Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
Transcription
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
KontraS KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi Salam dari Borobudur Salam Redaksi Di pertengahan Maret lalu, DPR RI menolak membawa peristiwa Trisakti, Semanggi I dan kasus Semanggi II yang terjadi tahun 1998-1999 ke rapat paripurna. Alasan penolakan ini ialah DPR periode 2004-2009 tidak mau melakukan perubahan terhadap putusan DPR periode sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran berat HAM pada peristiwa diatas. Keputusan ini jelas sangat mengecewakan dan menggambarkan watak para wakil rakyat kita yang tidak menganggap penting ada pembunuhan dan kekerasan lainnya yang dialami oleh warga bangsa yang dilakukan negara. Bila kejahatan kemanusiaan tidak lagi dianggap sebagai bagian penting dari persoalan bangsa ini, maka sama saja para wakil rakyat itu mengamini terjadi kekerasan negara. juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Keadilan yang tak berpihak, dan hukum yang tak pernah berlaku adil ini menjadi kupasan utama dalam edisi berita utama buletin kali ini. Kami memfokusnya dalam tema besar tentang impunitas dalam kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Sementara sejumlah berita dari daerah menjadi informasi yang diangkat dalam rubrik berita daerah. Seperti biasa pula sejumlah informasi dalam rubrik rempah-rempah, seperti peringatan HUT KontraS yang ke-9, seleksi para anggota Komnas HAM, hingga perkembangan kasus Tanjung Priok, menjadi informasi penting lain yang kami sajikan. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia Sementara itu, perkembangan atas kasus perjuang aktivis HAM Munir memasuki babak baru. Di awal April, setelah tiga bulan melakukan penyelidikan pihak kepolisian mengumumkan adanya dua tersangka baru dalam kasus ini. Meski dua tersangka ini (Indra Setiawan dan Ramelgia Anwar), bukanlah orang baru, namun kedua orang dalam Garuda ini terus diperiksa untuk mengembangkan keterlibatan mereka dalam kasus ini. sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Polisi juga mengajukan tiga novum baru ke Kejaksaan Agung. Temuan tiga novum ini diharapkan menjadi temuan penting yang dapat dipergunakan sebagai pengajuan kembali (PK) kasus ini oleh pihak kejaksaan agung. Dan dari sejumlah temuan lain yang ada, Pollycarpus disebut-sebut tetap terlibat dalam konsiprasi pembunuhan ini. Artinya, meski Polly telah diputus bebas lewat kasasi MA akhir Desember tahun lalu, tampaknya Polly akan kembali dijerat. Kita berharap bahwa temuan kali ini menjadi bukti baru yang bisa menjerat aktor intelektual dari kasus ini. Tak ada kata lain, sang aktor harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan biadabnya itu. Karena, keadilan dan hukum memang harus berpihak pada kebenaran. *** Ndrie, Gian, Abu, Victor, Sinung, Ori, , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud. Federasi Kontras: Mouvty dan Bustami. Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri Suparyati dan Mufti Makaarim. Design layout: BHOR_14 Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email: kontras_98@kontras.org. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau kontras_98@kontras.org Berita Kontras No.02/III-IV/2007 2 BERITA UTAMA Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM DPR Menjelma Dalam Modus Impunitas HAM Sembilan tahun sudah reformasi bergulir. Sembilan tahun pula kasus pelanggaran HAM (Trisakti, Semanggi I dan Seamnggi II, Penghilangan aktivis dan peristiwa Mei 1998) tak memperoleh tempat bagi pemenuhan keadilan korban. Puncaknya di pertengahan Maret lalu, Badan Musyawarah (Bamus) DPR menolak membawa kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) ke Rapat Paripurna DPR dengan alasan DPR periode 1999-2004 telah menyatakan kasus tragedi TSS bukanlah pelanggaran berat HAM. Inilan gambaran bahwa pemberian impunitas (kekebalan hukum) terhadap pelaku pelanggaran HAM telah berlangsung secara sistematis. Hingga saat ini dengan beribu alasan negara masih bertanggungjawab untuk mengakui adanya warganegara yang menunjukkan keengganan untuk mempertanggungjawabkan telah dihilangkan secara paksa dan sekaligus menjelaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM terjadi. Misalnya pada keberadaan mereka saat ini. kasus penculikan/penghilangan paksa ktifis 1997-1998, Tapi, Kejaksaan Agung bukannya segara melakukan proses peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, Tragedi penyidikan, malah menyatakan akan Mei 1998, kasus Wasior, Wamena hingga saat menunggu keputusan politik dari DPR dan ini Kejaksaan Agung masih bersikukuh Dok.Kontras Presiden. Hal ini kembali menunjukkan menolak melakukan penyidikan dengan alasan bahwa ada upaya penghambatan terhadap materil maupun formil yang mengada-ada. kasus penghilangan paksa seperti kasusDemikian pula peradilan terhadap kasus Timur kasus pelanggaran HAM lain sebelumnya. Timor dan Tanjung Priok di pengadilan HAM ad hoc berujung pada pemberian impunitas Seharusnya bila DPR serius menuntaskan terhadap pelaku dan pengabaian terhadap kasus pelanggarab HAM dengan cepat, tidak pemberian reparasi (hak atas pemulihan) bagi perlu mengikuti kemauan Kejagung, korban. Pada kasus Timur Timor hanya satu demikian dinyatakan oleh Mugiyanto, Ketua orang sipil, Eurico Gutteres yang dipersalahkan Ikatan Keluarga Orang Hilang. Begitu pula sebagai terpidana, sementara kalangan TNI/ dengan Kejagung. Menurut Mugi, bila serius Polri maupun Gubernur Timtimnya sendiri menyelesaikan kasus itu, sebaiknya Kejagung dinyatakan bebas oleh pengadilan. Pada kasus langung menindaklanjuti hasil penyelidikan Tanjung Priok semua terdakwa yang diajukan Komnas HAM ke tingkat penyidikan, tanpa Aksi menuntut penuntasan ke pengadilan dinyatakan bebas atau tidak perlu menunggu pembentukan pengadilan kasus pelanggaran HAM terbukti melakukan pelanggaran HAM. Hal HAM ad hoc. serupa terjadi ketika pengadilan HAM terhadap peristiwa Abepura 2000 di gelar di Makassar, para pelakunya Alih-alih, menyikapi tuntutan pengungkapan kasus penculikan dinyatakan bebas/tidak terbukti. aktivis ini, DPR dalam Rapat Paripurnanya pada Februari lalu, Dalam konteks ini negara telah kehilangan perannya yang paling fundamental yaitu memberi rasa aman, dan menjamin keadilan bagi warganya. Pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini negara dengan upaya sistematis malah melemahkan posisi korban untuk mendapatkan kepastian hukum. Negara membentengi dirinya dengan sibuk melindungi para pelaku sejak kasus-kasus ini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, kemudian politisasi di DPR, serta pengadilan sebagai pintu terakhir pemberi impunitas. Pada kasus penghilangan paksa 1997/1998, atau yang lebih populer dengan sebutan penculikan aktivis pro-demokrasi, sebelumnya, Komnas HAM (8/11/2006) telah menetapkan kasus ini sebagai sebuah pelanggaran HAM yang berat. Dalam rekomendasinya, Komnas meminta agar laporan ini ditindaklanjuti Kejaksaan Agung, DPR RI dan Presiden untuk dibawa ke pengadilan HAM. Sementara bagi korban dan keluarga korban diupayakan rehabilitasi, kompensasi dan restitusi. Disisi lai dapat dilihat bahwa Negara harus 3 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 memutuskan untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengkaji hasil penyelidikan Komnas HAM. Langkah DPR ini seolah ingin kembali mengulangi hasil fatal dari Pansus TSS pada periode 1999-2004 lalu. Kritik terhadap putusan pembentukan Pansus penculikan ini muncul dikalangan anggota dewan sendiri. Misalnya, Akil Mochtar, anggota Fraksi Partai Golkar, yang juga ditunjuk sebagai anggota dari Pansus ini menyatakan keraguan atas hasil yang akan didapat dari Pansus ini. Akil malah berencana mengundurkan diri dari Pansus ini dengan alasan masih trauma dengan hasil Pansus TSS pada DPR periode sebelumnya, yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Menurutnya, DPR telah mengambil domain penyidikan yang seharusnya menjadi otoritas Kejaksaan Agung. Seharusnya Komisi III melakukan pengkajian terhadap temuan Komnas HAM ini dan membuat rekomendasi perlu tidaknya dibuat rekomendasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc atau tidak, tambah Akil. Pesimistis terhadap keberadaan Pansus ini juga diutarakan oleh Benny K. Harman, anggota DPR dari Fraksi Demokrat. BERITA UTAMA Menurutnya, apa yang dikerjakan Pansus ini hanya akan membuang-buang waktu saja, bila pansus kembali melakukan penyelidikan sebagaimana telah dilakukan oleh Komnas HAM. Dalam konteks ini menurut Benny, DPR akan berada pada posisi yang justru menghambat penegakan HAM di Indonesia. Anti HAM dan Anti Konstitusi Puncaknya, bak lakon sinetron Indonesia yang sudah bisa ditebak, Bamus DPR (13/03/) menyatakan bahwa kasus Trisakti 1998, Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999) tidak dapat diteruskan ke Rapat Paripurna DPR karena Bamus masih sependapat dengan hasil Pansus TSS pada DPR periode 1999-2000 yang menyatakan kasus bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat. Jelas, kita mengecam keputusan ini. Sikap ini menunjukan bahwa DPR RI telah menjadi bagian penting dalam modus impunitas (kejahatan tanpa hukum) di Indonesia. Padahal hal ini juga bertentangan dengan Konstitusi dan UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. korban serta keluarganya. Keputusan DPR ini merupakan sikap politik yang setali tiga uang dengan sikap pemerintah cq Jaksa Agung yang selama ini menolak untuk melakukan penyidikan. Sulit mengharapkan pemerintahan SBY menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sikap ini memang bukanlah suatu yang aneh bila melihat konsfigurasi fraksi di DPR yang menolak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Sebagian besar fraksi-fraksi tersebut merupakan partai-partai pendukung pemerintah. Jadi, fakta ini sesungguhnya menunjukan bahwa politik HAM parpol dan DPR sangat ditentukan oleh kepentingan untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan, bukan konstituen. Situasi ini menjadi sebuah cermin labirin impunitas, sebuah ketidakjelasan atas ketiadaan proses penghukuman dari berbagai institusi negara yang semestinya berwenang. Ketidakjelasan ini menunjukkan negara, bahkan melalui insitusi perwakilan rakyatnya telah unwiliing (tidak berniat) and unable (tidak mampu) dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Sungguh ironis, karena sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia harus membuktikan tercapainya penegakan dan pemenuhan HAM, khususnya menyelesaikan problem-problem pelanggaran HAM di masa lalu. Sejak awal DPR (yang lalu maupun yang saat ini) memang tidak berkehendak untuk mendorong kasus TSS diadili secara layak dan akuntabel melalui mekanisme pengadilan HAM. Hal ini bisa dilihat dari Fungsi Jaksa Agung dua Bamus telah dua kali pada 2006 Fenomena kasus TSS merekomendasikan Komisi III untuk ini merupakan wajah Sebelumnya juga, mengenai polemik Pasal 43 UU Pengadilan HAM, KontraS sudah berkali-kali melakukan kajian atas kasus TSS. Oleh masifitas lembagamengingatkan bahwa fungsi Jaksa Agung ada dua, karenanya hasil Komisi III yang menyatakan lembaga negara yakni sebagai penyidik dan penuntut. Jaksa Agung terdapat pelanggaran HAM yang berat, untuk menghindar saat ini belum masuk dalam tahapan untuk seharusnya otomatis diterima. Bukti lainya menuntaskan kasus menyerahkan kasus ini ke pengadilan HAM. Karena adalah prosedur-prosedur DPR yang sangat pelanggaran HAM itu ada di tahap penuntutan. Saat ini kasus tersebut tidak lazim dalam membuat keputusan. yang berat. baru masuk dalam tahap penyidikan, belum Terakhir, sepertinya semua pihak dalam DPR, penuntutan. Karena itu wajib menindak lanjuti hasil Fraksi dan alat kelengkapan DPR, merasa berkepentingan untuk membahas namun akhirnya tetap penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan. Jika penyidikan selesai, dan Jaksa Agung hendak melakukan menolak menindak lanjuti. penuntutan, baru DPR merekomendasikan pengadilan HAM ad Padahal, semangat dari dimintanya DPR membuat hoc. Dengan begitu, alasannya lebih masuk akal. rekomendasi hanya untuk meminta ijin ketika prinsip hukum non retro aktif dilanggar dalam penegakan hukum Permintaan Jaksa Agung agar DPR lebih dulu mengusulkan atas kasus pelanggaran HAM dimasa lalu yang belum diadili pengadilan ad hoc HAM sebelum Jaksa Agung menyidik, sama secara layak. DPR bukan diminta untuk menentukan kapan? saja dengan meminta DPR kembali masuk ke ranah hukum. Jaksa Dimana? Dan layak atau tidaknya kasus tersebut diteruskan. Agung seharusnya berpegang teguh pada hukum yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk menentukan dugaan Hal ini telah menjadi tugas Komnas HAM. terjadinya pelanggaran HAM berat. Sebab bukan tidak mungkin Fenomena kasus TSS ini merupakan wajah masifitas kasus penculikan aktivis 1997/1998 akan bernasib seperti kasus lembaga-lembaga negara untuk menghindar menuntaskan Trisakti Semanggi. Terhambat karena DPR masuk ke ranah kasus pelanggaran HAM yang berat. Fakta ini justru hukum dan menganulir penyelidikan Komnas HAM. bertentangan dengan norma dan image Indonesia di Internasional. Penegakan HAM tanpa diskriminasi Hal senada diungkapkan oleh anggota Komnas HAM, Eny merupakan amanat UUD 1945. Di level internasional Soeprapto, yang dengan tegas mengatakan bahwa Komnas HAM Indonesia menduduki posisi cukup penting dalam Dewan menolak langkah DPR dalam membentuk Pansus kasus HAM PBB serta telah meratifikasi konvenan hak-hak sipil penghilangan orang atau penculikan aktivisi 1997-1998. Penolakan ini karena DPR hanya lembaga politik yang tidak dan Politik. mempunyai kewenangan menyelidiki dan menyidik. Pada posisi ini DPR juga kembali menunjukkan keberpihakannya terhadap para pelaku, dibanding upaya Menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, DPR hanya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi berperan mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Berita Kontras No.02/III-IV/2007 4 BERITA UTAMA pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Seharusnya, DPR menyerahkan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Untuk itu, Komnas HAM akan segera melakukan rapat paripurna menyusul keputusan DPR tersebut. Putusan ini kembali menunjukkan ada begitu banyak pihak, khususnya lembaga negara yang ingin menggelapkan kasus ini, salah satunya lewat sebuah keputusan atau sebuah kebijakan yang kerap pula dipolitisir. Dalam perjalanan delapan tahun kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada, kita bisa melihat dengan arah kebijakan yang sangat tidak memihak pada kepentingan korban oleh penguasa. Atas kekacauan penegakan Hukum HAM dan intervensi politik dalam penegakan HAM, KontraS merekomendasikan, dilevel hukum, agar sesegera mungkin Departemen Hukum dan HAM melakukan sosialisasi sistem penegakan hukum dan prinsipprinsip HAM ke anggota DPR. Tujuannya agar prinsip-prinsip hukum dan HAM dimaknai dalam aktifitas politik, sehingga terbangun politik yang konstitusional dan terpenuhinya hak korban. KontraS juga berharap Komnas HAM segera meminta pendapat dari Mahkamah Konstitusi tentang peran DPR yang terlalu jauh merasuki proses hukum. Secara politis, KontraS juga mengingatkan DPR bersiap diri menerima sanksi sosial dan moral dari masyarakat atas keputusannya. Dilevel internasional putusan ini semakin memperburuk citra Indonesia dalam penghormatan Hak Asasi Manusia dimata dunia Internasional. *** Mempertegas Komitmen Pelanggaran HAM Dalam rangka sidang ke-empat Dewan HAM di Geneva 12-30 Maret 2007, delegasi NGO di Indonesia akan hadir untuk mempertegas komitmen internasional dalam menyikapi kondisi HAM di Indonesia. Momentum ini menjadi ruang strategis untuk kembali menagih komitmen pemerintah sebagai anggota Dewan HAM PBB dalam menjalankan pemajuan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Pemantauan atas pelaksanaan komitmen ini akan menjadi landasan bagi evaluasi kinerja pemerintah untuk dipilih kembali menjadi anggota Dewan HAM PBB, pada Mei 2007. Hingga saat ini, masih terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di wilayah Poso dan Papua, kejahatan- kejahatan perusahaan, pelanggaran terhadap hak-hak kesehatan, kemisikinan, bencana alam, serta pelanggaran terhadap hakhak kelompok minoritas seperti buruh migran dan masyarakat adat. Selain itu, problem impunitas atas permasalahan HAM semakin menguat. Hal ini tampak dari ketiadaan komitmen pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk penyelesaian kasus pembunuhan Munir. Tampak jelas bahwa ratifikasi berbagai konvensi internasional termasuk Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pada 2005 lalu tidak diimplementasikan secara penuh. Hal ini sungguh bertolak belakang dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin pada agenda high /eve/ segment dalam sidang Dewan HAM PBB, 13 Maret 2007 lalu. Dalam pidatonya, pemerintah berjanji untuk meratifikasi 3 buah konvensi internasional, yaitu Migrant Worker’s Convention, the Disabi/ities Convention dan Convention on Enforced Disappearance, mengundang specia/ rapporteur untuk memberi masukan pada mekanisme nasional. Selain itu, pemerintah juga berjanji untuk mendukung pemenuhan norma HAM dan standar intemasional serta akan menjalankan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional HAM 1999-2003 dan 2004-2009. Pemerintah 5 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 bahkan berjanji untuk mengedepankan perlindungan dan pemenuhan hak-hak fundamental manusia (non derogab/e rights). Dukungan internasional Di sisi lain, dengan jelas terungkap bahwa pernyataan tersebut tidak merefleksikan kondisi hak asasi manusia di tingkat nasional. Kiranya kita patut khawatir bila hal serupa akan terus didengungkan sebagai alat bagi diplomasi ditingkat internasional tanpa ada kontrol dari masyarakat sipil. Karenanya tidak salah bila kita terus memberi tekanan, agar komunitas Internasional, khususnya melalui mekanisme PBB, mendesak pemerintah Indonesia melaksanakan berbagai instrument hukum HAM internasional dan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terus berlangsung. Termasuk pula dukungan intemasional baik dari negara maupun dari Dewan HAM untuk perbaikan dan penyelesaian HAM di Indonesia. Sementara itu melihat maraknya praktek-praktek kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan TNCs-MNCs, secara khusus kita meminta dewan ham PBB untuk berinisiatif membentuk badan pelapor khusus yang melakukan pemantauan atas kasus-kasus kejahatan korporasi yang terjadi selama ini. Sekali lagi, tak ada kata lagi, pemerintah Indonesia harus secara serius melaksanakan berbagai janji yang diucapkan baik dalam pidato high /eve/ segment maupun janji dan komitmen saat mencalonkan diri menjadi anggota Dewan HAM PBB. Secara khusus, juga meminta pemerintah segera mengundang specia/ rapporteur extrajudicia/, summary or arbitrary execution untuk kasus Munir serta specia/ rappertur of independency judiciary untuk problem impunitas yang terjadi. Terakhir, mendesak pelaksanaan RANHAM secara optimal di seluruh wilayah Indonesia.*** OPINI Labirin Impunitas Atas kejahatan Kemanusiaan Indria Fernida Kepala Bidang Operasional KontraS Awal medio 2007, kembali mengemuka pembahasan dan debat terhadap tindak lanjut kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini terbengkalai, kasus Trisakti Semanggi I dan II, Mei 1998 dan Penculikan Aktivis 1997/1998. Dalam Rapat Kerjanya Komisi III DPR kembali mempertanyakan penyelesaian kasus-kasus tersebut kepada Jaksa Agung maupun Komnas HAM. Komnas HAM menyatakan bahwa penyelidikan telah selesai dan prosesnya saat ini ada pada tingkat penyidikan Jaksa Agung. Sementara Jaksa Agung juga tetap bersikukuh untuk menunggu usulan DPR bagi pembentukan pengadilan HAM adhoc. Di sisi lain, dalam level proses yang sama, tak tampak pembahasan kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 di Papua, yang secara hukum tak memiliki hambatan untuk segera disidik. Jawaban Komnas HAM dan Jaksa Agung tetap sama seperti tahun lalu. Termasuk juga debat dan saling tuding yang mendasarkan diri pada interpretasi yang berbeda dari regulasi yang ada. Sementara Komisi III DPR tampak tak punya argumentasi yang tegas sehingga memberikan respon yang berbeda kepada Jaksa Agung dan Komnas HAM. Di sisi lain, respon penanganan terhadap penyelesaian kasus Trisakti Semanggi berbeda dengan kasus Mei 1998 dan kasus Penculikan Aktivis 1997/1998. Untuk kasus Trisakti Semanggi, DPR mendorong Jaksa Agung untuk menyidik tanpa mencabut rekomendasi politik yang dihasilkan pada periode 1999-2004 lalu, yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat untuk kasus Trisakti Semanggi I dan II. Setahun kemudian Komnas HAM, satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM berat untuk kasus ini. Jika dilihat dalam logika hukum, tentu saja keputusan politik DPR yang lahir dari bias kepentingan politik bisa diabaikan karena tidak memiliki upaya hukum yang mengikat. Apalagi tidak ada kewenangan DPR untuk melakukan tugas penyelidikan hukum. Namun ternyata hal tersebut menjadi alasan utama ditundanya penyidikan Jaksa Agung (selain tentunya alasan formil dan materil yang dikemukakan, sehingga terjadi pengembalian berkas penyelidikan berkali-kali). Sejak pertengahan Juni 2005, janji DPR untuk mencabut rekomendasi tak kunjung direalisasikan. Pembahasan dalam mekanisme internal tidak pernah masuk dalam substansi permasalahan, tetapi hanya mendelegasikan rencana pembahasan dalam rapat internal lainnya. Alhasil, tak pernah ada langkah nyata untuk pencabutan rekomendasi tersebut. Bagi kasus Penculikan Aktivis 1997/1998 berbeda lagi. Jaksa Agung tak mau melakukan penyidikan dengan alasan pengadilan HAM adhoc belum dibentuk. Sebuah alasan yang mengada-ada karena secara institusional pengadilan HAM terdapat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara ‘adhoc’ mengacu pada peristiwa serta perangkat pendukung seperti hakim adhoc dan jaksa adhoc. Selain itu, proses hukum dalam kasus tersebut saat ini ada pada tahap penyidikan Jaksa Agung, yang memiliki kewenangan untuk menggali fakta dan mencari bukti-bukti untuk memperkuat hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menyimpulkan ‘dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat’. Proses penuntutan inilah yang akan menjadi landasan DPR untuk mengusulkan kepada Presiden bagi pembentukan pengadilan HAM adhoc. Di sisi lain, terdapat hal yang khusus dalam rekomendasi Komnas HAM untuk kasus ini. Berdasarkan prinsip HAM serta Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, sejumlah aktivis yang masih hilang harus diyakini masih hidup, sehingga dianggap sebagai kejahatan yang berkelanjutan (continuoing crimes). Oleh karenanya jurisdiksi pengadilan ada pada tahap pengadilan HAM (yang permanen). Di tengah ketidakjelasan tersebut, Komisi III DPR justru “kalah berdebat” dengan Jaksa Agung. Rapat Paripurna DPR memutuskan membentuk Pansus untuk kasus Penculikan Aktivis 1997/1998 sebagai alat untuk rekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM adhoc kepada Presiden. Sebuah keputusan yang mengecewakan mengingat langkah serupa pernah diambil untuk kasus Trisakti Semanggi I dan II, yang justru menjadi penghambat hingga kini. Langkah ini juga justru memperlambat pemenuhan hak korban yang telah lama menanti keadilan. Apalagi Rapat Kerja Tripartit antara Komisi III DPR dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM – yang diusulkan oleh korban dan kelompok sipil dan diharapkan dapat menghasilkan penyelesaian yang efektif – tidak berhasil mengakhiri kebuntuan ini. Tampak jelas adanya politik hitam yang kental dalam tubuh DPR yang menunjukkan keberpihakannya untuk menghambat penyelesaian kasuskasus masa lalu. Keadilan yang Terus Terbengkalai Dalam waktu yang sama, Komnas HAM masih berkutat untuk menyelidiki kasus Talangsari 1989. Proses hukumnya berjalan tertatih-tatih, sejak dibentuk 2005 lalu. Secara internal, para anggota Komnas HAM beralasan sibuk untuk Berita Kontras No.02/III-IV/2007 6 OPINI melakukan pekerjaan lainnya, sehingga tidak memprioritaskan penyelesaian kasus ini. Selain itu Komnas HAM juga tidak mendapatkan respon serius dari aparat TNI untuk bekerja sama. Sebuah bentuk nyata minimnya kerjasama dan kemauan politik dari lembaga terkait lainnya. Hal serupa yang juga terjadi pada saat penyelidikan kasus Trisakti Semanggi I dan II, Mei 1998 maupun kasus Penculikan Aktivis 1997/1998, seperti ijin Kejaksaan Agung untuk pemeriksaan lokasi serta ijin Ketua Pengadilan Negeri untuk pemanggilan paksa. Menjelang penyelidikan selesai, upaya Komnas HAM bertemu Presiden untuk mendiskusikan hal ini juga tak terwujud. UU Otonomi Khusus di Papua dan UU Pemerintahan Aceh tak juga nyata wujudkan pengadilan HAM dan KKR sebagai upaya pemenuhan korban pelanggaran HAM. Korban ditinggalkan. Korban dilupakan. Labirin Impunitas Ketidakjelasan seluruh proses ketiadaan pertanggungjawaban dan penghukuman ini menunjukkan pola labirin impunitas. Seluruh insitusi negara, seakan bahu membahu saling menuding untuk melempar tanggung jawabnya, tanpa ada jalan keluar yang efektif. Tampak jelas tiadanya political Dok.Kontras will yang cukup dari pemerintah dan DPR untuk mendorong proses kebenaran (truthseeking) dari peristiwa kemanusiaan di masa lalu. Sementara sederet kasus pelanggaran HAM berat lainnya tak juga tersentuh hukum. Negara seakan lupa bahwa telah terjadi berbagai kejahatan kemanusiaan di negeri ini. Alih-alih mengakui bertanggungjawab atas keterlibatannya, tetapi justru Pembenahan reformasi sistem dan membiarkan para korban pelanggaran HAM institusi hukum serta reformasi dalam terus menjadi korban. Hingga saat ini sektor keamanan melalui regulasi yang misalnya, korban 1965 tetap mengalami berpihak pada HAM, ratifikasi diskriminasi karena dituduh sebagai bagian berbagai konvensi hingga janji dan dari partai komunis yang diperlakukan ikrar sukarela saat menjadi anggota sebagai ‘anak tiri’ di negeri ini. Jangankan Dewan HAM PBB tak cukup jika tak digelarnya penyelidikan atas fakta yang diiringi dengan pelaksanaan nyata. terjadi, berbagai regulasi yang masih Upaya itu justru menimbulkan dugaan mendeskreditkan diri mereka masih belum miring sebagai politik manis dicabut. Akibatnya, rehabilitasi sosial tak Aksi menuntut penuntasasan pemerintah dalam kancah pernah terwujud. Rekomendasi dari pelanggaran HAM internasional. Mahkamah Agung, DPR dan Komnas HAM kepada Presiden RI untuk pemenuhan Pembiaran terhadap seluruh rehabilitasi umum kepada para korban juga tak mendapatkan kebuntuan ini jelas merupakan pelanggaran konstitusional. respon yang berarti. Karena proses penegakan, perlindungan dan pemenuhan HAM Kasus Pembunuhan Munir, yang menjadi harapan bagi tonggak tercapainya keadilan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya juga kelam. Kepolisian tak juga menuntut pelaku konspirasi pembunuhan, walau jelas dinyatakan dalam putusan PN Pusat. Jaksa Agung belum juga membuka percakapan 41 kali antara Pollycarpus dan Muchdi PR, mantan Deputy V BIN. Sementara Presiden tetap diam. Tak juga umumkan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta yang secara politik semestinya dapat mendorong seluruh institusi negara untuk mengungkap pembunuhan ini. Di sisi lain harapan dari pengadilan HAM seakan pupus, melihat kenyataan bahwa pengadilan justru membebaskan para pelaku pelanggar HAM. Sungguh ironi, karena ternyata tak ada yang bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan kemanusiaan di Timor Leste, Tanjung Priok dan Abepura. Termasuk pula tak ada langkah konkret yang dilakukan untuk pemenuhan korban-korban di masa DOM di Aceh dan Papua. adalah tanggungjawab negara. Maka sudah saatnyalah Presiden bertindak untuk mengatasinya. Dukungan politik kepada seluruh institusi negara merupakan hal yang mutlak dilakukan. Apalagi, Presiden telah menegaskan bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM adalah salah satu program utama pemerintahannya. Namun tanggung jawab negara memang tak pernah diberikan cuma-cuma. Keadilan harus direbut. Untuk itulah aksi DiamHitam-Kamisan yang dilakukan para korban pelanggaran HAM di depan Istana Presiden terus dilakukan Untuk menjaga harapan. Untuk terus mengingatkan, bahwa korban masih ada. Korban masih terus menggugat. Korban tak pernah diam. Selama tak ada pemenuhan hak yang efektif bagi korban pelanggaran HAM berupa kebenaran (truth), keadilan (justice) dan reparasi (reparation), bangsa ini akan terus terjebak hidup dalam sejarah hitam masa lalu yang selalu coba ditutupi sekalipun nyata terlihat. *** Berdasarkan prinsip HAM serta Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, sejumlah aktivis yang masih hilang harus diyakini masih hidup, sehingga dianggap sebagai kejahatan yang berkelanjutan (continuoing crimes) 7 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 JEJAK SANG PEJUANG Ajukan PK Dengan Bukti-bukti Baru Di awal Bulan April, kasus Munir memasuki babak baru. Meskipun bukanlah suatu perkembangan yang baru, namun perkembangan dari kasus ini menunjukkan bahwa aparat kepolisian terus bekerja dalam pengusutan kasus ini. Dan kita patut menyambut baik perkembangan dari penyidikan yang telah dilakukan oleh pihak berwajib ini. Perkembangan itu terlihat jelas saat Kapolri Jenderal Susanto seusai mengikuti rapat koordinasi terbatas di Kementerian Hukum dan Keamanan (5/4), menyampaikan bahwa pihaknya akan mengumumkan tersangka baru terkait kasus pembunuhan Munir. “Dalam waktu dekat akan saya sampaikan (tersangka baru) itu, jangan disampaikan sekaranglah. Sampai saat ini kami masih terus melakukan proses penyelidikan. Sabar saja, “ ujar Susanto. Menanggapi pernyataan ini, Sekretaris Eksekutif KASUM, Usman Hamid mengaku menyambut baik rencana Polri untuk menangkap dan mengumumkan sejumlah nama pelaku baru terkait kasus pembunuhan Munir. Usman berharap tidak ada lagi penundaan seperti beberapa kali terjadi sebelumnya. Menurut Usman, dalam beberapa pertemuan, pihak kepolisian telah menjanjikan adanya nama tersangka baru dari hasil penyelidikan mereka. “Sebelumnya malah pernah menjanjikan Maret kemarin mereka (polisi) akan memberi nama tersangka baru, tetapi sampai sekarang kan omongan itu tidak terealisasi. Mudahmudahan dalam beberapa hari ini, sesuai dijanjikan Kepala Polri, memang benar –benar akan ada nama tersangka baru. Mari kita tunggu saja, “ ujar Usman. Usman mengatakan dalam beberapa kali pertemuan dengan pihak penyidik, dirinya menangkap kesan pihak intelijen kepolisian sebenarnya telah berhasil memperoleh sejumlah kemajuan, termasuk mengantongi beberapa nama mereka yang terlibat atau tahu pembunuhan itu. Dari sejumlah temuan itu, pihak kepolisian tampak sudah mulai mengerucut ke sejumlah nama orang yang dicurigai terlibat dan berperan, baik sebagai perencana maupun operator dalam pembunuhan Munir. Sedangkan dari kalangan DPR, anggota Komisi Hukum DPR, Mutammimul Ula, juga mendesak polisi bergerak cepat dalam mengungkap kasus pembunuhan Munir sebelum internasionalisasi kasus tersebut berjalan lebih jauh. Internasionalisasi kasus ini akan memunculkan persoalan baru bagi pemerintah. “Segera saja diumumkan tersangka itu, “ kata Mutammimul. dua tersangka baru kasus pembunuhan yang terjadi pada 7 September 2004, hampir tiga tahun lalu itu. Kedua tersangka adalah Indra Setiawan (IS), mantan direktur utama PT. Garuda dan Rohanil Aini (RA), karyawan PT. Garuda Indonesia. Penetapan dua tersangka berkaitan dengan hasil uji laboratorium dan forensik atas barang bukti yang dikirim ke Seattle, Amerika Serikat, dan keterangan sejumlah saksi. Hasil itu menunjukkan dalam tubuh Munir ditemukan racun arsenik jenis tiga (racun berbahaya) dan lima. Arsenik jenis tiga itu, kata Kapolri, tingkat kecepatan reaksi racunnya 0,5-1,5 jam. Dari hasil itulah terungkap pula bahwa tempat kejadian perkara terbunuhnya Munir di Bandara Changi, Singapura. Kapolri Jenderal Sutanto mengatakan bahwa peran (tersangka), ikut terlibat dalam suarat palsu yang dikeluarkan untuk Pollycarpus, tersangka sebelumnya yang dinyatakan bebas dari tuduhan pembunuhan Munir. Lebih lanjut dikatakan Kapolri, dari bukti baru dan tersangka baru, kepolisian akan mengembangkan pemeriksaan lebih lanjut sehingga muncul tersangka lain. Jumlah tersangka masih akan berkembang. “Tidak bisa kita tetapkan langsung semua yang terlibat. Penyelidikan bertahap, “ ujarnya. Untuk menyebut dua tersangka baru, Susanto mengaku sangat berhati-hati. Kehatian-hatiannya didasarkan pada pengalaman kaburnya tersangka setelah disebut aparat kepolisian. Menimbulkan pertanyaan Di sisi lain, pengumuman dua tersangka baru ini oleh Kapolri menimbulkan pertanyaan dari kalangan anggota DPR dan aktivis. Mereka mempertanyakan apa sebenarnya yang mau diungkap Polri, kasus pemalsuan surat atau pembunuhan Munir. Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan mengapresiasi perkembangan pengungkapan kasus pembunuhan Munir yang dilakukan Polri, namun dia berharap pencapaian itu bukan sekadar gula-gula menjelang diadakannya Sidang Dewan HAM PBB. “Pengungkapan kasus Munir ini semestinya tidak berhenti pada dua orang tapi membongkar mata rantai sehingga mengetahui siapa sesungguhnya pembunuh Munir, “ lanjutnya. IS dan RA, tersangka baru Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Nursyahbani Katjasungkana, juga meminta Kapolri agar segera melakukan pengusutan dan kemudian melaporkan hasilnya ke publik. Sedangkan aktivis LSM, Amiruddin Al Raham, menduga penetapan dua tersangka baru itu terkait dengan usaha untuk mengamankan pencalonan anggota Dewan HAM PBB yang pemilihannya akan dilakukan akhir Mei 2007. Pada akhirnya, lima hari setelah memberikan sinyal akan mengumumkan temuannya, aparat kepolisian menetapkan Sedangkan mantan anggota TPF, Asmara Nababan mempertanyakan atas dasar apa Kapolri menyebutkan kedua Lebih lanjut Mutammimul mengatakan kepolisian harus berani mengumumkan tersangka kalau memang itu berdasarkan hasil penyidikan, sehingga kepolisian lebih transparan, akuntabel, dan profesional. Berita Kontras No.02/III-IV/2007 8 JEJAK SANG PEJUANG inisial nama IS Dan RA. Apakah mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan atau sekedar terkait pemalsuan surat, seperti tersangka sebelumnya, Pollycarpus BP. Sedangkan menurut Bambang Herdarso Danuri, kedua tersangka itu terkait proses penunjukan Polly, untuk menjadi petugas aviation security dalam pesawat Garuda yang ditumpangi Munir. “Kami mempersoalkan status kedua inisial nama tersangka baru ini. Sebenarnya yang mau disidik itu kan kasus pembunuhan, bukan kasus pemalsuan surat di Garuda. Memang apa urusannya Garuda mau membunuh Munir? “ ujar Asmara. “Itu (penunjukan Polly) bukan ujuk-ujuk, tapi ada sesuatu yang bisa kita ungkap di baliknya, “ ujar Bambang. IS dan RA segera akan dipanggil penyedik untuk diperiksa. Sedangkan mantan anggota TPF Munir lainnya, Rachland Nashidik, menyatakan, pengumuman tersangka baru itu hanya merupakan pernyataan.”Itu namanya penyataan, bukan pengumuman. Jadi itu mirip dagelan. Soalnya polisi sudah mengubah locus delicti (tempat kejadian perkara/TKP) seperti temuan TPF di perjalanan pesawat Garuda-Singapura menjadi di Bandara Changi, “ kara Rachland. Rachland menyebutkan dalam temuan polisi itu ada kejanggalan. “Berarti dengan menyatakan dua tersangka, polisi menemukan fakta baru. Misalnya dinyatakan bahwa pembunuhan dilakukan di Changi, padahal TPF tidak mendapatkan fakta itu. Tapi berdasarkan pemeriksaan saksi-saksi di antaranya menyatakan bahwa saat di bandara itu, Munir dalam keadaan pucat, “ katanya. Sementara Koordinator KontraS Usman Hamid yang juga mantan Sekretaris TPF mengemukakan adanya kepentingan sebuah kekuatan lembaga untuk menggunakan PT Garuda Indonesia sebagai sarana melakukan pembunuhan. “Harusnya diusut, siapa pihak yang bisa menggunakan Garuda untuk melakukan aksi itu, “ ujar Usman. Sedangkan isteri (alm) Munir, Suciwati, mengaku tidak bisa menutupi rasa kecewa terkait pengumuman dua tersangka tersebut. Dan pada saat bertemu dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri di Mabes Polri (12/4), Suciwati yang didampingi Usman Hamid mengatakan bahwa dalam waktu dekat Mabes Polri akan menangkap para tersangka kasus Munir. “Polri serius, satu dua hari ini ke depan ada tersangka yang ditangkap. Ada tersangka lain di luar PT Garuda. Saya minta tangkap dan umumkan namanama mereka, “ ujar Suciwati. Polisi serahkan tiga bukti baru Setelah tiga bulan penyelidikan, Kepolisian RI menyerahkan tiga bukti baru ke Kejaksaan Agung (13/04) untuk proses Pengajuan Kembali (PK) dalam perkara kasus Munir. Ketiga bukti tersebut berupa hasil uji laboratorium forensik CCL Tequika di Seattle, Amerika Serikat, pengakuan saksi kunci melihat pelaku pembunuhan di Bandar Udara Changi, Singapura, dan ketiga, beberapa keterangan saksi tambahan dalam penerbangan ke Amsterdam. Terkait dengan dua tersangka yang telah ditetapkan, Kapolri Jenderal Sutanto menegaskan bahwa penetapan dua tersangka, IS dan R dari PT Garuda Indonesia, tidak terkait dengan pemalsuan surat. Keduanya diduga terlibat dalam proses perencanaan pembunuhan Munir. “Kami tentu menyelidiki ke arah pembunuhannya. Surat digunakan untuk memperlancar, “ Ujar Sutanto. 9 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 Lebih lanjut Bambang menjelaskan, kontruksi kasus Munir tersebut terbagi menjadi tiga lokasi kejadian perkara. Lokasi pertama terkait serangkaian proses perencanaan pembunuhan. Lokasi kedua, eksekusi peracunan terhadap Munir, yaitu di Bandara Changi Internasional, Singapura. Ketiga, yaitu lokasi pasca-eksekusi ketika Munir akhirnya tewas dalam pesawat Garuda Indonesia bernomor GA-974, saat penerbangan dari Singapura menuju Bandara Schiphol,Amsterdam,Belanda. Kepolisian menurut Bambang telah bekerja sama dengan Departemen Investigasi Kriminal Singapura untuk prarekontruksi. Hasilnya, katanya, saksi melihat Munir bersama seorang seseorang sebelum borading di salah satu tempat di Bandara Changi. “Saya yakin proses 340 KUHP (pembunuhan) terjadi di tempat itu, “katanya. Kejakgung optimis PK Sementara itu, Jaksa Agung yakin upaya peninjauan kembali (PK) atas Pollycarpus BP dalam kasus Munir bisa dilakukan. Ke-optimisan tersebut, menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh didasarkan pada novum yang ada. “Kan ada yurisprudensi, “ ujarnya, Rabu (18/4). PK merupakan upaya hukum luar biasa yang ditempuh oleh terpidana atau keluarganya. Ketentuan itu ada dalam Pasal 263 KUHAP. Upaya PK yang diajukan oleh jaksa tak disebutsebut dalam ketentuan itu. Mengenai aturan PK dalam KUHAP, Jaksa Agung menegaskan, upaya PK itu bisa saja dilakukan oleh jaksa. Dikatakannya, PK oleh jaksa itu sudah ada yuresprudensinya. Pada tahun 1996, MA mengeluarkan putusan kontrovesial, yang baru pertama kali terjadi di dunia hukum Indonesia, dengan mengabulkan permohonan PK dari jaksa penuntut umum. Dalam kasus kisruh buruh di Medan pada tahun 1994, di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, Mochtar Pakpahan dihukum empat tahun penjara. Namun, di tingkat kasasi Mochtar dibebaskan. Atas putusan kasasi itu, jaksa Havid Latif dari Kejaksaan Negeri Medan kemudian mengajukan PK yang diterima dan dikabulkan oleh MA pada 1966 oleh majelis hakim agung Soerjono, Palti Raja Siregar, dan Sarwata. Kejagung sendiri menurut Arman, baru menerima sebagian bukti baru (novum) dari Mabes Polri pada 13 April 2007, yang akan digunakan untuk mengajukan PK. Novum yang diserahkan itu Mabes Polri itu antara lain, kesaksian seseorang yang melihat Munir bersama dengan Pollycarpus di Bandara Changi, Singapura, hasil forensik dari Seattle, Amerika Serikat, JEJAK SANG PEJUANG yang diyakini lebih detil dari forensik yang dihasilkan oleh tim di Belanda, serta gambar denah pesawat Garuda buatan Pollycarpus yang diduga sebagai bagian dari rencana pembunuhan. tertutup. Perwakilan negara yang hadir dalam acara itu, antara lain, dari Belanda, Swedia, Kanada, dan Selandia Baru. Dua tokoh kunci diburu Namun, perkembangan kasus pembunuhan ini nyatanya juga mengalami hambatan. Di akhir bulan April lalu, Kapolri Jenderal Sutanto mengaku tidak bisa mengungkap isi percakapan telepon, yakni antara mantan pilot Garuda, Pollycarpus dengan mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwopranjono. Penyidikan dari kasus Munir terus dilakukan oleh aparat kepolisian. Dari penemuan bukti-bukti baru yang telah didapati tersebut, pihak kepolisian memburu dua orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan Munir, yakni Raymond Latuihamalo alias Ongen dan seseorang berinisial BI. Kedua orang ini diduga bertemu dengan Munir di Bandar Udara Changi, Singapura. Tak terekam Padahal, isi percakapan itu penting karena diduga membahas rencana pembunuhan terhadap Munir. Menurut Sutanto, penyedia jasa telepon di Indonesia hanya merekam tagihan (billing) yang berisi data tanggal, jam, dan durasi percakapan. “Tidak ada isi pembicaraan antara Muchdi dan Polly,” ujar Kapolri (24/04). Ongen, yang menurut saksi mata berbincang-bincang dengan Munir dan Pollycarpus di Bandara Udara Changi, Singapura, saat pesawat yang mereka tumpangi transit, dianggap polisi sebagai salah satu tokoh kunci untuk Berdasarkan fakta di menguak kasus pembunuhan ini.Ongen, sebelumnya lebih dikenal sebagai pengadilan, terungkap penyanyi dan pengarang lagu pada adanya 41 kali sambungan dasarwasa 1980. Ongen banyak antara telepon Polly dan menciptakan lagu top, termasuk yang telepon di ruang kerja kerja dibawakan oleh keponakannya, penyanyi Muchdi. Komunikasi terkenal, Glen Fredly. tersebut terjadi sebelum Penyidik, menurut Kapolri, sekarang bisa meminta pembicaraan telepon disadap dan direkam. “Tapi itu hanya berlaku setelah adanya pembunuhan Munir. Sebelum terjadi peristiwa itu, tidak bisa dilakukan, “ujar Kapolri. Sutanto menambahkan, meskipun ada indikasi komunikasi berkali-kali antara Muchdi dan Pollycarpus, polisi tidak bisa gegabah mengajukan indikasi itu sebagai bukti baru.”Harus ada alat bukti yang menguatkan. Kalau tidak ada, bisa ditolak pengadilan.” Sebelumnya, berdasarkan hasil temuan dan setelah pembunuhan (dokumne) TPF, BI, (salah seorang yang Munir. diduga terlibat dalam kasus ini), memiliki hubungan dekat dengan Pollycarpus, pada tanggal 14 Mei 2003 dia bersama Berdasarkan fakta di pengadilan, terungkap Pollycarpus pergi ke Banda Aceh dan Lhokseumawe. adanya 41 kali sambungan antara telepon Polly dan telepon di Pollycarpus mengenal BI, karena sama-sama anggota ruang kerja kerja Muchdi. Komunikasi tersebut terjadi sebelum Persatuan Penembak Indonesia. Menurut TPF, pria tersebut dan setelah pembunuhan Munir. pernah menjadi Kepala Pos Wilayah Badan Intelijen Negara Kalimantan Selatan. Pada 25 Agustus sampai dengan 7 September 2004, terjadi 10 TPF sendiri pernah mengundang BI pada tanggal 13 Juni 2005 kali sambungan antara telepon seluler Polly dan nomor BIN. dengan mengambil tempat pertemuan di kantor Lemhanas. Adapun setelah pembunuhan Munir, tepatnya pada 17 Tapi dokter yang paham soal unsur-unsur kimia tersebut November 2004, tercatat lima kali sambungan. Pada waktu yang tidak datang. Dia juga tidak tercantum dalam manifes sama terjadi pula komunikasi 27 kali antara Polly dan Muchdi melalui ponsel atas nama Yohanes Ardian (Vice Presiden PT pesawat Garuda yang ditumpangi Munir. Barito).Muchdi sendiri mengakui nomor telepon yang dihubungi Perkembangan penyelidikan dan langkah pihak kepolisian Polly itu miliknya. Namun, dia membantah melakukan terhadap pengungkapan kasus Munir ini ternyata sangat pembicaraan dengan Polly. dihargai oleh sejumlah perwakilan negara sahabat. Mereka menilai, pengungkapan kasus ini memiliki arti yang sangat Sedangkan Kepala BIN, Syamsir Siregar berharap polisi membuka isi percakapan teepon Polly dan Muchdi tersebut. penting dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia. “Kan (rekaman percakapan) sudah dibawa ke Amerika. Saya “Para diplomat juga mengatakan pentingnya dukungan minta polisi buka itu. Apa sulitnya, “ ujarnya. Sementara itu, politik Presiden SBY kepada polisi untuk menyelesaikan kasus Syamsir sendiri juga berjanji tidak akan menghalangi penyidik dalam memeriksa anggota BIN yang diduga terlibat kasus ini, “ ujar Rafendi Djamin dari Human Rights Working Group. Munir. Pernyataan itu diberikan setelah Rafendi bersama dengan sejumlah anggota KASUM bertemu dengan perwakilan dari Garuda harus bayar Rp 664 juta 10 negara dan Komisi Eropa di sebuah hotel di Jakarta. Pertemuan dengan agenda utama membahas perkembangan Sementara dalam gugatan terhadap PT. Garuda yang dilakukan kasus Munir ini berlangsung sekitar 1,5 jam dan bersifat oleh Suciwati, Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan tergugat I PT. Garuda dan tergugat IX pilot GA 974 Singapuran Berita Kontras No.02/III-IV/2007 10 JEJAK SANG PEJUANG – Amsterdam bersalah atas Perbuatan Melawan Hukum Munir hingga jenjang sarjana Rp 557 juta, uang kesehatan Rp (PMH). Dalam petikan putusan yang dijatuhkan oleh majelis 35,7 juta, uang pemakaman Rp 3 juta, serta uang pengganti biaya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin oleh yang dikeluarkan untuk pendidikan Munir sebesar Rp 6 juta. Andriyani Nurdin dengan anggota Sutiyono dan Kusriyanto, Kamis, (3/5), Pantun Matondang, pilot pesawat Garuda Mengenai tergugat lain, yaitu mantan Direktur Utama PT Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974, yang Garuda Indonesia (tergugat II), Vice President Corporate Ramelgia ditumpangi oleh Munir dalam penerbangan Jakarta- Anwar (tergugat III), Flight Operator Support Officer Rohainil Aini (tergugat IV), Pollycarpus BP (tergugat V), Amsterdam, dan PT Garuda Indonesia dan awak GA 974 lain, majelis menyatakan dinyatakan terbukti lalai menjaga keamanan mereka tidak terbukti melakukan dan keselamatan salah satu penumpangnya. Dok.Kontras perbuatan melawan hukum. Menanggapi putusan itu, pengacara PT Garuda Oleh sebab itu, Pantun dan PT Garuda Indonesia, Uki Indra, mengatakan akan Indonesia diperintahkan membayar ganti mengajukan banding. Sebab, rugi kepada Suciwati sebesar Rp 664,209 juta pertimbangan hakim tentang kelalaian secara tanggung renteng. Lebih lanjut, pilot tak meminta saran dari petugas menurut majelis, Pantun (tergugat IX) medis di darat dinilainya tidak tepat. terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu melanggar kaidah kepatutan, Suciwati ajukan banding ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dipegang pilot. Pantun Sementara itu, menanggapi putusan mengetahui keadaan Munir, tetapi tidak gugatan perdatanya kepada PT Garuda, segera berkonsultasi dengan petugas darat Suciwati akan mengajukan banding. (ground of-ficer) untuk meminta izin Suciwati menganggap putusan tersebut pendaratan pesawat. Pilot dinilai melanggar itu jauh dari keadilan. “Saya tegaskan hak subyektif Munir. bahwa saya banding. Saya tidak rela. Dari beberapa poin yang saya tuntut, hanya Majelis juga berpendapat, Pantun Suciwati di ruang persidangan beberapa yang dikabulkan. Juga dari 11 melakukan tindakan yang bertentangan pihak yang kita gugat, hanya dua orang dengan kewajiban hukumnya yang yang dinyatakan terbukti salah. Itu hanya ditentukan Basic Operator Manual (BOM) dan Pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1992 sekitar 10 persen dari gugatan kami, “ ujar Suciwati. tentang penerbangan juncto Pasal 40 Peraturan pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2001. Ketentuan itu mengatur, kapten Suciwati juga mengaku kecewa. Pasalnya, hal yang penting dari pesawat udara berhak menentukan dan mengambil tindakan gugatannya justru tidak dikabulkan majelis hakim. Padahal demi keselamatan penerbangan serta bertanggung jawab atas menurutnya, hal terpenting yang tercantum dalam gugatannya adalah permohonan audit terhadap PT Garuda Indonesia. keamanan dan keselamatan penumpang. “Justru itu yang terpenting. Selama ini penerbangan Garuda Dalam BOM 5.2.1. disebutkan, jika penumpang mengalami sering dipakai untuk kepentingan lain, seperti kepentingan sakit serius di pesawat, pilot in command harus berkonsultasi intelijen, “ kata Suciwati. dengan dokter untuk menentukan perlu atau tidak meneruskan penerbangan atau mendarat. Bila ragu-ragu, ia Audit terhadap PT Garuda Indonesia, kata Suciwati, akan mencegah berulangnya kejadiannya seperti yang menimpa harus minta saran medis dari darat. Munir. “Yang paling mengerikan adalah terulangnya kejadian Pantun bekerja di PT Garuda Indonesia. Karena itu, majelis seperti ini. Permintaan audit, kita ajukan untuk mencegah hakim menyatakan perusahaan itu, selaku tergugat I, terulangnya peristiwa kematian Munir, “ kata Suciwati. otomatis juga melakukan perbuatan melawan hukum. Pantun dan PT Garuda Indonesia diperintahkan membayar Salah seorang kuasa hukum Suciwati, Asfinawati SH, juga ganti rugi materiil dan imateriil sebebsar Rp 664,209 juta. menyatakan ketidakpuasannya atas putusan majelis hakim. Nilai ini lebih kecil dari ganti rugi yang dituntut Suciwati, Dirinya mempertanyakan dasar pertimbangan hakim yang hanya memandang gugatan perdata dari soal nominal ganti yakni Rp 14,329 miliar. rugi, tanpa mengabulkan permintaan permohonan maaf serta Besaran ganti rugi itu dihitung berdasarkan ganti gaji Munir audit terhadap PT Garuda Indonesia.*** selama tiga bulan Rp 21,390 juta, uang pendidikan untuk anak “Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan peribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.” (Pasal 9 (ayat 1) Konvenan Hak Sipil Politik) 11 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 JEJAK SANG PEJUANG Eksaminasi Kasus Munir Proses hukum atas kasus Munir sejak awal hingga kini terus menjadi sorotan. Wajar kiranya, lantaran saratnya berbagai hal yang mencurigakan. Mulai dari kurangnya keseriusan pihak aparat penegak hukum (pihak kepolisian dan kejaksaan), resistensi dari pihak Badan Intelejen Negara dan perusahaan Garuda, sampai pada proses persidangan yang tidak maksimal. Sementara itu, publik menduga adanya kejahatan konspirasi yang melibatkan banyak pihak harus dijadikan pertimbangan untuk mendapatkan keadilan hukum yang materiil. pengiriman dan pembacaan berkas, pembuatan legal anotasi, sidang eksaminasi, penyusunan putusan eksaminasi, permusyawaratan Majelis Eksaminasi dan diakhiri dengan pembacaan putusan eksamnasasi publik (14/03). Dari hasil eksaminasi yang ada menunjukkan bahwa memang telah terjadi kekeliruan dalam proses hukum kasus pembunuhan Munir. Karenanya, rekomendasi dari Majelis Eksaminasi harus dapat ditindaklanjuti pihak-pihak terkait untuk menuntaskan kasus ini sekaligus melawan impunitas terhadap pelaku. Untuk itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) Laporkan kasus Munir Ke Dewan HAM didukung oleh berbagai lembaga lain membentuk Majelis Eksaminasi untuk melakukan Eksaminasi Publik atas proses Sementara itu, KASUM mengapresiasi langkah Specia! Rapporleur hukum kasus pembunuhan Munir. Hal ini dilakukan karena on Extra Judicial Execution Prof. Philips AIston yang akhir Maret lalu secara resmi melaporkan kasus Munir putusan Mahkamah Agung (3/10/06) atas ke Dewan HAM PBB. terdakwa Pollycarpus dalam perkara pembunuhan Munir dirasakan telah Dalam laporannya itu pihak Pelapor mementahkan logika hukum. Sebab, Eksaminasi ini Khusus menilai pemerintah RI terdapat kejanggalan-kejanggalan kejadian bertujuan melakukan menunjukan sikap yang “Kooperatif namun dan hubungan-hubungan pihak-pihak yang tidak lengkap” (cooperative but incomplete)”. kajian yuridis terhadap dicurigai, namun pengadilan tidak mampu Hal itu karena dari sejumlah keterangan atau proses hukum dalam memutus siapa yang bersalah dan siapa informasi yang diminta, pemerintah Indonesia yang paling bertanggungjawab. kasus ini dan tidak responsif terhadap sejumlah hal yang memberikan memerlukan klarifikasi. Eksaminasi ini bertujuan melakukan kajian rekomendasi hukum yuridis terhadap proses hukum dalam Philips Alston sebelumnya meminta kepada pihak-pihak kasus ini dan memberikan rekomendasi sejumlah informasi, terutama terkait soal hukum kepada pihak-pihak terkait. terkait. salinan laporan dan rekomendasi Tim Eksaminasi ini juga merupakan bentuk dari Pencari Fakta (TPF) Munir serta salinan pengawasan masyarakat terhadap jalannya putusan Mahkamah Agung tertanggal 3 penegakan hukum di negeri ini. Oktober 2006, yang menganulir vonis Majelis Eksaminasi terdiri dari Prof. Soetandyo pembunuhan Pollycarpus. Termasuk informasi terhadapa Wignjosoebroto MPA (Guru Besar Universitas Airlangga), individu-individu tambahan, selain Pollycalpus, dan informasi Prof. DR. Komariah Emong Sapadjaja (Guru Besar mengenai rekomendasi kunci TPF Presiden yang terlihat Universitas Padjajaran), DR. Rudy Satriyo Mukantardjo diabaikan oleh Polri dan Kejaksaan Agung. (Pakar Hukum Pidana UI), Irianto Subiakto, S.H., LL.M. (Advokat), dan Firmansyah Arifin, S.H. (Ketua Konsorsium KASUM berharap desakan itu ditanggapi serius oleh Pemerintah RI terutama Presiden SBY. Terlebih pada 7 Desember Reformasi Hukum Nasional). 2006 lalu, DPR RI telah merekomendasikan kepada Presiden Latar belakang para anggota Majelis Eksaminasi akan untuk bekerjasama dengan lembaga hak asasi manusia memperkuat kajian yuridis terhadap proses hukum kasus intemasional. pembunuhan Munir. Begitu pula halnya dengan kemandirian dan obyektifitas anggota Majelis Eksaminasi, KASUM berpendapat jika hal ini diabaikan akan semakin diharapkan dapat menunjukkan kredibilitas hasil berdampak buruk bagi citra dan kiprah RI dalam diplomasi intemasional. Hal ini juga berpotensi membuka ruang bagi eksaminasi. penggunaan mekanisme internasional dalam kasus Munir, Proses eksaminasi sendiri sudah berjalan sejak akhir Januari terlebih karena Alston merupakan pejabat kunci PBB. 2004. Didahului dengan pembentukan Majelis Eksaminasi, Penyidikan kasus Munir oleh Polri saat ini dapat berperan besar dalam menjawab desakan PBB tersebut.*** Berita Kontras No.02/III-IV/2007 12 BERITA DAERAH BERITA DAERAH Penegakan Hukum Prioritas Menuju Damai Setelah rentetan kekerasan dan kriminalitas di penghujung tahun 2006 yang lalu belum terlupakan dari memori kolektif kita, memasuki tahun 2007 sampai detik ini, kekerasan dan meningkatnya kriminalitas seakan-akan tidak terbendung. Kritik yang disampaikan beberapa LSM dan aktifis bahwa telah terjadi indikasi kegagalan reintegrasi di Aceh telah ditampik oleh AMM pada saat itu. Namun yang terjadi hari ini adalah kekhawatiran pada saat itu. Reintegrasi di Aceh masih membutuhkan iktikad baik dan komitmen semua pihak dan ketegasan aparat hukum, dalam hal ini kepolisian dan masyarakat peradilan untuk secara konsisten dan konsekwen tetap menjalankan proses penegakan hukum yang fair dan tidak diskriminatif. Suasana perdamaian yang telah berjalan merupakan sebuah peluang dan kesempatan yang baik bagi jajaran pemerintahan dan instansi peradilan, untuk membuktikan bahwa hukum bisa ditegakkan sebagai penyangga perdamaian. Reintegrasi akan menemukan semangat dan kedigdayaan tatkala penegakan hukum mampu dijalankan. Mulai dari insiden penganiayaan terhadap tiga aparat TNI di Trumon Timur, Aceh Selatan (16/1/2007), kemudian penyanderaan delapan anggota Jamaah Tabligh karena diduga menyebarkan aliran sesat di desa Lhok Meureubo, Kec. Sawang Kab. Aceh Utara (12/3/2007). Selanjutnya penganiayaan sekelompok masyarakat terhadap empat anggota TNI di desa Alue Dua, Nisam yang dibalas dengan pengiriman pasukan TNI ke desa tersebut dan terjadinya pemukulan terhadap masyarakat dengan alasan untuk mencari pelaku (24/3/2007). Tidak berselang lama, dini hari (26/3/2007) sekelompok orang dengan menggunakan senjata tajam dan potongan kayu melakukan aksi pembacokan terhadap warga di tiga lokasi terpisah di kecamatan Juli, Bireun. Momen lain yaitu, (26/3/2007) penghitungan ulang hasil Pilkada di Aceh Tenggara yang sedang di gelar berakhir rusuh dan mengakibatkan jatuhnya korban. Rentetan insiden kekerasan ini telah memakan korban. Hal ini tentu saja menjadi preseden negatif untuk capaian reintegrasi dan perdamaian ke depan. Masa transisi yang sedang dilewati rakyat Aceh tentu saja akan menghadapi banyak tantangan dan kendala, namun lemahnya penegakan hukum akan semakin mendorong aksi balas dendam dari para pihak. Apapun alasannya pengiriman pasukan ke desa Alue Dua adalah tindakan yang tidak benar, arogansi dan brutalisme yang dilakukan pihak TNI di desa Alue Dua akan menjadi kontraproduktif bagi proses reintegrasi. Menghancurkan kepercayaan Demikian halnya dengan penganiayaan sekelompok warga terhadap anggota TNI tersebut, juga suatu hal yang salah kaprah, main hakim sendiri mengartikulasikannya dengan kekerasan adalah sebuah tindakan yang akan menghancurkan rasa kepercayaan antar para pihak. Keberadaan pasukan TNI di SD Alue Dua patut 13 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 dipertanyakan, apabila menyangkut fungsi pengamanan seperti yang disampaikan Dandim Aceh Utara, Letkol Inf Yogi Gunawan (Rakyat Aceh, 23/3). Maka hal tersebut bertentangan dengan UU TNI No. 34/2004 pasal 5, 6 dan 7 tentang peran, fungsi dan tugas TNI. Tindakan ini juga bertentangan dengan poin MoU Helsinki pasal 4.11 yang menyebutkan Tentara akan bertanggungjawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Sementara, dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga mempertegas pada pasal 202 ayat 1 yang menyebutkan Tentara Nasional Indonesia bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundangundangan. Apalagi kondisi Aceh sudah damai, menjadi tugas kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan TNI hanya terlibat jika diminta bantuannya. Juga di tengah proses damai yang sedang berlangsung dan kondisi masyarakat Aceh yang masih mengalami trauma masa lalu, maka keterlibatan TNI diluar fungsi utamanya sebisa mungkin harus direduksi. Namun demikian, tindakan kekerasan terhadap siapapun dan oleh siapapun tetap tidak bisa ditolerir. Komisi Peralihan Aceh (KPA), masyarakat dan pihak-pihak lainnya harus bisa menahan diri. Bila didapati indikasi yang tidak baik terhadap suatu keadaan, segera lakukan koordinasi dengan pihak polisi atau pihak-pihak lain yang berwenang. Upaya hukum untuk menyelesaikan kasus tindak kekerasan secara transparan, objektif dan tidak pandang bulu tetap harus dilakukan dan lagilagi ini merupakan wilayah kewenangan dari kepolisian. Dan aksi kekerasan yang diduga kuat dilakukan oleh TNI “aksi balas dendam” (24/03), merupakan tindakan pelanggaran hukum yang berpotensi semakin memperkeruh suasana dan berdampak pada semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi TNI juga terhadap proses penegakan hukum. Rendahnya kesadaran hukum Tindakan brutal dari aparat TNI ke desa Alue Dua secara jelas menunjukkan masih rendahnya kesadaran hukum dan HAM anggota TNI. Dan secara sengaja dan terang-terangan, anggota TNI telah menginjak-injak hukum dan konstitusi yang memberikan perlindungan atas hak seluruh warga, yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Jika pihak kepolisian dan dunia peradilan lainnya tidak pernah tegas dan berani untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran hukum ini, maka dapat dipastikan segala bentuk kekerasan akan semakin me-lembaga. Amuk massa, brutalitas, pembunuhan dan arogansi kekuasaan akan menjadi cerita keseharian rakyat. Gagasan dan impian untuk mewujudkan perdamaian demi tercapainya rakyat yang sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya hanya menjadi impian dan pepesan kosong belaka. Para elit hendaknya bersama-sama meningkatkan rasa percaya terhadap BERITA DAERAH seluruh masyarakat bahwa perdamaian ini adalah pintu masuk untuk mewujudkan cita-cita sosial yang diidamkan. Lebih jauh menilik semua permasalah yang ada tersebut, sesegera mungkin kepala pemerintahan Aceh, kepolisian, unsur pimpinan KPA, melakukan rembuk guna mencari solusi yang tepat untuk mewujudkan normalisasi dampak dari rentetan kekerasan yang terjadi. Pihak Kepolisian untuk segera menjalankan fungsinya selaku aparat penegak hukum dan pengayom masyarakat dan menyelesaikan insiden kekerasan dan tindakan kriminal. Termasuk pula mendesak TNI untuk tidak mengintervensi proses hukum kasus Alue Dua dengan memberi kewenangan sepenuhnya kepada polisi untuk mengusut kasus tersebut secara objektif. Sementara lembaga-lembaga internasional yang sedang melakukan proses rehab dan rekons di Aceh bisa menghormati proses hukum dengan tidak melibatkan TNI sebagai penjaga keamanan. Pada akhirnya, meminta semua pihak untuk menghormati MoU Helsinki, menjalankan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan menjaga perdamaian di Aceh.*** Dukung Penarikan Senjata Polisi di Aceh Instruksi Kapolda NAD, Irjen Pol Bachrumsyah Kasman tentang penarikan senjata api aparat Polri di Aceh patut mendapat dukungan penuh semua pihak. Dimana, penarikan senjata ini dilaksanakan mengikuti instruksi Kapolri pasca terjadinya penembakan yang mengakibatkan gugurnya Wakapolwiltabes Semarang, AKBP Drs Lilik Purwanto yang ditembak bawahannya, Briptu Hance di kantor Poltabes Semarang (14/3). Peristiwa penembakan antar sesama polisi merupakan salah satu kasus penyalahgunaan kewenangan oleh institusi kepolisian dalam menggunakan senjata api. Di Aceh misalnya, pascapenandatanganan MoU pemerintah RI dan GAM di Helsinki, meskipun angka kekerasan menurun drastis dan kondisi Aceh sudah damai. Masih juga ditemukan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan atau tanpa senjata api. Diantaranya kasus pemukulan dan penembakan di kec. Peudawa, Aceh Timur (7/3/2006), kasus penembakan di kec. Indra Makmur, Aceh Timur (18/4/2006), kasus pemukulan oleh Brimob di kec. Nibong, Aceh Utara (1/5/2006) dan kasus pemukulan yang mengakibatkan kematian Satpam Dinsos NAD, Banda Aceh (25/10/2006). Sementara, penggunaan metode kekerasan masih juga dilakukan aparat kepolisian dalam menyelesaikan permasalahan. Lumrah kiranya, lantaran minimnya pemahaman polisi tentang norma-norma HAM. Di sisi lain pelatihan penggunaan senjata api terus diutamakan, mengabaikan pelatihan skill lainnya seperti metode persuasi, mediasi atau negosiasi. Padahal ini semua penting untuk tidak membiasakan kepolisian selalu menggunakan metode kekerasan (senjata api). Kultur sulit diubah Persoalan lainnya adalah kultur “militeristik” yang masih sulit diubah dalam kepolisian yang sudah menjadi institusi sipil. Kebutuhan publik akan fungsi kepolisian sangat berbeda dengan peran militer. Dalam era terbuka saat ini, peran polisi bersifat fleksibel dalam mengatasi persoalan sosial di masyarakat, mulai dari melumpuhkan teroris, mengejar pelaku kasus kriminal pascadamai, menginvestigasi kasus pidana, mediasi, hingga menerima pengaduan dari masyarakat. Kepolisian juga masih mengedepankan mekanisme penyelesaian internal bila mendapati anggotanya melakukan suatu kejahatan. Hal ini mengakibatkan kontrol eksternal terhadap institusi kepolisian menjadi lemah dan tidak efektif. Kasus penembakan Wakapolwiltabes Semarang menunjukkan bahwa persoalan psikologi kepolisian tidak hanya terjadi di wilayah konflik, tetapi diluar wilayah konflik juga didapati polisi yang mengalami gangguan psikologi. Karena itu dibutuhkan pelaksanaan psikotes secara reguler, tidak hanya reaksi dari suatu peristiwa.*** “Perlindungan saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana” (Undang-Undang No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban) “Negara-negara pihak harus mengambil tindakan-tindakan untuk memerangi perdagangan gelap anak-anak dan tidak dipulangkan kembali anak-anak yang ada di luar negeri” (Pasal 11 (1) Konvensi Hak Anak) Berita Kontras No.02/III-IV/2007 14 BERITA DAERAH Tindakan Premanisme ala TNI AU Perkelahian antara beberapa warga dengan dua prajurit TNI AU paska kebut-kebutan di jalan raya Medan-Sibolangit, Sumatera Utara, malah berakibat tragis. Warga yang tadinya melerai perkelahian itu justru menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh puluhan prajurit TNI AU yang melakukan balas dendam terhadap perlakuan yang dialami 2 rekannya sebelumnya. Peristiwa ini terjadi pada Minggu 25/3. Dengan menggunakan dua bus dinas TNI AU, sekitar 50 prajurit TNI mendatangi tempat pertikaian yang terjadi satu setengah jam sebelumnya. Tanpa basa-basi mereka langsung mendaratkan pukulan dan tendangan terhadap siapa saja yang berada disekitar lokasi. Bahkan seorang ibu yang berusaha melindungi anaknya dari pemukulan yang dilakukan oleh tentara tersebut tak terhindar dari tindak kekerasan. Belum cukup dengan aksi kekerasan tersebut, 3 orang warga dibawa paksa ke Polsek Pancur Batu. Dikantor polisi ini ke 3 warga itu masih mengalami penganiayaan dari para tentara itu. Sementara polisi yang melihat kejadian itu tidak mampu berbuat banyak. Polisi lalu membawa ke 3 orang itu ke dalam sel untuk menghidari amukan dari tentara tersebut. Kapolresta Pancur Batu, malah meminta persoalan ini tidak besarbesarkan. Pernyataan ini seolah menegasikan kewajiban yang seharusnya dijalankan untuk mengusut secara tuntas apa sebenarnya yang terjadi. Ditambah, Polsek Pancur Batu juga tidak memberikan tanggapan positif kepada korban yang berniat melaporkan kejadian. Aksi kekerasan dan penganiayaan ini jelas menggambarkan kurangnya perlindungan saksi pelapor dari aparat kepolisian. Meski kita menaruh apresiasi terhadap pernyataan Kapoldasu yang menyesalkan kejadian pemukulan saksi di Polsek Pancur Batu, namun kita tetap mengharapkan sebuah tindakan nyata untuk mengusut tuntas, tidak melindungi tersangka utama, dan menutup-nutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Trauma yang dialami oleh korban, membuat korban enggan melaporkan kasus ini ke polisi militer seperti yang dikatakan oleh Sekdes Batulayang, Dharma Tarigan. Masyarakat masih mengalami ketakutan pasca kebrutalan TNI AU di kampung mereka. Warga memilih bungkam menutup rapat kejadian yang mereka alami minggu sore itu. Kasus ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan membuka peluang pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di masa mendatang oleh aparat. Meskipun kedua belah pihak ingin menempuh jalan damai, namun kasus ini tetap harus diproses secara hukum. Pelaku harus mendapat hukuman agar menimbulkan appropriate punishment (aspek jera). Bukan hanya hukuman administrative-indispliner seperti yang telah diberikan TNI AU kepada anggotanya saat ini. Atas peristiwa itu, KontraS Sumatera Utara mendesak Panglima TNI cq KASAU cq Danlanud mengusut tuntas kejadian pemukulan warga sibolangit yang melibatkan anggota TNI AU. Dan menindak tegas anggota TNI AU yang terbukti terlibat pemukulan warga Sibolangit secara hukum. KontraS juga meminta Kapolri termasuk Kapolsek Pancur Batu memberikan perlindungan kepada masyarakat korban untuk mengadukan kasus ini ke POM. Polisi dan TNI masih dituntut untuk bersikap profesional dalam menjalankan fungsinya masing-masing.*** Anggota Polri Tembak Atasannya Insiden penembakan oleh Briptu Hance Christian pada atasannya, Wakapolwiltabes Semarang, AKBP Lilik Purwanto memang pantas disesalkan. Persoalan ini tidak dapat lihat sebagai kejahatan personal belaka, namun merepresentasikan persoalan akut dan sistemik di dalam tubuh institusi Kepolisian. Yang unik, kali ini, hanyalah tindakan tersebut dilakukan antar petugas kepolisian sendiri. Menurut KontraS, persoalan sistemik itu menyangkut mutu anggota Polri yang masih minim akibat proses seleksi dan pelatihan, dimana hanya sedikit perhatiannya pada norma HAM. Pelatihan penggunaan senjata api terus diutamakan dan mengabaikan pelatihan skill lain yakni, metode persuasi, mediasi, atau negosiasi. Padahal ini semua menjadi begitu penting agar tidak membiasakan kepolisian selalu menggunakan metode kekerasan (senjata api). Karenanya, sungguh ironis seorang polisi juga menggunakan senjata api dalam menyelesaikan problem dengan atasannya. Sementara itu, kultur militeristik dengan mengedepankan metode kekerasan masih sulit diubah dalam kepolisian yang sudah menjadi institusi sipil. Kebutuhan publik akan 15 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 fungsi kepolisian sangat berbeda dengan peran militer. Dalam era terbuka saat ini, peran polisi bersifat fleksibel dalam mengatasi persoalan sosial di masyarakat, mulai dari melumpuhkan teroris, menginvestigasi kasus pidana rumit, mediasi, hingga menerima pengaduan dari masyarakat. Hal lainnya menyangkut tentang minimnya kontrol eksternal terhadap institusi kepolisian. Untuk yang terakhir ini misalnya, kepolisian mengedepankan mekanisme penyelesaian internal bila mendapati anggotanya melakukan suatu kejahatan. Pasca pemisahan Kepolisian dengan TNI belum menjawab persoalan apakah polisi bisa dikontrol secara efektif. Sejauh ini menguatnya posisi Kepolisian RI tidak diimbangi oleh akuntabilitasnya. Atas dasar itu KontraS selalu mendesak Kepolisian RI agar segera mengadopsi prinsip perilaku aparat penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials) dan prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata oleh aparat penegak hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials). Keduanya merupakan norma HAM universal yang dibuat berdasarkan pengalaman kasus penyalahgunaan kewenangan oleh institusi kepolisian, yang salah satunya mencakup penggunaan senjata api.*** BERITA DAERAH Tragedi Banggai Sulawesi Tengah Akibat Kekerasan Polisi Empat Warga Tewas KontraS mengecam keras tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada warga (28/2) di tengah aksi penolakan perpindahan ibukota Kabupaten dari Banggai, Sulawesi Tengah. Tindakan ini memperpanjang daftar penyalah gunaan wewenang yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia oleh Polri. (Sepanjang 2006, KontraS mencatat adanya 91 peristiwa yang terdiri dari pembunuhan, penyiksaan, penembakan, penculikan, dan penangkapan sewenangwenang yang dilakukan oleh polisi. Tindakan tersebut mengakibatkan 19 orang tewas, 115 luka.) Pada kasus Banggai, protes warga terhadap soal pemindahan ibukota Kabupaten itu, bagaimanapun kerasnya, tidak dapat membenarkan polisi untuk melakukan tindakan membabi buta dengan melakukan penembakan, penganiayaan, dan tindakan brutal, apalagi kemudian mengakibatkan kematian empat orang (Jurais, Ardan Bambang, Ridwan, Ilham), dua diantaranya adalah orang yang tengah melintas di depan Polsek Bangkep. Sebelum kejadian, massa memang menyegel kantor-kantor pemerintah sebagai bentuk protes atas dilaksanakannya Sidang Pleno DPRD Kab Bankep di Salakan. Massa tidak puas dengan cara-cara pemindahan operasional pemerintahan Kabupaten Bangkep secara paksa, tidak melewati prosedur administrasi pemerintahan yang benar. Pada (28/02), konsentrasi massa meningkat karena berhembus isu ada tambahan jumlah personil Polri untuk membebaskan kantorkantor penyegelan secar paksa. Dari rekaman video serta keterangan para saksi di lapangan, terlihat sejak awal polisi tidak bermaksud melakukan pendekatan persuasif. Polisi, misalnya, tidak berupaya melakukan pendekatan dialog dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pemimpin massa. Dan sekitar pukul 09.00, pada saat massa di depan Kantor Bupati Bangkep melakukan pembakaran ban di luar Kantor Bupati, beredar kabar puluhan tambahan personil Polisi sedang melakukan apel bersenjata di Kantor Polsek (yang berjarak lebih kurang 2 km di sebelah Utara Kantor Bupati Bangkep). Sebagian massa yang memiliki sepeda motor turun menuju kantor Polsek dengan berboncengan. Apel baru saja bubar. Di sinilah peristiwa nahas itu bermula. Alih-aih menghadapi massa yang tidak terlalu besar itu dengan ramah, Polisi malah melakukan tindakan represi, mendorong-dorong dan malah melakukan pemukulan terhadap massa. Satu orang yang belakangan diketahui bernama Jurais, kena pukul popor senjata dan tendangan sepatu lars polisi berulang-ulang. Tidak cukup dengan itu polis terus memburu massa dengan pentungan dan kokangan serta tembakan senjata senjata. Pukul 09.30, ambulance dari RSUD Banggai datang untuk mengangkut Jurais, sementara aksi lempar melempar batu diselingi tembakan senjata aparat tejadi di sekitar Kantor Polsek Banggai, di sekitar SMP Negrei 1 Banggai, di bawah Keraton, di sekitar Rumah Dokter Gafur dan sepanjang jalan depan Kantor Kejaksaan menuju Perempatan Lonas. Di titik-titik inilah jatuh korban, luka-luka maupun meninggal. Jauh dari persuasif Dengan demikian, telah jelas bahwa jatuhnya korban yang begitu banyak disebabkan oleh pendekatan aparat Kepolisian yang represif dan jauh dari pendekatan persuasif seperti yang digembar-gemborkan Kadiv Humas Polri, Kapolda Sulteng dan Kapolres Bangkep. Padahal kalau mau, misalnya, Polisi bisa berinisiatif melibatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk menghentikan kemarahan massa melihat telah jatuhnya korban di pihak mereka akibat kebrutalan aparat, misalnya dengan memanfaatkan alat pengeras suara Masjid Jami Attaqwa Banggai yang juga berada di sekitar lokasi konsentrasi kekerasan. Meskipun polisi mempunyai kewenangan untuk menggunakan tindakan keras, namun hal itu dipergunakan apabila mutlak diperlukan dan sebatas yang diperlukan untuk melaksanakan tugas mereka. Dan penggunaan senjata api itu merupakan langkah terakhir (tindakan ekstrim), sebagai langkah yang tidak dapat dihindari dan bertujuan untuk melindungi nyawa. Namun, penggunaan senjata api ini juga hanya dimaksudkan sebagai upaya melumpuhkan bukan mematikan. Hingga saat ini, polisi masih melakukan pengejaran terhadap sejumlah orang tokoh masyarakat yang dianggap sebagai dalang atas aksi yang dilakukan oleh warga Banggai tersebut. Sementara disisi lain, tidak terlihat adanya upaya pimpinan Polri untuk menindak aparatnya yang telah melakukan tindak kekerasan/pidana yang telah melampaui batas tersebut. Ketidak sepadanan upaya hukum ini akan mengakibatkan konflik baru yang kontraproduktif. Termasuk menyesalkan diturunkannya pasukan TNI dari Kodim 1306 Luwuk, karena perbantuan oleh TNI ditentukan oleh otoritas sipil dan didasarkan pada situasi dimana polisi tidak dapat menanganinya. KontraS menilai tindakan penembakan dan kekerasan oleh polisi ini tidak terlepas dari perintah tembak ditempat yang dikeluarkan oleh Kapolda Sulteng. Serta akibat dari tidak adanya lembaga politik yang memayungi dan melakukan pengawasan terhadap kerja-kerja Polri. Sehingga Polri menjadi institusi secara mandiri lepas dari kontrol politik yang seharusnya mengarahkan kebijakan dan melakukan fungsi pengawasan terhadapnya. Berita Kontras No.02/III-IV/2007 16 BERITA DAERAH Atas dasar itu, Kapolri selayaknya mengambil tindakan tegas aparatnya baik pada tingkat komando maupun pelaku dilapangan yang telah mengakibatkan jatuhnya korban dikalangan warga sipil melalui proses peradilan. Sedangkan Komnas HAM segera melakukan penyelidikan atas peristiwa ini dan mengusut tuntas serta meminta pertanggungjawaban Kapolres Banggai dan menyeret para pelaku penembakan ke pengadilan. Ada baiknya banyak kasus kekerasan polisi ini menjadi bahan bagi Presiden dan DPR meninjau kembali kewenangan Polri pada UU No.2/2002. *** Usut Tuntas Semua Senjata Api Di Poso! Langkah Polisi Resort Kota (Polresta) Palu, Sulawesi Tengah, melakukan pemeriksaan atas Senjata Api (senpi) pada anggota Polresta Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), layak dianggap sebagai langkah yang maju. Langkah ini sebaiknya diikuti oleh Polres lainnya diwilayah kerja Polisi Daerah (Polda) Sulteng, terutama yang pernah terjadi kecelakaan maupun penyalahgunaan Senpi. “Polisi tidak cukup hanya mengatakan senjata yang dimiliki DPO (Daftar Pencarian Orang) berasal dari Filipina dan eks kerusuhan Ambon, tetapi juga harus menangkap aktor yang mengedarkan senjata itu, “ Seperti tahun 2006, dimana ada anggota Polsek Buol yang telah melakukan penembakan kepada warga sipil, kemudian juga peristiwa korban jiwa akibat peluru nyasar terjadi di Palu. Korban peluru nyasar kembali jatuh, penembakan yang dilakukan Bripda (Andri) menelan korban jiwa yang mengakibatkan korban Akbal Setyawan (27) warga Jalan Melati, Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat Meninggal dunia pada dini hari (14/1) lalu. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara serentak dan merata pada semua tingkatan Polres di Sulteng. Dimana pemeriksaan Senpi ini juga meliputi pemeriksaan mengenai jumlah senpi dan amunisi yang sedang dipergunakan oleh anggota kepolisian maupun yang berada di dalam Gudang, karena tidak menutup kemungkinan ada yang hilang. Kemudian, mengenai administrasinya atau surat-surat kelengkapan, karena bisa jadi ada kemungkinan ada suratsuratnya yang telah hilang atau kadaluarsa. Termasuk pemeriksaan penting lainnya, yakni menyangkut psikologi pemegang senpi itu sendiri. Harus usut tuntas Koordinator KontraS Sulawesi Edmond Siahaan menilai bahwa polisi tak pernah berusaha mengusut tuntas dan transparan peredaran senjata ilegal di Poso. Padahal, jika ingin menyelesaikan persoalan keamanan Poso sampai ke akarnya, polisi tidak cukup hanya menangkap para pelaku teror, tetapi juga harus mengusut dari mana mereka mendapatkan senjata api dalam jumlah cukup banyak. Lebih lanjut Edmond mengatakan langkah polisi melakukan penegakan hukum terhadap warga Poso yang masuk dalam 17 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 daftar pencarian orang dan anggota kelompok bersenjata Gebangrejo lainnya adalah langkah maju untuk menyelesaikan persoalan keamanan di Poso. Sayangnya, langkah itu tidak diikuti pengusutan dari mana dan bagaimana pelaku teror itu mendapat senjata api. “Polisi tidak cukup hanya mengatakan senjata yang dimiliki DPO (Daftar Pencarian Orang) berasal dari Filipina dan eks kerusuhan Ambon, tetapi juga harus menangkap aktor yang mengedarkan senjata itu, “ kata Edmond. Menurut Edmond, masih cukup banyak senjata api ilegal yang beredar di Poso, sehingga bukan tidak mungkin suatu saat nanti senjata itu akan digunakan untuk melakukan kejahatan. Namun, Wakil Kepala Polda Sulteng Komisaris Besar I Nyoman Sindra mengatakan, semua senjata api yang ditemukan dan disita dari DPO telah didata dan tengah diselidiki asalnya dari mana. “Pengusutan itu kami lakukan bersama-sama dengan sejumlah polda terkait, bahkan dengan Filipina dan Malaysia, “ kata Sindra. Akan tetapi, Sindra mengakui pengusutan itu tidak mudah sebab sebagian besar senjata api yang ditemukan di Poso nomor registrasinya telah dihapus. Pengawasan masuknya senjata api juga sulit karena banyaknya celah di sepanjang pantai Indonesia yang mudah dimasuki pengedar senjata ilegal. Menanggapi kondisi tersebut, KontraS sendiri menilai langkah awal yang seharusnya dapat dilakukan polisi, juga TNI, adalah mengaudit seluruh persenjataan (senpi) dan Amunisi disemua tingkatan Polres yang mencakup Polsek diseluruh wilayah kerja Polda Sulteng. Selanjutnya secepatnya pula melakukan kembali uji psikotes kepada semua anggota polisi yang memegang senpi, karena senpi ini merupakan jenis senjata yang sangat berbahaya dan mematikan apabila tidak diawasi penggunaannya secara ketat. Terakhir, menjatuhkan hukuman yang tegas kepada anggota kepolisian yang terbukti menyalahgunakan penggunaan senpi.*** REMPAH-REMPAH Maut Berulang Di IPDN Awal April lalu tepatnya (02/04), kita kembali terhenyak dengan berita tewasnya Praja Cliff Muntu (20 thn), akibat penganiayaan yang dilakukan oleh kakak kelasnya di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Entah apa yang telah terjadi di dalam kampus yang konon harusnya mencetak calon pamong praja, malah sangat termasyur oleh budaya kekerasan yang seolah-olah dilembagakan. Sekali lagi kita mengutuk tindak biadab dalam dunia pendidikan ini. Bagaimana tidak. Rasanya baru kemaren kita mendengar seorang praja asal Jawa Barat, Wahyu Hidayat, juga harus merenggang nyawa ditangan senior-nya, di dalam kampusnya sendiri, tempat dimana ia menuntut ilmu demi masa depannya(2003). Pelanggaran HAM berat Lebih jauh dari semua itu, segala bentuk, cara dan praktek kekerasan di IPDN telah mengarah pada tindakan pelanggaran HAM berat, yakni pelanggaran terhadap hak hidup dan hak untuk tidak disiksa. Metode penyiksaan menjadi salah satu pola yang secara tak langsung dilegalkan dan dilakukan secara sistemik. Pola ini justru dilakukan di bawah kewenangan insitusi pendidikan kedinasan yang diselenggarakan oleh negara, yang memiliki tujuan mulia, menyediakan pemimpin pemerintahan yang profesional, demokratis dan berwawasan kenegarawanan, sesuai visinya. Tinta bercampur darah terus ditorehkan oleh lembaga pendidikan ini. Sejak sekolah ini didirikan pada tahun 1999, sejumlah korban yang berasal dari siswanya sendiri terus berjatuhan. Dengan dalih menanamkan kedisiplinan, institusi itu kemudian menghiasi catatan perjalanannya dengan sejumlah aksi kekerasan. Departemen Dalam Negeri mengatakan selama periode 1993-2007, tercatat 27 praja Ini adalah kebiadaban dari dunia pendidikan yang harus meninggal dalam pendidikan. dihapus sampai keakar-akarnya. Apalgi melihat Namun, katanya, hanya tiga tindakan kekerasan yang terus berulang, maka kasus kematian karena kekerasan hal itu menjadi pola, sehingga menjadi kebijakan. yang terjadi di dalam kampus. Ironisnya, dari pengakuan Penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh Ini adalah kebiadaban seorang dosen IPDN, Inu Kencana praja bukan semata-mata karena lemahnya dari dunia pendidikan Syafei, Cliff adalah korban ke-35. kontrol yang dilakukan terhadap praja tetapi yang harus dihapus Artinya, setiap semester satu merupakan kesalahan sistematis yang dilakukan sampai keakar-akarnya. nyawa melayang di kampus yang oleh Pemerintah. Kesalahan ini bisa dilihat dari Apalagi melihat penghuninya terikat sumpah eksistensi lembaga yang bertentangan dengan menaati hukum karena berstatus UU Pendidikan Nasional (Lembaga Kedinasan tindakan kekerasan pengawai negeri ini. hanya memberikan pelatihan tambahan bukan yang terus berulang, menyelenggarakan pendidikan yang setara maka hal itu menjadi Evaluasi menyeluruh dengan SI atau Diploma), besarnya alokasi dana pola, sehingga menjadi yang diberikan setiap tahun, maupun materi ajar Agaknya Presiden terusik dengan kebijakan. yang mengakomodir penyimpanganaksi barbar yang terus terjadi di penyimpangan lain yang sangat tidak lembaga pendidikan ini. Presiden menghargai dan merendahkan harkat dan pun membentuk tim evaluasi martabat manusia. untuk membenahi lembaga ini. Salah satu kebijakan yang Sementara dengan terulangnya kembali peristiwa ini, dikeluarkan oleh Pemerintah adalah menghentikan sementara menunjukkan tidak adanya evaluasi reguler terhadap sistem penerimaan praja baru di IPDN. Kebijakan ini memang patut pendidikan yang sarat tindakan kekerasan, walaupun hampir kita dukung, namun KontraS sendiri memandang langkah itu tiap tahun ada praja yang meninggal akibat pola pendidikan tak cukup. yang menyalahi hukum dan HAM. Mengapa tak cukup? Karena tindakan tersebut harusnya juga diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap bangunan sistem pendidikan serta membuat pengawasan intensif atas pelaksanaannya selama jangka waktu yang jelas. Di sisi lain, pihak kepolisian harus segera melakukan pengusutan terhadap tanggungjawab unsur pimpinan IPDN. Dan selama proses pengusutan berlangsung, pemerintah juga harus menjamin perlindungan atas para saksi yang mengungkap fakta atas peristiwa kekerasan yang telah terjadi selama ini. KontraS mendorong diterapkannya langkah-langkah khusus oleh pemerintah bagi pembenahan institusi dan sistem pendidikan di IPDN. Pemerintah harus membuka diri atas koreksi penyalahgunaan pendidikan, termasuk memberikan perlindungan bagi saksi dan korban yang membuka fakta kekerasan, baik dosen, alumni maupun pihak-pihak yang mengetahuinya. Momentum ini kembali menegaskan pentingnya Lembaga Perlindungan Saksi Korban, seperti diamanatkan oleh UU No.13 tahun 2006.*** Berita Kontras No.02/III-IV/2007 18 REMPAH-REMPAH 13 tahun Misteri Helikopter HS 7060, Bukti Beban Buruk Bisnis Militer di Indonesia KontraS mendesak Kepolisian RI secepatnya menjelaskan fakta yang sebenarnya di balik peristiwa penemuan bangkai helikopter jenis Bolcow HS 7060 milik TNI AD di Deli Serdang Sumatera Utara (21/03/2007), yang diduga hilang pada tahun 1994. Sebelumnya, pada April 1996 helikopter sejenis juga ditemukan di Dusun Sumberikan II, Desa Sukamakmur, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. perintah Kodam I/BB. Padahal, berdasarkan kesaksian penyewa (pihak production house) maupun foto-foto saat korban akan berangkat, jelas bahwa helikopter yang digunakan merupakan milik TNI dengan nomor HS 7060 dan penyewaan tidak memiliki relasi dengan Kodam Bukit Barisan. Selanjutnya akhir Maret 2007 lalu, ditemukannya kembali bangkai helikopter di tempat yang sama. Diduga kuat bangkai helikopter tersebut merupakan sisa bangkai saat ditemukan Peristiwa ini kembali mengingatkan bahwa 13 tahun yang pertama kali (1996) dan sengaja tidak dievakuasi dan lalu (22/08/1994), Helikopter HS 7060 TNI AD ini hilang. disembunyikan untuk menutupi bukti bahwa para korban Helikopter disewa oleh sebuah production house selama dua menyewa helikopter milik TNI. Ahmad Faisal, seorang fotografer jam, sejak pukul 10.30 Wib, untuk keperluan melakukan di Medan maupun Edu Sinaga, shooting udara bagi pembuatan film anggota SAR yang ikut melihat dokumenter PLN yang membawa ditemukannya bangkai kru film Burhan Piliang, seorang Dok.Pribadi keluarga helikopter pertama menyatakan fotografer Majalah Prospek yang bahwa penemuan bangkai juga ayah dari salah seorang staf kedua ada pada lokasi yang Kontras, Ori Rahman, Diaz Barlean, sama. kameramen dan mahasiswa IKJ, Temmy Setiawan, mahasiswa IKJ, Fakta lain yang menguatkan, Lettu Alt. Irawan CP, pilot helikopter, pada saat keluarga korban (6/04/ dan. Letda Czi. Asep Mulyadi, Co1996), mengambil peti berisi pilot helikopter. Saat para korban tulang-belulang para korban di akan berangkat dari Bandara Polonia rumah sakit Kodam I Bukit Medan, kru film lainnya sempat Barisan, Medan sempat mengabadikan foto-foto yang mengalami kesulitan. Keluarga menampilkan helikopter HA 7060 hanya diperlihatkan barangyang ditumpangi para korban. barang milik keluarga seperti Saat hendak melakukan perjalanan sepatu, dompet, KTP, kartu pers, Selang beberapa jam helikopter tidak kalung dan lain-lainnya untuk kembali dan dinyatakan hilang. mengenali korban. Keluarga Kelompok pencinta alam di Medan korban tidak diperkenankan serta aparat TNI melakukan pencarian selama satu bulan. untuk membuka peti tanpa disertai keterangan resmi serta tanpa Namun tidak menampakkan hasil sehingga pencarian santunan dan permintaan maaf. dihentikan. Pada (2/04/1996), empat orang masyarakat menemukan bangkai helikopter di lembah antara gunung Sibayak Tanah Karo dan gunung Pintau di daerah Dairi, Kabupateng Sidikalang, Sumatera Utara. Tim mengevakuasi tulang belulang dan selanjutnya dibawa ke RS. Bukit Barisan Medan. Sengaja menutupi Kontras sendiri menduga bahwa aparat TNI telah sengaja menutup-nutupi kebenaran di balik peristiwa ditemukannya bangkai pesawat, sejak penemuan pada 2 April 1996 ( yang pertama), maupun penemuan 21 Maret 2007 (yang kedua). Peristiwa ini terkait erat dengan sejumlah fakta-fakta yang ada, diantaranya sanggahan aparat TNI yang menyatakan bahwa tidak ada penyewaan helikopter milik TNI kepada sipil. Helikopter tersebut diBKO-kan kepda Kodam I/Bukit Barisan dan pemberangkatan tersebut berdasarkan pada 19 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 Salah satu dari jenazah yakni jenazah Diaz Barlean juga dikirimkan ke Jakarta, dengan hanya dimasukkan dalam tas travel dan bukan peti jenazah. Jenazah lalu diterbangkan secara sembunyi-sembunyi ke Bandung dengan menggunakan helikopter AD. Disamping itu, aparat TNI juga meminta pada keluarga korban pada saat helikopter pertama kali ditemukan tahun 1996 tidak mengungkapkan peristiwa tersebut pada media. Fakta-fakta tersebut menguatkan bahwa aparat TNI telah melakukan bisnis militer illegal dengan menyewakan helikopter pada tahun 1994. Tidak menutup kemungkinan, ketiadaan proses hukum pada saat itu justru melanggengkan bisnis sejenis hingga saat ini. Oleh karenanya dengan semangat profesionalisme TNI, KontraS mendesak aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap peristiwa misterius ini. KontraS juga meminta Mabes TNI membuka akses seluasluasnya terhadap penyelidikan yang profesional bagi terungkapnya kejelasan masalah ini. *** REMPAH-REMPAH HUT IX KontraS Pemimpin Politik Gagal Jadi Layar Perahu Demokrasi Sejumlah bendera partai politik dipegang oleh korban pelanggaran HAM. Tak lama, benderabendera nan penuh warna berhiasan logo partai tertentu digulung rapi. Ada makna mendalam dari peristiwa ini. Makna dari sebuah bentuk kekecewaan untuk para pemimpin politik negeri. Barangkali inilah puncak dari peringatan Hut KontraS yang IX (20/03). Pengulungan sejumlah bendera partai politik yang dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM bertempat di kantor KontraS, jalan Borobudur Jakarta ini disaksikan oleh sejumlah tamu, para aktivis, korban. Termasuk sejumlah media yang setia menjadi teman dalam mendukung perjuangan melawan segala bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang menjadi motto utama perjuangan KontraS selama ini. Tampak hadir dalam acara peringatan tersebut adalah Asmara Nababan (Direktur Demos), Zumrotin K Soesila (Wakil Ketua Komnas HAM), Romo Sandyawan (TRK, Romo Benny (KWI, MM Billah (anggota Komnas HAM) dan lainnya. 20 Maret 1998, KontraS didirikan. Tujuan utamanya menentang politik kekerasan dan ikut menggulirkan perubahan dan gerakan reformasi 1998. Di masa-masa menjelang pendiriannya, banyak aktivis mahasiswa, partai politik dan LSM yang dihilangkan akibat politik Soeharto yang anti keadilan dan kemanusiaan. Memperingati HUT IX, KontraS mencoba mengajak korban, kerabat dan pendukung KontraS untuk memberikan catatan politik atas agenda reformasi. Gerakan reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan darah dan airmata meyakini demokrasi sebagai pilihan terbaik. Pertimbangan utamanya adalah cita-cita demokrasi itu sendiri, penghargaan setiap manusia, kepentingan rakyat sebagai pedoman negara dan pencabutan mandat penguasa bila tak membela kepentingan rakyat. Reformasi meneguhkan kembali cita-cita pendirian republik, yakni keadilan dan kemanusiaan. Tindakan politik para elit kekuasaan harus ditujukan bagi pencapaian cita-cita itu. Bahwa cita-cita itu telah dikhianati oleh sikap Pemerintah dan partai politik di DPR yang mengabaikan keadilan bagi korban-korban penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II. Sikap ini juga cermin dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Tragedi Mei 1998, Talangsari 1989, Tanjung Priok 1984, Tragedi 1965, pembunuhan Munir, lumpur Lapindo, PHK pekerja/buruh, perampasan lahan petani, penggusuran paksa di mana-mana, serta lemahnya penanganan berbagai peristiwa kemanusiaan. Sebuah bentuk penghianatan Ini merupakan bentuk penghianatan terhadap perjuangan rakyat yang meyakini demokrasi sebagai pilihan rasional. Sebagai pemilik kedaulatan, kepentingan rakyat seharusnya menjadi pedoman moral elit politik, bukan justru dikesampingkan demi kepentingan dan ideologi semu. Jika itu terjadi, ini merupakan perilaku pongah dari kekuasaan yang tak hanya mengabaikan rakyat, namun juga sinis terhadap tuntutan rakyat yang dinilainya sebagai ancaman kekuasaan. Memasuki tahun ketiga jalannya Pemerintahan Negara hasil Pemilu 2004, KontraS merasa belum melihat tanda-tanda keadilan di tegakkan untuk memperbaiki kondisi penegakan HAM di Indonesia. Yang terlihat justru, Pemerintahan yang kian reaksioner, hukum yang kian lemah, dan Politisi yang beretika murahan. Padahal rakyat mendambakan pulihnya kehidupan masyarakat seperti saat berdirinya republik Indonesia, dimana para pemimpin politik bersemangat menentang penindasan, melindungi hak rakyat kecil, dan mencitacitakan pemerintahan rakyat. Pemerintahan rakyat yang sesungguhnya itu bukan sekadar pemerintahan hasil pemilu, dipilih langsung oleh rakyat. Bukan sekadar pemerintahan mayoritas. Ini memang demokrasi. Tapi jika hanya itu, sama saja kita lupa bahwa demokrasi punya cita-cita, yaitu kemanusiaan dan keadilan. Gagal jadi layar Partai politik adalah pilar demokrasi. Karena itu Partai politik seharusnya mampu menjadi layar dalam perahu demokrasi Indonesia untuk mencapai cita-cita demokrasi itu sendiri. Namun kenyataannya, partai politik justru gagal. Parpol gagal menjadi penyalur aspirasi rakyat korban ketidakadilan untuk mendapatkan pertolongan. Parlemen tak lagi bisa diharapkan menjadi tempat riuh dimana pemimpin politik memperjuangkan nasib rakyatnya. Parlemen kini tak lebih dari sekadar pasar politik, yang di dalamnya bisa terjadi transaksi apa saja, termasuk tawar menawar dan jual beli keadilan. Meski keadaan ini tak membahagiakan, KontraS tetap ingin memperingati hari lahirnya KontraS dalam rasa syukur. KontraS tetap merasa bersyukur dengan keadaan hak asasi manusia dan kebebasan dari reformasi yang ada. Namun kebebasan ini barulah setetes air dari samudera hak dan kebebasan asasi manusia yang luas. KontraS bersama para korban tak akan memilih diam. Sebab kita semua telah berkomitmen untuk menolak tunduk pada politik anti keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini, kita tetap akan melanjutkan perjuangan HAM. Karena, perjuangan HAM merupakan perjuangan untuk membela kemerdekaan dan demokrasi.*** Berita Kontras No.02/III-IV/2007 20 REMPAH-REMPAH Tragedi 65 Komnas HAM Segera Lakukan Pemeriksaan Korban dan Saksi Korban dan keluarga korban tragedi 1965 bersama KontraS dan LBH Jakarta, kembali mengingatkan negara untuk segera menuntaskan persoalan pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa 1965. Ironisnya, pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut masih terjadi hingga kini. Karenanya tak ada kata lain Komnas HAM segera menunaikan kewajibannya dan secepatnya mengawali respon negara yang minim dalam kasus ini. Sayangnya tindak lanjut tersebut masih belum diwujudkan oleh Komnas HAM. Sebagian korban dalam peristiwa 1965 sempat berharap dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, Undang- Undang yang mengatur KKR tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal (6/12/2006). Kita mungkin tak akan pernah lupa bagaimana peristiwa politik pada 1965 berimplikasi terhadap pelanggaran HAM atas sejumlah orang, seperti penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa pengadilan, pembunuhan, pembantaian, pembuangan, sampai pada penerapan politik diskriminasi hak-hak sipil dan ekonomi para korban. Penuntasan kasus 1965 merupakan keharusan bagi pemerintahan Indonesia dan harus disegerakan. Ada sejumlah faktor yang membuat hal ini menjadi urgent, pertama, kondisi para korban yang masih terus tercerabik dari hak-haknya. Padahal hak-hak tersebut telah dijamin oleh UUD 1945, terutama Amandemen II (2000). Kedua, bangsa Indonesia penting untuk membongkar tentang fakta perihal yang sesungguhnya terjadi, terutama soal kekerasan atau pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu maupun yang berimbas hingga kini. Ketiga, diharapkan dengan diketahuinya “kebenaran” atas pelanggaran HAM tersebut mampu menjadi tali pengikat (rekonsiliasi) dengan warganegara lainnya yang selama ini terdistorsi akan cerita negatif para korban 1965. Terakhir yang juga menjadi salah satu unsur yang paling penting adalah, kebenaran akan pelanggaran HAM bisa dijadikan dasar pemberian rekomendasi reparasi bagi korban dan penuntutan jika didapati pihak-pihak yang diduga terlibat dan bersalah. Sementara itu, Komnas HAM berangkat dari tragedi tersebut pernah membuat pengkajian perihal atas Pelanggaran HAM dimasa Soeharto. Salah satu yang dijadikan kasus kajian adalah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru 1965-1966. Tim mulai bekerja pada (14/01/2003), kemudian diperpanjang hingga (14/05/2003) dan dalam kesimpulan laporannya menyatakan ada indikasi kuat terjadi pelanggaran HAM berat karena ditemukan serangan terhadap penduduk sipil secara meluas dan sistematik. Tim pengkajian juga mencatat jumlah korban dalam Tragedi 1965 mencapai tiga juta orang lebih, dengan enam unsur kejahatan (element of crime), sesuai dengan Undang – Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan temuan tersebut tim pengkajian merekomendasikan agar Komnas HAM segera menindaklanjuti dengan membentuk tim penyelidik projustitia dan tim pengkajian terhadap pembantaian 1965. Sebuah Keharusan Kita memang harus terus mengingatkan dan kembali mengingatkan serta meminta Komnas HAM segera melakukan pengumpulan fakta (Fact Finding) terhadap pelanggaran HAM yang berat atas kasus 1965. Selain itu, Komnas HAM harus menindak lanjuti hasil kajian Komnas HAM tentang Pulau Buru. Komnas HAM harus secepatnya juga melakukan pemeriksaan (statement taking) dari para korban dan saksi peristiwa 1965, demi mendapatkan sebuah kebenaran alternatif (Alternatif Truth). *** Serangan Terhadap Papernas: Isue Komunis Jadi Dalih Hambat Kebebasan Berekspersi Kita sangat menyesalkan terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) pada kelompok demonstrasi Papemas, yang terjadi (29/03), sekitar pukul 11.00 WIB di Dukuh Atas, Sudirman Jakarta. FPI berdalih bahwa Papernas sebagai embrio partai komunis. Penyerangan kepada masyarakat sipil, khususnya terhadap perempuan dan anakanak tersebut menyebabkan jatuhnya korban luka-luka dan membubarkan diri karena lari ketakutan. Sementara itu, entah mengapa, aparat kepolisian terlihat lamban dalam menghentikan aksi kekerasan yang berlangsung. Tindakan kekerasan dengan dalih untuk meredam kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat sipil merupakan tindakan yang melanggar HAM dan konstitusi. Hal ini ironis, karena pada saat yang sama pemerintah sedang membicarakan upaya-upaya perlindungan HAM dan peradaban manusia dalam Dewan HAM PBB. 21 Berita Kontras No.02/III-IV/2007 Apa yang terjadi kali ini bukan hal pertama. Telah kesekian kali, negara melalui aparat hukumnya tidak memberikan rasa aman dalam melindungi warganya sendiri. Kita wajib mengkhawatirkan jika pengabaian terhadap jaminan keamanan masyarakat ini terus berlangsung, maka bentuk-bentuk kekerasan serupa akan semakin buruk di masa datang. Negara telah membiarkan kasus serupa terus berlangsung dengan membiarkan penyerangan, penganiayaan terhadap masyarakat yang menjalankan hak untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresinya. KontraS sendiri mendesak aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Penyelidikan harus berjalan secara jujur dengan melakukan pemeriksaan terhadap seluruh pelaku. KontraS juga mendesak Presiden mengambil langkah aktif untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan serupa yang ditujukan pada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menyuarakan demokrasi. Sekali lagi, kita sepertinya memang tak boleh henti menghimbau, agar seluruh masyarakat menghormati konsitusi dengan saling menjamin upaya-upaya bebas untuk berekspresi.*** REMPAH-REMPAH Aksi Diam Hitam Kamisan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Setelah delapan tahun reformasi bergulir, delapan tahun pula kasus pelanggaran HAM kian mengelam, tapi tak satupun pelanggaran berat HAM menemui titik terang. Bahkan para pelaku tak tersentuh hukum dan keadilan. Semuanya kian menggelap. Pemerintahan otoriter Orde Baru berdiri diawali dengan pembohongan terhadap publik dan pembantaian massal yang dikenal dengan Tragedi ’65. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa manusia dirampas tanpa melalui proses peradilan. Perilaku yang tidak manusiawi dan jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) itu, dilakukan demi mewujudkan serta mempertahankan kekuasaannya dan berlangsung selama 32 tahun (1966-1998). Dok.kontras busana kedukaan dan kekelaman “hitamhitam”, bersama payung hitam dan kenangan kedukaan “foto-foto korban”, mereka melakukan aksi diam. Aksi ini sengaja digelar sebagai pertanda habisnya segala artikulasi korban dan keluarga korban terhadap bebalnya penguasa negeri ini terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Meski demikian, aksi ini tetap dilakukan dengan Aksi kamisan oleh korban sebuah pengharapan, bahwa negara akan memberikan pertanggungjawaban Ironisnya, sekalipun Soeharto telah terhadap tragedi pelanggaran HAM berat lengser dari kursi kepresidenan, sisa-sisa gaya Orde Baru, terus dipratekkan. Sebagai contoh: pembunuhan yang terjadi di Indonesia. Aksi ini juga menjadi bagian dari terhadap aktivis HAM Munir pada September 2004. gerakan moral yang ingin menyebarkan tentang pentinganya arti kemanusiaan kepada masyarakat luas. Terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM itu ternyata belum ada penyelesaian yang mematuhi kaidah dalam standar hukum Pada aksi Kamisan (18/01), selain diikuti korban dan keluarga HAM nasional maupun internasional. Perwujudan Pengadilan korban, juga terlibat aktif di dalamnya Rieke “Oneng” Diah HAM ad hoc yang mengacu pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pitaloka. Dan sekali waktu, Sony Tulung pun ikut terlibat. Pengadilan HAM, hanya diperuntukkan bagi Kasus Tanjung Aksi ini memang dimaksudkan untuk merangkul dan Priok dan Kasus Timor-Timur saja, bukan untuk kasus-kasus mengajak siapapun masyarakat yang peduli, memiliki yang lain. Nyatanya, Pengadilan HAM ad hoc kedua kasus itu solidaritas dan keinginan untuk bersama bergabung menjadi pintu membebaskan orang-orang yang terlibat dari menyuarakan penegakan HAM di Indonesia. sanksi hukum, yang kebanyakan milter. Gerakan tersebut, terinspirasi dari gerakan ibu-ibu di Upaya lain untuk impunitas juga tampak dengan cara Argetina, yang anak-anaknya yang dihilangkan secara paksa mempersulit pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus- oleh rezim militer Argentina, dan kemudian dikenal dengan kasus seperti: Kasus Trisakti dan Semanggi I-II, Kasus Kerusuhan nama “Mother Plaza De Mayo”. Mereka melakukan aksi setiap Mei ’98, Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998, dan sebagainya. hari Kamis di depan Plaza De Mayo, Menuntut Demikian pula dengan pembentukan KPP HAM untuk Kasus dikembalikannya anak-anak mereka. Sampai akhirnya aksi Kejahatan Soeharto, Kasus Talangsari, Kasus 65, di mana langkah “Plaza De Mayo” melegenda di seluruh dunia. Sebagai simbol geraknya sengaja dihambat agar tidak mencapai kinerja yang perlawanan ibu-ibu yang terus konsisten akan perjuangan maksimal, atau sengaja diarahkan untuk berakhir tanpa ujung. demi hukum dan keadilan. Sangat disesalkan, pemerintahan baru di bawah SBY-JK, tidak memiliki greget atau niat untuk menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM. Hal ini dapat dilihat dari Pidato Awal Tahun 2007, di mana dalam dua tahun pemerintahannya tidak menjamah perihal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Aksi Kamisan Dari kondisi yang ada itulah, korban dan keluarga korban dengan segenap keyakinan akan kebenaran, dan keyakinan pada kesabaran, mendatangi dan berdiam di pusat simbol kekuasaan negeri ini “Istana Merdeka”. Aksi ini dilakukan pada hari Kamis selama satu jam, dimulai dari pukul 16.00-17.00 Wib. Bersama Pada aksi Kamisan yang ke-10, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, aksi ini menjadi sebuah momentum yang menegaskan bahwa kekerasan berbasis jender yang terjadi terhadap perempuan harus dihentikan. Kesengajaan negara menyingkirkan keadilan dan kebenaran bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat adalah bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Aksi yang akan terus digelar sepanjang Kamis sore ini akan terus dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat beserta para simpatisan. Aksi ini akan terus digelar demi menuntut Negara untuk menuntaskan segala kasus pelanggaran HAM berat. *** Berita Kontras No.02/III-IV/2007 22 KABAR DARI SEBERANG Sidang ke-4 Dewan HAM PBB di Jenewa KontraS menyambut baik hal ini, karena mencerminkan wujud dari komitmen negara untuk melaksanakan komitmen dan ikrar sukarela ketika menjadi anggota Dewan HAM PBB tahun lalu. Namun tentu saja langkah ini tak cukup hanya dinyatakan di dalam forum internasional. KontraS berharap pernyataan tersebut diikuti dengan langkah baru penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terbengkalai saat ini. Secara khusus, komitmen untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Setiap Orang dari Secara khusus, dalam mengawal proses reformasi pembangunan Penghilangan Orang Secara Paksa juga memandatkan institusi dalam PBB, KontraS bersama dengan 46 LSM di Asia tanggungjawab negara untuk segera menjelaskan keberadaan (KontraS menjadi anggota Human Rights Working Group dan Forum korban yang masih hilang serta pemenuhan hak-hak yang efektif Asia) mendorong mekanisme proteksi HAM internasional yang (effective remedy) bagi korban penghilangan paksa, termasuk kasusefektif dan dapat membawa keadilan dan pemenuhan hak-hak kasus serupa di Aceh dan Papua. KontraS juga mempertanyakan komitmen untuk mengundang pelapor khusus untuk kasus Munir. korban pelanggaran HAM berdasarkan standar-standar HAM. Karena pada kenyataannya pemerintah belum juga memenuhi Kelompok sipil di Asia berharap dalam reformasi PBB ini tidak ada permintaan Philip Alston, Pelapor Khusus untuk Pembunuhan di Luar Proses Hukum untuk memberikan intervensi negara terhadap mekanisme HAM asistensi kepada aparat penegak hukum untuk yang independen. Tentu saja reformasi dalam menuntaskan kasus pembunuhan Munir yang kondisi transisi ini harus juga mendapatkan “Pemerintah RI akan belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. partisipasi aktif dari LSM, kelompok masyarakat mengedepankan mekanisme sipil, komisi nasional hak asasi manusia yang Dewan HAM dalam berdasar pada Prinsip Paris dan DPR, untuk Pelaporan Kondisi HAM menghadapi persoalan aktual memperkuat system HAM internasional. Dewan HAM PBB kembali menggelar sidang regulernya di Jenewa, 12-30 Maret 2007. Sidang ke-4 Dewan HAM PBB ini sebagian besar menerima masukan dari para Pelapor Khusus PBB lewat laporan tahunannya. Sidang ini juga membahas agenda reformasi pembangunan insitusi dan mekanisme HAM di PBB. Namun pembahasan tidak berhasil diselesaikan pada sesi ini dan direncanakan baru akan selesai pada Sidang ke-5 berikutnya. pelanggaran HAM yang serius, khususnya menyangkut masalah perdagangan orang, pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa serta kejahatan terhadap perempuan dan anak”. ungkap Hamid Awaluddin Pernyataan Menhukham dalam High Level Segment Pada kesempatan Sidang ke-4 Dewan HAM PBB ini, KontraS juga berkontribusi lewat organisasi koalisinya, HRWG (Human Rights Working Group) dan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) melaporkan situasi HAM nasional untuk mempertegas komitmen internasional dalam menyikapi persoalan HAM di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk kembali menagih janji dan ikrar sukarela pemerintah sebagai anggota Dewan HAM PBB sejak Mei 2006, dalam menjalankan pemajuan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Pemantauan atas pelaksanaan komitmen ini menjadi acuan evaluasi kinerja pemerintah bagi kelayakan untuk dapat dipilih kembali menjadi anggota Dewan HAM PBB, Mei 2007 mendatang. Dalam sidang ini juga tampak komitmen positif bagi perkembangan tema HAM di Indonesia. Hal ini dinyatakan dalam pidato Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin di acara pembukaan sidang, High Level Segment, pada 12 Maret 2006. Dalam pidatonya itu, Hamid Awaluddin menyatakan bahwa Pemerintah RI akan mengedepankan mekanisme Dewan HAM dalam menghadapi persoalan aktual pelanggaran HAM yang serius, khususnya menyangkut masalah perdagangan orang, pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa serta kejahatan terhadap perempuan dan anak. Dalam pernyataan tertulisnya (written statement), kelompok masyarakat sipil melaporkan situasi HAM yang berkaitan dengan isu penghilangan paksa (enforced disappearances), penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detention), kebebasan beropini dan berekspresi (freedom of opinion and expression), kebebasan beragama dan berkeyakinan (freedom of religion and belief), pembela HAM (human rights defender), kekerasan terhadap perempuan (violence against women), korporasi internasional (international corporations), serta kebijakan ekonomi, hutang dan MDG’s (Debts, MDGs, and Indonesian Economic Policies). Pemerintah RI juga menyatakan akan menandatangani dua konvensi HAM baru; Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance) dan Konvensi Hak-Hak Orang Cacat (Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Penandatangan merupakan langkah terakhir sebelum proses ratifikasi. Selain itu pemerintah menyatakan mendukung penuh bekerjanya mekanisme HAM internasional untuk memberikan masukan kepada institusi domestik, seperti yang ditunjukan dengan mengundang beberapa Pelapor Khusus ke Indonesia. Sebagai alat kontrol politik, NGO memberi tekanan kepada pemerintah internasional lewat mekanisme PBB untuk mendesak pemerintah Indonesia agar melaksanakan berbagai instrumen HAM internasional bagi penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang masih terus terjadi. NGO menegaskan bahwa penyelesaian tak cukup hanya melakukan ratifikasi atau membuat regulasiregulasi yang melindungi HAM, namun juga adanya mekanisme yang efektif untuk mengadili pihak-pihak yang melanggarnya. Secara khusus, NGO akan terus mengawal dan mendorong kerjakerja konkret pasca sidang Dewan HAM PBB dalam menuntaskan berbagai masalah dan mengambil kebijakan perbaikan kondisi HAM di Indoensia.*** Oleh karenanya untuk memastikan pelaksanaan tanggung jawab negara, LSM-LSM di Asia meminta Dewan HAM untuk mempromosikan konsultasi reguler di tingkat nasional dan regional antara negara-negara di Asia, LSM, kelompokkelompok sipil dan Komnas HAM. Kelompok LSM juga mendorong mekanisme yang efektif khususnya berkaitan dengan mekanismen Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review), Prosedur Khusus (Special Procedure), Badan Konsultan Ahli (Expert Advisory Body), Prosedur Pengaduan (Complaint Procedure) dan Partisipasi LSM (NGO Participation). 23 Berita Kontras No.02/III-IV/2007