KONSTRUKSIA KONSTRUKSIA
Transcription
KONSTRUKSIA KONSTRUKSIA
ISSN 2086 - 7352 JURNAL KONSTRUKSIA VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2014 PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGANAN KEGAGALAN BANGUNAN DAN KEGAGALAN KONSTRUKSI (MENURUT MENURUT UU NO 18 TAHUN 1999 JO PP 29 TAHUN 2000) Sarwono Hardjomuljadi STUDI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG Deden Matri Wirabakti / Rahman Abdullah / Andi Maddeppungeng CUTTER SUCTION DREDGER DAN JENIS MATERIAL (PADA PEKERJAAN CAPITAL DREDGING PEMBANGUNGAN PELABUHAN TELUK LAMONGAN) Juris Mahendra PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING KONVENSIONAL DITINJAU DARI SEGI WAKTU & BIAYA Yulistianingsih / Trijeti ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI AKIBAT GAYA HORIZONTAL Syano Verdio Juvientrian / Hidayat Mughnie ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209 L DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA Davit Fikri / Heri Khoeri BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR Moh. Ainun Najib / Nadia EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH PADA TANAH BERKOHESI RENDAH TERHADAP PENAMBAHAN SOLDIER PILE Gilang Aditya / Tanjung Rahayu TEKNIK SIPIL – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA Volume 6 Nomor 1| Halaman 1 – 105 Desember 2014 Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomor 1 | Desember 2014 JURNAL KONSTRUKSIA REDAKSI Penanggung Jawab : Ir. Aripurnomo Kartohardjono, DMS, Dipl.TRE. Pemimpin Redaksi : Ir. Haryo Koco Buwono, MT. Mitra Bestari : Prof. Ir. Sofia W. Alisjahbana, MSc., PHD. DR. Ir. Rusmadi Suyuti, ME. DR. Ir. Saihul Anwar, M.Eng. DR. Ir. Sarwono Hardjomuljadi Staf Redaksi : Ir. Nadia, MT. Ir. Trijeti, MT. Ir. Iskandar Zulkarnaen Tanjung Rahayu, ST., MT. Basit Al Hanif, ST Seksi Umum : Ir. Saifullah Imam Susandi Disain Kreatif : Ir. Haryo Koco Buwono, MT. Administrator Web : Riyadi, ST Terbit : Per Semester – Juni dan Desember ( Dua Kali Setahun ) Alamat Redaksi : Jurnal Konstruksia Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Jl. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat.10510 Website : www.konstruksia.org Email : redaksi@konstruksia.org Ilustrasi cover diambil dari: http://mechanical-engineers.regionaldirectory.us/mechanical-engineer-720.jpg ISSN 2086-7352 Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomor 1 | Desember 2014 JURNAL KONSTRUKSIA Volume 6 Nomor 1 Desember 2014 Diterbitkan oleh: Divisi Jurnal, Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta ISSN 2086-7352 Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomor 1 | Desember 2014 ISSN 2086-7352 JURNAL KONSTRUKSIA Volume 6 Nomor 1 Desember 2014 PENGANTAR REDAKSI Dengan mengucap syukur yang mendalam seiring terbitnya JURNAL KONSTRUKSIA volume 6 Nomer 1 di bulan Agustus 2014 ini. Pada edisi ini mendapatkan beberapa penulis dari kalangan profesional, praktisi dan mahasiswa. Adapun materi yang disampaikanpun sangat beragam, mulai dari manajemen konstruksi, kontrak, hingga aplikasi beton dengan penggunaan ban kendaraan bermotor. Dengan semakin beragamnya materi mautun penulis yang mengisi dalam jurnal ini diharapkan dapat menaikkan khasanah penelitian dikalangan pendidik maupun praktisi. Penerbitan ini tentunya tidak lepas dari peran serta banyak pihak. Semoga Jurnal ini salah satu tonggak untuk dapat segera terakreditasi. Aamiin. Jakarta, Desember 2014 Pemimpin Redaksi Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomor 1 | Desember 2014 ISSN 2086-7352 JURNAL KONSTRUKSIA Volume 6 Nomor 1 Desember 2014 DAFTAR ISI Redaksi Pengantar Redaksi Daftar Isi PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGANAN KEGAGALAN BANGUNAN DAN KEGAGALAN KONSTRUKSI (MENURUT UU NO 18 TAHUN 1999 JO PP 29 TAHUN 2000) 1 – 113 STUDI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG...............................………………………………………………………………………… 15 – 29 CUTTER SUCTION DREDGER DAN JENIS MATERIAL (PADA PEKERJAAN CAPITAL DREDGING PEMBANGUNGAN PELABUHAN TELUK LAMONGAN) ………………………….. 31 – 42 PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING KONVENSIONAL DITINJAU DARI SEGI WAKTU & BIAYA …………………………………………………………………… 43 – 64 ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI AKIBAT GAYA HORIZONTAL ………………..……………………………………………………………………………… 65 – 76 ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209 L DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA ……………………………………………………...………………...…................ 77 – 87 KUAT TEKAN BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR ..………………………………………………………………. 89 – 96 EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH PADA TANAH BERKOHESI RENDAH TERHADAP PENAMBAHAN SOLDIER PILE ………………………………………………. 97 – 105 PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGAN KEGAGALAN BANGUNAN (Sarwono Hardjomuljadi) PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGANAN KEGAGALAN BANGUNAN DAN KEGAGALAN KONSTRUKSI (MENURUT UU NO 18 TAHUN 1999 JO PP 29 TAHUN 2000) Sarwono Hardjomuljadi 1 Dr,Ir,MS (Civ); MSBA (Bus); MH (Law); MDBF (ADR); ACPE (Eng); ACIArb (Arb) Lektor Kepala Aspek Hukum dan Admionistrasi Proyek Konstruksi Fakultas Teknik Jurusan Sipil, Universitas Mercu Buana Jakarta Email: info@sarwonohm.com ABSTRAK : Pada Undang Undang No 18 tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 mendefinisikanbagi dua kegagalan dalam upaya pemenuhan kebutuhan infrastruktur, yaitu kegagalan bangunan dan kegagalan pekerjaan konstruksi. Dalam penanganan kedua kegagalan di atas, sesuai amanat perundangan, melibatkan seseorang dengan kualifikasi penilai ahli. Pada kegagalan bangunan sesuai Undang Undang No 18 Tahun 1999 pasal 25, penilai ahli adalah pelaku utama yang memberikan penetapan atas kegagalan bangunan. Pada kegagalan konstruksi sesuai dengan definisi pada Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 Pasal 31, maka penilai ahli akan berperan membantu bilamana diperlukan seperti dinyatakan pada Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 Pasal 49. Kata kunci: kegagalan bangunan, kegagalan pekerjaan konstruksi, penilai ahli. ABSTRACT: In On the constitution no 18 years 1999 jo government regulation no 29 years 2000 mendefinisikanbagi two failure in an effort to the fulfillment of a need infrastructure , namely building failure and failure construction work . In handling the second failure on , according to the legislative mandate , involving someone with an appraiser qualifications expert .On the failure of buildings according to invite invite no 18 1999 article 25 , was an expert assessment that gives the main building for failure .In accordance with the definition of construction on the failure of government regulation no 29 on article 31 of year 2000 , then an appraiser experts will help if necessary as stated role in government regulation no 29 2000 article 49 ... Keywords: Structure Building failure, failure construction work, an appraiser expert. 1 Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum (2009-2014) Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional membidangi Hukum, Kontrak dan sengketa konstruksi (2011-2015) FIDIC Affiliate Member, FIDIC Adjudicator, FIDIC Accredited Trainer Country Representative, Dispute Resolutuion Board Foundation (DRBF) Sekretaris, Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI) Lektor Kepala Administrasi Kontrak, Universitas Mercu Buana Jakarta, UJniversitas Parahyangan Bandung, Universitas Tarumanagara Jakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta. 1|K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 LATAR BELAKANG Kegiatan pembangunan infrastruktur merupakan suatu rangkaian kegiatan, diawali dari perencanaan, pelaksanaan, beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan sipil, arsitektur, mekanikal elektrikal, dan tata lingkungan masing– masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik.2 Pelaksanaan pembangunan infrastruktur/ konstruksi, pada umumnya dilaksanakan oleh penyedia jasa, 3 melalui suatu proses pengadaan barang/ jasa yang dilakukan oleh pengguna jasa,4 yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan suatu perjanjian kontrak kerja konstruksi, 5 antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang lazim dilakukan di Indonesia, pelaksanaan pengawasan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pengguna jasa dalam pelaksanaan pekerjaan, umumnya akan dibantu oleh penyedia jasa pengawas konstruksi 6 dengan suatu perjanjian jasa konsultansi pengawas konstruksi. 2 Undang Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 1 Ayat 2 3 Ibid, Pasal 1 ayat 4, Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi; 4 Ibid, Pasal 1 ayat 3, Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi; 5 Ibid, Pasal 1 ayat 5, Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi 6 Ibid, Pasal 1 ayat 11, Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. 2|K o n s t r u k s i a Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional dalam fungsinya sebagai regulator, berupaya menindaklanjuti dengan melaksanakan pembekalan sekaligus seleksi untuk pembuatan daftar penilai ahli, sehingga para pihak akan dengan mudah menentukan pilihannya dalam hal terjadi kegagalan bangunan ataupun kegagalan pekerjaan konstruksi. Kedua kegagalan tersebut, sesuai dengan definisi masing-masing berdasarkan PP Nomor 29 tahun 2000 adalah: PP No 29 Tahun 2000 Pasal 34 Kegagalan Bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31 Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. Dari kedua definisi di atas, jelaslah bahwa seorang penilai ahli harus mempunyai keahlian pada bidang tertentu yang dibuktikan dengan SKA. Selain melalui litigasi, saat ini penyelesaian sengketa yang dikenal di Indonesia adalah arbitrase dan altenatif penyelesaian sengketa yang terdiri dari konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan penyelesaian di pengadilan, seperti PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGAN KEGAGALAN BANGUNAN (Sarwono Hardjomuljadi) dinyatakan dalam Pasal 1 dari Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 7 Sedangkan Undang Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi secara spesifik menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 8. Dalam PP 29 tahun 2000 dinyatakan penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh arbiter, mediator, konsiliator dan jika diperlukan bisa minta bantuan penilai ahli. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa kurang memberikan penjelasan menyangkut Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena dalam undang undang tersebut hanya dua pasal yang memuat tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa, selebihnya adalah tentang arbitrase. Kondisi ini mengakibatkan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa di luar arbitrase yang sebenarnya bisa lebih cepat, murah dan tidak mengakibatkan memburuknya hubungan antara kedua pihak yang bersengketa, saat ini diragukan efektifitasnya, sehingga para pihak enggan menggunakannya dan kurang berminat, sehingga penggunaan alternatif penyelesaian sengketa ini di samping cepat, 7 Undang undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Angka 10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 8 Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 36 murah dan menjaga hubungan baik, relatif tidak berkembang secara luas. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 memberikan peluang bagi masuknya kegagalan konstruksi ke ranah pidana, yang kalau dilihat dari definisi PP 29 tahunn 2000 Pasal 31 adalah suatu pelanggaran hubungan perjanjian kerja yang termasuk kategori perdata, baru jika mengakibatkan dan dapat dibuktikan adanya kesengajaan ataupun kelalaian sehingga menyebabkan terjadinya kegagalan bangunan, maka dapat dikenai sanksi pidana. MATERI DAN DISKUSI Kegagalan Bangunan Dalam hal terjadi suatu kegagalan bangunan sesuai dengan definisi kegagalan bangunan PP No 29 Tahun 2000 Pasal 34, dampak kegagalan bangunan dapat dilihat secara jelas dan nyata tanpa diperlukan adanya interpretasi kontraktual. Pelaku utama penyelesai permasalahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku adalah “penilai ahli” yang berwenang menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan yang terjadi dan menentukan besaran ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan. II.1.1 Penilaian Ahli: Black’s Law Dictionary, mendefinisikan ahli atau expert sebagai berikut: A person who, through education or experience, has developed skill or knowledge in a particular subject, so that he or she may form an opinion that will assist the fact-finder.9 9 Ibid 3|K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Black’s Law Dictionary juga mendefinisikan impartial expert sebagai: An expert who is appointed by the court to present an unbiased opinion. Dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan “penilaian ahli” sebagai salah satu dasar dari suatu alternatif penyesaian sengketa, penilaian ahli merupakan suatu produk hasil penilaian oleh seseorang yang dapat dikategorikan sebagai seorang yang mempunyai keahlian untuk bidang tertentu. Penilai Ahli. Sesuai Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999: UU No 18 Tahun 1999 Pasal 25 (1)Pengguna Jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. (2)Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawabpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3)Kegagalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 Kegagalan Bangunan didefinisikan: PP No 29 Tahun 2000 Pasal 34 Kegagalan Bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau 4|K o n s t r u k s i a Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. PP No 29 Tahun 2000 Pasal 36 Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif, yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan. Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih, dan disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan gangguan pada keselamatan umum, termasuk memberikan pendapat dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak. Penjelasan PP 29 Tahun 2000 Pasal 36 Ayat (1)Yang dimaksud penilai ahli adalah penilai ahli di bidang konstruksi. Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang atau badan usaha yang disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampumemberikan penilaian secara obyektif dan profesional. PP No 29 Tahun 2000 Pasal 37 Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus memiliki sertifikat keahlian dan terdaftar pada Lembaga. PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGAN KEGAGALAN BANGUNAN (Sarwono Hardjomuljadi) PP No 29 Tahun 2000 Pasal 48 Biaya penilai ahli menjadi beban pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan. Selama penilai ahli melakukan tugasnya, maka pengguna jasa menanggung pembiayaan pendahuluan. Pasal di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa para penilai ahli harus mempunyai sertifikat keahlian, yang selama ini dikenal sebagai SKA untuk keahlian bidang tertentu di samping itu para penilai ahli harus terdaftar pada lembaga, dalam hal ini adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional. Upaya Pemerintah sebagai regulator jelas di sini, karena untuk dapat bertindak sebagai penilai ahli, seseorang harus seseorang yang telah mempunyai SKA dan mengikuti suatu proses seleksi untuk dapat dimasukkan dalam daftar penilai ahli dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Penilai ahli dipilih dan disepakati bersama oleh pengguna jasa dan penyedia jasa terkait, dalam hal ini merujuk pada daftar dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional yang akan dipublikasikan oleh Lembaga, di samping melalui web site milik Lembaga. Penilai ahli yang dipilih akan melakukan suatu penilaian ahli dan menetapkan penyebab kegagalan bangunan secara teknis seperti yang ditentukan dalam perundangundangan. Tugas penilai ahli sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000: o menetapkan sebab-sebab terjadinya kegagalan bangunan; o menetapkan tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan; o menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan; o menetapkan besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan; o menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian. 2. Penilai ahli berkewajiban untuk melaporkan hasil penilaiannya kepada pihak yang menunjuknya dan menyampaikan kepada Lembaga dan instansi yang mengeluarkan izin membangun, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah melaksanakan tugasnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 didefinisikan suatu kegagalan lain di samping Kegagalan Bangunan yaitu Kegagalan Pekerjaan Konstruksi yang didefinisikan sebagai: PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31 Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. PP No 29 Tahun 2000 Pasal 38 1. Penilai ahli, bertugas untuk antara lain : 5|K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 PP No 29 Tahun 2000 Pasal 32 Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Pelaksana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pelaksana konstruksi. Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan penyedia jasa atas biaya sendiri. Tugas dan tanggung jawab pelaksana dan pengawas dalam pelaksanaan pekerjaan kontrak konstruksi, cukup jelas, yaitu: pelaksana, melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang merupakan bagian dari dokumen kontrak sedangkan pengawas, mengawasi pelaksanaan pekerjaan agar tidak menyimpang dari spesifikasi yang merupakan bagian dari dokumen kontrak. Tugas dan tanggung jawab pelaksana dan pengawas pekerjaan konstruksi secara mudah dapat diukur, karena suatu kontrak konstruksi secara jelas mencantumkan spesifikasi yang merupakan bagian dokumen kontrak yang 6|K o n s t r u k s i a harus dipatuhi dan dikerjakan dengan tidak menyimpang, sehingga jika terjadi penyimpangan, maka pihak pelaksana dapat dinyatakan melanggar perjanjian sedangkan pengawas dapat dinyatakan lalai dalam melaksanakan pengawasan atas penerapan spesifikasi. Tugas dan tanggung jawab perencana, harus secara lebih hati-hati ditafsirkan, karena sebenarnya sama sekali tidak ada sanksi bagi perencana dalam kaitannya dengan kegagalan pekerjaan konstruksi, sesuai definisi Pasal 31 di atas. Hal ini dapat dipahami, karena pekerjaan perencanaan adalah kegiatan prakonstruksi, sehingga tugas dan tanggung jawab perencana adalah dalam hal terjadi kesalahan desain yang tidak sesuai dengan best practice yang mengakibatkan terjadinya kegagalan bangunan. Berbeda dengan kegagalan bangunan yang dapat berkembang menjadi perkara pidana, terhadap perencana, pelaksana maupun pengawas, didasari hasil penilaian ahli sesuai UU 18 tahun 1999 Pasal 25 jo PP Nomor 29 Tahun 2000 Pasal 38 (1), maka kegagalan konstruksi adalah murni perkara perdata, karena sesuai dengan definisi Pasal 31 definisi kegagalan konstruksi adalah ketidaksesuaian dengan spesifikasi yang merupakan bagian dari dokumen kontrak. Penilai ahli mempunyai fungsi utama dalam hal terjadinya kegagalan bangunan, sesuai dengan Pasal 38 di atas, tugas dan kewenangan penilai ahli dalam kaitannya dengan kegagalan bangunan sangat jelas, yaitu memberikan pendapat sesuai dengan bidang keahliannya yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian (SKA) bidang tertentu, mulai dari menetapkan penyebab PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGAN KEGAGALAN BANGUNAN (Sarwono Hardjomuljadi) kegagalan bangunan, menetapkan pihak yang bertanggung jawab, menetapkan besarnya kerugian dan pihak mana yang harus membayar termasuk jangka waktu pembayarannya. Dalam kaitannya dengan hasil kerja penilai ahli, pemerintah mempunyai kewenangan: PP No 29 Tahun 2000, Pasal 36 (3) Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan gangguan padq keselamatan umum, termasuk memberikanpendapat dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak. Dalam hal terjadinya kegagalan konstruksi sesuai definisi pada PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31 dan sanksi pada Pasal 32 adalah untuk mengganti dan memperbaiki, dimana tugas penilai ahli sesuai dengan Pasal 49 (2) adalah membantu mediator dan konsiliator jika diminta untuk memberikan penilaian sesuai dengan bidang keahliannya. PP No 29 Tahun 1999 Pasal 49 Penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara : melalui pihak ketiga yaitu : 1) mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa); 2) konsiliasi; atau arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc. Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuai kebutuhan. II.2 Kegagalan Pekerjaan Konstruksi Dalam hal terjadi suatu kegagalan konstruksi sesuai dengan definisi pada PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31, yang terjadi adalah sengketa dua pihak, sehingga yang diperlukan adalah penyelesai sengketa dalam hal ini mediator dan/atau konsiliator dan/atau cara lain yang melibatkan pihak ketiga yang memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku, di mana khusus untuk bidang jasa konstruksi disyaratkan dalam PP 29 pasal 50 dan 51. harus mempunyai SKA dan dimana perlu dapat meminta bantuan “penilai ahli”. Gambar 1 Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi di Indonesia Sumber: Sarwono Hardjomuljadi: DRBF Conference “Future of Dispute Board in The ASEAN Region, Regulation and Culture n Indonesia”, DRBF World Conference, May 17, 2014, Singapore 7|K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Mediasi Dalam Black’s Law Dictionary, mediation didefinisikan sebagai berikut: A method of non binding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution.10 Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mediasi sebagai: Proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. 11 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 yang merupakan pengganti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah: Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. 12 Yang dimaksud dengan mediator dalam Perma ini adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. 13 Jadi jelaslah bahwa mediasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga yang netral memfasilitasi diskusi antara para pihak dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan. Mediasi yang mengikat adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga 10 Garner, Brian A.: Black’s Law Dictionary, West Group, Seventh Edition , 1999 11 Lukman Ali et al : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, h 640 12 Peraturan Mahkamah agung Nomor 1 Tahun 2008 , Pasal 1 ayat 7 13 Ibid, Pasal 1 ayat 6. 8|K o n s t r u k s i a memfasilitasi diskusi antara kedua pihak yang bersengketa agar kedua pihak dapat mencapai kesepakatan. Pada Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Pasal 1 butir 10 mediasi hanya dinyatakan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang dilaksanakan oleh mediator. Dengan demikian mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga sebagai Pengantara (mediator) untuk mencapai kesepakatan penyelesaian di antara para pihak atas sengketa yang terjadi. Mediasi dilakukan setelah para pihak sulit mencapai kesepakatan melalui negosiasi. Mediator harus netral serta mampu menciptakan suasana yang kondusif. Mediator tidak dapat memaksakan pendapatnya kepada para pihak, Artinya kesepakatan untuk mengakhiri sengketa tetap berada pada para pihak. Pasal 6 ayat (4) membedakan a). Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak; dan b). Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak. Dalam kaitan dengan mediasi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitan Peraturan Mahkamah Agung No. I Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi, yang isinya mengatur hukum acara mediasi bagi “court annexed mediation” atau “court connected mediation”, dengan alasan penerbitan sebagai berikut: Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi yang dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasikedalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, seiring PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGAN KEGAGALAN BANGUNAN (Sarwono Hardjomuljadi) terbentuknya peraturan perundangundangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundangundangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Patut dicatat bahwa Pasal 2 dari Perma ini menjelaskan tentang ruang lingkup dan kekuatan berlaku Perma, dimana hanya berlaku untuk mediasi yang terkait proses berperkara di pengadilan. Khusus untuk mediasi jenis ini, mediator harus memiliki sertifikat mediator 14 setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Upaya Mahkamah agung sebagai regulator terlihat di sini, bahwa Mahkamah agung telah mengeluarkan peraturan yang mngatur bahwa para mediator harus mempunyai sertifikat mediator yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. hari15. Proses mediasi ini bersifat tertutup kecuali ditentukan lain oleh para pihak 16. Tanggung jawab mediator dalam alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan Perma Nomor 1 tahun 2008 adalah: Mediator tidak bertanggungjawab secara perdata dan pidana atas isi kesepakatan [Pasal 19 ayat (4)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. Kelompok Kerja menganggap hal ini perlu diatur karena untuk mempertegas bahwa Kesepakatan Perdamaian merupakan hasil mufakat para pihak bukan hasil yang ditetapkan oleh mediator. Selain itu, pengaturan ini untuk melindungi mediasi yang terintegrasi di Pengadilan dan mediator dari tuntutan yang tidak semestinya diajukan kepadanya. Khusus untuk bidang konstruksi, maka PP No 29 Tahun 2000 mengatur: Ketentuan mengenai batas waktu proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari sejak pemilihan mediator dan dapat diperpanjang 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) PP No 29 Tahun 2000 Pasal 50 Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a angka 1) dilakukan dengan bantuan satu orang mediator. Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh Lembaga. Apabila diperlukan, mediator dapat minta bantuan penilai ahli. Mediator bertindak sebagai fasilitator yaitu hanya membimbing para pihak yang bersengketa untuk mengatur 14 15 Ketentuan mengenai honorarium mediator jenis ini, cukup menarik, dengan adanya ketentuan mengenai honorarium mediator dimana jika mediator hakim tidak dipungut biaya namun mediator bukan hakim ditanggung bersama atau kesepakatan para pihak. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, pasal 2 16 Ibid, pasal 13 (3) dan (4) Ibid, pasal 6 9|K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 pertemuan dan mencapai suatu kesepakatan. Kesepakatan tersebut pada ayat (5) dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Pengaturan di atas secara tegas mengatur bahwa seorang yang akan menjadi mediator bidang konstruksi harus mempunyai sertifikat keahlian (SKA) bidang keahlian tertentu dan mediator dapat meminta bantuan penilai ahli jika diperlukan. Konsiliasi Dalam Black’s Law Dictionary concilliation didefinisikan sebagai berikut: 1).A settlement of a dispute in an agreeable manner, 2). A process in which a neutral person meets with the parties to a dispute and explores how the dispute might be resolved. 17 Konsiliasi dapat ditemukan dalam Pasal 1 butir 10 Undang Undang Nomor No. 30 Tahun 1999 dan alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang tersebut. Selain pada kedua tempat tersebut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak menyebutnya termasuk menguraikan definisi atau pengertiannya ataupun mengatur tentang mekanismenya. Sebenarnya antara konsiliasi dan mediasi hampir tidak dapat dibedakan. Konsiliasi tidak berbeda jauh dengan arti perdamaian yang dinyatakan pada pasal 1864 KUHPer, di mana dinyatakan bahwa hasil kesepakatan para pihak pada alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan 17 Garner, Brian A.: Black’s Law Dictionary, West Group, Seventh Edition , 1999 10 | K o n s t r u k s i a ditandatangani bersama oleh para pihak yang bersengketa , Kesepakatan tertulis tersebut harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tigapuluh ) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di pengadilan negeri, Kesepakatan tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak. PP No 29 Tahun 2000 Pasal 51 Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a angka 2) dilakukan dengan bantuan seorang konsiliator. Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Konsiliator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh Lembaga. Konsiliator menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika rumusan tersebut disetujui oleh para pihak, maka solusi yang dibuat konsiliator menjadi rumusan pemecahan masalah. Rumusan pemecahan masalah sebagaimana tersebut pada ayat (5) dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Pengaturan di atas secara tegas mengatur bahwa seorang yang akan menjadi konsiliator bidang konstruksi harus mempunyai sertifikat keahlian (SKA) bidang keahlian tertentu dan konsiliator dapat menyusun PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGAN KEGAGALAN BANGUNAN (Sarwono Hardjomuljadi) serta merumuskan upaya penyelesaian masalah sebagai suatu solusi. denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak Sanksi pidana atas kegagalan bangunan dan kegagalan pekerjaan konstruksi Ketentuan di atas ternyata telah banyak menghadapkan para kontraktor, konsultan perencana, konsultan pengawas dan pengguna jasa ke ranah pidana. Bahkan untuk suatu pekerjaan yang sedang dilaksanakan dan ditemukan adanya ketidaksesuaian dengan spesifikasi, yang menurut pendapat saya sebenarnya secara fisik masih dapat diperbaiki, karena kontrak konstruksi masih berlaku, mengingat pekerjaan konstruksi sedang dalam pelaksanaan ataupun dalam masa perbaikan cacat mutu 18. Penting untuk dicatat bahwa pada UU Nomor 18 Tahun 1999, terdapat beberapa pasal yang merupakan pintu masuk bagi penegak hukum untuk penerapan hukum pidana pada perencana, pelaksana dan pengawas pekerjaan konstruksi: UU No 18 Tahun 1999 Pasal 43 Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan Ayat (1): bagi perencana dalam hal kegagalan bangunan sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 34 jika perencana membuat desain yang tidak sesuai dengan standar keteknikan adalah wajar jika sanksi pidana dikenakan padanya, tetapi bagi kegagalan konstruksi sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 31, tidaklah mungkin perencana dikenai sanksi pidana dengan alasan pada alinea di atas, apalagi perencanalah yang membuat spesifikasi sehingga sudah tidak dipastikan bahwa perencana tidak terkait samasekali dengan kegagalan konstruksi. Ayat (2): bagi pelaksana dalam hal kegagalan bangunan sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 34 sanksi pidana adalah wajar, sebaliknya dalam hal kegagalan konstruksi sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 31, harus dilihat apa alasan 18 Terminologi “masa perbaikan cacat mutu atau defects liability period” adalah istilah yang dipergunakan dalam standar kontrak FIDIC Conditions of Contract sebenarnya paling cocok dipergunakan, karena penggunaan istilah “masa pemeilharaan” yang banyak dipakai pada kontrakkontrak nasional, dapat menimbulkan perbedaan interpretasi yang berujung pada sengketa. 11 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 ketidaksesuaian dengan spesifikasi, jika memang pelaksana berniat demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan, tetapi menurut pendapat saya kegagalan konstruksi lebih banyak terjadi karena kelalaian ataupun karena kurangnya kemampuan, misalnya dalam pelaksanaan pelapisan aspal pada konstruksi jalan dimana ketebalan setelah dicek ternyata ketebalannya tidak seragam, sehingga terasa agak memberatkan jika perjanjian kontrak konstruksi yang merupakan suatu perjanjian dikenai sanksi pidana. Ayat (3): bagi pengawas dalam hal kegagalan bangunan sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 34 dapat dibuktikan bahwa pengawas dengan sengaja memberi kesempatan terjadinya penyimpangan atas ketentuan keteknikan adalah wajar jika sanksi pidana dikenakan padanya, sedangkan dalam hal kegagalan konstruksi jika dapat dibuktikan pengawas dengan sengaja bersekongkol untuk menguntungkan dirinya dan orang lain, bisa dikenai sanksi pidana, sebaliknya jika itu adalah akibat kelalaian, maka menurut pendapat saya hukuman administratif lebih sesuai. KESIMPULAN Kegagalan bangunan Penilai ahli dalam bidang jasa konstruksi mempunyai bertugas untuk menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan sesuai UU 18 Tahun 1999 Pasal 12 ayat(3). Penilaian ahli atas suatu kejadian kegagalan bangunan maupun kegagalan konstruksi dapat berdampak luas, karena dapat dikenai pidana, sehingga jika tidak ditangani oleh seorang yang mempunyai kompetensi sesuai dengan keahlian dalam bidang 12 | K o n s t r u k s i a tertentu yang dibuktikan dengan SKA yang diterbitkan oleh LPJKN dan namanya terdaftar sebagai penilai ahli di LPJKN. Dalam hal terjadi kegagalan bangunan sesuai definisi pada PP 29 tahun 2000 pasal 34, kewenangan Penilai Ahli dan kewenangan pemerintah diatur pada pasal 36. Tugas penilai ahli dinyatakan pada pasal 38. Penilai Ahli dapat menilai dan menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas terjaadinya kegagalan bangunan, dengan dasar keahlian yang dimilikinya yang dibuktikan dengan kepemilikan SKA bidang tertentu. Termasuk dalam tugas Penilai Ahli adalah penetapan besarnya ganti rugi kepada para pihak yang dirugikan. Peran dan tanggung jawan Penilai Ahli dalam hal kegagalan bangunan ini sangat penting, karena hasil penilaian dan penetapannya terkait dengan kemungkinan pengenaan pidana penjara. Pelaku utama penyelesai permasalahan kegagalan bangunan adalah Penilai Ahli, sesuai dengan kewenangan dan tugas yang diatur dalam perundangan yang berlaku. Kegagalan pekerjaan konstruksi Upaya penyelesaian sengketa proyek konstruksi di luar pengadilan di Indonesia, dapat dilakukan dengan cara Arbitrase ataupun Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan UU 30 Tahun 1999 pada pasal 1 angka 10, yang bunyinya: Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, sedangkan khusus untuk bidang jasa konstruksi UU No 18 Tahun 1999 jo PP 29 tahun 2000 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa sesuai pasal 49 PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGAN KEGAGALAN BANGUNAN (Sarwono Hardjomuljadi) dapat dilakukan dengan mediasi, konsiliasi dan dapat dibantu oleh penilai ahli. Dalam hal terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi sesuai definisi pada PP No 29 tahun 2000 pasal 31, tugas Penilai Ahli adalah membantu mediator dan/atau konsiliator jika diperlukan dan diminta oleh para pihak. Pelaku utama penyelesai permasalahan kegagalan pekerjaan konstruksi adalah mediator dan/atau konsiliator dan/atau cara lain yang diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku. Mediator dan Konsiliator dalam bidang jasa konstruksi harus mempunyai sertifkat keahlian (SKA) dalam bidang keahlian tertentu sesuai PP 29 Tahun 2000 Pasal 50 dan Pasal 51. Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 30 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa DAFTAR PUSTAKA Garner, Brian A.: Black’s Law Dictionary, West Group, Seventh Edition , 1999 Hardjomuljadi, Sarwono: Future of Dispute Board in The ASEAN Region, Regulation and Culture in Indonesia, Dispute Resolution Board Foundation (DRBF) World Conference, May 17-18, 2014, Singapore Lukman Ali et al : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994 Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 13 | K o n s t r u k s i a STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) STUDI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG Deden Matri Wirabakti1, Rahman Abdullah2, Andi Maddeppungeng2 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Agung Tirtayasa 1PenelitiUtama, 2Mentor ABSTRAK : Pemerintah Yang besar dari kawasan tangerang yang terdiri dari kabupaten tangerang , kota tangerang , dan kota tangerang selatan . Pertumbuhan gedung dan industri konstruksi bangunan yang sangat tinggi dan meningkat dari waktu ke waktu .Ada beberapa kendala juga ditemukan di sepanjang bangunan proces yang dihasilkan akibat keterlambatan penyelesaian proyek pembangunan yang sesuai dengan jadwal dalam dokumen kontrak. Beberapa masalah telah diidentifikasi sebagai penyebab itu yakni masalah keuangan, tenaga kerja keterampilan, bahan bangunan perangkat pasir lingkungan, dan manajemen isu.Penelitian ini bertujuan menelaah beberapa faktor yang menunda incompletion causethe dari proyek tersebut, mencari peringkat urutan setiap faktor dan mencari faktor utama mempengaruhi penundaan selesainya pengerjaan di wilayah studi. Studi ini menggunakan metode anon-probability purposive sampling , dan satu set pertanyaan nairedistributed kepada 10 perusahaan kontraktor .Analisis deskriptif yang digunakan untuk menjelaskan hubungan variabel. Sebagai temuan utama, ada faktor terbesar berdasarkan nilai dari data berarti.Fisrtly, pengiriman penundaan dari bahan bangunan, 2 terbatas ketersediaan bahan bangunan di pasar, 3 isthe kekurangan pasokan oflabor, 4 adalah tingginya intensityof hujan, 6 adalah kurangnya tenaga kerja kehadiran, 6 dan faktor ke-7 adalah kurangnya buruh membunuh dan disiplin, 8 adalah faktor komunikasi antara perusahaan kontraktor dan pemilik 9 adalah miss komunikasi antara pekerja badan penasihat, andit dan las faktor adalah uncomplet desain dengan arsitek atau penata. Asosiasi antara kisaran penundaan 10 dan faktor yang menunjukkan keterampilan tenaga kerja dan tingginya intensitas curah hujan sebagai faktor penting yang menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek . Kata Kunci : delay factors of completion the project, building cosntion industry, the association between variables, ABSTRACT : The Great of Tangerang area consist of Tangerang County, City of Tangerang, and City of South Tangerang. The gowth of building and construction industries was very high and increase from time to time. There are some constrains also found along building proces which are resulting the delays in the completion of the building project based on schedule in contract document. Some of the problems were identified as a cause of it such as financial problems, labor skills, building material sand equipment, environment, and management issues. This study aims to analyze some factors that causethe delay incompletion of the project, looking for a rank order of each factor and look for the main factors affecting the delay completion of the project in the study areas. This study used anon-probability purposive sampling method, and a set of question nairedistributed to10 contractors compnanies. The descriptive analysis used to explain the association of variables. As the main findings, there are greatest factors based on the value of the data mean. Fisrtly, the delivery delay of building materials, 2nd is limited availability of building materials in the market, 3rd isthe lack oflabor supply, 4th is the high intensityof rain, 6th is lack of labor attendance, 6th and 7th factor are the lack of labors kills and discipline, 8th factor is communication between contractor company and the owner, 9th is the poor communication between workers agency andit counselors, and the las factor is uncomplet design by the architect or planners. The association between the levels of delay and the 10 factors show that the labor skills and the high intensity of rain as significant factors caused the delay of the completion of the project. Keywords: delayfactors of completion the project, building cosntion industry, the association between variables, 15 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Tangerang meliputi Tangerang Kota, Tangerang Kabupaten, dan Tangerang Selatan merupakan kota yang terus berkembang dengan tingkat pembangunan yang tidak pernah menunjukan angka penurunan. Perkembangan pembangunan yang semakin meningkat melahirkan pesatnya perkembangan perusahaan jasa yang bergerak di bidang konstruksi. Pada kenyataannya pelaksanaan proyek konstruksi selalu mengalami kendala yang mengakibatkan keterlambatan penyelesaian pekerjaan, sehingga waktu penyelesaian pekerjaan tidak sesuai dengan yang telah ditetepkan pada dokumen kontrak pekerjaan. Pekerjaan yang mengalami masalah dan menyebabkan keterlambatan akan mengakibatkan kerugian baik moril ataupun material. Berbagai cara dilakukan guna menghindari masalah yang mengakibatkan keterlambatan dan kerugian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab keterlambatan proyek konstruksi, dengan memperkecil keterlambatan maka membantu memajukan pembangunan Negara Republik Indonesia. Rumusan Masalah Latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah 1. Faktor – faktor apa saja penyebab keterlambatan pekerjaaan proyek konstruksi. 2. Bagaimana solusi dari masalah dengan memproses dan menyimpulkan data yang didapat. Lokasi Studi Proyek konstruksi bangunan gedung yang ada di Daerah Tangerang meliputi Tangerang Kota, Tangerang Kabubaten, dan Tangerang Selatan pada Tahun 2012. 16 | K o n s t r u k s i a Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor – faktor penyebab keterlambatan penyelesaian proyek, mencari urutan rangking dari tiap faktor dan mencari faktor utama yang memepengaruhi keterlambatan penyelesaian proyek di Daerah Tangerang. Batasan Masalah Dalam Penulisan Tugas Akhir ini, proyek yang ditinjau yaitu proyek konstruksi bangunan gedung yang ada di Daerah Tangerang pada tahun 2012, Agar penulisan Tugas Akhir ini tidak menyimpang dari tujuan awal penulisan maka dilakukan pembatasan penelitian ini yaitu: 1. Studi kasus terletak di Daerah Tangerang meliputi Tangerang Kota, Tangerang Kabupaten, dan Tangerang Selatan, yaitu proyek konstruksi pada tahun 2012. 2. Proyek yang diteliti adalah jenis proyek pembangunan gedung: bangunan gedung rendah, bangunan gedung sedang, dan bangunan gedung tinggi. 3. Faktor – faktor yang diteliti adalah yang berkaitan langsung dengan penyebab keterlambatan penyelesaian proyek. 4. Metode pengumpulan data dengan cara Kuesioner. 5. Analisis data dengan cara pemprograan computer SPSS for windows. TinjauanPustaka&KajianTeori Penelitian tentang studi keterlambatan proyek konstruksi sudah pernah dilakukan. Berikut ini ditampilkan perbandingan penelitian lain: Leonda (2008) melakukan penelitian tugas akhir tentang Studi Keterlambatan Penyelesaian Proyek Konstruksi Pada Tahun 2007 Di Daerah Belitung. STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) Majid dan McCaffer (1998) melakukan Penelitian tentang Factor Of NonExxcusable Delay That Influence Contraktors’ Performance. 1. Proyek Konstruksi Soeharto (1995), kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas. 2. Manajemen Konstruksi Dipohusodo (1996), manajemen merupakan proses terpadu dimana individu-individu sebagai bagian dari organisasi diliatkan untuk memelihara, mengembangkan, mengendalikan, dan menjalankan program-program,yang semuanya diarahkan pada sasaran yang telah ditetapkan dan berlangsung menerus seiring dengan berjalannya waktu. 3. Keterlambatan Proyek Kusjadmikahadi (dalam Leonda 2008) bahwa, keterlambatan proyek konstruksi berarti bertambahnya waktu pelaksanaan penyelesaian proyek yang telah direncanakan dan tercantum dalam dokumen kontrak. Praboyo (1999), keterlambatan pelaksanaan proyek umumnya selalu menimbulkan akibat yang merugikan bagi pemilik maupun kontraktor karena dampak keterlambatan adalah konflik dan perdebatan tentang apa dan siapa yang menjadi penyebab, juga tuntutan waktu, dan biaya tambah. d. e. f. g. 2. 3. 4. 4. Penyebab Keterlambatan Proyek Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan waktu pelaksanaan proyek konstruksi adalah: 5. 1. Tenaga Kerja a. Kurangnya keahlian tenaga kerja b. Kurangnya kedisiplinan tenaga kerja c. Kurangnya motivasi kerja para pekerja 6. Kurangnya kehadiran tenaga kerja Kurangnya ketersediaan tenaga kerja Penggantian tenaga kerja baru Buruknya Komunikasi antara tenaga kerja dan badan pembimbing Bahan a. Keterlambatan pengiriman bahan b. Ketersediaan bahan terbatas di pasaran c. Kualitas bahan jelek d. Kelangkaan material yang dibutuhkan e. Adanya Perubahan material oleh owner f. Kerusakan bahan di tempat penyimpanan Karakteristik tempat a. Keadaan permukaan dan di permukaan bawah tanah b. Tanggapan dari lingkungan sekitar proyek c. Karakter fisik bangunan sekitar proyek d. Tempat penyimpanan bahan/material e. Akses kelokasi proyek yang sulit f. Kebutuhan ruang kerja yang kurang g. Lokasi proyek yang jauh dari pusat kota/pusat distribusi peralatan dan material Manajerial a. Pengawasan proyek b. Kualitas pengontrolan pekerjaan c. Pengalaman manajer lapangan d. Perhitungan kebutuhan e. Komunikasi antara konsultan dan kontraktor f. Komunikasi antara kontraktor dan pemilik g. Kesalahan manejemen material dan peralatan Peralatan a. Ketersediaan peralatan b. Kerusakanperalatan c. Kualitas peralatan yang buruk d. Produktifitas peralatan Keuangan a. Pembayaran dari b. Harga bahan/material yang mahal c. Alokasi dana yang tidak cukup 17 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 d. Telatnya pembayaran kepada pekerja 7. Fisik Bangunan a. Luas wilayah b. Jumlah unit c. Jumlah lantai 8. Design a. Perubahan design oleh pemilik b. Kesalahan design oleh perencana c. Ketidak lengkapan gambar design d. Keterlambatan pemberian detail gambar e. Kerumitan design 9. cuaca a. Intensitas (curah) hujan) b. Cuaca panas c. Cuaca yang berubah-ubah 10. Kejadian yang tidak terduga a. Kerusuhan b. Bencana alam c. Pemogokan buruh d. Kecelakaan 11. Kebijakan pemerintah a. Kenaikan BBM b. Nilai tukar mata uang MetodePenelitian Studi keterlambatan proyek konstruksi inidilakukan metode penelitian untuk mengarahkan pembahasan studi secara terstruktur mulai dari penelitian pendahuluan, penemuan masalah, pengamatan, pengumpulan data baik dari referensi tertulis maupun observasi langsung dilapangan, melakukan pengolahan dan interpretasi data sampai penarikan kesimpulan atas permasalahan yang diteliti. 1. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer merupakan data yang diperoleh langsung berhubungan dengan responden. Kuesioner digunakan sebagai alat pengumpulan data. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder berupa data yang diperoleh dari referensi tertentu atau literature – literature yang berkaitan 18 | K o n s t r u k s i a dengan keterlambatan. Pengumpulan data sekunder bertujuan. 2. Teknik Pengumpulan Data Populasi dalam penelitian ini adalah proyek bangunan gedung yang terdaftar oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di daerah tangerang, meliputi Kota Tangerang, KabupatenTangerang, dan Tangerang Selatan pada tahun 2012. penelitian ini pengambilan sampel menggunakan sistem non probability purposive sampling, pemilihan metode ini dikarenakan data jumlah populasi yang diperoleh dari BPPT tidak sesuai dengan jumlah populasi yang ada dilapangan, biaya sedikit, dan populasi menempati daerah yang sangat luas. Sampel dalam penelitian ini adalah proyek pembangunan gedung swasta maupun pemerintah, meliputi bangunan gedung rendah, bangunan gedung sedang, dan bangunan gedung tinggi yang selesai atau pernah dibangun pada tahun 2012 yang memiliki manajemen yang jelas di lokasi proyek. responden dalam penelitian ini adalah kontraktor swasta maupun pemerintah yang terkait dengan proyek yang sedang berlangsung, dan dalam satu proyek bangunan gedung yang kontraktornya menjadi responden akan diberikan satu kuesioner yang diisi oleh project manager, site manager, engineer, atau pihak yang mengetahui seluk beluk proyek dan dipercaya untuk mengisi kuesioner. Daftar pertanyaan atau kuesioner dibagikan kepada responden untuk diisi dengan mendatangi langsung responden serta memberikan penjelasan tentang halhal yang berkaitan dengan penelitian, dan pengisian kuesioner didampingi langsung oleh peneliti. 3. Pengolahan Data Penelitian Setelah seluruh data yang diperoleh melalui kuesioner terkumpul, data yang terkumpul masih bersifat kualitatif maka perlu dikuantitatifkan dengan memberikan nilai / skor pada masing-masing variabel, adapun nilai / skor sebagai berikut: STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) 1. Untuk jawaban tidak berpengaruh diberi skore 1 2. Untuk jawaban agak berpengaruh diberikan skor 2 3. Untuk jawaban berpengaruh diberikan skor 3 4. Untuk jawaban sangat berpengaruh diberikan skor 4 Setelah data dikuantitatifkan, selanjutnya data dianalisa menggunakan metode kuantitatif, menggunakan SPSS for windows, untuk mencari seberapa besar pengaruh faktor-faktor yang diberikan terhadap keterlambatan proyek konstruksi bangunan gedung, serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan paling menentukan berdasarkan urutan rangking dalam setiap penilaian dari masing-masing responden. 1. Analisis Rangking Metode analisis ini berguna untuk menentukan rangking para responden dan memberikan prioritas terhadap variabel studi. Maka data yang diperoleh dianalisis dengan mean rank atau nilai rata-rata yang akan digunakan untuk menentukan faktorfaktor yang berpengaruh dalam keterlambatan proyek konstruksi bangunan gedung. Mean rank atau nilai rata-rata didapat dengan menjumlahkan data seluruh individu dalam kelompok, kemudian dibagi jumlah individu yang ada pada kelompok tersebut. ……………………….(1) Dimana: Me = nilai rata-rata (mean) N = jumlah responden Xi = frekuensi (i) yang diberikan responden i = kategori index responden (i=1,2,3,…) X1 = frekuensi jawaban “tidak berpengaruh” X2 = freuensi jawaban “agak berpengaruh” X3 = frekuensi jawaban “berpengaruh” X4 = frekuensi jawaban “sangat berpengaruh” …………………..(2) Dimana : = standar deviasi = nilai rata-rata xi = titik tengah interval i Xi = frekuensi (i) yang diberikan responden i = kategori index responden (i=1,2,3,…) X1 = frekuensi jawaban “tidak berpengaruh” X2 = freuensi jawaban “agak berpengaruh” X3 = frekuensi jawaban “berpengaruh” X4 = frekuensi jawaban “sangat berpengaruh” Dari hasil data perhitungan nilai rata-rata (mean) dapat ditentukan dari masingmasing faktor dengan cara mengurutkan dari nilai rata-rata yang paling tinggi sebagai rangking pertama. Apabila ada faktor yang memiliki nilai rata-rata sama maka dibandingkan kembali dengan nilai standar deviasi dengan faktor yang nilai standar deviasi yang paling rendah sebagai peringkat pertama. 2. Korelasi Jenjang Spearman Fitri et.al (2012) Motode analisis korelasi jenjang spearman berguna untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yang mengandung unsur pemeringkatan atau terkait dengan urutan data. Formula yang diterapkan untuk menentukan nilai korelasinya adalah: ……….……………..(3) Dimana: = nilai koefiensi korelasi spearman D = perbedaan atau selisih peringkat antara variabel bebas dan variabel terikat n = jumlah sampel 1 dan 6 = konstanta 19 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 3. Uji Reliabilitas Trihendradi (2012) instrument sebuah kuesioner harus andal. Andal berati instrument tersebut menghasilkan ukuran yang konsisten apabila digunakan untuk mengukur berulangkali. Instrument kuesioner dinyatakan andal apabila memiliki nilai alpha Cronbach> dari 0.6. 2 k b r11 1 ……….……….(4) Vt 2 k 1 Dimana: r11 = reliabilitas instrumen k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal 2 b = jumlah varian butir/item = varian total Vt 2 Kriteria suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel dengan menggunakan teknik ini, bila koefisien reliabilitas (r11) > 0,6. Flowchart Penelitian Mulai StudiPustaka Pengumpulan Data Primer Dan Sekunder Pengolahan Data DenganMotode SPSS AnalisisHasilPengujian Data Kesimpulan Dan Selesai Gambar 1. Flowchart Penelitian Sumber : Hasil Analisis, 2013 Hasil dan Pembahasan 1. Pelaksanaan Penyebaran Kuesioner Pelaksanaan penyebaran kuesioner oleh peneliti dilakukan selama kurang lebih satu bulan yaitu selama bulan januari 2013, dalam pelaksanaan penyebaran kuesioner peneliti melakukan pengumpulan informasi dan melaksanakan survey terlebih dahulu guna mencari tempat proyek pembangunan gedung yang sesuai dengan kriteria sebagai responden yang ada di Daerah Tangerang. Peneliti mendapatkan 10 responden yang sesuai dengan kriteria. 20 | K o n s t r u k s i a STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) Hambatan yang sering terjadi dalam pelaksanaan penyebaran kuesioner adalah kesibukan para responden sehingga sulitan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Kesepuluh responden memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang penelitian ini, dari kesepuluh responden hanya ada empat yang memiliki sikap baik tentang penelitian ini, karena adanya pertanyaanpertanyaan yang berkaitan tentang penelitian ini dari para responden kepada peneliti, dan pada saat menjawab poin pertanyaan tak lupa dengan memberikan bukti dan tidak hanya asal menjawab, dan enam responden lainnya besikap biasa saja hanya menjawab poin pertanyaan tanpa memberikan bukti guna menguatkan jawaban mereka. 2. Analisis Responden Data hasil pengisian kuesioner dari responden dapat dilihat dari pembahasan dibawah yaitu: a. Letak Proyek b. Jenis Proyek Bangunan Responden Gambar 3. Data Jenis Bangunan Proyek Responden Sumber : Hasil Analisis, 2013 Gambar 3 menunjukan jenis proyek responden yang berpartisipasi dalam pengisian kuesioner. Jenis proyek responden adalah sebanyak 70% (7 responden) proyek responden adalah jenis proyek pembangunan apartemen, sebanyak 10% (1 responden) proyek responden adalah jenis proyek pembangunan Hotel, dan 20% (2 responden) proyek responden adalah jenis royek pembangunan bangunan komersial. c. Nilai Proyek 10% 10% 10% Nilai Proyek Rp 20.504.494.824 10% 10% 10% 10% 10% 10% Gambar 2. Data Letak Proyek Responden Sumber : Hasil Analisis, 2013 Gambar 2 menunjukan letak proyek responden yang berpartisipasi dalam pengisian kuesioner. Penyebaran letak proyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 50% (5 responden) proyek responden dari Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang sebanyak 40% (4 responden), dan Tangerang Selatan sebanyak 10% (1 responden) 10% Rp 27.000.000.000 Rp 54.950.000.000 Rp 58.000.000.000 Rp 92.000.000.000 Rp 149.000.000.000 Rp 100.000.000.000 Rp 131.000.000.000 Gambar 4. Nilai Proyek Sumber : Hasil Analisis, 2013 d. Jenis Kontrak Jenis Kontrak 10% 90% Lumpsum SAP Gambar 5. Jenis kontrak Sumber : Hasil Analisis, 2013 21 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Gambar 5 menunjukan bahwa jenis proyek konstruksi yang sedang dilaksanakan oleh responden adalah 90% (9 responden) dengan jenis kontrak Lumsum, dan 10% (1 responden) dengan jenis kontrak SAP. f. Persentasi Kenaikan Keterlambatan Biaya Akibat e. Persentasi keterlambatan Gambar 7. Kenaikan Biaya Akibat Keterlambatan Sumber : Hasil Analisis, 2013 Gambar. 6. Persentasi keterlambatan Sumber : Hasil Analisis, 2013 Gambar 6 menunjukan persentasi keterlambatan yang terjadi pada proyek konstruksi bangunan gedung yang sedang dilaksanakan oleh responden adalah 20% (2 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 1% , 10% (1 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 1.67%, , 10% (1 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 1.9%, 10% (1 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 5%, , 10% (1 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 9%, , 10% (1 responde) untuk persentasi keterlambatan sebesar 12%, 20% (2 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 15%, , dan 10% (1 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 17.7535%. Gambar 7 menunjukan besarnya persentasi kenaikan biaya yang terjadi akibat keterlambatan yang terjadi pada royek konstruksi bangunan gedung sebesar 30% (3 responden) untuk persentase kenaikan biaya sebesar 1%, 10% (1 responden) untuk persentase kenaikan biaya sebesar 2%, 20% (2 responden) untuk persentase kenaikan biaya sebesar 5%, 10% (1 responden) untuk persentase kenaikan biaya sebesar 25%, dan 30% (3 responden) untuk proyek yang belum bisa menghitung persentasi keterlambatan, hal ini disebabkan oleh proyek yang baru beberapa bulan berjalan dan belum bisa memprediksi dengan pasti persentasi kenaikan biaya yang terjadi. g. Jabatan Responden Dalam Proyek Gambar 8. Jabatan Responden Dalam Proyek Sumber : Hasil Analisis, 2013 22 | K o n s t r u k s i a STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) Gambar 8 menunjukan jabatan responden pada proyek yang dikerjakan adalah 20% (2 responden) menjabat sebagai project manager, 20% (2 responden) menjabat sebagai site manager, 40% (4 responden) menjabat sebagai site engineer, 10% (1 responden) menjabat sebagai quality control, dan 10% (1 responden) menjabat sebagai Administrasi kontrak. h. Pengalaman Kerja Di Proyek Pengalaman Kerja Responden 10% 10% 20% 4 tahun 10% 20% 10% 2 tahun 20% 5 tahun 7 tahun 14 tahun Gambar 9. Pengalaman Kerja Responden Sumber : Hasil Analisis, 2013 Gambar 9 menunjukan pengalaman kerja dalam proyek konstruksi, sebanyak 20% (2 responden) memiliki pengalaman proyek selama 2 tahun, 20% (2 responden) memiliki pengalaman proyek selama 4 tahun, 20 % (2 responden) memiliki pengalaman proyek selama 5 tahun, 10% (1 responden) memiliki pengalaman proyek selama 7 tahun, 10% (1 responden) memiliki pengalaman proyek selama 14 tahun, 10% (1 responden) memiliki pengalaman proyek selama 18 tahun, 10% (1 responden) memiliki pengalaman proyek selama 18 tahun. i. Pendidikan Terakhir Responden Gambar 10. Pendidikan Terakhir Sumber : Hasil Analisis, 2013 Gambar 10 menunjukan pendidikan terakhir responden adalah sebanyak 80% (8 responden) memiliki pendidikan terakhir S1, dan 20% (2 responden) memiliki pendidikan terakhir SMA. 3. Hasil Penelitian Hasil pengisian kuesioner oleh responden, maka didapat data mengenai keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung, untuk memperoleh rangking dari faktor-faktor keterlambatan akan diolah menggunakan SPSS for windows menggunakan analisis descriptive untuk mencari nilai tingkat rata-rata masing-masing faktor penyebab keterlambatan, hasil yang diperoleh dari analisis ini menggunakan SPSS for windows. 4. Pembahasan Setelah diolah dan didapatkan nilai meam ranknya maka setiap faktor dapat dirangking berdasarkan nilai mean rank dan standar deviasinya. a. Analisis Rangking Secara Keseluruhan Analisis rangking secara keseluruhan memperlihatkan hasil secara umum peringkat semua faktor-faktor keterlambatan yang penyelesaian proyek konstruksi bangunan gedung di Daerah Tangerang yang dilaksanakan pada tahun 2012. b. Analisis Rangking 10 (sepuluh) Terbesar Analisis rangking 10 (sepuluh) terbesar menunjukan peringkat 10 (sepuluh) terbesar faktor penyebab keterambatan proyek bangunan gedung pada tahun 2012 di Daerah Tangerang. 23 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Tabel 3. Rangking Faktor Sepuluh Terbesar Secara Keseluruhan No Faktor Keterlambatan Mean Std. Deviation Rank 1 keterlambatan pengiriman bahan 3.20 0.63246 1 2 ketersediaan bahan terbatas di pasaran 3.00 1.05409 2 3 kurangnya ketersediaan tenaga kerja 3.00 1.24722 3 4 curah (intensitas) hujan 2.70 0.82327 4 5 kurangnya kehadiran tenaga kerja 2.70 1.05935 5 6 kurangnya kedisiplinan tenaga kerja 2.60 0.69921 6 7 kurangnya keahlian tenaga kerja 2.60 0.84327 7 8 komunikasi antara kontraktor dan owner 2.60 1.26491 8 2.50 1.08012 9 2.50 1.2693 10 9 buruknya komunikasi antara tenaga kerja dan badan pembimbing kesalahan design oleh perencana 10 Sumber : Hasil Analisis, 2013 Tabel 3 menunjukan 10 (sepuluh) faktor terbesar yang mempengaruhi keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang pada tahun 2012. Faktor keterlambatan pengiriman bahan/material menjadi faktor utama yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah tangerang, keterlambatan pengiriman bahan/material dapat terjadi akibat lalulintas menuju lokasi proyek merupakan daerah yang ramai dan rawan kemacetan. Faktor ketersediaan bahan terbatas di pasaran menjadi faktor kedua yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Ketrsediaan bahan terbatas di pasaran bisa di akibatkan oleh banyaknya proyek lain di daerah yang sama menyebabkan permintaan bahan menjadi sangat banyak. Faktor kurangnya ketersediaan tenaga kerja menjadi faktor ketiga yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Kurangnya ketersediaan tenaga kerja dapat disebabkan oleh banyaknya jumlah proyek lain yang di daerah yang sama menyebabkan tenaga kerja yang ada di 24 | K o n s t r u k s i a sekitar proyek terbatas karena telah banyak bekerja di proyek lain. Faktor curah (intensitas) hujan menjadi faktor keempat ketiga yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Curah (intensitas) hujan yang terjadi saat proyek sedang berlangsung dapat berakibat tertundanya sebagian pekerjaan. Faktor kurangnya kehadiran tenaga kerja menjadi faktor kelima yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Kurangnya kehadiran tenaga kerja maksudnya adalah para pekerja baik para pekerja kantor ataupun tukang yang sering membolos atau sering tidak ada ditempat saat jam kerja, hal ini dapat menyebabkan tidak maksimalnya kinerja para pekerja yang menyebabkan adanya pekerjaan yang tertunda.ha ini dapat disebabkan oleh tidak adanya control kepada para pekerja dan sangsi yang tegas tentang kehadiran. Faktor kurangnya kedisiplinan tenaga kerja menjadi faktor keenam yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Kurangnya kedisiplinan dimaksudkan adalah kurangnya ketaatan tenaga kerja dalam STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak kontraktor khususnya pihak K3L. seperti merokok, makan, dan minum saat bekerja, membuang sampah atau puntung rokok sembarangan saat bekerja, tidak menggunakan peralatan safety dengan lengkap dan benar, hal ini dapat menyebabkan keterlambatan karena menambah pekerjaan untuk pembersihan sampah-sampah dan sisa-sisa puntung rokok sebelum mengerjakan pengecoran, dan tidak menggunakan peralatan safety dengan lengkap dan benar dapat mengakibatkan tingginya angka kecelakaan. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya penyuluhan, peringatan dan pengawasan dari pihak kontraktor. Faktor kurangnya keahlian tenaga kerja menjadi faktor ketujuh yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Kurangnya tenaga kerja yang memiliki keahlian / keterampilan yang kurang dalam bidang pekerjaan konstruksi seperti pemasangan bekisting yang kurang rapih yang dapat mengakibatkan buruknya hasil pengecoran beton, pabrikasi baja yang kurang benar pemasangannya, atau tenaga kerja yang tidak yang ada tidak sesuai dengan keriteria yang ditentukan. Faktor komunikasi antara kontraktor dan owner menjadi faktor kedelapan yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Komunikasi antara kontraktor dan owner bisa menjadi masalah apabila komunikasi antara keduanya kurang, hal ini menyebabkan sering terjadi kesalahan pahaman keinginan owner dengan hasil pekerjaan yang dikerjaakan kontraktor. Faktor buruknya komunikasi antara pekerja dengan badan pembimbing menjadi faktor kesembilan yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Komunikasi yang buruk antarapekerja dan badan pembimbing dapat terjadi karena badan pembimbing menyepelekan para pekerja membiarkan pekerja bekerja tanpa ada arahan yang jelas dan akan menyebabkan kesalahan pahaman dalam pekerjaan antara keinginan kontraktor dengan hasil pekerjaan para pekerja. Faktor kesalahan design oleh perencana menjadi faktor kesepuluh yang menyebabkan keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Kesalahan design oleh perencana bisa terjadi akibat perencana yang tidak professional dalam bekerja, atau akibat seringnya penggantian design oleh owner. Hal ini dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam pembangunan proyek yang sedang dilaksanakan. c. Analisis Korelasi Jenjang Spearman Setelah memperoleh rangking 10 (sepuluh) terbesar dari faktor-faktor penyebab keterlambatan, selanjutnya dilakukan Analisis korelasi jenjang Spearman terhadap 10 (sepuluh) faktor terbesar tersebut, yang akan akan dikorelasikan dengan persentase keterlambatan yang terjadi pada setiap proyek responden untuk melihat apakah ada hubungan antara 10 (sepuluh) faktor terbesar dengan persentase keterlambatan yang terjadi. Data dianalisis korelasi jejang Spearman mengunakan SPSS for windows. Hasil korelasi jenjang Spearman antara 10 (sepuluh) faktor terbesar yang paling mempengaruhi keterlambatan proyek dapat dilihat di bawah: 25 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Tabel 5. Hasil Analisis Korelasi Jenjang Spearman Antara Sepuluh Faktor Terbesar Dengan Persentae Keterlambatan. Spearman's rho PK FB1 FB2 FTK5 FC1 FTK4 FTK2 FTK1 FM6 FTK7 FD2 PK Correlation Coefficient 1.000 FB1 Correlation Coefficient 0.084 1.000 FB2 Correlation Coefficient 0.035 0.349 1.000 FTK5 Correlation Coefficient -0.065 0.041 0.324 1.000 FC1 Correlation Coefficient -0.003 0.012 0.061 .747* 1.000 FTK4 Correlation Coefficient 0.429 0.343 0.338 0.507 0.434 1.000 FTK2 Correlation Coefficient 0.305 0.270 0.389 0.495 0.572 .857** 1.000 FTK1 Correlation Coefficient 0.521 0.098 0.083 0.401 0.341 .845** .754* 1.000 FM6 Correlation Coefficient 0.025 0.209 0.376 0.527 0.619 .757* .817** 0.497 1.000 FTK7 Correlation Coefficient -0.204 0.250 0.030 0.497 0.184 0.178 0.197 0.129 0.019 1.000 FD2 Correlation Coefficient 0.418 0.401 0.380 0.131 0.095 0.557 .638* 0.379 0.481 0.055 1.000 Total Correlation Coefficient .832** 0.247 0.210 0.323 0.358 .800** .766** .796** 0.486 0.013 0.630 Total 1.000 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber : Hasil Analisis, 2013 Dimana: PK = Persentasi Keterlambatan FB1 = Keterlambatan pengiriman bahan FB2 = Ketersediaan bahan terbatas di pasaran FTK5 = Kurangnya ketersediaan tenaga kerja FC1 = Curah (intensitas) hujan FTK4 = Kurangnya kehadiran tenaga kerja FTK2 = Kurangnya kedisiplinan tenaga kerja FTK1 = Kurangnya keahlian tenaga kerja FM6 = Komunikasi antara kontraktor dan owner FTK7 = Buruknya komunikasi antara pekerja dengan badan pembimbing FD2 = Kesalahan design oleh perencana Total = Jumlah total 10 faktor keterlambatan dan persentasi keterlambatan 26 | K o n s t r u k s i a Tabel 5 menunjukan hasil analisis korelasi jenjang Spearman antara 10 (sepuluh) faktor terbesar dengan persentase keterlambatan dimana analisis korelasi jenjang Spearman menggunakan SPSS for windows. Santoso (2012), koefisien angka korelasi untuk Spearman berkisar antara 0 (tidak ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi sempurna). Sebagai pedoman sederhana angka korelasi di atas 0,5 menunjukan korelasi yang cukup kuat, sedangkang di bawah 0,5 korelasi lemah. Tanda korelasi Spearman berpengaruh pada penafsiran hasil. Tanda – (negatif) pada output menunjukan adanya arah hubungan berlawanan, sedangkan tanda + (positif) menunjukan arah hubungan sama. Hasil analisis korelasi antara faktor FTK1 (Kurangnya keahlian tenaga kerja) dengan PK (Persentasi Keterlambatan) menjadi faktor dengankorelasi terbesar menghasilkan angka +0.521, karena +0.521 > 0.5 menunjukan korelasi cukup STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) kuat antara faktor FTK1 (Kurangnya keahlian tenaga kerja) dengan PK (Persentasi Keterlambatan), dan tanda + (positif) menunjukan semakin tinggi kurangnya keahlian tenaga kerja maka, semakin tinggi pula persentasi keterlambatannya. Hasil analisis korelasi antara faktor FC1 (Curah (intensitas) hujan) dengan PK (Persentasi Keterlambatan) menghasilkan angka -0.003, karena -0.003 < 0.5 menunjukan kurang kuatnya korelasi antara faktor FC1 (Curah (intensitas) hujan) dengan PK (Persentasi Keterlambatan),dan tanda – (negative) menujukan semakin tinggi curah (intensitas) hujan semakin rendah persentase keterlambatannya. Hasil analisis korelasi antara faktor Total (Jumlah total 10 (sepuluh) faktor keterlambatan dan persentasi keterlambatan) dengan PK (Persentasi Keterlambatan) menghasilkan angka + 0.832, karena +0.832 > 0.5 menunjukan kuatnya korelasi korelasi antara Total (Jumlah total 10 (sepuluh) faktor keterlambatan dan persentasi keterlambatan) dengan PK (Persentasi Keterlambatan), dan tanda + (positif) menujukan semakin tinggi nilai Total semakin tinggi pula persentasi keterlambatannya. d. Analisis Uji Reabilitas Setelah dilakukan analisis korelasi pada 10 (sepuluh) terbesar dari faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang. Selanjutnya melakukan analisis uji Reabilitas, analisis ini bertujuan untuk menguji keandalan (reliable) instrument kuesiner atau menguji apakah 10 (sepuluh) faktor terbesar tersebut menghasilkan ukuran yang konsisten apabila digunakan untuk mengukur berulangkali. Instrument kuesioner dinyatakan andal (reliable) apabila memiliki nilai alpha Cronbach > 0.6. analisis uji reabilitas ini menggunakan SPSS for windows. Hasil analisis menunjukan nilai alpha cronbach 10 (sepuluh) faktor terbesar dari faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang sebesar 0.8422, karena 0.8422 > 0.6 maka 10 (sepuluh) faktor terbesar dari faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi pembangunan gedung di Daerah Tangerang instrumentnya andal (reliable) atau menghasilkan ukuran yang konsisten apabila digunakan untuk mengukur berulangkali. 5. Kesimpulan Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai studi faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi bangunan gedung di Daerah Tangerang meliputi Tangerang Kota, Tangerang Kabupaten, Dan Tangerang Selatan, dapat disimpulkan: a. Berdasarkan hasil uji analisis descriptive berdasarkan nilai mean rank diperoleh rangking dari tiap faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi bangunan gedung di Daerah Tangerang rangking pertama adalah factor keterlambatan pengiriman bahan dan rangking ketiga puluh Sembilan adalah factor bencana alam. b. Berdasarkan hasil uji anaslisis descriptive diperoleh 10 (sepuluh) faktor terbesar berdasarkan nilai mean rank yaitu: pertama adalah faktor keterlambatan pengiriman bahan, kedua adalah ketersediaan bahan terbatas dipasaran, ketiga adalah, kurangnya ketersediaan tenaga kerja, keempat adalah curah (intensitas) hujan, kelima adalah kurangnya kehadiran tenaga kerja, keenam kurangnya kedisiplinan tenaga kerja, ketujuh adalah kurangnya keahlian tenaga kerja, kedelapan adalah komunikasi antara kontraktor dan owner yang buruk, kesembilan adalah buruknya komunikasi antara tenaga kerja dan badan pembimbing, 27 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 kesepuluh adalah kesalahan design oleh perencaran. c. Faktor keterlambatan pengiriman bahan merupakan factor utama penyebab keterlambatan proyek konstruksi bangunan gedung di Daerah Tangerang. d. Berdasarkan hasil korelasi jenjang Spearman antara persentasi keterlambatan dan 10 (sepuluh) factor keterlambatan terbesar factor kurangnya keahlian tenaga kerja memiliki angka korelasi terbesar, dan factor curah (intensitas hujan memiliki angka korelasi yang paling rendah. e. Berdasarkan hasil analisis uji reabilitas terhadap 10 (sepuluh) faktor keterlambatan terbesar memiliki instrument yang andal (reliable) atau menghasilkan ukuran yang konsisten apabila digunakan untuk mengukur berulangkali dengan nilai alpha cronbach 0.8422 > 0.6. 6. Saran a. Kepada para kontraktor yang hendak melaksanakan proyek di Daerah Tangerang meliputi Tangerang Kota, Tangerang Kabupaten, Dan Tangerang Selatan, hendaknya memperhatikan 10 (sepuluh) faktor terbesar penyebab keterlambatan sehingga 10 (sepuluh) faktor penyebab keterlambatan tersebut dapat diatasi. b. Untuk para kontraktor agar lebih teliti dalam pemilihan pekerja, jangan hanya mencari para pekerja dengan bayaran yang murah, tapi harus lebih mementingkang kualitas para pekerjanya. c. Untuk para kontraktor agar lebih meningkatkan kualitas para pengelola proyek agar lebih dapat memahami keterlambatan yang terjadi agar setiap keterlambatan yang terjadi dapat diketahui penyebabnya dan cepat diatasi. d. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan kriteria 28 | K o n s t r u k s i a responden tidak hanya kontraktor yang melaksanakan tapi juga MK (manajemen kontruksi) dan pemilik proyek (owner), juga penambahan daerah penelitian disekitar daerah Tangerang agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih teliti lagi. e. Untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan analisis 10 (sepuluh) factor terbesar penyebab keterlambatan proyek konstruksi bangunan gedung di Daerah Tangerang lebih teliti lagi dengan cara mencari keterkaitan dampaknya terhadap biaya proyek. DAFTAR PUSTAKA Abd.Majid M.Z. and Ronald McCaffer.(2002), “Factors of Non Excusable Delays That Influence Contractor's Performance”, Journal of Construction Engineering and Management, ASCE. Andi.et al, (2003), On Representing Factors Influencing Time Performance Of ShopHouse Construction In Surabaya, Universitas Kristen Petra, Arikunto, Suharsimi, (2006), ProsedurPenilitianSuatuPendekatanPrakti k, ed. Rev. IV. Rinekacipta, Yogyakarta. Dipohusodo.I, (1996), Manajemen Proyek dan Konstruksi Jilid 1, Kanisius, Yogyakarta. Ervianto.Wulfram I, (2005), Manajemen Proyek Konstruksi, Penerbit Andi, Yogyakarta. Kampey Fangky, (2009), Analisis FaktorFaktor Keterlambatan Pada Proyek bangunan Keairan, Universitas Tadulako, Palu. Leonda Gesti, (2008), Studi Keterlambatan Penyelesaian Proyek Konstruksi Pada Tahun 2007 Di Daerah Belitung, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. STUDY FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI (Matri – Rahman - Andi) Lukiastuti. Fitri. Et al, (2012), Statistik Non Parametris Aplikasi Dalam Bidang Ekonomi Dan Bisnis, Caps, Yogyakarta. Makulsawatudom Dan Emsley, (2001), Factor Affecting The Production Industry in Thailand: The Craftmen’s Perception, Universitas Manchester. U.K. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, nomor 36 tahun 2005 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung pasal 5 ayat 7. Proboyo Budiman, (1999), Keterlambatan Waktu Pelaksanaan Proyek :Klasifikasi Dan Peringkat Dari PenyebabPenyebabnya, Universitas Kristen Petra, JawaTimur. Reksoatmodjo.N.Tedjo, (2009), Statistika Teknik, Refika Aditama, Bandung. Santoso.Singgih, (2012), Panduan Lengkap SPSS Versi 20, Elex Media Komputindo, Jakarta. Soeharto.I, (1995), Manajemen Proyek dari Konsep tuak Sampai Operasional, Erlangga, Jakarta. Suanda Budi, (2011), 25 Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek, Artikel. Suyatno, (2010), Analisis Faktor Penyebab Keterlambatan penyelesaian Proyek Gedung Aplikasi Model Regresi, Universitas Diponogoro, Semarang. Trihendradi.C, (2012), Step By Step SPSS 20 Analisis Data Statistik, Penerbit Andi, Yogyakarta. Widhiawati. I. A. Rai, (2009), AnalisisFaktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstrusi, Universitas Udayana, Bali. Wiguna. Of The Project Building I. P. A Dan Scott, (2005), Nature Critical Risk Factors Affecting Performance In Indonesian Contracts, Universitas Newcastle Upon Tyne, UK. 29 | K o n s t r u k s i a CUTTER SUCTION DEDGER DAN JENIS MATERIAL (Juris Mahendra) CUTTER SUCTION DREDGER DAN JENIS MATERIAL (PADA PEKERJAAN CAPITAL DREDGING PEMBANGUNGAN PELABUHAN TELUK LAMONGAN) Juris Mahendra Ahli Pengerukan, Freelancer Independent Email: jurishendra@gmail.com ABSTRAK : Secara teknis, pengerukan itu adalah merelokasi sedimen bawah air untuk pembangunnan dan pemeliharaan saluran air, tanggul dan prasarana transportasi laut, serta untuk perbaikan tanah atau reklamasi. Jadi pada gilirannya nanti, pengerukan itu juga menopang pembangunan dan pengembangan sosial, ekonomi dan restorasi lingkungan. Pekerjaan pengerukan itu sendiri untuk pembangunan yang berkelanjutan, seperti proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan pendekatan holistik, artinya pekerjaan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan pekerjaan lainnya dan merupakan satu-kesatuan yang utuh serta saling keterkaitan. Dengan pemanfaatan yang semakin berkembang, maka tentunya perkembangan peralatan keruk juga akan menyesuaikan dan mengikuti perkembangan itu dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomisnya. Maka dibangunlah peralatan keruk yang sangat spesifik dan berbeda dengan peralatan darat yang menggunakan alat berat. Dan peralatan ini dapat disebut kapal keruk (Dredger), yang memiliki ukuran yang bervariasi dan beragam jenis. Kapal Keruk jenis CSD dapat mengeruk berbagai jenis material tanah (kecuali tanah SPT>60), sesuai dengan kemampuan pompa keruk dan Cutter Head-nya; Kata Kunci : pengerukan, produktivitas, kapal keruk ABSTRACT: Technically , dredging it is sedimentary relocate its underwater to pembangunnan and maintenance of water channel , levee and sea transportation infrastructure , as well as for the soil improvement or reclaimed .So in turn later , dredging it also upholds development and social development , economic and environmental restoration. Dredging work itself to the sustainable development , such as infrastructure projects that use holistic approach , it means the job cannot be separated by other occupations and are satu-kesatuan the whole and each other . From the utilization of which keeps growing , then surely the development of dredging equipment will also adjust and closely follow the developments that with a view to increasing productivity and their economic value. The dredging equipment was built a very specific and different land with the equipment that uses heavy equipment .And this equipment can be called dredgers (dredger ) , having varying size and of various kinds .Dredgers type csd could dredge various types of material land unless the ground like & gt; 60 ) , in accordance with the ability to pump dredging and cutter head. Keyword : dredging, productivity, dredger ship PENDAHULUAN Industri Pengerukan masa kini telah berkembang pesat baik metode pelaksanaannya, peralatannya dan fungsinya. Yang awalnya hanya untuk memperdalam alur pelayaran lalu-lintas kapal laut dan pertambangan Timah, saat ini berkembang untuk membangun dan memerbaiki kawasan, dan berbagai bidang industri lainnya yang juga memerlukan jasa pengerukan. URAIAN UMUM Pengerukan merupakan bagian dari ilmu Sipil, yang memiliki pengertian 31 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 pemindahan material dari dasar bawah air dengan menggunakan peralatan keruk atau setiap kegiatan yang merubah konfigurasi dasar atau kedalaman perairan seperti laut, sungai, danau, pantai ataupun daratan sehingga mencapai elevasi tertentu dengan menggunakan peralatan kapal keruk. Secara teknis, pengerukan itu adalah merelokasi sedimen bawah air untuk pembangunnan dan pemeliharaan saluran air, tanggul dan prasarana transportasi laut, serta untuk perbaikan tanah atau reklamasi. Jadi pada gilirannya nanti, pengerukan itu juga menopang pembangunan dan pengembangan sosial, ekonomi dan restorasi lingkungan. Pekerjaan pengerukan itu sendiri untuk pembangunan yang berkelanjutan, seperti proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan pendekatan holistik, artinya pekerjaan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan pekerjaan lainnya dan merupakan satu-kesatuan yang utuh serta saling keterkaitan. Pemanfaatan pengerukan dapat dibagi atas 2 manfaat, yaitu : 1. Pemanfaatan Material Yang Dikeruk Material hasil kerukan, dimanfaatkan sebagai hasil Tambang, seperti pasir Timah, Emas, Batubara dan lain-lain. Material hasil kerukan, dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk reklamasi/timbunan daerah basah, sehingga menjadi daerah yang siap dibangun. Seperti pembangunan lahan kawasan industri, perumahan dan perbaikan pantai. 2. Pemanfaatan Lokasi Yang Dikeruk Biasanya untuk lalu-lintas air, suplai air, pengendalian banjir ataupun 32 | K o n s t r u k s i a untuk mendirikan konstruksi pada tanah yang kurang baik daya dukungnya. Pemanfaatan ini dapat dibagi atas 2 jenis pekerjaan, yaitu : Capital Dredging (Pengerukan Baru) Mengeruk pada daerah yang belum pernah dikeruk, dan biasanya merupakan material sedimentasi yang sudah solid. Maintenance Dredging (Pengerukan Perawatan) Pengerukan jenis ini dilaksanakan secara rutin atau berkala, sesuai dengan kebutuhan penggunaan area tersebut. Biasanya material yang dikeruk merupakan material hasil sedimentasi. Dengan pemanfaatan yang semakin berkembang, maka tentunya perkembangan peralatan keruk juga akan menyesuaikan dan mengikuti perkembangan itu dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomisnya. Maka dibangunlah peralatan keruk yang sangat spesifik dan berbeda dengan peralatan darat yang menggunakan alat berat. Dan peralatan ini dapat disebut kapal keruk (Dredger), yang memiliki ukuran yang bervariasi dan beragam jenis. Salah satu jenis kapal keruk yang mengalami perkembangan yang cukup pesat adalah CUTTER SUCTION DREDGER. Kapal keruk yang bisa memotong materialnya dan menghisap material untuk dibuang. Kapal ini dapat mengeruk berbagai macam material dan pada kedalaman yang bervariasi. Seluruh alur pelayaran yang menuju pelabuhan di Indonesia dibuat dengan menggunakan kapal keruk jenis ini. Terutama pelabuhan yang berposisi di daerah sungai/pedalaman. Untuk studi kasus ini CUTTER SUCTION DEDGER DAN JENIS MATERIAL (Juris Mahendra) pada Proyek Pekerjaan capital dredging Teluk Lamong Surabaya. Pada proyek ini, area basin sekitar dermaga dilaksanakan pendalaman berupa Capital dredging dan material dibuang ke lokasi pantai yang nantinya dapat dipergunakan sebagai area terbuka. Dan tentunya memerlukan waktu yang lama agar material buangan tersebut dapat jenuh konsolidasinya. Dalam hal ini, terjadi permasalahan pada produksi CSD yang sangat rendah sehingga proyek mengalami kemunduran waktu penyelesaiannya dan tentunya memerlukan biaya tambahan. ANALISA Proyek Pelabuhan Teluk Lamong yang berfungsi sebagai Terminal Multipurpose berlokasi di Surabaya memiliki kapasitas 1,5 juta TEUs dan memiliki kedalaman pelabuhan -10,5m LWS. Kolam pelabuhannya dikeruk menggunakan kapal kerk Jenis CSD dengan ukuran 20”30“. Zona 3 untuk Penumpukan/Container Yard. Volume ±1.600.00M3 Lapangan Cutter Suction Dredger (CSD) Kapal Keruk berdasarkan cara penggalian dan operasinya dapat dibagi dalam 3 jenis, yaitu cara mekanik, cara hidrolik dan cara hidrodinamik. Kapal keruk Hidrolik itu mencakup seluruh peralatan keruk yang menggunakan Pompa sentrifugal dalam sistem transportasinya memindahkan material hasil pengerukan. CSD diklasifikasikan kedalam kapal keruk Hidrolik, yang memiliki kemampuan untuk mengeruk hampir seluruh jenis tanah (Pasir, Tanah liat, Batu). Gambar 2. Cutter Suction Dredger Gambar 1. Layout Lokasi Pengerukan dan Disposal Design kedalaman – 10,5 m LWS, dan material dibuang ke lokasi Zona 2 dan Bagian yang sangat berpengaruh pada produksi CSD adalah : 33 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Gambar 6. Gambar Whinch jangkar Gambar 3. Cutter dan Cutter Drive “The most obvious differences are based on the type of dredging vessel and type of soil” (IHC). Memang setiap jenis kapal keruk akan mengeruk sesuai dengan jenis material yang akan dikeruk. Gambar 4. Cutter Head Gambar 7. Jenis Tanah Gambar 5. Gambar Pompa Keruk 34 | K o n s t r u k s i a “Dredging equipment does its work in one of the most unforgiving environments in the world. The material to be dredged is almost always erosional, sometimes extremely so” (IHC). Betul, material yang telah dikeruk akan mengalami kelongsoran dan akan terhenti jika terjadi keseimbangan. CUTTER SUCTION DEDGER DAN JENIS MATERIAL (Juris Mahendra) Prosedure pekerjaan pengerukan dengan menggunakan Cutter Suction Dredger. Pergerakan CSD dalam mengeruk menggunakan Jangkar yang disambung dengan Sling yang diikatkan pada Cutterhead, dengan Winch Draghead ditarik kekiri-kanan untuk memotong material di dalam air. Sedangkan satu Spud bekerja agar CSD tetap pada posisinya. Untuk menggerakkan CSD pada lokasi lain dengan menggunakan Spud (seperti melangkah) salah satu Spud station dan Spud lainnya bergerak maju. Untuk pergerakan vertikal Draghead, dengan menggunakan Winch yang disambungkan dengan sling dan diikatkan pada Pontoon/Barge. Segala kegiatan dalam air dimonitor melalui Komputer, yaitu pergerakan Draghead, sudut CSD dan tekanan pada pipa buang. Material disalurkan melalui pipa. Yang mempengaruhi kerja CSD adalah : karakteristik tanah, besaran butiran, SPT, plastisitas, berat isi; kedalaman keruk; kondisi cuaca, ombak, arus; lalu-lintas; pasang-surut; daya pompa; jenis Cutterhead; panjang pipa; daya winch; ketebalan material yang dikeruk; Produksi dan Material Silt 0.002 to 0.05 mm Very fine sand 0.05 to 0.10 mm Fine sand 0.10 to 0.25 mm Medium sand 0.25 to 0.5 mm Coarse sand 0.5 to 1.0 mm Very coarse sand 1.0 to 2.0 mm Gravel 2.0 to 75.0 mm Rock greater than 75.0 mm (~2 inches) Produksi CSD sangat dipengaruhi oleh jenis material yang dikeruknya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Besaran Butiran Gambar 9. Perbandingan Ukuran Sand, Clay dan Silt Texture tanah yang berdasarkan ukuran partikelnya. Syarat ukuran pasir (sand), lumpur (silt) dan tanah liat (clay) sangat relatif, Pasir memiliki ukuran yang lebih besar (berpasir), Lumpur berukuran lebih moderat dan texturenya halus atau bertepung. Sedang Tanah Liat berukuran sangat kecil (ada 12.000 partikel setiap 1 inch) dan sifatnya lengket. Tanah menjadi faktor utama yang mempengaruhi dalam pemelihan kapal keruk dan produktivitas kapal. Material tanah ada beberapa macam sesuai dengan ukuran menurut Colorado State : Name particle diameter Clay below 0.002 mm 35 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Gambar 10. Soil Texture Triangle (USDA Soil Texture Triangle memberikan namanama yang terkait dengan berbagai kombinasi pasir, lumpur dan tanah liat. Sebuah tanah kasar bertekstur atau berpasir adalah salah satu terdiri terutama dari partikel pasir berukuran. Sebuah tanah bertekstur halus atau liat adalah salah satu didominasi oleh partikel tanah liat kecil. Karena sifat fisik yang kuat liat, tanah dengan partikel tanah liat hanya 20% berperilaku sebagai lengket, bergetah liat tanah. Lempung merujuk pada tanah dengan kombinasi pasir, lumpur, dan liat partikel berukuran. Sebagai contoh, sebuah tanah dengan 30% tanah liat, 50% pasir, dan 20%lumpur disebut lempung liat berpasir. Tabel 1. Kecepatan Aliran JENIS TANAH KECEPATAN (M/Dtk) Lumpur Pasir Halus Pasir Kasar Kerikil Batuan 2,5 3,0 – 4,0 4,0 – 4,5 4,5 – 5,5 6 Besaran butiran mempengaruhi kecepatan aliran material di dalam pipa. P = ......................(1) dimana, P = Tenaga pompa (PK) W = Berat jenis tanab dasar (t/m3) Q = Debit pompa (m3/jam) H = Total tinggi penghisapan (m) n = Efisiensi pompa (0,5 - 0,6). Adapun Q = A x V........................(2) Dimana Q = Debit pompa (m3/jam) A = Luasan pipa (m2) = x D2 (D = diameter pipa) V = Kecepatan aliran (m/detik). 36 | K o n s t r u k s i a CUTTER SUCTION DEDGER DAN JENIS MATERIAL (Juris Mahendra) Tabel 2. Headloss Pada CSD dan Pipa Tabel 3. koefisien tanah pada headloss di pipa (a) Pada Rumusan Tabel di atas : H3 = E3.a.(L/D).(V2/2.g) E3 = Koefisien : Pipa baru = 0,02 + 0,0005 x L/D Pipa lama = 0,02 + 0,0005 x L/D L = Panjang pipa (m) D = Diameter pipa (m) a = Koefisien tanah Produksi CSD Berdasarkan Grafik 37 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Gambar 11. Grafik " DRAGON®" Model Series 1870 - 20" (508mm) I.D. Pipeline Gambar 12. Grafik " SUPER-DRAGON®" Model Series 4170 Using 27" (686mm) I.D. Pipeline Pengaruh Besaran Butiran : Semakin besar diameter butiran, maka kecepatan material semakin besar dan memperbesar debit air serta materialnya lebih sedikit, sehingga mengurangi produksi. Semakin besar diameter butiran, maka Koefisien Tanah semakin besar dan meningkatkan Headloss serta mengurangi produksi. 38 | K o n s t r u k s i a Semakin kecil diameter butiran, maka semakin besar plastisitasnya akan semakin lengket dan mengurangi produksi. 2. Berat Isi Berat Isi pada Formula (1) di atas (W), jika semakin besar maka Pompa memerlukan daya yang lebih besar lagi. Jika Dayanya tetap, maka kan mengurangi produktifitas CSD. CUTTER SUCTION DEDGER DAN JENIS MATERIAL (Juris Mahendra) 3. SPT/N-Value Tabel Jenis Kapal Keruk dan Jenis Tanah Yang Mampu Dikeruk Tabel 4. Tabel Jenis Kapal Keruk dan Jenis Tanah Yang Mampu Dikeruk 39 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 texturenya halus atau bertepung. Sedang Tanah Liat berukuran sangat kecil (ada 12.000 partikel setiap 1 inch) dan sifatnya lengket. Ini juga mempengaruhi jenis Cutter Head (lihat Gambar Cutter Head). Gambar 13. Jenis Cutterhead sesuai jenis Material Ini berhubungan juga dengan Daya Pompa kapal keruk CSD. Jika yang dikeruk material keras dan menggunakan Cutterhead biasa, maka akan terjadi penurunan produksi. CSD yang digunakan harus sesuai dengan N-Value material dan Cutter Headnya juga harus sesuai dengan jenis material. Pengaruh SPT/N-Value : Semakin tinggi N-Value memerlukan CSD yang berukuran besar, jika dengan CSD standar maka akan mengurangi produksi serta waktu menjadi lama; Kerja Cutter Head dan Pompa keruk semakin berat, akan mempercepat keausan material Cutter Head dan Pompa, dan mungkin akan merusak alat tersebut jika dipaksakan. 4. Plastisitas Texture tanah yang berdasarkan ukuran partikelnya. Syarat ukuran pasir (sand), lumpur (silt) dan tanah liat (clay) sangat relatif, Pasir memiliki ukuran yang lebih besar (berpasir), Lumpur berukuran lebih moderat dan 40 | K o n s t r u k s i a Gambar Cutter Head dan Stiff Clay Pengaruh Plastisitas : Semakin besar plastisitasnya akan semakin lengket dan semakin kuat menempel pada Cutter Head, sehingga akan memperkecil produksi; Material yang menempel pada Cutter Head harus dibersihkan, sehingga Jam kerja kapal CSD akan berkurang. Karena waktu pembersihan membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih besar. CUTTER SUCTION DEDGER DAN JENIS MATERIAL (Juris Mahendra) Tabel 5. Biaya dan Jam Kerja CSD (Kondisi baru) *Ciria Dengan Jenis Tanah yang lebih keras (Nvalue), diameter lebih besar (grain size), density lebih besar (δ) dan sifat plastik lebih besar dari pada yang direncanakan, mengakibatkan : 1. Produksi CSD menurun; Dikarenakan material lebih berat dan kecepatan alir di pipa menjadi rendah, serta koefisien tanah juga lebih besar. 2. Waktu menjadi lebih lama; Dengan produksi yang rendah, maka waktu penyelesaian menjadi mundur. Juga jam kerja efektif yang normal 18 jam/hari menjadi turun karena harus membersihkan material pada cutterhead, 3. Keausan alat menjadi lebih cepat The Cutter head, pump housing and pipelines operate in harsh conditions; they suffer important wear and tear. As a result, the various components which together make the Cutter head, pump housing and pipelines, need regular maintenance or replacement (DAMEN Dredging Equipment). Ke-Ausan alat akibat dari perubahan MATERIAL (Lunak menjadi Keras), menjadi lebih cepat umur sparepart. KESIMPULAN 1. Kapal Keruk jenis CSD dapat mengeruk berbagai jenis material tanah (kecuali tanah SPT>60), sesuai dengan kemampuan pompa keruk dan Cutter Head-nya; 2. Bagian penting pada kapal keruk CSD yang mempengaruhi produksi adalah Daya pompa, Cutter Head dan kemampuan olah gerak kapal (whinch Jangkar); 3. Faktor lainnya yang mempengaruhi produksi (selain bagian CSD) adalah Kareteristik tanah, Kondisi sekitar proyek dan panjang pipa pembuangan material; 4. Kareteristik tanah yang mempengaruhi produksi adalah : Besaran Butiran Tanah / Diamater / Grain Size. Semakin besar diameter material, maka akan semakin berat material 41 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 tersebut didorong oleh air, sehingga produktifitas CSD menurun. Pada jenis tanah di teluk Lamong tidak terlalu besar; Berat Isi Tanah/Density Berat isi/density. mempengaruhi daya pompa. Jika density besar, maka membutuhkan daya pompa yang besar dan mempengaruhi keausan pompa dan pipa buang. Jika daya pompa tidak sesuai, maka produktifitas kapal CSD akan menurun. N-Value-SPT/Kekerasan Tanah Kekerasan material, mempengaruhi kemampuan Cutter Head untuk memotong/Cutting material. Semakin keras, maka dibutuhkan Cutter Head yang khusus. Cutter Head standar yang digunakan untuk memotong material yang keras, mengakibatkan produktifitas kapal CSD menurun, keausan pada Cutter Head/Cutter Teeth, pompa keruk dan pipa buang. Jenis tanah di Teluk Lamong cukup keras dan Stiff. Plastisitas/Kekenyalan Material dengan nilai plastisitas yang tinggi akan sangat lengket dan akan menempel pada Cutter Head. Material yang menempel akan mengurangi/menghabiskan permukaan hisap di Cutter head, sehingga daya hisap menjadi rendah dan kadang malah tertutup. Ini mengakibatkan produktifitas menurun atau kapal CSD harus dihentikan operasionalnya untuk membersihkan Cutter Head dan material tanah yang menempel. Jenis Tanah di Teluk Lamong 42 | K o n s t r u k s i a plastisitasnya cukup tinggi dan lengket. Wear & Tear kapal keruk CSD sanga tinggi untuk mengeruk tanah dengan N-Value tinggi dan Plastisitas tinggi, yang dikarenakan percepatan keausan peralatan keruk, seperti Cutter Head (adaptor cepat rusak), Cutter Teeth (cepat rusah atau hilang), Pompa Keruk (casing pump dan impeller cepat tipis) dan pipa buang yang menjadi cepat menipis. 5. Material Stiff Clay pada Cutterhead. Dengan kondisi material seperti ini Kapal Keruk CSD yang cocok adalah yang menggunakan Cutterhead khusus, yaitu Cutter Wheel Suction atau Clay Cutter Head dengan kemampuan pompa yang kuat. DAFTAR PUSTAKA Dunia Dredging dan Reklamasi Indonesia, Juris Mahendra Royal IHC, Netherland Cutter Suction Dredger, Ellicot, Dragon Dredge, USA Ciria, London, UK Estimating Soil Texture, Colorado State Dredging & Dredger, T Okude, Jepang Proyek Teluk Lamong di PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING KONVENSIONALDITINJAU DARI SEGI WAKTU & BIAYA (STUDI KASUS GEDUNG APARTEMEN DI JAKARTA SELATAN) Oleh : Yulistianingsih Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta Trijeti Dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta Email : t3jeti@yahoo.co.id ABSTRAK : Dinding merupakan salah satu elemen bangunan yangberfungsi memisahkan / membentuk ruang. Pada bangunan rumah tinggal maupun bangunan gedung sampai sekarang masih banyak yang menggunakan dinding bata / bata ringan (metode konvensional). Seiring kemajuan teknologi, maka banyak pilihan metode pekerjaan dinding yang diciptakan, salah satunya adalah dinding pracetak (panel precast). Pada proyek pembangunan gedung apartemen di Jakarta Selatan, dinding perimeter luarnya menggunakan panel precast. Penelitian yang dilakukan untuk menganalisa apakah metode precast lebih efisien dari segi waktu dan biaya dibandingkan dengan metode konvensional. Hasil perhitungan menunjukkan variasi tingkat efisiensi dari metode pekerjaan dinding precast dan konvensional Kata Kunci :precast, konvensional , waktu , biaya ABSTRAK : wall is one element building that serves / form separate space.In residential buildings and the building until now are still many who uses the brick wall lightly / brick ( method conventional ).As technology advances and then many jobs the choice of method walls created, one of them is a wall in precast ( panel ).On projects of the construction of an apartment building in south jakarta the wall uses the perimeter of its outside panel precast.Research conducted to analyze whether a method of precast more efficient in terms of time and cost compared with conventional. methodA result of calculation shows variations in the level of efficiency of a method of precast work walls and conventional Key Words : Precast time the cost of conventional 43 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 PENDAHULUAN Dinding merupakan salah satu elemen bangunan yang berfungsi memisahkan / membentuk ruang. Pada bangunan rumah tinggal maupun gendung tinggi, sampai sekarang masih banyak yang menggunakan dinding bata merah. Metode pasangan dinding bata konvensional harus disusun bergerigi atau bertangga dengan perkuatan kolom dan balok praktis setiap jarak maksimal 2,5 meter. Seiring kemajuan teknologi konstruksi bangunan gedung yang semakin pesat mulai beralih ke metode yang lain. Banyak variasi bahan material dan sistem pelaksanaan untuk berbagai macam pekerjaan. Salah satu dari hasil inovasi dibidang bangunan adalah adanya dinding pracetak (precast). Produk precast concrete dapat dipasang dengan cepat dan kualitasnya sangat baik dari sisi struktur (kekuatan dan kekakuannya), maupun dari sisi arsitektur (kerapihan dan keindahan). Pada umumnya produk precast adalah untuk komponenkomponen yang berulang (repetitif), sehingga prosesnya cukup dibuat satu sebagai contoh, jika memuaskan akan dikerjakan yang lainnya dengan kualitas sama. Metode ini sering digunakan untuk proyek – proyek apartemen dan bangunan tinggi lainya dengan alasan praktis dan lebih rapih. Seperti yang dilaksanakan pada proyek apartemen di Jakarta Selatan. Gambaran tentang perbandingan tersebut dapat dilihat pada diagram fishbone berikut Gambar 1. Fishbone perbandingan dinding precast dengan konvensional 44 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) Batasan Masalah Penelitian dikhususkan pada pekerjaan dinding parimeter luar mulai lantai 2 sampai selesai. Analisa biaya pekerjaan dinding yang digunakan berdasarkan analisa harga di lapangan (proyek apartemen di Jakarta Selatan kontrak tahun 20122013). Analisa harga satuan pekerjaan dinding precast dihitung secara global, sehingga mendapatkan harga satuan per meter persegi. Analisa waktu pelaksanaan dinding precast menggunakan schedule proyek yang telah dijalankan dan analisa produktifitas alat per hari. Analisa waktu pelaksanaan dinding konvensional (bata ringan) menggunakan asumsi kebutuhan tenaga perhari atau rata-rata nilai produktifitas pekerja perhari, berdasarkan analisa data pekerjaan dinding bata ringan yang ada di proyek tersebut. Pembahasan perhitungan hanya sebatas analisa biaya pekerjaan dinding dan tidak menghitung dari segi kekuatan struktur. Hal yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan adalah metode pelaksanaan, metode yang dipakai untuk perhitungan pekerjaan pemasangan dinding precast yaitu menggunakan alat berat tower crane, sedangkan metode pelaksanaan pekerjaan dinding bata ringan menggunakan scaffolding. Perhitungan harga sebatas material, upah tenaga dan alat, tidak menghitung faktor resiko dan lansir material. Beton yang digunakan untuk dinding precast adalah K350 tebal 10cm dan tidak memperhitungkan pembebanan. Begitu juga dengan spesifikasi bata ringan yang digunakan adalah tebal 10cm. Hypotesa : Biaya untuk pekerjaan dinding konvensional (Pasangan Bata) lebih murah dibanding dinding pracetak (precast). Waktu pelaksanaan pekerjaan dinding konvensional (Pasangan Bata) lebih lama dibanding dinding pracetak (precast). LANDASAN TEORI Proyek adalah suatu kegiatan sementara yang memiliki tujuan dan sasaran yang jelas, berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dan alokasi sumberdaya tertentu. Ciri pokok proyek adalah sbb: Memiliki tujuan dan sasaran berupa produk akhir ; Proyek memiliki sifat sementara, yaitu jelas titik awal mulai dan selesai ; Biaya, waktu dan mutu dalam pencapaian tujuan dan sasaran tersebut telah ditentukan ; Jenis dan intensitas kegiatan berubah sepanjang proyek berlangsung menyebabkan proyek memiliki sifat nonrepetitif, atau tidak berulang. Dinding Precast Precast Concreteadalah suatu metode percetakan komponen secara mekanisasi dalam pabrik atau workshop dengan memberi waktu pengerasan dan mendapatkan kekuatan sebelum dipasang. Sistem pracetak telah banyak diaplikasikan di Indonesia, baik yang dikembangkan di dalam negeri maupun yang didatangkan dari luar negeri. Sistem pracetak berbentuk komponen, salah satunya komponen dinding yang biasa pasang tanpa adanya kolom praktis sebagai perkuatan. Dinding precast memiliki beberapa keunggulan, antara 45 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 lain mutu yang terjamin, produksi dan pembangunan yang cepat, ramah lingkungan dan rapi dengan kualitas produk yang baik. Dinding Konvensional Macam-macam dinding yang dikerjakan dengan sisten konvensional, diantaranya adalah pasangan bata merah dan selanjutnya berkembang bata ringan. Dinding bata ringan memiliki bobot yang lebih ringan dibandingkan dengan bata merah, banyak digunakan pada bangunan bertingkat biasanya digunakan untuk mengurangi pembebanan. Selain itu bata ringan memiliki ukuran yang besar, sehingga hanya memerlukan spesi yang tipis atau yang sering dikenal dengan mortar. Analisa Biaya Proyek Konstruksi Menurut Mukomoko (2007), Anggaran biaya proyek adalah menghitung banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah tenaga kerja berdasarkan analisis, serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan atau proyek. Harga satuan pekerjaan merupakan jumlah harga material dan upah tenaga kerja berdasarkan perhitungan analisis. Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSSNI) adalah alat untuk menghitung harga satuan pekerjaan konstruksi yang diterbitkan oleh instansi terkait pada setiap Pemerintah Daerah di seluruh wilayah Indonesia. Yang biasa menggunakan AHS-SNI adalah para konsultan perencana, konsultan pengawas, dan kontraktor pelaksana konstruksi dalam rangka melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan bidang yang menjadi kewenangan masing-masing dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi. 46 | K o n s t r u k s i a Analisa harga Satuan Pekerjaan Konstruksi (AHS-SNI) diterbitkan setiap tahun, yang berubah dari setiap terbitan AHS-SNI biasanya harga satuan bahan dan upah yang diberlakukan. Koefisien AHS relatif tetap, yang berubah hanya format. Sebagai contoh pada AHS-SNI 2011 setiap satuan pekerjaan dikelompokan sendirisendiri, seperti analisa pekerjaan pondasi, analisa pekerjaan tanah, analisa pekerjaan beton dst., sehingga pengguna lebih mudah menggunakannya. Dalam hal ini penulis tidak menggunakan analisa harga satuan SNI, tetapi menggunakan analisa harga satuan berdasarkan lapangan. Analisa harga satuan tersebut merupakan standar perusahaan kontraktor yang dilaksanakan pada proyek apartemen di Jakarta Selatan sebagai objek penelitian. Waktu Pelaksanaan Proyek Konstruksi Time schedule adalah rencana alokasi waktu untuk menyelesaikan masingmasing item pekerjaan proyek yang secara keseluruhan adalah rentang waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan sebuah proyek.Berdasarkan pengertian diatas bahwa schedule proyek merupakan waktu yang direncanakan untuk menyelesaikan proyek tersebut. Dalam hal ini adalah schedule pelaksanaan khusus pekerjaan dinding lantai 2 sampai dengan lantai 8. Bahwa terdapat perbedaan waktu antara peleksanaan pekerjaan dinding dengan sistem precast dan konvensional. PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) Pembahasan Gambar 2. Denah lantai 2 Gambar 3. Denah lantai 3 – 23 47 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Tabel 1. DaftarHasil Perhitungan Volume Dinding NO AREA KELILING TINGGI LUAS DINDING DINDING DINDING (m') (m') (m2) OPENING PINTU JENDELA (m2) VOLUME BERSIH (m2) 1 Lantai 2 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 2 Lantai 3 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 3 Lantai 4 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 4 Lantai 5 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 5 Lantai 6 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 6 Lantai 7 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 7 Lantai 8 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 8 Lantai 9 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 9 Lantai 10 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 10 Lantai 11 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 11 Lantai 12 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 12 Lantai 13 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 13 Lantai 14 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 14 Lantai 15 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 15 Lantai 16 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 16 Lantai 17 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 17 Lantai 18 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 18 Lantai 19 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 19 Lantai 20 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 20 Lantai 21 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 21 Lantai 22 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 22 Lantai 23 117.200 3.225 377.970 98.437 279.533 TOTAL 6,149.726 48 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) PERHITUNGAN BIAYA PEKERJAAN DINDINGPRECAST Tabel 2. Daftar analisa harga satuan fabrikasi dinding precast/m2pada pekerjaan pembuatan dinding precast (fabrikasi) Kebutuhan Bahan Tenaga Kerja Harga Satuan Bahan/Upah (Rp.) Satuan Koefisie n m3 0.080 750,000 60,000 kg 4.841 11,500 55,672 m2 1.000 55,000 55,000 m2 1.000 50,000 50,000 Jumlah harga per satuan pekerjaan 220,672 Beton Readymix K350 Besi Tulangan D5150Vt & D5-200Hz Cetakan (Fabrikasi Precast) Upah Produksi Jumlah (Rp.) Tabel 3. Daftar analisa harga satuan erection& perapihan sambungan dinding precast/m2 Harga Satuan Kebutuhan Satuan Koefisien Bahan/ Upah (Rp.) Plat t=6mm 1.574 17,000 26,758 kg 0.689 11,500 7,924 kg 1.929 17,000 32,793 kg 0.792 13,000 10,296 Sealent m' 1.955 34,000 66,470 Upah Pemasangan m2 1.000 55,000 55,000 Jumlah harga per satuan pekerjaan 199,241 Hook Chainblok Besi D10/D12 Bracket joint t=810mm Dyna Bolt M12 & M10 Tenaga Kerja (Rp.) kg (embedded) Bahan Jumlah Biaya Peralatan Dinding Precast Peralatan yang digunakan untuk pekerjaan dinding precast, menggunakan alat berat tower kelengkapanya. crane (TC) dan 49 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Total biaya tower crane (TC) per hari = Rp. 4.780.000,- dengan rincian: Sewa T= Rp. 2.000.000,- ; Sewa Genset= Rp. 400.000,- ; Solar= Rp. 960.000,- ; Pelumas= Rp. 1.120.000,- ; Gaji Operator= Rp. 300.000,- . Biaya peralatan per meter persegi (m2)dinding precast, dapat dihitung dari rata-rata penyelesaian pemasangan per hari kerja efektif yaitu 50 m2 per hari. Jadi biaya pemasangan per meter persegi(m2) dinding precast adalah biaya peralatan per hari dibagi dengan volume pekerjaan dinding terpasang ratarata per hari = Rp. 4.780.000,- / 50 = Rp. 95.600,- / m2 Perhitungan Biaya Total Pekerjaan Dinding Precast : menjumlahkan semua biaya dari segi material, upah dan peralatan = Rp. 515.512,- per m2 (Rp. 220.672,- per m2+Rp. 199.241,- per m2+Rp. 95.600,per m2) . Untuk memperoleh biaya total suatu bangunan gedung khususnya untuk biaya pekerjaan dinding luar, maka harga satuan dinding terpasang dikalikan dengan volume pekerjaan dinding disetiap lapis bangunan (tiap lantai). Volume Total Lantai 2= 279.533 m2 Total Biaya = Volume Total x Harga Satuan Per m2= 279.533 x Rp. 515.512,- = Rp. 144.102.616,- Tabel 4.Total Hasil Perhitungan Biaya Pekerjaan Dinding Precast Harga Satuan Dinding Precast No Area Volume (m2) Fabrikas i (Rp.) Erection & Sealent (Rp) Sewa Alat (Rp.) Total Harga /m2 (Rp.) 1 LANTAI 2 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 2 LANTAI 3 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 3 LANTAI 4 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 4 LANTAI 5 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 5 LANTAI 6 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 6 LANTAI 7 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 7 LANTAI 8 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 8 LANTAI 9 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 9 LANTAI 10 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 10 LANTAI 11 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 11 LANTAI 12 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 50 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) 12 LANTAI 13 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 13 LANTAI 14 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 14 LANTAI 15 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 15 LANTAI 16 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 16 LANTAI 17 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 17 LANTAI 18 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 18 LANTAI 19 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 19 LANTAI 20 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 20 LANTAI 21 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 21 LANTAI 22 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 22 LANTAI 23 279.533 220,672 199,241 95,600 144,102,616 Total Biaya Pekerjaan Dinding Precast 3,170,257,550 PERHITUNGAN BIAYA PEKERJAAN DINDING KONVENSIONAL Tabel 5 Daftar analisa harga satuan pasangan bata ringan/ m2 Kebutuhan Bahan Satuan Koefisien Harga Satuan Bahan / Upah (Rp.) Jumlah (Rp.) Bata ringan t=10cm m3 0.103 750,000 77,250 Mortar perekat bata ringan @ 40 kg zak 0.087 50,000 4,331 Kolom praktis m' 0.667 40,000 26,667 Pekerja OH 0.350 55,000 19,250 OH 0.150 65,000 9,750 OH 0.015 70,000 1,050 OH 0.015 80,000 1,200 Jumlah harga per satuan pekerjaan 139,498 Tenaga Tukang Batu Kerja Kepala Tukang Mandor 51 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Tabel 6. Daftar analisa harga satuan pekerjaan pelesteran dinding/m2 Kebutuhan Bahan Tenaga Kerja Satuan Koefisien Harga Satuan Bahan / Upah (Rp.) Jumlah (Rp.) Mortar plesteran @ 40 kg zak 0.550 40,000 22,000 Pekerja OH 0.300 55,000 16,500 Tukang Batu OH 0.100 65,000 6,500 Kepala Tukang OH 0.010 70,000 700 Mandor OH 0.015 80,000 1,200 Jumlah harga per satuan pekerjaan 46,900 Tabel 7. Daftar analisa harga satuan pekerjaan acian dinding / m2 Kebutuhan Bahan Tenaga Kerja Satuan Koefisien Harga Satuan Bahan / Upah (Rp.) Jumlah (Rp.) Mortar Acian @40 kg zak 0.150 60,000 9,000 Pekerja OH 0.200 55,000 11,000 Tukang Batu OH 0.100 65,000 6,500 Kepala Tukang OH 0.010 70,000 700 Mandor OH 0.010 80,000 800 Jumlah harga per satuan pekerjaan 28,000 Dari analisa harga satuan di atas dapat di jumlahkan total biaya pekerjaan dinding bata ringan per m2= Rp. 289.298,- ; perhitunganya sebagai berikut : Pasangan bata ringan Pekerjaan plesteran = Rp. 139.498,luar + dalam = Rp. 46.900,- X 2 sisi= Rp. 93.800,- Pekerjaan acian luar + dalam 52 | K o n s t r u k s i a = Rp. 28.000,- X 2 sisi= Rp. 56.000,- PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) Analisa Biaya Peralatan Pekerjaan Dinding Bata Ringan Dengan Alat Scafolding Biaya sewa per 1 hari= Rp. 1.866,- / hari ; Jumlah scafolding Horizontal = keliling banguan / Panjang 1 set scaffolding ; Jumlah skafolding Vertikal= Tinggi bangunan / Tinggi scaffolding . Peralatan yang digunakan untuk pekerjaan dinding bata ringan (sistem konvensional) termasuk pekerjaan plester acian bagian dalam menggunakan alat scafolding. Khusus untuk pekerjaan plester acian dinding luar menggunakan alat skafolding untuk lantai 1 sampai lantai 10, sedangkan untuk lantai 11 sampai lantai 23 tidak diperhitungkan. Jumlah Kebutuhan Scafolding Luar per lantai = 54 set x 2 set= 108 set Biaya untuk Lantai 2 (pekrjaan luar)= harga sewa 1 set x kebutuhan scafolding x jumlah lantai= Rp. 1.866,- x (108) set x 2= Rp. 403.056,- Tabel 8. Kebutuhan Biaya Sewa Peralatan Pekerjaan Luar No Lantai Jumlah Lantai Jumlah Alat (Set) Harga / Set / Hari (Rp.) Total Biaya / Lantai (Rp.) 1 Lantai 2 2 108 1,866 403,056 2 Lantai 3 3 108 1,866 604,584 3 Lantai 4 4 108 1,866 806,112 4 Lantai 5 5 108 1,866 1,007,640 5 Lantai 6 6 108 1,866 1,209,168 6 Lantai 7 7 108 1,866 1,410,696 7 Lantai 8 8 108 1,866 1,612,224 8 Lantai 9 9 108 1,866 1,813,752 9 Lantai 10 10 108 1,866 2,015,280 53 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Biaya untuk Lantai 2 (pekerjaan dalam)= harga sewa 1 set x kebutuhan scafolding per lantai= Rp. 1.866,- x 54= Rp. 100.764,- Tabel 9. Kebutuhan Biaya Sewa Peralatan Pekerjaan Dalam No Lantai Jumlah Lantai Jumlah Alat (Set) Harga / Set / Hari (Rp.) Total Biaya / Lantai (Rp.) 1 Lantai 2 1 54 1,866 100,764 2 Lantai 3 1 54 1,866 100,764 3 Lantai 4 1 54 1,866 100,764 4 Lantai 5 1 54 1,866 100,764 5 Lantai 6 1 54 1,866 100,764 6 Lantai 7 1 54 1,866 100,764 7 Lantai 8 1 54 1,866 100,764 8 Lantai 9 1 54 1,866 100,764 9 Lantai 10 1 54 1,866 100,764 Biaya Peralatan Per m2 Pekerjaan Pasangan Bata ; Biaya untuk Lantai 2 (pekerjaan dalam) Ketentuanproduktifitas per hari (1 tukang, 1 kenek)= 10 m2 ; asumsi (3 tukang, 3 kenek)=3x10m2= 30 m2 ; Biaya per m2= Rp. 3.359,- / m2 Tabel 10 Biaya Sewa Peralatan Pekerjaan Pasang Bata (per m2) No Lantai Volume/ Lantai (m2) Biaya Alat Per Lantai (Rp.) Volume per hari (m2) Biaya / m2 (Rp.) 1 Lantai 2 279.53 100,764 30 3,359 2 Lantai 3 279.53 100,764 30 3,359 3 Lantai 4 279.53 100,764 30 3,359 4 Lantai 5 279.53 100,764 30 3,359 5 Lantai 6 279.53 100,764 30 3,359 6 Lantai 7 279.53 100,764 30 3,359 7 Lantai 8 279.53 100,764 30 3,359 8 Lantai 9 279.53 100,764 30 3,359 9 Lantai 10 279.53 100,764 30 3,359 54 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) Biaya Peralatan Per m2 Pekerjaan Plesteran ; Biaya untuk Lantai 2 (pekerjaan luar) Biaya per m2= Biaya Sewa Lantai 2 / Produksi per hari= Rp.13,435,- / m2 Tabel 11. Biaya Sewa Peralatan Pekerjaan Plester Luar (per m2) Volume/ Biaya Alat Volume Biaya /m2 No Lantai Lantai Per Lantai per hari (Rp.) (m2) (Rp.) (m2) 1 Lantai 2 279.53 403,056 30 13,435 2 Lantai 3 279.53 604,584 30 20,152 3 Lantai 4 279.53 806,112 30 26,870 4 Lantai 5 279.53 1,007,640 30 33,588 5 Lantai 6 279.53 1,209,168 30 40,305 6 Lantai 7 279.53 1,410,696 30 47,023 7 Lantai 8 279.53 1,612,224 30 53,740 8 Lantai 9 279.53 1,813,752 30 60,458 9 Lantai 10 279.53 2,015,280 30 67,176 Biaya untuk Lantai 2 (pekerjaan Dalam) : Biaya Sewa Lantai 2 / Produksi per hari= Rp. 3.359,- / m2 Tabel 12. Biaya Sewa Peralatan Pekerjaan Plester Dalam No Lantai Volume/ Lantai (m2) Biaya Alat Per Lantai (Rp.) Volume per hari (m2) Biaya /m2 (Rp.) 1 Lantai 2 279.53 100,764 30.00 3,359 2 Lantai 3 279.53 100,764 30.00 3,359 3 Lantai 4 279.53 100,764 30.00 3,359 4 Lantai 5 279.53 100,764 30.00 3,359 5 Lantai 6 279.53 100,764 30.00 3,359 6 Lantai 7 279.53 100,764 30.00 3,359 7 Lantai 8 279.53 100,764 30.00 3,359 8 Lantai 9 279.53 100,764 30.00 3,359 9 Lantai 10 279.53 100,764 30.00 3,359 55 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Tabel 13. Biaya Sewa Peralatan Pekerjaan Acian Luar No Lantai Volume/ Lantai (m2) Biaya Alat Per Lantai (Rp.) Volume per hari (m2) Biaya / m2 (Rp.) 1 Lantai 2 279.53 403,056 45 8,957 2 Lantai 3 279.53 604,584 45 13,435 3 Lantai 4 279.53 806,112 45 17,914 4 Lantai 5 279.53 1,007,640 45 22,392 5 Lantai 6 279.53 1,209,168 45 26,870 6 Lantai 7 279.53 1,410,696 45 31,349 7 Lantai 8 279.53 1,612,224 45 35,827 8 Lantai 9 279.53 1,813,752 45 40,306 9 Lantai 10 279.53 2,015,280 45 44,784 Tabel 14 Biaya Sewa Peralatan Pekerjaan Acian Dalam Biaya Alat Per Lantai (Rp.) Volume per hari (m2) Total Biaya/ Lantai (Rp.) No Lantai Volume/ Lantai (m2) 1 Lantai 2 279.53 100,764 45.00 2,239 2 Lantai 3 279.53 100,764 45.00 2,239 3 Lantai 4 279.53 100,764 45.00 2,239 4 Lantai 5 279.53 100,764 45.00 2,239 5 Lantai 6 279.53 100,764 45.00 2,239 6 Lantai 7 279.53 100,764 45.00 2,239 7 Lantai 8 279.53 100,764 45.00 2,239 8 Lantai 9 279.53 100,764 45.00 2,239 9 Lantai 10 279.53 100,764 45.00 2,239 56 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) Dari analisa harga satuan di atas, dapat di jumlahkan total biaya sewa alat untuk pekerjaan dinding bata ringan per m2, khusus untuk biaya sewa alat pekerjaan dinding luar memang berbeda perhitunganya dengan biaya sewa alat pekerjaan dalam, = Rp. 31.349,- / m2 Perhitungan Biaya Sewa Alat Pekerjaan Dinding Bata Ringan Lantai 2 Sampai Dengan Lantai10. Perhitungan selanjutnya adalah menjumlahkan semua biaya dari segi material, upah dan peralatan. Untuk memperoleh biaya total suatu bangunan gedung khususnya untuk biaya pekerjaan dinding luar, maka harga satuan dinding terpasang dikalikan dengan volume pekerjaan dinding disetiap lapis bangunan (tiap lantai). = Rp. 89.631.283,- Tabel 15.Total Hasil Perhitungan Biaya Pekerjaan Dinding Bata Ringan Lantai 2 s/d Lantai10 Harga Satuan Dinding Bata Ringan No Area Volume (m2) Harga Satuan Pekerjaan (Rp.) Biaya Sewa Alat (Rp.) Total Harga (Rp.) 1 LANTAI 2 279.533 289,298 31,349 89,631,306 2 LANTAI 3 279.533 289,298 42,545 92,760,958 3 LANTAI 4 279.533 289,298 53,741 95,890,609 4 LANTAI 5 279.533 289,298 64,937 99,020,260 5 LANTAI 6 279.533 289,298 76,133 102,149,912 6 LANTAI 7 279.533 289,298 87,329 105,279,563 7 LANTAI 8 279.533 289,298 98,525 108,409,215 8 LANTAI 9 279.533 289,298 109,721 111,538,866 9 LANTAI 10 279.533 289,298 120,917 114,668,518 57 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 PERBANDINGAN BIAYA PEKERJAAN DINDING PRECAST DAN KONVENSIONAL (BATA RINGAN) Tabel. 16 Perbandingan Biaya Material (Pembuatan Dinding) No Volume (m2) Area Harga pekerjaan per m2 tiap lantai (Rp.) Precast Bata Ringan Selisih (Rp.) Prose ntase 1 LANTAI 2 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 2 LANTAI 3 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 3 LANTAI 4 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 4 LANTAI 5 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 5 LANTAI 6 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 6 LANTAI 7 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 7 LANTAI 8 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 8 LANTAI 9 279.533 419,912 289,298 130,614 31% 9 LANTAI 10 279.533 419,912 289,298 130,614 31% Berdasarkan tabel di atasdapat dilihat prosentase selilisih dari perbandingan biaya material antara dinding precast dan bata ringan yaitu masing-masing lantai mendapatkan selisih 31 %. Bahwa biaya fabrikasi (material) pekerjaan dinding precast lebih mahal jika dibandingkan dengan material pekerjaan dinding bata ringan.Keadaan tersebut dapat digambarkan dalam diagram dibawah ini 400,000 300,000 Precast 200,000 Bata Ringan 100,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gambar 4 Diagram batang perbandingan biaya material 58 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) Tabel. 17 Perbandingan Biaya Peralatan (Pembuatan Dinding) No Area Volume (m2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 LANTAI 2 LANTAI 3 LANTAI 4 LANTAI 5 LANTAI 6 LANTAI 7 LANTAI 8 LANTAI 9 LANTAI 10 279.533 279.533 279.533 279.533 279.533 279.533 279.533 279.533 279.533 Harga Sewa per m2 tiap lantai (Rp.) Bata Precast Ringan 95,600 31,349 95,600 42,545 95,600 53,741 95,600 64,937 95,600 76,133 95,600 87,329 95,600 98,525 95,600 109,721 95,600 120,917 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat prosentase selilisih dari perbandingan biaya sewa alat antara dinding precast dan bata ringan.Prosentase tersebut didapat perbedaan nilai disetiap lantainya. Bahwa biaya sewa alat pekerjaan dinding precast lebih mahal, jika dibandingkan dengan dinding bata ringan pada lantai 2 sampai dengan lantai 7. Selisih (Rp.) Prose ntase 64,251 53,055 41,859 30,663 19,467 8,271 -2,925 -14,121 -25,317 67% 55% 44% 32% 20% 9% -3% -15% -26% mahal dibandingkan dinding precast. Hal tersebut dikarenakan pada metode pelaksanaan dinding bata ringan, untuk sewa alat dilakukan secara bertahap.Semakin tinggi lantai yang dikerjakan, semakin banyak alat yang harus disewa (digunakan). Berbeda dengan sewa peralatan untuk memasang dinding precast,harganya cenderung stabil karena 1 kali sewa alat dapat dibagi rata biayanya untuk masing-masing lantai.Hal tersebut lebih jelas digambarkan dalam diagram dibawah ini. Sedangkan pada lantai 8 sampai dengan lantai 10 adalah sebaliknya, yaitu sewa alat pekerjaan dinding bata ringan lebih 1 20,000 1 00,000 80,000 60,000 Precast 40,000 Bata Ringan 20,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gambar 5. Diagram batang perbandingan biaya peralatan 59 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Tabel. 18 Perbandingan Biaya Total Pekerjaan Dinding No Volume (m2) Area Total Harga Tiap Lantai (Rp.) Selisih (Rp.) Precast Bata Ringan Prose ntase 1 LANTAI 2 279.533 144,102,616 89,631,306 54,471,310 38% 2 LANTAI 3 279.533 144,102,616 92,760,958 51,341,658 36% 3 LANTAI 4 279.533 144,102,616 95,890,609 48,212,007 33% 4 LANTAI 5 279.533 144,102,616 99,020,260 45,082,355 31% 5 LANTAI 6 279.533 144,102,616 102,149,912 41,952,704 29% 6 LANTAI 7 279.533 144,102,616 105,279,563 38,823,053 27% 7 LANTAI 8 279.533 144,102,616 108,409,215 35,693,401 25% 8 LANTAI 9 279.533 144,102,616 111,538,866 32,563,750 23% 9 LANTAI 10 279.533 144,102,616 114,668,518 29,434,098 1,296,923,543 919,349,207 377,574,336 GRAND TOTAL 20% 29% Dari hasil perbandingan biaya secara total, didapat selisih biaya rata-rata 29%. Dimana biaya pekerjaan dinding bata ringan lebih murah dibandingkan dengan biaya pekerjaan dinding precast seperti disebutkan dalam diagram berikut. 160,000,000 140,000,000 120,000,000 100,000,000 80,000,000 Precast 60,000,000 Bata Ringan 40,000,000 20,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gambar 6. Diagram batang perbandingan biaya total pekerjaan dindingprecast dengan konvensional 60 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) PERBANDINGAN WAKTU PELAKSANAAN PEKERJAAN DINDING PRECAST DAN KONVENSIONAL (BATA RINGAN) 1. Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan dinding precast Berdasarkan perhitungan pada analisa data, bahwa produksi alat per hari kerja efektif dapat menyelesaikan volume sebesar 50 m2 per hari. Apabila dihitung secara matematis dengan mengabaikan faktor cuaca, kendala, dan faktor lainya dilapangan maka akan diperoleh perhitungan sebagai berikut : Tabel 19. Perhitungan waktu pekerjaan dinding precast No Area Volume (m2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 LANTAI 2 LANTAI 3 LANTAI 4 LANTAI 5 LANTAI 6 LANTAI 7 LANTAI 8 LANTAI 9 LANTAI 10 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 Produksi alat per hari Waktu diperlukan (hari) 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 SCHEDULE PELAKSANAAN PEKERJAAN DINDING PRECAST NO ITEM PEKERJAAN 1 PEKERJAAN PERSIAPAN SHOPDRAWING JOINT SURVEY 2 FABRIKASI PEMBUATAN CETAKAN PRODUKSI PRECAST PANEL 3 PEMASANGAN DAN FINISH SEALENT DINDING LANTAI 2 S/D LANTAI 10 JANUARI 2013 1 2 3 4 WAKTU PELAKSANAAN FEBRUARI 2013 MARET 2013 1 2 3 4 1 2 3 4 1 APRIL 2013 2 3 4 2. Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan dinding konvensional bata ringan. Pekerjaan dinding bata ringan terdiri dari beberapa tahapan, seperti yang disebutkan dalam metode diatas.Apabila dihitung secara matematis dengan mengabaikan faktor cuaca, kendala, dan faktor lainya dilapangan maka akan diperoleh perhitungan seperti berikut : 61 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Tabel 20 Perhitungan waktu pekerjaan pasang bata ringan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Area LANTAI 2 LANTAI 3 LANTAI 4 LANTAI 5 LANTAI 6 LANTAI 7 LANTAI 8 LANTAI 9 LANTAI 10 Volume (m2) 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 Produktifitas Waktu tenaga per diperlukan hari (hari) 30.00 30.00 30.00 30.00 30.00 30.00 30.00 30.00 30.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 Tabel 21 Perhitungan waktu pekerjaan plesteran No Area Volume (m2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 LANTAI 2 LANTAI 3 LANTAI 4 LANTAI 5 LANTAI 6 LANTAI 7 LANTAI 8 LANTAI 9 LANTAI 10 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 279.53 Produktifitas tenaga per hari Waktu diperlukan (hari) 60.00 60.00 60.00 60.00 60.00 60.00 60.00 60.00 60.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 Tabel 22 Perhitungan waktu pekerjaan acian Produktifitas tenaga per hari Waktu diperlukan (hari) No Area Volume (m2) 1 LANTAI 2 279.53 90.00 3.00 2 LANTAI 3 279.53 90.00 3.00 3 LANTAI 4 279.53 90.00 3.00 62 | K o n s t r u k s i a PERBANDINGAN PELAKSAAN DINDING PRECAST DENGAN KONVENSIONAL (Yulistianingsih - Trijeti) 4 LANTAI 5 279.53 90.00 3.00 5 LANTAI 6 279.53 90.00 3.00 6 LANTAI 7 279.53 90.00 3.00 7 LANTAI 8 279.53 90.00 3.00 8 LANTAI 9 279.53 90.00 3.00 9 LANTAI 10 279.53 90.00 3.00 Waktu yang diperlukan untun mengerjakan dinding precast lantai 2 lebih efisien yaitu 10 hari dan untuk pekerjaan dinding bata ringan memerlukan waktu 25 hari. Hasil perbandingan waktu dapat dilihat dalam rincian tabel berikut 30 25 20 Waktu Pelaksanaan Precast 15 Waktu Pelaksanaan Bata Ringan 10 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 7. Diagram batang perbandingan waktu pelaksanaan dinding precast dengan konvensional. 1 PEKERJAAN PERSIAPAN LEVELING 2 PEKERJAAN PASANG BATA LANTAI 2 S/D 10 3 PEKERJAAN PLESTERAN LANTAI 2 S/D 10 PLESTERAN LUAR PLESTERAN DALAM 4 PEKERJAAN ACIA LANTAI 2 S/D 10 ACIAN LUAR ACIAN DALAM JANUARI 1 2 3 4 FEBRUARI 1 2 3 4 MARET 1 2 3 4 WAKTU PELAKSANAAN TAHUN 2013 APRIL MEI JUNI 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 JULI 2 3 4 AGUSTUS 1 2 3 4 SEPTEMBER 1 2 3 4 CO ITEM PEKERJAAN CO NO CO CO Gambar 8. Schedule pelaksanaan pekerjaan dinding bata ringan (konvensional) 63 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA Metode pekerjaan dinding bata ringan lebih efisien dan dapat menghemat biaya sebesar 31%. Peralatan untuk memasang dinding precast dapat dirata-rata dari biaya total sewa, sedangkan peralatan untuk dinding bata ringan tersebut tidak bisa. Diketahui bahwa biaya sewa peralatan dinding bata ringan dengan alat scafolding lebih mahal untuk bangunan diatas 7 lantai, jika jumlah lantai bertambah maka biaya sewa semakin tinggi.Dengan demikian metode pekerjaan dinding precast lebih efisien dan menguntungkan dari segi biaya sewa peralatan. Metode pekerjaan dinding bata ringan sampai dengan lantai 10 lebih murah jika dibandingkan dengan dinding precast. Pekerjaan dinding precast lebih efektif waktu pelaksanaanya dibandingkan dengan dinding bata ringan (konvensional). Pekerjaan dinding precast lebih mahal dengan selisih 29%, tetapi waktu pelaksanaanya jauh lebih cepat bahkan mencapai angka 150%. Sedangkan pekerjaan dinding konvensional bata ringan lebih murah dari segi biaya, tetapi waktu pelaksanaanya lebih lama.Dengan kata lain pekerjaan dinding precast lebih efektif dikerjakan tetapi kurang efisien dari segi biaya, apabila bangunan yang dikerjakan dibawah 10 lantai. Irika Widiasanti& Lenggogeni. 2013. Manajemen Konstruksi. Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung. 64 | K o n s t r u k s i a Precast Concrete, dala http://yogiecivil.blogspot.com/2010/07/precastconcrete.html, diunduh pada jumat, 2 Mei 2014 jam 19.40 Dinding Bata ringan, dalam http://artikelproperti.blogspot.com/2012/ 10/dinding-bata-ringan.html, diunduh pada jumat, 2 Mei 2014 jam 19.00 Mukomoko, J.A, 2007. Dasar Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan, Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta. Analisa Harga Satuan Pekerjaan Konstruksi - AHS SNI dalam http://www.softwarerab.com/analisaharga-satuan-pekerjaan-konstruksi-ahssni.htm, diunduh pada senin, 28 April 2014 jam 13.00 Time Schedule Proyek dalamhttp://www.ilmusipil.com/timeschedule-proyek,diunduh pada jumat, 2 Mei 2014 jam 17.00. ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI (Syano – Hidayat) ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI AKIBAT GAYA HORIZONTAL Syano Verdio Juvientrian Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta email: alghulam_almuslim@yahoo.co.id Hidayat Mughnie PT Perencana Jaya email : hmugn@yahoo.com ABSTRAK : Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menganalisis perilaku struktur bangunan asimetris yang diakibatkan gaya horizontal (gempa). Syarat-syarat yang digunakan yaitu PPIUG 1983 (pembebanan gedung), SNI 03-1726-2002 (analisis gempa), SNI 03-2847-2002 (analisis beton). Bangunan yang menjadi objek penelitian adalah gedung rumah sakit yang berada di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Struktur dimodelkan secara tiga dimensi dengan menggunakan Program Komputer ETABS Pembebanan yang diperhitungkan adalah beban mati, beban hidup, beban angin, dan beban Karena lokasi bangunan yang berada pada Wilayah Gempa 3 maka bangunan dianalisis menggunakan Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM) yang berada di atas tanah kondisi sedang. V.9.7.1. gempa. dengan dengan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, delatasi (pemisahan) bangunan memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap bangunan asimetris. Dampak tersebut terdapat pada perbedaan perilaku bangunan yang dapat dilihat pada simpangan yang terjadi, gaya-gaya dalam pada struktur (kolom, balok, dan plat), dan penulangan yang digunakan pada bangunan tanpa delatasi dan bangunan dengan delatasi. Kata kunci : Bangunan Asimetris, Delatasi, Gaya Horizontal, Gempa ABSTRACT: The purpose of this research is done to analyze the behavior of structure building asymmetrical earthquake caused the style of a horizontal ( ) .The terms used ppiug 1983 ( the imposition is building , sni 03-1726-2002 ) ( analysis of the quake , sni 03-2847-2002 ( concrete ) analysis .Who became the object of research building is located in the hospital building cibitung , bekasi , west java . A structure modeled in three dimensions using a computer program etabs v.9.7.1 .The imposition that counts is the burden of dead , the burden of living , the burden of the wind , and the burden of the quake .Because the location of buildings in earthquake areas analyzed by building 3 then use the middle order pemikul moment ( srpmm located above the ground with the condition of being . Based on the analysis that has been done delatasi ( splitting ) building have a significant impact on the asymmetrical.What the difference was in the building can be seen in a byway that happens, gaya-gaya in on a structure ( a column joist, and plate ) and penulangan that is used in building and building without delatasi with delatasi. Keywords: Asymmetrical, building delatasi, horizontally, style earthquake 65 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 PENDAHULUAN Objek penelitian yang merupakan gedung rumah sakit adalah pembangunan gedung baru. Pada pembangunan gedung baru ini, gedung akan dirancang menjadi konstruksi bangunan gedung 4 Lantai. Kemudian jika ditinjau dari bentuk bangunannya, maka bangunan ini termasuk bangunan yang tidak simetris (asimetris) berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh SNI-17262002. Dengan kondisi bangunan yang asimetris tersebut, letak titik berat bangunan tidak berada di tengah bangunan, hal ini tentu akan menimbulkan efek torsi yang cukup besar jika bangunan menerima beban horizontal, dalam hal ini beban gempa. Jika beban gempa terjadi secara berkelanjutan dengan periode yang cukup lama, maka efek torsi pun akan semakin besar, dampaknya bangunan akan mengalami deformasi yang besar sehingga bangunan menjadi inelastis. Maka diperkirakan hal yang berpengaruh besar terhadap kerusakan bangunan adalah diakibatkan efek torsi tersebut. Salah satu yang dapat dilakukan untuk mereduksi efek torsi ini adalah dengan membuat pemisahan elemen struktur antar unit bangunan yang memilki bentuk ataupun orientasi berbeda, dikenal dengan istilah delatasi. Hal ini dilakukan agar beban yang bekerja dapat terbagi pada titik berat bangunan masing-masing. Dengan demikian efek kerusakan yang parah pada bangunan asimetris akibat beban horizontal (beban gempa) dapat diminimalisir. Lain halnya jika bangunan asimetris tidak memiliki delatasi, tentu akan berdampak rawannya bangunan terhadap kerusakan akibat beban gempa serta akan membutuhkan struktur yang 66 | K o n s t r u k s i a relatif lebih besar dibandingkan dengan bangunan dengan delatasi. Menteri Pekerjaan Umum telah mengatur pedoman persyaratan teknis untuk bangunan gedung asimetris yang termuat pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, seperti yang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Pemisahan Bangunan Asimetris Struktur pada Dari latar belakang tersebut diuraikan permasalahan sebagai berikut: 1. Dengan adanya beban yang bekerja pada bangunan seperti beban gravitasi maupun beban lateral (horizontal), apakah struktur kuat menahan beban tersebut? 2. Bagaimana tingkat kenyamanan bangunan jika ditinjau terhadap lendutan yang terjadi? 3. Seperti apakah perilaku struktur bangunan akibat beban horizontal yang bekerja? ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI (Syano – Hidayat) 4. Bagaimana beban horizontal mempengaruhi bangunan sehingga dapat menyebabkan efek torsi yang besar? 5. Metode delatasi seperti apakah yang tepat untuk mereduksi efek torsi tersebut? 6. Apakah terjadi perubahan bentuk struktur dengan adanya delatasi tersebut? 7. Berapa besarkah perubahan volume yang terjadi jika bangunan menggunakan delatasi jika dibandingkan tanpa delatasi? Struktur Bangunan Asimetris Secara umum berdasarkan SNI-1726-2002 pada Bab 4.2 tentang Struktur Gedung Beraturan dan Tidak Beraturan, yang dimaksud dengan bangunan asimetris yaitu bangunan yang memiliki ketentuan sebagai berikut: Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral melebihi dari 10 tingkat atau di atas 40 m. Denah struktur gedung berbentuk tidak beraturan atau persegi panjang yang memiliki tonjolan lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut. Denah struktur gedung menunjukkan coakan sudut, dengan panjang sisi coakan tersebut melebihi 15% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut. Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama orthogonal denah struktur gedung secara keseluruhan. Sistem struktur gedung menunjukkan loncatan bidang muka yang signifikan terhadap gedung sebelah bawahnya. Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang tidak beraturan, yaitu kekakuan lateral suatu tingkat adalah melebihi 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau melebihi 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat. Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang tidak beraturan, setiap lantai tingkat memiliki berat yang lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral dengan perpindahan titik berat lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut. Sistem struktur gedung memiliki lantai lubang atau bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Jumlah lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya. Kemudian juga disebutkan dalam SNI1726-2002 Bab 4.2.2. untuk bangunan struktur asimetris, pengaruh gempa rencana harus ditinjau sebagai pengaruh gempa dinamik, sehingga analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis respons dinamik. 67 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Perencanaan Struktur Gedung Tidak Beraturan Berdasarkan SNI-1726-2002, pada struktur gedung tidak beraturan pengaruh Gempa Rencana terhadap struktur gedung tersebut harus ditentukan melalui analisis respons dinamik 3 dimensi. Untuk mencegah terjadinya respon struktur gedung terhadap pembebanan gempa yang dominan dalam rotasi, dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, paling tidak gerak ragam pertama (fundamental) harus dominan dalam translasi. Daktilitas struktur gedung tidak beraturan harus ditentukan yang representatif mewakili daktilitas struktur 3D. Tingkat daktilitas tersebut dapat dinyatakan dalam faktor reduksi gempa R representatif, yang nilainya dapat dihitung sebagai nilai ratarata berbobot dari faktor reduksi gempa untuk 2 arah sumbu koordinat ortogonal dengan gaya geser dasar yang dipikul oleh struktur gedung dalam masing-masing arah tersebut sebagai besaran pembobotnya menurut persamaan di bawah ini. Nilai akhir respon dinamik struktur gedung terhadap pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana dalam suatu arah tertentu, tidak boleh diambil kurang dari 80% nilai respon ragam yang pertama. Bila respon dinamik struktur gedung dinyatakan dalam gaya geser dasar nominal V, maka persyaratan tersebut dapat dinyatakan menurut persamaan seperti di bawah ini. 68 | K o n s t r u k s i a Vt 0.8 V1 V1 = C1 x I x Wt / R Perhitungan respons dinamik struktur gedung tidak beraturan terhadap pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana, dapat dilakukan dengan metoda analisis ragam spektrum respons dengan memakai Spektrum Respons Gempa Rencana menurut Gambar 2 yang nilai ordinatnya dikalikan faktor koreksi I/R, di mana I adalah Faktor Keutamaan, sedangkan R adalah faktor reduksi gempa representatif dari struktur gedung yang bersangkutan. Dalam hal ini, jumlah ragam vibrasi yang ditinjau dalam penjumlahan respons ragam menurut metoda ini harus sedemikian rupa, sehingga partisipasi massa dalam menghasilkan respons total harus mencapai sekurang-kurangnya 90%. Ketentuan Delatasi untuk Bangunan Gedung Besarnya delatasi pada bangunan gedung sangat dipengaruhi oleh besarnya simpangan yang terjadi. Pada SNI 17262002 simpangan gedung ditinjau berdasarkan kinerja batas layan dan kinerja batas ultimit. 1. Kinerja Batas Layan Kinerja batas layan struktur gedung ditentukan oleh simpangan antartingkat akibat pengaruh Gempa Rencana, yaitu untuk membatasi terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan, di samping untuk mencegah kerusakan non-struktur dan ketidaknyamanan penghuni. Simpangan antar-tingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung tersebut akibat pengaruh ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI (Syano – Hidayat) Gempa Nominal yang telah dibagi Faktor Skala. ≤ 0.03 x h / R = 30 mm nilai simpangan diambil yang terkecil dari kedua rumus di atas. ≤ 0.02 x h Jarak pemisah antar-gedung harus ditentukan sebagai berikut: s = ultimit s ≥ 0.025 x h s ≥ 75 mm Rancangan Penelitian 2. Kinerja Batas Ultimit Kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan oleh simpangan dan simpangan antar-tingkat maksimum struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana dalam kondisi struktur gedung di ambang keruntuhan, yaitu untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah benturan berbahaya antar-gedung atau antar bagian struktur gedung yang dipisah dengan sela pemisah (sela delatasi). Simpangan dan simpangan antartingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung akibat pembebanan gempa nominal, dikalikan dengan suatu faktor pengali ξ sebagai berikut : Dalam penelitian ini hanya akan difokuskan untuk membahas perilaku bangunan asimetris dengan adanya delatasi. Untuk mengaplikasikan teori tentang pengaruh gempa pada bangunan asimetris, model bangunan akan dipisah menjadi empat bidang bangunan yang dikelompokkan berdasarkan pusat massa strukturnya. Struktur asimetris akan dianalisis dengan pemodelan struktur menggunakan aplikasi ETABS V.9.7.1. Data yang diperlukan untuk menyelesaikan analisis ini adalah PPIUG 1983, SNI 03-1726-2002, dan SNI 03-28472002. Pemodelan struktur disajikan pada gambar 2 sampai dengan gambar 6. untuk struktur gedung beraturan = 0.7 x R untuk struktur gedung tidak beraturan = 0.7 x R / faktor skala faktor skala = (0.8 x V1 / Vt) ≥ 1 Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas ultimit struktur gedung, dalam segala hal simpangan antar-tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung tidak boleh melampaui 0,02 kali tinggi tingkat yang bersangkutan. Gambar 2. Pemodelan struktur tiga dimensi 69 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Gambar 3. Rencana Delatasi Gambar 6. Pusat massa bangunan dengan delatasi Bidang C Gambar 4. Pusat massa bangunan dengan delatasi Bidang A Gambar 5. Pusat massa bangunan dengan delatasi Bidang B Gambar 6. Pusat massa bangunan dengan delatasi Bidang D Bangunan gedung rumah sakit ini berlokasi di Cibitung. Jika ditinjau terhadap peta wilayah gempa, maka gedung ini termasuk ke dalam Wilayah Gempa 3. Diasumsikan bangunan didirikan di atas tanah sedang. Sistem struktur menggunakan Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah dengan faktor reduksi beban gempa sebesar 5,5. Seluruh elemen struktur (kolom, balok, dan plat lantai) direncanakan menggunakan material beton bertulang dengan mutu F’c 25 MPa. Metode Analisis Struktur akan dianalisis berdasarkan simpangan yang terjadi untuk mendapatkan jarak delatasi bangunan. 70 | K o n s t r u k s i a ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI (Syano – Hidayat) Semakin besar simpangan yang terjadi, maka jarak delatasi yang dibutuhkan akan semakin besar. Kemudian struktur akan dianalisis untuk mendapatkan dimensi elemen struktur yang aman untuk menahan beban-beban yang bekerja. Analisis ini ditinjau berdasarkan gaya-gaya dalam yang bekerja. Pada akhirnya akan dilakukan studi berdasarkan perilaku struktur dan volume penulangan struktur. Konfigurasi dan Spesifikasi Gedung Dari perhitungan yang dilakukan diperoleh data spesifikasi elemen-elemen struktur bangunan seperti yang disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Konfigurasi dan spesifikasi gedung Lantai 1 2 3 4 Tinggi Lantai Mutu (f'c) Elastisitas (Ec) (m) (Mpa) (Mpa) Kolom (cm) Balok (cm) Plat (cm) 4.2 4.25 4.25 4.2 25 25 25 25 23500 23500 23500 23500 30/30 30/30 30/30 30/30 30/60 30/60 30/60 30/60 14 14 14 14 Pembebanan Gedung Beban yang bekerja pada struktur adalah sebagai berikut: a. Beban Mati - Beban sendiri struktur kolom, balok, dan plat - Pada lantai (lantai 2 – 4) plafon dan rangka : 18 kg/m2 spesi (2 cm) : 42 kg/m2 penutup keramik : 24kg/m2 dinding setengah bata : 250kg/m2 - Pada atap dak plafon dan rangka : 18kg/m2 b. Beban Hidup - Pada lantai (lantai 2 – 4) :250kg/m2 Dimensi Struktur Pada atap dak :100kg/m2 c. Beban Angin : 40kg/m2 d. Pembebanan Gempa - Lokasi : Cibitung, Jawa Barat - Wilayah gempa : Wilayah Gempa 3 - Sistem Struktur : Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah - Tanah dasar : Tanah Sedang - Jenis Bangunan : Rumah Sakit - Faktor Keutamaan (I) : 1.4 - Faktor Reduksi (R) : 5.5 - Gravitasi : 9.81 2 m/s - Skala Gempa : 2.497 - Analisis Beban Gempa Respon Spektra 71 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Kontrol partisipasi massa untuk menghasilkan respon total melebihi 90% pada arah sumbu x, sumbu y, dan sumbu rotasi z disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Partisipasi massa pada tiap mode gempa Ragam Perioda SumUX SumUY SumRZ 1 1.192612 0.7628 67.6088 19.1747 2 1.072769 83.3562 68.5985 19.1888 3 0.855787 83.4632 81.1622 72.2042 4 0.514813 84.3455 90.7063 90.597 5 0.439408 95.5572 92.2845 90.6112 6 0.407837 96.5347 96.3483 95.3941 7 0.266265 96.7779 98.2364 95.4081 8 0.261871 98.7384 98.6395 95.5511 9 0.247328 99.0931 98.6959 97.0805 10 0.231161 99.2271 99.7178 99.5058 11 0.220466 99.9538 99.8945 99.511 12 0.206392 100 100 100 Tabel 3. Kontrol gaya geser nominal terhadap gaya geser ragam pertama Lantai 1 2 3 4 Total Rasio Vx kN 2639.89 2185.62 1588.91 921.87 7336.29 1.694 Vy kN 2095.87 1750.86 1280.13 707.72 5834.58 1.347 0.8 x V1 kN 4329.933 Simpangan Lantai yang Terjadi Dari hasil analisis beban gempa zona 3 dengan program ETABS V.9.7.1 didapat simpangan simpangan total dan per lantai arah x seperti yang disajikan pada tabel 4. Kontrol nilai gaya geser nominal total melebihi 80% dari nilai gaya geser pada respon ragam yang pertama (V1) pada arah x dan arah y disajikan pada tabel 3. Tabel 4. Simpangan total dan per lantai Tinjauan Simpangan Total (x) (mm) Simpangan Total (y) (mm) 72 | K o n s t r u k s i a Lantai 4 3 2 1 4 3 2 1 Bidang A 15.90 9.40 18.70 10.80 Bidang B 47.00 41.10 30.10 15.20 34.60 30.40 22.30 11.40 Bidang C 35.80 30.90 22.30 11.10 46.50 39.60 28.10 13.70 Bidang D 29.90 25.90 18.80 9.50 31.70 28.10 20.60 10.20 ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI (Syano – Hidayat) Simpangan Per Lantai (x) (mm) Simpangan Per Lantai (y) (mm) 4 3 2 1 4 3 2 1 6.50 9.40 7.90 10.80 Grafik perbandingan simpangan arah x dan arah y untuk masing-masing bidang bangunan ditampilkan pada gambar 7 dan gambar 8. 5.90 11.00 14.90 15.20 4.20 8.10 10.90 11.40 4.90 8.60 11.20 11.10 6.90 11.50 14.40 13.70 4.00 7.10 9.30 9.50 3.60 7.50 10.40 10.20 Jarak Delatasi yang Digunakan Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilai simpangan ditentukan berdasarkan nilai simpangan ultimit yang terjadi atau tidak boleh kurang dari 75 mm atau tidak boleh kurang dari 2,5 % dari tinggi lantai. ∆ ultimit maksimum Gambar 7. Grafik perbandingan simpangan total arah x - Batasan jarak delatasi: Minimum 75 mm, atau 2.5 % x tinggi lantai = 0.02 5x 4.25 = 1.0625 m = 106.25mm Sehingga jarak delatasi yang digunakan sebesar 106.25 mm. Tabel 5. Kontrol jarak delatasi terhadap jumlah simpangan maksimum antar bidang bangunan Tinjauan Gambar 8. Grafik perbandingan simpangan total arah y = 58.52mm A B (sumbu x) B C (sumbu x) B - D (sumbu x) C D (sumbu y) (∑ ∆total) Jarak Delatasi Tinjauan 46.00 106.25 Aman 82.80 106.25 Aman 76.90 106.25 Aman 78.20 106.25 Aman 73 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Gaya-gaya Dalam Struktur Delatasi Dari hasil analisis beban gempa zona 3 dengan program ETABS V.9.7.1 didapat Tinjauan Gaya Aksial (kN) Gaya Geser (kNm) Gaya Momen (kNm) Tinjauan Gaya Geser (kNm) Gaya Momen (kNm) Tinjauan Gaya Momen (kNm) 74 | K o n s t r u k s i a gaya-gaya dalam untuk kolom, balok, dan plat setiap bidang bangunan seperti yang disajikan pada tabel 6 sampai dengan tabel 8. Tabel 6. Gaya-gaya dalam kolom Lantai Bidang A Bidang B Bidang C 1 635.06 2575.98 1843.13 2 262.40 1795.86 1315.43 3 1086.55 777.73 4 389.06 253.05 1 33.39 45.72 43.28 2 33.86 62.11 51.96 3 58.74 48.26 4 49.66 38.65 1 65.06 82.44 84.81 2 70.43 131.99 110.76 3 123.32 100.91 4 107.41 85.39 Bidang D 1677.83 1145.25 668.40 212.99 35.29 46.59 44.40 37.45 65.46 98.72 93.13 80.62 Tabel 7. Gaya-gaya dalam balok Lantai Bidang A Bidang B Bidang C 1 135.12 232.85 169.29 2 110.83 224.67 164.63 3 222.87 162.85 4 122.62 81.14 1 209.64 330.71 257.42 2 155.26 297.16 271.95 3 300.12 263.01 4 188.50 126.21 Bidang D 156.52 147.00 148.17 79.35 193.90 199.57 205.85 134.09 Tabel 8. Gaya-gaya dalam plat Lantai Bidang A Bidang B Bidang C 1 13.47 36.46 15.93 2 10.24 37.53 16.74 3 35.60 16.29 4 19.81 8.23 Bidang D 24.60 24.42 23.41 15.61 ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI (Syano – Hidayat) Luas Penulangan Terpasang Dari hasil analisis beban gempa zona 3 dengan program ETABS V.9.7.1 didapat luas penulangan terpasang untuk kolom, balok, dan plat setiap bidang bangunan seperti yang disajikan pada tabel 9 sampai dengan tabel 11. Tabel 9. Luas penulangan terpasang kolom Tinjauan Tulangan Longitudinal (mm2) Tulangan Geser (mm2) Lantai 1 2 3 4 1 2 Bidang A 3359.00 1839.00 Bidang B 13120.00 8888.00 Bidang C 8769.00 8959.00 Bidang D 7035.00 8224.00 431.00 1131.00 7532.00 3878.00 2522.00 2279.00 5565.00 2664.00 1595.00 1886.00 3805.00 2472.00 1227.00 1098.00 2475.00 711.00 2069.00 1770.00 1060.00 1569.00 3 4 Tabel 9. Luas penulangan terpasang balok Tinjauan Tulangan Longitudinal (mm2) Tulangan Geser (mm2) Lantai 1 2 3 4 1 2 Bidang A 1884.00 1434.00 Bidang B 4118.00 3862.00 Bidang C 1172.00 1279.00 Bidang D 1151.00 1187.00 594.00 431.00 3809.00 2044.00 2692.00 2519.00 1312.00 739.00 1724.00 1606.00 1228.00 780.00 1493.00 1332.00 2478.00 882.00 1529.00 431.00 1296.00 431.00 3 4 Tabel 10. Luas penulangan terpasang plat Tinjauan Tulangan Longitudinal Lantai 1 2 (mm2) 3 4 Bidang A 470.14 357.57 Kesimpulan Setelah dilakukan analisis terhadap bangunan asimetris gedung rumah sakit yang berlokasi di Cibitung terhadap Bidang B 1273.13 1310.23 Bidang C 556.13 584.62 Bidang D 858.79 852.71 1242.98 691.61 568.69 287.50 817.25 544.94 tinjauan delatasi akibat beban horizontal gempa menurut SNI 03-1726-2002, diperoleh kesimpulan: a. Kontrol partisipasi massa 75 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Partisipasi massa pada tiap-tiap derajat kebebasan bangunan untuk menghasilkan respon total melebihi 90% tercapai pada ragam 5. b. Kontrol gaya geser gempa Hasil kontrol gaya geser dasar diperoleh gaya geser nominal (Vt) memenuhi persyaratan batas minimum 80% terhadap gaya geser ragam pertama (V1). c. Kontrol simpangan - Simpangan tiap lantai yang terjadi pada bangunan untuk arah sumbu x dan sumbu y memenuhi persyaratan kinerja batas layan. Adapun syarat nilai kinerja batas layan tiap lantai berturut-turut dari lantai satu sampai lantai empat yaitu 22,91 mm, 23,18 mm, 23,18 mm, dan 22,91 mm. - Simpangan batas ultimit yang terjadi pada bangunan untuk arah sumbu x dan sumbu y memenuhi persyaratan simpangan maksimum. Adapun syarat nilai simpangan maksimum berturut-turut dari lantai satu sampai lantai empat yaitu 84 mm, 85 mm, 85 mm, dan 84 mm. - Jarak delatasi yang digunakan untuk bangunan delatasi sebesar 106.25 mm. Jarak ini masih aman jika dibandingkan dengan jumlah simpangan total maksimum antar bidang bangunan yang saling bersampingan pada arah yang memungkinkan terjadinya benturan. d. Gaya-gaya dalam Perbedaan nilai gaya-gaya dalam pada setiap bidang bangunan dipengaruhi oleh pusat massa bangunan yang tidak berada pada satu titik. 76 | K o n s t r u k s i a e. Luas penulangan terpasang Perbedaan nilai gaya-gaya dalam pada setiap bidang bangunan dipengaruhi oleh nilai gaya-gaya dalam yang ada. Luas penulangan terpasang sebanding dengan gaya-gaya dalam yang terjadi. Daftar Pustaka Badan Standardisasi Nasional. 2002. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung, SNI 03 – 2847 – 2002 Badan Standardisasi Nasional. 2002. Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung, SNI 03 – 1726 – 2002 Dipohusodo, Istimawan. 1994. Struktur Beton Bertulang. PT. Gramedia Pustaka Utama. Depok: 1994 Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1983. Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung: 1981 Universitas Ngurah Rai. 2010. Astriani, Ni Kadek. Pengaruh Torsi Pada Bangunan. GaneC Swara. Denpasar: 2010 Menteri Pekerjaan Umum. 2006 Persyaratan Teknis Bangunan Gedung Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 29/PRT/M/2006. ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209L (Davit - Heri) ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209 L DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA Davit Fikri Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta davit_fikri@yahoo.com Heri Khoeri PT. Hesa Laras Cemerlang hkhoeri@hesa.co.id ABSTRAK : Dermaga adalah fasilitas penting yang harus dimiliki oleh sebuah pelabuhan untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Dermaga merupakan tempat dimana terjadinya proses bongkar muat. Dalam analisis perencanaan dermaga, diperlukan data-data antara lain spesifikasi kapal yang akan bersandar, alat yang akan digunakan di dermaga tersebut seperti Container Crane atau Harbour Mobile Crane, dan kendaraan yang akan digunakan untuk mengangkut komoditas dari atau ke dermaga. Struktur dermaga akan menahan beban dari kapal, alat, dan kendaraan tersebut. Tugas akhir ini membandingkan model dari 2 (dua) dermaga berbeda yaitu Dermaga 209 dan Dermaga 209L dengan mengacu pada 2 (dua) peraturan yang berbeda yaitu SNI 2002 dan PBI 1971. Dua program yang berbeda juga digunakan yaitu Staad Pro dan SAP2000. Pada hipotesis awal, model yang mengacu pada SNI 2002 dan dibuat menggunakan program SAP2000 dinyatakan lebih andal dari model yang mengacu pada PBI 1971 dan menggunakan program Staad Pro. Hipotesis tersebut terbukti melalui hasil perhitungan dan analisis untuk masing-masing dermaga pada tugas akhir ini. Kata kunci : dermaga 209, 209L, SNI, PBI, Staad Pro, SAP 2000 ABSTRACT : Berth is an important facility for a port to support its operational activity. It is a place where stevedoring activity been held. In order to design a berth, it is necessary to compile some datas such as ship specifications, crane specifications (Container Crane or Harbour Mobile Crane), and vehicles which will carry the goods from and to the berth. The berth structure will retain the loads from ships, cranes, and vehicles. This final project compares the model of two different berth : Berth 209 and Berth 209L by referring to two different standards : SNI 2002 and PBI 1971. It also will uses two different programs : Staad Pro and SAP2000. In the early hypothesis, the model that refer to SNI 2002 standard and use SAP2000 is state to be more reliable than the model that refer to PBI 1971 and use Staad Pro. This final project successfully proof the hypothesis through its results which show by the calculation and analysis of each berth. Kata kunci : Berht 209, 209L, SNI, PBI, Staad Pro, SAP 2000 77 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 PENDAHULUAN Pelabuhan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia sebab sejak zaman dahulu kala pelabuhan sangat penting untuk melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan pelayaran. Sebab pada zaman dahulu belum ada yang namanya kapal udara, sehingga aktivitas kehidupan antar pulau, negara dan benua dilakukan melalui lautan. Salah satu Pelabuhan di Indonesia adalah Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan sangat sibuk dengan segala aktivitas transfer logistik di Indonesia. oleh karena itu Pelabuhan Tanjung Priok harus mampu dan dapat melayani segala kebutuhan operasional. Untuk mendukung hal itu harus memiliki dermaga yang siap melayani transfer logistik dengan kapasitas yang banyak secara baik. Untuk itu PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) selaku Operator Pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok senantiasa melakukan peningkatanpeningkatan pelayanannya. Salah satu bentuk peningkatan pelayanan yang dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pelabuhan Priok diantaranya adanya Pekerjaan Perkuatan Dermaga 208-209 dan 209 L, 210 dan 211. Bentuk peningkatan pelayanan tersebut diwujudkan dengan menambah fasilitas alat bongkar muat di dermaga dengan tujuan menambah kapasitas bongkar muat. Dengan akan dipasangnya alat bongkar muat (Luffing Crane) tersebut maka perlu dilakukan pekerjaan perkuatan Dermaga 209 L, 210 dan 211. Sebelum dilakukan pekerjaan perkuatan dermaga tersebut maka perlu dilakukan pekerjaan perencanaan perkuatan di Dermaga 209 L, 210 dan 211. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dari penulisan ini adalah untuk menganalisis tebal Pelat Lantai Dermaga 209 dan Dermaga 209 L. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah tebal pelat pada Dermaga 209 dan 209 L merupakan tebal 78 | K o n s t r u k s i a efektif yang seharusnya dipakai akibat dari beban opersional yang berada diatasnya. DERMAGA YANG DI ANALISIS Gambar 1. Dermaga 209 Tabel 1. Data Teknis Dermaga 209 Uraian Spesifikasi Mutu Beton K-350 Tulangan D 19 -100 Tebal Pelat Lantai 35 cm Peraturan Perhitungan PBI 1971 Program Perhitungan Staad pro Fungsi Dermaga Petikemas Alat Yang Dipakai HMC DAN CC Gambar 2. Dermaga 209L Tabel 2. Data Teknis Dermaga 209L Uraian Spesifikasi Mutu Beton K-430 Tulangan D 25 -250 D 25 - 500 Tebal Pelat Lantai 40 cm ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209L (Davit - Heri) Peraturan Perhitungan SNI 2002 Program Perhitungan SAP 2000 Fungsi Dermaga Petikemas Alat Yang Dipakai HMC DAN CC METODA ANALISIS Secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Melakukan inventarisasi / pendataan mengenai data tebal Pelat, beban yang bekerja dari hasil perhitungan masing-masing dermaga. 2. Beban yang dipakai adalah beban maksimum dari pelat lantai, yang didapat dari pola operasional yang bekerja diatasnya. 3. Mencoba memasukan nilai tebal pelat dengan cara coba-coba sampai mencapai nilai yang efisien. 4. Proses Perhitungan : menghitung dan menanalisis masing-masing struktur pelat lantai dermaga dengan memakai peraturan SNI tahun 2002 dan PBI tahun 1971. 5. Periksa hasil perhitungan, (tebal min pelat, chek geser, chek ρ) berdasarkan peraturan SNI dan PBI. apabila tidak memenuhi syarat maka kembali ke proses no 3. 6. Perbandingan hasil perhitungan : setelah didapat hasil analisis dari masing - masing pelat lantai dermaga, kemudian dibandingkan tebal pelat lantai yang efektif. 7. Penarikan kesimpulan. Bekerja adalah berat sendiri pada pelat lantai. Berat sendiri material yang diperhitungkan dalam perencanaan struktur adalah sebagai berikut: - Beton =2.400 ton/m3 - Baja =7.850ton/m3 Berat-berat ini diperhitungkan sebagai beban mati (DEAD Load) ataupun beban superimposed dead load (SDL). 2. Beban Hidup yang diterima Oleh Plat Lantai adalah beban HMC Beban HMC yang digunakan adalah HMC 300 E , pada Tabel akan diuraikan karakteristik dari HMC 300 E. Tabel 3. Karakteristik HMC 300 E Karakteristik Besaran Beban Sendiri 416000 kg Kapasitas angkat 100000 kg maksimum Jumlah As Roda 7 buah Jumlah Pad 8 buah Lebar Pad 1,8 m Panjang Pad 3,6 m Sumber: PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) PEMBEBANAN DAN KOMBINASI 1. Beban yang dipakai pada kedua dermaga adalah sama, baik itu di Dermaga 209, maupun 209L. karena fungsi nya pun sama sebagai dermaga petikemas. Jadi alat-alat yang digunakan dan pola operasional juga sama. beban maksimum yang dipakai adalah beban HMC, karena struktur yang ditinjau pada tugas akhir ini adalah struktur pelat dermaga saja. Beban Mati Yang Gambar 3. Skema Pembebanan HMC dengan 8 buah Pad Sumber : PT. Pelabuhan Indonesia II 79 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Gambar 4. Skema pembebanan HMC pada saat berjalan diatas dermaga Gambar 6. Grafik Respon Spectrum Sumber : PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Sumber : SNI – 1726 – 2002Respon spectrum gempa rencana untuk wilayah gempa 3 3. Truck yang beroperasi di area dermaga direncanakan memiliki berat maksimum 500 kN. Spesifikasi truck mengacu kepada RSNI T-022005: Pembebanan untuk Jembatan. PEMODELAN PERHITUNGAN PELAT 4. Plat Lantai pada dermaga 209L telah dimodelkan menggunakan dua buah perangkat lunak dan dua acuan perencanaan yang berbeda. Masing-masing pemodelan tersebut dalam tugas akhir ini kemudian disebut sebagai model I dan model II. 1. DERMAGA 209L Model I Model I dilakukan dengan bantuan SAP 2000 V.11 dan acuan perencanaan SNI 03-28472002. Kombinasi Pembebanan yang digunakan pada perhitungan : Gambar 5. Beban Truck T-500 kn S = 1.0 DL S = 1.0 DL+ 1.0 UDL 5. Beban Gempa Beban gempa yang diperhitungkan adalah untuk wilayah Gempa 3, dengan kondisi tanah sedang. U = 1.2 DL U = 1.2 DL+ 1.6 UDL Analisis tersebut memberikan hasil sebagai berikut : Service Limit State M (+) = 10.027 ton.m M (-) = 16.553 ton.m V = 26.421 ton Ultimate Limit State 80 | K o n s t r u k s i a SLS ULS ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209L (Davit - Heri) M (+) = 15.652 ton.m M (-) = 25.729 ton.m V = 41.595 ton Selimut beton : 50 mm Momen ultimate akibat beban bekerja: 7.42 ton.m Momen dan gaya geser tersebut adalah per meter panjang pelat. Jumlah tulangan terpasang per meter panjang = = 10 buah As terpasang = 10 π (19)2 = 11335.4 mm2 Model II Tinggi efektif (d) = tebal pelat – selimut beton – ø tulangan/2 = 350 – 50 – 19/2 =290.5 mm Model II dilakukan dengan bantuan Staad Pro dan acuan perencanaan PBI 71 (menggunakan metode elastis). Kombinasi Pembebanan yang digunakan pada perhitungan : COMB 1 = DL + LL COMB 2 = DL + TRUK Analisis dilakukan dengan asumsi bahwa semua tulangan leleh. Tulangan mencapai kondisi leleh jika nilai regangannya lebih besar dari fy/Es. COMB 3 = DL + LL + QCC COMB 4 = DL + HMC + TANAH COMB 5 = DL + LL +QCC + GEMPA COMB 6 = DL + LL + BOLLARD COMB 7 = DL + LL + FENDER Analisis tersebut memberikan hasil sebagai berikut : Ultimate Limit State Gambar 7. Analisis Tegangan dan Regangan Pada Balok Beton Bertulang ULS M (+) = 7.15 ton.m M (-) = 7.42 ton.m Momen dan gaya geser tersebut adalah per meter panjang pelat. PERHITUNGAN PEMODELAN Analisis Perhitungan Plat lantai 209 ( Perhitungan Berdasarkan SNI) Analisis Model 2 Data plat lantai yang akan dianalisis adalah sebagai berikut : Sisi terpanjang : 6 meter Sisi terpendek : 5,5 meter Tebal pelat : 350mm Fy : 400 MPa Fc’ : 35 MPa Es : 200000 MPa Tulangan Terpasang : D19-100 Dari gambar diatas, dapat disimpulkan resultan gaya-gaya dalamnya menjadi gaya tekan pada beton (Cc) sama dengan gaya tarik pada baja (T). ΣH =0 Cc =T 0.85 fc’ a b = As fy 0.85 (29.05) (a) (1000)= (11335.4) (400) a = 183.62 mm c = 0.85 a c = 156.077 mm . = . . = . εs = 0.005584 = = 0.002 81 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 εs > leleh , maka tulangan mencapai kondisi Momen kapasitas penampang berdasarkan tulangan terpasang : Momen Nominal =0.85.fc’.a.b.(d-0.5a) =0.85(29.05)(183.62)(1000) (290.5 − ) = 90.08 ton.m Faktor reduksi (φ) = 0.85 Momen Ultimate = φ * Mn = 0.85 * 43.2 ton.m = 76.57 ton.m Momen kapasitas penampang adalah 76.57 ton.m sedangkan momen ultimate akibat beban bekerja adalah 7.42 ton.m ; maka dapat disimpulkan pelat dapat memikul beban bekerja dengan angka keamanan 1.10 . Analisis Perhitungan Plat lantai 209 L ( Perhitungan Berdasarkan PBI) Analisis Model 1 Data plat lantai yang akan sebagai berikut : Sisi terpanjang Sisi terpendek Tebal pelat Fy Fc’ Es Tulangan Terpasang Selimut beton Mu akibat beban bekerja dianalisis adalah : 10 meter : 5.5 meter : 400mm : 400 MPa : 35 MPa : 200000 MPa : D25-150 : 50 mm : 25.729 ton.m Jumlah tulangan terpasang per meter panjang = = 7 buah As terpasang = 7 π (25)2 = 3436.12 mm2 Tinggi efektif (d)= t. pelat – selimut beton – øtul/2 = 400 – 50 – 25/2 =337.5 mm Mutu Bahan Konstruksi Mutu Bahan Konstruksi Akibat Beban Tetap Tegangan Tekan Ijin Beton σbk' =115,5 g/cm2 Tegangan Tarik Ijin Beton σb = 8,98 kg/cm2 Tegangan Geser Ijin Tanpa Tulangan Geser τb = 8,04 kg/cm2 Tegangan Geser Ijin dengan Tulangan Geser τbm = 20,2 kg/cm2 Modulus Elastisitas Beton Ec=119700 kg/cm2 Angka Ekivalensi N= 17,64 Modulus Elastisitas Baja Es=2111508kg/cm2 Tegangan Tarik Ijin Bajaσa =2250kg/cm2 Pehitungan Penulangan Lentur Beban Sementara Perhitungan Tulangan Lentur Momen Ultimate pada Tumpuan Mu + =25.729 ton.m øo = σ'a / (σ'b x n) = 1.10434 h = ht - 5 cm = 35 Ca = (h / √(n x Mu / b x σ'a) = 77.9289 δ = 0.6 Dari tabel lentur "n" dengan nilai Ca & δ diperoleh : ø = 8,091 ø' = 89 100n ω = 0,684ω = 0,00039 Luas Tulangan tumpuan yang dibutuhkan, As = ω x b x h = 1,16327 cm2 As' = δ x As = 0,69796 cm2 Menggunakan Tulangan D 25 Jumlah Tulangan terpasang As terpasang = 7 π (25)2 = 3436.12 mm2< As yang dibutuh kan Aman ΣH =0 Cc =T 0.85 fc’ a b = As fy 0.85 (35) (a) (1000) = (3436.12) (400) a = 46.19 mm c = 0.85 a c = 54.34 mm . = . . 82 | K o n s t r u k s i a = . ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209L (Davit - Heri) εs = 0.018 = Pemodelan dilakukan dengan bantuan SAP 2000 V.11 dan acuan perencanaan SNI 032847-2002. = 0.002 εs > , maka tulangan mencapai kondisi leleh Momen kapasitas penampang berdasarkan tulangan terpasang : Momen Nominal = 0.85 fc’ a b (d-0.5a) = 0.85(35) . (337.5 − ) (46.19) (1000) = 43.2 ton.m Faktor reduksi (φ) = 0.85 Momen Ultimate = φ * Mn = 0.85 * 43.2 Beban yang bekerja pada dermaga : Dead Load (DL) : Berat Sendiri Struktur Live Load (LL) : Beban merata 3 ton/m2 Beban Crane : 12.28 ton/m2 Perhitungan Beban Crane Tipe Crane: Harbour Mobile Crane Gottwald HMK 6406 Counterweight : 82 ton Total Weight of Fully Rigged Crane: 360 ton Total Weight: 442 ton Proping Base: 14 m x 12.5 m Number of Proping Pads: 4 Size of Proping Pads: 2 m x 4.5 m ton.m = 36.7 ton.m Momen kapasitas penampang adalah 36.7 ton.m sedangkan momen ultimate akibat beban bekerja adalah 25.729 ton.m ; maka dapat disimpulkan pelat dapat memikul beban bekerja dengan angka keamanan 1.4 Setelah dianalisis dari kedua Model diatas perhitungan pelat lantai menggunakan PBI dan SNI terdapat perbedaan hasil perhitungan dikarenakan karena beban yang bekerja pada masing-masing pelat dermaga berbeda, yaitu Dermaga 209L menggunakan beban sebesar 25, 729 tonm sedangkan untuk Dermaga 209 sebesar 7,42 tonm. Sehingga perlu dilakukan analis terhadap beban momen yang bekerja pada Masing – masing dermaga. Selanjutnya akan di lakukan simulasi momen yang bekerja pada Dermaga dengan bantuan program SAP 2000 v.11. CEK ANALISIS PERHITUNGAN MOMEN PELAT LANTAI DERMAGA 209L & DERMAGA 209 DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM SAP 2000 V.11 Area of Each Proping Pads: 9 m2 Uniform Gravity Load: 12.28 ton/m2 Kombinasi Pembebanan yang digunakan pada perhitungan : Service = 1.0 DL+ 1.0 UDL Ultimate = 1.2 DL+ 1.6 UDL Crane = 1.2 DL + 1.0 UDL + 1.0 HMC Dibuat 4 model berbeda yaitu : Model 1 dermaga dimodelkan antar dilatasi dengan tebal plat lantai 35 cm Model 2 dermaga dimodelkan antar dilatasi dengan tebal plat lantai 40 cm 83 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Model 3 dermaga dimodelkan sebagai segmen dengan tebal plat lantai 35 cm Model 4 dermaga dimodelkan sebagai segmen dengan tebal plat lantai 40 cm Gambar 10. Diagram Momen Model 1 Gambar 11. Diagram Momen Model 2 Gambar 7. Input Live Load pada Model Gambar 8. Input Beban Crane pada Model Gambar 9 . Shell Information Load Gambar 12. Diagram Momen Model 3 Gambar 13. Diagram Momen Model 4 84 | K o n s t r u k s i a ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209L (Davit - Heri) Dari analisis tersebut didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 4. Momen Maksimum Model 1 2 3 4 Momen Maximum Kombinasi Service Ultimate Crane 9.41601 13.27088 24.41114 10.25666 14.32151 9.41601 9.41601 13.27088 24.38477 10.25666 14.32151 25.67559 Tabel 5. Momen Maksimum Model 1 2 3 4 Momen Minimum Kombinasi Service Ultimate Crane -17.38723 -23.99975 -33.3898 -24.77015 -33.89694 -17.38723 -17.38722 -23.99975 -33.38979 -24.77014 -33.89692 -46.84301 Fy= 400 MPa Selimut beton= 40 mm Lebar plat= 1000 mm Diameter tulangan rencana= 19 mm Tinggi efektif (d)= 400 – 40 - = 350.5 mm Lengan Momen (jd)= 0.925 d = 324.213 mm As perlu= . = Service Ultimate Crane Momen Ultimate Design Momen Max 10.25666 14.32151 25.67559 25.67559 Momen Min -24.77015 -33.89694 -46.84301 -46.84301 , , ∗ . . = 2426.95 mm2 = 9 buah . Spasi tulangan = ≈ 111.11 Spasi tulangan rencana= 100 mm Analisis tegangan regangan ΣH =0 Cc =T 0.85 fc’ a b = As fy 0.85 (35) (a) (1000)= (0.25 π 192) (10) (400) a = 38.12 mm c = 0.85 a c = 32.4 mm . Kombinasi = As rencana per tulangan= 0.25 π (19)2 = 283.529 mm2 Jumlah Tulangan= = Tabel 6. Momen Ultimate Design ∗ . . = . εs = 0.032 = εs > leleh = 0.002 , maka tulangan mencapai kondisi Tulangan rencana D19-100 Penulangan Momen Negatif Penulangan Momen Positif Mu= 25.67 ton-m/m Faktor reduksi (Φ)= 0.8 . Mn= = 32.1 ton-m/m . Mn= 314,739,406.8 Nmm Tebal Plat= 40 cm Mu = -46.8 ton-m/m Faktor reduksi (Φ)= 0.8 . Mn = . = 58.6 ton-m/m Mn = 574,216,256.7 Nmm Tebal Plat= 40 cm Fy = 400 MPa Selimut beton= 40 mm 85 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Lebar plat= 1000 mm Diameter tulangan rencana= 25 mm Tinggi efektif (d) = 400 – 40 - = 347.5 mm Lengan Momen (jd) = 0.925 d = 321.438mm , , . As perlu = = = ∗ 4466.002 mm2 As rencana per tulangan = 490.874 mm2 Jumlah Tulangan = . ∗ . = 0.25 π (25)2 = = 9 buah . Spasi tulangan = Spasi tulangan rencana 3. ≈ 111.11 = 100 mm Analisis tegangan regangan ΣH =0 Cc =T 0.85 fc’ a b = As fy 0.85 (35) (a) (1000)= (0.25 π 252) (10) (400) a = 65.9 mm c = 0.85 a c = 56.09 mm = . . 2. 4. . 5. = . εs = 0.018 = εs > leleh 6. = 0.002 , maka tulangan mencapai kondisi Momen pelat Dermaga 209 = 7,42 ton m Momen pelat Dermaga 209L = 25,72 ton m Berdasarkan hasil perhitungan dengan Menggunakan peraturan PBI Perbandingan Safety Factor pada Dermaga 209 adalah 1:10, sedangkan untuk perhitungan menggunakan peraturan SNI 2002 pada Dermaga 209L diketahui Safety Factor yang dihasilkan perbandingan 1:4 sehingga, penggunaan peraturan PBI menghasilkan Desain yang lebih Konservatif. Perbedaan desain rencana pada Dermaga 209 dan Dermaga 209L dipengaruhi oleh peraturan yang dipakai, yaitu 209 PBI tahun 1971 dan SNI tahun 2002. Berdasarkan pemodelan yang dibuat dengan ukuran masing-masing dermaga dan beban yang diambil adalah beban HMC maksimum, dihasilkan momen pelat sebesar 24,77 ton m, lebih mendekati momen yang diinput pada Dermaga 209L 25,729 ton m. dari hasil pemodelan tersebut dapat disimpulkan Dermaga 209 memakai momen pelat lebih kecil dari momen pelat yang dipakai pada Dermaga 209L. Berdasarkan hasil pemodelan yang telah dibuat, dengan menggunakan program SAP 2000. Momen pelat Dermaga 209 L lebih mendekati momen plat yang dihasilkan dari perhitungan. Hipotesis awal bahwa dermaga 209 L over Design tidak bisa dibuktikan dengan cara membandingkan hasil desain (tebal pelat, mutu pelat, tulangan pelat lantai) secara langsung antar Dermaga 209 dan 209L, tetapi harus melihat konsep dari perencana Dermaga. Tulangan rencana D25-100 KESIMPULAN : Berdasarkan hasil analisis data dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain 1. Perhitungan momen yang di input pada masing - masing perencana Dermaga 209 dan 209L berbeda sehingga menghasilkan Tebal plat, mutu beton, dan tulangan pelat lantai yang berbeda. 86 | K o n s t r u k s i a DAFTAR PUSTAKA 1. Bambang Triatmodjo Prof., “Pelabuhan”,Beta Offset, Yogyakarta, 1996 2. OCDI, The Overseas Coastal Area DevelopmentInstitute Of Japan – Technical Standards and Commentaries for Port and Harbour Facilities In Japan, Tokyo, 2002 ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209L (Davit - Heri) 3. Direktori PelabuhanTanjung PriokEdisi 2008, PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) CabangTanjungPriok 4. SNI 03-2847-2002Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung. 5. PBI 1971Peraturan Beton Bertulang Indonesia. 6. Wangsadinata, Ir. Wiratman. Perhitungan Lentur dengan cara "n" : 1979. 7. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. “Pedoman Pembangunan Pelabuhan”. Japan International Cooperatin Agency. Jakarta, 2000.: 8. Desain Konstruksi Plat & Rangka Beton Bertulang dengan SAP 2000 Versi ; Handi Pramono & Rekan 87 | K o n s t r u k s i a BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS (Ainun - Nadia) BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR Oleh : Moh. Ainun Najib Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta Nadia Dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta Email : nd7988@yahoo.co.id ABSTRAK : Beton merupakan salah satu elemen terpenting dalam Struktur Bangunan, dengan sifat beton yang mudah untuk dibuat ,mudah untuk dicetak dan perawatannya pun terbilang mudah. Beton yang dicampur dengan potongan ban bekas diharapkan mempunyai berat yang ringan, sehingga menjadikan beton ini tidak terlalu membebani struktur pada konstruksi bangunan. Adapun bahan ban bekas itu sendiri sangatlah mudah didapat, karena ban adalah salah satu bahan limbah. Namun disamping ringan, mutu Beton atau Kuat Tekan Beton tetap harus menjadi factor utama dalam menentukan pilihan penggunaannya.Penelitian ini bermaksud untuk mencari besarnya kuat tekan beton dengan penambahan potongan ban bekas sebagai pengganti sebagian dari agregat kasar pada Beton. Benda uji berupa silinder berdiameter 15 x 30 cm dengan variasi penambahan ban sebesar 5% , 10%, dan 15% dari volume agregat kasar.. Mutu beton rencana yaitu K-225 (18,68 MPa) dengan uji tekan pada umur 28 hari. Hasil pengujian untuk 5% ban menghasilkan 139,11 kg/cm2, untuk 10% ban menghasilkan 109,55 kg/cm2, dan untuk 15% ban menghasilkan 83,47 kg/cm2. Untuk penurunan berat beton yaitu untuk 5% = 33,77% dari berat normal, untuk 10%=47,85% dari berat normal dan untuk 15% = 60,26 % dari berat normal. Kata Kunci: kuat tekan, ban bekas, beton normal, beton ringan ABSTRAK : : Concrete is one of the most important element in the structure of buildings , with the nature of concrete that is easy to be made , easy for printing and its treatment is quite easy .Concrete is mixed with pieces of tire of the former is expected to have a light weight , that made this concrete not too burdensome structures on the construction of buildings. The former tire material itself is very readily obtainable , because of the tires is one of waste materials .But besides light , the quality of concrete or strong press concrete still have to be the main factor in determining the choice of penggunaannya.penelitian it intends to search for the amount of strong concrete press with the addition of pieces of tire former as a substitute for some of the aggregate rough on concrete . Objects of the cylindrical 15 x diameter of 30 cm with variations of the ban amounted to 5 percent , 10 percent , and 15 percent of the volume of the aggregate rough ..Quality concrete plan namely k-225 ( 18,68 mpa ) with the press at the age of 28 days .The results of tests to 5 percent of the tire produce 139,11 kg per cm2 , to 10 percent of the tire produce 109,55 kg per cm2 , and to 15 percent of the tire produce 83,47 kg per cm2 .To decline in heavy concrete that is to 5 percent = 33,77 percent of normal weight , to 10 percent = 47,85 percent of normal weight and to 15 percent = 60,26 percent of normal weight . Keywords: strength, waste of tires, normally concrete, light concrete 89 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 PENDAHULUAN Limbah ban bekas adalah penyumbang sampah terbesar didunia dan termasuk kedalam golongan material yang tidak dapat diuraikan oleh organisme (non biodegradable), serta bersifat tahan lama (persistent) yang tidak akan membusuk. Apabila limbah ban bekas tersebut dibakar akan menghasilkan salah satu bahan paling berbahaya di dunia, yaitu Dioksin. Dari bahaya limbah ban bekas bagi manusia maupun lingkungan ini, ada sisi positifnya yaitu dari bahan penyusun utama ban tahan terhadap air, memiliki kestabilan yang cukup, ketahanan yang tinggi, dan memiliki tingkat fleksibilitas dan sifat lentur yang cukup baik serta karet memiliki sifat menyerap getaran, maka diadakan uji coba mengenai pemanfaatan limbah ban bekas sebagai bahan dasar penggati agregat kasar pada campuran beton normal. Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah 1. Apakah penambahan ban bekas sebagai pengganti sebagian agregat kasar dapat mempengaruhi kuat tekan beton? 2. Berapa besar pengaruhnya ban bekas pada campuran beton untuk penambahan 5 % ; 10 % dan 15 %.ban bekas terhadap kuat tekan beton normal. 3. Apakah Campuran beton dengan ban bekas dapat mempengaruhi berat volume Beton, agar dapat mengurangi pengaruh buruk dari Diagram Fish Bone 90 | K o n s t r u k s i a limbah ban lingkungan. bekas terhadap Batasan Masalah a. Ukuran ban bekas 1cm3 (1 cm x 1 cm x 1 cm ).dengan variasi penambahan sebesar 5%, 10% dan 15% terhadap volume agregat kasar. b. Beton rencana adalah beton dengan mutu f’c 18,68 Mpa. c. Semen yang digunakan adalah Semen Portlad tipe I merk Tiga Roda. d. Pasir yang digunakan adalah Pasir Bangka ukuran < 5 mm e. Batu pecah yang digunakan adalah Batu pecah yang berasal dari Gunung Sembung berukuran < 40 mm f. Air yang dugunakan adalah PDAM. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pengaruh penambahan ban bekas sebagai pengganti sebagian agregat kasar terhadap Kuat Tekan Beton dan Berat volume Beton. b. Untuk mengetahui perubahan kuat tekan beton dengan tambahan ban bekas dengan prosentase 5%, 10% dan 15%. c. Untuk memanfaatkan bahan limbah ban bekas yang dapat mencemari lingkungan, menjadi bahan yang berguna. BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS (Ainun - Nadia) Hipotesis a. Kuat tekan beton dengan penambahan 5% ban bekas pada agregat kasar akan lebih besar dari pada penambahan 10% bahan bekas pada agregat kasar. b. Kuat tekan beton dengan 10% ban bekas pada agregat kasar akan lebih besar dari pada 15% ban bekas pada agregat kasar. c. Berat volume beton dengan ban sebagai pengganti agregat kasar akan lebih ringan dibandingkan dengan beton normal (admixture) untuk merubah sifat-sifat tertentu beton. Bahan yang digunakan harus disesuaikan, dicampur atau digunakan pada beton untuk menghasilkan beton dengan sifat-sifat khusus yang diinginkan untuk tujuan tertentu dengan cara yang paling ekonomis. Bahan-bahan campuran beton tersebut harus mempunyai perbandingan yang optimal agar menghasilkan beton yang memiliki kekuatan yang diharapkan. LANDASAN TEORI Beton Beton adalah campuran antara semen portland atau semen hidrolik yang lain, agregat kasar dan air dalam perbandingan tertentu, dengan atau tanpa bahan campuran tambahan yang membentuk masa padat Bahan Campuran Beton Beton memiliki beberapa bahan campuran, yaitu semen, air, agregat halus dan agregat kasar. Beton juga dapat ditambah bahan pembantu Semen Semen adalah bahan anorganik yang mengeras pada pencampuran dengan air atau larutan garam. Semen yang digunakan untuk pekerjaan beton harus disesuaikan dengan rencana kekuatan dan spesifikasi teknik yang diberikan. Pemilihan tipe semen ini kelihatannya mudah dilakukan karena semen dapat langsung diambil dari sumbernya (pabrik). Hal itu hanya benar jika standar deviasi yang ditemui kecil, sehingga semen yang berasal dari 91 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 beberapa sumber langsung dapat digunakan. Akan tetapi, jika standar deviasi hasil uji kekuatan semen besar, hal tersebut akan menjadi masalah. Fungsi utama semen adalah mengikat butir-butir agregat hingga membentuk suatu massa padat dan mengisi rongga-rongga udara diantara butir-butir agregat. Agregat Agregat terdiri dari Agregat halus dan agregat kasar. Agregat ini adalah butiran mineral alami yang berfungsi sebagai bahan pengisi dalam campuran beton atau mortar.Agregat (bahan pengisi) didalam adukan beton menempati 70% dari volume beton. Oleh karena itu, sifat-sifat agregat sangat mempengaruhi sifatsifat beton yang dihasilkan. Sifat yang paling penting dari agregat adalah kekuatan hancur dan ketahanan terhadap benturan yang dapat mempengaruhi ikatannya dengan pasta semen. Air Air diperlukan pada pembuatan beton untuk memicu proses kimiawi semen sebagai perekat, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton. Hal ini, berhubungan dengan perbandingan air dan semen atau yang biasa 92 | K o n s t r u k s i a Agregat Buatan (Ban Bekas) Ban Bekas merupakan salah satu bahan buangan dan bekas pakai yang dapat dengan mudah di cari dan ditemukan di setiap daerah di Indonesia dan jumlahnya relative cukup tinggi. Penggunaan Ban bekas ini sebagai pengganti sebagian agregat adalah di dasarkan pada keterbatasan agregat alami yang tersedia di alam, contohnya pasir, batu, sirtu, tanah liat, dan lain lain, dimana agregat alam tersebut jumlahnya semakin lama semakin berkurang karena merupakan bahan baku yang tidak dapat di perbaharui. Limbah Ban bekas terbuat dari karet sintetis dan karet alam di campur dengan karbon black dan unsur unsur kimia lain seperti silica, resin, anti oksidan, sulfur, paraffin, cobalt, salt, cure accelerators, aktifators, dan di tambah dengan benang dan gabungan kawat baja di mana benang berfungsi sebagai rangka atau tulangan ban. Benang yang dipakai pada umumnya seperti polyester, rayon atau nilon. Berdasarkan bahan bahan penyusun utamanya yaitu karet alam dan karet sintetis, dimana karet memiliki sifat tahan terhadap cuaca, tahan terhadap air, memiliki kestabilan yang cukup, ketahanan yang tinggi, dan memiliki tingkat fleksibilitas dan sifat lentur yang cukup baik serta karet memiliki sifat menyerap getaran sehingga memberikan kenyamanan dalam menggunakan kendaraan. BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS (Ainun - Nadia) METODOLOGI PENELITIAN MULAI PENYIAPAN BAHAN & ALAT PENYIAPAN DATA PENDUKUNG PENGUJIAN BAHAN STUDI LITERATUR AGREGAT HALUS 1. 2. AGREGAT KASAR BERAT JENIS & PENYERAPAN AIR ANALISA SARINGAN TIDAK 1. 2. 3. 4. BAN BERAT JENIS & PENYERAPAN AIR KADAR AIR KADAR LUMPUR ANALISA SARINGAN BJ SSD 2,7 YA PERHITUNGAN MIX DESIGN PROPORSI CAMPURAN BAN 0% BAN 5% BAN 10% BAN 15% PROSES PENGADUKAN DAN BENDA UJI CURING DAN CAPPING TIDAK UJI KUAT TEKAN K 225 YA UJI STUDENT - T ANALISA HASIL DENGAN KORELASI KURVA KESIMPULAN SELESAI 93 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 HASIL PENELITIAN Berat volume Beton dan Kuat Tekan Beton Pengujian Kuat Tekan Beton dilakukan pada benda uji umur 28 hari dengan kuat tekan yang direncanakan (f’c) sebesar 18,6 Mpa atau K.225 (beton normal). Hasil pengujian Berat volume Beton dan Kuat Tekan Beton dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Hasil Kuat Tekan Beton Berat volume Beton (Kg/m3) Ban 0% 5% 10 % 15 % 2286.,7 2265,39 2198,14 2142,42 Kuat tekan σ’kbk (Kgf/cm2) 210,06 139,11 109,55 83,47 Gambar 1. Berat Volume Rata-rata Gambar 2. Kuat Tekan Beton Rata-rata 94 | K o n s t r u k s i a BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS (Ainun - Nadia) Gambar 3 Grafik Kolerasi KESIMPULAN 1. Beton dengan campuran ban bekas sebagai pengganti sebagian dari agregat kasar, tidak dapat menaikkan mutu beton bahkan cenderung menurun dengan bertambahnya prosentasi ban bekas yaitu pada campuran 5%, kuat tekan beton = 139,11 kg/cm2 (turun 34%) , 10% ban, kuat tekan beton = 109,55kg/cm2 (turun48%), 15% ban, kuat tekan beton = 83,47 kg/cm2 (turun 60%). 2. Penambahan ban pada beton tidak menghasilkan penurunan kuat tekan beton secara linier terhadap beton normal, dengan persamaan f’c = 3617 Db2 – 1343,8 Db + 206,86 3. Campuran Beton dengan penambahan ban bekas akan mengurangi berat beton normal yaitu berat beton normal = 2286,7 kg/m3 ,campuran 5% = 2252,63 kg/m3 ,campuran 10% = 2178,15 kg/m3 ,campuran 15% = 2115,56 kg/m3. 4. Ban yang dicampur pada agregat kasar pada beton tidak bisa digunakan sebagai beton 5. struktural, karena kuat tekan yang terlalu rendah. Campuran Beton dengan penambahan ban bekas, ternyata kurang cocok untuk menaikkan mutu beton, sehingga perlu diteliti lagi manfaat lain dari campuran ini, kemungkinan alternatif lainnya, misalnya untuk perkerasan Jalan Raya (rigid pavement). DAFTAR PUSTAKA Anonim.1990. SKSNI T-15-1990-01. -03 Bandung. Yayasan LPBM Bandung Djedjen, Achmad. Drs. ST. MSi, 2008. Jobsheet Pengujian Bahan II. Depok : Politeknik Negeri Jakarta. Eva Zahra Lativa. 2003. Teknologi Bahan II, Depok. Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Jakarta Michele L. Poureiau, 2006, Web,http://www.suara merdeka.com Muhtarom Riyadi dan Amalia.2005.Teknologi Bahan I, Depok. 95 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 Susilowati, Anni. ST, 2003. Jobsheet Laboratorium Uji Bahan. Pemanfaatan Limbah Ban Bekas Sebagai Pengganti Agregat Pada Pembuatan Beton Tanpa Proses Pemadatan Depok : Politeknik Negeri Jakarta. Tjokrodimuljo Kardiyono.2007.Teknologi Beton,Yogyakarta.Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. 96 | K o n s t r u k s i a EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH (Suwandi - Tanjung) EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH PADA TANAH BERKOHESI RENDAH TERHADAP PENAMBAHAN SOLDIER PILE Oleh, Gilang Aditya Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta email: ap_gilang@yahoo.co.id Tanjung Rahayu DosenTeknik Sipil Universitas Muhammadiyah Jakarta email: tanjungrahayu@yahoo.com ABSTRAK : Karna letaknya dibawah tanah maka dalam perencanaannya dinding basement ada yang di desain untuk menahan tanah dan ada juga yang tidak didesain untuk menahan tanah. Evaluasi yang dilakukan disini adalah membandingkan pengaruh dinding basement sebagai dinding penahan tanah sebelum menggunakan tiang soldier pile terhadap dinding basement setelah menggunakan tiang soldier pile sebagai dinding penahan tanah. Perhitungan yang digunakan didasarkan pada rumusan konvensional dan tidak dilakukan simulasi dengan software komputer. Pada tahap awal, dihitung stabilitas global dan lokal menggunakan metode irisan Fellenius, teori Coulomb dan teori Rankine untuk dinding basement sebelum menggunakan tiang soldier pile yang selanjutnya dianalisa kekuatan dinding basement hingga didapatkan volume beton dan tulangan tanpa tiang soldier pile. Tahap selanjutnya melakukan analisa kesetimbangan menggunakan metode Burland, et.al pada dinding basementdengan tiang soldier pile sebagai dinding penahan tanah untuk kemudian dihitung volume beton dan tulangan kondisi tersebut. Terakhir dilakukan komparasi volume beton dan tulangan antara dinding basement sebelum dan setelah menggunakan tiang soldier pile hingga didapat reduksi volume beton 61,10 % dan volume tulangan 58,56 % lebih sedikit dibandingkan dinding basement dengan soldier pile. Kata kunci : Dinding basement, soldier pile. ABSTRACT: It is in the ground and in planning the wall is designed to withstand any land and there is not designed to hold land.The evaluation is done to compare the impact of this basement wall as a retaining wall ground before using a soldier piles against the wall after using the ground soldier pile as a retaining wall.Of calculations used based on the formulation conventional and not done the simulation by computer softwareThe initial stages calculated global stability and local uses the method a wedge fellenius, the theory and the theory of coulomb rankine for the walls of the basement prior to the use the mast soldier pile which later were analysed the power of the walls of the basement until obtained the volume of concrete and tulangan without a pole soldier pile.The next stage of equilibrium do analysis in a burland , et.al basementdengan on the wall a mast soldier pile as a retaining wall ground to then calculated the volume of concrete and tulangan this condition .Last done komparasi the volume of concrete and tulangan between walls basement before and after using a mast soldier pile until they reached the reduction of the volume of concrete 61,10 % and volume tulangan 58,56 % to be lower than the walls of the basement with soldier pile . ` Keywords: Basement wall, soldier pile 97 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 PENDAHULUAN d. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan tiang soldier pile terhadap volume beton bertulang Latar belakang Berdasarkan PERDA DKI Jakarta No.7-2010 Pembatasan masalah BAB 5 Paragraf 3 Pasal 42 bahwa “setiap gedung harus menyediakan lahan parkir” a. Perhitungan tidak menggunakan hal tersebut yang membuat pengadaan program struktur tetapi dihitung lahan parkir menjadi wajib. Oleh sebab itu secara manual pembuatan Basement menjadi salah satu b. Basement yang dianalisa hanya basement satu lantai solusi dengan terbatasnya lahan terutama dikota besar. Karna letaknya dibawah tanah c. Stabilitas global diperhitungkan maka d. Stabilitas lokal diperhitungkan dalam perencanaannya basement ada yang di dinding desain untuk e. Soil investigation merupakan data sekunder menahan tanah dan ada juga yang tidak didesain untuk menahan tanah. Jika dinding f. perlu dibuatkan penahan tanah konstruksi dinding struktural permanen. Pemilihan yang digunakan mempertimbangkan banyak aspek dan teori Coulomb h. Dengan i. 98 | K o n s t r u k s i a tanah dan stabilitas global menggunakan metode irisan Fellenius Metode analisis yang digunakan adalah dengan metode penyelesaian Tujuan penelitian c. Untuk mengetahui keadaan struktur dinding basement jika tidak menggunakan tiang soldier pile tekanan menggunakan teori Rankine j. b. Untuk mengetahui pengaruh dinding basement sebelum menggunakan tiang soldier pile bertulang g. Untuk stabilitas lokal menggunakan dipilih yang paling efisien. a. Untukmengetahui pengaruh penggunaan tiang soldier pile sebagai dinding penahan tanah terhadap dinding basement beton diperhitungkan tersebut tidak didesain untuk menahan tanah maka dalam pelaksanaan biasanya Volume masalah (data primer dan data sekunder) dan metode pengumpulan data (Kepustakaan) k. Tekanan air diperhitungkan tanah yang adalah dalam kondisi muka air banjir l. Tidak meninjau metode kerja EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH (Suwandi - Tanjung) DASAR TEORI Macam – macam Dinding Pendahuluan Tanah Asal mula dibuatnya konstruksi dinding Jenis – jenis dinding penahan tanah penahan tanah adalah akibat bertambah beraneka luasnya kebutuhan konstruksi penahan keadaan lapangan dan aplikasi yang akan yang digunakan untuk mencegah agar tidak digunakan. O’Rourke dan Jones (1990) terjadi kelongsoran menurut kemiringan mengklasifikasikan dinding penahan tanah alaminya. Sebagian besar bentuk dinding menjadi penahan tanah adalah tegak (vertikal) atau stabilisasi eksternal dan sistem stabilisasi hampir internal tegak kecuali pada keadaan ragam, dua serta Penahan disesuaikan kategori sistem tertentu yang dinding penahan tanah merupakan dibuat condong kearah urugan. tersebut (lihat gambar 1) kombinasi dengan yaitu sistem hybrid kedua yang metode Definisi dinding penahan tanah Menurut beberapa sumber terkait dinding penahan tanah memiliki beberapa definisi dengan pendekatan yang berbeda – beda diantaranya : Dinding penahan tanah adalah struktur yang didesain untuk menjaga dan mempertahankan dua muka elevasi tanah yang berbeda. (Donald P.Coduto, Gambar1. Klasifikasi Dinding Penahan 2001) Tanah Dinding penahan tanah adalah suatu konstruksi penahan agar tanah tidak Angka longsor. (Zainal N, ING.HTL dan Ir.Sri Tanah Keamanan Dinding Penahan Respati N, 1995) Dinding penahan tanah adalah sebuah a. Sebelum Ditambah Tiang Soldier dinding yang dibangun untuk menahan Pile tanah yang akan runtuh. (Laurence D. Stabilitas Lokal Wesley,2010) Kekuatan dan kestabilan struktur dinding basement sebelum 99 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 ditambahkan tiang soldier pile harus Stabilitas Global ditinjau terhadap faktor keamanan Stabilitas global lebih ditujukan yang dalam hal ini menggunakan untuk stabilitas tanah terhadap teori Coulomb untuk kestabilan keruntuhan jangka panjang atau lokal / kestabilan dinding itu sendiri jangka pendek tergantung fungsi terhadap gaya – gaya yang terjadi bangunan tersebut. untuk itu yang terdiri dari : kekuatan dan kestabilan struktur - Base sliding dinding Faktor keamanan untuk base ditambahkan tiang soldier pile sliding yang diizinkan yaitu juga harus lebih dari 1,5. Faktor faktor keamanan jangka panjang untuk lereng base sliding diperoleh dari : FK - paling over turning nilai harus Bearing capacity failure FK untuk Bearingcapacity failure yang diizinkan yaitu harus lebih dari 3,0. Faktor keamanan diperoleh dari : qult 3, 0 qmaks yang menahan keruntuhan jangka panjang, M M penahan penyebab capacity karena dinding didesain lereng dengan keamanan sebagai berikut : Mt FK 1, 5 Mg keamanan kecil pendekatan rumus untuk faktor diperoleh dari : 100 | K o n s t r u k s i a dengan basement harus lebih dari 1,5. Faktor FK keruntuhan mendekati 1,0 atau dicari yang turning yang diizinkan yaitu Bearing keamanan Fellenius Over turning Faktor ditinjau terhadap menggunakan metode irisan dari Faktor keamanan untuk over - harus sebelum terbatas yang dalam hal ini (W Pav). tan 1, 5 Pah keamanan basement failure . 1,0 W. x c.b.sec (W u)cos.tan 1,0 W sin h1 h2 .b. sub hw. w cos .tan 2 1,0 h 1 h 2 2 .b. sin c.b.sec EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH (Suwandi - Tanjung) b. Setelah Ditambah Tiang Soldier Komparasi Volume Beton Bertulang Pile a. Stabilitas Lokal Perhitungan dimensi beton bertulang Kekuatan dan kestabilan struktur dinding basement ditinjau terhadap kapasitas tulangan setelah terpasang ditambahkan tiang soldier pile pendekatan keamanan yang dalam hal ini soldier menggunakan - Sehingga horizontal - = 0,8 sebagai berikut: - FaktorKeamanan Burland,etal untukkesetimbangan Tiangsoldierpile As Dimana, d h selimut beton - nilai deflection yang terjadi dan harus terpenuhi dengan menggunakan perhitungan unit load sebagai berikut: 0 L Mu dx EI . Mnada Fy 0,9 d 2,0 Jika tidak setimbang, maka perlu dipertimbangkan Perhitungan momen Nominal Ada pada dinding basement . PaLa . 0 M PpLp Pa1 La1 Pa2 La2 - PaH=Total Tekanan Tanah aktif komponen Horizontal - L = Jarak resultan gaya komponen – gaya yang terjadi dengan PpnLpn Mu dimana: langsung ditinjau terhadap gaya FK Perhitungan momen Nominal Mn perlu pengaruh terhadap dinding basement dapat rumus lentur Mu PaH . L yang penggunaan tiang soldier pile pendekatan terhadap Perlu pada dinding basement dan metode unit load untuk terjaadi. setelah tentang beton bertulang yaitu : metode deflection dan maksimum sesuai SNI 03-2847-2002 pile kesetimbangan dari Burland,et al mengetahui dinding ditambahkan tiang soldier pile dengan harus ditinjau terhadap faktor tiang pada basementsebelum sebagai turap beton permanen untuk Dimensi Beton Bertulang Perhitungan kapasitas dinding basement dinyatakan aman jika: Mnada Mn perlu b. Volume Beton Bertulang Volume beton bertulang dihitung secara langsung terhadap pengaruh 101 | K o n s t r u k s i a D 2 Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 dinding basement sebelum dan Analisa Terhadap Stabilitas Lokal setelah ditambah tiang soldier pile dengan rumus berikut : 1 Pa .H2.Ka 2.c. H Ka 2 Volume beton Panjang x Lebar xTinggi 1 Pw w .H2 2 Berat Tulangan Luas tulangan x BJ Besi x Panjang Tulangan 0, 25 D 2 x 78,5 Kg / cm2 x L Pq q.HKa . 1 Ppw w .H2 2 DATA DAN ANALISA 1 Pp .H 2.Kp 2.c. H Kp 2 Perhitungan Struktur Dinding Basement Perhitungan dilakukan pada kondisi dinding basement sebelum menggunakan Gambar 2 Tekanan tanah aktif dan pasif tiang soldier pile. Dengan pendekatan a. perhitungan sebagai berikut : a. Analisa Terhadap Stabilitas Global Berdasarkan metode Fellenius untuk kasus ini lingkaran gelincir dibagi menjadi sepuluh segmen dan lereng tersebut merupakan lereng Mencari tekanan tanah.(Teori Rankine) Didapat : Tekanan tanah aktif total = 19,306 t/m ; bekerja pada jarak = 2,308 m Tekanan tanah pasif total= 2,46 t/m ; bekerja pada jarak = 0,167 m b. Kontrol stabilitas dinding basement. (Teori Coulomb) Kontrol terhadap geser jangka panjang maka digunakan FK rumus untuk Faktor Keamanan (FK) syarat : yaitu FK M M penahan penyebab . W.x W PaV tan c.B PpH RPH 1 RPH 2 1,5 PaH 1,0 Dari tabel didapat : FK (a b) c.b.sec (W u)cos .tan 1,0 c W sin FK 22,25 (20,55) 3,50 12,24 ............... Ok lebihdari 1 Sesuai perhitungan tersebut didapat area yg terpengaruh keruntuhan dengan jarak tiitik gelincir berada di “5,520 meter dari tepi pinggir lereng (titik O) ”. 102 | K o n s t r u k s i a Gambar 3. Geseran disebabkan gaya PaH Maka didapat: EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH (Suwandi - Tanjung) FK = 2,136 > 1,5(aman / tidak bergeser) Kontrol terhadap guling Maka didapat : FK = 4,187 > 3,0(aman / mendukung) c. Cek kekuatan struktur dinding basement. (SNI 03-2847-2002) Hitung momen nominal perlu Mn perlu Mu Coba digunakan : 2 D10-150 ; Dengan T=300 mm Cek momen nominal ada Gambar 4 Terguling disebabkan gaya PaH As Mnada Fy 0, 9 d Syarat : M tahanan M T 1 M T 2 Mnada Mn perlu M tahanan 21, 613 10,373 M tahanan 31,99 ton Dimana, MTP 1 16, 7 t.m ; MTP 2 16, 7 t.m M MTP 1 MTP 2 FK tahanan 1,5 M guling FK 31,99 ton MTP1 MTP 2 31,99 16,7 16,7 PaH x lengan 19,306 x1,810 65,39 34,94 FK 1,87 1,5...........(tidak guling / "OK ") FK Maka didapat : Mnada Mn perlu 94,509 ton. m 55, 75 ton. m ......( Aman) Analisis dinding basement menggunakan tiang soldier pile setelah Perhitungan dilakukan terhadap pengaruh kondisi dinding basement setelah menggunakan tiang soldier pile. Dengan pendekatan perhitungan kesetimbangan Kontrol terhadap daya dukung syarat : q FK ultimate 3, 0 qmaks titik momen menurut Burland, et al sebagai berikut : a. Cek kesetimbangan tiang soldier pile Mencari tekanan tanah. (TEORI RANKINE) 1 Pw w .H2 2 1 Pa .H2.Ka 2.c. H Ka 2 Pq q.H.Ka 1 Ppw w .H2 2 1 Pp .H 2.Kp 2.c. H Kp 2 103 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1| Desember 2014 Gambar 5 Pemodelan struktur soldier Maka : pileakibat gaya yang terjadi M 43, 45 x1, 6 67, 72 x3, 79 M 187,139 ton ....(tidak setimbang ) Didapat : - Tekanan tanah aktif total = 67,716 b. Cek deflection pada tiang soldier pile Pada kondisi t/m ; pada jarak = 3,79 m - Tekanan tanah pasif total = 43,45 t/m ; Pada jarak = 1,6 m M 187,139 ton maka tiang soldier pile mengalami deflection atau pergeseran. Untuk itu perlu ditinjau seberapa jauh deflection yang terjadi pada Cek kesetimbangan momen pada tiang soldier pile tiang soldier pile dengan metode unit load adalah sebagai berikut : S ya ra t : M M 0 P p .L p P a .L a Gambar 4.17 Deflection pada tiang soldier pile Gambar 6. Titik tangkap tekanan aktif horizontal tiang soldier pile Mencari tekanan pada tiang bebas. (Teori Rankine) Cek deflection yang terjadi. (metode unit load) Didapat : Dari gaya yang terjadi tersebut dapat dihitung deflection yang terjadi yaitu - Tekanan tanah aktif total = 15,82 t/m - Pada jarak = 2,13 meter 104 | K o n s t r u k s i a EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH (Suwandi - Tanjung) 0 L Mu dx EI 0 L PaH '.x x dx E .I L 2 0 L Dinding basement dinyatakan aman dan dapat digunakan sebagai dinding penahan tanah karena memiliki nilai kestabilan lokal yang disyaratkan Coulomb. PaH '. x3 PaH '. x E.I 3 E .I 0 PaH '. L3 3 E .I dimana, Deflection pada tiang soldier pile E 4700 f ' c 25310 Mpa 2531000 t/m Berdasarkan metode unit load terjadi deflection 3,0 cm tetapi masih diizinkan. h 4 0,34 0, 00067 12 12 15,82 x 2,133 0, 030 m 3, 0 cm 3 x 2531000 x 0, 00067 I= bergeser 3, 0 cm 0,5 x 900 cm 100 Syarat 4,5 cm 3, 0 cm .........(masih aman) Syarat 0,5% x H Komparasi volume beton bertulang Volume beton bertulang pada dinding basement sebelum dan setelah ditambahkan tiang soldier pile dilakukan perbandingan sehingga didapatkan kesimpulan pengaruh terhadap volume dinding basement sebelum ditambahkan tiang soldier pile adalah sebagai berikut : Reduksi volume beton bertulang Tanpa penggunaan tiang soldier pile mampu mereduksi beton 61,10% dan tulangan 58,56% Daftar Pustaka Donald P.Conduto, 2001.”Foundation Design”. Pomona, California State Polytechnic University. Zainal N, ING.HTL dan Ir.Sri Respati N, 1995.”Pondasi”. Depok, Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Jakarta. Laurence D. Wesley,2010.”Mekanika Tanah Untuk Tanah Endapan dan Residu”. Yogyakarta, Penerbit Andi. R.F.Craig dan Budi Susilo, 1987.”Mekanika Tanah”. Depok, Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Tanjung Rahayu Raswitaningrum, Ir, MT, 2013.”Dinding Penahan Tanah”. Jakarta, Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta. A. Kesimpulan SNI 03-2847-2002,”Beton Bertulang”. Stabilitas global dinding Chu Kia Wang, Ph.D, 1983.”Statically Indeterminate Structure”. Surabaya, yustadi book series. Dinding basement dinyatakan aman dan dapat digunakan sebagai dinding penahan tanah karena memiliki nilai kestabilan global yang disyaratkan Fellenius. Stabilitas lokal dinding 105 | K o n s t r u k s i a Jurnal Konstruksia | Volume 6 Nomer 1 | Desember 2014 ISSN 2086-7352 JURNAL KONSTRUKSIA Kriteria Penulisan 1. Jurnal KONSTRUKSIA. Menerima naskah ilmiah dari ilmuwan/akademisi dan praktisi bidang teknik atau yang terkait, bias berupa hasil penelitian,studi kasus, pembahasan teori dan resensi buku, serta inovasi-inovasi baru yang belumpernah dipublikasikan. 2. Jurnal KONSTRUKSIA terbit berkala tiap semester, pada bulan Juni dan Desember. 3. Naskah ilmiah hendaknya ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baik dan benar. Penulis setuju mengalihkan hak ciptanya ke Redaksi Jurnal KONSTRUKSIA Teknik Sipil UMJ, jika dan pada saat naskah diterima dan diterbitkan. 4. Naskah tidak akan dimuat, jika mengandung unsur SARA, politik, komersial, Subyektifitas yang berlebihan, penonjolan seseorang yang bersifat memuji ataupun merendahkan. 5. Naskah/tulisan hendaknya lengkap memuat : a. Judul b. Nama Penulis (tanpa gelar) dan alamat email c. Nama Lembaga atau institusi tempat penulis beraktifitas d. Abstrak dan kata kunci dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, panjang abstrak tidak lebih dari 200 kata e. Isi Naskah (pembahasan), penutup (kesimpulan), daftar pustaka dan lampiran (jika ada) 6. Naskah /artikel diketik pada kertas HVS ukuran A4 dan dengan format margin kiri, kanan, atas dan bawah 30 mm, serta harus diketik dengan jenis huruf Arial dengan font 10 pt (kecuali judul), satu spasi. Judul ditulis miring (italic), jumlah halaman 7-10. 7. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk print out atau soft copy (CD) atau email ke redaksi@konstruksia.org. Alamat redaksi : Jurnal KONSTRUKSIA TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA Jl. Cempaka Putih tengah 27 – Jakarta Pusat. Telp. 42882505, Fax. 42882505 Website: konstruksia.umj.ac.id Email: redaksi@konstruksia.umj.ac.id ISSN 2086 - 7352