editorial - STIKes Budiluhur Cimahi

Transcription

editorial - STIKes Budiluhur Cimahi
EDITORIAL
Pelindung:
Ketua Stikes Budi Luhur Cimahi
Dr. Ijun Rijwan Susanto, SKM., M.Kes.
Pengantar Redaksi
Syukur Alhamdulilllah kami panjatkan
kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
Penanggung Jawab:
Kepala LPPM
Karwati, SST., MM
Ketua Dewan Redaksi:
Wakil Ketua I, Bidang Akademik
Yosi Oktri, S.Pd., SST., MM
hidayah-Nya, sehingga Jurnal
Kesehatan STIKes Budi Luhur Cimahi
Volume 7 No. 2, Juli 2014 dapat
diterbitkan.
Dengan diterbitkannya Jurnal
Kesehatan Budi Luhur Cimahi ini,
diharapkan dapat memberikan manfaat
Wakil Ketua Redaksi:
Budi Rianto, S.Sos., MM
dan pencerahan kepada masyarakat
dan lingkungan civitas akademika
Anggota:
Dr. Sri Wahyuni, S.Pd., M. Kes.
STIKes Budi Luhur Cimahi yang dapat
membawa visi dan misi Tri Dharma
Perguruan Tinggi sehingga
Editor:
Dr. Atira,S.Si., M.Kes.
memunculkan inspirasi dan inovasi
dalam bidang kesehatan untuk
Distributor:
Rahayu, S.Pd.
kepentingan kesejahteraan bangsa dan
Negara Republik Indonesia.
Kepada para penulis kami ucapkan
banyak terima kasih atas
partisipasinya. Semoga Jurnal ini dapat
menjadi media komunikasi dan
penyebar luas informasi tentang ilmu
ALAMAT REDAKSI:
LPPM STIKes Budi Luhur Cimahi
Jl. Kerkof No. 243 Leuwigajah Cimahi,
Jawa Barat
Telp. 022-6674696
Hp: 085222037309
E.mail: atira_c01@ymail.com
pengetahuan bagi kita semua, Amin.
Wassalam,
Dewan Redaksi
159
HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI KINERJA PERAWAT
ASOSIASI DENGAN PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL PLEBITIS DI RUANG INAP
ZUMAR, ZAITUN II BEDAH, ZAITUN III KEBIDANAN RSUD AL IHSAN BANDUNG
FACTORS RELATED PERFORMANCE UNDERLYING NURSES ASSOCIATION WITH
PREVENTION OF NOSOCOMIAL INFECTION PLEBITIS IN THE HOSPITAL ZUMAR, OLIVE
SURGERY II, III MIDWIFERY HOSPITAL OLIVE AL IHSAN BANDUNG
Wulan Novita Ambasari
Program Studi S-1 Ilmu Keperawatan
Abstract
Background: This study is the high incidence of cases in hospitals plebitis Al Ihsan where in
the period January to March 2013 recorded 144 414 patients there were 95 cases attached
infusion plebitis with details Zumar 1 case, olive Surgery II, 70 cases and 13 cases OLIVE III
Midwifery. This Plebitis including the incidence of nosocomial infections. Nosocomial infections
are infections acquired and developed during the patient hospitalized. Extremely adverse
consequences patient, in addition to the care and maintenance costs be increased until the
cause of death.
Aims: to determine the relationship identifying the factors underlying the association of nurses
in the prevention of infection.
Methods: The method used is descriptive correlational with a total sample of 43 respondents
were taken by total sampling. Data analysis showed more than half of nosocomial infection
prevention measures in either category, the training there are 33 people who have not got the
infection prevention training, infrastructure is more than 58% in less good condition and
supervision of more than 55.5% of primary nursing supervision has been doing well . Data were
analyzed with univariate and bivariate percentage by using the chi-square statistical test. The
final conclusion is based on analysis of the relationship between the performance of nurse
training in the prevention of infections associated p-value = 0.001 at α = 0.05 level. There is a
relationship with the performance of infrastructure associated with infection prevention nurse P
value = 0.000 at α = 0.05 level. There is a relationship between the performance of nursing
supervision in the prevention of nosocomial infections associated P value = 0.000 at α = 0.05
level.
Results: The results of this study recommends that efforts should be taken by the hospital to
minimize the incidence of nosocomial infections by improving the performance of nurses and
other personnel in the prevention of nosocomial infections, has a concept to foster health
workers, improving the SPO and strong commitment from management.
Keywords: cross sectional, nosocomial infection, performance, prevention, nurses association
160
PENDAHULUAN
Kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari
penerima jasa pelayanan. Penekanannya adalah kualitas yang diberikan dengan biaya
yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain biaya yang dikeluarkan dapat ditekan, pasien
juga mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan harapan tanpa mendapatkan
komplikasi akibat perawatan di rumah sakit. Sebagai fasilitas pelayanan kesehatan rumah
sakit memiliki indikator mutu, salah satunya adalah prosentase angka kejadian infeksi
nosokomial (Depkes R.I, 2005).
Infeksi Nosocomial atau sekarang di sebut disebut health care-asosiasid infections adalah
infeksi yang di dapat pasien saat dalam perawatan atau kondisi pembedahan dan efek
samping yang paling sering selama di rawat. (WHO 2011). infeksi nosokomial merupakan
masalah utama bagi keselamatan pasien dan dampaknya dapat mengakibatkan rawat inap
menjadi lama, cacat permanen, meningkat resistensi mikroorganisme terhadap agen
antimikroba, menambah beban keuangan untuk biaya kesehatan, biaya tinggi untuk pasien
dan keluarga mereka, dan resiko
meningkatnya kematian. Infeksi nosokomial bersifat
universal dan meliputi setiap fasilitas kesehatan dan
sistem di seluruh dunia, tetapi
keadaan yang sebenarnya masih belum diketahui di banyak negara, khususnya di negara
berkembang (WHO, 2011),
Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman dengan menggunakan kriteria
yang dikeluarkan oleh Depkes (Depkes, 2011 ), salah satunya plebitis (IADP). Plebitis
merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi infus.
Plebitis adalah inflamasi lapisan vena yang disebabkan faktor mekanik, kimia, maupun
teknik aseptik yang kurang (Philips, 2005). Plebitis dikarakteristikan dengan adanya
kemerahan pada area tusukan, nyeri, bengkak, pengerasan atau indurasi, pengerasan
sepanjang vena, dan panas (Alexander, et al., 2010; NHS Lanarkshire, 2009).
Angka kejadian infeksi nosokomial secara umum di dunia cukup tinggi yaitu 7,1 % per
tahun atau dari 190 juta pasien yang dirawat. Angka kematian akibat infeksi nosokomial ini
juga cukup tinggi yaitu 1 juta per tahunnya. Survey yang dilakukan WHO tahun 2010
terhadap 28 rumah sakit di Amerika dan Eropa menunjukkan insiden infeksi nosokomial 13
161
s.d 20 kejadian dari 1000 hari pasien di rawat dengan rincian 83 % pasien dengan infeksi
VAP, 97 % infeksi saluran kemih, 81 % infeksi aliran darah perifer/plebitis (WHO, 2011).
Indonesia berdasarkan data WHO tahun 2010 angka infeksi nosokomial 7,1 % dari pasien
di rawat di 14 rumah sakit yang dijadikan penelitian. Dengan rincian infeksi daerah operasi
29, 1 %, infeksi saluran kemih 23,9 %, infeksi aliran darah tepi 19,1 %, HAP 14,8 %, infeksi
lainnya 13,1 % (WHO, 2011).
Angka kejadian plebitis di Jawa Barat belum diketahui semuanya. Tapi ada satu penelitian
yang dilakukan Wayunah (2011) di RSUD Garut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
Wayunah menyebutkan bahwa angka kejadian plebitis di rumah sakit tersebut adalah 40%
dan angka kejadian infeksi nosokomial yang lain sementara ini belum terlaporkan.
Tabel 1.1 Angka Kejadian Plebitis Periode Triwulan Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi
Jawa Barat Tahun 2013
No
Bulan
Jumlah Pasien yang
infeksi
terpasang infus
Jan
Feb
Maret
Feb
Mar
Jan
1
Zumar
829
770
931
0
1
0
2
Asal
699
620
688
0
0
0
3
Zaitun I
756
772
1059
0
1
1
4
Zaitun II Medikal
369
220
393
0
0
6
5
Zaitun II Bedah
363
417
421
23
25
22
6
Zaitun II VIP
256
184
155
0
0
0
7
Zaitun III Kebidanan
415
382
411
6
2
5
8
Zaitun III Perinatologi
169
100
207
0
0
0
9
Lukmanul Hakim
1038
966
824
0
0
3
4894
4431
5089
29
29
37
Jumlah
Sumber : KPPI RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat, 2013
162
Berdasarkan data laporan infeksi nosokomial dii instalasi rawat inap RSUD Al Ihsan
periode Januari s.d Desember 2012 angka kejadian infeksi aliran darah primer ruang Zaitun
II Bedah 57,6 %, Zaitun I 0,7 %, Zaitun III Kebidanan 31,8 %, Zumar 1,3 %. Infeksi saluran
kemih tidak ada kejadian, infeksi daerah operasi hanya di ruang Zaitun Bedah 0,7 %.
Berdasarkan standar pelayanan minimal Depkes secara umum untuk kejadian infeksi
nosokomial di rumah sakit adalah ≤ 1.5% (Depkes, 2008).
Peran manajemen rumah sakit sangat penting dalam menunjang program pengendalian
infeksi. Dimana Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit sangat
penting dilakukan karena kejadian infeksi nosokomial menggambarkan mutu pelayanan
rumah sakit. Karena salah satu faktor penyebab dari infeksi nosokomial ialah faktor
extrinsik yaitu faktor yang berasal dari luar penderita yaitu petugas kesehatan yang
berhubungan langsung dengan pasien,dalam hal ini perawat, dalam hal pencegahan infeksi
(Darmadi, 2008). Untuk meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi,
kegiatannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan,
monitoring dan evaluasi (Depkes R.I, 2008). Salah satu upaya pelaksanaan dan infeksi
nosokomial plebitis di ruangan ialah memaksimalkan kinerja perawat dalam melakukan
tindakan keperawatan karena peran perawat langsung berhubungan dengan pasien
selama 24 jam sehingga perlunya kinerja yang optimal dalam pencegahan infeksi
nosokomial agar tidak terjadi pada infeksi nosokomial selama klien di rawat.
Mangkunegara (2009) berpendapat bahwa dalam menilai kinerja perawat salah satunya
adalah dengan melakukan penilaian terhadap kegiatan perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan SOP dan SAK. Dukungan dan supervisi kepala ruangan
terhadap kinerja perawat asosiasi sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan infeksi
nosokomial. Supervisi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan perawat
asosiasi dalam melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial.
Menurut Simanjuntak (2005), kinerja dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat
digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian. Pertama kompetensi individu, meliputi pelatihan,
motivasi dan sikap. Kedua dukungan organisasi, meliputi penyediaan sarana dan
prasarana kerja, kenyamanan lingkungan kerja, serta jaminan kesehatan dan keselamatan
kerja. Ketiga dukungan manajemen, meliputi cara manajemen mempertahankan kinerja
karyawan yang dilakukan atasan langsung melalui supervisi langsung terhadap karyawan.
Berkaitan dengan pengendalian infeksi nosokomial, penelitian yang dilakukan oleh Bady,
Kusnanto, & Handono, (2007) didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
163
pelatihan dengan kinerja SDM dalam pengendalian infeksi nosokomial. Penelitian lainnya
yang dilakukan oleh Setiawati (2009) mengatakan bahwa terdapat hubungan bermakna
antara pengetahuan dengan ketaatan petugas kesehatan melakukan upaya pencegahan
infeksi nosokomial melalui hand hygiene.
Hasil wawancara dengan ketua komite pencegahan dan pengendalian infeksi RSUD Al
Ihsan pada awal tahun 2013 didapatkan informasi bahwa tidak mudah bagi perawat di
ruangan melakukan isolation precaution, alasannya adalah kurangnya kesadaran diri
petugas kesehatan dalam melakukan cuci tangan terutama 5 moment dan sarana hand rub
dan hand wash yang tidak merata idealnya satu kamar pasien ada 1 hand rub/hand wash.
Padahal hand hygiene merupakan pilar dari pencegahan dan pengendalian infeksi sehngga
bila tidak di lakukan menyebabkan terjadinya perpindahan mikroorganisme dari manusia ke
manusia atau ke benda.
Perawat asosiasi di instalasi rawat inap pada tahun 2012 berjumlah 181 orang, yang
mendapat pelatihan pencegahan dan pengendaian infeksi
adalah sekitar 30 %.
Berdasarkan data kepatuhan SPO tahun 2012 periode Januari-Desember adalah prosedur
cuci tangan dalam tindakan pemasangan infus angka kepatuhan 65%. Pelaksanaan
program pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial untuk perawat di RSUD AL
Ihsan tidak di laksanakan secara rutin. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Kinerja Perawat Asosiasi Dengan
Kejadian Infeksi Nasokomial Plebitis Di Rawat Inap Zaitun II Bedah dan Zaitun III
Kebidanan RSUD Al-Ihsan”. Tujuan Umum penelitian ini Mengidentifikasi Faktor-Faktor
Yang Melatarbelakangi Kinerja Perawat Asosiasi dalam Pencegahan Infeksi Nasokomial
Plebitis Di Rawat Inap Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan RSUD Al-Ihsan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang digunakan adalah descriptive correlation study merupakan penelitian atau
penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek
(Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional untuk
mempelajari dinamika korelasi antar faktor-faktor dengan efek dengan cara pendekatan
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu (Notoatmodjo, 2002).
A. Metode Penelitian
1. Paradigma
Kerangka konsep dibuat sebagai landasan peneliti dalam melakukan penelitian.
Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian dalam
164
suatu penelitian (Arikunto, 2006). Aspek yang diteliti adalah kinerja perawat dengan
menggunakan teori kinerja Iyas (2002) dan Simanjuntak (2005). Variabel dalam
penelitian ini terdiri dari faktor-faktor yang melatarbelakangi kinerja perawat asosiasi di
rawat inap Zaitun II Bedah dan Zaiitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan, yaitu kompetensi
(pelatihan), dukungan manajemen (penyedian sarana prasarana, dan dukungan
manajemen (supervisi).
Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman pada kriteria yang
dikeluarkan oleh Depkes (Depkes, 2011 ). Yaitu terjadinya infeksi aliran darah perifer/
pebitis. Plebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena yang
ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi (pengerasan) pada daerah
tusukan, dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena (Alexander, et al.,2010).
berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti membuat sistematis kerangka
konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen
Variabel Dependen
Kejadian
Infeksi
Kinerja
Pelatihan
Sikap
Kompetensi Individu
:
Tingkat Pendidikan
Motivasi
Plebitis
Ketersediaan sarana
dan prasarana kerja
Dukungan manajemen
Kenyamanan
Lingkungan Kerja
Jaminan Kesehatan
dan keselamatan kerja
165
Dukungan organisasi
Supervisi Kepala tim
Sumber : modifikasi Simanjuntak, 2006 dan Depkes, 2011
Keterangan :
Di teliti
:
Tidak Di teliti :
2. Rancangan Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah descriptive correlation study merupakan
penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau
sekelompok subyek (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan adalah cross
sectional untuk mempelajari dinamika korelasi antar faktor-faktor dengan efek dengan
cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu
(Notoatmodjo, 2002).
Dalam penelitian ini akan melihat hubungan faktor faktor yang melatarbelakangi
kinerja perawat asosiasi dengan kejadian infeksi nasokomial Plebitis di rawat inap Zaitun
II Bedah, Zaitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013.
3. Hipotesis Penelitian
a.
Ha : Ada Hubungan kompetensi individu (pelatihan) dalam pencegahan Infeksi
Nosokomial Plebitis Di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III
Kebidanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013.
b.
Ho : Tidak Ada Hubungan kompetensi individu (pelatihan) dalam pencegahan
Infeksi Nosokomial Plebitis Di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah,
Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013.
c.
Ha : Ada Hubungan dukungan organisasi (ketersediaan sarana dan prasarana)
dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat Inap Zumar,
Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provisinsi Jawa Barat Tahun 2013.
d.
Ho : Tidak Ada Hubungan dukungan organisasi (ketersediaan sarana dan
prasarana) dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat
Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provisinsi Jawa Barat
Tahun 2013.
166
e.
Ha : Ada Hubungan dukungan manajemen (Supervisi) dalam pencegahan Infeksi
Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III
Kebidanan Provisinsi Jawa Barat Tahun 2013.
f.
Ho : Tidak Ada Hubungan dukungan manajemen (Supervisi) dalam pencegahan
Infeksi Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah,
Zaitun III Kebidanan Provisinsi Jawa Barat Tahun 2013.
Parameter untuk melihat hasil p-value yang dibandingkan dengan nilai α = 5%,
ketentuannya adalah sebagai berikut :
a. Jika p-value > 0,005, maka Ho diterima artinya menunjukkan dua variabel tersebut
tidak ada hubungan.
b. Jika p-value ≤ 0,005, maka Ho ditolak artinya menunjukkan dua variabel tersebut
ada hubungan.
4. Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu keIompok
(orang, benda, situasi) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok tersebut
(Nursalam, 2008).
a. Variabel bebas (independen)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
perawat berdasarkan Simanjuntak (2005), meliputi kompetensi individu (pelatihan),
dukungan organisasi (ketersediaan sarana dan prasarana kerja), dan dukungan
manajemen melalui supervisi kepala tim.
b. Variabel terikat (dependen)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pencegahan Infeksi nosokomial yang
terjadi pada pasien berpedoman dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan
oleh Depkes (Depkes, 2011 ). Yaitu pencegahan infeksi aliran darah perifer/
Plebitis.
5. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang berada dalam wilayah
penelitian (Arikunto, 2006). Populasi disebut juga universe adalah keseluruhan
obyek/unit/anggota/item (misalnya manusia) dari sebuah riset. Populasi dapat terbatas
167
(finite) atau tak terbatas (infinite) Populasi terbatas jika elemen-elemen dapat dihitung,
sedangkan populasi tak terbatas jika elemen-elemen penelitian tak terhitung banyaknya
(Murti, 2006).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat asosiasi di ruang rawat inap
Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013,
sebanyak 43 orang.
a. Ruang Zaitun II Bedah
c. Ruang Zaitun III Kebidanan
b. Ruang Zumar
Jumlah :
13 Orang
8 Orang
22 Orang
43 Orang
2. Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan desain Purposive
Sampling dengan teknik total sampling, yaitu teknik penetapan sampel dengan cara
mengambil seluruh sampel yang ada. dengan kriteria sampel inklusi dan eklusi menurut
Nursalam, 2008. Dalam penelitian ini meliputi :
a. Kriteria Inklusi
1) Perawat asosiasi di seluruh pelayanan rawat inap
2) Bersedia menjadi responden
b.
Kriteria Eklusi
1) Tidak sedang melanjutkan pendidikan
2) Kepala ruangan, clinical instructure, perawat primer
3) Bidan
4) Tidak sedang mengikuti pelatihan
Tidak sedang cuti melahirkan
B. Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang
memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono, 2006).
168
Adapun usaha pengumpulan data yang dilakukan sebagai dasar analisa untuk
mendapatkan pemecahan masalah adalah sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan yaitu dengan cara mempelajari bahan-bahan berupa buku-buku,
dokumen-dokumen dan bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti
b. Studi lapangan, yang dilakukan dengan cara:
1) Angket
yaitu
mengumpulkan
data
dengan cara menyebarkan atau
memberikan formulir daftar pertanyaan tertulis kepada responden, dalam hal
ini respondennya adalah perawat di ruang rawat inap Plebitis Di Ruang
Rawat Inap Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat.
2) Lembar tilik pengamatan tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana
dalam adalah Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman
dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Depkes (Depkes, 2011
). Yaitu infeksi aliran darah perifer/ Plebitis.
2. Instrumen Penelitian
Kuesioner terdiri dari kinerja perawat (sarana dan prasarana dan supervisi)
dengan jumlah 22 pernyataan. Kuesioner terdiri dari 1 item pertanyaan dan 22 item
pertanyaan dalam bentuk pertanyaan positif dan pertanyaan negatif. Pengukuran
menggunakan skala likert dengan empat kriteria, yaitu pernyataan positif: 4 = selalu, 3 =
sering, 2 = kadang- kadang, 1 = tidak pernah serta 4 = sangat setuju, 3 = setuju, 2 =
kurang setuju, 1= tidak setuju . Sedangkan untuk pernyataan negatif: 4 = tidak pernah, 3
= kadang- kadang, 2 = sering, 1 = selalu serta 4 = tidak setuju, 3= kurang setuju, 2=
setuju, 1 = tidak setuju.
Lembar tilik bersumber dari daftar tilik milik bidang keperawatan RSUD Al Ihsan
digunakan untuk mengamati kinterja perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi
nosokomial yaitu SPO Pemasangan infus dan lembar tilik yang bersumber dari komite
pencegahan infeksi nosokomial RSUD Al Ihsan yaitu kebersihan tangan.
Setiap item diberi bobot berdasarkan kategori (Depkes, 2009). Kategori I adalah
tindakan
kewaspadaan
standar
pencegahan
infeksi
nosokomial
yang
di
rekomendasaikan untuk seluruh rumah sakit, meliputi kebersihan tangan dan
pemasangan infus, masing-masing diberi bobot 4.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
169
a. Uji Validitas Instrumen Penelitian
Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti
secara tepat. Uji ini dilaksanakan di RSUD Cibabat tanggal 20 Juni 2013 dengan
jumlah responden 20 orang. Kuesioner sarana dan prasarana jumlah yang valid 12
pertanyaan dengan nilai alpha cronbach r 0.933 dan kuesioner supervisi terdiri dari
10 pertanyaan valid semua dengan
nilai alpha Cronbach r 0.936. Lembar tilik
pemasangan infus SPO yang sudah baku dari Bidang keperawatan RSUD Al Ihsan,
dan lembar tilik Hand Hygiene yang sudah baku dari SPO komite pencegahan dan
pengendalian infeksi RSUD Al Ihsan.
b. Uji Reliabilitas Instrument
Reliabilitas menunjukkan pengertian bahwa instrument dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, karena instrument tersebut sudah
baik. Instrument yang tidak baik tidak tendensius mengarahkan untuk memilih
jawaban-jawaban tertentu. Instrument yang sudah dapat dipercaya, reliabel akan
menghasilkan data yang benar sesuai dengan kenyataannya, maka beberapa kali
diambil akan tetap sama. Uji reliabilitas ini di laksanakan di rumah sakit umum
daerah Cibabat tanggal 20 Juni 2013 dengan 20 responden dengan hasil uji
reliabilitas yaitu nilai hasil lebih tinggi dari konstanta (0,7) sehingga hasilnya reliabel
untuk semua variabel (sarana prasarana 0.933 dan supervisi 0.936).
C. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah atau urutan-urutan yang dikerjakan dalam penelitian ini.
Tahapan Prosedur Penelitian : Tahap Persiapan, Tahap pelaksanaan, dan Tahap Akhir
Penyusunan laporan penelitian :
D. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Hastono (2007) agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar,
paling tidak ada empat tahapan pengolahan data yang harus dilalui, yaitu :
a. Editing, Coding, Processing, dan Cleaning .
2. Analisis Data
170
Analisis data digunakan dengan menggunakan program aplikasi statistik dengan
tahapan analisis data sebagai berikut yaitu :
a. Analisis Univariat
Teknik yang digunakan dalam pengolahan tingkat pengetahuan adalah cara
menjumlahkan setiap alternatif jawaban pada setiap item soal kemudian
dibandingkan dengan jumlah responden dan dikalikan 100 %, hasilnya berupa
persentase, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
p
x
x100%
n
Keterangan :
b.
p
= presentase
x
= jumlah skor jawaban responden
n
= jumlah seluruh item (Arikunto, 2006).
Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel
dependen dan independen (Hastono, 2007). Pemilihan uji statistik yang digunakan
berdasarkan pada jenis data serta jumlah variabel yang diteliti. Pada penelitian ini
dilakukan uji Chi square karena variabel independen berbentuk data katagorik dan
dependennya katagorik dan waktu yang ditempuh penulis hanya 2 minggu.
Pembuktian dengan Chi Square dengan menggunakan formula :
Keterangan
( O – E )2
E
O
= nilai observasi
E
= nilai ekspektasi (harapan)
k
= jumlah kolom
b
= jumlah baris
Selanjutnya
X2 = Σ uji signifikansi antara data yang di observasi dengan data yang
diharapkan, dilakukan dengan menggunakan batas kemaknaan (alpha) α = 5%
artinya bila diperoleh p ≤ α, berarti secara signifikan ada hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat dan bila p > α, berarti tidak ada hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat.
E. Etika Penelitian
Untuk menghindari masalah yang tidak diinginkan selama pelaksanaan penelitian,
terutama pada saat pengisian jawaban kuesioner oleh responden, maka terlebih dahulu
171
responden diminta kesediaannya untuk menandatangani surat keterangan persetujuan
(informed consent).
Segala informasi yang di peroleh dari responden akan dijaga kerahasiannya serta
hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian ini
dan setelah selesai, semua
catatan/data mengenai responden akan dimusnahkan. Sebagai pertimbangan etik, peneliti
menyakinkan bahwa responden terlindungi dengan aspek-aspek self determinations,
privacy, anonymity, confidentiality and protection from discomfort (Polit and Hungler, 2001),
dimana uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Self determination. Responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia
atau tidak mengikuti penelitian ini secara sukarela dengan menandatangani informed
concent
2. Privacy responden dijaga dengan merahasiakan informasi yang didapat dari mereka dan
hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian ini
3. Anonymity. Selama penelitian, nama dari responden tidak digunakan sebagai gantinya
peneliti menggunakan nomor partisispan
4. Confidentiality. Peneliti menjaga kerahasiaan identitas dan informasi.
5. Protection from discomfort. Responden bebas dari rasa tidak nyaman
F. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Plebitis Di Ruang Rawat Inap Zaitun II
Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Mei
minggu akhir sampai dengan Juli minggu pertama tahun 2013. sedangkan untuk
pengambilan data dilakukan pada minggu kedua bulan Juni 2013.
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian mengenai kinerja perawat asosiasi dengan variabel pelatihan,
sarana prasarana dan supervisi pada pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di ruang
rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Al
Ihsan tahun 2013, disajikan dalam bentuk diagram, bar, dan tabel seperti yang terlihat di
bawah ini
1. Analisis Univariat
a. Pencegahan infeksi nosokomial melalui tindakan pemasangan infus dan
kebersihan tangan
172
Bar 4.1 Distribusi frekuensi perawat asosiasi melalui observasi tindakan
pemasangan di Ruang Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013
Bar 4.2 Distribusi frekuensi perawat asosiasi malalui observasi tindakan kebersihan
tangan di RSUD Al Ihsan tahun 2013
173
Gambaran kinerja perawat asosiasi dalam pencegahan infeksi nosokomial melalui
tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan di ruang rawat inap, zumar, zaitun II
bedah dan zaitun III kebidanan RSUD Al Ihsan tahun 2013 secara umumberdasarkan
rata-rata tindakan pemasangan infus berdasarkan observasi langsung ruang Zumar 74%
, Zaitun II Bedah 76% dan Zaitun III Kebidanan 78%. Nilai rata-rata tindakan Hand
hygiene berdasarkan obserbasi langsung yaitu ruang Zumar 75%, ruang Zaitun II Bedah
78% dan Zaitun III Kebidanan 76%.
. Bar 4.3 Distribusi frekuensi perawat asosiasi dalam pencegahan infeksi nosokomial
plebitis berdasarkan tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan di
Ruang Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013
Berdasarkan bar di atas menunjukkan kinerja perawat asosiasi dalam
pencegahan infeksi nosokomial melalui tindakan pemasangan infus dan kebersihan
tangan adalah 23 orang perawat dengan kinerja baik dalam pencegahan infeksi
nosokomial (53.5%) dan 20 orang
perawat dalam kinerja kurang baik dalam
pencegahan infeksi nosokomial (56.5%).
b. Pelatihan Pencegahan Infeksi Nosokomial
Diagram 4.1 Distribusi Frekuensi pelatihan pencegahan infeksi nosokomial yang pernah
di ikuti di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, dan Zaitun III
Kebidanan RSUD Al Ihsan tahun 2013
174
Berdasarkan Diagram di atas 43 responden dari Zumar, Zaitun II Bedah, dan zaitun
III Kebidanan ialah responden yang pernah mengikuti pelatihanpencegahan infeksi
nosokomial sebanyak 10 orang (23.3 %) dan yang belum pernah mengikuti 33 orang
(76.7%).
c. Sarana dan Prasarana pada Pencegahan Infeksi Nosokomial
4.2 Distribusi Frekuensi ketersediaan sarana prasarana kerja yang mendukung dalam
pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Zaitun II Bedah, Zumar, dan
Zaitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan.
Berdasarkan tabel 4.2 di atas persepsi 43 responden dari Zumar, ZaitunII Bedah,
dan Zaitun III Kebidanan ialah kondisi baik 18 (41.9%) dan supervisi kurang 25 (58.1 %).
d. Supervisi Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial
175
Diagram 4.3
Distribusi
Frekuensi supervisi yang dilakukan
perawat primet terhadap perawat asosiasi dalam
pencegahan infeksi Nosokomial di Ruang Rawat
Inap Zumar, ZaitunII Bedah, dan Zaitun III
Kebidanan RSUD Al Ihsan tahun 2013
Berdasarkan tabel 4.3 di atas meunjukkan bahwa supervisi yang dilakukan
perawat primer dalam pencegahan infeksi nosokomial berdasarkan persepsi 43
responden dari Zumar, ZaitunII Bedah, dan Zaitun III Kebidanan yang menyatakan
supervisinya baik sebanyak 24 (55.8%) sedangkan supervisi kurang 25 (44.2%).
2. Analisis Bivariat
a. Hubungan Pelatihan dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis
Tabel 4.1 Distribusi responden Pelatihan yang pernah didapatkan dan Tindakan
pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah
Al Ihsan tahun 2013
Observasi kinerja PA
Pelatihan
Dalam pencegahan
infeksi
POR
Total
P value
(C195%)
176
Baik
Kurang Baik
n
%
n
%
n
%
Pernah
10
100
0
0
10
10
2.538
Tidak
13
39.4
20
60.4
33
0
(1.663-
Pernah
10
0.0001
3.876)
0
Jumlah
23
53.5
20
46,5
43
10
0
Dari tabel 4.1
hasil analisis hubungan antara Pelatihan pencegahan infeksi
nosokomial dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis (pemasangan infus
dan hand hygiene) diperoleh bahwa ada sebanyak 10 (100 %) perawat pelaksana yang
pernah pelatihan dan perilakunya baik, sedangkan diantara perawat pelaksana yang
belum pernah pelatihan ada 20 (60.4 %) perawat yang perilakunya kurang baik.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi square didapatkan nilai p= 0,001 (α=
5%), maka dapat disimpulkan Ho di tolak. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan
antara pelatihan dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit Al ihsan
Bandung.
Dengan hasil analisis di atas diperoleh nilai POR 2.538 yang artinya bahwa
perawat asosiasi yang mendapat pelatihan mempunyai peluang sebesar 2.5 kali lebih
besar untuk pencegahan infeksi nasokomialnya lebih baik dibandingkan dengan yang
tidak mendapatkan pelatihan.
b.
Hubung
an Sarana dan Prasarana dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis
Tabel 4.2 Distribusi responden ketersediaan Sarana Prasarana kerja dan Tindakan
pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Al
Ihsan tahun 2013
Sarana
Observasi kinerja PA
Prasarana
Dalam pencegahan
POR
Total
P value
(95% CL)
177
Infeksi nosokomial
Baik
Kurang
Baik
n
%
n
%
n
%
Baik
16
88.9
2
11.1
18
100
Kurang
7
28
18
72
25
100
Jumlah
23
53,5
20
46,5
43
100
20.571
0.0000
Dari tabel 4.2 hasil analisis hubungan antara sarana prasana rumah sakit dengan
tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis (pemasangan infus dan hand hygiene)
diperoleh bahwa sarana prasarana rumah sakit yang baik sebanyak 16 (88.9 %)
mempengaruhi tindakan pencegahan infeksi yang kurang sebanyak 2 (11.1 %),
sedangkan sarana prasarana rumah sakit yang kurang baik sebanyak 7
(28 %)
mempengaruhi tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik sebanyak 18 (72 %).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi square dengan menggunakan Fisher
Exact Test didapatkan nilai p= 0,000 (α= 5%) maka dapat disimpulkan Ho di tolak. Hal
ini menunjukan bahwa ada hubungan antara sarana prasarana rumah sakit dengan
pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit Al ihsan Bandung. Kemudian dari
hasil analisis diperoleh POR = 20.571 artinya sarana prasarana rumah sakit dengan
kondisi kurang baik mempunyai peluang 20 kali mempengaruhi tindakan tindakan
pencegahan infeksi yang kurang baik dibandingkan dengan kondisi sarana prasarana
yang baik.
c.
Hubungan Supervisi dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis
Tabel 4.3 Distribusi responden Supervisi perawat primer terhadap perawat asosiasi dan
observasi langsung tindakan pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di
Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013
Supervis
Observasi Tindakan
i
PA
Total
OR
P value
178
Kurang
Baik
(95% CL)
Baik
n
%
N
%
n
%
Baik
19
79.2
5
20.8
24
100
Kurang
4
21.5
15
78.9
19
100
Jumlah
23
53,5
20
46,5
43
100
14.250
0.0000
Dari tabel 4.3 hasil analisis hubungan antara supervisi perawat primer terhadap
perawat
asosiasi
mengenai
pencegahan
infeksi
nosokomial
dengan
tindakan
pencegahan infeksi nosokomial plebitis (pemasangan infus dan hand hygiene) diperoleh
bahwa supervisi yang baik sebanyak 19 (79.2%) mempengaruhi tindakan pencegahan
infeksi yang kurang sebanyak 5 (20.8 %), sedangkan supervisi yang kurang baik
sebanyak 4 (21.5 %) mempengaruhi tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik
sebanyak 15 (78.9 %). Berdasarkan hasil uji statistik dengan dengan Uji Chi square
dengan menggunakan Fisher Exact Test didapatkan nilai p= 0,000 (α= 5%) maka dapat
disimpulkan Ho di tolak. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan antara supervisi
dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit Al ihsan Bandung.
Kemudian dari hasil analisis diperoleh POR = 14.250 artinya supervisi perawat primer
kurang baik mempunyai peluang 14 kali mempengaruhi tindakan tindakan pencegahan
infeksi dibandingkan dengan supevisi perawat primer yang baik.
C. Pembahasan
a. Kinerja perawat asosiasi (pelatihan, sarana prasarana dan supervisi) dalam
pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit umum daerah Al ihsan tahun
2013
Menurut Wibowo (2008) kinerja merupakan suatu proses tentang bagaimana
pekerjaan berlangsung untuk mencapai hasil kerja. Bila dihubungkan dengan definisi
Wibowo (2008), maka pencapaian kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap
Rumah Sakit umum daerah Al Ihsan `tahun 2013 secara umum berdasarkan 2 tindakan
pemasangan infus dan hand hygiene 53,5% baik dan 46,5% kurang baik.
sebagai gambaran dari 43 responden 65% laki-laki 35% perempuan, tingkat
pendidikan D3 Keperawatan semua, usia rata-rata 20-25 tahun 60%, 25-30 tahun 30%
179
dan 30 tahun keatas 10%, dengan masa kerja kurang dari 1 tahun 20%, 2-5 tahun 70%
dan lebih dari 5 tahun 10%.
Berdasarkan WHO (2002) dan Djojosugito (2001) cuci tangan merupakan bagian
dari universal precaution yang sangat penting untuk dilakukan bagi seluruh petugas
kesehatan khususnya perawat. Bady (2007) perawat sangat dalam pengendalian infeksi
nosokomial terutama dalam menekan angka kejadian infeksi nosokomial di RSUP Dr
Sardjito Yogyakarta. Dari penelitian tersebut jelas dikatakan bahwa perawat sangat
berperan dalam menekan terjadinya angka infeksi nosokomial namun juga sebaliknya,
perawat dapat berperan dalam meningkatkan angka kejadian infeksi nosokmial di rumah
sakit.
Kinerja yang dilakukan oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah
Sakit umum daerah Al Ihsan dalam melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial
dapat ditingkatkan melalui semangat, disiplin, tanggungjawab, melakukan tindakan
sesuai standard operational procedure yang ditetapkan oleh rumah sakit. Selain itu
motivasi dan keinginan untuk selalu melakukan yang terbaik yang ditampilkan melalui
kinerja yang mengarah pada tujuan organisasi yang jelas dan terarah membantu
individu dalam mencapai kinerja yang diharapkan.Wahyudi (2008) yang mengatakan
bahwa hasil kinerja dapat dicapai secara maksimal apabila individu mempunyai
kemampuan
dalam
mendayagunakan
pengetahuan,
sikap,
dan
keterampilan.
Sedangkan Mangkunegara (2000) unjuk kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai
oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya. Job performance menurut Campbell (2007) adalah perilaku
yang relevan dengan tujuan organisasi dan dapat diukur pada level profesional dan
dapat dilihat dari perilakunya.
b.
Hubungan Kompetensi (pelatihan) perawat asosiasi dengan pencegahan infeksi
nosokomial plebitis.
Berdasarkan hasil analisa menunjukkan pelatihan mempunyai hubungan dengan
tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis, hal ini sesuai dengan hipotesa awal
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kompetensi (pelatihan) dengan
pencegahan infeksi nosokomial plebitis tersebut 20 orang (60,6%) memiliki kinerja
kurang dalam pencegahan infeksi nosokomial, jadi dalam hal ini ada pengaruh bila
pelatihan pencegahan infeksi tidak dilakukan dapat mempengaruhi perilaku perawat
asosiasi dalam melakukan tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan, hal ini
180
sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
kompetensi (pelatihan) dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bady, Kusnanto & Handono
(2007) yang menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan
kinerja SDM dalam pengendalian infeksi nosokomial (r = 0,233 dan p = 0,045).
Mangkunegara (2009) suatu organisasi perlu melibatkan sumber daya manusia
pada aktivitas pelatihan. Pelatihan diharapkan dapat mencapai hasil yang lebih baik dari
sebelumnya terutama dalam meningkatkan perilaku yang lebih baik dari pegawai.
Pelatihan tidak saja diperuntukkan bagi pegawai baru namun perlu juga diberikan pada
pegawai lama untuk dapat terus meningkatkan keterampilan yang dimilikinya. Pelatihan
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi individu. Individu yang
kompeten memiliki kemampuan yang memadai dalam melakukan pekerjaannya. Selama
ini di rumah sakit al Ihsan pelatihan pencegahan infeksi nosokomial hanya kepada IPClink dan pegawai baru belum mencakup kebersihan tangan dan pelaksanaan SPO,
sehingga informasi tentang pencegahan infeksi belum menyeluruh mengingat di
lapangan belum ada sosialisasi dan diseminasi oleh IPC-link yang sudah mendapat
pelatihan tentang pencegahan infeksi nosokomial. Kurangnya informasi yang ada dan
mudah di jangkau dan di ingat sehingga perawat asosiasi kadang melakukan sesuatu
tanpa koordinasi seperti pemasangan banner dan pamflet tentang kebersihan tangan,
Etika batuk dll diharapkan dapat mengingatkan lagi pentinganya prinsip pencegahan
infeksi dalam prosedur tindakan.
Oleh karena itu manajemen Rumah Sakit umum daerah Al ihsan
perlu
memperhatikan 33 orang perawat asosiasi yang belum mendapatkan pelatihan. Selain
itu perlu juga mengikutsertakan perawat yang sudah pernah mengikuti pelatihan
diikutkan kembali sebagai penyegaran mengingat ilmu tentang infeksi nosokomial
berkembang dengan cepat sehingga bila tidak sering mengikuti seminar, workshop dan
pelatihan dikhawatirkan akan ketinggalan informasi terkini mengenai teori atau penelitian
pencegahan infeksi.
c. Hubungan Dukungan Organisasi (Ketersediaan sarana prasarana) dengan
pencegahan infeksi nosokomial plebitis.
Berdasarkan hasil analisa chi-square menunjukkan variabel ketersediaan sarana
dan prasarana mempunyai korelasi tinggi dengan tindakan pencegahan infeksi
nosokomial plebitis, dengan proporsi sedikitnya persepsi 7 orang (28%) dapat berakibat
lebih besar sekitar 18 (72%) dapat diasumsikan bila sarana tidak memadai infeksi
181
nosokomial dapat terjadi sehingga mempengaruhi perilaku perawat asosiasi dalam
melakukan tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan, hal ini sesuai dengan
hipotesa awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan manajemen
(sarana dan prasarana) dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bady Kusnanto &
Handono (2007) didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara fasilitas
RS dengan kinerja SDM dalam pengendalian infeksi nosokomial (r = 0,184 dan p =
0,100).
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Setiawati (2009) mengatakan bahwa tidak
ada hubungan antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, ketersediaan fasilitas
dengan ketaatan petugas kesehatan melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial
melalui hand hygiene.
Sarana dan prasarana kerja merupakan salah satu faktor yang mendukung
individu dalam bekerja. Tanpa sarana atau perlengkapan kerja yang memadai pegawai
tidak dapat melakukan pekerjaannya (Simanjuntak, 2005). mengatakan bahwa
ketersediaan sarana dan prasarana kerja mempengaruhi kinerja pegawai. Ketersediaan
sarana prasarana sangat mempengaruhi pencegahan infeksi karena di lapangan
berdasarkan observasi masih banyaknya tempat cuci tangan tanpa di lengkapi handuk
tissue dan kadang sabun cuci tangan dan bila ini di biarkan mengakibatkan perawat
asosiasi kembali lagi ke kondisi dahulu dimana handuk yang sama masih di pakai untuk
beberapa kali cuci tangan dan menggunakan tissue gulung sehingga terjadi
pemborosan. Penggunaan hand rub belum maksimal karena di sisi lain tidak mencukupi
dengan rasio perawat/pasien di lapangan seharusnya tiap 1 ruang kamar terpasang
hand rub dan setiap 1 orang perawat yang akan memeriksa pasien harus membawa 1
hand rub botol kecil hal ini di sebabkan tempat cuci tangan jauh. Ketersediaan hand rub
isi dan botolnya sangat terbatas sehingga memungkinkan terjadi Toping up padahal hal
tersebut tidak boleh di lakukan karena berdasarkan data CDC terbaru tahun 2011
tempat desinfectan bila tidak di ganti berpotensi menjadi sumber infeksi. Penggunaan
kapas alkohol untuk desinfeksi area infus masih di gunakan karena alkohol swab tidak
tersedia dan infus set steril masih terbatas sehingga dapat enimbulkan resiko infeksi
aliran darah primer meski belum di lakukan uji kultur karena selain biaya mahal dan
waktu yang lama di rumah sakit al ihsan belum ada ahli mikrobiologist. Hasil penelitian
didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan sarana dan
prasarana kerja dengan kinerja perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi
182
nosokomial di ruang rawat inap karena perlunya ketersediaan sarana dan prasarana
yang berhubungan dengan infeksi nosokomial (APD, sarana infus set steril dan sarana
kebersihan tangan ) secara terus menerus dan menjamin selalu tersedia serta laik pakai.
d. Hubungan Dukungan Manajemen (Supervisi) terhadap perawat asosiasi dengan
pencegahan infeksi nosokomial plebitis.
Berdasarka hasil analisa chi-square menunjukkan variabel supervisi perawat
primer terhadap perawat asosiasi mempunyai korelasi tinggi dengan tindakan
pencegahan infeksi nosokomial plebitis, dengan proporsi supervisi yang kurang baik
sebesar 21,4% terhadap perawat asosiasi dapat berakibat dalam melakukan kesalahan
dalam melakukan tindakan infeksi nosokomial sebesar 78,9%, jadi dalam hal ini ada
pengaruh bila supervisi dalam pencegahan infeksi tidak dilakukan dapat mempengaruhi
perilaku perawat asosiasi dalam melakukan tindakan pemasangan infus dan kebersihan
tangan, hal ini sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara dukungan manajemen (supervisi) dengan pencegahan infeksi nosokomial
plebitis.
Berdasarkan penelitian Wiyanti (2009) bahwa ada hubungan bermakna antara
supervisi kepala ruangan terhadap perawat pelaksana. hasil penelitian yang dilakukan
oleh Saljan (2005) dan Saefulloh (2009) menunjukkan semakin baik supervisi, semakin
baik pula kinerja perawat pelaksana.
Supervisi adalah proses yang memacu anggota organisasi untuk berkontribusi
secara positif agar tujuan organisasi dapat tercapai. Supervisi dalam keperawatan
dilakukan untuk memastikan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan
organisasi serta sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Keliat, dkk, 2006).
Aktivitas pada supervisi adalah mengajarkan, mengobservasi, dan mengevaluasi secara
terus menerus dengan adil, sabar, serta bijaksana sehingga setiap perawat pelaksana
dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik, terampil, aman, cepat, tepat
secara menyeluruh sesuai dengan standar. Supervisi bertujuan untuk mengorientasikan,
melatih kerja, memimpin, memberikan arahan, dan
mengembangkan kemampuan
perawat pelaksana (Swansburg, 2000).
Kondisi di lapangan supervisi belum maksimal sehingga banyak kejadian
perawat asosiasi yang magang di bimbing oleh perawat dalam satu shift sehingga SPO
pencegahan infeksi belum sepenuhnya di jalankan mengingat belum adanya supervisi
rutin. Supervisi yang di kembangkan saat ini masih bersifat supervisi supportif
(berorientasi tindakan) belum mengarah ke supervisi edukatif jadi kadang perawat
183
asosiasi masih belum mengetahui apa yang terjadi bila tindakan tersebut di lakukan dan
tidak di lakukan serta dampaknya terhadap pencegahan infeksi nosokomial. Informasi
terkini kadang tidak tersampaikan kepada perawat asosiasi saat supervisi sehingga
kadang masih menggunakan pola yang lama. Supervisi pencegahan infeksi masih
bersifat tindakan belum ada evaluasi karena peran komite PPI belum maksimal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari 43 responden lebih dari setengahnya tindakan pencegahan infeksi nosokomial
dalam kategori baik, pelatihan terdapat 33 orang yang belum mendapat pelatihan
pencegahan infeksi, sarana prasarana lebih dari 58% dalam kondisi kurang baik dan
supervisi lebih dari 55.5% supervisi perawat primer telah melakukan dengan baik.
Ada hubungan antara pelatihan dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruangan rawat
inap Zumar, Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan.
Ada hubungan antara dukungan manajemen (sarana dan prasarana) dalam
pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah dan Zaitun
III Kebidanan.
Ada hubungan antara dukungan organisasi (supervisi) dalam pencegahan infeksi
nosokomial di ruang rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rineka Cipta
As‟ad, M. (2008). Psikologi industri. Edisi 4. Cetakan ke sepuluh
184
GAMBARAN PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR (WUS) TENTANG ALAT
KONTRASEPSI BAWAH KULIT (AKBK) DI DESA WANGUNSARI KECAMATAN LEMBANG
KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2012
THE DESCRIPTION OF FERTILE AGE WOMEN`S KNOWLEDGE ABOUT
CONTRACEPTIVES UNDER THE SKIN IN THE VILLAGE OF WANGUNSARI DISTRICT OF
LEMBANG WEST BANDUNG REGENCY IN 2012
Yosi Oktri, Dyeri Susanti, dan Neni Nurjanah
Program Studi Kebidanan STIKes Budi Luhur
ABSTRACT
185
Background:Family planning is an effective way of working to prevent maternal and child
mortality. One of Family planning in Indonesia is birth control Under the skin. It is very few
people in Indonesia who use contraceptives under the skin. That is only 7.19% it is because the
lack of knowledge about it.
Aims: The writer would like to find out the description of Fertile Age women's knowledge about
Contraceptives under the Skin in the village of Wangunsari district of Lembang West Bandung
Regency.
Methods: Descriptive with the approaching of cross-sectional. The population of this research is
that the entire Fertile Age women in the village of Wangunsari sub-district Lembang Bandung
regency west by the number of samples many as 97(stratified of sampling). Technical data used
data primary, secondary and data secondary data from the village of while data primary by way
of distributing a questionnaire to respondents and an analyzer used was analysis univariate .
Results: Women's knowledge about Contraceptives Age Fertile Bottom Skin in the village of
Wangunsari district of Lembang West Bandung Regency pointed out that of the 97 Women of
fertile Age most of which as many as 40 people(41.2%) had less knowledge.
Conclusion: Description knowledge of Fertile-age Women birth control under the Skin in the
village of Wangunsari District of Lembang West Bandung Regency mainly is 40 people less
knowledgeable (41.2%). Expected health worker and village government Wangunsari further
enhance both the counseling and guidance program of family planning.
Keywords: Knowledge, contraceptives under the skin
PENDAHULUAN
Keluarga Berencana (KB) merupakan cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu dan
anak, karena dapat menolong pasangan usia (PUS) untuk menghindari/melindungi kaum ibu
dari kehamilan dan resiko tinggi. Hal ini dapat mengurangi AKI (angka Kematian Ibu) dan AKB
(Angka Kematian Bayi). Keluarga Berencana (KB) juga merupakan sarana untuk membantu
186
pasangan usia subur (PUS) menghindari keinginan, mengatur waktu dan umur suami istri saat
kelahiran dan menentukan jumlah anak dalam keluarga (BKKBN Jabar, 2009).
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat
sementara, dapat pula bersifat permanen. Penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu
variabel yang memenuhi fertilitas. (Wiknjosastro, 2005).
Ada beberapa macam metode kontrasepsi yaitu metode sederhana seperti: KB alamiah, coitus
interuptus, mekanis (kondom), kimiawi (spermised) dan Metode modern seperti : kontrasepsi
hormonal (pil, suntik, implant/AKBK) IUD/AKDR, kontrasepsi mantap (MOW dan MOW)
(Hartanto, 2004).
Program KB awalnya di maksudkan untuk mengatur kelahiran dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak. Keberhasilan program KB dapat dilihat dari kesertaan sampai Juni
2009 pasangan usia subur (PUS) yang dibina menjadi peserta KB aktif di Jawa Barat mencapai
74,98% dari 6.382.691 PUS dengan berbagai kontrasepsi. IUD 430.095 peserta (13,60%),
MOW 111.135 peserta (3,52%), MOP 61048 peserta (1,93%), kondom 38.742 peserta (1,23%),
Implant 227.277 peserta (7,19%), suntik 1.206.245 (38,16%) dan penggunaan pil 1.086.857
peserta (34,38) (BKKBN Jabar, 2009).
Jumlah peserta KB di Bandung Barat pada tahun 2009 yaitu IUD 13.956 peserta (13,77%),
MOW 3.828 peserta (3,78%), MOP 2.542 peserta (2,51%), kondom 1.020 peserta (1,01%),
Implant 8449 peserta (8,33%), suntik 33.125 (32,67%) dan penggunaan pil 38.465 peserta
(37,94%) (BKKBN Jabar, 2009).
Tabel 1.1 Jumlah Akseptor Keluarga Berencana Puskesmas Lembang periode Januari
sampai dengan Desember tahun 2011
Jenis kontrasepsi
187
No Desa
WUS
IUD
MOW MOP
Kondom AKBK Suntik Pil
1
Pagerwangi
2.300
77
56
15
3
81
1.317
367
2
Kayuambon
1.832
305
94
1
24
29
947
168
3
Lembang
3.322
445
151
8
40
96
1335
609
4
Mekarwangi 1.577
85
74
45
16
110
580
244
5
Wangunsari
2.813
108
72
18
9
80
1210
1743
Jumlah
11.804 1020 447
87
92
396
5389
3131
(Sumber : UPTD KB Kecamatan Lembang)
Pada Tabel 1.1 tertera jumlah akseptor keluarga berencana pada tahun 2011 wilayah kerja
puskesmas Lembang terdiri dari 5 wilayah yaitu Pagerwangi, Kayuambon, Lembang,
Mekarwangi, dan Wangunsari. Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa Alat Kontrasepsi Bawah
Kulit (AKBK) merupakan alat kontrasepsi hormonal yang paling sedikit digunakan di Desa
Wangunsari dilihat dari jumlah Wanita subur yang ada di Desa tersebut yaitu 80 orang dari
2.813 WUS. Padahal bila dilihat dari kelebihannya implant mempunyai keuntungan yang cukup
unggul dari kontrasepsi hormon lainnya.
Alat kontrasepsi bawah kulit atau dikenal juga dengan istilah implant progestin umumnya
berupa kapsul plastik, tipis, fleksibel, yang mengandung 36 mg levonorgestrel yang dimasukkan
ke dalam kulit lengan wanita. Setelah diberi obat bius, dibuat sayatan dan dengan bantuan
jarum dimasukkan kapsul implant. Jenis alat kontrasepsi bawah kulit yaitu norplant terdiri dari 6
batang silastik lembut berongga dan lama kerjanya 5 tahun. Implanon terdiri dari satu batang
putih lentur dan lama kerjanya 3 tahun sedangkan jadena/implanon
terdiri dari 2 batang
dengan lama kerja 3 tahun. AKBK ini bisa digunakan oleh wanita yang sudah punya anak
ataupun belum (Saifuddin, 2006).
188
Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan
baik antara umur 20-45 tahun. Pada wanita usia subur ini berlangsung lebih cepat dari pria.
Puncak kesuburan ada pada rentang usia 20-29 tahun. Pada usia ini wanita memiliki
kesempatan 95% untuk hamil. Pada usia 30-an persentasenya menurun hingga 90%.
Sedangkan memasuki usia 40, kesempatan hamil berkurang hingga menjadi 40%. Setelah usia
40 wanita hanya punya maksimal 10% kesempatan untuk hamil (BKKBN, 2009).
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilaksanakan oleh peneliti kepada 10 Wanita Usia
Subur (WUS) di Desa Wangunsari didapatkan bahwa 6 dari 10 WUS tidak tahu tentang alat
kontrasepsi bawah kulit, terlihat dari tidak tahunya WUS tersebut tentang pengertian AKBK dan
tempat pemasangannya dan 4 orang lainnya hanya mengetahui pengertian AKBK dan tempat
pemasangannya saja.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana gambaran pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) tentang Alat Kontrasepsi
Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat?”.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Wanita Usia
Subur (WUS) tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah
pengetahuan wanita usia subur (WUS) tentang Alat Kontrasepsi bawah Kulit (AKBK). Adapun
sub variabel meliputi: Pengertian Alat kontrasepsi, Pengertian Alat Kontrasepsi Bawah Kulit
(AKBK), Jenis AKBK, Mekanisme kerja AKBK, Keuntungan AKBK, Kerugian AKBK, Indikasi
Pemakasian AKBK, Indikasi Pemakasian AKBK, dan Kontra indikasi AKBK. Definisi operasional
adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati,
189
memungkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap
objek atau suatu fenomena. Definisi oprasional ditentukan berdasarkan parameter yang
dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana
variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristik (Hidayat, 2007). Alat ukur yang digunakan
adalah kuesioner. Hasil ukur adalah Baik jika jawaban benar 76-100%, Cukup jika jawaban
benar 56-75%, Kurang jika jawaban benar ≤ 55%. Skala ukur yang digunakan adalah Ordinal.
B.
1.
Populasi dan Sampel Penelitian.
Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek (manusia, binatang percobaan, data laboratorium, dll) yang
akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang ditentukan. (Riyanto, 2011). Adapun populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita Usia Subur (WUS) di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang kabupaten Bandung Barat periode Januari-Desember 2011 yaitu sebanyak 2813
responden.
2. Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili atau representatif
populasi (Riyanto, 2011). Jumlah sampel yang akan diteliti adalah menggunakan rumus
(Notoatmodjo, 2005) sebagai berikut :
N
1  N (d ) 2
2813
n
1  2813 (0,1)
2813
n
1  28.13
n  96,6  97 orang
n
Keterangan:
n : Besar Sampel.
N : Besar Populasi.
d : Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10).
190
3. Teknik sampling
Teknik pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling yaitu sampel diambil
secara acak dari setiap RW. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik unit
umum dari anggota populasi, kemudian menentukan strata atau lapisan karakteristik unit
tersebut secara random (Notoatmodjo, 2005).
C. Pengumpulan Data
1.
Teknik Pengumpulan data
Data dalam penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu:
a.
Data primer, adalah data yang dikumpulkan oleh penulis sendiri yaitu dengan teknik
wawancara terpimpin atau interview yang dilakukan berdasarkan pedoman berupa
kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.
b.
Data sekunder, adalah data yang diambil dari suatu sumber dan biasanya data itu
sudah dikombinasi lebih dahulu oleh instansi atau yang mempunyai data, yaitu diperoleh
dari catatan medis atau diagnosa dokter, pengamatan KMS, dan laporan tahunan.
Untuk mengukur pengetahuan WUS tentang AKBK di Desa Wangaunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat tahun 2012, Peneliti menggunakan data primer yang
dikumpulkan oleh Peneliti.
2.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan data penelitian. Data
yang diambil adalah data primer yang diperoleh secara langsung dari responden dengan
menggunakan dalam bentuk multiple choise.
Pengambilan data dilakukan setelah memberi penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan dan
tata cara penelitian serta meminta kesediaan dari responden untuk dijadikan sampel
penelitian, kemudian responden diminta untuk mengisi kuesioner dengan lengkap. Adapun
191
kuesioner yang dilakukan adalah kuesioner tertutup yaitu kuesioner yang telah disediakan
jawabannya sehingga responden tinggal memilih. Kuesioner tersebut berisi 20 pertanyaan
multiple choise.
3. Uji Validitas
Uji validitas ini dilakukan untuk tiap item. Teknik uji yang digunakan adalah Korelasi Person
Product Moment. Skor setiap item pertanyaan yang di uji kevalidannya dikorelasikan dengan
skor total seluruh item dengan rumus :
rxy 
n XY    X 
. Y 
n. X
2

  X  . n. Y 2   Y 
2
2

( Riyanto, 2011 )
Keterangan :
rhitung : Koefisien Korelasi.
n
: Jumlah Responden.
∑ Xi : Jumlah Skor Pertanyaan.
∑ Yi : Skor Total Pertanyaan.
Selanjutnya bila r hitung ≥ r tabel artinya pertanyaan tersebut valid (Riyanto, 2011).
Uji validitas dilakukan di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat
pada tanggal 28 April 2012. Uji validitas dilakukan kepada 20 responden dengan 25
pertanyaan. Dan didapatkan hasil dari 25 pertanyaan terdapat 5 pertanyaan yang tidak valid
yaitu pertanyaan no 6, 11, 16, 18, 23 dan pertanyaan yang tidak valid tersebut tidak digunakan
karena tidak mempengaruhi hasil penelitian.
4. Uji Reliabilitas
192
Reliabilitas adalah kestabilan pengukuran, alat dikatan reliabel jika digunakan berulangulang nilai sama. Sedangkan pertanyaaan dikatakan reliabel jika jawaban seseorang
terhadap pertanyaan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. (Riyanto, 2011)
Teknik uji reliabilitasnya “Cronbach’s Alpha” dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
2
k   Si 
rii 
1 

2
k  1 
S t 
Keterangan:
rii
= Koefisien reliabilitas tes
k
= Banyaknya butir pertanyaan
2
= Varians skor butir
St2
= Varians skor total
Si
Apabila rii > r tabel berarti reliabel dan apabila rii < r tidak reliable (Riyanto, 2011 ).
Dalam penelitian ini dinyatakan 20 dari 25 pertanyaan sudah reliabel karena
r
Alpha > r tabel, dengan nilai Cronbah’s Alpha = 0,965 dan nilai r tabel = 0,444 dengan tingkat
kepercayaan 0,01
D. Prosedur Penelitian
a. Sebelum Penelitian
1)
Merumuskan Masalah.
2)
Menentukan topik penelitian.
3)
Mencari data awal.
4)
Penyusunan proposal penelitian.
5)
Mengikuti bimbingan proposal penelitian.
6)
Meminta perijinan pada institusi terkait.
b.
Selama Penelitian
193
Bekerja sama dengan petugas Desa Wangunsari Kecamatan Lembanng Kabupaten Bandung
Barat Dalam pengumpulan data.
E.
Pengolahan dan Analisis Data
a. Pengolahan Data
Menurut Riyanto (2011) agar analisis menghasilkan informasi yang benar, ada empat tahapan
dalam mengolah data, yaitu: Editing, Coding, Processing, dan Cleaning.
b. Analisa Data
Analisis yang digunakan dalam peneltian ini adalah analisa univariat.
Analisis univariat dimaksudkan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi dari variabelvariabel yang diamati. Data hasil pengamatan dicatat dan kemudian diringkas dalam bentuk tabel
yang dikenal dengan distribusi frekuensi yang kemudian dihitung proporsi atau presentasinya
dan disajikan dalam bentuk Tabel (Notoatmodjo, 2005).
Keterangan :
P = Presentasi.
a = Skor jawaban yang benar.
b = Skor maksimum.
Pengukuran dari interpretasi dari data hasil penelitian di kelompokan dalam tiga
kategori yang mengacu pada teori Arikunto (2006).
1. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100%
2. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75%
3. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai ≤ 55%
F.
Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, menurut Hidayat (2007) peneliti harus mendapat adanya
rekomendasi dari institusi atau pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada institusi
atau lembaga tempat penelitian untuk mencegah timbulnya masalah etika, maka dilakukan hal194
hal sebagai berikut: Persetujuan (Informed Consent), Tanpa nama (Anonimity), dan
Kerahasiaan (Confidentiality).
G.
Lokasi dan Waktu Penelitia
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung
Barat. Waktu penelitian dimulai Mei-Juni 2012.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK)
di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Table 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang Alat
Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
18
18.6
Cukup
39
40.2
Kurang
40
41.2
Total
97
100.0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.1 pengetahuan WUS tentang AKBK di
Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar
195
WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 40 orang (41,2 %), sebagian kecil memiliki
pengetahuan baik sebanyak 18 orang (18,6 %), dan yang memiliki pengetahuan cukup
39 orang (40,2%).
2. Pengetahuan WUS Tentang Pengertian Kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Pengertian Kontrasepsi di
Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
79
81.4
Cukup
0
0
Kurang
18
18.6
Total
97
100
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan hasil analisa pada tabel 4.2 pengetahuan WUS tentang pengertian
kontrasepsi di Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat
sebagian besar WUS memiliki pengetahuan baik yaitu 79 orang (81,4 %), sebagian kecil
berpengetahuan kurang sebanyak 18 orang (16,15%) dan yang memiliki pengetahuan
cukup 0 orang (0%).
3. Pengetahuan WUS Tentang Pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Pengertian AKBK di Desa
Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
47
48.5
Cukup
0
0
Kurang
50
51.5
196
Total
97
100.0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan hasil analisa pada tabel 4.3 pengetahuan WUS tentang pengertian
AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian
besar WUS berpengetahuan kurang yaitu 50 orang (51,5%), sebagian kecil memiliki
pengetahuan baik sebanyak 47 orang (48,5%) dan yang memiliki pengetahuan cukup 0
orang (0%).
4. Pengetahuan WUS Tentang Jenis-jenis AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Jenis-jenis AKBK di
Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat
Kategori
Frekuensi
Presentase
Kurang
45
46.4
cukup
0
0
kurang
52
53.6
Total
97
100.0
Desa
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan hasil analisa pada tabel 4.4 pengetahuan WUS tentang jenis-jenis
AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian
besar WUS memiliki pengetahuan kurang
yaitu 52 orang (53,6%), sebagian kecil
memiliki pengetahuan baik sebanyak 45 orang (46,4%) dan yang memiliki pengetahuan
cukup 0 orang (0%).
5. Pengetahuan WUS Tentang Cara Kerja AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Cara Kerja AKBK di Desa
Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
197
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
14
14.0
Cukup
32
33.0
Kurang
51
52.6
Total
97
100.0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.5 pengetahuan WUS tentang cara kerja
AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian
besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 51 orang (52,6%) sebagian kecil
memiliki pengetahuan baik sebanyak 14 orang (14.0%), dan yang memiliki pengetahuan
cukup 32 orang (33,0%).
6. Pengetahuan WUS Tentang Keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS tentang Keuntungan AKBK di Desa
Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
24
24.7
Cukup
30
30.9
Kurang
43
44.3
Total
97
100.0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan hasil analisis tabel 4.6 pengetahuan WUS tentang keuntungan
AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian
besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 43 orang (44.3 %), sebagian kecil
198
memiliki pengetahuan baik sebanyak 24 orang (24,7%), dan yang memiliki pengetahuan
cukup 30 orang (30,9%)
7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Kerugian AKBK di Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Kerugian AKBK di Desa
Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
34
35.1
Cukup
0
0
Kurang
63
64.9
Total
97
100.0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan dari analisis tabel 4.7 pengetahuan WUS tentang kerugian AKBK di
Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar
WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 63 orang (64.9%), sebagian kecil memiliki
pengetahuan baik sebanyak 34 orang (35,1%) dan yang memiliki pengetahuan cukup 0
orang (0%).
8. Pengetahuan WUS tentang Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Penegetahuan WUS Tentang Indikasi Pemakaian AKBK di
Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
30
30.9
Cukup
20
20.6
Kurang
47
48.5
Total
97
100.0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
199
Berdasarkan dari analisis pada tabel 4.8 pengetahuan WUS tentang indikasi
AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian
besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 47 orang (48,5%), sebagian kecil
memiliki pengetahuan baik sebanyak 15 orang (30,9%), dan yang memiliki pengetahuan
cukup 20 orang (20,6%).
9. Pengetahuan WUS Tentang Kontra Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Kontra Indikasi Pemakaian
AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Kategori
Frekuensi
Presentase
Baik
32
33.0
Cukup
18
18.6
Kurang
47
48.5
Total
97
100.0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer
Berdasarkan dari analisis pada tabel 4.9
pengetahuan WUS tentang
kontraindikasi AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung
Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan
kurang yaitu 47 orang (48,5%),
sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 32 orang (33.0%), dan yang
memiliki pengetahuan cukup 18 orang (18.6%).
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diketahui bahwa pengetahuan WUS
terhadap Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang
200
Kabupaten Bandung Barat sebagian besar 40 responden (41.2%) memiliki kategori
pengetahuan kurang. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pendidikan dimana sebagian besar
responden berpendidikan SMP, sehingga renponden kurang mengetahui tentang pengertian,
jenis-jenis, cara kerja, keuntungan, kerugian, indikasi dan kontra indikasi AKBK. Kurangnya
pengetahuan responden dapat menyebabkan Akseptor AKBK sedikit bahkan menurun dari
tahun ke tahun karena ketidaktahuan Akseptor tentang alat kontrasepsi yang mereka gunakan.
Hasil penelitian ini memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Leni Nuraeni di Puskesmas Soreang Kabupaten Bandung tahun 2009
sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik. Hal ini disebabkan oleh faktor
pendidikan responden yang memiliki jenjang pendidikannya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan
pendapat
Notoatmodjo
(2003)
bahwa
“Tingkat
pendidikan
dapat
mendukung
atau
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin tinggi pula pemahaman seseorang terhadap informasi yang didapat dan pengetahuan
pun akan semakin tinggi”.
1. Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar responden 81,4% memiliki
pengetahuan baik. Hasil presentasi ini diperoleh 79 orang dari 97 responden dapat menjawab
pertanyaan yang diajukan dengan baik. Hal ini disebabkan karena responden berpengalaman
dalam menggunakan alat kontrasepsi. Seperti yang diuraikan oleh Notoatmodjo (2003)
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
2. Pengetahuan WUS Tentang Pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 50 responden (51,5%) memiliki
201
pengetahuan kurang. Hasil presentasi diperoleh 50 orang dari 97 responden menjawab
pertanyaan yang diajukan kurang tepat.
Kurangnya pengetahuan responden tentang AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat dapat dipengaruhi dari kurangnya penyuluhan atau informasi dari
tenaga kesehatan tentang AKBK. Hal ini sesuai dengan yang dikemukaan oleh Meliono (2007)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu pendidikan, media dan
keterpaparan informasi.
3. Pengetahuan WUS Tentang Jenis-jenis AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang jenis-jenis AKBK di Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar 52 responden (53.6%) memiliki
pengetahuan kurang. Hal ini terlihat dari sebgian besar responden yang kurang tepat dalam
menjawab pertanyaan yang diajukan. Ini disebabkan karena WUS lebih memilih kontrasepsi
selain AKBK sehingga pengetahuan tentang jenis-jenis AKBK kurang diketahui oleh responden.
Pengetahuan tentang KB sangat penting bagi akseptor, karena apabila seorang
akseptor
KB
yang
memakai
alat
kontrasepsi
tanpa
didasari
pengetahuan
maka
keikutsertaannya dalam KB tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).
4. Pengetahuan WUS Tentang Cara Kerja AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang cara kerja AKBK di Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar yaitu 51 responden (52,1%)
memiliki pengetahuan kurang. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya responden yang memahami
tentang cara kerja AKBK serta kurangnya penyuluhan/informasi dari tenaga kesehatan tentang
cara kerja Alat Kontrasepsi terutama AKBK. Cara kerja AKBK diantaranya adalah lendir serviks
menjadi kental, mengganggu proses pembentukan endometrium sehingga sulit terjadi
implantasi, mengurangi transportasi sperma dan menekan ovulasi. (Saifuddin, 2006).
202
5 Pengetahuan WUS Tentang Keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 43 responden (44,3%) memiliki
pengetahuan kurang.
Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya konseling tentang keuntungan alat kontrasepsi terhadap
WUS saat menggunakan kontrasepsi menyebabkan kurang tahunya responden terhadap
keuntungan dari Alat Kontrasepsi. Hal ini sesuai dengan dikemukakan oleh Meliono (2007)
bahwa salah satu faktor pengetahuan adalah keterpaparan informasi. Informasi dapat dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan observasi terhadap dunia sekitar kita
serta diteruskan melalui komunikasi.
6. Pengetahuan WUS Tentang Kerugian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat.
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang kerugian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar yaitu 63 responden (64.9%) memiliki
pengetahuan kurang. Kurangnya pengetahuan responden dipengaruhi oleh sebagian besar
responden belum pernah menggunakan AKBK sehingga pengetahuan responden kurang
mengenai kerugian AKBK. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003),
pengetahuan diperboleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
7. Pengetahuan WUS Tentang Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang indikasi pemakaian AKBK di Desa Wangunsari
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 47 responden (48,5%)
memiliki pengetahuan kurang. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya konseling tentang Indikasi
Pemakaian AKBK terhadap WUS saat menggunakan kontrasepsi menyebabkan kurangnya
responden terhadap indikasi pemakaian AKBK. Hal ini sesuai dengan dikemukan oleh Meliono
(2007) bahwa salah satu faktor pengetahuan adalah keterparan informasi.
203
8. Pengetahuan WUS Tentang Kontraindikasi AKBK di Desa Wangunsari Kecamtan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Hasil analisis pengetahuan WUS tentang kontraindikasi AKBK di Desa Wangunsari
Kecamtan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 47 responden (48,5%)
memiliki pengetahuan kurang. Kurangnya pengetahuan responden tentang Kontraindikasi dari
AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat dapat dipengaruhi
dari kurangnya penyuluhan atau informasi dari tenaga kesehatan tentang AKBK. Hal ini sesuai
dengan yang diuraikan oleh Meliono (2007) ada beberapa faktor
yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang yaitu pendidikan, media dan keterpapan informasi.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka disimpulkan bahwa :
1. Secara keseluruhan pengetahuan WUS terhadap Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK)
di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar
40 responden (41.2%) memiliki kategori pengetahuan kurang.
2. Responden memiliki pengetahuan baik sebesar 81,4%, 50 responden (51,5%) memiliki
pengetahuan kurang, sebanyak 52 orang (53,6%) mempunyai pengetahuan kurang
baik.
3. Pengetahuan WUS tentang cara kerja AKBK yaitu 51 orang (52,6%)
mempunyai
pengetahuan kurang baik
4. Hasil penelitian pengetahuan WUS tentang keuntungan yaitu 43 orang (44,3%)
mempunyai pengetahuan kurang baik.
204
5. Pengetahuan WUS tentang Kerugian AKBK yaitu 63 orang (64%) mempunyai
pengetahuan kurang.
6. Pengetahuan WUS tentang Indikasi Pemakaian AKBK yaitu besar 47 orang (48,5%)
mempunyai pengetahuan kurang.
7. Pengetahuan WUS tentang Kontraindikasi Pemakaian AKBK yaitu 47 orang (48,5%)
mempunyai pengetahuan kurang.
8. Pengetahuan WUS mempunyai pengetahuan kurang dalam mengetahui mengenai
AKBK.
B. Saran
Disarankan bagi pengembangan ilmu kesehatan khususnya ilmu kebidanan yang
difokuskan pada teori tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) seiring perkembangan
zaman. Disarankan penelitian ini dapat dijadikan bahan dokumentasi atau sebagai bahan acuan
untuk menambah pengetahuan bagi para Mahasiswi dalam mengadakan penelitian selanjutnya
secara sistematis dan ilmiah.
205
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT.
RINEKA CIPTA.
BKKBN, 2009. Peserta KB Aktif Jalur Pelayanan Pemerintah + Swasta Dibanding PUS Laporan
diperoleh pada tanggal 20 Januari 2012. http://prov.bkkbn.go.id/jabar/data.php?catid=24.
Data Peserta KB, PUS, WUS Periode Januari sampai dengan Desember. 2011. UPTD KB
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat
Hartanto, Hanafi, 2004. KB (Keluarga Berencana) dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Hidayat, A.Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Meliono, Irmayanti dkk. 2007. MPKT modul 1. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta : PT.RINEKA CIPTA.
, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT.RINEKA CIPTA.
Riyanto, Agus, 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika
Saifuddin, Abdul Barri, 2006, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, Hanifa, 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
206
HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN TERHADAP FUNGSI KELUARGA DENGAN
KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA PADA KELUARGA ANGGOTA BKR DAN
KELUARGA BUKAN ANGGOTA BKR DI KELURAHAN JAMIKA KECAMATAN
BOJONGLOA KALER
KOTA BANDUNG
Wini Hadiyani
STIKep PPNI Jawa-Barat
Email : winhad@yahoo.com
Abstract
Juvenile delinquency may arise due to malfunction families and low emotional intelligence.
Emotional intelligence in adolescents can determine their behavior. Family function is a role that
must be done to meet the needs of family members physically and psychologically. Satisfaction
with the family function is expected to prevent at-risk behavior in adolescents. The purpose of
this study is to determine the relationship between satisfactions with family functioning with the
adolescents emotional intelligence in Jamika, Bojongloa Kaler Bandung.
The method used in this study is correlational with case control design. The samples in this
study were 55 adolescents from the families’ member of BKR as the case groups and 69
teenagers from families who were not member of BKR as control groups. The data was
collected using family APGAR and emotional intelligence. Data analysis was conducted two
steps starting from univariate and bivariate analysis.
The result of this study shows that there is a relationship between satisfaction with family
functioning and adolescent’s emotional intelligence on BKR families with p Value 0.00 and OR
1.13. Adolescents with BKR families’ member p value 0.037 and OR 2.63. There were no
differences in satisfaction with family functioning among adolescents of BKR families and nonBKR families while emotional intelligence there are significant differences in the two groups of
teenagers.
It is suggested that nurses can increase partnerships with families to prevent risk behavior in
adolescents. In addition, increasing the cooperation between the districts BojongloaKaler,
BKKBN and primary health centers (Puskesmas) in the planning, implementation, evaluation
and monitoring teen’s family development program will enhance families’ functioning.
Keywords: adolescents, emotional intelligence, families functioning
207
PENDAHULUAN
Rijalihadi (2011) mengungkapkan bahwa remaja adalah aset bangsa jika dapat menunjukkan
potensi diri yang positif, namun sebaliknya akan menjadi masalah jika remaja tersebut
menunjukkan perilaku yang negatif bahkan sampai terlibat dalam kenakalan remaja. Perilaku
remaja yang menyimpang di Indonesia
saat
ini digambarkan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana (BKKBN) sebagai berikut: banyaknya pernikahan usia remaja, sex pra nikah dan
kehamilan tidak diinginkan, perilaku aborsi sekitar 700 – 800 ribu adalah remaja, HIV/AIDS
sebanyak 70% remaja, perilaku minuman keras dan Narkoba (Rijalihadi, 2011). Data Biro
Statistik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, 5 provinsi di Indonesia yang memiliki
angka kenakalan remaja yang tinggi adalah Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur (Palang Merah Indonesia, 2011).
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan remaja. SKB Mendiknas,
Menkes, Menag, dan Mendagri No. 1/U/SKB/2003; 1067/Menkes/SKB/VII/2003; No. MA/230A/2003; No. 4415-404/2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan
Sekolah. Melalui tatanan sekolah diupayakan pembinaan kesehatan remaja dioptimalkan.
Selain itu di wilayah masyarakat pembinaan remaja dan pembinaan keluarga pun sudah
dilakukan oleh pemerintah salah satunya yaitu program Bina Keluarga Remaja (BKR) merespon
permasalahan remaja serta fungsi keluarga melalui pendekatan ke orangtua dan remaja.
Kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal
dari diri remaja tersebut dan faktor eksternal berasal dari orangtua, teman sebaya dan
lingkungan tempat tinggal (Hurlock, 2004). Rini, dkk (2012) menyatakan adanya hubungan
antara kenakalan remaja dengan kecerdasan emosional remaja di Surakarta. Fakta ini sesuai
dengan Goleman (dalam Sunar 2010) bahwa 80 % kesuksesan individu di masyarakat
dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dan hanya 20% saja yang ditentukan oleh kecerdasan
intelegensi. Kemampuan remaja dalam mengendalikan emosi dan tuntutan dari lingkungan
dapat berdampak terhadap perilaku remaja.
Peran keluarga sangat penting dalam memberikan dampak positif maupun dampak negatif
dalam emosi remaja. Penelitian Riyanti (2012) di Kabupaten Grobogan menyatakan bahwa
semakin tinggi keharmonisan keluarga maka semakin rendah kenakalan remaja. Keluarga yang
sehat secara fisik dan psikologis akan menciptakan lingkungan yang mendukung pelaksanaan
fungsi keluarga yang optimal.
208
Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan wilayah terpadat dan cakupan
remaja tertinggi di Kota Bandung (Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung,
2011). Bina Keluarga remaja
di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa
Kaler terbentuk mulai tahun 2009. Kegiatan penyuluhan/pertemuan dilakukan
hampir sebulan sekali. Kader BKR di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa
Kaler berjumlah 7 orang. Kader terkadang melakukan kunjungan rumah
terhadap anggota yang memiliki masalah keluarga. Kader BKR berpendapat
bahwa remaja dengan keluarga yang aktif menjadi anggota BKR cenderung
melakukan kegiatan yang positif dibandingkan dengan remaja yang memiliki
keluarga yang bukan anggota BKR. Tujuan penelilitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan
kecerdasan emosional remaja pada keluarga anggota BKR dan keluarga
bukan
anggota
BKR
di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler
Kota Bandung. Tujuan khusus adalah untuk 1)
Mengidentifikasi
kepuasan remaja terhadap fungsi keluarga di Kelurahan Jamika Kecamatan
Bojongloa Kaler Kota Bandung pada
bukan anggota BKR, 2)
keluarga anggota BKR dan keluarga
Mengidentifikasi kecerdasan emosional remaja di
Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung pada keluarga
anggota BKR dan keluarga bukan anggota BKR, 3)
Menganalisis
hubungan kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional
remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung pada
keluarga anggota BKR dan remaja dengan Keluarga bukan anggota BKR, 4)
Menganalisis
perbedaan
kepuasan terhadap fungsi keluarga dan
kecerdasan emosional remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa
Kaler Kota Bandung pada keluarga anggota BKR dan
Keluarga bukan
anggota BKR.
METODELOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan korelasi dan
pengambilan data dilakukan menggunakan rancangan case control study.
171
Sampel kasus adalah semua remaja yang memiliki keluarga sebagai anggota
BKR di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung
sebanyak 55 responden. Pengambilan sampel secara total sampling.
Sedangkan sampel kontrol
adalah semua remaja di Kelurahan Jamika
Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung yang memiliki keluarga bukan
sebagai anggota BKR.
Pengambilan sampel dilakukan secara random
Sampling.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: remaja yang tinggal bersama orang
tua, rentang usia 12 – 21 tahun, masih bersekolah, remaja belum menikah.
Instrumen
yang digunakan adalah APGAR Keluarga (Smilkstein, 1978)
dengan reabilitas menggunakan Cronbach’s alpha memiliki range antara 0,8 –
0,85. Uji validitas dengan menggunakan total item korelasi antara 0,5 – 0,65.
Instrumen penelitian kecerdasan emosional yang digunakan adalah instrumen
pengukuran kecerdasan emosional remaja yang dikembangkan oleh Sumikan
(2011) dengan uji reliabilitas menggunakan taraf signifikan 5% diperoleh nilai
0,535 – 0,773. Uji reabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha memiliki nilai
0,923. Analisis data dilakukan secara bertahap mulai dari analisis univariat
dan bivariat.
Menguji hubungan dan kekuatan hubungan antara kepuasan
terhadap fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional serta kepuasan
terhadap fungsi keluarga kesadaran diri, pengeloaan diri, motivasi , empati
dan kecakapan diri menggunakan uji Chi Square dan (Odds Ratio).
kontigensi 2x2
Tabel
dengan tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Analisis
perbedaan dua kelompok pada sampel kasus dan sampel kontrol dilakukan uji
beda bivariat dengan menggunakan Mann Whithey.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kepuasan Remaja Terhadap Fungsi Keluarga
Keluarga anggota BKR
Keluarga bukan anggota
172
BKR
Kepuasan terhadap
Fungsi Keluarga
f
%
f
%
Berfungsi baik
41
74,5
44
63,8
Berfungsi cukup
14
25,5
25
36,2
55
100
69
100
Total
Keluarga berfungsi baik lebih dominan pada kedua kelompok namun
lebih banyak pada keluarga anggota BKR. Keadaan ini sesuai dengan tujuan
dibentuknya BKR oleh BKKBN (2007) yaitu meningkatkan kepedulian,
kesadaran dan tanggung jawab orang tua terhadap kewajiban membimbing,
meningkatkan
pengetahuan
kesadaran
remaja
dalam
meningkatkan
ketahanan fisik dan non fisik dalam kehidupan rumah tangga yang sejahtera.
Keluarga yang mampu berfungsi dengan baik menjadi harapan para
remaja. Harapan remaja terhadap orang tua dapat memperlihatkan tanggung
jawab keluarga memberikan promosi kesehatan pada remaja. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Parvizy & Ahmadi (2009) yang
mengungkapkan
bahwa
remaja
mengharapkan
orang
tua
dapat
berkomunikasi dengan baik, mengajarkan cara menjalani kehidupan, peduli
terhadap perkembangan remaja, menghargai mereka dan memberikan rasa
aman dan nyaman.
Keluarga yang mampu memahami kondisi remaja akan mampu
menciptakan fungsi keluarga yang baik sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Puspitawati (2008) mengungkapkan bahwa perilaku agresif
dan kenakalan remaja yang sangat tinggi dipengaruhi secara langsung oleh
komunikasi orang tua dan remaja rendah.
Kontribusi fungsi keluarga terhadap perilaku remaja
diungkapkan
dalam penelitian Marsito, dkk (2009) bahwa fungsi sosial dan fungsi ekonomi
173
keluarga berpengaruh terhadap perilaku merokok pada remaja. Hal ini juga
juga diungkapkan oleh Henderson, et. al (2006) yang menyatakan bahwa
perilaku kenakalan yang dilakukan remaja karena adanya manajemen
keluarga yang tidak terorganisir dengan baik, kurangnya pengawasan orang
tua, adanya paksaan dalam usaha untuk mengontrol remaja, rendahnya
tingkat keterlibatan dan kemandirian yang diberikan kepada remaja.
2.
Kecerdasan emosional Remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan
Bojongloa Kaler Kota Bandung
Keluarga anggota BKR
Keluarga bukan anggota BKR
Tingkat kecerdasan
f
%
f
%
Rendah
0
0
0
0
Sedang
12
21,8
32
46,4
Tinggi
43
78,2
37
53,6
Total
55
100
69
100
Kecerdasan yang dimiliki oleh remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan
Bojongloa Kaler cukup beragam.
mempengaruhi
kematangan
mengungkapkan
kematangan
Hurlock (2004) mengungkapkan usia
emosi,
emosi
sedangkan
dipengaruhi
Santrock
oleh
jenis
(2003)
kelamin.
Kematangan emosi menurut pendapat Chaube (2002) dipengaruhi oleh
lingkungan. Remaja sebagai responden dengan keluarga anggota BKR
didominasi oleh remaja awal dan berjenis kelamin laki-laki dan usia awal
remaja. Selain itu Priatini dkk (2008) menyatakan pengaruh teman sebaya
berdampak pada kecerdasan emosional pada remaja.
Hasil analisis di atas mengungkapkan dalam program BKR perlu
juga adanya perhatian terhadap perbedaan usia, jenis kelamin, lingkungan,
174
pendidikan sekolah dan teman sebaya merupakan hal yang harus
diperhatikan oleh keluarga.
Responden
remaja
dengan
keluarga
anggota
BKR
memiliki
kecerdasan emosional tinggi dengan persentasi lebih besar dibandingkan
responden remaja yang bukan anggota BKR. Hal ini sejalan dengan Goleman
(2003) cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan
mempengaruhi kematangan emosi.
Kecerdasan emosi yang kurang akan diikuti ketidakmampuan dalam
mengatur emosi. Yanti (2005) mengunkapkan bahwa kemampuan mengatur
emosi yang kurang dan perilaku menjalin interaksi dengan orang lain
menyebabkan gangguan perilaku, memilih tindakan agresif sebagai stategi
keluar dari masalah (coping). Individu yang secara emosional telah matang
dapat menentukan dengan tepat bahwa dirinya perlu terlibat dalam suatu
masalah sosial serta dapat turut memberikan jalan keluar atau pemecahan
yang diperlukan.
Kecerdasan emosional dapat meningkatkan kemampuan dalam
menjalin interaksi sosial untuk membina hubungan yang baik dan efektif
dengan orang lain atau antar individu (Martin, 2003). Remaja mengalami
gangguan penyesuaian diri pada masa ini, maka kelak remaja akan
mengalami hambatan dalam penyesuaian diri pada tahap perkembangan
selanjutnya
(Andayani,
meningkatkan
2003).
fungsi
keluarga
kecerdasan
emosional
yang
kematangan
emosi
dan
Program
dapat
tinggi
dapat
perkembangannya serta mampu
BKR
yang
diupayakan
pada
remaja
menyesuaikan
ditujukan
untuk
membentuk
sehingga
diri
dalam
pada
memiliki
tahap
menentukan perilaku yang positif sesuai
perannya di masyarakat.
3.
Hubungan Kepuasan terhadap Fungsi Keluarga dengan Kecerdasan
Emosional
175
Sub Variabel Kecerdasan Emosional
Kepuasan
terhadap
tinggi
sedang
IK 95%
fungsi
keluarga
n
%
n
%
p
OR
min
maks
Keluarga Anggota BKR
berfungsi
baik
38
88,4
5
11,6
1,132
1,015
1,261
0,222
31,220
0,000
berfungsi
cukup
ref
2
100
0
0
Keluarga Bukan Anggota BKR
berfungsi
baik
25
56,8
19
43,2
2,632
0,037
berfungsi
cukup
ref
1
33,3
2
66,7
Hasil di atas menyatakan kedua kelompok memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kecerdasan emosional. Compan et.al (2001) menyatakan
bahwa aktivitas ritual keluarga berhubungan dengan perilaku remaja. Aktivitas
ritual yang di lakukan oleh keluarga di kecamatan Bojongloa Kaler adalah
hampir sebagian besar anggota keluarga mengikuti kegiatan keagamaan dan
memiliki sosialisasi yang baik antar tetangga. Faktor lain yang berdampak
terhadap kecerdasan emosional remaja adalah tipe pengasuhan orang
tua.Tipe pengasuhan yang dimiliki oleh orangtua akan berdampak terhadap
efektifitas fungsi keluarga sehingga pengetahuan orang tua terhadap pola
asuh akan meningkatkan fungsi keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Priatini dkk (2008) yang menyatakan bahwa tipe
pengasuhan orang tua berpengaruh nyata terhadap kecerdasan emosional.
Kepuasan remaja terhadap fungsi keluarga, tipe pengasuhan dan
aktivitas ritual perlu diperhatikan agar dapat meningkatkan kecerdasan
176
emosional pada remaja. Kegiatan BKR di Kelurahan Jamika Kecamatan
Bojongloa Kaler belum mencakup tipe pengasuhan dan aktivitas ritual yang
berdampak terhadap kecerdasan emosional, kegiatan yang dilakukan baru
mencakup peningkatan pengetahuan tentang fungsi keluarga sehingga
kedua kelompok remaja tersebut memiliki hubungan antara kepuasan
terhadap fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional.
4. Hubungan Kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan subvarible
kecerdasan emosional
Kepuasan
terhadap
fungsi
keluarga
Sub Variabel Kecerdasan Emosional
tinggi
n
%
sedang
n
%
IK 955
p
OR
min
maks
Kesadaran Diri
berfungsi baik
berfungsi
cukup
35
79,5
9
20,5
0,6
10
36,4
15
1,9
0,16
23,92
1,7
0,14
20,75
0,69
1,023
0,84
1,011
ref
63,6
Pengelolaan diri
berfungsi baik
berfungsi
cukup
34
77,3
10
22,7
0,7
20
81,8
5
ref
18,2
motivasi
berfungsi baik
berfungsi
cukup
28
63,6
16
36,4
0
12
54,5
13
ref
45,5
empati
berfungsi baik
9
20,5
35
79,5
0,9
0,4
berfungsi
7
31,8
18
68,2
ref
177
cukup
kecakapan diri
berfungsi baik
berfungsi
cukup
18
40,9
26
59,1
0,9
0,2
7
31,8
18
0,79
ref
68,2
Motivasi merupakan salah satu subvariabel pada kecerdasan
emosional. Terdapat hubungan yang bermakna antara kepuasan terhadap
fungsi keluarga dan motivasi. Keluarga anggota BKR yang berfungsi baik
akan memiliki motivasi sebesar 0,171 kali dibandingkan dengan keluarga
anggota BKR yang berfungsi cukup, sedangkan
BKR yang berfungsi baik
keluarga bukan anggota
akan memiliki motivasi sebesar 0,84 kali
dibandingkan dengan keluarga bukan anggota BKR yang berfungsi cukup.
Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi
tertentu yang dihadapi. Dimyati (2002) mengungkapkan
menurut jenisnya
motivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu motivasi primer dan motivasi
sekunder.
Fungsi keluarga yang baik akan memberikan dorongan dan
dukungan kepada remaja dalam pembentukan motivasi. Keluarga berperan
dalam pembentukan motivasi primer dan sekunder. Motivasi primer yaitu motif
dasar yang berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. Motivasi
sekunder adalah motivasi yang dipelajari dan didapatkan di dalam lingkungan
keluarga. Pembentukan motivasi pada remaja dapat berkaitan dengan
ketercapaian fungsi keluarga. Kesalahan dalam pemberian motivasi dapat
berdampak negatif terhadap perilaku remaja. Kekuatan hubungan motivasi
remaja pada keluarga anggota BKR berfungsi baik dengan keluarga yang
berfungsi cukup lebih rendah perbedaannya dibandingkan dengan keluarga
yang bukan anggota BKR. Hal ini memperlihatkan bahwa kekuatan antara
kepuasan terhadap fungsi keluarga pada keluarga BKR akan memberikan
dampak motivasi yang lebih dibandingkan dengan keluarga bukan anggota
BKR.
Terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi keluarga dengan
empati pada remaja dengan keluarga anggota BKR, sedangkan keluarga
178
1,015
bukan anggota BKR tidak terdapat hubungan antara fungsi keluarga dengan
empati pada remaja. Kekuatan empati pada remaja keluarga anggota BKR
yang berfungsi baik sebesar 0,193.
Kemampuan empati menjadi dasar pembentukan hubungan yang
harmonis dengan orang lain (Goleman, 2003). Seorang yang empati
digambarkan sebagai seorang yang toleran yang mampu mengendalikan diri,
ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik.
Perilaku empati ini
nantinya akan meningkatkan kesadaran pada diri (White & Gerstain dalam
Sarwono, 2002). Empati yang baik adalah empati yang diikuti oleh kesadaran
diri jadi tidak salah dalam penempatan empati. Keluarga yang memiliki
pengetahuan
terhadap
fungsi
keluarga
memiliki
pengaruh
dalam
pembentukan empati pada remaja. Keselarasan antara empati dan kesadaran
diri menjadi hal yang penting dalam pembentukan perilaku yang positif pada
remaja. Program BKR diharapkan mampu meningkatkan kepuasan remaja
terhadap fungsi keluarga melalui peningkatan dan pembinaan fungsi keluarga.
Hubungan yang bermakna antara kepuasan terhadap fungsi keluarga
anggota BKR dan kecakapan diri pada remaja dengan
keluarga anggota
BKR, sedangkan pada keluarga bukan anggota BKR tidak terdapat hubungan
antara fungsi keluarga dengan kecakapan diri. Kekuatan hubungan
kecakapan diri pada remaja anggota BKR antara keluarga berfungsi baik dan
keluarga berfungsi cukup yaitu 0,082 kali.
Kecakapan diri pada remaja dapat digambarkan dengan kecakapan
dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Remaja yang memiliki kondisi
emosi yang kurang baik atau rendah diri akan mengakibatkan remaja kurang
memahami orang lain sehingga remaja cenderung berorientasi pada dirinya
sendiri dan cenderung menunjukkan perilaku asosial (Yustika, 2005). Remaja
yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tentu akan mampu melewati
masa remajanya dengan lancar dan diharapkan ada perkembangan ke arah
kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh lingkungannya.
Sebaliknya, apabila remaja mengalami gangguan penyesuaian diri pada masa
ini, maka kelak remaja akan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri
pada tahap perkembangan selanjutnya (Andayani, 2003).
Kemampuan
179
remaja dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya tidak
timbul dengan sendirinya. Kemampuan ini diperoleh remaja dari bekal
kemampuan yang telah dipelajari dari lingkungan keluarga, dan proses belajar
dari pengalaman-pengalaman baru yang dialami dalam interaksinya dengan
lingkungan sosialnya.
Keluarga anggota BKR menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan kecakapan diri,
empati dan motivasi, sedangkan
pada keluarga bukan anggota BKR
menunjukkan hubungan yang bermakna hanya antara kepuasan terhadap
fungsi keluarga dengan motivasi. Kepuasan remaja terhadap fungsi keluarga
anggota BKR memberikan dampak terhadap 3 sub variabel dari kecerdasan
emosional sedangkan remaja dengan keluarga bukan anggota BKR hanya
kepada motivasi saja.
Dampak yang lebih banyak diberikan oleh keluarga BKR dalam
pembentukan kecerdasan emosional pada remaja sesuai dengan Goleman
(2003) yang
mengungkapkan berdasarkan pengalamannya berinteraksi di
dalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain
dalam lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam keluarga
adalah pola asuh orangtua. Cara orangtua memperlakukan anak-anaknya
akan memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan anak. Pendapat ini
sesuai dengan Chapman (Puspitawati, 2009), mengungkapkan bahwa
keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan
untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Fungsi keluarga yang
tinggi diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap kecerdasan
emosional remaja yang akan berdampak terhadap perilakunya.
5. Perbedaan Kepuasan Terhadap Fungsi Keluarga dan Kecerdasan
Emosional
Remaja antara Keluarga anggota BKR dan Bukan
Anggota BKR
Kepuasan
TerhadapFungsi
Kecerdasan Emosional
180
Keluarga
Anggota BKR
Bukan
BKR
n
Mean Rank
55
67.64
p
n
Mean
Rank
55
73.54
0,148
anggota
69
58.41
p
0,002
69
53.54
Kecerdasan emosional pada kedua kelompok memiliki perbedaan
yang ditunjukkan dengan nilai p value sebesar 0,002. Hal ini menunjukkan
bahwa kepuasan terhadap fungsi keluarga bukan satu-satunya yang
berpengaruh terhadap kecerdasan emosional pada remaja. Faktor lain yang
mungkin berdampak pada pembentukan kecerdasan emosional remaja sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Hurlocks (2004) menyatakan bahwa faktor
yang memengaruhi kecerdasan emosional adalah usia, jenis kelamin, orang
tua, teman sebaya dan lingkungan tempat tinggal. Kepuasan terhadap fungsi
keluarga merupakan faktor dari orang tua memiliki peran dalam pelaksanaan
fungsi keluarga. Ali dan Asrori (2010) berpendapat bahwa amat penting bagi
remaja diberikan bimbingan agar keingintahuan yang tinggi dapat terarah
kepada kegiatan-kegiatan yang positif, kreatif dan produktif. Kepuasan
terhadap fungsi keluarga diupayakan mampu untuk memberikan bimbingan
kepada remaja sehingga dapat memilih teman sebaya yang memberikan
dampak terhadap perilaku remaja. Fokus pada masa ini adalah menerima
perubahan fisik dan adanya pengaruh yang kuat dari teman sebaya (Santrock,
2003). Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan keberfungsian keluarga
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Abu Bakar, Noh dan Ariffin (2011)
yang menyatakan perilaku yang tidak baik dan pengaruh teman sebaya dapat
dihindari dengan pola komunikasi keluarga yang mementingkan ketegasan,
kepatuhan dan disiplin pada remaja.
Pengetahuan orang tua mengenai keberfungsian keluarga menjadi hal
yang penting sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Terzian, et. al
(2011) menyatakan dukungan dan fungsi keluarga mampu mencegah
perbuatan remaja yang beresiko. Program-program kemitraan antara keluarga
181
dan perawat
dapat meningkatkan keberfungsian keluarga. Program
kemitraan yang dilakukan oleh perawat dapat meningkatkan pengetahuan
keluarga terhadap fungsi keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Che Noh & Ariffin. 2011. Hubungan Komunikasi Keluarga dalam
Menangani Konflik dalam Kalangan Remaja. Jurnal Pengajian Media
Malaysia Vol.13. No.1
Ali, M & Ansori M. 2011.Perkembangan Kreativitas Jakarta : PT.Bumi Aksara
Andayani, B. 2003. Hubungan Antara Dukungan Sosial Ayah dengan
Penyesuaian Sosial Pada Anak Remaja Laki-Laki. Buletin Psikologi No
1 halaman 23-35.
Badan Keluarga Berencana. 2007. Pedoman Pembinaan Kelompok Bina
Keluarga Remaja. Bandung : BKKBN
Compañ. Moreno. Ruiz & Pascual. 2001. Doing Things Together: Adolescent
Health and Family rituals. Spain : Research Report. Melalui
[jech.bmj.com/content] (17-04-2003)
Chaube, S.P. 2002. Psychology of Adolescents in India. New Delhi. Concept
Publising Company
Dimyati, 2002. Transisi Remaja. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia
Ferrera,Lapeira, Rayob, Gallartc & Marquésd. 2004. Consumption of
psychodrugs. Influence of family dysfunction. Spain. Melalui
[http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed] (20-10-2012)
Friedman. 2010. Keperawatan Keluarga. Teori dan Praktik Edisi 5.
Terjemahan R.L Deborah & Asy. Jakarta : EGC
Goleman, D. 2003. Kecerdasan emosional. Terjemahan Hermaya, T. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama
Henderson, E. C, Dakof, A. G, Schwartz, J. S, Liddle, A. H. 2006. Family
functioning, self concept, and severity of adolescent externalizing
problems. Journal Child Family Studies. Vol.15. Hal: 721-731
182
Hurlock, E.B. 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentan Kehidupan. Terjemahan Istiwidiyanti & Soedjarno. Jakarta :
Erlangga
Marsito, Sahar, Mustikasari. 2009 Kontribusi Keluarga Terhadap Perilaku
Remaja Merokok di SMA/SMK Gombong, Kebumen, Jawa Tengah.
Jurnal Ilmiah Keseshatan Keperawatan Vol. 5, No 3, Oktober
Marsito, Yudha. 2011 Hubungan Pola Asuh Dalam Keluaraga dengan
Persepsi Remaja tentang Perilaku Seksual Pra-Nikah. Jurnal Ilmiah
Keseshatan Keperawatan Vol. 7, No 3, Oktober
Martin, Anthony Dio. 2003. Emotional Quality Management. Jakarta: Arga.
Monk, F, J. 2001. Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai
Bagiannya. Terjemahan Haditono. Yogyakarta : Universitas Gajah
Mada
Parvizy, Ahmadi. 2009. A qualitative Study on Adolescence, Health and
Family. PMCID : PMC2838649. Mental Health in Family Medicine
Priatini, Latifah & Guhardja. 2008. Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan
Sekolah, dan Peran Teman Sebaya terhadap Kecerdasan Emosional
Remaja. Jurnal Keluarga & Konsumen : Vol.1 no. 1
Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung 2011
Puspitawati, H. 2008. Pengaruh Komunikasi Keluarga, Lingkungan dan
Sekolah terhadap Kenakalan Pelajaran pada Sekolah Menengah 01 di
Kota Bogor. PEKSOS: Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Vol. 7, Nomor 2,
Nopember 2008
Puspitasari, A. 2009. Emotional Intelligent Parenting. Jakarta
Rijalihadi. 2011 Fenomena Kenakalan Remaja di Indonesia.
[http://ntb.bkkbn.go.id] (19-04- 2013)
Melalui
Rini, Hardjajani & Nugroho. 2012 Kenakalan Remaja Ditinjau dari Kecerdasan
Emosional dan Penyesuaian pada Siswa SMAN Se -Surakarta . Jurnal
Ilmiah Psikologi Candra Jiwa
Riyanti. 2012. Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan kenakalan
remaja Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 2 Geyer Kabupaten Grobogan
Melalui: [repository.library.uksw.edu] (19-04-2013)
Santrock, J.W.. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja (edisi keenam).
Alih Bahasa: Adelar dan Saragih. Jakarta: Erlangga.
183
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Schmitz, Baker, Nukui, Epperly. 2011. Idaho Rural Family Physician
Workforce Study:the Community Apgar Questionnaire
Smilkstein, G., Ashworth, C., & Montano, D. 1982. Validity and reliability of the
Family APGAR as a test of family function. Journal of Family Practice,
15, 303-311.
Sudiharto. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC
Sunar, D. P. 2010. Edisi Lengkap Tes IQ EQ dan SQ. Jogjakarta : FlashBooks
Fungsi dan Peran Keluarga. Melalui [http://euissunarti.staff.ipb.ac.id] (23-022013)
Suparajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dalam Praktik.
Jakarta : EGC
Terzian. Andrews & Moore . 2011. Preventing Multiple Risky Behaviors among
Adolescents: Seven Strategies. Research to Result Trend Child
melalui [http://www.childtrends.org/files/Child_Trends] ( 22-04-2013)
Wong & Whaley. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Terjemahan
Ester & Kurnianingsih. Jakarta: EGC
Yanti, D. 2005. Ketrampilan Sosial pada Anak Menengah Akhir yang
Mengalami Gangguan Perilaku. e-USU Repository. Medan: Program
Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2010-2012)
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya.
Yustika. 2005. Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Delikuen di
Lembaga Permasyarakatan. Anima Indonesian Psychology. Journal
no. 20, hal.139-148
184
PENGARUH PELAKSANAAN PENDEKATAN POSSITIVE
DEVIANCE TERHADAP STATUS GIZI PADA BALITA MALNUTRISI
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIMENYAN KABUPATEN
BANDUNG
EFFECT OF APPROACH TO POSSITIVE DEVIANCE NUTRITIONAL
STATUS IN CHILDREN MALNUTRITION
IN THE DISTRICT OF HEALTH CIMENYAN BANDUNG
Eva Supriatin
STIKep PPNI Jabar Jl Muhammad No 34 Bandung
Email: evatarisa@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Pendekatan Positive
Deviance (PD) terhadap Status Gizi pada Balita dengan malnutrisi di Wilayah
Kerja Puskesmas Cimenyan Kabupaten Bandung. Coasy eskperiment
dilakukan dalam penelitian ini dan rancangan penelitian menggunakan sifat
Cohort Study. Pengambilan sampel dilakukan secara Purporsive Sampling
didapatkan jumlah sampel 17 balita. Instrumen yang digunakan untuk
identifikasi gizi balita menggunakan baku antropometri balita WHO 2005 yang
dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score). Untuk mengetahui
pengaruh PD terhadap status gizi pada balita menggunakan Uji T (T-test)
dengan batas kemaknaan (nilai alpha) 5 %. Hasil uji t menunjukan p value
0,000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita
sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan nilai beda nya
sebesar 1,482. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan yang bermakna status
gizi balita sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan kata
lain, bahwa pendekatan Positive Deviance memberikan pengaruh yang
signifikant terhadap perubahan status gizi pada balita malnutrisi
Kata Kunci : Positive Deviance, Malnutrisi, Status gizi balita
185
Abstract
The aim this study was to analyze the effect of Positive Deviance Approach
( PD ) of under five year old children in work Area Health Center Cimenyan
Bandung. Coasy eskperiment conducted in this study and the study design
using nature Cohort Study . Sampling was done by Purporsive Sampling
obtained sample size 17 toddler . The instrument used for identification using
standard anthropometric nutritional toddler WHO 2005 converted into
standardized values ( Z - score) . To determine the effect of PD on the
nutritional status of children under five using T test ( T - test) with a limit of
significance ( alpha value ) of 5% . T test results showed p value of 0.000 ( p <
0.05 ) means that there is a significant difference before the nutritional status
of children after the positive deviance approach . With its different value of
1.482 . The conclusion is there is a significant difference in nutritional status of
children before to after the positive deviance approach . In other words , that
the Positive Deviance approach signifikant give effect to changes in the
nutritional status of malnourished under five year old children
Key words: positive deviance, undernutrition, nutritional status.
186
Latar Belakang
Di Indonesia pada tahun 2010 Angka gizi buruk mencapai 4, 9%, Gizi kurang 13,0%.
Sementara Jawa barat menempati urutan ke-5 terbanyak yaitu 3,1% balita gizi buruk, 9,9%
balita gizi kurang (Depkes, 2011).
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di
bawah standar rata-rata. Dampak dari gizi buruk ini bisa menyebabkan KEP (Kurang Energi
Protein), KEK (Kurang Energi Energi Kalori), balita akan menjadi lebih rentan terhadap
infeksi, menyebabkan munculnya penyakit kronis, menyebabkan seseorang tidak mungkin
melakukan kerja keras dan akan menyebabkan gagal tumbuh. Anak yang menderita gizi buruk
mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan
rata-rata anak-anak yang tidak stunted (Depkes, 2011).
PD adalah suatu pendekatan yang berbasis masyarakat sehingga yang berperan dalam
pelaksanaan positive deviance (PD) ini adalah seluruh elemen masyarakat yang meliputi
kader, tokoh masyarakat, petugas kesehatan. Akan tetapi pelaku utamanya adalah keluarga
(Aryastami, 2011).
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui tentang Pengaruh
Pendekatan Positive Deviance terhadap Status Gizi Balita Gizi di Wilayah Kerja Puskesmas
Cimenyan Kabupaten Bandung.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui Pengaruh Pendekatan Positive
Deviance terhadap Status Gizi pada Balita Malnutrisi di Wilayah Kerja Puskesmas Cimenyan
Kabupaten Bandung.
129
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan coasy eskperiment
dan pengambilan data dilakukan menggunakan rancangan case control study. Rancangan
penelitian menggunakan sifat Cohort Study
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu dan balita yang memiliki balita gizi usia <5
tahun buruk sejumlah adalah 42 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara Purporsive
Sampling sejumlah 17 orang, sesuai dengan kriteria inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah :
1.
Balita dengan status gizi kurang
2.
Rentang usia 1-5 tahun
3.
Tidak ada komplikasi dari gizi buruk
4.
Bersedia menjadi responden
Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi
badan setiap balitadikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score)
dengan menggunakan bakuantropometri balita WHO 2005. Selanjutnya
berdasarkan nilai Z-score masing-masingindikator tersebut ditentukan status
gizi balita dengan batasan sebagai berikut :Klasifikasi Status Gizi
Berdasarkan indikator BB/U :
1. Gizi Buruk : Zscore < -3,0
2. Gizi Kurang : Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0
3. Gizi Baik : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0
Pengumpulan data dilakukan pada kelompok eksperimen dengan cara penimbangan
berat badan dan tinggi badan sampel kemudian ditentukan status gizi berdasarkan z-score
sebelum dilakukan penelitian kemudian dilakukan tahapan pendekatan possitive deviance dan
untuk melihat keberhasilan proses tersebut setelah perlakukan dilakukan penimbangan berat
badan dan tinggi badan sampel kemudian ditentukan status gizi berdasarkan z-score.
Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan Positive Deviance.Secara teknis
persiapan membutuhkan waktu 1 minggu tergantung pada kondisi masyarakat
setempat.Secara teknis persiapan membutuhkan waktu 1-2 minggu tergantung pada kondisi
masyarakat setempat.Intervensi berorientasi kepada perilaku pengasuhan, pemberian makan,
130
kebersihan dan perawatan kesehatan.Setelah itu dilakukan monitoring dan pengukuran berat
badan secara kontinyu. Analisis Data Univariat
menggunakan rumus:
P
f
x100%
n
P = Persentase
f = frekuensi/jumlah responden yang menjawab
n = Jumlah responden.
Analisa Bivariat
untuk mengetahui pengaruh PD terhadap status gizi pada balita yaitu yaitu menggunakan Uji
T (T-test) dengan batas kemaknaan (nilai alpha) 5 % untuk melihat hasil kemanaan
perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan 0,05. Penolakan terhadap hipotesis apabila P
value < berarti ada pengaruh atau ada perbedaan bermakna, sedangkan gagal penolakan
terhadap hipotesa apabila P value > 0,05 berarti tidak ada perbedaan / tidak ada hubungan
bermakna antara keduanya.
Rumus :
Uji beda dua Mean Dependent (Paired Sample Test)
T=d
SD_d / √n
Keterangan :
d
: Rata-rata deviasi/ selisih sample pre test dengan sample post test
SD_d : Standar deviasi dari deviasi atau selisih sample pre dan post test
N
: Jumlah sample
HASIL
Analisa Univariat
1. Usia Repsonden
Tabel 4.1 distribusi frekuensi usia responden (bulan)
Usia (dalam Bulan)
18
24
36
48
Total
F
3
4
8
2
17
%
17,6
23,5
47,1
11,8
100,0
131
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa 47,1% responden berusia 36 bulan (3
tahun).
2. Tingkat Pendidikan Ibu
Tabel 4.2 distribusi frekuensi tingkat pendidikan ibu
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Total
F
10
4
3
0
17
%
58,9
23,5
17,6
0
100,0
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa 58,9% tingkat pendidikan ibu responden
SD.
3. Identifikasi Perilaku Khusus Keluarga
Berdasarkan hasil penyelidikan didapatkan perilaku khusus keluarga dalam hal
:
Perilaku Khusus Keluarga
1. Pemberian Makan
— Memberikan makanan selingan
— Memasak makanan sendiri
— Makanan bervariasi
— Frekuensi makan 2-3 x/hari
— Pemberian makan oleh ibu
— Keluarga makan bersama
— Pemberian Vitamin jika anak tidak mau makan
2. Pengasuhan
— Anak berinteraksi dan diasuh oleh nenek selain ibu
— Jika anak nakal dinasihatin
— Meninabobokan anak
— Menemani anak bermain dan belajar
3. Kebersihan
— Mencuci tangan sebelum makan
— Memcuci sayuran dan buah sebelum dikonsumsi
— Memiliki MCK sendiri
— Tidak memelihara hewan di rumah atau dekat rumah
— Memandikan anak 1 x/hari
— Belum memenuhi cuci tangan sebelum makan
4. Perawatan Kesehatan
— Pemberian imunisasi tidak lengkap
— Jika anak sakit dibawa ke puskesmas
— Tidak tahu cara penanganan : demam, diare
132
4.
Gambaran Status Gizi Balita
Tabel 4.3 distribusi frekuensi status Gizi Balita sebelum intervensi dan setelah inetrvensi
Status gizi
Pre Tes
Pos Tes 1
Pos Tes 2
Pos tes 3
F
%
F
%
F
%
F
%
Gizi baik
-
-
5
29,4
13
76,5
15
88,2
Gizi Kurang
17
100
12
70,6
4
23,5
2
11,8
Berdasarkan tabel diatas dapat didentifikasi bahwa adanya kemajuan terhadap perubahan status
gizi balita disetiap tahapan positif deviance.Data post test 1 yang diambil pada 12 hari pertama
post intervensi PD, menunjukkan ada prosentase kenaikan status gizi menjadi gizi baik sebesar
29,4%. Pada data post test 2 yang diambil pada 12 hari kedua post intervensi PD terjadi
peningkatan status gizi yang signifikan sebesar 76,5%. Perkembangan kemajuan status gizi
terakhir yang diambil pada 12 hari ketiga post intervensi PD tampak pada data post test 3,
menggambarkan perubahan yang sangat pesat dibandingkan dengan post test pertama, dimana
sebagian besar balita yaitu 88,2% adalah status gizi baik.
B. Analisa Bivariat
Hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji t menunjukan bahwa
n
Hasil uji t menunjukan p valuen 0,000
(p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang
bermakna status gizi balita sebelum dengan
setelah pendekatan positive deviance. Dengan
nilai beda nya sebesar 1, 482.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 47,1%
Rerata Perbedaan
P
± s.b.
rerata ±
s.b.
Status Gizi 17 10,00
-1,482
0,000
sebelum
±
±0,212
pendekatan
0,952
PD
Status Gizi 17 11,48
setelah
±
pendekatan
0,822
PD
responden berusia 36 bulan (3 tahun) dengan kondisi gizi kurang (sebelum dilakukan
intervensi). Hal ini membuktikan anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering
menderita rawan gizi dan penyakit, karena adanya anggapan pada masa ini merupakan transisi
dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, anak balita belum dapat mengurus dirinya
133
sendiri, termasuk memilih makanan, serta biasanya anak balita sudah mempunyai adik atau
ibunya sudah bekerja penuh sehingga perhatiannya sudah berkurang.
Dampak kekurangan gizi terhadap tumbuh kembang anak telah cukup disadari oleh
berbagai kalangan. Gizi buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, namun hal ini tentu
saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping
berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi
banyak organ dan system, karena kondisi ini juga sering disertai dengan defisiensi asupan
mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh.
Gizi
buruk akan
memporakporandakan system
pertahanan tubuh
terhadap
mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga akan sangat mudah untuk
menimbulkan infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa
karena berbagai disfungsi yang dialami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah
kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang di
bawah kadar normal), dan kekurangan elektrolit penting serta cairan tubuh.
Jika fase akut tertangani namun tidak di follow up dengan baik, akibatnya anak tidak
dapat catch up dan mengejar ketinggalannya, maka dalam jangka panjang kondisi ini
berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Akibat gizi buruk
terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi stunting (postur
tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, perkembangan
anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung
dengan derajat berat lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Jika kondisi gizi buruk
terjadi pada masa golden period perkembangan otak (0-3 tahun), maka dapat dibayangkan
otak tidak dapat berkembang sebagaimana anak yang sehat, dan kondisi ini akan irreversible
(sulit untuk pulih kembali).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 58,9% tingkat pendidikan ibu responden adalah
SD. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, maka makin banyak
yang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Tetapi sebaliknya, apabila tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan keluarga sangat rendah, maka tingkat ekonomi keluarga juga
rendah, akibatnya akan mempengaruhi tingkat ketahanan pangan, sehingga timbullah berbagai
masalah kesehatan dalam keluarga.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu sangat berpengaruh
terhadap status gizi anak. Pengetahuan, selain diperoleh dari pendidikan formal, juga dapat
diperoleh dari keaktifannya dalam mencari atau menggali sumber. Pengetahuan ibu akan
mempengaruhi pola asuh ibu dan membawa dampak pada anaknya. Hal ini dapat dilihat pada
134
perilaku khusus keluarga berdasarkan hasil penelitian, meliputi perilaku pemberian makan,
didapatkan : ibu biasa memberikan makanan selingan, namun jenis dari makanan selingan
tersebut yang harus diidentifikasi lebih dalam lagi, karena berdasarkan wawancara dan
pengamatan peneliti, makanan selingan yang diberikan berupa makanan yang mengandung
MSG; ibu responden memasak makanannya sendiri, meskipun cara memasak makanannya
belum sesuai seperti mencuci sayuran sebelum dipotong, memasak makanan terlalu matang;
ibu responden memberikan makanan bervariasi setiap harinya, hanya penyajiannya masakan
yang belum menarik; frekuensi makan 2-3x/ hari, meskipun porsi makan anak belum
memenuhi kebutuhan; pemberian makanan dilakukan oleh ibu responden; keluarga makan
bersama pada waktu-waktu tertentu; dan pemberian vitamin melalui puskesmas jika anak
tidak mau makan.
Perilaku kedua adalah pengasuhan/ pola asuh meliputi Anak berinteraksi dan diasuh
oleh nenek selain ibu; Jika anak nakal dinasihatin; Meninabobokan anak ; Menemani anak
bermain dan belajar, hanya jenis permainan yang diberikan belum tepat dan alat
permainannya belum sepenuhnya bersifat APE (Alat Permainan Edukatif). Menurut Rahayu
(2001)12, anak yang diasuh dengan baik oleh ibunya akan lebih berinteraksi secara positif
dibandingkan bila diasuh oleh selain ibunya. Pengasuhan anak oleh ibunya sendiri akan
menyebabkan anak merasa aman. Anak akan memperoleh pasangan dalam berkomunikasi dan
ibu sebagai peran model bagi anak yang berkaitan dengan keterampilan verbal secara
langsung. Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan
mempengaruhi proses tumbuh kembangnya. Hal ini berkaitan erat dengan keadaan ibu
terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap, dan praktek tentang pengasuhan anak.
Menurut Notoatmodjo (1997)9, suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu praktek
atau tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi praktek, diperlukan faktor pendukung antara
lain fasilitas dan support dari pihak lain, misal suami, orang tua atau mertua.
Perilaku ketiga adalah perilaku menjaga kebersihan yang meliputi mencuci sayuran
dan buah sebelum dikonsumsi, Memiliki MCK sendiri, Tidak memelihara hewan di rumah
atau dekat rumah, Memandikan anak 1 x/hari, belum memenuhi Mencuci tangan sebelum
makan. Kebersihan diri merupakan hal yang sangat penting karena lingkungan terkait dengan
agen penyebab terjadinya penyakit, seperti diare, dan demam berdarah.
Perilaku keempat adalah perawatan kesehatan yang meliputi Pemberian imunisasi
tidak lengkap, jika anak sakit dibawa ke puskesmas, Tidak tahu cara penanganan : demam,
diare. Anak balita merupakan masa yang mudah terinfeksi penyakit. Oleh karenanya
diperlukan ketekunan ibunya untuk membawa anaknya ke fasilitas kesehatan jika anaknya
135
mengalami penyakit infeksi. Selain memberikan imunisasi lengkap kepada anak sebelum
menginjak usia 1 tahun, pengobatan penyakit pada masa kanak-kanak dan mendapatkan
bantuan profesional pada waktu yang tepat, sangat berperan dalam menjaga kesehatan anak.
A. Pengaruh Pendekatan Positive Deviance dengan Status Gizi Balita
Positive deviance dipakai untuk menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif
yang berhubungan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu
dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Positive
deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah
ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan
positif yang ada dari perilaku masyarakat tersebut.
Program positive deviance dibagi menjadi empat kategori utama yaitu, pemberian
makanan, pengasuhan, kebersihan dan mendapatkan pelayanan kesehatan melalui kegiatan
persiapan, pelaksanaan , evaluasi dan monitoring didapatkan hasil uji t menunjukan p valuen
0,000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita sebelum dengan
setelah pendekatan positive deviance. Dengan nilai beda nya sebesar 1, 482.
Berdasarkan tabel 4.3 dapat didentifikasi bahwa adanya kemajuan terhadap perubahan
status gizi balita disetiap tahapan positif deviance. Data post test 1 yang diambil pada 12 hari
pertama post intervensi PD, menunjukkan ada prosentase kenaikan status gizi menjadi gizi
baik sebesar 29,4%. Pada data post test 2 yang diambil pada 12 hari kedua post intervensi PD
terjadi peningkatan status gizi yang signifikan sebesar 76,5%. Perkembangan kemajuan status
gizi terakhir yang diambil pada 12 hari ketiga post intervensi PD tampak pada data post test 3,
menggambarkan perubahan yang sangat pesat dibandingkan dengan post test pertama, dimana
sebagian besar balita yaitu 88,2% adalah status gizi baik. Hal ini menunjukkan pendekatan
positive deviance efektif untuk mengatasi masalah gizi pada balita.
Perubahan ini dapat dilihat setelah kegiatan penyuluhan dan simulasi yang
disampaikan pada program positive deviance, fokus perubahan perilaku empat kategori utama
yaitu, pemberian makanan, pengasuhan, kebersihan dan perawatan kesehatan yang dilakukan
peneliti bekerja sama dengan kader, desa dan puskesmas membuahkan hasil dengan adanya
perubahan status gizi balita. Melalui kegiatan evaluasi dan monitoring yang dilakukan peneliti
bersama kader, Ibu responden mulai mempraktekan di rumah pengetahuan yang didapat
selama kegiatan penyuluhan, simulasi dan pertemuan-pertemuan yang diadakan dalam
rangkaian kegiatan program positve deviance.
136
Hasil penelitian penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Piroska
A. Bisits Bullen11 di Universitas Walden, Minneapolis USA, menyimpulkan bahwa positive
deviance dengan pendekatan hearth untuk mengurangi malnutrisi anak ternyata efektif.
Di Indonesia, studi positive deviance telah dilakukan oleh Jauhari dkk (2000) di
Jakarta, Bogor dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak usia 6-17 bulan
berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk
mengkonsumsi makanan, mendapatkan respon ketika berceloteh, selalu mendapat senyum
dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang
mendapat perhatian orangtua. Sementara itu, Frisda Turnip melakukan penelitian pengaruh
positive deviance pada ibu terhadap status gizi baduta di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara
dan Pengaruh Positive Deviance terhadap Status Gizi Balita (Sitti Dahlia) hasilnya
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh
Slamet Riyadi, pendekatan positive deviance gizi (Pos Gizi) dan dampaknya pada anak balita
di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh menunjukkan bahwa pos gizi merupakan strategi
yang potensial untuk meningkatkan status gizi.
B. Keterbatasan Penelitian
Jumlah sampel yang digunakan terbatas dan jumlahnya masih sedikit, jika dibandingkan
dengan jumlah kasus gizi kurang pada balita di wilayah kecamatan Cimenyan.
C. Implikasi Bagi Keperawatan
Penelitian ini memberikan gambaran dan referensi bagi keperawatan khususnya praktik
keperawatan komunitas dan keluarga. Praktik komunitas dan keluarga diselenggarakan
dengan berbasis pada masyarakat sangat cocok dengan program Positive deviance dengan
mengoptimalkan kemampuan dan partisipasi aktif masyarakat. Didasarkan pada asumsi
bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya
perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada dari perilaku
masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang
berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau
tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-cara yang lebih baik, untuk
mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang
sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive
deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin
hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan keluarga yang menguntungkan sebagai inti
137
program positive deviance dibagi menjadi empat kategori utama yaitu, pemberian makanan,
pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Keuntungan metode positive deviance:
1. Cepat
Pendekatan ini memberikan solusi yang dapat menyelesaikan masalah dengan segera.
2. Terjangkau
Positive deviance dapat dijangkau dan keluarga tidak perlu bergantung pada sumber daya dari
luar untuk mempraktekkan perilaku baru.
3. Partisipatif
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam rangka mencapai
keberhasilan pendekatan positive deviance.
4. Berkesinambungan
Pendekatan positive deviance merupakan pendekatan berkesinambungan karena berbagai
perilaku baru sudah dihayati dan berlanjut setelah kegiatan berakhir.
5. Asli
Karena solusi sudah ada di tempat itu, maka kemajuan dapat dicapai secara cepat tanpa
banyak menggunakan analisis atau sumber daya dari luar.
6. Secara budaya dapat diterima
Pendekatan ini didasarkan pada perilaku setempat yang diidentifikasi dalam konteks sosial,
etnik, bahasa dan agama di setiap masyarakat.
7. Berdasarkan Perubahan Perilaku
Pendekatan ini tidak mengutamakan perolehan pengetahuan, namun ada tiga langkah proses
perubahan perilaku yang termasuk di dalamnya, yaitu penemuan (penyelidikan,PD),
demonstrasi (kegiatan pos gizi) dan penerapan (kegiatan pos gizi dan di rumah).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan tentang Pengaruh Pendekatan Positive
Deviance terhadap Status Gizi pada Balita Malnutrisi di Wilayah Kerja Puskesmas Cimenyan
Kabupaten Bandung disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita
sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan kata lain, bahwa pendekatan
Positive Deviance memberikan pengaruh yang signifikant terhadap perubahan status gizi pada
balita malnutrisi
138
Saran
1.
Dilakukan penelitian yang sama dengan jumlah sampel yang lebih representatif
sehingga dapat mewakili wilayang kabupaten Bandung untuk mendapatkan data
tentang efektifitas Positive Deviance
2.
Sosialisasi program Positive Deviance ke dinas kabupaten Bandung sebagai alternatif
upaya penyelesaian masalah gizi balita di wilayah kabupaten Bandung
3.
Membuat sistem penghargaan untuk kader-kader yang merupakan barisan terdepan
dalam menentukan keberhasilan program kesehatan khususnya program
Positive
Deviance
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, suharsimi.2010.prosedur penelitian ( suatu pendekatan praktek). Jakarta : Rineka
Cipta
Aryastami, 2011. Perbaikan gizi anak balita melalui pendekatan positive deviance : sebuah
uji coba di Kabupaten Cianjur. Depkes:Jakarta
Bolles K, Speraw C, Berggren G, Lafontant JG. Ti Foyer (hearth) community-based
nuturition activities informed by positive deviance approach in Leogane, Haiti: a
programmatic description. Food Nutr Bull 2002; 23 (suppl 4): 11-7.
Core Gorup, PCI, 2003. Perilaku dalam Postive Deviance.
Depkes, 2012. Sambutan Menkes pada Buku Pedoman Penangan Gizi Buruk. Jakarta
Departemen Kesehatan RI, 2010. Penilaian antropometri status gizi. Available at
http://www.gizi.depkes.go.id, diakses pada tanggal 26 Februari 2013 Pukul 15.45WIB
Marsh DR, Schroeder DG. The positive deviance approach to improve health outcomes:
experience and evidence from the field. Food Nutr Bull 2002; 23 (suppl 4): 5-8.
Riskesdas, 2012. Riset Kesehatan Dasar Nasional. Jakarta. www.riskesda.litbang.depkes.go.id
(diakses pada tanggal 26 Februari 2013 pukul 17.37 WIB).
Unicef, 2012. Kematian Balita Di Indonesia. Jakarta. www.Unicef.org (diakses pada tanggal
26 Februari 2013 pukul 17.37 WIB).
139
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KENAKALAN REMAJA
DI SMAN I BATUJAJAR KABUPATEN BANDUNG BARAT
TAHUN 2012
Oktoruddin Harun, Reini Astuti, Shani Mubarak Azis
STIKes Budi Luhur Cimahi
ABSTRAK
Latar belakang: Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan
masa dewasa. Secara umum masa remaja dianggap ada dalam satu periode transisi dengan
tingkah laku antisocial yang potensial. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
kenakalan remaja, salah satunya pola asuh orang tua. Pola asuh orang yang diterapkan
orang tua akan mempengaruhi perkembangan fisik, emosional dan intelektual anak.
Tujuan Penelitian: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh
orang tua dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri I Batujajar
Kabupaten Bandung Barat.
Metode Penelitian: Metode penelitian menggunakan desain kros seksional. Sampel dalam
penelitian ini siswa-siswi kelas X dan kelas XI sebanyak 87 orang. Teknik pengambilan
sampel menggunakan teknik stratified proportional random sampling.Data diperoleh dengan
wawancara. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan nilai α = 0,05.
Hasil Penelitian: hasil penelitian menunjukkan pola asuh demokratis 16 responden ( 18,4%)
dan tidak demoktratis 71 responden ( 81,6%). Pola asuh otoriter 19 respenden ( 21,8%) dan
tidak otoriter 68 responden ( 78,2%). Pola asuh permisif 40 responden ( 46,0%) dan tidak
permisif 47 responden (54%). Pola asuh neglectful 15 responden ( 11,2%) dan tidak
neglectful 72 responden (82%). Sebanyak 41 responden ( 47,1%) ada kenakalan remaja dan
46 responden ( 52,9%) tidak ada kenakalan remaja. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan antara pola asuh demokratis dengan kenakalan remaja ( nilai p = 0,101), dan pola
asuh otoriter dengan kenakalan remaja ( nilai p = 0,813). Ada hubungan antara pola asuh
permisif dengan kenakalan remaja ( nilai p = 0,002 ) dan pola asuh neglectful dengan
kenakalan remaja ( nilai p = 0,012 ).
Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara pola asuh demokratis dan pola asuh otoriter
dengan kenakalan remaja. Ada hubungan antara pola asuh permisif dan neglectful dengan
kenakalan remaja
Keywords: pola asuh, orang tua, kenakalan remaja.
140
PENDAHULUAN
Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terus berlangsung
sampai dewasa. Dalam proses mencapai dewasa inilah anak harus memalalui berbagai
tahap tumbuh kembang, termasuk tahap remaja ( Soetjiningsih, 2004 ).
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang
dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai
dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda ( Marheni dalam Soetjiningsih, 2004
). Sedangkan menurut Sarwono (2006), batasan usia 11 – 24 tahun dan belum menikah
untuk remaja Indonesia. Batasan remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18
tahun, dan remaja akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun ( Al-Mighwar,
2006 ).
Secara umum masa remaja dianggap ada dalam satu periode transisi dengan tingkah laku
antisosial yang potensial, disertai dengan banyak pergolakan hati atau kekisruhan batin
pada fase-fase remaja (Kartono, 2010). Menurut Kartono (2010) perilaku anak-anak remaja
ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma
social, mayoritas kenakalan remaja berusia dibawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak
kejahatan ada pada usia 15- 19 tahun; dan sesudah umur 22 tahun, kasus kenakalan remaja
jadi menurun.
Sebuah survey online yang dilakukan oleh salah satu majalah remaja bekerja sama dengan
sebuah badan yang berkampanye mencegah kehamilan dini pada remaja. The National
Campaign to Preven Teen and Unplanned Pregnancy di Amerika Serikat. Sebanyak 1.280
remaja dan dewasa muda ikut dalam survey tersebut. Hasil cukup mengejutkab bahwa
sebanyak 11% mereka yang berumur 13-16 tahun mengaku pernah berfoto setengah bugil
dengan ponselnya. Lalu mempublikasikan foto itu lewat blog atau website
pribadinya (
Kenakalan Remaja. 18 Desember 2010) Detikhot. )
Belakangan ini, kasus-kasus kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia menjadi sungguh
sangat memprihatinkan dari tahun 2008 mencapai 15.000 kasus narkoba, 468 di antaranya
dilakukan oleh remaja. Fakta dari Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2010 menyatakan
bahwa dalam lima tahun terakhir jumlah kasus tindak pidana narkoba rata-rata hingga
mencapai 51,3% atau bertambah 3.100 kasus pertahun. Kenaikan tertinggi tahun 2009
sebanyak 16.252 kasus atau naik 935 dari tahun sebelumnya. Ditahun yang sama tercatat
22.000 orang tersangka kasus tindak pidana narkoba, kasus ini naik 101,2% dari tahun 2009
sebanyak 11.323 kasus ( Badan Narkotika Nasional, 2010.¶ 1. http: // www.bnn.go.id,
diperoleh tanggal 3 Januari 2012 )
141
Selain itu di Indonesia di perkirakan jumlah prostitusi remaja yang berusia antara 15-20
tahun sebanyak 60% dari 71.280 orang. UNICEF Indonesia menyebutkan angka 3% dari
40.000-150.000 orang dari angka 17.000 pelacur remaja atau 50% dari total penjaja seks (
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,2010 ¶ 2, http://www.bkkbn.go.id. Diperoleh
tanggal 3 januari 2012 ).
Di Jawa Barat , hasil survey dasar kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang dilakukan
BKKBN Jawa Barat terhadap 288 responden usia sekolah SMP dan SMA di enam
Kabupaten di Jawa Barat pada bulan Mei 2010 diperoleh data sekitar 39,55% remaja Jawa
Barat pernah melakukan seks pranikah (perzinahan). Ternyata semakin keatas jenjang
sekolah, moralitas mereka semakin rusak. Bahkan terdapat bukti tambahan dari survey
sebuah LSM menyatakan 44,8 % mahasiswa dan remaja Bandung telah melakukan
hubungan perzinahan, bahkan hampir sebagian besar di wilayah kos-kosan mahasiswa
yang kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) tersebar di
Bandung. ( Fenomena seks in the kost. Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM).Sahabat Anak
dan Remaja Indonesia (Sahara Indonesia). Juni 2010.¶.1,diperoleh tanggal 3 Januari 2012 ).
Jenis-jenis kenakalan remaja terbagi menjadi empat yaitu : 1.Kenakalan yang menimbulkan
korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, dan pembunuhan. 2.
Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan,
pemerasan. 3.Kenakalan social yang tidak menimbulkan korbang di pihak lain : pelacuran ,
penyalahgunaan obat, hubungan sebelum menikah/perzinahan. 4.Kenakalan melawan
status : mengingkari status anak seperti membolos, pergi dari rumah tanpa sepengetahuan
orang tua, membantah perintah orang tua (Sarwono, 2011)
Beberapa faktor yang turut mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja adalah
kelalaian orang tua dalam mendidik anak, sikap perlakuan orang tua yang buruk terhadap
anak, kehidupan ekonomi keluarga yang morat-marit, diperjualbelikan minum keras dan
obat-obatan secara bebas, kehidupan moralitas masyarakat yang kondusif, pengaruh teman
sebaya, perceraian orang tua dan kualitas lingkungan ( Yusuf, 2011 )
Kenakalan remaja dapat ditinjau dari empat factor penyebab, yaitu : factor pribadi, factor
keluarga yang merupakan lingkungan utama, maupun factor sekolah dan lingkungan sekitar
yang secara potensial dapat membentuk perilaku seorang remaja. Keluarga dibutuhkan
seorang anak untuk mendorong, menggali, mempelajari, dan menghayati nilai-nilai
kemanusiaan, religiusitas, norma-norma dan sebagainya (Wahyuningsih,2007.¶ 24,
http://www.uny.ac.id,diperoleh tanggal 3 Januari 2012 ).
142
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relaitf
konsisten dari waktu ke waktu. Pola asuh ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif
maupun positif. Terdapat empat macam pola asuh orang tua : pola asuh demokratis, otoriter,
permisif
dan
neglectful
(
Baumrind,
1967
dalam
Petranto,
2006.
¶
2.
http://dwppfrijenewa.isuisse.com, diperoleh tanggal 3 Januari 2012 )
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan
tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Pola asuh demokratis akan menghasilkan
karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik
dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan
koperatif terhadap orang-orang lain.
Pola asuh otoriter cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya
dibarengi dengan ancaman-ancaman. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik
anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar
norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar
memberikan kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan
yang cukup darinya. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan
kurang matang secara sosial.
Pola asuh neglectful akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive,
agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem (harga diri ) yang
rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman. Tipe pola asuh neglectful adalah
orang tua memberikan waktu yang sangat sempit pada anak-anaknya. Waktu mereka
banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka.( Baumrind.1967 dalam Petranto,2006.¶
5.http://dwppfrijenewa.isuisse.com, diperoleh tanggal 3 Januari 2014)
Menurut (Santrock 2007) Pola asuh penelantar atau neglectful parenting style. Pola
asuh ini bercirikan orang tua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak karena cenderung
lalai. Urusan anak dianggap oleh orang tua sebagai bukan urusan meraka atau orang tua
menganggap urusan sang anak tidak lebih penting dari urusan mereka. Anak yang diasuh
dengan gaya seperti ini cenderung kurang cakap secara social, memiliki kemampuan
pengendalian diri yang buruk, tidak memiliki kemandirian diri yang baik, dan tidak
bermotivasi untuk berprestasi. Dalam konteks timbulnya perilaku penyimpangan oleh remaja,
pola asuh seperti ini menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki frekuensi tinggi
143
dalam melakukan tindakan anti social. Karena mereka tidak biasa untuk diatur sehingga apa
yang mereka mau lakukan ( Santrock, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Departemen Sosial tahun 2004, bahwa pola asuh yang
dominan menurut remaja adalah pola asuh otoriter ( 83,33%) dan disusul dengan pola asuh
permisif dan demokratis masing-masing 9% dan 7,67%.
Keluarga yang kurang demokratis dalam menerapkan pola asuh terhadap anak, akan
menciptakan iklim yang kurang kondusif bagi perkembangan anak diantaranya adalah
perilaku
menyimpang
dan
kenakalan
remaja
(
DepSos
(2004),
http://goresanelinova.wordpress,com diperoleh pada tanggal 7 Januari 2012 ).
Sedangkan hasil penelitian Rani F ( 2008), menunjukkan ada hubungan antara persepsi
anak tentang pola asuh permisif dengan kenakalan remaja, dan persepsi anak tentang pola
asuh neglectful dengan kenakalan remaja.
Setelah peneliti melakukan studi pendahuluan ke SMAN 1 Batujajar pada tanggal 11 Januari
2012, dengan mewawancarai guru bimbingan konseling dan guru kesiswaan, didapatkan :
100 anak yang bolos sekolah tanpa alasan yang jelas, 6 anak yang suka memperlakukan
temannya dengan kekerasan atau berkelahi, 6 anak yang suka melakukan keributan di
kelas, 10 anak kedapatan merokok, 2 anak memiliki video porno di ponselnya, 5 anak
sekolah dalam keadaaan mabuk, 32 anak suka kesiangan dan pada tahun 2009, seorang
siswi hamil diluar nikah. Selain itu, ada 15 orang tua atau wali murid yang tidak datang
ketika diundang ke sekolah dalam rangka menyelesaikan masalah anaknya. Mereka yang
seringm bermasalah tersebut kebanyakan berasal dari keluarga yang tidak utuh atau telah
bercerai. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti melakukan penelitian
tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kenakalan Remaja di Sekolah Menengah
Atas Negeri 1 Batujajar Kabupaten Bandung Barat Tahun 2012.
144
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deksriptif korelasi yaitu suatu metode penelitian yang
dilakukan denngan tujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan
kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar Kabupaten Barat Tahun
2012.
Waktu penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2012. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah kros seksional.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar kelas
X dan XI berjumlah 641 siswa. Sampel yang digunakan adalah 87 siswa. Tehnik
pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified proportional random
sampling.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan tehnik wawancara.
HASIL PENELITIAN
1.
Hubungan Pola Asuh Orang Tua Demokratis Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN
I Batujajar
Hasil penelitian mengenai hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan kenakalan
remaja di SMAN 1 Batujajar dengan menggunakan Analisis bivariat dengan uji Chi Square
dengan alpha = 0,05, dapat dilihat pada Tabel 1, berikut ini:
Tabel 1
Hubungan Pola Asuh Orang Tua Demokratis Dengan Kenakalan Remaja
Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012
Kenakalan Remaja
Pola Asuh
Orang Tua
Tidak Nakal
n
Demokratis
11
%
68,7
Total
Nilai p
Nakal
n
5
%
31,3
n
%
16
100
145
Tidak
Demokratis
30
Jumlah
41
42,3
41
57,7
71
100
0.101
47,1
46
52,9
87
100
Pada Tabel 1 tertera data mengenai pola asuh orang tua demokratis sebanyak 11
responden (68,7%) tidak nakal, dan 5 responden (31,3%) terlibat dalam kenakalan remaja.
Sedangkan pada pola asuh orang tua tidak demokratis terdapat 30 responden ( 42,3%) dan
41 responden (57,7%) terlibat dalam kenakalan remaja.
Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua
demokraktis dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p >
0,05 ).
„2.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1
Batujajar
Tabel 2 . Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter Dengan Kenakalan Remaja
Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012
Kenakalan Remaja
Pola Asuh
Orang Tua
Total
Tidak Nakal
Otoriter
Nilai p
Nakal
n
%
n
%
n
%
8
42,1
11
57,9
19
100
0,813
Tidak Otoriter
33
48,5
35
51,5
68
100
Jumlah
41
47,1
46
52,9
87
100
146
Dari tabel diatas ternyata pada pola asuh orang tua otoriter terdapat 8 responden (42,1%)
tidak nakal dan 11 responden (57,9%) terlibat dalam kenakalan remaja. Sedangkan pada
pola asuh
orang tua tidak otoriter terdapat 33 responden ( 48,5%) tidak nakal dan 35
responden (51,5%) terlibat dalam kenakalan remaja.
Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua
otoriter dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p > 0,05
).
3.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1
Batujajar
Tabel 3
Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif Dengan Kenakalan Remaja
Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012
Kenakalan Remaja
Pola Asuh
Orang Tua
Total
Tidak Nakal
Permisif
Nilai p
Nakal
n
%
n
%
n
%
11
27,5
29
72,5
40
100
0,002
Tidak Permisif
30
63,8%
17
36,2
47
100
Jumlah
41
47,1
46
52,9
87
100
147
Dari tabel diatas ternyata pada pola asuh orang tua permisif terdapat 11 responden (27,5%)
tidak nakal dan 29 responden (72,5 %) terlibat dalam kenakalan remaja. Sedangkan pada
pola asuh orang tua tidak permisif terdapat 30 responden ( 63,8%) tidak nakal dan 17
responden (36,2%) terlibat dalam kenakalan remaja.
Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata ada hubungan antara pola asuh orang tua permisif
dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p < 0,05 ).
4.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Neglectful Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1
Batujajar
Tabel 4
Hubungan Pola Asuh Orang Tua Neglectful Dengan Kenakalan Remaja
Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012
Kenakalan Remaja
Pola Asuh
Orang Tua
Total
Tidak Nakal
Neglectful
Nilai p
Nakal
n
%
n
%
n
%
12
80,0
3
20,0
15
100
0,012
Tidak Neglectful
29
40,3
43
59,7
72
100
Jumlah
41
47,1
46
52,9
87
100
Dari tabel diatas ternyata pada pola asuh orang tua neglectful terdapat 12 responden
(80,0%) tidak nakal dan 3 responden (20,0 %) terlibat dalam kenakalan remaja. Sedangkan
148
pada pola asuh orang tua tidak neglectful terdapat 29 responden ( 40,3%) tidak nakal dan
43 responden (59,7%) terlibat dalam kenakalan remaja.
Hasil uji statistik
pada α = 0,05 ternyata
ada hubungan antara pola asuh orang tua
neglectful dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p <
0,05 ).
PEMBAHASAN
1.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Demokratis Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1
Batujajar
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel .1. tidak ada hubungan antara pola asuh
demokratis dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p > 0,05 ). Hal ini juga sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang
mendorong anak untuk mandiri namun masih menetapkan batasan dan kendali pada
tindakan mereka ( Santrock, 2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Yusuf (2011),
bahwa pola asuh demokrasi akan berdampak terhadap perilaku anak ( kompetensi
emosional, social, dan intelektual ). Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakterisitik
anak yang bersikap bersahabat, memiliki percaya diri, mampu mengendalikan diri, bersikap
sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa percaya diri.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Yusuf (2011) , bahwa pola asuh
demokratis tidak ada hubungan dengan kenakalan remaja tetapi ada faktor lain yang bisa
mengakibatkan kenakalan remaja seperti : perceraian orang tua, perselisihan orang tua,
hidup menganggur, dan kurang memanfaatkan waktu.
2.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1
Batujajar
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel.2 tidak ada hubungan antara pola asuh
otoriter dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p > 0,05 ).
Menurut
Yusuf
(2011 ) pola asuh otoriter akan menghasilkan karakterisitik anak yang mudah tersinggung,
penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai
149
arah yang tidak jelas. Sedangkan menurut Santrock (2007) mengungkapkan bahwa pola
asuh otoriter biasanya mengakibatkan perilaku anak yang egoistis dan antisosial. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Kartono (2010) bahwa sebagian besar
dari remaja tidak semua melakukan kejahatan atau kenakalan sekalipun mempunyai
kecenderungan anti sosial/kenakalan, disebabkan adanya kontrol diri yang kuat dari setiap
diri remaja dan kepatuhan secara normal terhadap kontrol sosial yang efektif.
Sedangkan menurut Hurlock dalam Rani (2008) mengungkapkan bahwa pola asuh otoriter
akan berdampak ketika remaja sudah dewasa, dan penerapan pola asuh semasa dulu akan
diterapkan kembali anaknya kelak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rani (2008), yang menunjukkan tidak adanya
hubungan antara persepsi anak tentang pola asuh otoriter dengan kenakalan remaja.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang diungkapkan Yusuf (2011), bahwa pola
asuh otoriter tidak ada hubungan dengan kenakalan remaja tetapi ada faktor lain yang bisa
mengakibatkan kenakalan remaja seperti : perceraian orang tua, perselisihan oorang tua,
hidup menganggur, kurang memanfaatkan waktu.
3.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1
Batujajar
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel.3.
orang tua permisif
ada hubungan antara pola asuh
dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p < 0,05 ). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Rani (2008), menunjukkan adanya hubungan antara
persepsi anak tentang pola asuh permisif dengan kanakalan remaja.
Hasil penelitian ini sesuai pula dengan teori Yusuf (2011), bahwa pola asuh permisif akan
menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif , agresif, tidak patuh, manja, kurang
mandiri mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara social. Orang
tua tipe ini biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar dan sangat sedikit
bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun biasanya bersifat hangat, sehingga sering
kali disukai oleh anak.
Hal ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pola asuh orang tua permisif
adalah pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu
menuntut atau mengontrol mereka.
150
4.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Neglectful Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1
Batujajar
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel.4.
ada hubungan antara pola asuh
orang tua neglectful dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p < 0,05 ). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Rani (2008), menunjukkan adanya hubungan antara
persepsi anak tentang pola asuh neglectful dengan kanakalan remaja. Hasil penelitian ini
sesuai pula dengan teori Yusuf (2011), bahwa pola asuh neglectful akan menghasilkan
karakteristik anak-anak yang moody, impulsif, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau
mengalah, self esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan
teman. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan perilaku kurang perhatiab secara fisik
dan psikis pada anaknya.
Hal ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pola asuh orang tua neglectful
adlah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Orang tua tipe ini
pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya.
Markum ( dalam Maryani ,2007 ) mengungkapkan bahwa dari keempat pola asuh yang
orang tua terapkan tidak ada satu polah asuh yang terbaik yang diterapkan pada anak. Hal
ini karena setiap anak dilahirkan dengan membawa tempramen dan pola perilaku tersendiri.
Maka dari itu Baumrind ( dalam Dariyo, 2004 ) ,berpendapat seringkali orang tua tidak
menerapkan salah satu tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan
secara fleksibel, luwes, dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu, sehingga
seringkali muncul tipe pola asuh situasional.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah
1. Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua demokratis dengan kenakalan
remaja ( p > 0,05 ).
2. Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan kenakalan remaja (
p > 0,05 ).
3. Ada hubungan antara pola asuh orang tua permisif dengan kenakalan remaja ( p <
0,05 ).
4. Ada hubungan antara pola asuh orang tua neglectful dengan kenakalan remaja ( p <
0,05 ).
151
SARAN
1. Mengefektifkan forum pertemuan antara orang tua murid dengan pengajar dan
berkoordinasi dengan tim bimbingan konseling sehingga orang tua dan guru dapat
mengetahui dan memonitor perkembangan anak di sekolah dan rumah.
2. Membina komunikasi antara orang tua, guru atau orang terdekat dengan remaja
dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi para remaja.
3. Bagi peneliti selanjutnya,
diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi
sumber
informasi dan sebagai bahan perbandingan pada penelitian yang sama atau untuk
melakukan melakukan penelitian lebih lanjut.
152
KEPUSTAKAAN
Agustiani,H.( 2009). Psikologi Perkembangan Edisi Revisi II. Bandung.Refika Aditama
Al-Mighwar, M.(2005). Psikologi Remaja Petunjuk Bagi Guru dan Orang Tua. Bandung.
Pustaka Setia.
Anonim. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2010. Jumlah Prostitusi
Remaja Berusia 15-20. http://www.bkkbn.go.id.diperoleh pada tanggal
3 Januari 2012.
________ . Badan Narkotika Nasional,2010.Kasus-Kasus Kenakalan Remaja.
http://www.bnn.go.id, diperoleh tanggal 3 Januari 2012
________ . DepSos (2004). Pola Asuh Yang Dominan Menurut Remaja.
http://goresanelinova.wordpress.com. Diperoleh tanggal 7 Januari 2012
Arikunto, S. 2010,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
Jakarta.Rineka Cipta
Dario, (2004) . Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung.Rosda
Hidayat,A.A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisis
Data. Jakarta; Salemba Medika.
Kartono.(2010).Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta .Rajawali Pers
Lembaga Swadaya Masyarakat Sahara Indonesia.( 2010).Fenomena Sex in The Kost.
Diperoleh pada tanggal 3 Januari 2011
Maryani, E.(2007) Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Anak Usia
153
Sekolah (9-12 Tahun) Di Sekolah Dasar Negeri Sukaraja III Kecamatan
Rawamerta Karawang. STIKes Ahamad Yani
Masngudin.(2004). Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang..
http://www.depsos.go.id. Diperoleh tanggal 3 Januari 2012
Notoatmodjo.S.(2010). Metodologi
PenelitianiKesehatan .Edisi Revisi.Jakarta
Rineka Cipta.
Nursalam.(2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
(Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Keperawatan). Jakarta.
Salemba Medika
Panuju,P. dan Ida.U .( 2005). Psikologi Remaja. Jogjakarta; Triara Wacana Yogya.
Petranto, I.( 2006).Rasa Percaya Diri Anak ADalah Pantulan Pola Asuh Orangtuanya.
http://dwipptrijenewa.isuisse.com, diperoleh tanggal 3 Januari 2012
Rani, F. (2008).Hubungan Persepsi Anak Tentang Pola Asuh Orang Tua Dengan
Kenakalan Remaja Di SMA Pasundan 3 Bandung. STIKes Ahmad Yani.
Riyanto ,(2009) .Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Cetakan Kedua.Nuha
Medika. Yogjakarta.
Santrock, (2007),Perkembangan Anak . Jilid 2 Edisi 11. Jakarta. Erlangga
Sarwono,S.W.( 2006)..Psikologi Remaja. Jakarta. Rajawali Press
154
Sugiyono, (2010). Statistik Untuk Penelitian. Bandung. Elfabeta
Soetjiningsih.( 2004).Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahanny .
Jakarta. Sagung Seto
Wahyuningsih,S (2007).Pengaruh Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja.
http://www.uny.ac.id. Diperoleh tanggal 3 Januari 2012
Yusuf.H.S .(2011).Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja .Bandung.Rosda.
155
GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG RUMAH SEHAT DI RW
05 KELURAHAN UTAMA, KECAMATAN CIMAHI SELATAN
THE DESCRIPTION OF KNOWLEDGE ABOUT HEALTH HOUSE AT RW 05 SOCIETY
IN MAIN SUB-DISTRICT, SOUTH CIMAHI DISTRICT
Budi Rianto dan Ersan Maulana Ramdani
DIII Keperawatan STIKes Budi Luhur Cimahi
ABSTRACT
Background: The rapid advances in technology and health have given to human
understanding and awareness that housing unhealthy or poor housing is the cause of the low
level of physical and spiritual health. This led to out breaks of disease and reducing the work
force or power production, slum settlements in the cities was increasingly mushrooming. The
housing minister stated that the facts show that the house is not habitable or slums to reach
4.8 million housing units. In 2009 the proportion of eligible healthy in western Java has
reached 59.78% (West Java Health Office 2009). Phenomena about healthy home for the
community itself is still quite common or some of them even do not know the meaning of a
healthy home, healthy home for health benefits, the risk of unhealthy and healthy home
conditions. This is due to lack of information. Besides, it is also the knowledge and
understanding of society itself is still relatively poor
Purpose: The writer would like to know the description of society Knowledge about Healthy
Housed at RW 05 society in Hujung village, Main Sub-District, South Cimahi district.
Methods: This study used descriptive method, Sample retrieval techniques in this study
conducted in a "simple random sampling". Samples used as many as 100 respondents by
distributing questionnaires and analyzed using univariate
The results: The results of this study found that of 100 respondents, who are knowledge
about healthy home by 43(43%) respondents whom had good knowledge, while the less
knowledge were as many as 33 (33%)respondents and are knowledge had enough as many
as 24(24%)respondents.
Conclusion: From the results of a study of 100 respondents with regard to the description of
public knowledge about healthy homes in Rw 05 Village Hujung Cimahi District South Main
Village, then in general it can be concluded that the knowledge society Hujung Rw 05 village
Primary Village South Cimahi district by the number of respondents 100 respondents had a
good knowledge of as many as 43(43.0%) respondents.
Keywords
: Descriptive. Knowledge Healthy Homes
156
PENDAHULUAN
Permukiman kumuh dikota-kota kian lama kian menjamur adanya permukiman kumuh
dikota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya merupakan fenomena yang sering dijumpai
atau ditemui. Permukiman kumuh yang berada diantara Gedung-gedung pencakar langit dari
sana dapat terlihat bahwa tidak semua masyarakat yang ada diperkotan memiliki
penghidupan yang layak. Mereka yang berada pada permukiman kumuh umumnya adalah
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, keberadaan permukiman kumuh dikotakota besar merupakan salah satu akibat dari semakin derasnya arus migrasi yakni
perpindahan penduduk dari desa ke kota yang tidak diiringi dengan pembangunan di kota
secara merata. Oleh sebab itu tidak dapat dipungkiri lagi akan semakin bertambahnya pula
permukiman kumuh dikota-kota besar. (http://www.tribunnews.com/ 25 Desember 2012).
Pada tahun 2009 proposi rumah yang memenuhi kriteria sehat di Jawa Barat baru mencapai
59,78% (Dinkes jawa barat.2009) Kota Bekasi memiliki proporsi rumah sehat yang paling
tinggi, yaitu mencapai 89,74% sedangkan yang paling rendah adalah kabupaten bandung
yang hanya mencapai 28,13% Kepala Bidang Perumahan dan Permukiman Dinas Pekerjaan
Umum Kota Cimahi menyatakan, tiga titik kawasan permukiman yakni, di bantaran sungai,
wilayah yang berbatasan dengan kawasan industry dan di sepanjang lintasan rel kereta api.
Menurutnya, tiga titik tersebut selalu menjadi lokasi favorit berkembangnya permukiman
kumuh di Kota Cimahi. Penetapan tiga kawasan kumuh yang menjadi prioritas pembenahan
itu juga sudah tercantum dalam Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur
Perkotaan (SPPIP). (Dinkes jawa barat.2009 diperoleh pada tanggal 25 Desember).
Pada 2011 lalu, pihaknya melakukan pembenahan di wilayah Melong dan Cigugur Tengah
dimana kedua wilayah tersebut berbatasan langsung dengan kawasan industri. Untuk tahun
ini, pembenahan permukiman kumuh akan difokuskan di wilayah Cibeureum yang
bersampingan langsung dengan lintasan rel kereta api. Pembenahan terus dilakukan setiap
tahunnya, namun dilakukan secara parsial akibat terbatasnya anggaran yang tersedia.
(http://www.inilahjabar.com diperoleh 28 Desember 2012).
Pada 2012 ini, pihaknya berencana membenahi 185 unit rumah yang dananya berasal dari
APBD Kota Cimahi 2012, mengakui dengan tingkat pertambahan penduduk yang mencapai
2,2% setiap tahun, Kota Cimahi dihadapkan pada persoalan serius terkait ketersediaan
perumahan bagi penduduknya. Namun begitu,tak bisa menyebutkan angka pasti jumlah
permukiman kumuh di kota cimahi (http://www.inilahjabar.com/di peroleh pada tanggal 28
Desember).
Fenomena tentang rumah sehat bagi masyarakat itu sendiri masih terbilang cukup awam
atau beberapa diantaranya bahkan tidak tahu dari pengertian rumah sehat, manfaat rumah
sehatbagi kesehatan, resiko rumah tidak sehat dan syarat-syarat rumah sehat. Hal ini
dikarenakan kurangnya informasi. Disamping itu juga pengetahuan dan pemahaman dari
masyarakat itu sendiri masih tergolong kurang baik. Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui tentang bagaimana pengetahuan masyarakat Rw 05 Desa Hujung
Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan.
157
METODELOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan metode desriktif dengan Rancangan penelitian
adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan
maksimal beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil dan dapat
digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk
mencapai suatu tujuan (Nursalam 2008).
1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran
yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang sesuatu konsep pengertian
tertentu (Notoatmodjo, 2010).
Adapun variable dalam penelitian ini adalah Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa
Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan.
2.
Definisi Oprasional
Definisi oprasional merupakan variabel yang telah didefinisikan yang perlu didefinisikan
secara oprasional, sebab istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang
yang berlainan.
Populasi dan Sampel Penelitian
1.
Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah mayarakat RW 05 Desa Hujung kelurahan Utama Kecamatan
Cimahi Selatan yang berjumlah 1.000 (Kepala keluarga).
2. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik “simple random sampling”
yaitu pengambilan sampel dilakukan secara acak dari setiap.
Adapun sampel yang akan diambil adalah dengan menggunakan rumus menurut
Notoatmodjo, 2002 sebagai berikut:
Keterangan :
N
= Besar Populasi
n
= Besar Sampel
d
= Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan 0,1
Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang dengan
pembagian strata sebagai berikut :
RT 01
RT 02
RT 03
7 kepala keluarga
158
RT 04
RT 05
RT 06
RT 07
RT 08
RT 09
RT 10
A.
yaitu : 100 orang.
Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti membuat kuesioner dengan dimodifikasi oleh peneliti sendiri disesuaikan
dengan teori yang dikemukakan oleh Setiadi (2007). Data yang diperlukan dalam
penelitian ini bersumber dari masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama
Kecamatan Cimahi Selatan yang sudah berkeluarga (kepala keluarga).
2. Instrumen Penelitian
Sebagai alat pengumpul data dalam penilitian ini adalah kuesioner yang didesain
khusus sesuai dengan tujuan penelitian dan variabel yang akan diteliti.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas
a. Uji Validitas
Penguji menggunakan teknik uji validitas Korelasi Pearson Product Moment.
Skor setiap item pertanyaan yang diuji kevalidannya di korelasikan dengan
skor total seluruh item dengan rumus (Riyanto, 2011).
rXY =
Keterangan :
rxy
: Koefesien korelasi
n
: Jumlah responden uji coba
∑X
: Jumlah skor item
∑Y
:Skor total keseluruhan item
Selanjutnya untuk meningkatkan tingkat korelasi dari tiap item atau butir soal
yang diperoleh harus dibandingkan dengan angka kritik table korelasi nilai r
product moment. Kriteria validasi dari tiap item adalah bila jika (r) ˃0,361
maka item tersebut dapat dikatakan valid, sedangkan (r) ˂0,361, maka item
tersebut tidak valid. Setelah data didapat dan ditabulasikan, maka pengujian
validitas akan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer.
Uji validasi telah dilaksanakan di RW 10 kelurahan Utama dengan jumlah
responden 30 dan terdiri dari 25 pertanyaan. Didapatkan 3 pertanyaan tidak
valid. Kemudian 3 pertanyaan yang tidak valid tersebut diperbaiki.
b. Uji Reliabilitas
Penulis menggunakan teknik uji validitas Cronbach’s Alpha sebagai berikut :
2
k 
  si 

rii =
1  2 
k 1 
st 


159
Keterangan :
rii
= Koefisien reliabilitas test
k
= Cacah butir
2
= Varians skor butir
si
st2
= Varians skor total
Dari hasil analisa diperoleh nilai Cronbach‟s Alpha sebesar 0,959 atau lebih
dari 0,7 (costanta) sehingga dinyatakan reliabel.
c. Prosedur Penelitian meliputi: Tahap Persiapan, Tahap Pelaksanaan, dan
tahap akhir Pengolahan dan Analisa data meliputi: Editing, Coding, Scoring,
Processing, Cleaning, dan Tabulating.
1. Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara univariant, yaitu menghitung
jumlah kategori dari jawaban responden yang ditampilkan dalam bentuk distribusi
frekwensi dan persentase dari tiap variabel. Selanjutnya data yang diperoleh
dikumpulkan, pertanyaan yang dijawab dengan benar diberi nilai satu (1) dan jika salah
diberi nilai 0 (nol) kemudian dituangkan dalam bentuk tabel dengan perhitungan analisis.
Menurut Arikunto (2006):
P = x 100%
Keterangan :
P : Persentase
a : Jumlah pertanyaan yang dijawab benar
b : Jumlah semua pertanyaan
Pengukuran dan interprestasi data dari hasil penelitian dikelompokan dalam 3 kategori, yang
mengacu pada teori Arikunto (2003), yaitu:
2. Baik
= Apabila pertanyaan dijawab dengan benar
sebanyak ≥ 76%-100%
3. Cukup
= Apabila pertanyaan dijawab dengan benar
sebanyak 56%-75%
4. Kurang
= Apabila pertanyaan dijawab dengan benar
sebanyak 55%
Hasil persentasi kemudian diinterprestasikan kedalam kata-kata atau kalimat dengan
menggunakan katagori, sugiyono (2006) sebagai berikut: 0% dibaca tidak seorangpun dari
responden, 1-26% dibaca sebagian kecil dari responden, 27-49% dibaca hampir setengah
dari responden, 50% dibaca setengah dari reponden, 51-75% dibaca sebagian besar dari
responden, 76-99 dibaca hampir seluruh dari responden, 100% dibaca seluruh responden.
C. Etika Penelitian
Secara umum prinsip etik dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi
3 bagian yaitu:
1. Prinsip manfaat
a. Bebas dari penderita
Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan subjek, khususnya jika
menggunakan tindakan khusus.
160
b.
Bebas dari eksploitasi
Partisipasi objek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan yang tidak
menguntungkan. Subjek harus diyakini bahwa partisipasinya dalam penelitian atau
informasi yang telah diberikan, tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat
merugikan subjek dalam bentuk apapun. Ini bertujuan agar penderita / responden dengan
jelas tahu dan paham mengenai maksud dan tujuan dari peneliti melakukan penelitian.
c.
Resiko (benefits ratio)
Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang akan berakibat
kepada subjek pada setiap tindakan.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)
Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak untuk
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak, tanpa adanya
sangsi apapun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika mereka seorang
klien.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full disclosure).
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta tanggung
jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.
c. Informed consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang
akan dilaksanakan, subjek mempunyai hak untuk bebas berpatrisipasi atau menolak
untuk menjadi responden. Pada informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data
yang diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu.
3. Prinsip keadilan (right to justice)
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)
Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah
keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata
mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.
d. Hak di jaga kerahasiaanya (right to privacy)
Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia
(confidentiality).
B.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi
Selatan. Waktu Penelitian dilakukan pada Bulan Maret-Juli 2013.
161
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Bab ini akan menyajikan hasil penelitian yang telah dilakukan di RW 05 Desa Hujung
Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan dengan besar sampel 100 responden dengan
judul “Gambaran Pengetahuan masyarakat Tentang Rumah Sehat di RW 05 Desa Hujung
Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan” dengan variabel gambaran pengetahuan
tentang pengertian Rumah sehat, gambaran pengetahuan tentang manfaat rumah sehat,
gambaran pengetahuan tentang resiko rumah tidak sehat, gambaran pengetahuan tenang
syarat-syarat rumah sehat.
Table 4.1 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang rumah sehat RW
05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tahun
2013.
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase (%)
Baik
43
43.0
Cukup
24
24.0
Kurang
33
33.0
Total
100
100.0
Dari analisis Tabel 4.1 pengetahuan masyarakat tentang rumah sehat di RW 05
Desa Hujung Keluraham Utama Kecamatan Cimahi Selatan hampir setengahnya
berpengetahuan baik sebanyak 43 responden (43%), hampir setengahnya sebanyak 33
responden berpengetahuan kurang (33%) dan sebagian kecil berpengetahuan cukup
sebanyak 24 responden (24%).
Table 4.2 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang pengertian rumah
sehat di Rw 05 Desa Hujung Kelurahan Utma Kecamatan Cimahi Selatan.
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase (%)
Baik
35
35.0
Cukup
12
12.0
Kurang
53
53.0
Total
100
100.0
Dari analisis Tabel 4.2 pengetahuan masyarakat tentang pengertian rumah sehat di Rw
05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan berpengetahuan kurang
tentang pengertian rumah sehat sebanyak 53 responden (53.0%) hampir setengah dari
162
responden berpengatahuan baik tentang pengertian rumah sehat
sebanyak 35
responden (35.0%) dan sebagian kecil berpengetahuan cukup tentang pengertian rumah
sehat sebanyak 12 responden (12.0%).
Table 4.3 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah
sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi
Selatan.
Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
Total
Frekuensi
Persentase (%)
65
18
17
100
65.0
18.0
17.0
100.0
Dari analisis Tabel 4.3 pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah sehat di
RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan sebagian besar
berpengetahun baik tentang manfaat rumah sehat sebanyak 65 responden (65.0%),
sebagian kecil berpengetahun cukup tentang manfaat rumah sehat sebanyak 18
responden (18.0%) dan sebagian kecil yang berpengetahun kurang tentang manfaat
rumah sehat sebanyak 17 responden (17.0%).
Table 4.4 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang resiko rumah tidak
sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi
Selatan.
Pengetahuan
Frekuensi
Baik
Cukup
Kurang
Total
41
23
36
100
Persentase (%)
41.0
23.0
36.0
100.0
Dari analisis Tabel 4.4 pengetahuan masyarakat tentang resiko rumah tidak sehat
di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan hampir setengah
dari responden berpengetahuan baik tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 41
responden (41.0%), hampir setengah dari responden berpengetahun kurang tentang
resiko rumah tidak sehat sebanyak 36 responden (36.0%), dan sebagian kecil dari
responden berpengetahuan cukup tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 23
responden (23.0%).
Table 4.5 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang syarat-syarat
rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan
Cimahi Selatan.
Pengetahuan
Baik
Cukup
Frekuensi
Persentase (%)
43
19
43.0
19.0
163
Kurang
Total
38
100
38.0
100.0
Dari hasil analisis Tabel 4.5 pengetahuan masyarakat tentang syarat-syarat rumah
sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan hampir
setengah dari responden berpengatahuan baik sebanyak 43 responden (43.0%), hampir
setengah dari responden berpengetahuan kurang tentang syarat-syarat rumah sehat
sebanyak 38 responden (38.0%) dan sebagian kecil dari responden berpengetahuan
cukup tentang syarat-syarat rumah sehat sebanyak 19 responden (19.0%).
B. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kepada masyarakat tentang rumah
sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan, dapat
diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Gambaran Pengetahuan masyarakat Tentang rumah sehat di RW 05 Desa
Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden atau masyarakat RW 05
Desa Hujung Kelurahan Utama kecamatan Cimahi Selatan hampir setengahnya
berpengetahuan baik sebanyak 43 responden (43%), hampir setengahnya sebanyak
33 responden berpengetahuan kurang (33%) dan sebagian kecil berpengetahuan
cukup sebanyak 24 responden (24%).
Adapun masyarakat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi
Selatan yang berpengetahuan baik dikarenakan mereka tahu dan memiliki
pengalaman sama halnya Menurut Notoatmodjo 2007 mengatakan bahwa:
Pengatahuan merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang dalam
melakukan pengindraan terhadap suatu rangsangan tertentu. Pengindraan ini terjadi
melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga.pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang.(over behavior) (Notoatmodjo 2007).
2. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang pengertian rumah sehat di RW 05
Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan
Berdasarkan dari hasil analis terhadap 100 responden tentang pengertian rumah
sehat, terlihat bahwa berpengetahuan kurang tentang pengertian rumah sehat
sebanyak 53 responden (53.0%) hampir setengah dari responden berpengatahuan
baik tentang pengertian rumah sehat sebanyak 35 responden (35.0%) dan sebagian
kecil berpengetahuan cukup tentang pengertian rumah sehat sebanyak 12 responden
(12.0%). Kurangnya pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama
Kecamatan Cimahi Selatan tentang pengertian rumah sehat terjadi karena
masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tidak
mendapatkan materi pembelajaran tentang pendidikan kesehatan khususnya
mengenai penjelasan pengertian rumah sehat secara jelas, sehingga dengan
demikian masih banyak masyarakat yang belum tahu, atau tidak mau tahu dan tidak
ingin tahu tentang pengertian rumah sehat.Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007)
mengatakan bahwa Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua
aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang menentukan sikap
164
seseorang, semakin banyak aspek positip dan objek yang diketahui, maka akan
menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu begitu juga sebaliknya.
3. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah sehat di RW 05
Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan.
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden RW 05 Desa Hujung
Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tentang manfaat rumah sehat, terlihat
bahwa sebagian besar berpengetahun baik tentang manfaat rumah sehat sebanyak
65 responden (65.0%), sebagian kecil berpengetahun cukup tentang manfaat rumah
sehat sebanyak 18 responden (18.0%) dan sebagian kecil yang berpengetahun
kurang tentang manfaat rumah sehat sebanyak 17 responden (17.0%). Mayoritas
pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah sehat baik.
Adapun responden yang berpengetahuan baik itu mungkin dikarenakan berdasarkan
informasi yang diperolehnya melalui fasilitas-fasilitas yang dijadikan sebagai sumber
informasi yang dapat mempengaruhi seseorang, misalnya radio, televisi, majalah,
koran, atau buku (Notoatmodjo 2007).
4. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang resiko rumah tidak sehat di RW 05
Desa Hujung Kelurahan Utama Kecaman Cimahi Selatan.
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden, terlihat bahwa hampir
setengah dari responden berpengetahuan baik tentang resiko rumah tidak sehat
sebanyak 41 responden (41.0%), hampir setengah dari responden berpengetahun
kurang tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 36 responden (36.0%), dan
sebagian kecil dari responden berpengetahuan cukup tentang resiko rumah tidak
sehat sebanyak 23 responden (23.0%). Mayoritas pengetahuan responden tentang
resiko rumah tidak sehat berpengetahuan baik.
Sejalan dengan teori yang disampaikan Notoatmodjo (2007) pengalaman atau
pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain.
Pengalaman yang diperoleh bisa memperluas pengetahuan seseorang dalam
pengetahuan.
5. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang syarat-syarat rumah sehat di RW
05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden di RW 05 Desa Hujung
Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tentang syarat-syarat rumah sehat,
terlihat bahwa hampir setengah dari responden berpengatahuan baik sebanyak 43
responden (43.0%), hampir setengah dari responden berpengetahuan kurang
tentang syarat-syarat rumah sehat sebanyak 38 responden (38.0%) dan sebagian
kecil dari responden berpengetahuan cukup tentang syarat-syarat rumah sehat
sebanyak 19 responden (19.0%). Mayoritas responden RW 05 Desa Hujung
Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan berpengetahuan baik.
Menurut Notoatmodjo (2007) keyakinan dapat mempengaruhi pengetahuan
seseorang, biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu, baik keyakinan itu sifat positif maupun negatif.
165
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi
Selatan dengan jumlah responden 100 responden, memiliki pengetahuan yang baik
yaitu sebanyak 43 responden (43.0%). Adapun faktor yang mempengaruhi kepada
masyarakat Rw 05 Desa Hujung Kelurahan Utama adalah dari faktor lingkungan,
faktor ekonomi dan faktor sosial.
Sedangkan secara khusus berdasarkan klasifikasi sub variabel-variabel penelitian
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama
Kecamatan Cimahi Selatan mengenai pengetahuan rumah sehat dengan jumlah
100 responden hampir setengahnya
memiliki pengetahuan baik yaitu 43
responden (43.0%).
2. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama
Kecamatan Cimahi Selatan mengenai pengertian rumah sehat dengan jumlah
100 responden sebagian besar dari responden memiliki pengetahuan kurang
yaitu 53 responden (53.0%).
3. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama
Kecamatan Cimahi Selatan mengenai manfaat dari rumah sehat dengan jumlah
responden 100 responden, sebagian besar berpengetahuan baik yaitu sebanyak
65 responden (65.0%).
4. Diketahui Pengetahuan masyarakat
RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama
Kecamatan Cimahi Selatan mengenai resiko rumah tidak sehat dengan jumlah
responden 100 responden sebagian besar berpengetahuan baik yaitu sebanyak
41 responden (41.0%).
5. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama
Kecamatan Cimahi Selatan mengenai swyarat-syarat rumah sehat dengan jumlah
responden 100 responden, hampir sebagian dari responden berpengetahuan baik
yaitu sebanyak 43 responden (43.0%).
B. SARAN
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian yang akan datang serta dapat
membedakan tingkat pengetahuan yang lebih sempurna.
166
RELATIONSHIP OF THE KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF NURSE WITH THE
INCIDENT CARDIAC PULMONARY RESUSCITATION IN EMERGENCY ROOM AT RSUD
ALIHSAN GENERAL HOSPITAL , WEST BANDUNG REGENCY, WEST JAVA PROVINCE
Emy Salmiyah, Lim Susanti, dan Dadang Ahmad Nur
STIKes Budi Luhur Cimahi
ABSTRACT
Background of this study is the increasing number of deaths caused by cardiac interval and
stopped breathing. Based on WHO data of 2008, the deaths in the world due to heart
disease by 13.7%, in Indonesia by 8.7% and amounted to 12.74% of West Java.The purpose
of this study are to determine relationship of the knowledge and attitude of nurse with the
incident cardiac pulmonary resuscitation in Emergency Room at RSUD Al-Ihsan General
Hospital, West Bandung Regency, West Java Province. The method used in this study is the
correlation method and research used to design the cross-sectional study. The population in
this study were all nurses in the Emergency Room at RSUD Al-Ihsan General Hospital.
Collecting data were analyzed with univariate and bivariate percentage by using the chisquare test.Based on the analysis of the results of the study concluded that knowledge has a
relationship with the incidence of cardiopulmonary resuscitation with a value of P = 0.001 at
α = 0.05 and attitudes have a relationship with the incidence of cardiopulmonary
resuscitation with a value of P = 0.000 at α = 0.05. The results of this study concluded that
there is a relationship of knowledge with cardiac pulmonary resuscitation events and attitude
relationships with cardiac pulmonary resuscitation events. The result is expected, the AlIhsan Hospital to facilitate the nurses to attend seminars / cardiac pulmonary resuscitation
refreshing every three months, revised Standard Operasional Procedure Cardiac Pulmonary
Resuscitation, conduct ongoing cooperation with STIKes Budi Luhur: America Heart
Associtatione Basic Live Support Training International and Ambulance Emergency 118 :
Training Basic Trauma Cardiac Live Support.
Keywords : Knowledge, attitude, cardiac pulmonary resuscitation
167
PENDAHULUAN
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga dengan melalui suatu
proses yaitu proses belajar dan membutuhkan suatu bantuan, misalnya : buku dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan perawat tentang
resusitasi jantung paru merupakan modal yang
sangat penting untuk pelaksanaan tindakan resusitasi jantung paru pada situasi kritis.
Pengetahuan perawat tentang resusitasi jantung paru akan menentukan keberhasilan
tindakan resusitasi jantung paru. Makin lambat dimulainya tindakan resusitasi jantung
paru yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan makin tinggi
pula resiko kematian.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada
objek tersebut. Sikap mendukung yang harus ditunjukan oleh seorang perawat ketika
menghadapi pasien henti jantung dan henti napas merupakan respon yang harus dimiliki
oleh seorang perawat berupa :Tidak panik, jangan terburu-buru memindahkan korban
dari tempatnya, berteriak minta tolong, memperhatikan keamanan penolong, pasien dan
lingkungan. Sikap yang mendukung dalam melakukan resusitasi jantung paru tersebut
harus dimiliki oleh seorang perawat yang bekerja di rumah sakit.
Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung
merupakan Rumah Sakit Tipe B milik Provinsi Jawa Barat yang memberikan berbagai
macam jenis pelayanan kesehatan yang meliputi : Poli Klinik, Rawat Inap, Tindakan
Pembedahan, Laboratorium, Radiologi, Rehabilitasi Medis, Akupunktur, Farmasi,
Pelayanan Gawat Darurat.
Instalasi Gawat Darurat sebagai salah satu bagian instalasi yang berada di
Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan merupakan instalasi yang memberikan pelayanan
kepada pasien selama 24 jam terus menerus, dengan fokus utama pelayanan yaitu
memberikan pelayanan gawat darurat. seperti yang tercantum pada tabel berikut ini.
168
Tabel 1.1 Tindak Lanjut Pelayanan Pasien Instalasi Gawat Darurat Bulan Januari 2013
Sampai Dengan Maret Tahun 2013
Jenis
Kasus
No
1.
Bulan
Bedah
Jan
Feb
Mar
Non Bedah Jan
Feb
Mar
Obgyn
Jan
Feb
Mar
Jumlah Total
Persentase
2.
3.
Tindak Lanjut Pelayanan
Rawat Rujuk Pulang Pulpak
255
197
450
0
235
141
315
0
296
152
465
0
811
189
910
0
742
215
820
0
806
235
940
0
201
117
80
0
251
136
75
0
298
141
46
0
3848
1518
4130
0
40,1
15,7
43,0
0
Jumlah
Mati
3
2
12
23
22
23
0
1
0
87
0,9
905
693
925
1933
1799
2004
398
463
485
9605
100,0
S
u
m
b
e
r
:
B
a
g
i
a
n PPL RSUD Al-Ihsan
Berdasarkan data di atas angka kematian pasien di Instalasi Gawat Daurat
RSUD Al-Ihsan dari Bulan Januari sampai dengan Maret 2013 sebesar 0,9 %. angka
kematian pasien di Instalasi Gawat Darurat cukup tinggi, maka perlu adanya upaya
untuk menurunkan angka kematian yang harus dilakukan oleh perawat dengan
memahami pengetahuan dan sikap dalam melaksanakan resusitasi jantung paru secara
cepat, tepat dan akurat..
Perawat yang bekerja di instalasi gawat darurat harus memilki pengetahuan dan
sikap yang baik tentang resusitasi jantung paru, yang salah satunya didapat melalui
pelatihan penanganan gawat darurat.
Berikut tabel daftar perawat yang sudah
tersertifikasi pelatihan penanganan gawat darurat.
Tabel1.2 Daftar Perawat Ahli Yang Tersertifikasi Pelatihan Penanganan Gawat
Darura tInstalasi Gawat Darurat Tahun 2013
No
SertifikatPelatihanPPGD II/BTCLS
1. Tersertifikasi
2.
BelumTersertifikasi
Total
Jumlah
Persentase
17
58,6
12
41,4
29
100,0
Sumber :BagianDiklat RSUD
169
Dari tabel diatas menunjukan dari jumlah total perawat IGD sebanyak 29 orang,
perawat yang telah mengikuti pelatihan PPGD II/BTCLS sebanyak 58,6 % dan ACLS
sebesar 6,9 %. Hal tersebut masih dibawah Standar Pelayanan Minimal Gawat Darurat
yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI sebesar 100 %.
Pada studi pendahuluan melalui wawancara secara acak pada 15 orang perawat
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan tentang pengetahuan dan
sikapketika dihadapkan dengan kejadian tindakan resusitasi jantung, 53 % orang dari
responden telah dapat menjawab dengan benar tentang pengertian, tujuan, indikasi dan
tahapan resusitasi jantung paru dan 47 % menjawab salah tentang pengertian dan
tahapan resusitasi jantung paru
. Berdasarkan hasil wawancara sikap ketika
menghadapi kejadian resusitasi jantung paru sebanyak 60 % merasa cemas dan panik
dan 40 % merasa tidak cemas , oleh karena diantaranya mereka telah mengikuti
pelatihan penanganan gawat darurat. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai :“ Hubungan Pengetahuan Dan Sikap
Perawat Dengan Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru Di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan kejadian
tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah
Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung pada penanganan pasien gawat
darurat.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini digunakan metode survei Analitik korelasi dengan Rancangan
penelitian cross sectional. Variabel Penelitian meliputi:
a. Variabel Bebas (variable independent)
Variable bebas (variable Independent) adalah Variabel yang nilainya
menentukan variabel lain. Variabel bebas atau variable Independent yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap perawat.
b. Variabel Terikat (variable dependent)
Variabel terikat (variable dependent)adalah variabel yang nilainya
ditentukan oleh variabel lain. Variabel terikat (variable dependent) yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah kejadian tindakan resusitasi jantung paru.
5. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah merupakan penjelasan semua variable dan isitilah
yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya
mempermudah pembaca mengartika mana penelitian (Setiadi, 2011). Alat ukur yang
170
digunakan adalah Kuisioner dengan skala ordinal serta skor adalah ≥76% : Baik, 5675 % : Cukup, < 56 %: Kurang. Sedangkan untuk Sikap yaitu≥ Mean (86,56) :
Mendukung
<
Mean (86,56) : Tidak Mendukung, serta Kejadian Tindakan Resusitasi
Jantung Paru yaitu≥ Mean (60,22) : Tepat < Mean( 60,22) : Tidak Tepat.
B.
Populasi Dan Sampel Penelitian
1.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat di Instalasi Gawat Darurat
Rumah sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung,
yaitu :sebanyak 29 perawat.
2.
Sampel
Kriteria inklusi : CI, PP, PA, pendidikan DIII keperawatan, sedangkan kriteria eklusi :
perawat yang sedang cuti melahirkan 1 orang dan peneliti 1 orang. Jumlah sampel
dalam penelitian ini sebanyak 27 responden.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
sampling jenuh yaitu : tehnik penentuan sampel bila semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan, karena jumlah populasi relatip kecil
(kurang dari 30 responden).
C.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari :
a.
Variabel pengetahuan menggunakan angket tertutup sebanyak 23 pertanyaan,
setiap pertanyaan disediakan empat alternatif jawaban dan salah satu
diantaranya jawaban yang benar.
b.
Variabel sikap menggunakan skala likert sebanyak 34 pernyataan, setiap
pernyataan disediakan empat alternative jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS),
Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).
c.
Variabel Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru menggunakan observasi
sebanyak 23 pernyataan, setiap pernyataan disediakan dua alternative
jawaban yang dikategorikan tepat dan tidak tepat.
1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
a.
Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu instrument.Suatu instrument yang valid atau sahih mempunyai
valditas yang tinggi. (Arikunto,2010).
171
Uji validitas ini dilakukan untuk setiap item.Teknik uji yang digunakan
untuk pertanyaan pengetahuan adalah korelasi Pearson Product Moment.
Skor setiap item pertanyaan yang di uji kevalidannya dikorelasikan
dengan skor total seluruh item dengan rumus :
Rxy :
n.XY   ( X ) ( Y )
{n.  X 2  ( X ) 2 }.{n.  Y 2  ( Y ) 2 }
Keterangan :
Rxy
= Koefisien Korelasi
n
= Jumlah Responden uji coba
∑X
= Jumlah skor item
∑Y
= Skor total seluruh item
Selanjutnya untuk meningkatkan tingkat korelasi dari tiap item atau butir soal
yang diperoleh harus dibandingkan dengan angka kritik tabel korelasi nilai r
Product Moment.
Uji validitas dilaksanakan tanggal 4 - 11 Juni 2013 diIGD Rumah Sakit Cibabat,
karena karakterisktik IGD Rumah Sakit Cibabat sama dengan karakteristik IGD
Rumah Sakit Al-Ihsan sama. Uji validitas dilakukan pada 20 orang responden.
Keputusan uji dikatakan valid, jikanilai r Product Moment :
1) Bila r hitung (r pearson) > r table (0,444) ; maka Ho ditolak artinya pertanyaan
valid.
2) Bila r hitung (r pearson) < r table (0,444) ; maka Ho gagal ditolak artinya
pertanyaan tidak valid.
Setelah dilakukan uji validitas pada 20 orang responden di IGD Rumah
Sakit Cibabat, dengan hasil sebagai berikut :
a)
Pengetahuan
Sebanyak 25 butir pertanyaan, diketahui jumlah pertanyaan yang valid
sebanyak 21 pertanyaankarena memiliki r hitung>r tabel (0,444). Dan
untuk 4 pertanyaan pada nomor : 6, 13, 16, 23 dinyatakan tidak valid
karena memiliki r hitung < r table (0,444), sehingga pada penelitian untuk
pertanyaan yang tidak valid nomor : 13, 22 diganti kalimatnya, sedangkan
pertanyaan yang tidak valid pada nomor : 6,16 tidak digunakan kembali
karena sudah terwakilkan dengan pertanyaan yang lainnya.
b)
Sikap
Sebanyak 34 butir pernyataaan, diketahui jumlah pernyataan yang valid
sebanyak 31 pernyataan karena memiliki r hitung>r tabel (0,444). Dan
untuk pernyataan pada nomor :1,3, 23 dinyatakan tidak valid karena
172
memiliki r hitung < r table (0,444), sehingga pada penelitian, untuk
pernyataan yang tidak valid nomor : 1, 23 diganti kalimatnya, sedangkan
pernyataan yang tidak valid
pada nomor : 3 tidak digunakan kembali
karena sudah terwakilkan dengan pernyataan yang lainnya.
c)
Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru
Sebanyak 24 butir pernyataaan, diketahui jumlah pernyataan yang valid
sebanyak 23 pernyataan karena memiliki r hitung>r tabel (0,444). Dan
untuk pernyataan pada nomor :2 dinyatakan tidak valid karena memiliki r
hitung < r table (0,444), sehingga pada penelitian, untuk pernyataan yang
tidak valid nomor : 2 diganti kalimatnya.
b.
Reliabilitas
Uji realiabilitas instrumen penelitian menggunakan rumus Alpha Cronbach,
dengan pertimbangan bahwa reliabilitas Alpha Cronbach dapat dipergunakan
baik untuk instrumen yang jawabannya berskala maupun, yang bersifat
dikhotomis.
Pertanyaan
dikatakan
reliable
jika
jawaban
sesorang
terhadap
pertanyaan/pernyataan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.Uji validitas ini
dilakukan pada 20 orang perawat IGD RS Cibabat dengan membandingkan
nilai alpha atau nilai r hasil>konstanta (0,6),maka pertanyaan tersebut
dikatakan valid atau reliabel. Dan jika r alpha <konstanta, maka pertanyaan
tersebut tidak reliabel.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas kuesioner penelitian pada tanggal 4 - 11
Juni 2013, didapatkan nilai α= 0,955> nilai konstanta (0,6). Jadi seluruh
butir pernyataan kuesioner kejadian tindakan resusitasi jantung paruuntuk
penelitian ini dinyatakan reliabel, karena memiliki nilai α>konstanta.
D.
Prosedur Penelitian meliputi:
Tahap persiapan, Mendapatkan izin penelitian, Mendapatkan informed concent
(persetujuan
daeri
responden),
Melakukan
pengumpulan
data,
Melakukan
pengecekan kelengkapan substansi data, Melakukan pengolahan data dan analisa
data, Penyusunan laporan penelitian dan Penyajian hasil penelitian.
E. Teknik Pengolahan Dan Analisa Data
a.
Tekhnik pengolahan data meliputi: Editing, Coding, Processing,
Cleaning, Tabulating
2. Analisis Data
Meliputi Analisis Univariat dan Bivariat
173
F. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah AlIhsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung dari tanggal 15 sampai 30Juni 2013.
Hasil Penelitin dan Saran
1. Pengetahuan Perawat Tentang Resusitasi Jantung Paru
Dari 27 orang responden, terdapat 7 orang (25,9%) memiliki pengetahuan baik, 9
orang (33,3%) memiliki pengetahuan cukup dan 11 orang (40,7 %) memiliki
pengetahuan kurang.
Menurut
analisa
penulis tingginya proporsi kelompok perawat dengan
pengetahuan kurang baik tentang resusitasi jantung perawat disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya yaitu :kurangnya pendidikan dan pelatihan tentang
PPGD/BTCLS(41,4 %). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Notoatmodjo,
2003,
bahwa
pendidikan
dapat
menambah
wawasan
atau
pengetahuan seseorang yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan lebih luas
dibandingkan
tingkat
pendidikan
yang
lebih
rendah,
sedangkan
menurut
Prabu,2003 bahwa pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang
mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerial
yang mempelajari pengetahuan dan keterampilan tekhnis dalam tujuan terbatas.
2.
Sikap Perawat Terhadap Resusitasi Jantung Paru
Dari 27 orang responden,
terdapat
12
orang (44,4 %)
mendukung
terhadap tindakan resusitasi jantung paru dan 15 orang (55,6 %) tidak mendukung
terhadap tindakan resusitasi jantung paru.
Menurut analisa penulis tingginya
proporsi kelompok perawat dengan
sikap yang tidak mendukung terhadap kejadian resusitasi jantung perawat
disebabkan : kurangnya perawat memanfaatkan media massa untuk mendapatkan
informasi tentang resusitasi jantung paru.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, 2003,
media masa, seperti :TV, radio, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain
merupakan
suara komunikasi yang mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai
tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti
yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai
sesuatu hal memberikan landasan berfikir kognitif baru berbagai terbentuknya sikap
terhadap hal tersebut. Apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam
menilai sesuati hal sehingga terbentuknya arah sikap tertentu.
174
3. Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru
Dari 27 orang responden, terdapat dari 12 orang yang mempunyai sikap
mendukung,
resusitasi
sebesar 11 orang (91,7 %) melakukan dengan tepat
tindakan
jantung paru dan 1 orang (8,3%) tidak tepat melakukan tindakan
resusitasi jantung paru, sedangkan dari 15 orang (100 %) yang mempunyai sikap
tidak mendukung, sebesar 15 orang (100%) tidak tepat dalam melakukan tindakan
resusitasi jantung.
Menurut analisa penulis, penyebab seorang perawat tidak tepat dalam melakukan
tindakan resusitasi jantung paru disebabkan oleh :kurangnya
perawat yang
tersertifikasi pelatihan PPGD/BTCLSyaitu :10orang (41,4 %) belum tersertifikasi
pelatihan PPGD II/BTCLS.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan menurut Prabu,2003 : pelatihan
merupakan proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur
sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerialnya mempelajari pengetahuan
dan keterampilan tekhnis dalam tujuan terbatas.
4. Hubungan Pengetahuan Dengan Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru.
Dari 27 orang responden, terdapat dari 12 orang yang mempunyai sikap
mendukung, sebesar 11 orang (91,7%) melakukan dengan tepat tindakan resusitasi
jantung paru dan 1 orang (8,3%) tidak tepat melakukan tindakan resusitasi jantung
paru, sedangkan dari 15 orang(100 %) yang mempunyai sikap tidak mendukung,
sebesar 15 orang (100%) tidak tepat dalam melakukan tindakan resusitasi jantung
paru.
Hasil analisa hubungan pengetahuan dengan kejadian tindakan resusitasi
jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan
dengan uji statistik menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0,001< α (0,05)
maka disimpulkan bahwa Ho ditolak yang berarti ada hubungan pengetahuan
dengan tindakan resusitasi jantung paru.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis menganalisa : semakin baik
pengetahuan perawat tentang resusitasi jantung paru semakin tepat tindakan
resusitasi jantung paru yang dilakukan dan semakin kurang pengetahuan resusitasi
jantung paru, semakin tidak tepat seorang perawat dalam tindakan resesusitasi
jantung paru.
Kurangnya pengetahuan tentang resusitasi jantung mengakibatkan perawat
tidak tepat dalam melakukan tindakan resusitasi jantung paru, hal ini disebabkan
oleh kurangnya perawat memanfaatkan media massa untuk mendapatkan
informasi tentang resusitasi jantung paru.
175
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, 2003, media
masa, seperti :TV, radio, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain merupakan
suara komunikasi yang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media
massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan
opini seseorang.
5.
Hubungan Sikap Dengan Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru
Dari 27 orang responden, terdapat dari 12 orang yang mempunyai sikap
mendukung, sebesar 11 orang (91,7 %) melakukan dengan tepat tindakan resusitasi
jantung paru dan 1 orang (8,3%) tidak tepat melakukan tindakan resusitasi jantung
paru, sedangkan dari 15 orang (100 %) yang mempunyai sikap tidak mendukung,
sebesar 15 orang (100%) tidak tepat melakukan tindakan resusitasi jantung paru.
Hasil analisa hubungan sikap dengan tindakan resusitasi jantung paru di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan dengan uji statistik
menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0,000< α (0,05) maka disimpulkan
bahwa Ho ditolak yang berati ada hubungan sikap dengan tindakan resusitasi jantung
paru.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis menganalisa : semakin
mendukung sikap perawat akan resusitasi jantung paru semakin tepat tindakan
resusitasi jantung paru yang dilakukan dan semakin tidak mendukung sikap perawat
akan resusitasi jantung paru, semakin tidak tepat seorang perawat dalam melakukan
tindakan resesusitasi jantung paru.
Sikap perawat yang tidak mendukung akan resusitasi jantung paru
disebabkan oleh :
a.
Kurangnya perawat memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi
tentang resusitasi jantung paru.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, 2003, media
masa, seperti :TV, radio, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain merupakan
suara komunikasi yang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini
dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya,
media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang.
b.
Kurangnya perawat yang tersertifikasi pelatihan PPGD/BTCLS yaitu : 10 orang
(41,4 %) belum tersertifikasi pelatihan PPGD II/BTCLS.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan menurut Prabu, 2003 :
pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan
176
prosedur sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerialnya mempelajari
pengetahuan dan keterampilan tekhnis dalam tujuan terbatas.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Kurang dari setengahnya pengetahuan perawat tentang resusitasi jantung paru
kurang baik (40,7 %), lebih dari setengahnya sikap perawat terhadap resusitasi
jantung paru tidak mendukung (55,6%), lebih dari setengahnya dari jumlah perawat
tidak tepat (59,3%) dalam menghadapi kejadian tindakan resusitasi jantung paru di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat
Kabupaten Bandung Tahun 2013.
2. Ada hubungan pengetahuan dengan kejadian tindakan resusitasi jantung paru di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat
Kabupaten Bandung Tahun 2013, dengan hasil uji statistik chi-square menunjukan
nilai P = 0,001 < α (0,05).
3. Ada hubungan sikap dengan kejadian tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten
Bandung Tahun 2013, dengan hasil uji statistik chi-square menunjukan nilai P =
0,000 < α (0,05).
B. Saran
Pihak rumah sakit diharapkan dapat memfasilitasi para perawat untuk mengikuti
seminar/refreshing resusitasi jantung paru setiap tiga bulan, revisi Prosedur Tetap
Resusitasi Jantung Paru, mengadakan kerja sama berkelanjutan dengan STIKes
Budi Luhur untuk penyelenggaraan Pelatihan BLS AHA International dan AGD 118
untuk penyelenggaraan Pelatihan BTCLS.
177
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Bina Aksara.
______.2003 Manajemen Penelitian. Cetakan ke enam. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
______.2010. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Azhwar, Saiffudin. 2010. Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya, Edisi Ke 2.Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Hidayat, A Aziz Alimul. 2003. Riset Keperawatan &Tekhnik Penulisan Ilmiah. Jakarta :
Salemba Medika.
Hudak,CM dan Gallo, BM. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Alih Bahasa
Monika E. dkk. Edisi VI, Volume I . Jakarta : EGC.
Maryati, Ade. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Dengan Tindakan Perawat
Dalam Penanganan Penderita Gawat Darurat Di IGD RSUD Cibabat Cimahi. Skripsi :
STikes Budi Luhur Cimahi. (http://www.scribd.com/doc/107495793/hubungan-antarapengetahuan-dan
sikap-dengan-tindakan-perawat-dalam-penanganan-penderitagawat darurat-di-igd-rsud-cib diperoleh pada tanggal 20 Juli 2013).
Notoatmodjo,Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
______. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
______. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam, 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman
Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
PERKI. 2011. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS(Advanced
Cardiac Life Support) Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
Purwanto,H. 1998. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Riyanto, Agus. 2009. Pengolahan Dan Analisis Data-Data Kesehatan. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Sugiono. 1999. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Tjokronegoro, A dkk, 1998. Panduan Gawat Darurat, Jilid I Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Wawan & Dewi. 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Manusia
(dilengkapi contoh kuesioner).Yogyakarta : Nuha Medika.
178
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KLINIS
PADA KASUS GAWAT DARURAT OLEH MAHASISWA S1 KEPERAWATAN TINGKAT
AKHIR STIKES BUDI LUHUR CIMAHI
KNOWLEDGE LEVEL RELATIONSHIP WITH CLINICAL DECISION MAKING IN THE
CASE OF EMERGENCY BY THE END OF NURSING STUDENTS S1 STIKES BUDI
LUHUR CIMAHI
2)
1)
Purwo Suwignjo , Sada Ukur Barus dan Wilda Ariefiani Putri
1)
Program Studi Ilmu Keperawatan (D3) dan
Keperawatan (S1) STIKes Budi Luhur Cimahi
2)
3)
Program Studi Ilmu Keperawatan Studi Ilmu
ABSTRCT
Background: The increasing cases of emergency caused by traffic accidents are the leading
cause of death in urban areas. According to data Ditlantas City Police in 2011, there are
7,817 kinds of traffic accidents, the main cause of the rising death toll is the presence of 3
Too Late (3T) is too late to seek help, Too Late Too Late reach the destination and obtain
appropriate care after arriving at the destination. Clinical decision making is highly dependent
on the knowledge, experience and practice exercises.
The purpose of the study: To determine the relationship of knowledge to clinical decisionmaking in case of emergency by the end of the level Nursing Students S1 STIKes Budi Luhur
Cimahi.
Method: Survey method using cross sectional analytic study. This study used a sample of 40
final year nursing students S1. Were taken with a total sampling. Data obtained by interview
and questionnaire later in the statistical analysis.
RESULTS: A total of 11 (27.5%) were less knowledgeable, as many as 22 people (55%) and
quite knowledgeable of 7 people (17.5%) either knowledgeable. And there were 22 (55.0%)
of respondents with no proper clinical decision-making, while 18 (45.0%) with clinical
decision-making right. The results of this study found that knowledge has a relationship with
clinical decision making with p value = 0.005 at α = 0.05.
Conclusions and Recommendations: There is a relationship between knowledge of the
clinical decision-making. Institutions are expected to be able to update the methods of
cooperative learning, provide emergency simulation and training to students from the first
semester to provide emergency knowledge that students were able to take the appropriate
clinical decisions.
Keywords: Cross Sectional, nowledge, Clinical Decision Making, mergency.
179
PENDAHULUAN
Pengertian gawat adalah mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu tindakan
segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Sehingga prinsip utama pada
penanganan kasus gawat darurat ini adalah penanganan cepat dan tepat untuk mengurangi
kematian dan kecacatan lebih lanjut dan memaksimalkan peluang untuk hidup atau sembuh
(Jevon & Ewens, 2007). Kejadian gawat darurat sering sekali terjadi disekitar kita, baik itu
bentuknya kecelakaan rumah tangga, kecelakaan kerja, atau kecelakaan lalu lintas.
Sehingga WHO menyarankan, agar tenaga kesehatan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan berdasarkan pendekatan proses pengambilan keputusan klinis berdasarkan
evidence based (berdasarkan fakta atau bukti) dalam praktiknya.
Dijelaskan dalam sebuah artikel yang menyatakan bahwa Media Aesculapius (2007) kasus
gawat darurat yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian
utama di daerah perkotaan. Didukung oleh data menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) jumlah penduduk di dunia pada 2010 meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas
sebanyak 1,3 juta orang (Najwa , 2012, tersedia dalam http://www.scribd.com hlm 24,
diperoleh tanggal 08 januari 2012)
Berdasarkan banyaknya korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas tersebut sehingga WHO
(World Health Organization) mengemukakan faktor yang mendasari kematian (Underlying
cause) adalah penyakit atau cedera yang menimbulkan serangkaian kejadian yang berakhir
dengan kematian, atau kecelakaan atau kekerasan yang menimbulkan cedera yang
mematikan. (Najwa , 2012. Tinjauan Pemberian Kode External cause pada kasus gawat
darurat di RSUD Kota Bau-Bau http://www.scribd.com hlm 24, diperoleh tanggal 08 januari
2012).
Saat ini Rumah Sakit merupakan tempat pertama dalam penanganan korban gawat darurat.
Sedangkan jika diperhitungkan, waktu yang dibutuhkan dalam membawa korban dari lokasi
kejadian menuju Rumah Sakit
begitu terbatas sehingga timbul kegagalan dalam
penanganan kasus kedaruratan. Hal tersebut umumnya disebabkan oleh kegagalan
mengenal risiko kematian, keterlambatan rujukan, kurangnya sarana yang memadai untuk
penanganan pertolongan pertama atau penanganan Bantuan Hidup Dasar.
Pengambilan keputusan klinis dapat terjadi berdasarkan suatu proses yang sistemetis, logis
dan jelas. Proses pengambilan keputusan klinis dapat dijelaskan, diajarkan dan dipraktikkan
secara gamblang. Kemampuan ini tidak hanya tergantung pada pengumpulan informasi,
tetapi tergantung juga pada pengetahuan dasar, pengalaman, perilaku(percaya diri, rasa
ingin tahu, mau mengambil resiko dll), standar berfikir, intuisi, keterbatasan kemampuan dan
lain-lain (Potter & Perry, 2009).
180
Namun yang terjadi pada saat ini, kurangnya kesadaran dan pengetahuan akan penyebab
utama meningkatnya angka kematian korban ialah adanya 3 Terlambat (3T) yaitu terlambat
mencari pertolongan, terlambat mencapai tempat tujuan dan
terlambat memperoleh
penanganan yang tepat setelah tiba ditempat tujuan. Hal tersebut merupakan suatu point
penting dalam kasus gawat darurat yang berhubungan dengan adanya kecepatan dan
ketepatan dalam pengambilan keputusan klinis oleh para penolong saat berhadapan dengan
korban (Depkes RI,2000a, ¶ 1 www.eprints.undip.ac.id.pdf diperoleh pada tanggal 09 Januari
2012). Kemampuan pengambilan keputusan klinis sangat tergantung pada pengetahuan,
pengalaman dan latihan praktik. Ketiga faktor ini sangat berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan klinis yang dibuat sehingga menentukan tepat atau tidaknya tindakan yang di
berikan pada klien.
Seorang tenaga klinis apabila dihadapkan pada situasi dimana terdapat suatu keadaan
panik, membingungkan dan memerlukan keputusan cepat (biasanya dalam kasus
emergency) maka 2 hal yang dilakukan yaitu mempertimbangkan satu solusi berdasarkan
pengetahuan yang pernah diperoleh dan meninjau pengalaman yang berkesan dalam
menghadapi dan menangani kasus (Azhwar, 2009). Apabila tidak ada pengalaman yang
dimiliki dalam situasi ini dan simpanan pengetahuan yang belum memadai maka tenaga
klinis tersebut akan mengalami kebingungan dan tidak mampu memecahkan masalah yang
ada (Potter&Perry, 2009).
Pada studi pendahuluan melalui wawancara secara acak pada 20 orang mahasiswa S1
Keperawatan tingkat akhir tentang pengetahuan penanganan kasus gawat darurat dan cara
pengambilan keputusan klinis ketika dihadapkan dengan kejadian gawat darurat disekitar, 6
orang dari mereka mengetahui bagaimana cara penanganan kasus gawat darurat mulai dari
evakuasi sampai penanganan pertolongan pertamanya, karena 3 dari responden tersebut
merupakan anggota organisasi tim kesehatan di kampus yang sering mendapat pelatihan
kegawatdaruratan dan 3 responden lainnya mengaku pernah memiliki pengalaman pada
orang terdekat mereka yang mengalami kecelakaan, sehingga mereka menanganinya
sampai menyerahkan korban ke Rumah Sakit. Sedangkan 14 responden lainnya mengaku
bingung dan tidak mampu memecahkan masalah tersebut, sehingga mereka hanya
melakukan yang bisa mereka lakukan saja seperti berteriak meminta tolong, bahkan ada
juga beberapa dari mereka yang tidak melakukan intervensi apapun.
Hal tersebut merupakan suatu fenomena yang harus dicari solusinya. Mahasiswa kesehatan
merupakan aset bangsa yang akan menjadi ujung tombak dalam kemajuan-kemajuan
dibidang kesehatan. Oleh karena itu pengetahuan dasar dan pengalaman klinis akan sangat
memicu timbulnya pemikiran yan inovatif dalam pengambilan keputusan klinis (Potter &
Perry, 2009). Melihat fenomena tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih
lanjut dan di tuangkan dalam judul “Hubungan Pengetahuan Dengan Pengambilan
181
Keputusan Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat
Akhir Stikes Budi Luhur Cimahi”. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah
penelitian ini adalah : Adakah Hubungan Pengetahuan Dengan Pengambilan Keputusan
Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengidentifikasi
Hubungan
Pengetahuan
Dengan
Pengambilan Keputusan Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1
Keperawatan Tingkat Akhir Stikes Budi Luhur Cimahi.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei analitik pendekatan Cross
Sectional. Metode penilitian survei analitik adalah survei atau penelitian yang mencoba
menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo, 2010).
Variabel penelitian meliputi: variabel independen adalah Pengetahuan, sedangkan variabel
dependen adalah Pengambilan Keputusan Klinis. Alat ukur yang digunakan adalah
kuesioner. Hasil ukur pengetahuan meliputi :Kurang,jika <56%, Cukup, jika 56-76%, dan
Baik, jika > 76% (Nursalam,2008). Sedangkan variabel dependen Pengambilan Keputusan
Klinis adalah hasil ukur tidak tepat dan tepat. Masing –masing variabel menggunakan skala
ordinal.
Populasi penelitian ini adalah Mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir Stikes Budi Luhur
Cimahi yang telah mendapat mata kuliah Gawat Darurat dengan jumlah populasinya
sebanyak 40 orang dengan total sampling seluruh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir
sebanyak 40 responden.
Teknik Pengumpulan Data adalah data primer, yaitu data yang diambil langsung atau
dikumpulkan dari mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan angket yang berisi 31 soal
pengetahuan dan 2 soal berupa kasus fiktif tentang gawat darurat untuk mengetahui
ketepatan pengambilan keputusan klinis mahasiswa dalam menangani kasus gawat darurat.
Dalam penelitian ini responden dikumpulkan dalam dua kelas yang berbeda dimana terdapat
20 responden dari setiap kelasnya.
Uji validitas dalam penelitian ini akan dilaksanakan pada S1 Keperawatan tingkat akhir
di STIKes Ahmad Yani, karena karakterisktik STIKes Ahmad Yani sama dengan karakteristik
STIKes Budi Luhur. Uji validitas dilakukan ke 20 orang responden dengan nilai r Product
Moment 0,444. Lalu dilanjutkan dengan uji
Reliabilita dengan nilai
α= 0,949 > nilai
konstanta (0,6). Prosedur penelitian yaitu meliputi tahapan persiapan dan tahapan
pelaksanaan.
182
Tekhnik pengolahan data yaitu: Editing, Coding, Processing, dan Cleaning. Analisa data diuji
dengan analisis univariat dan bivariat dengan metode chi square test (
), digunakan untuk
mengadakan pendekatan (mengestimate) atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau
frekuensi hasil observasi (f0) dengan frekuensi yang diharapkan (f e) dari sampel apakah
terdapat hubungan yang signifikan atau tidak antara pengetahuan dengan pengambilan
keputusan klinis pada kasus Gawat Darurat (Riyanto, 2009).
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di STIKes Budi Luhur Cimahi, waktu penelitian
bulan Januari - Juni 2012.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Analisis univariat
a. Gambaran Distribusi Tingkat Pengetahuan
Tabel 4.1 Distribusi Tingkat Pengetahuan Mahasiswa S1
Keperawatan Tingkat Akhir pada Kasus Gawat Darurat
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
(f)
%
Kurang
11
27,5
Cukup
22
55,0
Baik
7
17,5
Jumlah
40
100
Berdasarkan Tabel 4.1 didapatkan bahwa dari 40 responden terdapat
11 (27,5%) yang berpengetahuan kurang, sebanyak 22 orang (55,0%)
berpengetahuan cukup dan sebanyak 7 orang (17,5%) berpengetahuan baik.
b. Gambaran Distribusi Pengambilan Keputusan Klinis
Table 4.2 Distribusi Pengambilan Keputusan Klinis Oleh Mahasiswa
S1 Keperawatan Tingkat Akhir pada Kasus Gawat Darurat
Frekuensi Persentase
Pengambilan keputusan
klinis
(f)
%
183
Tidak tepat
22
55
Tepat
18
45
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa dari 40 responden terdapat 22
(55,0 %) responden dengan pengambilan keputusan klinis tidak tepat
sedangkan 18 (45,0%) dengan pengambilan keputusan klinis tepat.
2. Analisis Bivariat
Tabel 4.3 Hubungan Pengetahuan Dengan Pengambilan Keputusan
Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1
Keperawatan Tingkat Akhir STIKes Budi Luhur Cimahi.
Pengetahuan Pengambilan Keputusan Klinis
tentang
Total
P
Tidak tepat
Tepat
Gawat
value
Darurat
Kurang
n
%
n
%
n
%
10
90,
9
1
9,1
11
10
0
Cukup
11
50
11
50
22
10
0
Baik
1
14,
3
6
85,
7
7
10
0
Total
22
55
18
45
40
10
0
0,005
Berdasarkan analisa Hubungan pengetahuan dengan pengambilan
keputusan klinis oleh mahasiswa S1 Keperawatan STIKes Budi Luhur dalam
menangani kasus gawat darurat didapatkan bahwa dari 11 responden yang
berpengatahuan kurang terdapat 10 (90,9%) dengan pengambilan keputusan
klinis tidak tepat dan 1(9,1%) dengan pengambilan keputusan tepat. Dari 22
responden
yang
berpengetahuan
cukup
terdapat
11
(50%)
dengan
pengambilan keputusan klinis kurang tepat dan 11(50%) dengan pengambilan
keputusan klinis tepat. Dari 7 responden dengan pengetahuan baik terdapat
184
1(14,3%) dengan pengambilan keputusan kurang tepat dan 6(85,7%) dengan
pengambilan keputusan klinis tepat.
Dari hasil uji chi-square diperoleh p value = 0,005 dengan
menggunakan alpha 5 %(0,05) dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yang
artinya terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pengambilan
keputusan klinis pada kasus Gawat Darurat oleh Mahasiswa tingkat akhir
STIKes Budi Luhur Cimahi.
B. Pembahasan
1. Pengetahuan
Dari 40 responden terdapat 11 (27,5%) yang berpengetahuan kurang,
sedangkan yang berpengetahuan cukup sebanyak 22 orang (55%) dan yang
berpengetahuan baik sebanyak 7 orang (17,5%).
Pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah
orang
mengadakan
penginderaan
terhadap
suatu
objek
tertentu.
Penginderaan terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yakni
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan kesehatan juga akan berpengaruh kepada perilaku sebagian
hasil jangka menengah dari pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan mahasiswa STIKes Budi Luhur bervariasi ada yang
berpengetahuan kurang, cukup dan baik. Setengah dari Mahasiswa S1
Keperawatan tingkat akhir berpengetahuan cukup . Setelah wawancara
dengan beberapa mahasiswa S1 Keperawatan mengenai pembelajaran
Keperawatan Gawat Darurat sebagian besar
mengatakan bahwa Gawat
Darurat merupakan mata kuliah yang dianggap penuh dengan tantangan
karena memerlukan kecepatan dan ketepatan. Gawat darurat merupakan
mata kuliah yang cukup sulit dipahami jika tidak diiringii dengan fasilitas
praktek,
strategi
cara
pemecahan
masalah
dan
pengalaman
dalam
menangani kasus gawat darurat secara langsung.
Menurut Notoatmodjo (2003) banyak hal yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan diantaranya yaitu : pengalaman, lingkungan, dan pengaruh
media massa.
185
Pengalaman mahasiswa dalam penanganan kasus gawat darurat
sangat berpengaruh dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
profesional yang dapat mengembangkan kemampuan dalam pengambilan
keputusan klinis ketika berhadapan dengan kasus.
Media massa seperti buku,majalah kesehatan, artikel, jurnal, internet
dan lain-lain yang memadai dapat membentuk pengetahuan dan wawasan
seseorang. Namun sebagian besar mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir
belum memanfaatkan fasilitas internet, jurnal, artikel dan lain-lain secara
optimal sehingga informasi mengenai trend dan issu kegawatdaruratan kurang
tersosialisasi kepada mahasiswa.
2. Pengambilan keputusan klinis
Dari 40 responden terdapat 18 (45,0%) dengan pengambilan
keputusan klinis tepat dan 22 (55,0 %) responden dengan pengambilan
keputusan klinis tidak tepat. Lebih dari setengah responden pengambilan
keputusan klinis dalam penanganan kasus gawat darurat adalah tidak tepat,
menurut
hasil
wawancara
dengan
beberapa
responden
bahwasanya
responden merasa kurang terasah karena minimnya pelatihan, simulasi,
praktek dan pengalaman dalam menangani kasus gawat darurat secara
langsung sehingga hal tersebut membuat responden menjadi panik dan
bingung tindakan apa yang harus diberikan ketika berhadapan dengan kasus.
Pengambilan keputusan sangat bersifat individual tergantung pada nilai
dan aktifitas individu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pegetahuan dasar
spesifik, Pengalaman, perilaku, standar untuk berfikir, agama dan adat
istiadat, serta sosial (Potter& Perry,2009 ; Suhaemi,2004).
Pengambilan keputusan klinis adalah kegiatan pemecahan masalah
yang berfokus pada penentuan masalah klien dan memilih penatalaksanaan
yang tepat (Potter & Perry 2009). Sehingga keterampilan dalam pengambilan
keputusan klinis perlu dilatih agar mahasiswa terbiasa menangani kasus
gawat darurat dengan cepat dan tepat.
3. Hubungan pengetahuan dengan pengambilan keputusan klinis
Berdasarkan
analisis
hubungan
pengetahuan
dan
pengambilan
keputusan klinis didapatkan bahwa dari 11 responden berpengetahuan
kurang, dengan sebagian besar pengambilan keputusan klinis tidak tepat. Dari
186
22
Responden
yang
berpengetahuan
cukup
dengan
setengahnya
pengambilan keputusan tepat. Dari 7 responden berpengetahuan baik dengan
sebagian besar pengambilan keputusan tepat.
Dari hasil uji chi-square diperoleh p value = 0,005 dengan
menggunakan alpha 5%(0,05) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan dengan pengambilan keputusan klinis pada kasus Gawat
Darurat. Hal ini berarti jika pengetahuan baik maka pengambilan keputusan
mereka juga akan semakin baik. Hal ini sesuai dengan teori Lawrence Green
yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dan perilaku
seseorang (Notoatmodjo,2003).
Dari hasil penelitian terlihat bahwa mahasiswa berpengetahuan kurang
diperoleh hasil lebih dari setengahnya adalah pengambilan keputusan tidak
tepat. Tingkat keeratan hubungan antara pengetahuan yang kurang
menunjukan bahwa pengambilan keputusan menjadi tidak tepat. Agar
pengambilan keputusan menjadi tepat perlu dilakukan upaya peningkatan
pengetahuan dan pelatihan dalam memecahkan kasus dan menanganinya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (dalam Notoatmodjo,2003)
yang menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting bagi terbentuknya perilaku dan perilaku yang didasari
pengetahuan akan bertahan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari pengetahuan.
187
SIMPULAN
A. Simpulan
1. Lebih dari setengah Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir STIKes Budi Luhur
Cimahi berpengetahuan cukup dalam menangani kasus Gawat Darurat.
2. Lebih dari setengah mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir STIKes Budi Luhur
Cimahi dengan pengambilan keputusan tidak tepat ketika menangani kasus Gawat
Darurat.
3. Ada hubungan antara Pengetahuan Dengan Pengambilan Keputusan Klinis Pada
Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir Stikes Budi
Luhur Cimahi.
B.
Saran
Sebagai bahan masukan dalam peningkatan pengetahuan mahasiswa dengan cara
mempergunakan metode pembelajaran evidence based (berdasarkan bukti) dan
cooperatif learning. Sebagai bahan acuan memaksimalkan fasilitas yang tersedia
seperti internet, hotspot, buku, jurnal dan text book di perpustakaan, dan Sebagai
acuan untuk melakukan penelitian berikutnya serta diharapkan agar peneliti
selanjutnya dapat meneliti faktor lainnya.
188
DAFTAR PUSTAKA
Azhwar, Saiffudin.2010. Sikap manusia teori dan pengukurannya edisi ke 2. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Jevon, Philip dan Ewens Beverly. 2008. Pemantauan Pasien Kritis Edisi Kedua. Jakarta :
Erlangga Medical series.
Najwa, 2012. Tinjauan Pemberian Kode Eksternal cause pada kasus Gawat darurat di
RSUD Kota Bau-bau. http://www.scribd.com/doc/60696689/6ISI.
Notoatmodjo,Soekidjo.2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta.
Nursalam, 2008.Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan pedoman
skripsi, tesis dan Instrumen penelitian keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Potter & Perry. 2009. Fundamental of Nursing Fundamental keperawatan buku1 edisi 7
.Jakarta : Salemba Medika
Riyanto, Agus. 2009. Pengolahan dan analisis data-data kesehatan. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Suhaemi, Mimin Emi. 2004. Etika Keperawatan Aplikasi pada Praktik.Jakarta : EGC.
189
SOCIAL RELATIONSHIPS ECONOMY OF A FAMILY WITH THE PROVISION OF MP-ASI
EARLY IN INFANTS 6-0 MONTHS IN THE VILLAGE OF CILANGARI THE WORK AREA
OF DTP GUNUNGHALU SUB-DISTRICT GUNUNGHALU BANDUNG REGENCY WEST
2013
Eva Bherty T, Nandang Mulyana, dan Santi Yayuliani
STIKes Budi Luhur Cimahi
ABSTRACT
Background: complementary Foods BREAST MILK is a food or beverage containing
nutrition, given to infants or children aged 6-24 months to meet the needs of its nutrition
value, award of MP-ASI early still plentiful in rural areas as well as urban areas. The practice
of awarding MP-ASI is one of the indicators of nutrition parenting. Many of the losses or the
risk posed by Complementary feeding BREAST MILK (MP-ASI) too early, among others:
disorders of lactation, kidney burden too heavy resulting in hiperosmolaritas plasma, allergic
to food and digestive disorders or diarrhea. Connection with the provision of MP-ASI in urban
areas are education, income, as well as mothers working outside the home. Women in urban
areas are mostly working in both the formal or informal sector. In these conditions, for
mothers who are breastfeeding difficult to still be able to breastfeed her child, especially if
living far apart with a place to work.Research objectives: a social economic family
relationship with the MP-ASI giving Premature Infants 0-6 months in Cilangari village of
Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung Regency by 2013.
Research methods: this research is a study of the analytic of cross sectional study research
design. The population in this research is the mother who has a baby age & lt; 6 months as
many as 68 people working DPT Gununghalu relic, and samples taken 65 people who meet
certain criteria of a sample technique used is the Total Sampling techniques. Data obtained
with the dissemination of a questionnaire and analyzed statistically.Research results: there is
a significant relationship between maternal education grant MP-ASI early in Cilangari village
of Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung Regency. There is
a significant relationship between the work of the mother giving the MP-ASI early in Cilangari
village of Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung Regency.
There is a significant relationship between family income provision of MP-ASI early in
Cilangari village of Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung
Regency.Summary: there is a significant relationship between social economic families with
the provision of MP-ASI early in infants 0-6 months working in the area of COLLAPSIBLE
Gununghalu.
Suggestion: advised to health workers to do to improve knowledge, counseling
craftsmanship and motivation mother about a feeding practices escort breast-fed precisely
and correctly.
Keywords : Cross sectional, social economy and MP-ASI
190
PENDAHULUAN
Kualitas kesehatan penduduk suatu bangsa dapat dilihat dari angka kematian bayi (AKB),
angka kematian anak dan balita (AKABA), dan angka kematian ibu melahirkan (AKI).
Gambaran umum derajat kesehatan bayi di dunia hingga saat ini adalah kurang dari 15%
bayi diberikan Air Susu Ibu (ASI) selama 4 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian
makanan pendamping (Suradi, 2004). Bahkan hasil kajian United Nations Children’s Fund
(UNICEF), yaitu salah satu Badan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
bergerak di bidang kesejahteraan anak-anak, menyatakan hampir 90% kematian bayi dan
balita terjadi di negara berkembang akibat diare dan ISPA hasil Survey demografi kesehatan
WHO ditemukan data pemberian ASI Eklusif yang masih rendah dikarenakan bayi di berikan
makanan pendamping ASI terlalu dini (Bahar, 2006). Padahal keadaan tersebut dapat
dicegah oleh pemberian ASI atau air susu ibu (Simanjuntak, 2001).
Program perbaikan gizi tahun 2010-2014 merupakan kelanjutan dari RPJM 2005-2009
dan sekaligus sebagai milestone pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs)
tahun 2015 dengan sasaran kebijakan adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi
setinggi-tingginya 18% dan prevalensi gizi lebih menjadi setinggi-tingginya 10%. Upaya
perbaikan gizi perlu memberikan perhatian lebih kepada kelompok ibu hamil, bayi dan anak
sampai usia 24 bulan terutama keluarga miskin (Budihardja, 2008).
Praktek pemberian MP-ASI dini masih banyak dijumpai di daerah pedesaan maupun
perkotaan. Praktek pemberian MP-ASI merupakan salah satu indikator pola asuh gizi, yaitu
praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan
kesehatan
serta
sumber
lainnya
untuk
kelangsungan
hidup,
pertumbuhan
dan
perkembangan anak.
Penelitian WHO tahun 2001 tentang pemberian ASI eksklusif (< 4 bulan) dari tahun
1995-2001 di beberapa negara menunjukkan bahwa negara-negara kurang berkembang
sebesar 37%, negara berkembang sebesar 48%, dan angka dunia sebesar 45%. Hal ini
menggambarkan masih rendahnya praktek pemberian ASI eksklusif dan masih tingginya
angka praktek pemberian MP-ASI dini di negara-negara tersebut. Sedangkan penelitian di
Amerika Serikat, survey yang dilakukan oleh Russ Laboratories Mother dan NHANES-III
tentang ibu yang memberikan ASI dan yang memberikan ASI eksklusif pada bayi sampai
umur 6 bulan tahun 1971-2001 menggambarkan bahwa pada tahun 2001 ibu-ibu yang
melahirkan di rumah sakit dan memberikan ASI pada bayinya sebesar 69,5% dan diamati
secara longitudinal, ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan sebesar
191
32,5%. Dari angka tersebut berarti 67,5% dari ibu-ibu yang memberikan ASI sudah
melakukan praktek pemberian MP-ASI dini (Frances, et al 2006).
Mengingat pentingnya peran ASI eklusif dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia
(SDM) Indonesia, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan (Depkes)
menetapkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2004 yang menyatakan bahwa
ASI Eksklusif diberikan sampai usia bayi 6 bulan. Hal ini penting untuk menurunkan AKB di
seluruh propinsi di Indonesia. Sedangkan Dinkes KBB diketahui AKB 30/1000 KH pada
tahun 2010.
Hal ini dipengaruhi oleh indek kesehatan masyarakat Kabupaten Bandung
Barat masih 69,27 yaitu di bawah rata-rata indek kesehatan propinsi yang sebesar 71,03.
Dampak yang ditimbulkan yaitu tingginya jumlah bayi dengan gizi buruk yang mencapai
1.160 orang. Selain itu masih bervariasinya sistem pelayanan yang diberikan di Kabupaten
Bandung Barat, khususnya di Rongga, Gununghalu, Sindangkerta dan Cililin.
(Harian
Seputar Indonesia, 2012).
Kecamatan Gununghalu terdapat 9 desa, dengan jumlah bayi <6 bulan sebanyak
(n=230). Desa Cilangari adalah desa yang memiliki jumlah bayi terbanyak (n = 65) dengan
prosentase pemberian ASI dini tertinggi yaitu 34,34%. Tingginya pemberian ASI secara dini
telah dibuktikan melakukan study pendahuluan dimana penelitian melakukan wawancara
terhadap 20 Ibu yang memiliki usia bayi dibawah 6 bulan sebanyak 16 ibu sudah
memberikan makanan pendamping ASI sebelum usia bayi menginjak 6 bulan, sebanyak 3
ibu masih memberikan ASI Eklusif, dan 1 Ibu tidak memberikan ASI pada bayinya. (Pusk
DTP Gununghalu, 2013).
Desa Cilangari merupakan desa terpencil di Wilayah Kecamatan Gunnghalu dan
mayoritas penduduk bertani dan tingkat pendidikan SD – SMP, dengan rata-rata pekerjaan
sebagai petani dan buruh. Dari 20 ibu di Desa Cilangari terdapat 10 ibu yang berpendidikan
SMP, 3 berpendidikan SD dan 7 berpendidikan SMA. 13 orang bekerja sebagai buruh pabrik
dan 7 orang sebagai ibu rumah tangga. 11 diantaranya menyatakan bahwa pendapatan
keluarga mereka < UMR dan 9 diantaranya > UMR. Berdasarkan data tersebut, maka
peneliti memandang perlu melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
social ekonomi keluarga dengan pemberian makanan pendamping ASI dini pada bayi umur
< 6 bulan. Tujuan penelitian inin unutuk mengetahui hubungan social ekonomi keluarga
dengan pemberian MP-ASI Dini pada Bayi 0-6 Bulan di Desa Cilangari Wilayah Kerja DTP
Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013.
192
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan Metode survei Analitik dengan Rancangan penelitian yaitu
studi cross sectional. Variabel penelitian meliputi: Variabel Dependen adalah pemberian
MP-ASI dini pada bayi <6 bulan di Desa Cilangari Wilayah Kerja DTP Gununghalu
Kecamatan Gununghalu
Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013 dan Variabel
Independen adalah pemberian MP-ASI dini dalam penelitian ini adalah pendidikan ibu,
pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga.
Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi usia < 6
bulan sebanyak 65 orang di Wilayah Pusk DTP Gununghalu Desa Cilangari
Kecamatan Gununghalu Kabuaten Bandung Barat.
2. Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Total Sampling yakni
pengambilan sampel dari
semua besarnya populasi, jumlah sampel yang
memiliki kriteria sebanyak 65 responden yang memenuhi kriteria.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder meliputi:
a. Data
primer
yaitu
data
yang
diperoleh
langsung
dari
responden,
dengan melakukan wawancara/kuesioner pada variabel pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga.
b. Data
sekunder
:
jumlah
bayi
yang
mendapat
MP-ASI
dini
yang
tercatat dalam catatan puskesmas.
Instumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah berupa daftar
pertanyaan (kuesioner) yaitu data umum dan data khusus yang dirancang oleh
penulis sendiri yang sebelumnya telah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum
penelitian dimulai. Lembar kuesioner, yaitu alat pengumpul data berupa daftar
193
pertanyaan yang sebelumnya telah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum penelitian
dimulai. Pengisian lembar kuesioner dengan cara wawancara pada ibu bayi.
Uji validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
a. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur sejauh mana ketepatan suatu alat ukur
dalam mengukur suatu data. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengukur hubungan social ekonomi yaitu pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan
pendapatan keluarga dengan MP-ASI dini pada bayi 0-6 bulan Pada penelitia ini
akan di laksanakan di wilayah kerja Puskesmas Rongga sebanyak 20 responden.
b. Uji Reliabilitas
Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan one shot atau di ukur sekali saja. Disini
pengukurannya hanya sekali dan kemudian hasil dibandingkan dengan hasil
pertanyaan lain (Riyanto, 2009).
Prosedur Penelitian
Menyusun proposal, Seminar proposal, Pengumpulan Data, Pengolahan Data dan
Penyajian atau presentasi hasil penelitian
Analisa Data
Analisa dapat dilakukan dengan menggunakan program aplikasi statistik dengan
tahapan analisis Univariat dan Bivariat.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilakukan pada Tgl 1-25 Agustus 2013 yang dilakukan diwilayah
kerja Puskesmas DTP Gununghalu Kec Gununghalu Ds Cilangari Kabupaten Bandung
Barat.
194
HASIL PENELITIAN
1. MP-ASI dini
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil analisa univariat diketahui
bahwa 41 (63,1%) atau sebagian besar yang memberikan MP-ASI dini dan 24 (36,9%)
yang tidak memberikan MP-ASI dini. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar Ibu di
Desa Cilangari telah memberikan MP-ASI dini kepada bayinya. Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan
kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI
(Depkes, 2006). Menurut WHO (2004) bahaya pemberian MP-ASI dini adalah produksi
ASI akan berkurang sehingga nutrisi tidak terpenuhi, infeksi akan meningkat, mudah
terkena diare.
Bayi yang sudah diberi makanan setengah padat pada usia kurang dari 6 bulan
akan menyusui lebih sedikit. Hal ini disebabkan ukuran perut bayi masih kecil sehingga
mudah penuh, sedangkan kebutuhan gizi bayi belum terpenuhi. Akibatnya, proses
pertumbuhan bayi akan terganggu. Sebaliknya, apabila bayi yang berumur lebih dari
enam bulan belum mengenal makanan lain selain ASI, pertumbuhan dan
perkembangannya akan mengalami gangguan. Kemungkinan besar, bayi akan lebih
sering menangis karena merasa lapar (Krisnatuti, 2007). Faktor-faktor yang
mempengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah perubahan sosial budaya, faktor
psikologis, faktor biologis, faktor kurangnya petugas kesehatan, peningkatan promosi
susu kaleng dan penerangan yang salah. (Soetjiningsih, 2004).
Kebanyakan ibu di Desa Cilangari tidak memberikan ASI eksklusif (MP-ASI dini)
karena sebagian besar ibu bekerja sebagai buruh pabrik yang berdampak pada pola
asuh anak sehingga waktu untuk memberikan ASI secara eksklusif terbatas. Selama
ditinggal bekerja bayi mereka dititipkan kepada orang tua atau nenek bayi. Karena
orang tua mereka beranggapan bahwa anak mereka dulu yang diberi makanan pada
umur 2 bulan sampai sekarang dapat hidup sehat dan anggapan buah seperti pisang
baik untuk kesehatan bayi sehingga pada usia 2 bulan sudah diberikan.
Pengetahuan ibu yang kurang tentang ASI menyebabkan ibu tidak memberikan
ASI eksklusif, padahal kondisi bekerja tidak mengahalangi ibu untuk tetap memberikan
ASI
nya,
karena
ketidaktahuan
cara
pengambilan
(pemompaan)
dan
cara
penyimpanan menyebabkan ASI tidak diberikan.
Notoatmodjo, 2003 faktor-faktor yang memepengaruhi pengetahuan adalah
pengalaman, pendidikan, kepercayaan, umur, pekerjaan dan sumber informasi. Dari
195
hasil penelitian sebagian besar ibu berpendidikan rendah dan keadaan pendapatan
keluarga tinggi.
2. Pendidikan Ibu
Hasil analisa univariat menunjukkan bahwa sebagian besar berpendidikan rendah
(< SMA) yaitu 45 (69,2%). Hasil analisa hubungan anatara pendidikan dengan
pemberian MP-ASI dini diketahui bahwa bahwa dari 45 ibu yang berpendidikan rendah
terdapat 34 (75,6%) yang memberikan MP-ASI dini dan 11 (24,4%) yang tidak MP-ASI
dini. Dari 20 ibu yang berpendidikan tinggi diketahui bahwa 7 (35%) yang memberikan
MP-ASI dini dan 13 (65%) yang tidak MP-ASI dini.
Dari hasil uji chi square diperoleh p value = 0.004 (< alpha 5 %) sehingga Ho
ditolak yang artinya terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemberian MP-ASI
dini dengan nilai peluang PR =5,740 (95%CI : 1,830-18,003) artinya ibu yang termasuk
dalam kategori berpendidikan rendah (< SMA) berpeluang 5,7 kali lebih besar untuk
memberikan MP-ASI dini dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah di Kota
Semarang tahun 2009 yaitu ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian
makanan pendamping ASI dini.
Pendidikan
seseorang
dikategorikan
kurang/rendah
bilamana
ia
hanya
memperoleh ijazah hingga SMP atau pendidikan setara lainnya kebawah, dimana
pendidikan ini hanya mencukupi pendidikan dasar 9 tahun. Sementara pendidikan
dikategorikan tinggi jika SMA ke atas (Depdiknas, 2007).
Pendidikan dapat mempengaruhi daya intelektual seseorang dalam memutuskan
suatu hal, termasuk penentuan pemberian ASI eksklusif (tidak MP-ASI dini). Pendidikan
ibu yang kurang menyebabkan daya intelektualnya juga masih terbatas sehingga
perilakunya sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya ataupun perilaku kerabat
lainnya atau orang yang mereka tuakan. Sedangkan seseorang dengan tingkat
pendidikan lebih tinggi memiliki pandangan lebih luas tentang suatu hal dan lebih mudah
untuk menerima ide atau cara kehidupan baru.
Wanita yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatan diri dan keluarganya. Sehingga mereka lebih mampu mengambil keputusan
dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya dan keluarganya. Misalnya dalam
memberikan ASI eksklusif. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah
seseorang tersebut menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang
196
dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Jadi dapat dikatakan bahwa
pendidikan itu menuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Pendidikan memiliki pengaruh terhadap pemberian MP-ASI dini, Menurut WHO
(2001) mengemukakan bahwa pendidikan menjadi dasar yang penting bagi seseorang
karena dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan untuk lebih
beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Tingkat pendidikan ibu
yang lebih tinggi dapat meningkatkan kemampuan ibu untuk menerima cara-cara
pemberian MP-ASI yang baik dan menghindari nasehat keluarga atau teman yang
kurang baik (Irawati, 2006).
Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan maka terdapat
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, makin mengerti waktu yang tepat memberikan makanan tambahan
bagi bayi serta mengerti dampak yang ditimbulkan jika makanan tambahan tersebut
diberikan terlalu dini. Terbatasnya tingkat pendidikan dan kurangnya keterampilan
berpengaruh terhadap kurangnya kesadaran dan manfaat pemeliharaan kesehatan,
khususnya kesehatan keluarga dan masyarakat. Tingkat pendidikan yang semakin
baik akan menjamin kesehatan keluarga yang baik pula. Ibu yang berpendidikan akan
memahami informasi dengan baik penjelasan yang diberikan oleh petugas kesehatan,
apalagi yang berhubungan dengan cara pencegahan penyakit dan penanggulangan
dini penyakit pada anak. Selain itu, ibu yang berpendidikan tidak akan terpengaruh
dengan informasi yang tidak jelas.
3. Pekerjaan Ibu
Hasil analisa univariat menunjukkan bahwa setengah nya dari responden
bekerja yaitu 33 (50,8%). Berdasarkan analisa hubungan antara pekerjaan dengan
pemberian MP-ASI dini diketahui bahwa dari 33 ibu yang bekerja terdapat 28 (84,8%)
yang memberikan MP-ASI dini dan 5 (15,2%) yang tidak memberikan MP-ASI dini. Dari
32 ibu yang tidak bekerja terdapat 13 (40,6%) yang memberikan MP-ASI dini dan 19
(59,4%) yang tidak memberikan MP-ASI dini. Dari hasil uji chi square diperoleh p value
0,001 (< alpha 5 %) sehingga Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan antara
pekerjaan dengan pemberian MP-ASI dini.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Almini (2010) di Desa
Tubokarto Wonogiri yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
status pekerjaan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI dini.
197
Pekerjaan memiliki pengaruh terhadap pemberian MP-ASI dini, ibu yang bekerja
tidak dapat memberikan waktu untuk memberikan ASI bagi bayinya sehingga memberi
pengaruh kumulatif yaitu semakin banyak ibu yang tidak menyusui bayinya dan banyak
ibu yang memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dini sebagai alternatif (Roesli,
2007).
Ibu yang bekerja akan berpengaruh terhadap pola asuh anak, ibu menjadi kurang
perhatian dan kurang dekat dengan anak karena sebagian besar waktu siang digunakan
untuk bekerja di luar rumah. Selain itu, pemberian ASI untuk bayi pun semakin
berkurang.
Pada umumnya kendala yang dialami oleh para ibu yang bekerja dan masih
mempunyai bayi adalah kesulitan untuk memberikan ASI-nya secara Eksklusif karena
biasanya pada ibu yang bekerja, ibu hanya diberikan cuti selama tiga bulan. Waktu
tersebut dirasakan kurang cukup bagi ibu karena ibu harus kembali bekerja dan tidak
bisa memberikan ASI-nya secara penuh sampai bayi berumur 6 bulan. Kendala lainnya
juga yaitu kurangnya fasilitas yang disediakan di tempat ibu bekerja untuk para ibu
menyusui seperti tempat atau ruang untuk menyusui bayinya, ruang untuk memerah ASI,
ketiadaan waktu ibu untuk mengatur jadwal antara pemberian ASI untuk bayinya dengan
jadwal ibu bekerja, keterampilan ibu yang kurang dalam memerah ASI-nya, di tempat ibu
bekerja tidak disediakan kulkas atau tempat untuk menyimpan ASI, kesulitan mengatur
jarak tempuh antar rumah dengan tempat ibu bekerja dan ibu merasa ASI-nya tidak bisa
mencukupi kebutuhan bayinya bahkan sampai ASI-nya tidak keluar karena ibu harus
bekerja sehingga ibu tidak memperdulikan pola makan yang benar dan sehat untuk bisa
diberikan pada bayinya melalui ASI.
4. Pendapatan Keluarga
Hasil analisa univariat menunjukkan setengahnya dari responden menyatakan
pendapatan keluarganya tinggi (>UMR) yaitu sebanyak 33 (50,8%). Berdasarkan analisa
hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemberian MP-ASI dini diketahui bahwa
dari 33 ibu yang menyatakan pendapatan keluarga tinggi ( >UMR) terdapat 26 (78,8%)
sebagian besar yang memberikan MP-ASI dini dan 7 (21,2%) yang tidak memberikan
MP-ASI dini. Dari 32 ibu yang menyatakan pendapatan keluarga rendah terdapat 15
(46,9%) yang memberikan MP-ASI dini dan 17 (53,1%) yang tidak memberikan MP-ASI
dini. Dari hasil uji chi square diperoleh p value=0,016 (< alpha 5 %) sehingga Ho ditolak
yang artinya terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemberian MP-ASI
dini.
198
Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustini, (2008)
menyatakan
bahwa
tidak
terdapat
hubungan
yang
bermakna
antara
pendapatan/ekonomi keluarga dengan pemberian MP-ASI dini yang disebabkan oleh
ketidak sulitnya untuk memperoleh makanan bayi tersedia dalam berbagai macam
kemasan kecil sehingga dapat terjangkau oleh semua golongan ekonomi.
Pemberian ASI yang tidak bisa dilakukan secara penuh biasanya akan
didampingi dengan susu formula. Pada ibu-ibu kelompok ekonomi (pendapatan keluarga)
menengah ke atas, sudah banyak terpengaruh oleh iklan dan promosi susu formula.
Meskipun tanpa disusui sendiri oleh ibunya, kebanyakan ibu-ibu percaya bahwa anaknya
akan tetap sehat dan cerdas , akan tetapi bagi ibu dikalangan menengah kebawah ASI
tidak diberikan dikarenakan ASI tidak keluar akibar faktor gizi ibu yang kurang dan
pendapatan keluarga yang tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari (Hasan, 2005).
Orang tua yang mempunyai pendapatan tinggi akan mempunyai daya beli yang
tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih berbagai jenis
makanan. Adanya peluang tersebut mengakibatkan pemilihan jenis makanan dan jumlah
makanan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, termasuk
pada pemberian makanan pendamping ASI bagi bayi.
Makanan pendamping ASI dini tidak hanya bisa diberikan oleh keluarga yang
memiliki pendapatan dengan kategori tinggi tetapi juga bisa diberikan oleh keluarga yang
memiliki pendapatan dengan kategori rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya asumsi
bahwa anak akan merasa cepat lapar kalau tidak diberi makan. Selain itu juga sering
diberikan air tajin, madu atau pisang pada usia bayi kurang dari 6 bulan.
Manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik moral maupun material,
baik kebutuhan penting maupun tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Makanan
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan melakukan gerak hidupnya.
Peningkatan pendapatan dalam rumah tangga memberikan kesempatan kepada rumah
tangga untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu jumlah dan keragaman pangan yang
mereka beli. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekirman (2000:19), yang menyatakan
bahwa keluarga yang berstatus sosial ekonomi yang rendah atau miskin umumnya
menghadapi masalah gizi kurang keadaanya serba terbalik dari masalah gizi lebih dan
pendapat Soetjiningsih (2004:10), yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga yang
baik dapat menunjang tumbuh kembang anak. karena orang tua menyediakan semua
kebutuhan anak-anaknya.
199
Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang
tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Sehingga tinggi rendahnya
pendapatan sangat mempengaruhi daya beli keluarga terhadap bahan pangan yang
akhirnya berpengaruh terhadap status gizi seseorang terutama anak balita karena pada
masa itu diperlukan banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Ninik,
2005)
Pendapatan yang tinggi belum tentu akan diikuti tingginya status gizi balita,
sebaliknya dengan pendapatan yang rendah pun belum tentu status gizi balitanya kurang
baik. Tidak ada kecenderungan bahwa responden yang mempunyai pendapatan tinggi
dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang tinggi pula, demikian juga
sebaliknya tidak ada kecenderungan bahwa dengan pendapatan yang rendah alokasi
untuk kebutuhan pangan yang rendah. Dengan pengeluaran makan yang lebih tinggi
digunakan untuk memenuhi konsumsi pangan dengan kualitas gizi yang baik (Ninik,
2005).
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Dari 65 ibu proporsi terbanyak yaitu : (63,1%) atau sebagian besar ibu yang
memberikan MP-ASI dini, (69,2%) atau sebagian besar yang berpendidikan rendah,
(50,8%) setengahbya dari responden yang bekerja dan (50,8) atau setengahnya dari
responden yang menyatakan pendapatan keluarganya tinggi (diatas > UMR)
2. Ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu pemberian MP-ASI dini di Desa
Cilangari Wilayah Kerja Pusk DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten
Bandung Barat
3. Ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu pemberian MP-ASI dini di Desa
Cilangari Wilayah Kerja Pusk DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten
Bandung Barat
4. Ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga pemberian MP-ASI dini di
Desa Cilangari Wilayah Kerja Pusk DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu
Kabupaten Bandung Barat
200
B. Saran
a. Disarankan kepada petugas kesehatan untuk melakukan penyuluhan agar lebih
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi ibu mengenai praktek
pemberian makanan pendamping ASI dengan tepat dan benar dengan metode
dan media penyuluhan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, seperti
pemasangan poster, pembuatan leaflet atau lembar balik.
b. Disarankan agar materi penyuluhan yang disampaikan tentang dampak
pemberian makanan pendamping ASI dini pada bayi dan manajemen laktasi
semakin ditingkatkan dan menganjurkan petugas kesehatan selalu memberikan
edukasi kepada ibu hamil, bersalin, menyusui dan keluarganya.
201
DAFTAR PUSTAKA
Adriaansz, Wiknjosastro dan Waspodo. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjdo.
Alimul Hidayat, A. Aziz (2007) , Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data,
Penerbit Salemba medika
Ansori, M. 2002. Hubungan Umur Pertama Kali Pemberian MP-ASI Dengan Status Gi zi Bayi
Umur 6-12 Bulan Di Kecamatan PedamaranKabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera
Selatan Tahun 2001, Tesis. Depok:FKM-UI
Arifin Siregar, 2004. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Gizi Dan Perilaku Ibu Dalam
Pemberian MP-ASI Pada Bayi 0-6 Bulan Di Desa Kenokorejo kecamatan Polokarto. (diperoleh
tanggal 28 Juni 2013)
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :
Azrul, Azwar. (2004). Manajemen laktasi. Jakarta. Depkes RI
Bahar, dkk. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Bayi Setelah Pemberian
MP-ASI pada Keluarga Miskin di Wilayah Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. VolIII-Edisi-2-Juli-Des-2006.
Baskoro, Anton. 2008. ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Banyu Media, Yogyakarta.
Budihardja, 2008. WNPG IX: Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Perbaikan Gi zi 20102014. Jakarta: Dirjen Binkesmas Depkes RI (Primadi, 2006).
Cipta
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air
Susu Ibu (MP-ASI) Lokal Tahun 2006. Depkes RI. Jakarta.
Diah Krisnatuti & Rina Yenrina. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta:
Puspa Swara.
Frances, et al. 2006. “Lactation’ Modern Nutrition in Health and Disease 10. America:
Lippincott Williams & Wilkins
Harian Seputar Indonesia, (Diakses pada tanggal 28 juni 2013 )
Haryanti, 2006. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI) Di Desa Jatirejo Kecamatan Jumapolo.(diperoleh tanggal 28 Juni 2013)
http://cerpeneddelweissnaqiyyah.blogspot.com/2011/06/resiko-pemberian-mpasi-terlaludini.html
Irawati, (2006). Pendidikan dan Kesehatan, http://www.ayahbunda.co.id, diperoleh tanggal 5
juni 2013
Makanan Pendamping ASI Dini Pada Bayi Di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta
Timur Thun 2001 : . Tesis S2. Depok: FKM-UI (SDKI 2007).
202
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mangajar dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muchtadi D. 1994. ASI Susu Formula dan Makanan Tambahan. Pustaka Sinar Harapan
Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2007). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo,s. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
Rineka Cipta
Roesli, U. (2007). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Roesli, Utami. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Elex Media Komputindo, Jakarta
Sagala, Syaiful. 2007. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung :
Alfabeta.
Simandjuntak, 2001. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian
Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta.
Sugiyono, (2009). Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alphabeta
Suhardjo, 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gi zi. Jakarta: Bumi Aksara
Suradi, R. 2004. Manajemen Laktasi. Jakarta: Perkumpulan Perinatologi Indonesia.
Thaib, Firdaus, Fauzah dan SM Manoeroeng 1996. Pola pemberian ASI pada bayi umur 012 bulan dan beberapa aspek social keluarga pengunjung poliklinik anak Rumah Sakit
Umum Tapaktuan, Majalah Kedokteran Indonesia. Volum : 46. Nomor 12, hal : 671.
WHO, 2003. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. Switzerland: UNICEF
203
THE RELATIONSHIP OF MOTIVATION WITH OBEDIENT CHRONIC KIDNEY DISEASE
PATIENT WHO UNDERGOING HEMODIALYSIS THERAPY AT PERISAI HUSADA
CLINIC OF BANDUNG CITY.
Siti Aminah, Atira, dan Aan Andriani
STIKes Budi Luhur Cimahi
ABSTRACT
Background of this research is still many Chronic Kidney Disease (CKD) patient with
hemodialysis who experiencing of drop out every year. One of the factors is low motivation of
CKD patient who undergoing hemodialysis therapy. Objective of the research is to observe
the relationship of motivation with obedient CKD patient who undergoing hemodialysis
therapy at Perisai Husada Clinic of Bandung City. Method of the research used analysis
study with research design cross sectional, population of this research were 40 CKD
patients, Data analysis obtained by two period univariate use frequency distribution and
bivariate use chi square statistic.The result of the research showed p value 0,043 with 0,05
The conclusion of the research according to the result, there are the relationship between
motivation with obedient CKD patients who undergoing hemodialysis therapy at Perisai
Husada Clinic of Bandung city.Suggestion according to the result of the research is
expected, it could be the reference to increase an optimal and qualified of nursing care
especially for CKD patients was through effort increase motivation of CKD patients to obey
hemodialysis therapy which involve as well as family role and also for input to make training
for nurses about effective health education method to increase motivation and the obedient
of CKD patients.
Keywords
: Motivation, obedient undergoing hemodialysis therapy
204
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi
renal yang progesif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). GGK dapat disebabkan
oleh penyakit sistemik seperti Diabetes Mellitus (DM), glomerulonefritis kronik,
pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, infeksi,
medikasi, atau agen toksik (timah, kadmium, merkuri, kromium) (Brunner & Suddart,
2002 dalam Sari, 2009).
Gagal ginjal merupakan suatu kasus yang dialami seluruh dunia. Kasus gagal ginjal di
dunia diperkirakan meningkat lebih dari 50%. Di Amerika Serikat, negara yang sangat
maju dan tingkat gizinya tinggi, setiap tahun ada sekitar 20 juta orang dewasa
menderita penyakit ginjal kronis sedangkan di Indonesia peningkatan penyakit gagal
ginjal tersebut sudah mencapai 20% dari jumlah penduduk per tahun. Oleh karena itu
tanpa pengendalian yang tepat dan cepat, diperkirakan pada tahun 2015 penyakit
ginjal bisa menyebabkan kematian hingga rata-rata 36 juta penduduk dunia pertahun
(http://azharoo.com, diperoleh pada tanggal 29 April 2010).
Salah satu terapi yang dapat membantu pasien untuk meringankan penyakitnya yaitu
terapi “hemodialisis” (cuci darah). Hemodialisis didefinisikan sebagai pergerakan
larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermiabel (alat dialysis) ke
dalam dialisat (Andri, 2012).
Hemodialisis merupakan salah satu terapi yang saat ini banyak dilakukan oleh pasien
gagal ginjal. Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, membutuhkan waktu 1215 jam untuk cuci darah setiap minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam setiap kali
terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus menerus sepanjang hidupnya (Bare &
smeltzer, 2002). Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya serta
penyesuaiaan diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
kehidupan pasien. Perasaan yang sering dialami oleh pasien adalah perasaan tidak
berdaya, hilang kendali terhadap dirinya dan perasaan hilang harapan. Hal ini
disebabkan persepsi pasien bahwa vonis cuci darah dianggap sebagai titik akhir
kehidupannya. Mereka menganggap, akan tergantung hidupnya dengan alat dan tidak
mampu lagi melakukan kegiatan hidup sehari-hari dengan normal (Andri, 2012).
Dalam memberikan kualitas kesehatan dan kesembuhan kepada kliennya,
Klinik Perisai Husada terus melakukan pembenahan dan peningkatan mutu pelayanan.
205
Klinik Perisai husada memberikan pelayanan kesehatan penyakit dalam dan syaraf
dalam satu atap dengan slogan pelayanan “feeling at home”.
Klinik spesialis penyakit dalam dan saraf Perisai Husada sangat peduli
terhadap cure and care bagi pasien. Cure (pengobatan) yaitu konsultasi dokter
spesialis dan terapi pengobatan yang dilakukan dengan sumber daya yang kompeten,
berdedikasi tinggi dan terintegrasi. Care (perhatian) adalah menyediakan pelayanan
untuk fasilitas pencegahan dan menjadi sumber informasi bagi pasien tentang penyakit
dalam dan saraf. Untuk fasilitas pelayanan terapi hemodialisis unit hemodialisa klinik
Perisai Husada membuka layanan dari hari senin sampai jumat dengan jam kerja dari
pukul 07.00-19.00 WIB dan hari sabtu pukul 07.00-17.00 WIB (Profil Klinik Perisai
Husada, 2013).
Hemodialisis (cuci darah) pada penderita gagal ginjal selain membantu pasien
dalam mempertahankan hidup, di sisi lain dapat menimbulkan beberapa masalah baik
dari aspek fisik, psikologis, sosial ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu hal yang
paling menonjol sebagai dampak dari aspek-aspek diatas adalah tingginya angka
droup out. Droup out dapat diartikan sebagai ketidak patuhan penderita gagal ginjal
dalam melakukan tindakan cuci darah, meninggal, pindah ke teknik yang lain misalnya
CAPD atau cangkok ginjal. Pada kenyataan dilapangan tahun 2009 angka droup out
penderita gagal ginjal yang menjalani cuci darah di Indonesia mencapai jumlah 1230
kasus dan di Jawa Barat masih banyak terdapat 810 kasus untuk Jawa Barat (IRR,
2009).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada bulan Maret 2013,
penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Klinik Perisai husada adalah
sebanyak 40 orang. Berdasarkan wawancara dengan 10 orang pasien yang
melakukan hemodialisis, 5 orang diantaranya mengatakan tidak teratur menjalani
terapi hemodialisis, 2 orang diantaranya mengatakan terlalu mahalnya biayanya dan
tidak sanggup bila harus melakukanya secara rutin, dan 1 orang diantaranya
mengatakan jarak rumahnya terlalu jauh dari tempat terapi, serta 2 orang lagi
mengatakan kurang termotivasi karena dirinya sudah tua dan takut menyusahkan anak
– anaknya.
Dari data kunjungan pasien ditemukan angka kunjungan Cito (mendadak)
hemodialisis untuk tahun 2013 mengalami peningkatan dalam 3 bulan terakhir ini,
angka kunjungan cito mencapai 11 kali kunjungan. Sedangkan untuk 2 tahun
kebelakang yaitu 2011 dan 2012 angka kunjungan cito kurang dari 10 kali kunjungan.
206
Dari angka kejadian drop out dan dari kunjungan cito hemodialisis yang setiap
tahunnya meningkat ini menunjukkan bahwa kepatuhan pasien gagal ginjal kronik
dalam menjalani terapi hemodialisis secara rutin masih kurang.
Dalam menghadapi kondisi tersebut motivasi sangat diperlukan. Motivasi
adalah suatu alasan (reasoning) seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya (Notoatmodjo, 2007). Motivasi diperlukan pasien gagal ginjal
kronik untuk mendorong perilaku mereka agar rutin dalam menjalani terapi
hemodialisis dan pengobatan lainnya. Motivasi ini dapat dikategorikan menjadi intrinsik
dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intrinsik akan mendorong seseorang untuk
melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhannya, dorongan itu dapat berupa
kebutuhan, persepsi, pengalaman, dan nilai. Motivasi yang bersifat ekstrinsik
merupakan dorongan lingkungan pada seseorang untuk melakukan suatu aktivitas
sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan pemicu bagi seseorang untuk
melakukan suatu perilaku yang diinginkan baik oleh individu itu sendiri dan oleh
lingkungannya.
Selain motivasi, juga dibutuhkan suatu kepatuhan dalam menjalani suatu terapi.
Kepatuhan menurut Potter dan Perry (2006) adalah ketaatan pasien dalam
melaksanakan tindakan terapi. Kepatuhan pasien berarti bahwa pasien dan keluarga
harus meluangkan waktu dalam menjalani pengobatan yang dibutuhkan. Kepatuhan
pada penderita gagal ginjal kronik dalam menjalani program terapi merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan. Karena diperkirakan bahwa jika pasien tidak patuh
menjalani terapi akan terjadi penumpukan zat-zat berbahaya dari tubuh hasil
metabolisme dalam darah sehingga penderita akan merasa sakit di seluruh tubuh dan
jika hal tersebut dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan motivasi dengan kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung.
207
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan Metode Survei Analitik dengan Rancangan
penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Variabel penelitian menjadi dua yaitu :
a. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel
lain, suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan dampak
pada variabel dependen (Nursalam, 2003). Variabel independen pada penelitian
ini adalah motivasi pasien gagal ginjal kronik baik secara internal maupun
eksternal.
b. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel
lain, variabel respon akan muncul sebagi akibat dari manipulasi variabel-variabel
lain (Nursalam, 2003). Variabel dependen pada penelitian ini adalah kepatuhan
menjalani terapi hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik.
Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah 40 pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis .
2. Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 40 orang. Teknik sampling yang
digunakan adalah Total sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan
seluruh responden/pasien yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada.
Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan Data
Data langsung diperoleh dari responden dengan menggunakan kuisioner. Instrumen
atau Alat Pengumpulan Data:Alat ukur yang digunakan berupa kuisioner yang berisi
pernyataan tentang faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi,
dan untuk kepatuhan menjalani terapi kuisionernya berisi pernyataan tentang indikator
208
dari kepat uhan itu sendiri yang masing-masing berbentuk skala likert. Alat pengukuran
untuk variabel motivasi Jawaban yang disajikan berupa SS (Sangat Setuju), S
(Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju) dengan skor untuk pernyataan
positif maka jawaban yang diberikan SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan untuk
pernyataan negatif skor jawaban berupa SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4. Alat
pengukuran untuk variabel kepatuhan menjalani terapi hemodialisis menggunakan
skala Guttman dan jawaban yang disajikan berupa Ya, dan Tidak. Untuk jawaban yang
benar skor diberikan Ya = 1, Tidak = 0
Uji Validitas dan Reliabilitas
a. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan di unit Hemodialisa RS Dustira Cimahi dan instrument
penelitian/kuisioner diberikan kepada 20 orang.Hasil dari uji validitas terhadap
kuisioner Motivasi dari 24 pernyataan, te rdapat 4 pernyataan yang tidak valid yaitu
pernyataan no 10 (r hitung 0.264), no 13 (r hitung 0.340), no 18 (r hitung -0.054) dan
no 24 (r hitung 0.402). Sedangkan untuk kuisioner kepatuhan dari 12 pernyataan
terdapat 3 pernyataan yang tidak valid yaitu no 3 (r hitung 0.298), no 7
(r hitung
0.331) dan no 11 ( r hitung 0.257). Pernyataan yang tidak valid peneliti menghilangkan
pernyataan tersebut karena pernyataan yang masih tersisa dapat mewakili dalam
penilaian motivasi dan kepatuhan responden.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas didapatkan bahwa nilai cronsbach alpha untuk
kuesioner Motivasi 0,943 > konstanta 0.6 maka ke 24 pernyataan dinyatakan reliable.
Begitu pula untuk kuesioner kepatuhan nilainya 0.872 > konstanta (0.6) maka 12
pernyataan tersebut dinyatakan reliabel.
Prosedur Penelitian
Menyusun proposal dan instrument, Seminar proposal, Pelaksanaan penelitian, Analisa
Data dan Seminar Hasil penelitian. Lokasi Peneliti dilakukan pada di Klinik Perisai Husada.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013.
209
HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Motivasi Pasien Yang Menjalani Terapi Hemodialisis
Gambaran motivasi pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang telah diuji dengan
analisis univariat dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Motivasi Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Klinik
Perisai Husada Kotamadya Bandung
Variabel Motivasi
Frekuensi
Presentase
Tinggi
24
60%
Sedang
12
30%
Rendah
4
10%
Total
40
100%
Sumber : Data Penelitian 2013
Tabel 4.1. tertera gambaran motivasi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung sebanyak 24 (60%)
responden. Yang artinya sebagian besar dari responden memiliki motivasi kategori tinggi
dalam menjalani terapi hemodialisis. Motivasi pasien gagal ginjal kronik di Klinik Perisai
Husada Kotamadya Bandung memiliki motivasi yang tinggi dalam menjalani hemodialisis.
Hal ini menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronik di klinik perisai husada memiliki
semangat hidup yang tinggi untuk menjalani hidup dengan kondisi kesehatan yang lebih
terjaga.
Motivasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah dari faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari kebutuhan, persepsi, pengalaman,
kemampuan untuk belajar, sistem nilai yang dianut. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari
sarana, dukungan, dan penghargaan. Keluarga berperan besar dalam mempengaruhi
persepsi individu dan sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai serta
dapat juga menentukan program pengobatan yang dapat diterima pasien. Keluarga juga
memberikan dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan keluarga yang sakit.
Pengaruh lingkungan juga berpengaruh terhadap motivasi pasien misalnya dari
sesama pasien gagal ginjal kronik, mereka saling menguatkan dan saling member
semangat untuk rutin mengikuti hemodialisis. Hal ini
dapat menjadi penguat dan
pembangkit semangat sehingga pasien tidak merasa menderita sendiri karena banyak
orang yang kena gagal ginjal tapi dapat menikmati waktu lama dengan suasana yang ceria.
210
2. Gambaran Kepatuhan Pasien Yang Menjalani Terapi Homodialisis
Gambaran kepatuhan pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang telah diuji
dengan analisis univariat dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisis Di
Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung
Variabel Kepatuhan
Frekuensi
Presentase
Tidak Patuh
14
35%
Patuh
26
65%
Total
40
100%
Sumber : Data penelitian 2013
Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang patuh menjalani
terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung sebanyak 26
responden (65%).
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar pasien gagal ginjal kronik
di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung lebih banyak yang patuh dibandingkan
jumlah pasien yang tidak patuh. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor diantaranya
adalah faktor internal yaitu keadaan fisiologis dan psikologis misalnya umur, jenis
kelamin, derajat kesehatan, kepribadian, tingkat ekonomi dan pengetahuan. Dan faktor
eksternal yaitu hal diluar individu yang merupakan rangsangan untuk menentukan
sikap misalnya pengalaman, lingkungan, dukungan keluarga, keterlibatan petugas
kesehatan dan lain-lain. Pada penelitian ini hanya membahas faktor motivasi baik
secara internal maupun eksternal, yang sangat berpengaruh besar pada tingkat
kepatuhan seseorang yaitu kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
program terapi hemodialisis.
Kepatuhan pada pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi
hemodialisis merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena jika pasien tidak
patuh akan terjadi penumpukkan zat-zat berbahaya dari tubuh, hasil metabolisme
dalam darah. Sehingga pasien akan merasakan sakit diseluruh tubuh dan jika hal
tersebut dibiarkan akan menyebabkan kematian.
3. Hubungan Motivasi Dengan Kepatuhan Pasien Yang Menjalani Terapi
Hemodialisis.
Hubungan motivasi dengan kepatuhan pasien yang menjalani terapi hemodialisis
yang telah diuji dengan analisis bivariat dapat dilihat pada Tabel 4.3
211
Tabel 4.3 Analisis Hubungan Motivasi Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan
Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisis Di Klinik Perisai Husada Kotamadya
Bandung
Kepatuhan Menjalani
Hemodialisis
Motivasi pasien
Gagal ginjal Kronik
Total
P. value
Tidak patuh
Patuh
12
12
24
(50%)
(50%)
(100%)
2
10
12
(16.7%)
(83.3%)
(100%)
0
4
4
(0%)
(100%)
(100%)
14
26
40
(35%)
(65%)
(100%)
Tinggi
Sedang
0,043
Rendah
Total
Sumber : data penelitian 2013
Pada Tabel 4.3 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki
motivasi kategori tinggi dari total 24 responden terdapat 12 (50%) responden yang patuh
dan 12 (50%) responden yang tidak patuh dalam menjalani terapi hemodialisis di Klinik
Perisai Husada Kotamadya Bandung.
Dari hasil analisis diperoleh nilai hasil p value sebesar 0,043< (α=0,05) sehingga Ho
ditolak. Dari hasil analisa diperoleh juga X² hitung sebesar 6,300 >X² tabel (5,991) maka Ho
ditolak. Dari hasil analisis uji statistik untuk tabel 3x2 tidak bisa menghasilkan OR. Nilai
Contingency coefficient sebesar 0,369 yang mempunyai pengertian, jika nilai uji semakin
lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya hubungan antara motivasi dengan
kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di klinik Perisai
Husada Kotamadya Bandung.
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji statistik yang dijabarkan
pada Tabel 4.3 didapatkan nilai p = 0.043 < nilai alpha = 0.05 maka H0 ditolak artinya
adanya hubungan antara motivasi dengan kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien yang memiliki motivasi tinggi
cenderung untuk patuh dalam menjalani terapi hemodialisis, sedangkan pasien yang
memiliki motivasi rendah cenderung untuk tidak patuh dalam menjalani terapi hemodialisis.
Hal ini disebabkan karena pasien gagal ginjal kronik yang memiliki motivasi tinggi sudah
memahami bahwa mereka memerlukan terapi atau pengobatan
yang harus dilakukan
secara terus-menerus untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah mengalami kerusakan
212
atau tidak berfungsinya organ tersebut. Yang mana tidak sedikit akan menimbulkan
beberapa dampak psikologis yang dapat ditandai dengan serangkaian perubahan perilaku
antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Sebanyak 40 responden yang menjalani terapi hemodialisis, terdapat sebanyak 24
(60%) responden memiliki motivasi kategori tinggi, motivasi kategori sedang 12 (30%)
responden dan motivasi kategori rendah 4 (10%) responden. Jadi sebagian besar
gambaran motivasi pasien gagal ginjal kronik adalah motivasi kategori tinggi.
2. Gambaran kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
terdapat sebanyak 26 (65%) responden yang memiliki kepatuhan dan yang tidak
memiliki kepatuhan 14 (35%) responden. Jadi sebagian besar responden patuh
menjalani terapi hemodialisis.
3. Ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan kepatuhan pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung
dengan nilai p value <0.05 yaitu 0.043.
B. SARAN
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk membuat pelatihan atau
seminar mengenai metode pendidikan kesehatan yang efektif dalam meningkatkan
motivasi pasien gagal ginjal kronik untuk mematuhi terapi hemodialisis. Dan rutin
setiap tahunnya melaksanakan acara pertemuan/gathering antara semua pasien dan
keluarga.
213
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, A. (2007). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika.
Andri, dkk. (2012). Cuci darah siapa takut. Dokter kita edisi 3. Jakarta :PT Temprint.
Arukunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Salemba Medika.
Azharoo. 2009. 1, http://azharoo.com, diperoleh pada tanggal 29 april 2010.
Azwar. (2001). Reliabilitas Dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bahar. (2001). Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2.
Jakarta : EGC.
Doenges. (2000). Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Handoko, M. (2004). Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta : Kanisius.
Harianja, (2007). Managemen Kesehatan. Jakarta : Bumi Aksara.
Hasibuan. (2005). Managemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.
Hastono. (2004). Statistik Kesehatan. Jakarta : Raja Grafindo.
Hidayat. (2009). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.
Irwanto, dkk. (2002). Psikologi Umum. Jakarta : Prenhallindo.
214
Latifiana, 2008, 2, http://www.litbang.depkes.go.id/actual/klipingginjal.htm, diperoleh pada
tanggal 20 mei 2013).
Niven. (2002). Psikologi Kesehatan Pengantar Untuk Perawat dan Profesional Kesehatan
Lain. Edisi kedua. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi ke 2 Jakarta : Rineka Cipta.
(2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
(2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam. (2003). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Infomedika.
Riyanto (2007). Belajar Mudah SPSS Untuk Penelitian Kesehatan. Bandung : Dewa Ruchi.
Roesly, Rully. (2012). Gangguan Ginjal Akut. Bandung : PT TRUBUS.
Smeltzer (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
STIKes Budi Luhur Cimahi (2012).Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Tugas Akhir Dan Skripsi.
Cimahi: Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat.
Sugiono, (2003). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfa Beta.
Sulianti, (2007), 3, http//www.google.com,hemodialisis machine diperoleh pada tanggal 19
mei 2013)
, 2006, ,4, http//www.google.com,hemodialisis. diperoleh pada tanggal 19 mei
2013).
Sukandar, Enday. (2006). Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat Informasi Ilmiah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung.
215
Sunaryo. (2004). Psikologi. Jakarta : EGC
Trihendardi. (2013). Langkah Praktis Menguasai Statistic Untuk Ilmu Social Dan Kesehatan.
Yogyakarta : CV ANDI OFFSET.
Widodo. (2004). Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat. Yogyakarta : Kreasi
Wacana.
Zaidin, Ali. (2004). Teori Motivasi. Bandung: Pustaka Setia
216
Petunjuk Penulisan Jurnal Ilmiah STIKes Budi Luhur Cimahi
1. Jurnal Ilmiah STIKes Budi Luhur Cimahi menerima tulisan ilmiah berupa hasil penelitian,
telaah pustaka, atau review yang berkaitan dengan bidang keperawatan, kebidanan,
dan kesehatan masyarakat.
2. Naskah diutamakan yang belum pernah diterbitkan dimedia lain, baik cetak maupun
elektronik. Jika sudah pernah disampaikan dalam suatu pertemuan ilmiah hendaknya
diberi keterangan yang jelas mengenai nama, tempat, dan tanggal berlagsungnya
pertemuan tersebut.
3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia baku atau bahasa Inggris dengan huruf Arial 11,
naskah disusun dengan sistematika sebagai berikut:
a. Judul naskah ditulis dengan huruf kapital, singkat, dan jelas serta mencerminkan isi
tulisan, tidak lebih dari 12 kata (bahasa Indonesia) atau 10 kata (bahasa Inggris).
b. Nama penulis tanpa gelar, diikuti alamat instansi masing-masing dan disebutkan
alamat korespondensi kepada penuullis lengkap dengan alamat e-mail.
c. Abstrak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, masing-masing maksimum 165
kata, dilengkapi dengan kata kunci (keywords) 3-5 kata.
d. Isi/batang tubuh:
1)
Untuk tulisan berupa laporan hasil penelitian, disusun dengan sistematika
sebagai berikut: Pendahuluan (Introduction), Metode Penelitian (Materials and
and Methods), Hasil dan Pembahasan (Result and Discussion), Kesimpulan dan
Saran
2)
(Conclusion).
Untuk tulisan bukan laporan hasil penelitian, disusun dengan sistematika sebagai
berikut: Pendahuluan, Bagian-bagian sesuai topik tulisan, serta Penutup berupa
kesimpulan dan Saran.
e. Daftar Pustaka (References) ditulis berurutan dengan Nomor Arab (1, 2, 3, dst.) dengan
urutan pemunculan berdasarkan nama penulis secara alfabetis dengan sistem Harvard.
Publikasi dari penulis yang sama dan dalam tahun yang sama ditulis dengan cara
menambahkan huruf a, b, atau c, dan seterusnya tepat dibelakang tahun publikasi (baik
penulisan dalam daftar pustaka maupun sitasi dalam naskah tulisan). Alamat Internet
ditulis menggunakan huruf Italic, contoh:
1) Buller H, Hoggart K. 1994a. New Drugs for Acute Respiratory Distress Syndrome. New
England J Med 337(6): 435-439.
2) Buller H, Hoggart K. 1994b. The Sosial Integrationof British Home Owners Into Rench
Rural Communities. J Rural Studies 10(2):197-210.
217
3) Dowor M. 1977. Planning aspects of Second homes, di dalam Coppock JT
(ed), Second homes: Curse or Blessing? Poxford: Pergamen Pr. Hlm 210237.
4) Grinspoon L., Bakalar JB. 1993. Marijuana: the Forbidden Medicine. London:
Yale Univ Press.
5) Palmer FR. 1986. Mood and Modality. Cambridge: Cambridge univ Press.
4. Sitasi/rujukan kepustakaan dilakukan dengan mencantumkan nama penulis dan
tahun penerbitan yang diletakkan dalam tanda kurung. Contoh: Respons dipengaruhi
oleh beberapa stimulus, meliputi stimuli fokal, kontekstual, dan residual (Friedman,
1988).
5. Untuk penulisan keterangan gambar, ditulis Gambar 1; Grafik. dsb.
6. Bila sumber Gambar diambil dari buku atau dari sumber lain, maka dibawa
keterangan gambar ditulis nma penulis dan tahun penerbitan.
7. Tabel harus utuh, jelas terbaca, dibuat dengan format tabel pada Microsoft Words,
tanpa garis pembatas kolom dan baris pada badan tabel, diletakkan simetris ditengah
area pengetikan, diberi judul dan tabel dengan angka arab 1, 2, 3,... dst.
8. Naskah dikirim dalam bentuk cetakan (hard copy) dan berkas elektronik (dalam
bentuk CD) melalui pos/kurir atau diantar sendiri ke sekretariat jurnal.
9. Naskah yang diterima akan detelaah oleh Redaksi/Editor/Mitra Bestari, apabila
diperlukan akan diberi catatan dan dikembangkan kepada penulis untuk direvisi,
untuk selanjutnya dikirimkan kembali secara utuh ke pada redaksi jurnal untuk
diterbitkan.
218
219
220