Paul puts it: "one believes with the
heart ... and confesses with the lips" (Rom
10:10). Faith is not a private matter, a completely individualistic notion or a personal
opinion: it comes from hearing, and it is meant
to find expression in words and to be proclaimed. For "how are they to believe in him
of whom they have never heard? And how are
they to hear without a preacher?" (Rom
10:14). Faith becomes operative in the Christian on the basis of the gift received, the love
which attracts our hearts to Christ (cf. Gal
5:6), and enables us to become part of the
Church’s great pilgrimage through history until
the end of the world. For those who have
been transformed in this way, a new way of
seeing opens up, faith becomes light for their
eyes.□
HALAMAN
7
BIBLE GAMES...
ini dirasakan jauh lebih menarik.
Panitia selalu bekerja keras dan
berusaha sedemikian rupa dalam
mengemas bentuk acara bible quiz
yang unik, kreatif dan mudah namun tidak menghilangkan makna
yang penting untuk mendengar dan
mengetahui pesan, janji serta
peringatan dariNya. Menurut Maya
tantangannya adalah pada dirinya
Rm Antonius Purwono SCJ, Maya Adisiuria
sendiri, untuk mempersiapkannya perlu
banyak
waktu.
Mengemas bahan
quiz sangat tidak mudah karena
tidak
Grup PI Ferry: Yuni, Ferry, Sari
dan Handy
dapat mengetahui
secara persis kemampuan
peserta, pertanyaan apa
yang sekiranya cocok untuk
peserta yang beragam ini.
Grup Mudika: Michael, Nicole, Ryan, Astrid, Ozy
Tantangan lainnya dalam
mengatur pernak pernik di
hari H, sangat diperlukan
banyak bantuan. Pada
kesempatan ini ia ingin
berterimakasih kepada Sie
Sosial, suami (Rudy SB
Hartono) dan teman-teman
Reza
lain.
Nasya
Akhir kata, Maya
mengingatkan kita semua, acara ini hanyalah games,
santai, bukan mencari ijazah atau ujian untuk naik ke
surga…(di jawab sambil tertawa)..! Ia menghimbau tidak perlu takut atau malu, “Mari
kita nikmati Sabda Tuhan sambil bermain dan bergembira bersama.”
Sebagai penonton dan pengamat, setumpuk rasa syukur karena mendapat
kesempatan menerima pengajaran melalui BIBLE GAMES, kegembiraan melihat para
peserta yang berlomba menjawab setiap pertanyaan dengan keyakinan benar ataupun
salah, dan humor. Kita dukung kegiatan ini untuk menjadi semakin menarik dan
dirindukan oleh setiap dari kita. Mari bersatu sebagai warga UKI dalam kegiatan positif
melalui Bible Games.□ [Angie Hanapie]
HALAMAN
8
LUMPIA GORENG INDOMIE
Resep
Martha’s Kitchen
Juara III Lomba
Masak UKI
Bahan-bahan:
-Dua bungkus Indomie goreng
-Kulit Lumpia
-Wortel
-Kol
-Buncis
-Dada ayam
-Gula pasir
-Minyak Goreng
Cara Membuat:
1.Rebus Indomie sampai matang dan tiriskan
2. Daging ayam dipotong kecil-kecil dan tumis dengan 2
sendok minyak goreng.
3. Wortel diiris seperti batang korek api, Kol dan buncis diiris
halus.
4. Masukkan Wortel, Kol, Buncis, Indomie yang telah direbus
dan bumbu-bumbunya kedalam ayam yang sudah ditumis dan
aduk secara merata.
5. Beri setengah sendok teh Gula pasir dan aduk.
6. Kemudian angkat dan tempatkan dalam sebuah wajan.
Menggulung Lumpia:
Letakkan selembar kulit lumpia diatas talenan. Letakkan
diatasnya 2 sendok makan Indomie goreng yang telah
dicampur dengan bumbu bumbunya. kemudian dibentuk/dirol
memanjang.
Kemudian goreng dengan minyak yang cukup panas. Setelah
menguning angkat.
Untuk 2 bungkus Indomie goreng bisa jadi 12 biji lumpia.
Lukas 2: 29-30
“Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi
dalam dalam sejahtera, sesuai dengan firman-Mu,
sebab mataku telah melihat keselamatan yang
daripada-Mu”
Umat Katolik Indonesia di Toronto dan sekitarnya,
TURUT BERDUKA CITA,
atas berpulangnya:
Bapak Yahya Winata (97 thn)
Meninggal, 11 September 2013
Di Jakarta, Indonesia
Suami dari Almh. Nelly Salim
Ayah/Ayah Mertua dari
Salim Winata dan Sri
Herman Winata dan Swanny Tumbelaka
Bonny Winata dan Albert Jamin
Leza Winata dan Hoey Laswardi
Riswan Winata dan Gail Gautama
Opa dari Emil Laswardi, Dennis Laswardi, Alice Winata, Irsan
Jamin, Irma Jamin, Rene Winata, Aldo Winata
Ibu Djolina (90 thn)
Meninggal, 29 September 2013
Jam 19:05 WIB, di Medan, Indonesia
Istri dari Alm. Sujitno
Ibu / Ibu Mertua dari
Minijati Sujitno dan Ali Muara
Milajati Sujitno dan dr. Herwandi
Harianto Sujitno dan Lina Widjaja
Hartono Sujitno dan Farija
Sudjadi Sujitno dan Immelda
Misuaty Sujitno dan Edu Sutrisno
Mikiwaty Sujitno dan Agustinus Handratno
Mifoyaty Sujitno dan Sukardy Chandra
Oma dari Marcella Agustina dan Marcellina Kristiani
Tante dari Poa Kui Ie
Semoga Tuhan Yang Maha Rahim memberi keselamatan
kekal dan tempat peristirahatan yang indah di rumah Bapa
di sorga. Dan bagi keluarga yang ditinggalkan diberi
rahmat, kekuatan, ketabahan serta penghiburan dariNya.
Untuk lebih nikmat, buatkan sambal Indofood. Tambahkan
sedikit gula pasir kalo terlalu pedas.
SUMBANGAN MAKANAN
Harap menghubungi salah satu pengurus di
wilayah Anda, satu minggu sebelum Misa UKI
WEST: Ribkah Mesach, rebeccamesach@yahoo.ca
Ben Dijong, west@uki.ca
EAST: Selvie Widjaja, selviewidjaja@yahoo.com
Nani Widjaja, east@uki.ca
BERITA
U.K.I
OKTOBER
2013/NO.257
Anton and Melling Sjahlim, 44
HALAMAN
Andreas and Ilijani Halim, 42
Greg and Lian Sudjana, 45
Adrianto and Jeanne Suhendra, 45
Lebih dari 40 Tahun
Kebersamaan Dalam Kasih
Pada Misa Minggu ke empat
bulan September yang lalu, ada empat
pasang suami-istri maju ke depan
untuk mendapatkan berkat istimewa
dari Rm. Purwono SCJ,
karena
mereka
merayakan
“Wedding
Anniversary”. Bagi pasangan yang
telah bertahun-tahun hidup bersama
bahkan sudah empat puluh tahun
lebih, mungkin hari ulang tahun
pernikahan sudah menjadi hal yang
biasa. Bahkan kebanyakan pasangan
tidak lagi merayakannya dengan
sesuatu yang spesial seperti di awal
tahun pernikahannya. Akan tetapi
sebenarnya merayakan ulang tahun
pernikahan itu memiliki makna yang
lebih dari sekedar bertukar kado, pergi
ke restoran, dan bulan madu yang ke
sekian kalinya, akan tetapi peristiwa
ini dapat membuat pernikahan menjadi
semakin awet-mesra dan bahagia.
Alasan utama pentingnya
merayakan
hari
ulang
tahun
pernikahan adalah karena hari itu
merupakan hari yang paling bermakna
dalam hidup. Tanpa disadari, hari
pernikahan telah menjadi masa
transisi. Sejak hari itu, mereka mulai
tumbuh bersama sebagai pasangan
suami-istri. Ulang tahun perkawinan
menjadi ajang untuk mengevaluasi
kembali segala sesuatu yang penting
mengenai pasangan hidup dan
pernikahan yang mereka jalani. Tentu
sangat diharapkan, setelah bertahuntahun hidup dan menghadapi masalah
bersama,
pasangan
suami-istri
menjadi lebih mengenal dan mengerti
bahwa
kehidupan
pernikahan
menuntut suatu pengorbanan diri,
toleransi, kompromi, dan kasih
sayang.
Sebagaimana kita ketahui
bahwa dasar dari perkawinan Katolik
adalah Cinta Kristus (Yohanes 15:917 dan Efesus 5:22-23). Yesus sendiri
menyempurnakan nilai perkawinan ini
dengan
mengangkatnya
menjadi
gambaran akan hubungan kasih-Nya
kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia
sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan
menyerahkan nyawa-Nya baginya
untuk menguduskannya (Ef 5:25).
Maka para suami dipanggil untuk
mengasihi,
berkorban
dan
menguduskan istrinya, sesuai dengan
teladan yang diberikan oleh Yesus
kepada Gereja-Nya; dan para istri
dipanggil untuk menaati suaminya
yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef
5:23), seperti Gereja sebagai anggota
Tubuh Kristus dipanggil untuk taat
kepada Kristus, Sang Kepala.
Hubungan
kasih
ini
menjadikan pria dan wanita menjadi
‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang
secara mendalam diwujudkan di
dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika
dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan
dinyatakan
dengan
air,
atau
Penguatan
dengan
pengurapan
minyak, namun di dalam Perkawinan,
rahmat Tuhan dinyatakan dengan
pasangan itu sendiri. Inilah artinya
sakramen perkawinan: suami adalah
tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi
istrinya, dan istri adalah tanda rahmat
kehadiran Tuhan bagi suaminya.
Tuhan menghendaki perkawinan yang
sedemikian sejak masa penciptaan,
dengan memberikan rasa ketertarikan
antara pria dan wanita, yang harus
diwujudkan di dalam kesetiaan yang
tak terpisahkan seumur hidup; untuk
menggambarkan kesetiaan kasih Allah
yang tak terpisahkan dengan manusia,
seperti ditunjukkan dengan sempurna
oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai
mempelai-Nya. Karena itu harusnya
setiap hari suami selalu merenungkan:
“Sudahkah hari ini aku menjadi tanda
kasih Tuhan kepada istriku?”
demikian juga, istri merenungkan,
“Sudahkah hari ini aku menjadi tanda
kasih Tuhan kepada suamiku?”
Oleh karena itu perayaan
atau peringatan hari perkawinan
adalah sesuatu yang penting bukan
karena ada kesempatan untuk
berpesta, akan tetapi inilah hari yang
baik untuk melihat dan mengadakan
koreksi diri sehingga keintiman dan
kebahagiaan
di
dalam
hidup
berkeluarga akan tercapai. Pada
akhir kata, saya ucapkan bagi mereka
yang
merayakan
Wedding
Anniversary nya. Kesetiaan Anda di
dalam membangun hidup berkeluarga
secara Katolik menjadi pewartaan
akan kasih dan setia Allah kepada
manusia di jaman yang sudah mulai
memudarkan akan pentingnya nilainilai kesetiaan dan keintiman dalam
hidup berkeluarga.
Salam dan berkatku,
Rm. Aegi SCJ
9
HALAMAN
10
Sambungan dari halaman 1, Waktu…
Nya. Dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang
mau berjuang menjadikan hidup makin
berharga. Dengan demikian kita menjadi
penyembah-penyembah yang berhiaskan
rasa syukur atas berharganya setiap sisi
kehidupan kita.
Di hari Thanksgiving beberapa
waktu lalu, permenungan tentang rasa
syukur mendapatkan tantangannya. Saya
kutipkan sebagian kotbah saya saat misa
Thanksgiving. “Terlepas dari apapun yang
disyukuri, tradisi ini sangat kristiani;
bukankah bersyukur menjadi bagian yang
sangat penting dari iman kita? bahkan
dalam setiap segi perayaan iman, kata
syukur menduduki bagian sentral. Kita
memberi nama ekaristi dengan kata kurban
syukur. Ada doa syukur agung.. Yang
semuanya mengungkapkan betapa penting
bersyukur atas karya keselamatan yang
Tuhan berikan kepada kita.
Namun demikian, kata syukur itu
membahana luas artinya. Sehingga kerap
terjadi, kita nyaris tak dapat menangkap
apa apa dari kata itu. Atau sering menjebak
kita pada perolehan-perolehan yang kita
capai dan kita menghitungnya, dari situ
syukur menjadi bermakna. Lalu, ketika
tidak menemukan apapun dalam diri kita,
bertanya: bersyukur, apa yang disyukuri?
Kayak gini kog disyukuri?
Bacaan Injil hari ini, menjadi
cermin. Tempat kita berkaca dan
menemukan diri kita. Cermin bukan hakim
yang mengadili kita, lalu mengolok olok
kelemahan kita. Cermin objektif
memberikan pantulan diri kita, sehingga
kita tahu, seperti apakah kita. Maka dengan
berkaca pada Injil hari ini kitapun bisa
melihat siapakah aku? Adakah rasa syukur
itu muncul dari hidupku? Bagaimana itu?
10 orang kusta. Tidak ada yang
patut dibanggakan dari situasi hidup
mereka. Mereka adalah orang yang
malang, tersingkir dari masyarakat karena
dosa dan kemalangannya. Tidak ada ruang
dan tempat bagi mereka untuk pongah atau
sombong atas keberhasilan dan trimakasih Tuhan, selalu ia lambungkan.
pencapaian diri. Satu satunya yang bisa Akhirnya dia lulus kuliah dan mendapat
membuat dia bangga dan tumbuh pekerjaan. Bukan pekerjaan yang bergengsi
harapannya adalah sosok Yesus. Teriakan di mata dunia. Ia bekerja di panti asuhan,
minta tolong mereka adalah jeritan orang merawat anak yatim piatu dgn penuh cinta.
tanpa daya. Yesus adalah tempat daya itu Dan untuk inipun ia berdoa singkat:
berada. Dan mereka datang kepadaNya. “terimakasih Tuhan, atas kesempatan untuk
Keinginan untuk sembuh dan berubah akan mencintai dan merawat mereka”.
Itulah rasa syukur, ia tidak
situasi hidupnya membuat mereka antusias
untuk menjalankan apa yang disampaikan terpenjara oleh pandangan mata dan
keinginan fana. Sehingga rasa syukur mesti
Yesus. Singkatnya, mereka sembuh.
Apakah betul mereka sembuh? bermula dari segala sesuatu yang nikmat
Rasanya hanya satu yang sembuh. Yakni dan enak menjumlahkannya. Ia juga bisa
orang yang datang kepada Yesus dan muncul lewat derita dan situasi hidup yang
mengucapkan syukur. Yang lain, setelah tidak mudah memaknainya. Itulah daya,
memperoleh daya dari Yesus lalu lupa yang datang dari Yesus yang kita juga ingin
akan sumber daya itu, dan yakinlah, terus menimbanya. Seperti si kusta yang
mereka akan kehilangan daya lagi. Tapi k e m b a l i k e p a d a Y e s u s s e t e l a h
satu orang ini, tetap memiliki daya yang disembuhkannya. Seperti si gadis, yang
diberikan Yesus. Ia datang lagi kepada tidak bisa menolak situasi pahit hidupnya.
Semuanya hanya bermuara; hidup adalah
Yesus.
Ada sebuah cerita kecil; seorang anugerah yang selalu pantas disyukuri,
gadis cilik selalu diajari ibunya untuk apapun isinya. Karena Dia yang empunya. ”
Dengan demikian waktu menjadi
berterimakasih. Gadis itu lalu bertanya:
mengapa, untuk alasan apa? Ibunya berharga manakala setiap sisi kehidupan,
menjawab; nanti suatu saat kamu akan yang dijalankan di ruang lingkupnya,
mengetahuinya. 10 tahun berikutnya, menemukan tidak ada yang sia-sia. Yang
ibunya meninggal, bapaknya pergi ada hanya untaian syukur atas apapun yang
meninggalkan dia dan mungkin nikah lagi. terjadi itu berharga.□
Lalu ia hidup dengan om dan tantenya. [Rm Antonius Purwono SCJ]
Namun juga mendapatkan perlakuan yang
tidak mencerminkan bahwa ia
“Every Precious Gift Comes From Above”
adalah om dan tantenya, selalu
(James 1:17)
disakiti, dicaci dan dimaki.
Dalam situasi itu ia tetap
mendapatkan kesempatan
kuliah. Setiap hari dia selalu
September 15, 2013
berdoa; “Tuhan, sungguh hidup
At Mount Sinai Hospital, Toronto
ini beraaaaaat banget. Rasanya
Born to Seema Bains & Jonathan Gan
gak sanggup menjalaninya, tapi
Proud Grandparent
t e r i m a k a si h, a ku b ol e h
John and Leny Gan
mengalami pengalaman hidup
yang pahit ini dan terimakasih
Rejoicing with you on the arrival of
boleh tidak tahu kapan
your precious baby boy
kehidupan pahit ini akan
“ Umat Katolik Indonesia “
berakhir”. Sungguh doanya
tidak seperti kebanyakan orang.
Setiap saat doa pendek:
Dev Gan
WARGA UKI DAN INDONESIA HUBUNGI GREG ATAU SONELA HOXA
TELEPHONE # 905-695-1745
WARUNG KAMPUNG
Photo courtesy of Inge S Lasmana
Selamat kepada Ernes Sugiono atas pembukaan “WARUNG
KAMPUNG”, yang telah mengisi khazanah cita rasa
Indonesia di Canada bersama berbagai masakan
internasional lainnya.
Bagi anda yang selalu merindukan masakan Indonesia,
dapat mengunjungi Warung Kampung setiap hari dari jam
11 pagi hingga 8 malam, yang berlokasi di 3143 Eglinton
East, satu blok ke barat dari Markham Road dan Eglinton,
tepatnya berada di dalam JD’s Market.