Si Teruna Tua
Transcription
Si Teruna Tua
C E R I T A R A K Y A T INDONESIA Si Teruna Tua Penyunting : Drs. Y.B. SUPARLAN P E N E R B I T KANISIUS Si Teruna Tua 026700 © Kanisius 1994 PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281 Telepoh (0274) 588783, Teleks 25243, Fax (0274) 563349 Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011 Cetakanke 10 Tahun 99 9 8 98 7 97 6 5 96 4 3 95 2 1 94 Ilustrasi: Laksmi Adinegoro ISBN 979-497-190-1 Hak Cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta KATA PENGANTAR Beribu-ribu cerita rakyat daerah (cerada) dapat diangkat menjadi cerita rakyat Indonesia (cerindo). Namun belum banyak cerindo yang sudah digali, diteliti, dan dipublikasikan. Ribuan cerindo itu sungguh merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia, karena dari antara cerindo itu ada yang menjadi puncak-puncak kebudayaan daerah. Cerita rakyat adalah bentuk penuturan yang pada dasarnya tersebar secara lisan dan diwariskan turun-temurun di kalangan masyarakat atau penduduk secara tradisional. Cerita rakyat meliputi mite, legenda, fabel. Yang dimaksudkan dengan cerita rakyat Indonesia (cerindo) ini adalah cerita rakyat yang dinilai masih berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sekitarnya, yang bermanfaat bagi pembinaan kepribadian bangsa Indonesia. Cerindo yang diterbitkan secara seri ini, bersumber pada cerita rakyat daerah (cerada) yang sudah diteliti oleh Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil penelitian tersebut diolah lagi dengan tujuan agar dapat digunakan sebagai bahan bacaan untuk murid Sekolah Dasar maupun para siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama. Oleh karena itu, cerindo ini disajikan secara sederhana dalam susunan kalimat dan pemilihan katanya, sehingga mudah dipahami oleh anak-anak yang sedang mengikuti pendidikan di SD maupun SMP. Hiasan gambar juga diberikan agar dapat menarik minat baca anak-anak. Mengenai pemilihan isi cerindo ini, diusahakan agar dapat menumbuhkan perasaan dan sikap hidup sesuai dengan nilai-nilai susila dan sosial yang tercakup dalam 36 butir P4. Pemilihan isi cerindo selaras dengan kebijaksa3 naan Departemen Sosial yang tertuang dalam SK Menteri Sosial No. 7Ó/HUK/KEP/II/1984 tertanggal 3 Februari 1984 tentang Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial, terutama yang berkaitan dengan Lampiran A7 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Keluarga. Buku seri 1 yang memuat cerada dari empat propinsi: Daerah Istimewa Aceh, Sumatra Selatan, Bali, dan Jawa Tengah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bacaan bagi siswa-siswa Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama serta para orangtua, dan para guru di kelas. Pada kesempatan ini, saya sampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilainilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah meminjamkan sebagian dari pustakanya dalam rangka penyusunan cerindo ini. Saya juga berterima kasih kepada S. Pardiman, yang telah banyak membantu mempersiapkan naskah ini hingga siap cetak. Segala saran dan sumbangan pikiran untuk meningkatkan mutu penyajian cerindo ini kami terima dengan senang hati. Yogyakarta, 21 April 1994 Drs. Y . B . Suparlan Penyunting 4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 3 DAFTAR ISI 5 1. 2. 3. 4. Anak Kerbau yang Durhaka (Cerita Rakyat Daerah Daerah Istimewa Aceh) 7 Bujang Bekurung dan Burung Garuda (Cerita Rakyat Daerah Sumatra Selatan) 23 K i Ageng Pandanaran Ulama Besar di Jawa Tengah (Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah) 40 Si Teruna Tua (Cerita Rakyat Daerah Bali) 54 PUSTAKA A C U A N 67 5 1 Cerita Rakyat Daerah Daerah Istimewa Aceh ANAK KERBAU YANG DURHAKA Dahulu kala, ada sebuah kerajaan yang diperintah óleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Rakyat di kerajaan itu hidup tenang, tenteram, "dan damai. Raja sangat gemar berburu. Hampir setiap ada waktu luang, beliau pergi berburu dikawal hulubalang dan para pembantunya. Beliau selalu membawa makanan dan minuman sebagai bekal selama beberapa hari. Pada suatu hari, raja berburu ke tengah hutan. Perjalanan sudah cukup jauh, raja mulai merasa letih, padahal belum mendapatkan binatang buruan seekor pun. Dipandangnya hulubalang dan para pembantunya. Mereka pun tampak letih. Raja kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak di hutan itu. "Marilah kita berhenti sebentar untuk meiepas lelah sambil makan bekal yang kita bawa ini," kata raja dengan suara rendah. Kemudian mereka asyik menikmati bekal yang mereka bawa. Setelah cukup beristirahat, raja memerintah pembantunya, "Pergilah kalian, carilah sumber air. Biasanya, binatang berada di sekitar situ." "Baiklah Baginda. Kami akan mencarinya," salah seorang pembantu menjawab dengan hormat. Tiga orang pembantu itu pergi mencari sumber air. Mereka berjalan terus, menembus hutan. Tiba-tiba, dari kejauhan mereka mendengar suara yang mengiba-iba. 7 Suara itu ternyata datang dari s'eekor kerbau yang berdiri di depan pintu gua. Ia memanggil anaknya agar membukakan pintu gua. Pembantu raja itu heran mendengar dan melihat cara kerbau itu memanggil anaknya agar membukakan pintu penutup gua. Kerbau itu berdendang merdu. "Putri Upang, Putri Duano, Putri Parino, Putri Bungsu buah hati. Bukalah pintu, bukalah sayang, Bunda sudah pulang membawa makanan." "Kalau benar Bunda kami yang pulang, ketukkanlah tanduk di pintu," jawab suara dari dalam gua. Kerbau itu mengetuk pintu dengan tanduknya, "gedum, gedum, gedum." "Ini memang benar. Ibu kita pulang," kata suara dari dalam gua. Mereka tampak riang gembira. Dibukanya pintu gua lebar-lebar dan masuklah kerbau, ibu mereka. D i dalam gua mereka berebut makanan yang dibawa oleh ibunya. Tiga orang pembantu raja itu tercengang. Mereka belum pernah melihat peristiwa semacam itu. "Aduh, cantik-cantik benar gadis-gadis itu," kata seorang pembantu sambil bergeleng kepala. Mereka tidak menyangka, ada kerbau mempunyai anak manusia. Sebentar kemudian, kerbau berpamitan. Dengan suara parau, ia berpesan kepada anak-anaknya. "Aku akan pergi. Bila ada orang yang mengetuk pintu, janganlah kaubuka. Dengarlah baik-baik," demikian kata kerbau kepada anak-anaknya. Kerbau kemudian pergi. Pintu gua ditutup lagi oleh anak-anaknya. Seluruh kejadian ini diamati oleh ketiga pembantu raja itu. Kemudian mereka kembali untuk melaporkan apa yang mereka lihat, kepada raja. Tidak satu peristiwa pun yang lupa dilaporkan. 8 Di dalam gua, mereka berebut makanan yang dibawa oleh ibunya. "O, Baginda, tadi di sana kami melihat seekor kerbau besar. Ia mempunyai empat anak gadis, cantik-cantik. Mereka tinggal dalam gua." Pada mulanya raja tak peduli dengan laporan itu tetapi akhirnya tertarik juga dan memerintahkan. "Ya, sekarang juga kalian pergi ke sana. Ambillah gadis-gadis itu. Bawalah mereka kemari. Terserah, bagaimana caranya." Para pembantu itu kemudian pergi, kembali menuju gua. Dalam perjalanan, mereka memikirkan cara terbaik untuk mengambil anak-anak kerbau itu. Mereka kemudian berunding. "Nanti, jika mungkin, akan kuambil seorang," kata pembantu yang berjalan paling depan. "Saya pun demikian", jawab teman di belakangnya. "Tak usah banyak bicara dulu. Jika nanti dapat, terserahlah mau bagaimana," kata yang berada di paling belakang. 9 "Kalau memang demikian, ayo kita berjalan terus," sahut yang di depan kemudian. Akhirnya, sampailah mereka di gua yang dituju. Tetapi kerbau datang lebih dulu. Oleh karena itu, mereka bersembunyi di balik semak-semak. Mereka ingin mengamati lebih cermat lagi cara kerbau itu memanggil anak-anaknya. Kerbau itu mulai berdendang memanggil anaknya. "Putri Upang, Putri Duano, Putri Parino, Putri Bungsu buah hati. Bukalah pintu, bukalah sayang, Bunda sudah pulang membawa makanan." "Kalau benar Bunda kami yang pulang, ketukkanlah tanduk di pintu," jawab suara dari dalam gua. "Gedum, gedum, gedum," bunyi tanduk kerbau diketukkan di pintu gua. "O, ... rupanya, begitu cara mengatakannya," kata salah seorang pembantu raja dengan girang. "O, ya, betul. Sudah mengerti aku. A k u dapat menirukannya. Nanti akan kucoba setelah kerbau itu pergi," ungkap yang lain. Lalu dilihatnya kerbau itu masuk gua. Anak-anak kerbau mulai menikmati makanan yang dibawa ibunya. Ternyata, selain makanan, ibu itu juga membawa baju dan kain untuk anak-anaknya. "Hai! Bagus-bagus sekali, Bu!" kata seorang anak dengan gembira melihat baju dan kain yang dibawa ibunya. Anak itu lalu berdiri dan mencobanya. Setelah melihat anak-anaknya bergembira, kerbau itu hendak pergi lagi untuk mencari makan. Ia berpesan kepada anak-anaknya. "Baik-baiklah, engkau anak-anakku. Berhati-hatilah apabila ada orang datang." "Baik, Bu," jawab anak-anak itu serentak. 10 Setelah kerbau pergi, pembantu-pembantu raja mulai tidak tenang dan tidak sabar. Mereka ingin cepat-cepat mengambil anak-anak itu dan membawanya ke hadapan raja. Setelah kerbau itu tidak tampak lagi, para pembantu raja mulai mendekati gua. Seorang dari mereka mulai berdendang. "Putri Upang, Putri Duano, Putri Parino, Putri Bungsu buah hati. Bukalah pintu, bukalah sayang, Bunda sudah pulang membawa makanan." "Hai, ibu kita telah pulang lagi," teriak kegirangan anak kedua. "Bukan," sahut si Bungsu. "Bukan, itu bukan ibu kita," sambungnya dengan tegas. "Betul, itu ibu kita," bantah anak nomor tiga, tidak mau kalah. "Itu bukan ibu kita. Tetapi kalau kalian tidak percaya, bukalah," kata si Bungsu memperingatkan kakak-kakaknya. "Itu bukan ibu kita, menurut perasaanku," si Bungsu mengulangi peringatannya. Akhirnya, kakak-kakaknya lebih yakin bahwa orang yang mengetuk pintu adalah ibunya. Sebelum membuka pintu, salah satu kakaknya bertanya dari dalam gua. "Kalau benar Bunda kami yang pulang, ketukkanlah tanduk di pintu," teriaknya. Pembantu raja itu mengetukkan tongkat ke pintu gua. Maka terdengarlah suara "dum, dum, dum," sampai beberapa kali. Dibukalah pintu gua. Anak-anak kerbau itu terkejut. Ternyata, bukan ibu mereka yang datang. Beberapa orang asing cepat-cepat masuk ke dalam gua. Anakanak ketakutan sehingga wajah mereka pucat pasi. "Jangan takut! Kamu semua tidak akan kami ganggu. Kami orang baik-baik. Sekarang begini, ayolah kita pergi 11 ke suatu tempat. D i sana seorang raja telah menantikan kalian," pembantu itu memberi penjelasan kepada putriputri itu sambil menunjuk arah tempat raja berada. "O, tidak, tidak mau! Bagaimana nanti, bila Bunda kami pulang?!" seru gadis-gadis itu. "Ayolah! Untuk apa kalian di sini. Lebih baik kita bersama raja di sana!" Anak pertama, kedua, ketiga, semuanya setuju untuk pergi meninggalkan gua. Tetapi si Bungsu menangis terus. Ia tidak mau pergi. Karena dibujuk terus-menerus oleh kakak-kakaknya, akhirnya ia mau juga. Ditutupnya pintu gua, lalu mereka pergi menghadap raja. Putri-putri itu kemudian diserahkan kepada raja. Raja amat senang menerimanya, karena mereka adalah putriputri yang cantik. Mereka akan dibawa ke istana. Segera raja beserta rombongan, termasuk para putri itu pulang ke istana. Mereka tiba di istana yang amat indah dan megah. Putri-putri itu amat senang hatinya, karena kini mereka tidak lagi hidup di hutan. Sang raja menyampaikan rasa terima kasih kepada para pembantunya yang telah berhasil membawa putriputri itu dari dalam gua. Masing-masing pembantu dihadiahi salah seorang dari putri itu. "Kalian sudah bersusah payah membujuk mereka agar mau diajak ke istana. Sekarang, ambilah seorang, yang kamu sukai, dari antara mereka bertiga ini," kata raja kepada pesuruhnya. "Tetapi, yang bungsu tinggalkanlah untukku," kata raja melanjutkannya. Para pembantu raja sangat senang, karena masingmasing mendapatkan seorang gadis cantik. Mereka lalu berembug untuk memilih putri yang cocok bagi diri masing-masing. 12 Setelah putri-putri itu dibawa ke istana, kerbau pulang ke gua. Legalah hati si ibu melihat gua masih tertutup. Segera dipanggilnya anak-anaknya, dengan berdendang merdu. "Putri Upang, Putri Duano, Putri Parino, Putri Bungsu buah hati. Bukalah pintu, bukalah, sayang, Bunda telah pulang membawa makanan." Tidak ada jawaban dari dalam gua. Dia menanti sejenak, tetapi tidak ada suara dari dalam gua. Diulanginya berdendang. Tidak ada jawaban. Mulailah hatinya gusar. "Hai, ke manakah mereka?" katanya dalam hati. Sekali lagi ia berdendang. "Putri Upang, Putri Duano, Putri Parino, Putri Bungsu buah hati. Bukalah pintu, bukalah, sayang, Bunda telah pulang membawa makanan." Tetap tidak ada jawaban. "Hai, ke manakah anak-anakku pergi?" katanya. "Bukankah, sudah kupesan, jangan mudah terpedaya. Kiranya, anak-anak ini terpedaya," ia berkata kepada diri sendiri. Si kerbau tidak sabar lagi menanti jawaban. Diterjangnya pintu gua dengan sekuat tenaga. "Bum." Sekali terjang, terbukalah pintu. Dengan terengah-engah ia masuk ke gua. Tetapi tak seorang pun anaknya tampak. Sedih hatinya mengingat anak-anaknya. Lemaslah tubuhnya bagaikan tidak bertulang lagi. Ia menangis memanggil-manggil anaknya. Setelah hatinya tenang, tenaganya pulih kembali, kerbau itu mencari ke seluruh pelosok gua, di halaman, dan juga di luar gua. Tetapi tidak seorang pun anaknya kelihatan atau menyahut suara ibunya. Kemudian, ia berjalan terus, hingga pada suatu hari tiba di pinggir kota. 13 Setelah beristirahat sebentar, ia meneruskan perjalanan, dan sampailah di sebuah kampung. Ia melihat seorang perempuan sedang menjemur padi sambil bernyanyi. Kerbau sudah mengenal suara perempuan itu. Ia menduga bahwa perempuan penjemur padi itu adalah anaknya. Kebetulan, perempuan itu melihat ketika kerbau datang menghampirinya. Perempuan itu pun teringat pada kerbau yang telah mengasuhnya di dalam gua. Ia menduga kerbau yang datang itu adalah ibunya. "Oh... kurasa kerbau itu ibuku. Tetapi, bagaimana sekarang aku bisa menyebutnya Ibu. A k u malu. A k u manusia, sedangkan ia kerbau," katanya dalam hati. "Suamiku pun seorang pembantu raja. Kalau begitu, akan kuusir saja kerbau itu," pikirnya lebih lanjut. Perempuan itu pergi mengambil sebatang kayu. Ia berteriak menghalau kerbau. "Ayo pergi! Enak saja, menginjak-injak padi," bentaknya. Kerbau itu tahu bahwa si penjemur padi adalah anaknya. "Engkau, anakku," katanya. Penjemur padi itu merasa malu mengakui bahwa kerbau itu adalah ibunya. Sehingga terlontarlah kata-kata kasar itu. Dipukulnya kaki kerbau itu, hingga kaki belakang sebelah kanan patah. Maka pergilah kerbau itu. "Aduhai, anakku. Sampai hati benar engkau memukul aku," kata kerbau itu sambil mengerang kesakitan. Dengan hati sedih si ibu pergi dan berjalan terus. Sampailah ia di suatu kerumunan orang yang sedang menumbuk padi. Dalam kerumunan orang itu ia melihat salah seorang perempuan yang mirip anaknya sedang menumbuk padi. Sekali lagi, ia merasa bahwa dialah anaknya. "Itu, yang menumbuk padi itu anakku," katanya dalam hati. Kerumunan orang perempuan melihat ada kerbau datang. Salah seorang istri pembantu raja melihat juga. Ia berpikir, 14 "Ini pasti ibuku, yang mengasuhku ketika aku hidup dalam gua. Aku malu mengakuinya. Karena kini aku adalah seorang istri pembantu istana. Mana mungkin, manusia mempunyai ibu seekor kerbau. Aku malu kepada temanteman," demikian pikirnya. Ia menjadi tidak tenang lagi. Ia memberanikan diri mendekati kerbau itu. Dipukulnya kaki kerbau dengan alat penumbuk padi. Patahlah kaki belakang sebelah kiri. Dengan demikian kedua kaki belakang kerbau yang malang itu dipatahkan oleh anakanaknya sendiri. Si ibu meneruskan perjalanannya dengan menyeret kedua kakinya yang patah. Tibalah ia di sebuah rumah. Dari rumah itu tercium bau harum masakan. "Tentu, pemilik rumah ini baru memasak makanan yang lezat," pikirnya. "Barangkali, anakku yang memasak itu," khayalnya berkembang menghibur diri. Orang yang sedang memasak itu mendengar suara berisik di bawah, di belakang rumah. "O, ada kerbau sedang makan daun tebu," katanya pada diri sendiri. Saat itu juga, ia teringat, bahwa ia pernah diasuh oleh seekor kerbau. "Mungkin, kerbau itu ibuku. Dia sedang makan daun tebu," ia berkata dalam hati sambil mengintip di balik jendela. "Hai, kerbau itu ibuku," terlontarlah kata-kata itu. Tetapi ia malu mengakui bahwa kerbau itu ibunya. Cepat-cepat ia turun, menghalau kerbau dan memukulnya. "Apa ini, kerbau rakus. Keterlaluan, dimakannya daun tebuku!" Terlontarlah kata-katanya yang kasar, sambil memukuli kerbau itu. Dengan mencucurkan air mata, pergilah kerbau itu. Kini, tiga kakinya telah patah. Yang terakhir, adalah kaki depan sebelah kiri, patah dipukul oleh anaknya yang tengah memasak. Akhirnya, ia duduk beristirahat di belakang rumah Putri Bungsu, yang menjadi istri raja. Dilihatnya anaknya sedang memasak. 15 "Kiranya, inilah rumah anakku, si Bungsu," katanya dalam hati. "Apakah mungkin aku dapat bertemu dengan dia?" pikirnya. Karena kerbau itu tidak kuat lagi menahan sakit, ia mengerang-erang. Suaranya parau, dan menyayat hati. Benar, seorang perempuan cantik sedang memasak. Ia melihat kerbau mengerang, suaranya menyayat hati. Begitu ia melihat kerbau, ibunya yang telah dengan cintakasih mengasuhnya di gua. Ia lari mendekati kerbau itu. "O, Ibu, mengapakah Ibu jadi begini? Dari mana saja Ibu?" tanya perempuan cantik itu. "O, anakku, si Bungsu. Memang benar, aku ini ibumu," kata kerbau itu tersendat-sendat. "Aku sudah letih sekali mencari kalian. Namun tidak seorang pun kakak-kakakmu menyambut aku seperti yang kamu lakukan ini." Air mata yang semula berlinang-linang itu, kini mengucur deras. "Ibu, mengapa kaki Ibu luka dan patah?" "Inilah, akibat ulah kakak-kakakmu, Nak," katanya dengan nada sedih. "Mengapa mengapa mereka sampai hati berbuat sekejam itu, Bu?" Si ibu kemudian menceritakan pengalamannya dari awal hingga akhir. Ia bercerita ketika ia pulang ke gua, mencari-cari anaknya ke sana kemari. Juga tentang pertemuannya dengan kakak-kakak si Bungsu dengan sambutannya yang kurang terpuji. Ketiga anaknya telah memukul kakinya hingga patah. Selesai bercerita, kerbau itu kembali mengerang kesakitan. "Anakku," lanjutnya. "Ibu merasa, Ibu akan mati di sini," katanya di sela-sela tangis. Putri Bungsu tidak menjawabnya. Ia cepat-cepat pergi mengambil makanan untuk ibunya. 16 Kemudian, ditinggalkannya ibunya sendirian. Sementara itu pikirannya penuh pertanyaan, keragu-raguan, apa yang akan dikatakan di depan suaminya, sang Raja. Tidak lama kemudian, sang Raja pulang dari bepergian. Putri Bungsu telah selesai bersolek, dan menunggu kedatangan sang Raja, suaminya. "Istriku tercinta, apakah kamu sudah memasak untuk kita?" tanya Raja. "Sudah siap, Kakanda. Ayolah, kita makan bersama," sahut Putri Bungsu mantap. "Hai, mengapa matamu merah benar?" "O, tidak apa-apa. Terlalu banyak asap tadi. Kayu api agak basah," jawab Putri Bungsu berbohong. Mereka berdua kemudian makan. Keesokan harinya, Putri Bungsu teringat lagi akan nasib buruk ibunya. Ia menangis lagi. Walaupun begitu ia belum berani berkata terus terang kepada suaminya. Matanya merah dikatakan karena asap api. Pada waktu itu, sang Raja belum mengetahui bahwa seekor kerbau, ibu istrinya, ada di bawah. Akan tetapi, pada hari ketiga, Raja mulai curiga terhadap kata-kata istrinya. "Pasti ada hal yang disembunyikan oleh istriku, sehingga ia tidak mau berbicara terus terang," katanya dalam hati. "Jika demikian, aku akan menyelidikinya," demikian keputusannya. Hari itu, Raja berpura-pura akan pergi bekerja. Padahal beliau bersembunyi di balik tumpukan kayu, agar dapat mengamati tingkah laku istrinya. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Putri Bungsu menemui ibunya. Betapa sedih suasana pertemuan itu. Keduanya menangis tersedu-sedu. Kejadian itu sepenuhnya dilihat oleh Raja. 17 "Menurut firasatku telah sampailah ajalku. Apabila aku mati kuburkan jenazahku di lapangan luas." "O, rupanya ada kerbau di sini. Ini pasti ibu istriku," katanya dalam hati. Didengarkannya pembicaraan kerbau dengan istrinya dengan jelas. Dengan suara agak lemah dan parau kerbau berkata, "Sekarang, menurut firasatku, telah sampailah ajalku. Apabila aku mati, kuburkanlah jenazahku di lapangan luas. Pilihlah sebuah tanah yang lapang." Setelah menarik napas panjang, ia melanjutkan kata-katanya, "Selain itu, Anakku, pergilah kamu ke kubur itu setiap hari, dan cabutilah rumput-rumput yang tumbuh di situ." Selesai mengatakan pesan terakhirnya kerbau itu pun mati. Raja juga mengetahui bahwa kerbau itu kini telah mati, kemudian ia keluar dari tempat persembunyiannya, mendekati istrinya yang sedang menangis. Digenggamnya tangannya sambil berucap singkat. "Kiranya, dia adalah ibumu." 18 "Benar. Tetapi saya malu mengatakannya kepada Kakanda," jawab istrinya sambil mengusap air matanya. "Mengapa tidak kamu katakan dengan terus terang sejak beberapa hari yang lalu?" "Saya malu, oh Kakanda." "Kamu seharusnya tidak perlu malu. Tetapi sudahlah semuanya telah terjadi, yang penting sekarang juga, jenazah ibumu harus dibawa ke rumah." "Jangan Kakanda, jangan!" katanya meminta. "Ibu telah berpesan, jika ia mati, agar jenazahnya dikubur di tanah lapang," katanya meyakinkan suaminya. "Kalau memang demikian kehendaknya, baiklah." Dipanggilnya hulubalang, mereka ditugasi membawa jenazah kerbau itu ke tanah lapang yang ditunjukkannya. D i sana jenazah itu dikuburkan. Jenazah kerbau telah dikubur dengan suatu upacara. Setiap hari Putri Bungsu pergi ke kubur ibunya. Pada hari ketiga, terjadilah peristiwa ajaib. D i kubur itu tumbuh sebatang pohon. Peristiwa itu langsung mengingatkan Putri Bungsu pada pesan ibunya. "Pada hari ketiga, akan tumbuh sebatang kayu di pusat kuburku," demikian, pesan yang pertama. "Pohon itu akan berbuah tiga biji. Buah itu harus kauambil. Kemudian, bungkuslah baik-baik dengan kain putih. Simpanlah buah itu dalam peti," demikian isi pesan yang kedua. Pohon itu tumbuh sangat indah, elok dipandang mata. Daunnya emas berkilauan. Pada cabangnya ada sebuah ayunan. Ayunan itu menjadi mainan Putri Bungsu setiap hari. Sang Raja senang sekali melihat istrinya bermain ayunan. Bila waktu longgar, beliau menemani istrinya bermain ayunan. Mesra sekali tampaknya mereka berdua di atas ayunan. 19 Telah lama pohon ajaib itu menjadi tempat bermain Putri Bungsu. Walaupun begitu, belum banyak orang yang tahu. Suatu ketika, beberapa warga di kerajaan itu ramai memperbincangkan cahaya terang di negeri itu. "Cahaya apakah yang tampak terang itu?" kata seorang laki-laki. "Baiklah, marilah kita lihat bersama-sama, cahaya apakah gerangan?" sahut yang lain. Mereka berbondong-bondong menuju ke tempat cahaya itu. Kakak-kakak Putri Bungsu juga ikut menyaksikan. Mereka bergegas menuju ke tempat pohon itu. Mereka melihat pohon ajaib. Pohon berdaun emas berkilauan dan bercabang. Pada cabang itu terdapat ayunan indah. Mendekatlah mereka ke ayunan itu. Mereka ingin mengetahui, siapakah gerangan wanita di atas ayunan itu. Ternyata adik mereka, yaitu Putri Bungsu. Mereka memberanikan diri untuk ikut bermain ayunan. "Alangkah indah pohon dan ayunan itu. Tuan Putri, bolehkah kami ikut berayun bersama Tuan Putri?" kata kakak tertua mewakili adik-adiknya. "Tentu boleh! Mengapa tidak boleh? Silakan kalian bertiga bermain bersama!" jawab Putri Bungsu dengan ramah dan gembira. "Terima kasih, Tuan Putri!" jawab mereka serentak. Mereka bertiga mendekati ayunan dan berebut bermain. Tetapi di luar dugaan mereka, ayunan itu semakin jauh dan meninggi. Mereka berlari untuk menangkapnya. Namun usaha mereka tidak berhasil. Ayunan terus meninggi. Dipandangnya ayunan itu dengan penuh rasa kecewa. "Tuan Putri, mengapa ayunan itu menjauh dan meninggi? Tolonglah, Tuan Putri mencobanya dulu, baru kemudian kami menirukannya," kata salah seorang kakak Putri Bungsu. 20 "Tentu boleh! Mengapa tidak boleh? Silakan kamu bertiga bermain bersama, "jawab Putri Bungsu dengan ramah dan gembira. "O, ya. Perhatikan bagaimana aku berayun," jawab Putri Bungsu. Putri Bungsu mendekati ayunan dan kemudian naik. Mulailah ia berayun dengan santai dan riang. Memang, ayunan itu tidak lagi bergerak atau menjauh ketika didekati oleh Putri Bungsu. "Ayolah, kalian ke sini, aku akan memegangnya," ajak Putri Bungsu kepada kakak-kakaknya. Ketika ketiga kakak Putri Bungsu mendekat dan akan duduk di ayunan, ayunan menjauh lagi dan meninggi. Beberapa kali dicobanya untuk mendekat dan menangkapnya, namun tidak berhasil. Mereka kecewa dan bersedih hati. Air mata mereka tampak mulai berlinang menyesali nasib mereka. 21 Keadaan itu dipahami oleh Putri Bungsu. Oleh karena itu, Putri Bungsu ingin menghibur mereka. Dipetiknya daun-daun emas itu, diberikan kepada kakak-kakaknya agar dibawa pulang. "Sudahlah, terimalah daun sebagai pengganti ayunan ini. Bawalah pulang," kata Putri Bungsu dengan penuh rasa kasihan kepada saudara-saudaranya. * * * 22 2 Cerita Rakyat Daerah Sumatra Selatan BUJANG BEKURUNG DAN BURUNG GARUDA Pada zaman dulu, berdirilah negeri Mekam Sari. Negen ini diperintah oleh dua orang bersaudara, bernama Ratu Agung dan Kayu Tumenggung. Ratu Agung memerintah di Palak Tanah; dan Kayu Tumenggung memerintah di Ujung Tanjung. Ratu Agung mempunyai seorang anak laki-laki bernama Bujang Bekurung, sedangkan Kayu Tumenggung mempunyai seorang anak perempuan, bernama Itam Manis. Bujang Bekurung adalah seorang pemuda yang bijaksana, kehidupannya sangat sederhana. Ia berbudi luhur, dan suka memberantas perjudian. Ia juga terkenal sebagai seorang pemuda pencinta alam, terutama pencinta satwa. Pada suatu hari, Ratu Agung menyuruh putranya, Bujang Bekurung, agar segera beristri. Ratu Agung mencalonkan dua orang gadis cantik agar salah satu gadis itu diperistri oleh Bujang Bekurung. Bujang Bekurung belum dapat menerima tawaran ayahandanya sehingga dua gadis itu ditolaknya. Dengan bijaksana ia mengemukakan kepada ayahandanya, bahwa belum saatnya ia beristri, karena masih ada banyak hal yang belum diketahuinya. Mendengar jawaban putranya, bukan main marah Ratu Agung sehingga Bujang Bekurung , diusirnya dari istana. 23 "Mulai hari ini, kamu tidak kuanggap sebagai putra mahkota. Lepaskan pakaian kerajaanmu, dan pergilah dari kerajaan ini. Jangan kembali ke sini sebelum kamu beristri, istri pilihanmu sendiri," kata Ratu Agung dengan pedas. Bujang Bekurung, pemuda gagah itu, tidak memberikan jawaban sepatah kata pun. Ia mematuhi perintah ayahandanya. Kemudian ia pergi meninggalkan istana. Dengan celana buruk, baju buruk, dan bersenjatakan pisau tumpul, Bujang Bekurung keluar meninggalkan kerajaan. Ia keluar masuk hutan. Sampailah ia di sebuah hutan yang amat sunyi. Peristiwa kepergian Bujang Bekurung didengar oleh Itam Manis, putri Raja Kayu Tumenggung. Dengan berpakaian kebesaran menurut adat kerajaan, Itam Manis menyusul Bujang Bekurung. Akan tetapi karena ia tidak tahu ke mana arah kepergian Bujang Bekurung, maka Itam Manis tidak dapat berjumpa dengan Bujang Bekurung. Kemudian, Itam Manis memutuskan untuk kembali saja ke Ujung Tanjung. Ia khawatir kalau-kalau musuh datang, Kerajaan Mekam Sari akan hancur. "Wah ... gawat ini, bisa-bisa Kerajaan Mekam Sari hancur, kalau musuh mengetahui Bujang Bekurung pergi meninggalkan kerajaan," gumam Itam Manis. Bujang Bekurung berjalan terus, semakin jauh dari pusat kerajaan. Dengan rakit batang pohon pisang yang dibuatnya sendiri, ia mengikuti aliran sungai. Akhirnya, sampailah ia di suatu laut. Dengan tenang ia mengarungi laut yang luas itu. Ketika ombak datang, ia sulit menguasai rakitnya. Akhirnya, terdamparlah Bujang Bekurung di sebuah pulau. Pulau itu bernama Pulau Burung, karena pulau itu memang dihuni oleh berbagai jenis burung. Tempat itu sunyi sepi, yang terdengar hanya suara kicau burung. 24 Karena jarang didatangi manusia, pulau itu menjadi tempat orang-orang dengan tujuan khusus, misalnya orang yang ingin menyepi atau bertapa, dan tak jarang untuk berjudi. Pada saat Bujang Bekurung terdampar di pulau itu, di situ ada beberapa orang sedang berjudi. Dua hari Bujang Bekurung di pulau itu. Kemudian, datanglah dua orang pemuda dari Kayangan Tinggi. Mereka bernama Raden Umang dan Raden Bungsu. Mereka datang untuk berjudi. Oleh karena itu, ia banyak membawa uang. Ketika mereka berdua bertemu dengan Bujang Bekurung yang berpakaian lusuh dan tampak mencurigakan itu, dengan nada mengejek, mereka bertanya. "Hai, orang muda, siapa kamu dan dari mana asalmu? Mengapa kamu ke sini?" demikian pertanyaan mereka membanjir, sebelum diberi jawaban satu pun. "Aku Bujang Bekurung, anak Ratu Agung dari Mekam Sari," jawabnya tenang penuh wibawa. Dengan penuh selidik ia balik bertanya. "Dan siapakah kamu berdua ini?" "Kami adalah Raden Umang dan Raden Bungsu, dari Kayangan Tinggi. Kami mempunyai adik perempuan, bernama Bidadari Sinjaran Bulan. Sekarang dia masih berada di Kayangan Tinggi," jawab Raden Umang. Bujang Bekurung belum sempat menjawab pembicaraan Raden Umang dan belum mengajukan pertanyaan lebih lanjut, tetapi Raden Umang meneruskan kata-katanya. "Kami ke sini untuk berjudi. Semua penjudi telah kami kalahkan. Apakah kamu juga akan berjudi? Ayo kita berjudi!" ditantangnya Bujang Bekurung. Sebenarnya, Bujang Bekurung ingin menolak ajakan itu. Tetapi melihat gelagat dua orang pemuda itu, tidak bijaksanalah kalau ia langsung menolak ajakan itu. Pemuda 25 dari Mekam Sari itu sebenarnya membenci perjudian. Sejak di istana ia bercita-cita memberantas perjudian. Dan sekarang inilah saat yang baik untuk mewujudkan cita-citanya. Sejenak ia berpikir untuk mencari jalan keluar yang baik. Ia berpendapat bahwa lawan harus dikalahkan, harus menyerah tetapi tanpa harus menaruh sikap dendam. Maka diambillah keputusan untuk memenuhi tantangan berjudi Raden Umang dan Raden Bungsu. Perjudian dimulai, Bujang Bekurung yang tidak punya uang dan barang berharga itu memasang taruhan berupa baju buruk dan pisau tumpul. Si lawan tidak memandang barang taruhan itu dari segi harganya, tetapi lebih memandang Bujang Bekurung sebagai korbannya. Tahap pertama perjudian, Raden Umang terpaksa menyerahkan sebagian kekayaan yang dipertaruhkan. Tahap kedua kemenangan tetap ada di pihak Bujang Bekurung. Tahap ketiga Raden Bungsu harus mengakui keunggulan Bujang Bekurung. Demikian seterusnya, sehingga habislah semua kekayaan Raden Umang dan Raden Bungsu yang dibawanya dari Kayangan Tinggi. Akhirnya adiknya, Bidadari Sinjaran Bulan dipertaruhkan pula. Namun Raden Umang tidak pernah menang. Menyerahlah mereka berdua, dan untuk sementara waktu minta izin agar perjudian dihentikan dulu. Mereka akan pulang ke Kayangan Tinggi mengambil harta kekayaan agar perjudian dapat dilangsungkan lagi. "Setelah tujuh hari, kami akan kembali ke Pulau Burung ini. Kami akan menjemput Bidadari Sinjaran Bulan," kata Raden Umang. "Baiklah, Raden Umang. Sebaiknya kalian tidak perlu meneruskan kesukaan kalian berjudi. Kalian masih muda, masa depan kalian masih terbentang luas!" jawab Bujang Bekurung. Tetapi Raden Umang dan Raden Bungsu tidak mempedulikan kata-kata Bujang Bekurung. 26 Raden Umang dan Raden Bungsu kemudian meninggalkan Pulau Burung menuju Kayangan Tinggi. Tiba di istana Kayangan Tinggi, mereka menemui ayahandanya. Mereka berbohong, dengan berlagak gembira mereka menceritakan pengalamannya selama di Pulau Burung, bahwa mereka menang dalam perjudian. Oleh karena itu, rakyat setempat menyanjung mereka berdua. Maka mereka akan merayakan kemenangan itu dengan berpesta pora, dan telah berjanji akan mengajak adiknya, bidadari Sinjaran Bulan. "Dalam perjudian di Pulau Burung itu kami mendapat kemenangan yang tak terhitung jumlahnya. Rakyat pulau itu memohon amat sangat agar diselenggarakan pesta untuk merayakan kemenangan itu. Dan kalau memang Raden Umang dan Raden Bungsu mempunyai adik yang cantik jelita, agar putri itu diajak menyaksikan pesta itu." Demikian mereka mengawali kebohongannya. "Apabila Ayahanda mengizinkan, baiklah Dinda Sinjaran Bulan kami ajak ke sana. Jika kami gagal membawa adik kami, negeri Kayangan Tinggi akan diserang," kata Raden Umang lebih lanjut. Semula, Raja tidak mengizinkan putrinya diajak menghadiri pesta di Pulau Burung. Tetapi setelah mendengarkan banyak cerita dari Raden Umang, ia berpikir-pikir tentang keselamatan rakyat seluruh negeri Kayangan Tinggi. Akhirnya putrinya diizinkan meninggalkan negeri itu, mengikuti kakak-kakaknya. Kepada Bidadari Sinjaran Bulan, Raja berpesan agar berhati-hati dalam perjalanan dan perantauan. Jangan sampai ia tergelincir dan jatuh dalam tingkah laku yang tidak baik, sebab di dunia ini banyak manusia yang mempunyai ulah tidak terpuji. 27 "Ya, Ayahanda, saya akan mematuhi semua pesan Ayahanda. Saya mohon restu," jawab Putri Sinjaran Bulan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang kurang baik, Bidadari Sinjaran Bulan mengubah diri menjadi seorang gadis buruk. Kakinya pincang, rambutnya kusut terurai. Mereka bertiga, Raden Umang, Raden Bungsu, dan Bidadari Sinjaran Bulan turun ke Pulau Burung. Tanpa kesulitan sedikit pun mereka dapat menemui Bujang Bekurung di pulau itu. Bujang Bekurung sedang duduk santai bermain dengan burung-burung kesayangannya. "Selamat datang, Tuan-tuan! Ada kabar baik dari Kayangan Tinggi?" sapa Bujang Bekurung dengan tulus hati. "Kami sehat-sehat saja, Bujang. Sayang, ada kabar kurang baik. Negeri kami setelah kami tinggalkan porakporanda diserang musuh," kata mereka berbohong. "Kami membawa gadis buruk ini sebagai ganti adik kami Bidadari Sinjaran Bulan, yang kami janjikan. Adik kami telah hilang ketika negeri diserang musuh," kata Raden Umang melanjutkan cerita bohongnya. Bujang Bekurung, pemuda yang berbudi luhur itu tersenyum mendengar cerita dan penyerahan gadis buruk itu kepadanya. Gadis buruk itu diterimanya dengan senang hati, dan kemudian diperistri. Setelah ia berkeluarga, timbullah keinginannya untuk berjudi karena ia merasa tidak mempunyai kekayaan yang cukup untuk menghidupi istrinya. Dan istrinya, si gadis buruk itu juga tidak mempunyai kekayaan. Walaupun demikian hidup mereka selalu rukun damai. Dalam berjudi, Bujang Bekurung selalu kalah. Kekayaan yang dulu diraihnya, kini telah habis di meja judi. Kini, yang dimilikinya tinggal celana buruk, baju buruk, dan pisau tumpul. Keadaannya kembali seperti sebelum bertemu dengan Raden Umang dan Raden Bungsu. 28 Ia berkeinginan pulang ke Mekam Sari. Tetapi rakit batang pisang yang dahulu digunakannya, kini sudah tiada lagi. Ia tertegun sejenak. Ia berpikir, "Dengan apa aku pulang ke negeri Mekam Sari. Kini aku sudah beristri. Akan kuajak pula istriku, agar Ayahanda senang melihat kami berdua datang menghadapnya." Gadis buruk, istrinya, yang tak lain adalah Bidadari Sinjaran Bulan, mengetahui apa yang merisaukan pikiran suaminya. Ia ingin membantu suaminya keluar dari kesulitan ini. "Kakanda, percayalah kepadaku. Berpeganglah kuatkuat pada rambutku, dan pejamkanlah mata Kakanda. Kita berangkat ke Mekam Sari," kata Sinjaran Bulan singkat. Si suami mengikuti apa saja yang dikatakan oleh istrinya. Ia menggapai rambut istrinya yang telah diulurkan kepadanya. Berangkatlah mereka berdua menuju ke istana Ratu Agung. Tidak lama kemudian, sampailah mereka di tempat yang dituju. Mereka menghampiri seorang anak kecil yang sedang memancing di pemandian Mekam Sari. Bujang Bekurung mendekati anak itu, kemudian minta tolong kepadanya. "Dik, tolonglah aku. A k u adalah Bujang Bekurung, putra Ratu Agung di negeri Mekam Sari ini. Beritahukanlah * kepada ayahku, Ratu Agung, bahwa aku telah kembali dan berada di pemandian Mekam Sari. Katakanlah bahwa aku telah membawa gadis cantik. A k u mohon, agar kami dijemput di pemandian." "Ya, tetapi jagalah kailku ini," jawab pengail kecil. Pengail kecil itu segera meninggalkan tempat itu dan lari menuju istana. Setelah sampai di istana dan bertemu dengan Ratu Agung, ia menyampaikan pesan Bujang Bekurung. 29 Ratu Agung heran dan terkejut mendengar berita kepulangan putranya, Bujang Bekurung. Dengan diiringi para pembantunya, Ratu Agung menjemput putranya. Betapa marahnya ia setelah melihat Bujang Bekurung datang dengan tidak membawa gadis cantik sebagaimana dilaporkan. Ternyata, putranya itu hanya mengajak seorang gadis buruk rupa, dan berpakaian buruk pula. Sang Ratu tidak mau mengakui gadis buruk itu sebagai menantunya. Seketika itu juga, Bujang Bekurung dan istrinya diperintahkan meninggalkan tempat itu untuk segera pergi ke rumah Kayu Tumenggung, di Ujung Tanjung. Bujang Bekurung dan istrinya patuh terhadap perintah sang raja. Kira-kira telah satu tahun mereka berdua tinggal di Ujung Tanjung. Kayu Tumenggung memerintahkan rakyat- Betapa marahnya ia setelah melihat Bujang Bekurung datang dengan tidak membawa gadis cantik sebagaimana dilaporkan. 30 nya membuatkan sebuah rumah tinggal bagi Bujang Bekurung dan istrinya. Bujang Bekurung bersama istri hidup damai dan rukun. Mereka dianugerahi seorang bayi yang lahir dari perkawinan itu. Bayi itu diberi nama Ali Rindu. Pada waktu lahir, bayi Ali Rindu adalah bayi ajaib. Ia bagaikan seorang panglima perang dengan senjata lengkap. Banyak orang memujinya. Pada suatu hari, datanglah utusan dari raja Ujung Rembun Ke Ujung Tanjung. Ia bermaksud melamar Itam Manis, putri Kayu Tumenggung. Lamaran diterima oleh Kayu Tumenggung tanpa banyak persoalan. Kemudian, ia memerintahkan kepada rakyatnya agar mempersiapkan segala sesuatu untuk menerima tamu dalam rangka upacara perkawinan. Tamu yang dimaksud adalah tamu-tamu dari Ujung Rembun dan juga dari Palak Tanah, tempat kelahiran Bujang Bekurung. Sehari sebelum pesta perkawinan dimulai, gadis buruk, istri Bujang Bekurung, memanggil Raden Umang dan Raden Bungsu, agar mereka turun dari Kayangan Tinggi. Gadis buruk meminta agar mereka berdua datang di Ujung Tanjung dengan membawa ambaP pusaka Kayangan Tinggi, dan membawa nasi serta gulai secukupnya untuk menjamu para tamu nanti. Pesta perkawinan Itam Manis berlangsung meriah. Pada pesta perkawinan itu, Ratu Agung dari Palak Tanah diikuti oleh beberapa pengiringnya, datang juga ke rumah gadis buruk. Mereka tercengang melihat ambal yang belum pernah mereka saksikan selama ini. 1) ambal = permadani 31 Hari berikutnya, si gadis buruk mandi berkeramas dengan MmauP nipis dan memohon kepada dewata supaya dirinya menjelma kembali menjadi Bidadari Sinjaran Bulan. Permohonan itu dikabulkan. Dalam waktu sekejap, gadis buruk berubah wajah menjadi Bidadari Sinjaran Bulan yang cantik jelita. Terperangahlah Bujang Bekurung melihat wanita cantik di depan matanya. Wanita itu tidak lain adalah Bidadari Sinjaran Bulan. "Abang Bujang Bekurung," Bidadari Sinjaran Bulan mengawali kata-katanya. "Aku ini istrimu. Sekarang, pergilah mandi keramas dengan Hmau nipis sisaku ini. Kita diundang untuk menari di Balai Panjang." demikian ajakan istrinya. Terperangahlah Bujang Bekurung melihat wanita cantik di depan matanya. Wanita itu tidak lain adalah Bidadari Sinjaran Bulan. 2) 32 Hmau - jeruk Menari berpasangan di Balai Panjang Merupakan adat kebiasaan. Bidadari Sinjaran Bulan menari berpasangan dengan Putra Raja dari Ujung Rembun, sedangkan Bujang Bekurung menari bersama dengan Itam Manis, si pengantin putri. Mereka sangat lincah menari. Selesai menghadiri pesta perkawinan, Bidadari Sinjaran Bulan pulang. Tiba di rumah, Ali Rindu menangis sambil menunjuk-nunjuk ke atas. Bidadari Sinjaran Bulan naik ke para-para. Tampaklah di situ sebuah bakul berisi baju dan rambut. Ia yakin, bahwa baju dan rambut itu adalah peninggalan Raden Umang yang disembunyikan oleh Bujang Bekurung. Dengan memakai baju dan rambut ini, ia dapat terbang. Tanpa berpamitan kepada Bujang Bekurung, Bidadari Sinjaran Bulan dan Ali Rindu terbang ke Kayangan Tinggi. Setelah ditinggal oleh anak dan istrinya, Bujang Bekurung gelisah. Akhirnya ia memutuskan pergi meninggalkan Ujung Tanjung untuk mencari anak dan istrinya. Sampai di sebuah hutan, Bujang Bekurung mendengar suara anak burung mencicit-cicit. "Di mana burung itu dan mengapa anak burung itu mencicit-cicit terus," pikirnya. Ketika ia mengarahkan pandangannya ke tempat suara itu, ia melihat seekor anak burung Garuda yang akan dimangsa oleh seekor ular. Bujang Bekurung, si pencinta satwa itu, berniat menolong anak burung Garuda yang dalam keadaan bahaya itu. Ia mendekati anak burung Garuda. Kemudian ia menghalau ular yang akan memangsa anak burung itu. Karena si ular tidak bergeming dari tempatnya, bahkan akan menyerang Bujang Bekurung, maka terjadilah perlawanan kecil antara ular dan Bujang Bekurung. Ular kalah. Bujang Bekurung dapat menyelamatkan nyawa anak burung Garuda. Anak burung itu dirawat, diberi makan, dan dibawa dalam perjalanannya. 33 Pada suatu hari, Bujang Bekurung berkata kepada anak burung Garuda. "Hai anak burung Garuda, kamu tingallah di sini. Aku akan meneruskan perjalanan ke Kayangan Tinggi, menyusul anak dan istriku. Mereka berdua mungkin pulang ke Kayangan Tinggi." "Terima kasih atas pertolonganmu, Bujang Bekurung. Tetapi kamu tidak akan dapat sampai di Kayangan Tinggi. Oleh karena itu, tunggulah di sini sebentar. A k u akan menemui orangtuaku," kata anak burung Garuda yang tahu membalas budi itu. Anak burung Garuda terbang lepas di udara, menembus angkasa. Beberapa menit kemudian, sampailah anak burung itu ke tempat orangtuanya. Dengan katakata yang jelas, ia bercerita kepada orangtuanya dan sekaligus meminta bantuan kepada mereka. "Bapak, tolonglah kawanku, yang telah menyelamatkan jiwaku dari cengkeraman ular. Aku telah mati, andaikata aku tidak ditolong olehnya. Kawanku itu bernama Bujang Bekurung. Sekarang ia akan pergi mencari anak dan istrinya. Katanya, ia akan pergi ke Kayangan Tinggi. Tolonglah Bapak." Setelah burung Garuda mendengarkan cerita pengalaman dan permintaan anaknya itu, ia berpikir, "Anakku pernah ditolong oleh Bujang Bekurung. Sekarang Bujang Bekurung dalam kesulitan. Seharusnyalah, aku segera menolong dia." Kebaikan dan kemuliaan hati burung Garuda kiranya tidak perlu diragukan. Ia bertubuh gagah dan kuat. Ia mempunyai perlengkapan yang sempurna untuk menghadapi lawan. Paruh dan kukunya merupakan kesatuan kekuatan yang dapat diandalkan. Pandangan matanya sangat tajam. Ia dapat melihat dari jarak jauh walaupun benda yang dilihatnya sangat kecil. 34 Burung Garuda cepat melesat terbang tinggi menuju tempat Bujang Bekurung berada. Dan Bujang Bekurung pun setia menantikan kedatangan burung Garuda. "Hai Saudaraku, Bujang Bekurung, anakku telah bercerita banyak tentang kesulitanmu. Sekarang, naiklah ke atas sayapku. Akan kuantar engkau, ke Kayangan Tinggi," kata burung Garuda tegas. Sayap burung Garuda mulai mengembang, Bujang Bekurung siap naik di atas sayap burung itu. Dengan gagah perkasa, suami Bidadari Sinjaran Bulan itu dibawa terbang menuju Kayangan Tinggi. D i negeri Kayangan Tinggi, Burung Garuda berhenti dan hinggap di sebuah cabang pohon besar. Bujang Bekurung dipersilakan turun. "Inilah negeri Kayangan Tinggi, Saudaraku. Carilah anak-istrimu. Kalau engkau memerlukan bantuan, panggillah aku. Gunakanlah beras dan kunyit, maka aku akan segera datang," demikian pesan burung Garuda. "Terima kasih," jawab Bujang Bekurung singkat. Laki-laki yang semula duduk di atas sayap Burung Garuda itu, kini meneruskan perjalanannya. Ia berhenti pada suatu pondok, yaitu pondok milik Nenek Sepat. Nenek Sepat adalah penjaga kebun bunga Bidadari Sinjaran Bulan. Dua hari Bujang Bekurung tinggal di rumah Nek Sepat. Biasanya, pada malam bulan purnama, Bidadari Sinjaran Bulan pergi berjalan-jalan di kebun itu. Pada waktu Bujang Bekurung bermalam di rumah Nek Sepat, bertepatan dengan malam bulan purnama. Cuaca terang benderang. Ali Rindu pergi ke kebun mendahului ibunya. Tiba di pondok Nek Sepat, ia bertemu dengan seseorang yang kurang jelas wajahnya karena bayang-bayang pepohonan. "Siapa kamu ini," tanya Ali Rindu penuh kecurigaan. 35 Dengan gagab perkasa, suami Bidadari Sinjaran Bulan itu dibawa terbang menuju Kayangan Tinggi. "Aku adalah Bujang Bekurung," jawab orang yang duduk di bawah pepohonan itu. Ali Rindu pernah mendengar nama "Bujang Bekurung" disebut-sebut, lalu ia berlari pulang memberitahukan kepada ibunya, Sinjaran Bulan. "Bujang Bekurung datang. Sekarang berada di kebun pondok Nenek Sepat," kata Ali Rindu. Bidadari Sinjaran Bulan kaget sekaligus senang mendengar kabar itu. Kemudian, ia, Ali Rindu, dan Ratu Kayangan Tinggi, pergi menjemput Bujang Bekurung. Pada waktu itu, Kayangan Tinggi sedang menerima tamu-tamu, para bangsawan dari negeri tetangga. Mereka adalah Malim Kumat beserta hulubalangnya. Malim Kumat datang ke Kayangan Tinggi untuk melamar Bidadari Sinjaran Bulan. Lamaran belum diputuskan diterima atau tidak. 36 Dua hari Bujang Bekurung berada di istana Kayangan Tinggi, Malim Kumat datang lagi. Ia meminta kepastian jawaban akan lamarannya. Pada waktu itu, ia tidak dapat menemui Bidadari Sinjaran Bulan, calon istrinya. Malim Kumat ditemui oleh Bujang Bekurung. Keinginan Malim Kumat untuk bertemu dengan calon istrinya itu ditolak oleh Bujang Bekurung. Marahlah tamu itu. Ia minta sirih dan rokok, tetapi Bujang Bekurung tidak memberinya. "Hai Bujang Bekurung, mari kita bertanding menyepak bola. Siapa di antara kita yang dapat menyepak bola lebih jauh, dialah yang menang!" "Ayo, kita bertanding," jawab Bujang Bekurung menanggapi tantangan lawannya. Pertandingan dimulai, dan diakhiri dengan kemenangan Bujang Bekurung. Pertandingan lain diteruskan atas ajakan Malim Kumat, yaitu pertandingan mengadu ayam. Malim Kumat mempertaruhkan segala kekayaannya. Sebenarnya Bujang Bekurung tidak suka berjudi dan menyabung ayam. Namun apa daya, karena keadaan, ia sekarang harus melakukannya. Tidak mungkin ia menghindarinya. Pertandingan sabung ayam ini juga dimenangkan oleh Bujang Bekurung. Malim Kumat bertambah marah, dan akhirnya ia mengajak berperang. Peperangan dilaksanakan di padang pasir. Ia dibantu oleh hulubalangnya, sedangkan Bujang Bekurung dibantu oleh Ali Rindu, anak laki-lakinya. Dengan senjata tombak dan pedang pusaka, Ali Rindu mengamuk di medan perang. Peperangan bertambah seru. Sebelum perang selesai, Bujang Bekurung bersama anak dan istrinya meninggalkan Kayangan Tinggi, menuju Mekam Sari. Kepergian mereka diketahui oleh Malim Kumat. Ia bersama para pengikutnya menghadang Bujang Bekurung. Bujang Bekurung merasa perjalanannya diganggu 37 oleh Malim Kumat. Oleh karena itu, ia berniat meminta bantuan burung Garuda. Dengan gerakan cepat, Bujang Bekurung segera mengambil beras dan kunyit, kemudian memanggil burung Garuda. Tidak lama kemudian, burung Garuda datang. "Hai burung Garuda, sahabatku. Tolonglah aku, bunuhlah Malim Kumat dan semua pengikutnya. Mereka selalu mengganggu kami sekeluarga, dan memusuhi kami. Kami ini akan pulang ke Mekam Sari." Demikian kata Bujang Bekurung kepada sahabatnya, burung Garuda. "Tinggalkan tempat ini, kami bertiga akan menyelesaikan masalah ini," jawab burung Garuda dengan mantap. Terjadilah pertempuran hebat antara tiga burung Garuda dengan Malim Kumat beserta hulubalangnya. Peperangan akhirnya dimenangkan oleh kelompok burung Garuda. Burung Garuda berpedoman, bahwa hal dan perbuatan yang tidak benar dan tidak terpuji itu harus dihapuskan dari muka bumi. Dengan pedoman ini, mereka tidak setengah-setengah membela Bujang Bekurung beserta anak-istrinya. Kejahatan dan kelaliman Malim Kumat akhirnya dapat diatasi oleh burung Garuda. Bujang Bekurung sekeluarga meneruskan perjalanan ke Mekam Sari. Tiba di Mekam Sari, terkejutlah mereka menyaksikan Ratu Agung telah mati dibunuh oleh musuh. Kedua tangan Ratu Agung dipaku di pohon asam jawa. Melihat keadaan yang mengerikan itu, Bujang Bekurung beserta anak-istrinya amat sedih. Dengan perasaan iba, Bujang Bekurung dan Ali Rindu perlahan-lahan menurunkan jenazah Ratu Agung dari pohon asam jawa. Dalam keadaan sedih ini jenazah dimandikan, disucikan. Pada saat penyucian inilah Ali Rindu tunduk berdoa. Ditariknya napas panjang. 38 "Benarkah kematian Ratu Agung, kakekku sudah menjadi keputusan Tuhan Yang Maha Esa? Jika belum menjadi kehendak-Nya, kiranya Tuhan Yang Maha Esa berkenan untuk menghidupkannya kembali," demikian ungkapan hati Ali Rindu. Pada saat Ratu Agung dipikul, akan dimakamkan, ia hidup kembali. Ia kemudian sadar atas perlakuannya kepada Bujang Bekurung dan ia meminta maaf. Selanjutnya Ratu Agung menyerahkan negeri Mekam Sari, dari Palak Tanah sampai Ujung Tanjung, kepada Bujang Bekurung. Negeri Mekam Sari menjadi aman dan tenteram di bawah pimpinan Bujang Bekurung, seorang laki-laki yang bijaksana, dan penuh kasih sayang. * ** 39 3 Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah KI AGENG PANDANARAN ULAMA BESAR DI JAWA TENGAH Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa adalah Demak Bintara. Kerajaan ini sangat terkenal. D i kerajaan ini para wali selalu berperan aktif dalam segala hal. Masalahmasalah pemerintahan, agama, dan kemasyarakatan, akan selalu dapat diselesaikan dengan baik melalui musyawarah dari antara wali dan raja. Wali yang terkenal berjumlah sembilan orang. Mereka inilah yang disebut Wali Sanga, yang berarti sembilan orang wali. Sultan pertama yang memerintah kerajaan Demak Bintara adalah Raden Patah, putra Prabu Brawijaya, yang kawin dengan putri Cina. Berkat ketekunan serta kebijaksanaannya, Raden Patah telah berhasil membangun kerajaan. Rakyatnya hidup makmur dan .dapat dengan tenang menunaikan ibadah agamanya. Setelah Raden Patah wafat, takhta kerajaan diberikan kepada putranya. Raja baru ini bernama Pangeran Sepuh. Akan tetapi ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor. Pangeran ini ingin agar putranya, Made Pandan mau menggantikannya sebagai sultan, tetapi Made Pandan tidak mau. Ia lebih tertarik menjadi seorang ulama. Oleh karena itu, ketika ayahnya meninggal dunia, takhta kerajaan diserahkan kepada pamannya. Paman ini bernama Raden Trenggana. Raden Trenggana diangkat menjadi sultan yang ketiga. 40 Pangeran Made Pandan kemudian pergi berkelana untuk memperdalam agama Islam. Ia mempelajari dan mendalami Alquran. Ilmu dan kepandaiannya diajarkan kepada masyarakat yang tinggal di desa-desa yang dilaluinya. Akhirnya perjalanan Made Pandan sampai di suatu tempat yang bernama Bergota. Hati Pangeran Made Pandan tergerak untuk tinggal di daerah Bergota, maka ia memutuskan tinggal di tempat itu. Kini tempat itu semakin lama semakin ramai dikunjungi orang. Surau dan masjid mulai didirikan. Perumahan para santri juga mulai dibangun. Para santri diberi pelajaran agama dan keterampilan praktis. Dengan demikian, kuatlah kehidupan lahir dan batin para santri itu. Dengan seizin Sultan Demak, Pangeran muda itu membuka hutan. Konon, hutan yang dibuka oleh sang Pangeran itu ditumbuhi pohon asam. Jarak antara pohon asam itu tidak terlalu dekat. Pohon asam itu tumbuh jarang. Oleh karena itu, perkampungan baru itu disebut Semarang, dari kata bahasa Jawa: asem arang-aran^K Selanjutnya Pangeran Made Pandan terkenal dengan nama K i Ageng Pandanaran, dan diangkat sebagai bupati Semarang. Pangeran Made Pandan mempunyai seorang putra laki-laki. Putra inilah yang kelak dapat mewarisi kemashuran nama ayahnya. Pangeran Made Pandan lebih mengutamakan pendidikan agama. Ia ingin agar putra dan santrinya mendapat bekal yang baik dalam hidup mereka di masyarakat. Pangeran Made Pandan wafat dalam usia lanjut. Jenazahnya dimakamkan di pegunungan Pakis Aji (Telamaya), yang terletak di sebelah timur Bergota. v 1) asem (Jawa) = pohon asam 2) arang (Jawa) = jarang 41 Ki Ageng Pandanaran alias Pangeran Made Pandan kemudian digantikan oleh putranya, yang juga bergelar Ki Ageng Pandanaran. Pandanaran muda inilah yang lebih banyak meninggalkan kesan baik di hati rakyat, hingga saat ini. Ki Ageng Pandanaran muda adalah seorang bupati yang kaya-raya. Tidak sedikit kekayaannya yang berwujud emas, perak, dan mutiP manikant\ Cara memerintah penduduk di daerahnya pun, amat arif dan bijaksana. Ia patuh kepada ajaran agama Islam, seperti apa yang dilakukan ayahnya. Akan tetapi keadaan di dunia tidak ada yang abadi. Keadaan dapat berubah kapan saja. Ketenaran nama K i Ageng Pandanaran makin lama semakin pudar. Ini terjadi karena bupati itu tidak kuat menghadapi godaan harta duniawi. Kesenangan duniawilah yang kemudian diutamakan. Ia mulai lupa pada pondok pesantrennya, lupa memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Akhirnya, banyak rakyat yang menderita. Untunglah, keadaan yang demikian itu segera diketahui oleh Sultan Demak. Melalui utusan-utusan Sultan Demak, Bupati diingatkan agar insaf dan sadar. Sayang sekali, semua nasihat dan peringatan dari Sultan Demak tidak ada yang menyentuh hati sang bupati. Sifat tamak dan sombongnya bahkan semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, Sultan Demak mengadakan pertemuan dengan punggawa pemerintah. Tokoh-tokoh agama dan para wali, tak lupa diundangnya juga. Semula Sultan merasa puas dengan laporan bahwa keadaan kasultanan baik-baik saja. Akan tetapi beliau kemudian merasa ke3) mutit = mutiara 4) manikam • intan, batu permata 42 cewa mendengar laporan, bahwa ada seorang bupati yang perbuatannya kurang baik. Oleh karena itu, Sultan Demak lalu menugasi seorang wali untuk menyadarkan bupati Semarang. Penugasan itu jatuh kepada Sunan Kalijaga. Segera Sunan Kalijaga berangkat menunaikan tugas itu. Ia pergi ke Semarang. D i sana ia menyamar sebagai penjual rumput. Pada suatu hari, ada seorang penjual rumput berjalan mondar-mandir di halamanTcabupaten. Ia berharap rumputnya dibeli oleh sang bupati atau oleh tukang kuda sang bupati. Benarlah, usahanya berhasil. Rumput yang dipikulnya dibeli oleh tukang kuda sang bupati. Rumpul itu kemudian dibongkarnya untuk dirajang, dan segera akan diberikan kepada kuda-kuda sang bupati. Namun betapa terkejut tukang kuda itu setelah melihat sebungka; emas berkilauan dalam ikatan rumput itu. Betapa terkejut tukang kuda itu setelab melihat sebungkal emas berkilauan dalam ikatan rumput itu. 43 Melihat kenyataan ini, hati tukang kuda bimbang sejenak. Ia berpikir, apa yang harus dilakukannya. Akhirnya, ia mengambil keputusan. "Hal ini harus kulaporkan kepada Kanjeng Bupati," pikirnya. Ia cepat-cepat pergi menemui sang bupati dan bersembah, "Ampun Tuanku. Hamba menemukan emas di dalam ikatan rumput yang hamba beli dari penjual rumput di depan halaman kabupaten, tadi pagi." "Hai tukang kuda!" bentak bupati setelah melihat emas berkilauan di tangan tukang kuda. Tukang kuda terkejut, dan gemetarlah tangannya. Ia tidak mengira bahwa akan dibentak sedemikian keras. Lebih-lebih ketika emas di tangannya itu direbut oleh sang bupati. Emas terlepas dari tangannya, dan pindah ke tangan sang bupati. "Biarlah emas ini aku yang menyimpannya. Jangan mengatakan kepada siapa pun. Mengerti?!" seru bupati kepada tukang kuda. "Baiklah Tuanku, hamba tidak akan mengatakan kepada siapa pun," sembah tukang kuda dengan gemetar karena takut. "Ampun Tuanku, hamba akan mundur. Hamba akan melanjutkan tugas pekerjaan hamba, memberi makan kuda-kuda Tuanku," pamitnya. Setelah mendapat izin, ia menyembah lalu pergi. Meskipun ia tidak boleh. mengatakan kepada siapa pun tentang emas itu, tukang kuda itu bertanya-tanya di dalam hatinya. Sebaliknya bupati amat gembira. Ditimang-timangnya emas sebungkal itu. Tak jemu ia memandang emas itu. "Kapan tukang rumput itu datang lagi? Kalau ia menawarkan lagi rumputnya, aku akan langsung membelinya. Pasti di dalam ikatan rumputnya terdapat lagi sebungkal emas yang lebih besar," pikirnya. 44 Apa yang diharapkan bupati sungguh-sungguh terjadi. Beberapa hari kemudian, si penjual rumput muncul kembali. Kebetulan bupati melihatnya. Oleh karena itu, segeralah penjual rumput itu dipanggil, dan rumput itu dibeli sendiri oleh sang bupati. Setelah dibayar, si penjual rumput cepat-cepat pergi dengan gembira. Si tukang kuda disuruhnya segera membongkar ikatan rumput itu. Dan benar, dalam ikatan itu juga terdapat sebungkal emas murni, berkilauan. Sang bupati segera mengambil dan menimang-nimang emas itu. Ia benarbenar lupa akan dirinya. Sambil tertawa, ia cepat-cepat pergi masuk ke istana kabupaten. Tukang kuda kembali terheran-heran menyaksikan peristiwa ini. Pada hari ketiga peristiwa serupa terulang kembali. Penjual rumput itu datang lagi menawarkan dagangannya, yang dalam ikatannya terdapat sebungkal emas yang lebih besar. Rumput ini juga dibeli oleh bupati yang tamak itu. Beberapa hari setelah peristiwa terakhir, datanglah seorang laki-laki di halaman kabupaten. Laki-laki itu berpakaian sangat sederhana. Bajunya berwarna hitam, sarung kusut diselempangkan di pundaknya. Ikat kepalanya berwarna ungu. Di balik kesederhanaan itu, terpancarlah sinar kewibawaannya yang kuat. Orang ini yakin, bahwa Tuhan akan membimbingnya dalam melaksanakan tugas, yaitu menunjukkan jalan yang benar bagi Ki Ageng Pandanaran. Pagi itu orang yang berpakaian sederhana itu bertemu dengan bupati di depan halaman kabupaten. Mungkin bupati berdiri di situ menunggu si penjual rumput. "Mohon ampun, Tuanku. Hamba telah berani menghadap Tuanku tanpa dipanggil lebih dulu," katanya dengan sopan. Bupati memandangnya sejenak dengan tajam, kemudian bertanya, "Siapakah engkau? Apa keperluanmu 45 datang kemari, pagi-pagi begini?" Ia pura-pura lupa bahwa yang berdiri di hadapannya adalah si penjual rumput. "Tuanku, hamba adalah si penjual rumput. Tuanku sering membeli rumput hamba. Apakah Tuanku mengetahui tiga bungkal emas yang ada di dalam ikatan rumput itu?" kata penjual rumput tetap sopan. "Hai tukang rumput!" bentak bupati. "Kamu ini bicara apa? Tiga bungkal emas di dalam ikatan rumput yang kubeli?" katanya lebih lanjut. "Kurang ajar betul kau, berani menuduhku!" kata Ki Ageng naik pitam. "Betul Tuanku. Hamba sadar benar. Emas itu hamba masukkan dalam ikatan rumput yang Tuan beli beberapa hari yang lalu," jawab penjual rumput tenang namun berwibawa. "Kau bohong! Kau mengada-ada! Tak waras otakmu!" bentak bupati. "Jika kamu mempunyai tiga bungkal emas, mustahil kamu berjualan rumput. Pokoknya, tidak ada apa-apa di dalam ikatan rumput itu. Ayo, pergi! Cepat!" hardiknya lebih lanjut. Sang bupati tetap bersikeras, tidak mengakui bahwa ada emas di dalam ikatan rumput yang dibelinya beberapa hari yang lalu. Akhirnya, tukang rumput diam sejenak. Ia berdoa sesaat, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar ia dapat menunjukkan pikiran yang terang kepada bupati ini tanpa jalan kekerasan. Dengan nada rendah tetapi meyakinkan, penjual rumput itu menegaskan. • "Tuanku, janganlah Tuanku mengingkari. Tuanku telah menyimpan tiga bungkal emas milik hamba di salah satu kamar Tuanku. Jangan berbohong, lebih-lebih kepada Tuhan. Dalam hati ' _.anku pasti mengakui bahwa Tuanku telah menyimpan emas milik hamba." 46 "Hai tukang rumput, kamu telah menuduhku. Dari mana kauketahui bahwa emas itu kusimpan di salah satu kamarku?" bupati bertanya. "Dari Tuhan Yang Maha Esa, Tuanku," tukang rumput menjawabnya penuh wibawa. Setelah mendengar kata-kata tukang rumput itu, bupati mulai bimbang hatinya. Ia diam, dalam hatinya timbul pertanyaan, "Siapakah sebenarnya orang ini?" Rupanya, kata-kata penjual rumput sungguh menyentuh hatinya, karena semua yang dikatakan oleh penjual rumput itu memang benar. Banyak pikiran yang terlintas dalam benaknya. Mengapa penjual rumput itu tetap tenang. Andaikata dia orang biasa, pasti dia sudah lari ketakutan ketika dibentak, dihardik dan dimarahi. Ia tetap duduk bersila, bahkan kadangkadang ia berani menatap wajah sang bupati. Sinar matanya sangat tajam, dan sepertinya dapat menembus hati sang bupati. Ditambah lagi, semua perkataannya mengenai tempat penyimpanan emas itu tepat sekali. Memang, emas itu disimpan dalam kamar tidur bupati. Tetapi bupati malu mengakui perbuatannya yang salah itu. Untuk menutupi rasa malunya, bupati berkata lebih keras. "Sudahlah, cepat pergi! Kalau tidak mau pergi, akan kupanggil pengawal untuk menangkapmu!" Bentakan K i Ageng Pandanaran itu tidak membuat gentar hati si tukang rumput. Ia tidak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya. Sejenak kemudian, ia menatap wajah bupati dan berkata dengan tenang dan berwibawa. "Tuanku, jika Tuanku tidak juga mau mengakui bahwa Tuan menyimpan emas di kamar tidur Tuan, tak apalah. Terserahlah, Tuhan Mahatahu. Hamba relakan benda itu untuk Tuanku. Kalau Tuanku masih menginginkan emas lebih banyak, hamba sanggup menunjukkan tempatnya." 47 Bupati gembira mendengar kata-kata itu. Matanya berbinar-binar karena senang. Tanpa malu-malu, bupati mendesak agar penjual rumput mau menunjukkan tempat emas yang dimaksudkan itu. "Di mana emas itu sekarang berada? Tunjukkan, cepat!" "Tuanku ingin mendapatkan emas itu? Sungguh-sungguh?" tanya penjual rumput minta kepastian. "Jika memang keras keinginan Tuanku untuk mendapatkan emas itu, Tuanku dapat mencangkulnya di halaman kabupaten. Sekarang juga." Bupati ragu-ragu lagi. "Mungkinkah di halaman kabupaten ini tersimpan emas?" demikian pikirnya. Namun ia cepat-cepat mengerjakan apa yang dikatakan si tukang rumput itu. Dicangkulnya tanah di halaman yang ditunjukkan oleh tukang rumput. Atas kebesaran Tuhan Yang Mahakuasa, setiap jengkal tanah yang dicangkul bupati, berubah menjadi emas. Melihat emas di depan matanya, bertambahlah semangat bupati untuk mencangkul lebih banyak lagi. Ia mencangkul, dan terus mencangkul. Gumpalan tanah itu menjadi gumpalan emas. Ia tetap mencangkul hingga kepayahan, dan akhirnya, ia tidak kuat lagi mencangkul. Ia meiepas lelah, beristirahat. Setelah puas meiepas lelah, bertanyalah bupati itu kepada penjual rumput. "Siapakah sebenarnya kamu ini? Mengapa menyamar sebagai tukang rumput?" kata bupati dengan perasaan takut dan bersuara lemah. "Aku adalah Sunan Kalijaga. Aku melaksanakan tugas dari Sultan Demak," demikian jawab penjual rumput yang sebenarnya adalah Sunan Kalijaga. 48 Mendengar nama Sunan Kalijaga disebut-sebut, seketika itu lemaslah tubuh sang bupati. Ia ingat betapa kasar sikapnya tadi, begitu tamak akan harta benda. Akhirnya Ki Ageng Pandanaran insaf bahwa perbuatannya selama ini tidak baik. Ia menjadi malu, wajahnya menunduk tidak lagi berani menatap wajah Sunan Kalijaga yang baru saja dibentak dan diusirnya. Akhirnya Ki Ageng meminta maaf dan memohon agar Sunan mau menerima dirinya sebagai murid. "Ya, baiklah kalau kamu memang mau menjadi muridku, kamu harus mau memenuhi beberapa syarat," jawab Sunan Kalijaga. Jawaban Sunan yang hanya dua kalimat itu ternyata dapat mengembalikan semangat Ki Ageng Pandanaran. Ia sangat lega karena merasa dosanya telah diampuni. "Persyaratan apa saja, yang harus saya lakukan, Sunan?" Ki Ageng bertanya dengan penuh gairah. "Dengarlah baik-baik. Inilah syarat yang kumaksudkan. Pertama, kamu, beserta istrimu harus pergi mengembara, dengan maksud menjauhi kekayaan duniawi. Kedua, kamu harus berzakaP dan bersedekah kepada fakir miskin. Ketiga, dalam perjalananmu, kamu tidak boleh membawa harta benda atau perhiasan." Demikian, kata Sunan Kalijaga dengan penuh wibawa. Ki Ageng Pandanaran pun bersedia memenuhi persyaratan tersebut. Ki Ageng Pandanaran dan istrinya kemudian mempersiapkan pengembaraannya, sebagaimana diperintahkan Sunan Kalijaga. Sementara itu Sunan Kalijaga melaporkan hasil penugasannya kepada Sultan Demak. 5) zakat = derma yang diberikan oleh umat Islam kepada fakir-miskin (pada hari raya Lebaran) 49 "Va, baiklah kalau memang mau menjadi muridku, kamu harus mau menerima beberapa syarat." Pada suatu hari, berangkatlah K i Ageng Pandanaran beserta istrinya mengembara untuk memperdalam ilmu agama dan menjauhkan diri dari nafsu memiliki kekayaan duniawi. Diam-diam Nyi Ageng Pandanaran membawa bekal harta benda. Barang-barang itu dimasukkannya di dalam tongkat agar tidak diketahui oleh suaminya. Dalam perjalanan, mereka dirampok oleh segerombolan orang, yang dipimpin oleh K i Sambang Dalan. Tongkat dirampas dari tangan Nyi Ageng Pandanaran. Diketahuilah oleh perampok itu, bahwa tongkat itu berisi penuh harta benda. K i Sambang Dalan berpikir, "Kalau si perempuan saja membawa harta benda begini banyak, si laki-laki itu pasti membawa lebih banyak." K i Ageng dan istrinya meneruskan perjalanan. Mereka sudah berjalan jauh di depan para perampok. Perampok 50 mengejarnya, dan berhasil. K i Ageng Pandanaran dipaksa menyerahkan harta bendanya. Padahal, ia tidak membawa apa pun. "Mengapa kalian mengejar kami, dan meminta harta benda. Kami tidak membawa barang apa pun. Seperti kambing kamu ini!" Demikian kata-kata itu ditujukan kepada ketua gerombolan, K i Sambang Dalan. Sungguh aneh, dalam sekejap mata, karena kata-kata K i Ageng Pandanaran, wajah K i Sambang Dalan berubah menjadi kambing. K i Sambang Dalan sangat takut dengan kesaktian Ki Ageng, maka larilah ia bersama kedua temannya. Sebelum ia pergi K i Ageng berpesan bahwa wajahnya akan pulih kembali apabila ia mau bertobat. Ki Ageng sangat terkesan dengan peristiwa itu, maka sebelum melanjutkan pengembaraannya ia menamai tempat itu "Sala tiga" yang artinya tiga orang bersalah. Nama itu hingga sekarang tetap dipakai dan telah banyak dikenal orang. Pengembaraan diteruskan, dalam perjalanan, N y i Ageng sering tertinggal di belakang, karena langkah-langkahnya tidak selebar dan secepat langkah suaminya. Makin jauh tertinggal, ia makin takut akan penyamun atau perampok. Ketika tiba di suatu tempat yang sepi, Nyi Ageng berteriak keras memanggil suaminya. "Ki Ageng, baya lali karo aku, kok ninggal!" teriakan Nyi Ageng dalam bahasa Jawa itu berarti' "Ki Ageng, apakah sudah lupa kepada saya, mengapa meninggalkan saya?!" Maka demikianlah, tempat Nyi Ageng memanggil suaminya disebut "Boyolali". Sampai sekarang kota Boyolali kita kenal. Perjalanan diteruskan ke selatan. Sampailah mereka berdua di lereng gunung yang bernama Jabalkat. Jabalkat 51 Pengaruh Ki Ageng tersebar luas sehingga banyak orangtua mengirimkan anak-anak mereka untuk dididik dipesantren. berada di wilayah kecamatan Tembayat, kabupaten Klaten. Ki Ageng sangat berkenan dengan tempat ini. Oleh karena itu, di tempat ini beliau mendirikan pondok dan masjid. Pengaruh Ki Ageng tersebar luas sehingga banyak orangtua mengirimkan anak-anak mereka untuk dididik di pesantren ini. Oleh karena itu, Ki Ageng Pandanaran juga terkenal dengan nama Sunan Tembayat, atau Sunan Bayat. Pada suatu hari Sunan Kalijaga berkunjung ke Jabalkat, Tembayat. Ia sangat terkesan pada pekerjaan Ki Ageng Pandanaran. Oleh karena itu, Ki Ageng Pandanaran diangkat secara resmi menjadi mubalig besar. 52 K i Ageng tinggal di Jabalkat hingga usia tua, bahkan hingga meninggalnya. Beberapa tahun kemudian, menyusullah Nyi Ageng Pandanaran meninggal dunia. Keduanya dimakamkan di Gunung Jabalkat, termasuk kecamatan Tembayat. Hingga sekarang, makam Ki Ageng Pandanaran dan istrinya itu banyak dikunjungi orang. Mereka bermaksud berziarah. 53 4 Cerita Rakyat Daerah Bali SI TERUNA TUA Pada zaman dahulu, ada seorang bujangan yang sudah lanjut usia. Orang itu kira-kira sudah berumur lima puluh tahun. Walaupun telah lanjut usia, ia belum juga mencari pasangan untuk diperistri. Ia bercita-cita memperistri seorang wanita yang hari lahirnya sama dengan hari kelahiran dirinya. Dan ia memang hanya akan kawin dengan wanita yang mempunyai hari lahir benar-benar sama dengan hari lahirnya. Pada suatu hari ada seorang bayi perempuan lahir bertepatan dengan hari kelahiran si Teruna Tua itu. Dan rupanya sudah menjadi takdir, si Teruna Tua akan menemukan jodohnya. Berita kelahiran bayi itu segera didengar oleh si Teruna Tua. Dalam hati ia berpikir: "Yah sekarang inilah cita-citaku akan tercapai. Kabarnya ada bayi lahir tiga hari yang lalu. Berarti sekarang saatnya melakukan upacara terlepasnya tali pusat. Kalau begitu sekarang juga aku harus ke sana," ia bergumam. Dia kemudian menuju mmah bayi yang baru dilahirkan itu. Sebelum berangkat, ia membuat tongkat dari tongkol jagung yang ditusuk-tusuk. Kemudian tongkat itu dibungkus dan diikat. Ia berangkat ke rumah orangtua bayi itu dengan membawa tongkat. Sampai di sana, si Teruna Tua duduk di tempat yang telah tersedia. Si Teruna Tua yang sebenarnya bernama I Wayan, disambut oleh orangtua bayi. 54 "Oh Kakak. Mari silakan masuk Kak Wayan," demikian orangtua bayi itu mempersilakan I Wayan masuk. Ia memanggil I Wayan dengan sebutan Kakak karena orang yang dipanggilnya memang sudah tua, agak lanjut usianya. "O, ya, kata orang, istrimu melahirkan bayi tiga hari yang lalu. Laki-laki atau perempuan?" tanya si Teruna Tua. "Oh perempuan," jawab orangtua bayi. "Apakah dia sehat?" "Ya, sehat keadaannya." "Kapan melakukan upacara terlepasnya tali pusat?" "Hari ini," jawab orangtua bayi. "Baiklah. Sekarang begini saja. Karena kebetulan hari ini kamu melakukan upacara nelahiiP, aku akan menitipkan tongkat ini, di sini," kata si Teruna Tua. "Ya, silakan. Taruh di sana, di bawah kolong!" jawab Pan Kayan, ayah si bayi. Tongkat itu ditaruhnya di bawah kolong, sambil berkata, "Nanti jangan diberikan, jika ada orang akan mengambilnya!" "Tidak," kata pemilik rumah. Si Teruna Tua itu kemudian pergi. Selang beberapa bulan, si Teruna Tua itu datang lagi ke tempat bayi itu. "Kak Wayan, mengapa sudah lama tak pernah kemari?" tanya orangtua bayi. "Ah, aku kemarin bepergian jauh, sulit untuk datang kemari. Kedatanganku ini untuk melihat keadaanmu sekeluarga, dan mengambil tongkatku," si Teruna Tua menjawab dengan penuh siasat. "Sekarang di mana tongkatku, dan mengapa tak kelihatan?" Kemudian si Teruna Tua itu melongok ke ko1) nelahir = upacara putus tali pusat 55 ... oleh karena kebetulan hari ini kamu mengadakan upacara nelahir, aku akan menitipkan tongkat ini, di sini, " kata si Teruna Tua. long, dilihatnya ayam bersama anak-anaknya berebutan mematuk-matuk rayap. Banyak rayap di kolong itu karena mereka memakan tongkat dari tongkol jagung yang ditusuk-tusuk. "Wah, tongkatku ini dikerumuni rayap, sudah hampir habis dimakannya. Sekarang begini saja Pan Kayan, rayap itu menjadi milikku," demikian kata si Teruna Tua, "Sebab tongkat itu dimakan oleh rayap," katanya lebih lanjut "tetapi akan kutitipkan lagi rayap itu di sini," kata si Teruna Tua meneruskan. Si Teruna Tua memang seorang yang gigih dalam usaha mencapai cita-citanya. Pertama, ia membuat tongkat dari tongkol jagung yang ditusuk-tusuk. 56 Kedua, menitipkan tongkat itu kepada orangtua bayi, yang kemudian ternyata dimakan rayap. Ketiga, dengan bahasa yang halus ia melaksanakan siasatnya sehingga tidak kentara tujuan dan maksud ia menitipkan rayap itu kepada orangtua bayi. Setelah beberapa bulan, kebetulan pada waktu itu musim pancaroba. Rayap yang berada di kolong, semua keluar mencari makan. Suatu hari si Teruna Tua berkunjung ke rumah Pan Kayan. Rayap yang berada di kolong, dimakan oleh ayam Pan Kayan, yang juga dilihat sendiri oleh si Teruna Tua. "Aduh, mengapa rayapku dihabiskan oleh ayam Pan Kayan?" kata si Teruna Tua tampak menyesalinya. "Ya, aku lupa mengusirnya," kata Pan Kayan. "Rayapku habis dimakan oleh ayam Pan Kayan, sekarang ayam itu yang kuminta. Tetapi akan kutitipkan di sini," demikian kata si Teruna Tua. "Ya baiklah," Pan Kayan mengangguk tanda setuju. Ayam yang sekarang menjadi milik Teruna Tua itu adalah ayam betina. Oleh karena itu, lama-kelamaan bertelur. Setelah dierami, menetaslah telur-telur itu, kemudian diturunkan dari sarangnya. Waktu Pan Kayan menurunkan ayam dari sarang, I Wayan atau si Teruna Tua kebetulan datang ke rumahnya. Anak ayam disergap oleh anjing Pan Kayan. Oleh karena anak ayam itu disergap, induknya menjadi marah dan menyerang. Namun induk ayam itu disergapnya pula oleh anjing itu, dan akhirnya mati. Melihat kejadian ini si Teruna Tua berpikir sebentar, kemudian berkata kepada Pan Kayan. "Mengapa ayamku jadi begini? Anak ayam berciapciap, sebab induknya disergap anjingmu. Bagaimana ini?" Ia diam sesaat, kemudian berkata lirih, "Tak apalah ayamku dimakan anjing. Sekarang anjing itu kuminta. Na57 mun aku masih menitipkannya di sini." Pan Kayan, orangtua anak perempuan itu memberikan tanggapan dengan anggukan kepala, menyetujuinya. "Wah, aku tidak bisa menghardik anjing yang menyergap anak ayam sampai induknya juga menjadi korban. Anjing itu begitu cepat menyergap induk ayam itu. Akan tetapi karena anjing itu sebagai penjaga rumah, biarlah anjing itu tetap di sini." I Wayan pun tidak berkeberatan, anjing itu tetap di rumah Pan kayan untuk menjaga rumah. Setelah peristiwa itu, si Teruna Tua pergi lagi. Selain mempunyai anjing, Pan Kayan juga mempunyai seekor kerbau, kerbau itu sedang beranak. Beberapa bulan kemudian, anak kerbau itu dikejar oleh anjing. Induk kerbau melihat anaknya dikejar anjing menjadi marah dan mendengus. Anjing itu ditanduknya, dan matilah anjing itu. Waktu itu si Teruna Tua sedang di rumah Pan Kayan pula. Ia memperhatikan bangkai anjing yang telah mati dan remuk tulangnya. Dengan nada rendah ia berkata kepada Pan Kayan. "Bagaimana, anjingku mati ditanduk oleh kerbaumu. Sekarang kerbau itu kuambil sebagai gantinya. Kerbau itu sekarang menjadi milikku." Si Teruna Tua tetap gigih dalam usaha untuk mencapai cita-citanya. Ia tidak kenal pufus asa, bahkan dalam menghadapi persoalan ia mempertimbangkannya dengan cermat. Ia berpikir dengan tenang untuk menentukan langkah yang akan diambil. "Kak Wayan, Kakak tahu sendiri, anak kerbau itu masih menyusu induknya. Kasihan dia, jika dipisah dari induknya. Baiklah induk kerbau tetap di sini, biarlah tetap mengasuh anaknya," demikian permintaan Pan Kayan kepada I Wayan, Teruna Tua. 58 "Aku merasa kasihan juga dengan anak kerbau yang masih kecil itu. Aku pinjamkan induknya untuk menyusui anaknya," demikian kata I Wayan Teruna Tua yang merasa memiliki induk kerbau itu. Beberapa tahun kemudian pada musim buah-buahan, pohon mangga yang besar dan tinggi milik Pan Kayam berbuah. Seperti biasanya kerbau I Wayan ditambatkan pada batang pohon mangga itu. Peristiwa yang tidak terduga-duga terjadi pada pohon mangga tua itu. Cabang yang sarat dengan buah itu patah karena telah tua dan beban terlalu banyak. Kerbau yang tertambat di bawahnya tertimpa cabang yang patah itu, sampai mati. Pada waktu itu, kebetulan sekali I Wayan Teruna Tua datang, dan melihatnya. Kerbau yang tertambat di bawahnya tertimpa cabang yang patah itu sampai mati. 59 "Wah kenapa begini, kerbauku tersungkur ditimpa cabang pohon mangga hingga mati. Wah sial benar nasibku. Seharusnya, aku telah mempunyai seekor kerbau tetapi kini mati ditimpa cabang pohon mangga besar yang patah. Memang pohon mangga ini terlalu lebat buahnya. Karena yang menyebabkan kematian kerbauku adalah pohon mangga, maka pohon mangga itulah sebagai gantinya. Walaupun demikian, kerbau yang mati dan daging kerbau itu dapat dimasak untuk lauk makan. Biarlah Bapak yang mengambilnya," kata Teruna Tua kepada Pan Kayan. Pada waktu itu, si bayi perempuan Pan Kayan sudah remaja. I Wayan Teruna Tua sebenarnya menunggu anak Pan Kayan itu hingga menjadi dewasa. I Wayan Teruna Tua dengan sabar dan ulet mencari cara agar anak Pan Kayan kelak dapat menjadi istrinya. Pada suatu hari, pohon mangga itu berbuah lagi. Setelah beberapa lama, masaklah mangga itu. Namun I Wayan Teruna Tua tidak pernah berkunjung ke rumah Pan Kayan. Ia sebenarnya mengintai hingga buah mangga itu masak. Pada waktu ia berkunjung, ternyata buah mangga itu tinggal dua buah, tetapi belum masak. Ia pergi lagi meninggalkan aimah Pan Kayan. Tidak lama kemudian" buah mangga itu masak, dan jatuh. Buah mangga yang jatuh terakhir dipungut oleh anak Pan Kayan, si gadis. Wajarlah remaja putri selalu senang makan buah mangga. Mungkin sudah menjadi takdir, buah mangga itu dikupas oleh anak Pan Kayan. Sedangkan yang di pohon tiada lagi. Buah itu dimakannya. Tiada diduga oleh putri Pan Kayan, tiba-tiba I Wayan Teruna datang. "Hai, mengapa sudah habis manggaku?" demikian ujarnya sambil memperhatikan putri Pan Kayan yang sedang makan mangga dan menunjuk ke pohon mangga. 60 Sebenarnya mangga yang satu juga telah dikupas tetapi belum dimakan. Kemudian Pan Kayan sambil menunjukkan sebuah mangga yang sudah dikupas berkata kepada I Wayan Teruna Tua. "Ini masih ada satu buah, tetapi sudah dikupas." "Siapa yang mengupas?" tanya I Wayan Teruna Tua. "Anakku, si gadis ini," jawabnya. "Jika demikian, baiklah anak Bapak akan kuambil sebagai gantinya, sebab dia yang mengupas manggaku," demikian dia menambahkan. "Apa yang harus kuperbuat sekarang?" kata Pan Kayan. "Terserahlah, sebab sudah terbukti anak Bapak sedang makan mangga dan di sebelah tempat duduknya ada sebuah mangga yang sudah dikupas. Padahal mangga itu adalah milikku," kata I Wayan Teruna Tua. "Jika demikian, baiklah," jawab Pan Kayan. Pembicaraan dua orang itu berlanjut dengan baik. Mereka setuju, apabila anak gadis Pan Kayan dipinang menurut adat yang berlaku. Saat itulah I Wayan Teruna Tua meminang putri Pan Kayan. Dan tidak lama kemudian, diselenggarakanlah peresmian pernikahan antara I Wayan Teruna Tua dengan putri Pan Kayan. Demikianlah, si Teruna Tua berumah tangga. Tidak lama kemudian, istrinya hamil, dan melahirkan bayi perempuan. Rumah tangga I Wayan Teruna Tua selama ini berjalan baik, mereka saling mencintai dan rukun, walaupun lüdupnya dalam kemiskinan. Pada suatu hari, istri I Wayan Teruna Tua akan menumbuk padi. Ia akan kesulitan bila harus menumbuk padi sambil menggendong anaknya. Oleh karena itu, anak diserahkan kepada suaminya agar digendongnya. "Pak, gendonglah anak Bapak," demikian ujar istri I Wayan Teruna Tua. "Jangan panggil Bapak, sebaiknya panggil Kakak saja!" 61 "Ya Kak, ajaklah anak kita ini. Aku akan menumbuk padi," sahut istrinya. "Baiklah," jawab I Wayan Teruna Tua. Istrinya mulai menumbuk padi, "Klecuk-klecuk" bunyinya. Tetapi anak yang digendong ayahnya menangis terus. Kemudian si Teruna Tua, menyanyikan suatu lagu sejarah asal-usul istrinya. Isi lagu itu demikian. "Diam, diam anakku, ibumu asal mulanya sebuah tongkat; setelah tongkat menjadi rayap; setelah rayap menjadi ayam; setelah ayam menjadi anjing," demikian nyanyian bait pertama. I Wayan berdendang merdu dan meneruskan ke bait kedua, "Setelah anjing menjadi kerbau; setelah kerbau menjadi mangga; setelah mangga baru menjadi ibumu." Mendengar lagu itu, istri I Wayan Teruna Tua marah lalu melemparkan alunya, "glendang', suara keras alu yang dilemparkannya. "Bawalah anakmu sana! A k u ini orang hina, berasal dari tongkat," demikian ujarnya. Ia kemudian meninggalkan suaminya. Istrinya dipanggil agar kembali, namun tidak mau kembali. I Wayan Teruna Tua menyesali perbuatannya. Sekarang ia bekerja lebih berat, karena ia harus menjaga, merawat, dan menyuapi si bayi, anaknya. "Aku sangat menyesal telah menyanyikan lagu itu untuk anakku. Ibunya kemudian meninggalkan aku dan anaknya. Kasihanilah anakmu," keluhnya. Selanjutnya sang suami mencari istrinya. Tidak lama kemudian, ia bertemu dengan istrinya. "Mari kita pulang" bujuknya. "Ah, aku tidak akan pulang, dan aku tidak sanggup lagi menjadi pelayan orang tua bangka. Aku hanya berasal dari tongkat, kemudian rayap, dan kemudian menjadi 62 anjing, kerbau, mangga. Lebih-lebih aku melarat. Aku tak mau kembali, walaupun dijemput dengan julP emas. Aku tak mau." I Wayan Teruna Tua tidak kehabisan akal. Ia datang lagi ke rumah mertuanya. Ia menceritakan segala peristiwa yang terjadi, dan sebab-sebab istrinya pulang ke rumah orangtuanya. Katanya kepada mertuanya, "Begitulah perihal peristiwa anak Bapak, aku mau berbuat apa?" Ia tampak menyesal. Diteruskannya katakatanya. "Bagaimana caranya terserah Bapak, ia sudah tak mau pulang lagi. Kasihan anakku yang masih kecil ini," demikian ujarnya. Pada waktu itu, Pan Kayan akan melakukan upacara ngrasakin . Salah satu syarat dalam upacara ngrasakin adalah adanya babi guling untuk hidangan bagi dewa. Pan Kayan merasa malu menyuruh menantunya, sebab menantunya sedang bertengkar dengan anak perempuannya. Akhirnya Pan Kayan tidak mengundang menantunya. Walaupun begitu, si Teruna Tua mengetahui bahwa mertuanya hari itu akan mengadakan upacara ngrasakin. "Sekarang mertuaku akan ngrasakin. Aku akan mempergunakan kesempatan ini. Apalagi anakku sekarang sedang tidur. A k u akan memanjat pohon mangga yang sangat besar di kebunnya," demikian keputusannya. Tiada diduga sebelumnya, di bawah pohon mangga yang besar itulah upacara ngrasakindilakukan. Di tempat ini disedia3) 2) juli = joli, sebangsa tandu 3) ngrasakin = nama upacara yang ditujukan kepada dewa pertanian atau makhluk halus penghuni halaman rumah. Salah satu syarat dalam upacara ngrasakin adalah adanya babi guling untuk diunjukkan kepada dewa. 63 kan sesaji. Dan di tempat ini pula diadakan pembakaran setangkai dupa, dan penghantar upacara itu sudah siap dengan tepung tawar. Dari antara mereka, yang mengikuti upacara ngrasakin, tidak ada yang mengetahui bahwa di atas pohon itu ada I Wayan Teruna Tua. Upacara ngrasakin dimulai. Pan Kayan mulai membacakan doa. "Dewa Ratu Jero Sedahan Abian, hamba sekarang mengaturkan tepung tawar majagau^, agar maklum," "Cek, eek, eek, eek, eek," terdengar suara dari atas pohon. "Sangat bermurah hati Jero Sedahan Abian" "Ayo kita iringi dengan nyanyian pujaan, dan terus saja mengucapkan doa." "Hamba mengaturkan asap kemenyan majagau sudilah Jero Sedahan Abian menikmati baktiku ini berupa babi guling," "Cek, cek, cek, cek, cek, " terdengar lagi suara dari atas pohon. Saat itulah I Wayan Teruna Tua menggunakan kesempatan, katanya dengan pelan tetapi bergema. "Jika tidak disediakan satu paha babi guling untuk menantumu, tidak akan kuterima baktimu," ujarnya. Pan Kayan pun menanggapi suara itu dengan penuh hikmat. "Ya, tetapi agar aku bisa sampai di rumah menantu, bagaimana caranya?" Kemudian I Wayan Teruna Tua dengan hati-hati bersuara. "Sekarang, anak perempuanmu supaya membawakannya kepada suaminya." Selesai upacara ngrasakin, Pan Kayan kemudian menyiapkan paha babi guling dan menyuruh anak perempuannya mengantarkannya kepada suaminya. 4) . tepung tawar ma]agau= tepung beras yang dicampur dengan air dan daun setawar untuk menjampi atau memantrai. 64 "Jika tidak disediakan satu paha babi guling untuk menantumu, tidak akan kuterima baktimu, " ujamya. "Anakku, ini kita lakukan agar apa yang kita tanam berhasil baik, supaya Pohon Mangga lebat buahnya, bukankah bunganya saat ini banyak sekali? Hanya membawa satu paha babi guling, bawakan saja!" kata Pan Kayan, kepada anak perempuannya. Akhirnya, anak Pan Kayan mau juga ke rumah suaminya. Setibanya di rumah suaminya, dilihatnya bayinya sedang menangis. Tidak sampai hati ia melihat anaknya sendiri menangis. Tanpa ada orang memintanya, bayi itu kemudian didekati dan digendongnya. Tenanglah si anak dalam dekapan ibunya. Saat itu datanglah suaminya, I Wayan Teruna Tua. Ia melihat istrinya sedang mengangkat anaknya dari tempat tidur. Ia menyambut istrinya penuh kegirangan. Akhirnya rumah tangganya rukun kembali, bahagia, dan sejahtera. 65 Demikianlah, kecakapan I Wayan Teruna dalam mencapai cita-citanya, yaitu mencari istri yang dicintainya. Ia begitu gigih berjuang, sabar dan tekun, walaupun hanya bermodalkan sebuah tongkat, ia berhasil mewujudkan cita-citanya. PUSTAKA ACUAN Crijns, M.1941. Bab Woelangan Ndongehg ing Volksschool (penerjemah: M . Samoed Sastrawardojo). Tjaptjapan kaping kalih, Batavia-C Bale Poestaka. Proyek Penelitian dan Pencatatan kebudayaan Daerah. 1978/1979- Cerita Rakyat Daerah Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978/1979- Cerita Rakyat Daerah Sumatra Selatan. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Cerita Rakyat Daerah Bali. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Waterink, J. Prof. Dr. 1956. Psychologi Anak Sekolah Rakjat. (Penerjemah: Oei Tjin San, psy, Drs. dan Moh. Isa), Djakarta: Badan Penerbit Kristen. Catatan