editorial - STIKes Budiluhur Cimahi
Transcription
editorial - STIKes Budiluhur Cimahi
EDITORIAL Pelindung: Ketua Stikes Budi Luhur Cimahi Dr. Ijun Rijwan Susanto, SKM., M.Kes. Pengantar Redaksi Syukur Alhamdulilllah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Penanggung Jawab: Kepala LPPM Karwati, SST., MM Ketua Dewan Redaksi: Wakil Ketua I, Bidang Akademik Yosi Oktri, S.Pd., SST., MM hidayah-Nya, sehingga Jurnal Kesehatan STIKes Budi Luhur Cimahi Volume 7 No. 2, Juli 2014 dapat diterbitkan. Dengan diterbitkannya Jurnal Kesehatan Budi Luhur Cimahi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat Wakil Ketua Redaksi: Budi Rianto, S.Sos., MM dan pencerahan kepada masyarakat dan lingkungan civitas akademika Anggota: Dr. Sri Wahyuni, S.Pd., M. Kes. STIKes Budi Luhur Cimahi yang dapat membawa visi dan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi sehingga Editor: Dr. Atira,S.Si., M.Kes. memunculkan inspirasi dan inovasi dalam bidang kesehatan untuk Distributor: Rahayu, S.Pd. kepentingan kesejahteraan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Kepada para penulis kami ucapkan banyak terima kasih atas partisipasinya. Semoga Jurnal ini dapat menjadi media komunikasi dan penyebar luas informasi tentang ilmu ALAMAT REDAKSI: LPPM STIKes Budi Luhur Cimahi Jl. Kerkof No. 243 Leuwigajah Cimahi, Jawa Barat Telp. 022-6674696 Hp: 085222037309 E.mail: atira_c01@ymail.com pengetahuan bagi kita semua, Amin. Wassalam, Dewan Redaksi 159 HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI KINERJA PERAWAT ASOSIASI DENGAN PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL PLEBITIS DI RUANG INAP ZUMAR, ZAITUN II BEDAH, ZAITUN III KEBIDANAN RSUD AL IHSAN BANDUNG FACTORS RELATED PERFORMANCE UNDERLYING NURSES ASSOCIATION WITH PREVENTION OF NOSOCOMIAL INFECTION PLEBITIS IN THE HOSPITAL ZUMAR, OLIVE SURGERY II, III MIDWIFERY HOSPITAL OLIVE AL IHSAN BANDUNG Wulan Novita Ambasari Program Studi S-1 Ilmu Keperawatan Abstract Background: This study is the high incidence of cases in hospitals plebitis Al Ihsan where in the period January to March 2013 recorded 144 414 patients there were 95 cases attached infusion plebitis with details Zumar 1 case, olive Surgery II, 70 cases and 13 cases OLIVE III Midwifery. This Plebitis including the incidence of nosocomial infections. Nosocomial infections are infections acquired and developed during the patient hospitalized. Extremely adverse consequences patient, in addition to the care and maintenance costs be increased until the cause of death. Aims: to determine the relationship identifying the factors underlying the association of nurses in the prevention of infection. Methods: The method used is descriptive correlational with a total sample of 43 respondents were taken by total sampling. Data analysis showed more than half of nosocomial infection prevention measures in either category, the training there are 33 people who have not got the infection prevention training, infrastructure is more than 58% in less good condition and supervision of more than 55.5% of primary nursing supervision has been doing well . Data were analyzed with univariate and bivariate percentage by using the chi-square statistical test. The final conclusion is based on analysis of the relationship between the performance of nurse training in the prevention of infections associated p-value = 0.001 at α = 0.05 level. There is a relationship with the performance of infrastructure associated with infection prevention nurse P value = 0.000 at α = 0.05 level. There is a relationship between the performance of nursing supervision in the prevention of nosocomial infections associated P value = 0.000 at α = 0.05 level. Results: The results of this study recommends that efforts should be taken by the hospital to minimize the incidence of nosocomial infections by improving the performance of nurses and other personnel in the prevention of nosocomial infections, has a concept to foster health workers, improving the SPO and strong commitment from management. Keywords: cross sectional, nosocomial infection, performance, prevention, nurses association 160 PENDAHULUAN Kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan. Penekanannya adalah kualitas yang diberikan dengan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain biaya yang dikeluarkan dapat ditekan, pasien juga mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan harapan tanpa mendapatkan komplikasi akibat perawatan di rumah sakit. Sebagai fasilitas pelayanan kesehatan rumah sakit memiliki indikator mutu, salah satunya adalah prosentase angka kejadian infeksi nosokomial (Depkes R.I, 2005). Infeksi Nosocomial atau sekarang di sebut disebut health care-asosiasid infections adalah infeksi yang di dapat pasien saat dalam perawatan atau kondisi pembedahan dan efek samping yang paling sering selama di rawat. (WHO 2011). infeksi nosokomial merupakan masalah utama bagi keselamatan pasien dan dampaknya dapat mengakibatkan rawat inap menjadi lama, cacat permanen, meningkat resistensi mikroorganisme terhadap agen antimikroba, menambah beban keuangan untuk biaya kesehatan, biaya tinggi untuk pasien dan keluarga mereka, dan resiko meningkatnya kematian. Infeksi nosokomial bersifat universal dan meliputi setiap fasilitas kesehatan dan sistem di seluruh dunia, tetapi keadaan yang sebenarnya masih belum diketahui di banyak negara, khususnya di negara berkembang (WHO, 2011), Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Depkes (Depkes, 2011 ), salah satunya plebitis (IADP). Plebitis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi infus. Plebitis adalah inflamasi lapisan vena yang disebabkan faktor mekanik, kimia, maupun teknik aseptik yang kurang (Philips, 2005). Plebitis dikarakteristikan dengan adanya kemerahan pada area tusukan, nyeri, bengkak, pengerasan atau indurasi, pengerasan sepanjang vena, dan panas (Alexander, et al., 2010; NHS Lanarkshire, 2009). Angka kejadian infeksi nosokomial secara umum di dunia cukup tinggi yaitu 7,1 % per tahun atau dari 190 juta pasien yang dirawat. Angka kematian akibat infeksi nosokomial ini juga cukup tinggi yaitu 1 juta per tahunnya. Survey yang dilakukan WHO tahun 2010 terhadap 28 rumah sakit di Amerika dan Eropa menunjukkan insiden infeksi nosokomial 13 161 s.d 20 kejadian dari 1000 hari pasien di rawat dengan rincian 83 % pasien dengan infeksi VAP, 97 % infeksi saluran kemih, 81 % infeksi aliran darah perifer/plebitis (WHO, 2011). Indonesia berdasarkan data WHO tahun 2010 angka infeksi nosokomial 7,1 % dari pasien di rawat di 14 rumah sakit yang dijadikan penelitian. Dengan rincian infeksi daerah operasi 29, 1 %, infeksi saluran kemih 23,9 %, infeksi aliran darah tepi 19,1 %, HAP 14,8 %, infeksi lainnya 13,1 % (WHO, 2011). Angka kejadian plebitis di Jawa Barat belum diketahui semuanya. Tapi ada satu penelitian yang dilakukan Wayunah (2011) di RSUD Garut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Wayunah menyebutkan bahwa angka kejadian plebitis di rumah sakit tersebut adalah 40% dan angka kejadian infeksi nosokomial yang lain sementara ini belum terlaporkan. Tabel 1.1 Angka Kejadian Plebitis Periode Triwulan Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2013 No Bulan Jumlah Pasien yang infeksi terpasang infus Jan Feb Maret Feb Mar Jan 1 Zumar 829 770 931 0 1 0 2 Asal 699 620 688 0 0 0 3 Zaitun I 756 772 1059 0 1 1 4 Zaitun II Medikal 369 220 393 0 0 6 5 Zaitun II Bedah 363 417 421 23 25 22 6 Zaitun II VIP 256 184 155 0 0 0 7 Zaitun III Kebidanan 415 382 411 6 2 5 8 Zaitun III Perinatologi 169 100 207 0 0 0 9 Lukmanul Hakim 1038 966 824 0 0 3 4894 4431 5089 29 29 37 Jumlah Sumber : KPPI RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat, 2013 162 Berdasarkan data laporan infeksi nosokomial dii instalasi rawat inap RSUD Al Ihsan periode Januari s.d Desember 2012 angka kejadian infeksi aliran darah primer ruang Zaitun II Bedah 57,6 %, Zaitun I 0,7 %, Zaitun III Kebidanan 31,8 %, Zumar 1,3 %. Infeksi saluran kemih tidak ada kejadian, infeksi daerah operasi hanya di ruang Zaitun Bedah 0,7 %. Berdasarkan standar pelayanan minimal Depkes secara umum untuk kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit adalah ≤ 1.5% (Depkes, 2008). Peran manajemen rumah sakit sangat penting dalam menunjang program pengendalian infeksi. Dimana Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit sangat penting dilakukan karena kejadian infeksi nosokomial menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit. Karena salah satu faktor penyebab dari infeksi nosokomial ialah faktor extrinsik yaitu faktor yang berasal dari luar penderita yaitu petugas kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien,dalam hal ini perawat, dalam hal pencegahan infeksi (Darmadi, 2008). Untuk meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi, kegiatannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, monitoring dan evaluasi (Depkes R.I, 2008). Salah satu upaya pelaksanaan dan infeksi nosokomial plebitis di ruangan ialah memaksimalkan kinerja perawat dalam melakukan tindakan keperawatan karena peran perawat langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam sehingga perlunya kinerja yang optimal dalam pencegahan infeksi nosokomial agar tidak terjadi pada infeksi nosokomial selama klien di rawat. Mangkunegara (2009) berpendapat bahwa dalam menilai kinerja perawat salah satunya adalah dengan melakukan penilaian terhadap kegiatan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan SOP dan SAK. Dukungan dan supervisi kepala ruangan terhadap kinerja perawat asosiasi sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial. Supervisi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan perawat asosiasi dalam melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Menurut Simanjuntak (2005), kinerja dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian. Pertama kompetensi individu, meliputi pelatihan, motivasi dan sikap. Kedua dukungan organisasi, meliputi penyediaan sarana dan prasarana kerja, kenyamanan lingkungan kerja, serta jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Ketiga dukungan manajemen, meliputi cara manajemen mempertahankan kinerja karyawan yang dilakukan atasan langsung melalui supervisi langsung terhadap karyawan. Berkaitan dengan pengendalian infeksi nosokomial, penelitian yang dilakukan oleh Bady, Kusnanto, & Handono, (2007) didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara 163 pelatihan dengan kinerja SDM dalam pengendalian infeksi nosokomial. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Setiawati (2009) mengatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan ketaatan petugas kesehatan melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial melalui hand hygiene. Hasil wawancara dengan ketua komite pencegahan dan pengendalian infeksi RSUD Al Ihsan pada awal tahun 2013 didapatkan informasi bahwa tidak mudah bagi perawat di ruangan melakukan isolation precaution, alasannya adalah kurangnya kesadaran diri petugas kesehatan dalam melakukan cuci tangan terutama 5 moment dan sarana hand rub dan hand wash yang tidak merata idealnya satu kamar pasien ada 1 hand rub/hand wash. Padahal hand hygiene merupakan pilar dari pencegahan dan pengendalian infeksi sehngga bila tidak di lakukan menyebabkan terjadinya perpindahan mikroorganisme dari manusia ke manusia atau ke benda. Perawat asosiasi di instalasi rawat inap pada tahun 2012 berjumlah 181 orang, yang mendapat pelatihan pencegahan dan pengendaian infeksi adalah sekitar 30 %. Berdasarkan data kepatuhan SPO tahun 2012 periode Januari-Desember adalah prosedur cuci tangan dalam tindakan pemasangan infus angka kepatuhan 65%. Pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial untuk perawat di RSUD AL Ihsan tidak di laksanakan secara rutin. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Kinerja Perawat Asosiasi Dengan Kejadian Infeksi Nasokomial Plebitis Di Rawat Inap Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan RSUD Al-Ihsan”. Tujuan Umum penelitian ini Mengidentifikasi Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Kinerja Perawat Asosiasi dalam Pencegahan Infeksi Nasokomial Plebitis Di Rawat Inap Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan RSUD Al-Ihsan. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang digunakan adalah descriptive correlation study merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional untuk mempelajari dinamika korelasi antar faktor-faktor dengan efek dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu (Notoatmodjo, 2002). A. Metode Penelitian 1. Paradigma Kerangka konsep dibuat sebagai landasan peneliti dalam melakukan penelitian. Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian dalam 164 suatu penelitian (Arikunto, 2006). Aspek yang diteliti adalah kinerja perawat dengan menggunakan teori kinerja Iyas (2002) dan Simanjuntak (2005). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari faktor-faktor yang melatarbelakangi kinerja perawat asosiasi di rawat inap Zaitun II Bedah dan Zaiitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan, yaitu kompetensi (pelatihan), dukungan manajemen (penyedian sarana prasarana, dan dukungan manajemen (supervisi). Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman pada kriteria yang dikeluarkan oleh Depkes (Depkes, 2011 ). Yaitu terjadinya infeksi aliran darah perifer/ pebitis. Plebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi (pengerasan) pada daerah tusukan, dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena (Alexander, et al.,2010). berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti membuat sistematis kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut : Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Variabel Dependen Kejadian Infeksi Kinerja Pelatihan Sikap Kompetensi Individu : Tingkat Pendidikan Motivasi Plebitis Ketersediaan sarana dan prasarana kerja Dukungan manajemen Kenyamanan Lingkungan Kerja Jaminan Kesehatan dan keselamatan kerja 165 Dukungan organisasi Supervisi Kepala tim Sumber : modifikasi Simanjuntak, 2006 dan Depkes, 2011 Keterangan : Di teliti : Tidak Di teliti : 2. Rancangan Penelitian Penelitian yang digunakan adalah descriptive correlation study merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional untuk mempelajari dinamika korelasi antar faktor-faktor dengan efek dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu (Notoatmodjo, 2002). Dalam penelitian ini akan melihat hubungan faktor faktor yang melatarbelakangi kinerja perawat asosiasi dengan kejadian infeksi nasokomial Plebitis di rawat inap Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013. 3. Hipotesis Penelitian a. Ha : Ada Hubungan kompetensi individu (pelatihan) dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis Di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013. b. Ho : Tidak Ada Hubungan kompetensi individu (pelatihan) dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis Di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013. c. Ha : Ada Hubungan dukungan organisasi (ketersediaan sarana dan prasarana) dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provisinsi Jawa Barat Tahun 2013. d. Ho : Tidak Ada Hubungan dukungan organisasi (ketersediaan sarana dan prasarana) dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provisinsi Jawa Barat Tahun 2013. 166 e. Ha : Ada Hubungan dukungan manajemen (Supervisi) dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provisinsi Jawa Barat Tahun 2013. f. Ho : Tidak Ada Hubungan dukungan manajemen (Supervisi) dalam pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provisinsi Jawa Barat Tahun 2013. Parameter untuk melihat hasil p-value yang dibandingkan dengan nilai α = 5%, ketentuannya adalah sebagai berikut : a. Jika p-value > 0,005, maka Ho diterima artinya menunjukkan dua variabel tersebut tidak ada hubungan. b. Jika p-value ≤ 0,005, maka Ho ditolak artinya menunjukkan dua variabel tersebut ada hubungan. 4. Variabel Penelitian Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu keIompok (orang, benda, situasi) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Nursalam, 2008). a. Variabel bebas (independen) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat berdasarkan Simanjuntak (2005), meliputi kompetensi individu (pelatihan), dukungan organisasi (ketersediaan sarana dan prasarana kerja), dan dukungan manajemen melalui supervisi kepala tim. b. Variabel terikat (dependen) Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pencegahan Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Depkes (Depkes, 2011 ). Yaitu pencegahan infeksi aliran darah perifer/ Plebitis. 5. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang berada dalam wilayah penelitian (Arikunto, 2006). Populasi disebut juga universe adalah keseluruhan obyek/unit/anggota/item (misalnya manusia) dari sebuah riset. Populasi dapat terbatas 167 (finite) atau tak terbatas (infinite) Populasi terbatas jika elemen-elemen dapat dihitung, sedangkan populasi tak terbatas jika elemen-elemen penelitian tak terhitung banyaknya (Murti, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat asosiasi di ruang rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013, sebanyak 43 orang. a. Ruang Zaitun II Bedah c. Ruang Zaitun III Kebidanan b. Ruang Zumar Jumlah : 13 Orang 8 Orang 22 Orang 43 Orang 2. Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan desain Purposive Sampling dengan teknik total sampling, yaitu teknik penetapan sampel dengan cara mengambil seluruh sampel yang ada. dengan kriteria sampel inklusi dan eklusi menurut Nursalam, 2008. Dalam penelitian ini meliputi : a. Kriteria Inklusi 1) Perawat asosiasi di seluruh pelayanan rawat inap 2) Bersedia menjadi responden b. Kriteria Eklusi 1) Tidak sedang melanjutkan pendidikan 2) Kepala ruangan, clinical instructure, perawat primer 3) Bidan 4) Tidak sedang mengikuti pelatihan Tidak sedang cuti melahirkan B. Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono, 2006). 168 Adapun usaha pengumpulan data yang dilakukan sebagai dasar analisa untuk mendapatkan pemecahan masalah adalah sebagai berikut: a. Studi kepustakaan yaitu dengan cara mempelajari bahan-bahan berupa buku-buku, dokumen-dokumen dan bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti b. Studi lapangan, yang dilakukan dengan cara: 1) Angket yaitu mengumpulkan data dengan cara menyebarkan atau memberikan formulir daftar pertanyaan tertulis kepada responden, dalam hal ini respondennya adalah perawat di ruang rawat inap Plebitis Di Ruang Rawat Inap Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat. 2) Lembar tilik pengamatan tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana dalam adalah Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Depkes (Depkes, 2011 ). Yaitu infeksi aliran darah perifer/ Plebitis. 2. Instrumen Penelitian Kuesioner terdiri dari kinerja perawat (sarana dan prasarana dan supervisi) dengan jumlah 22 pernyataan. Kuesioner terdiri dari 1 item pertanyaan dan 22 item pertanyaan dalam bentuk pertanyaan positif dan pertanyaan negatif. Pengukuran menggunakan skala likert dengan empat kriteria, yaitu pernyataan positif: 4 = selalu, 3 = sering, 2 = kadang- kadang, 1 = tidak pernah serta 4 = sangat setuju, 3 = setuju, 2 = kurang setuju, 1= tidak setuju . Sedangkan untuk pernyataan negatif: 4 = tidak pernah, 3 = kadang- kadang, 2 = sering, 1 = selalu serta 4 = tidak setuju, 3= kurang setuju, 2= setuju, 1 = tidak setuju. Lembar tilik bersumber dari daftar tilik milik bidang keperawatan RSUD Al Ihsan digunakan untuk mengamati kinterja perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi nosokomial yaitu SPO Pemasangan infus dan lembar tilik yang bersumber dari komite pencegahan infeksi nosokomial RSUD Al Ihsan yaitu kebersihan tangan. Setiap item diberi bobot berdasarkan kategori (Depkes, 2009). Kategori I adalah tindakan kewaspadaan standar pencegahan infeksi nosokomial yang di rekomendasaikan untuk seluruh rumah sakit, meliputi kebersihan tangan dan pemasangan infus, masing-masing diberi bobot 4. 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen 169 a. Uji Validitas Instrumen Penelitian Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Uji ini dilaksanakan di RSUD Cibabat tanggal 20 Juni 2013 dengan jumlah responden 20 orang. Kuesioner sarana dan prasarana jumlah yang valid 12 pertanyaan dengan nilai alpha cronbach r 0.933 dan kuesioner supervisi terdiri dari 10 pertanyaan valid semua dengan nilai alpha Cronbach r 0.936. Lembar tilik pemasangan infus SPO yang sudah baku dari Bidang keperawatan RSUD Al Ihsan, dan lembar tilik Hand Hygiene yang sudah baku dari SPO komite pencegahan dan pengendalian infeksi RSUD Al Ihsan. b. Uji Reliabilitas Instrument Reliabilitas menunjukkan pengertian bahwa instrument dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, karena instrument tersebut sudah baik. Instrument yang tidak baik tidak tendensius mengarahkan untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Instrument yang sudah dapat dipercaya, reliabel akan menghasilkan data yang benar sesuai dengan kenyataannya, maka beberapa kali diambil akan tetap sama. Uji reliabilitas ini di laksanakan di rumah sakit umum daerah Cibabat tanggal 20 Juni 2013 dengan 20 responden dengan hasil uji reliabilitas yaitu nilai hasil lebih tinggi dari konstanta (0,7) sehingga hasilnya reliabel untuk semua variabel (sarana prasarana 0.933 dan supervisi 0.936). C. Prosedur Penelitian Langkah-langkah atau urutan-urutan yang dikerjakan dalam penelitian ini. Tahapan Prosedur Penelitian : Tahap Persiapan, Tahap pelaksanaan, dan Tahap Akhir Penyusunan laporan penelitian : D. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Hastono (2007) agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, paling tidak ada empat tahapan pengolahan data yang harus dilalui, yaitu : a. Editing, Coding, Processing, dan Cleaning . 2. Analisis Data 170 Analisis data digunakan dengan menggunakan program aplikasi statistik dengan tahapan analisis data sebagai berikut yaitu : a. Analisis Univariat Teknik yang digunakan dalam pengolahan tingkat pengetahuan adalah cara menjumlahkan setiap alternatif jawaban pada setiap item soal kemudian dibandingkan dengan jumlah responden dan dikalikan 100 %, hasilnya berupa persentase, dengan menggunakan rumus sebagai berikut : p x x100% n Keterangan : b. p = presentase x = jumlah skor jawaban responden n = jumlah seluruh item (Arikunto, 2006). Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel dependen dan independen (Hastono, 2007). Pemilihan uji statistik yang digunakan berdasarkan pada jenis data serta jumlah variabel yang diteliti. Pada penelitian ini dilakukan uji Chi square karena variabel independen berbentuk data katagorik dan dependennya katagorik dan waktu yang ditempuh penulis hanya 2 minggu. Pembuktian dengan Chi Square dengan menggunakan formula : Keterangan ( O – E )2 E O = nilai observasi E = nilai ekspektasi (harapan) k = jumlah kolom b = jumlah baris Selanjutnya X2 = Σ uji signifikansi antara data yang di observasi dengan data yang diharapkan, dilakukan dengan menggunakan batas kemaknaan (alpha) α = 5% artinya bila diperoleh p ≤ α, berarti secara signifikan ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan bila p > α, berarti tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. E. Etika Penelitian Untuk menghindari masalah yang tidak diinginkan selama pelaksanaan penelitian, terutama pada saat pengisian jawaban kuesioner oleh responden, maka terlebih dahulu 171 responden diminta kesediaannya untuk menandatangani surat keterangan persetujuan (informed consent). Segala informasi yang di peroleh dari responden akan dijaga kerahasiannya serta hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian ini dan setelah selesai, semua catatan/data mengenai responden akan dimusnahkan. Sebagai pertimbangan etik, peneliti menyakinkan bahwa responden terlindungi dengan aspek-aspek self determinations, privacy, anonymity, confidentiality and protection from discomfort (Polit and Hungler, 2001), dimana uraiannya adalah sebagai berikut : 1. Self determination. Responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak mengikuti penelitian ini secara sukarela dengan menandatangani informed concent 2. Privacy responden dijaga dengan merahasiakan informasi yang didapat dari mereka dan hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian ini 3. Anonymity. Selama penelitian, nama dari responden tidak digunakan sebagai gantinya peneliti menggunakan nomor partisispan 4. Confidentiality. Peneliti menjaga kerahasiaan identitas dan informasi. 5. Protection from discomfort. Responden bebas dari rasa tidak nyaman F. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Plebitis Di Ruang Rawat Inap Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Mei minggu akhir sampai dengan Juli minggu pertama tahun 2013. sedangkan untuk pengambilan data dilakukan pada minggu kedua bulan Juni 2013. B. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai kinerja perawat asosiasi dengan variabel pelatihan, sarana prasarana dan supervisi pada pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di ruang rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah, Zaitun III Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013, disajikan dalam bentuk diagram, bar, dan tabel seperti yang terlihat di bawah ini 1. Analisis Univariat a. Pencegahan infeksi nosokomial melalui tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan 172 Bar 4.1 Distribusi frekuensi perawat asosiasi melalui observasi tindakan pemasangan di Ruang Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013 Bar 4.2 Distribusi frekuensi perawat asosiasi malalui observasi tindakan kebersihan tangan di RSUD Al Ihsan tahun 2013 173 Gambaran kinerja perawat asosiasi dalam pencegahan infeksi nosokomial melalui tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan di ruang rawat inap, zumar, zaitun II bedah dan zaitun III kebidanan RSUD Al Ihsan tahun 2013 secara umumberdasarkan rata-rata tindakan pemasangan infus berdasarkan observasi langsung ruang Zumar 74% , Zaitun II Bedah 76% dan Zaitun III Kebidanan 78%. Nilai rata-rata tindakan Hand hygiene berdasarkan obserbasi langsung yaitu ruang Zumar 75%, ruang Zaitun II Bedah 78% dan Zaitun III Kebidanan 76%. . Bar 4.3 Distribusi frekuensi perawat asosiasi dalam pencegahan infeksi nosokomial plebitis berdasarkan tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan di Ruang Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013 Berdasarkan bar di atas menunjukkan kinerja perawat asosiasi dalam pencegahan infeksi nosokomial melalui tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan adalah 23 orang perawat dengan kinerja baik dalam pencegahan infeksi nosokomial (53.5%) dan 20 orang perawat dalam kinerja kurang baik dalam pencegahan infeksi nosokomial (56.5%). b. Pelatihan Pencegahan Infeksi Nosokomial Diagram 4.1 Distribusi Frekuensi pelatihan pencegahan infeksi nosokomial yang pernah di ikuti di Ruang Rawat Inap Zumar, Zaitun II Bedah, dan Zaitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan tahun 2013 174 Berdasarkan Diagram di atas 43 responden dari Zumar, Zaitun II Bedah, dan zaitun III Kebidanan ialah responden yang pernah mengikuti pelatihanpencegahan infeksi nosokomial sebanyak 10 orang (23.3 %) dan yang belum pernah mengikuti 33 orang (76.7%). c. Sarana dan Prasarana pada Pencegahan Infeksi Nosokomial 4.2 Distribusi Frekuensi ketersediaan sarana prasarana kerja yang mendukung dalam pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Zaitun II Bedah, Zumar, dan Zaitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan. Berdasarkan tabel 4.2 di atas persepsi 43 responden dari Zumar, ZaitunII Bedah, dan Zaitun III Kebidanan ialah kondisi baik 18 (41.9%) dan supervisi kurang 25 (58.1 %). d. Supervisi Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial 175 Diagram 4.3 Distribusi Frekuensi supervisi yang dilakukan perawat primet terhadap perawat asosiasi dalam pencegahan infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Zumar, ZaitunII Bedah, dan Zaitun III Kebidanan RSUD Al Ihsan tahun 2013 Berdasarkan tabel 4.3 di atas meunjukkan bahwa supervisi yang dilakukan perawat primer dalam pencegahan infeksi nosokomial berdasarkan persepsi 43 responden dari Zumar, ZaitunII Bedah, dan Zaitun III Kebidanan yang menyatakan supervisinya baik sebanyak 24 (55.8%) sedangkan supervisi kurang 25 (44.2%). 2. Analisis Bivariat a. Hubungan Pelatihan dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis Tabel 4.1 Distribusi responden Pelatihan yang pernah didapatkan dan Tindakan pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013 Observasi kinerja PA Pelatihan Dalam pencegahan infeksi POR Total P value (C195%) 176 Baik Kurang Baik n % n % n % Pernah 10 100 0 0 10 10 2.538 Tidak 13 39.4 20 60.4 33 0 (1.663- Pernah 10 0.0001 3.876) 0 Jumlah 23 53.5 20 46,5 43 10 0 Dari tabel 4.1 hasil analisis hubungan antara Pelatihan pencegahan infeksi nosokomial dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis (pemasangan infus dan hand hygiene) diperoleh bahwa ada sebanyak 10 (100 %) perawat pelaksana yang pernah pelatihan dan perilakunya baik, sedangkan diantara perawat pelaksana yang belum pernah pelatihan ada 20 (60.4 %) perawat yang perilakunya kurang baik. Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi square didapatkan nilai p= 0,001 (α= 5%), maka dapat disimpulkan Ho di tolak. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan antara pelatihan dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit Al ihsan Bandung. Dengan hasil analisis di atas diperoleh nilai POR 2.538 yang artinya bahwa perawat asosiasi yang mendapat pelatihan mempunyai peluang sebesar 2.5 kali lebih besar untuk pencegahan infeksi nasokomialnya lebih baik dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan pelatihan. b. Hubung an Sarana dan Prasarana dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis Tabel 4.2 Distribusi responden ketersediaan Sarana Prasarana kerja dan Tindakan pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013 Sarana Observasi kinerja PA Prasarana Dalam pencegahan POR Total P value (95% CL) 177 Infeksi nosokomial Baik Kurang Baik n % n % n % Baik 16 88.9 2 11.1 18 100 Kurang 7 28 18 72 25 100 Jumlah 23 53,5 20 46,5 43 100 20.571 0.0000 Dari tabel 4.2 hasil analisis hubungan antara sarana prasana rumah sakit dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis (pemasangan infus dan hand hygiene) diperoleh bahwa sarana prasarana rumah sakit yang baik sebanyak 16 (88.9 %) mempengaruhi tindakan pencegahan infeksi yang kurang sebanyak 2 (11.1 %), sedangkan sarana prasarana rumah sakit yang kurang baik sebanyak 7 (28 %) mempengaruhi tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik sebanyak 18 (72 %). Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi square dengan menggunakan Fisher Exact Test didapatkan nilai p= 0,000 (α= 5%) maka dapat disimpulkan Ho di tolak. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan antara sarana prasarana rumah sakit dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit Al ihsan Bandung. Kemudian dari hasil analisis diperoleh POR = 20.571 artinya sarana prasarana rumah sakit dengan kondisi kurang baik mempunyai peluang 20 kali mempengaruhi tindakan tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik dibandingkan dengan kondisi sarana prasarana yang baik. c. Hubungan Supervisi dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial Plebitis Tabel 4.3 Distribusi responden Supervisi perawat primer terhadap perawat asosiasi dan observasi langsung tindakan pencegahan infeksi nosokomial Plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan tahun 2013 Supervis Observasi Tindakan i PA Total OR P value 178 Kurang Baik (95% CL) Baik n % N % n % Baik 19 79.2 5 20.8 24 100 Kurang 4 21.5 15 78.9 19 100 Jumlah 23 53,5 20 46,5 43 100 14.250 0.0000 Dari tabel 4.3 hasil analisis hubungan antara supervisi perawat primer terhadap perawat asosiasi mengenai pencegahan infeksi nosokomial dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis (pemasangan infus dan hand hygiene) diperoleh bahwa supervisi yang baik sebanyak 19 (79.2%) mempengaruhi tindakan pencegahan infeksi yang kurang sebanyak 5 (20.8 %), sedangkan supervisi yang kurang baik sebanyak 4 (21.5 %) mempengaruhi tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik sebanyak 15 (78.9 %). Berdasarkan hasil uji statistik dengan dengan Uji Chi square dengan menggunakan Fisher Exact Test didapatkan nilai p= 0,000 (α= 5%) maka dapat disimpulkan Ho di tolak. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan antara supervisi dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit Al ihsan Bandung. Kemudian dari hasil analisis diperoleh POR = 14.250 artinya supervisi perawat primer kurang baik mempunyai peluang 14 kali mempengaruhi tindakan tindakan pencegahan infeksi dibandingkan dengan supevisi perawat primer yang baik. C. Pembahasan a. Kinerja perawat asosiasi (pelatihan, sarana prasarana dan supervisi) dalam pencegahan infeksi nosokomial plebitis di rumah sakit umum daerah Al ihsan tahun 2013 Menurut Wibowo (2008) kinerja merupakan suatu proses tentang bagaimana pekerjaan berlangsung untuk mencapai hasil kerja. Bila dihubungkan dengan definisi Wibowo (2008), maka pencapaian kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit umum daerah Al Ihsan `tahun 2013 secara umum berdasarkan 2 tindakan pemasangan infus dan hand hygiene 53,5% baik dan 46,5% kurang baik. sebagai gambaran dari 43 responden 65% laki-laki 35% perempuan, tingkat pendidikan D3 Keperawatan semua, usia rata-rata 20-25 tahun 60%, 25-30 tahun 30% 179 dan 30 tahun keatas 10%, dengan masa kerja kurang dari 1 tahun 20%, 2-5 tahun 70% dan lebih dari 5 tahun 10%. Berdasarkan WHO (2002) dan Djojosugito (2001) cuci tangan merupakan bagian dari universal precaution yang sangat penting untuk dilakukan bagi seluruh petugas kesehatan khususnya perawat. Bady (2007) perawat sangat dalam pengendalian infeksi nosokomial terutama dalam menekan angka kejadian infeksi nosokomial di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Dari penelitian tersebut jelas dikatakan bahwa perawat sangat berperan dalam menekan terjadinya angka infeksi nosokomial namun juga sebaliknya, perawat dapat berperan dalam meningkatkan angka kejadian infeksi nosokmial di rumah sakit. Kinerja yang dilakukan oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit umum daerah Al Ihsan dalam melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial dapat ditingkatkan melalui semangat, disiplin, tanggungjawab, melakukan tindakan sesuai standard operational procedure yang ditetapkan oleh rumah sakit. Selain itu motivasi dan keinginan untuk selalu melakukan yang terbaik yang ditampilkan melalui kinerja yang mengarah pada tujuan organisasi yang jelas dan terarah membantu individu dalam mencapai kinerja yang diharapkan.Wahyudi (2008) yang mengatakan bahwa hasil kinerja dapat dicapai secara maksimal apabila individu mempunyai kemampuan dalam mendayagunakan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sedangkan Mangkunegara (2000) unjuk kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Job performance menurut Campbell (2007) adalah perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi dan dapat diukur pada level profesional dan dapat dilihat dari perilakunya. b. Hubungan Kompetensi (pelatihan) perawat asosiasi dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis. Berdasarkan hasil analisa menunjukkan pelatihan mempunyai hubungan dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis, hal ini sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kompetensi (pelatihan) dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis tersebut 20 orang (60,6%) memiliki kinerja kurang dalam pencegahan infeksi nosokomial, jadi dalam hal ini ada pengaruh bila pelatihan pencegahan infeksi tidak dilakukan dapat mempengaruhi perilaku perawat asosiasi dalam melakukan tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan, hal ini 180 sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kompetensi (pelatihan) dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bady, Kusnanto & Handono (2007) yang menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan kinerja SDM dalam pengendalian infeksi nosokomial (r = 0,233 dan p = 0,045). Mangkunegara (2009) suatu organisasi perlu melibatkan sumber daya manusia pada aktivitas pelatihan. Pelatihan diharapkan dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya terutama dalam meningkatkan perilaku yang lebih baik dari pegawai. Pelatihan tidak saja diperuntukkan bagi pegawai baru namun perlu juga diberikan pada pegawai lama untuk dapat terus meningkatkan keterampilan yang dimilikinya. Pelatihan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi individu. Individu yang kompeten memiliki kemampuan yang memadai dalam melakukan pekerjaannya. Selama ini di rumah sakit al Ihsan pelatihan pencegahan infeksi nosokomial hanya kepada IPClink dan pegawai baru belum mencakup kebersihan tangan dan pelaksanaan SPO, sehingga informasi tentang pencegahan infeksi belum menyeluruh mengingat di lapangan belum ada sosialisasi dan diseminasi oleh IPC-link yang sudah mendapat pelatihan tentang pencegahan infeksi nosokomial. Kurangnya informasi yang ada dan mudah di jangkau dan di ingat sehingga perawat asosiasi kadang melakukan sesuatu tanpa koordinasi seperti pemasangan banner dan pamflet tentang kebersihan tangan, Etika batuk dll diharapkan dapat mengingatkan lagi pentinganya prinsip pencegahan infeksi dalam prosedur tindakan. Oleh karena itu manajemen Rumah Sakit umum daerah Al ihsan perlu memperhatikan 33 orang perawat asosiasi yang belum mendapatkan pelatihan. Selain itu perlu juga mengikutsertakan perawat yang sudah pernah mengikuti pelatihan diikutkan kembali sebagai penyegaran mengingat ilmu tentang infeksi nosokomial berkembang dengan cepat sehingga bila tidak sering mengikuti seminar, workshop dan pelatihan dikhawatirkan akan ketinggalan informasi terkini mengenai teori atau penelitian pencegahan infeksi. c. Hubungan Dukungan Organisasi (Ketersediaan sarana prasarana) dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis. Berdasarkan hasil analisa chi-square menunjukkan variabel ketersediaan sarana dan prasarana mempunyai korelasi tinggi dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis, dengan proporsi sedikitnya persepsi 7 orang (28%) dapat berakibat lebih besar sekitar 18 (72%) dapat diasumsikan bila sarana tidak memadai infeksi 181 nosokomial dapat terjadi sehingga mempengaruhi perilaku perawat asosiasi dalam melakukan tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan, hal ini sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan manajemen (sarana dan prasarana) dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bady Kusnanto & Handono (2007) didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara fasilitas RS dengan kinerja SDM dalam pengendalian infeksi nosokomial (r = 0,184 dan p = 0,100). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Setiawati (2009) mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, ketersediaan fasilitas dengan ketaatan petugas kesehatan melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial melalui hand hygiene. Sarana dan prasarana kerja merupakan salah satu faktor yang mendukung individu dalam bekerja. Tanpa sarana atau perlengkapan kerja yang memadai pegawai tidak dapat melakukan pekerjaannya (Simanjuntak, 2005). mengatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana kerja mempengaruhi kinerja pegawai. Ketersediaan sarana prasarana sangat mempengaruhi pencegahan infeksi karena di lapangan berdasarkan observasi masih banyaknya tempat cuci tangan tanpa di lengkapi handuk tissue dan kadang sabun cuci tangan dan bila ini di biarkan mengakibatkan perawat asosiasi kembali lagi ke kondisi dahulu dimana handuk yang sama masih di pakai untuk beberapa kali cuci tangan dan menggunakan tissue gulung sehingga terjadi pemborosan. Penggunaan hand rub belum maksimal karena di sisi lain tidak mencukupi dengan rasio perawat/pasien di lapangan seharusnya tiap 1 ruang kamar terpasang hand rub dan setiap 1 orang perawat yang akan memeriksa pasien harus membawa 1 hand rub botol kecil hal ini di sebabkan tempat cuci tangan jauh. Ketersediaan hand rub isi dan botolnya sangat terbatas sehingga memungkinkan terjadi Toping up padahal hal tersebut tidak boleh di lakukan karena berdasarkan data CDC terbaru tahun 2011 tempat desinfectan bila tidak di ganti berpotensi menjadi sumber infeksi. Penggunaan kapas alkohol untuk desinfeksi area infus masih di gunakan karena alkohol swab tidak tersedia dan infus set steril masih terbatas sehingga dapat enimbulkan resiko infeksi aliran darah primer meski belum di lakukan uji kultur karena selain biaya mahal dan waktu yang lama di rumah sakit al ihsan belum ada ahli mikrobiologist. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan sarana dan prasarana kerja dengan kinerja perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi 182 nosokomial di ruang rawat inap karena perlunya ketersediaan sarana dan prasarana yang berhubungan dengan infeksi nosokomial (APD, sarana infus set steril dan sarana kebersihan tangan ) secara terus menerus dan menjamin selalu tersedia serta laik pakai. d. Hubungan Dukungan Manajemen (Supervisi) terhadap perawat asosiasi dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis. Berdasarka hasil analisa chi-square menunjukkan variabel supervisi perawat primer terhadap perawat asosiasi mempunyai korelasi tinggi dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial plebitis, dengan proporsi supervisi yang kurang baik sebesar 21,4% terhadap perawat asosiasi dapat berakibat dalam melakukan kesalahan dalam melakukan tindakan infeksi nosokomial sebesar 78,9%, jadi dalam hal ini ada pengaruh bila supervisi dalam pencegahan infeksi tidak dilakukan dapat mempengaruhi perilaku perawat asosiasi dalam melakukan tindakan pemasangan infus dan kebersihan tangan, hal ini sesuai dengan hipotesa awal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan manajemen (supervisi) dengan pencegahan infeksi nosokomial plebitis. Berdasarkan penelitian Wiyanti (2009) bahwa ada hubungan bermakna antara supervisi kepala ruangan terhadap perawat pelaksana. hasil penelitian yang dilakukan oleh Saljan (2005) dan Saefulloh (2009) menunjukkan semakin baik supervisi, semakin baik pula kinerja perawat pelaksana. Supervisi adalah proses yang memacu anggota organisasi untuk berkontribusi secara positif agar tujuan organisasi dapat tercapai. Supervisi dalam keperawatan dilakukan untuk memastikan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan organisasi serta sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Keliat, dkk, 2006). Aktivitas pada supervisi adalah mengajarkan, mengobservasi, dan mengevaluasi secara terus menerus dengan adil, sabar, serta bijaksana sehingga setiap perawat pelaksana dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik, terampil, aman, cepat, tepat secara menyeluruh sesuai dengan standar. Supervisi bertujuan untuk mengorientasikan, melatih kerja, memimpin, memberikan arahan, dan mengembangkan kemampuan perawat pelaksana (Swansburg, 2000). Kondisi di lapangan supervisi belum maksimal sehingga banyak kejadian perawat asosiasi yang magang di bimbing oleh perawat dalam satu shift sehingga SPO pencegahan infeksi belum sepenuhnya di jalankan mengingat belum adanya supervisi rutin. Supervisi yang di kembangkan saat ini masih bersifat supervisi supportif (berorientasi tindakan) belum mengarah ke supervisi edukatif jadi kadang perawat 183 asosiasi masih belum mengetahui apa yang terjadi bila tindakan tersebut di lakukan dan tidak di lakukan serta dampaknya terhadap pencegahan infeksi nosokomial. Informasi terkini kadang tidak tersampaikan kepada perawat asosiasi saat supervisi sehingga kadang masih menggunakan pola yang lama. Supervisi pencegahan infeksi masih bersifat tindakan belum ada evaluasi karena peran komite PPI belum maksimal. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari 43 responden lebih dari setengahnya tindakan pencegahan infeksi nosokomial dalam kategori baik, pelatihan terdapat 33 orang yang belum mendapat pelatihan pencegahan infeksi, sarana prasarana lebih dari 58% dalam kondisi kurang baik dan supervisi lebih dari 55.5% supervisi perawat primer telah melakukan dengan baik. Ada hubungan antara pelatihan dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruangan rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan. Ada hubungan antara dukungan manajemen (sarana dan prasarana) dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan. Ada hubungan antara dukungan organisasi (supervisi) dalam pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap Zumar, Zaitun II Bedah dan Zaitun III Kebidanan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rineka Cipta As‟ad, M. (2008). Psikologi industri. Edisi 4. Cetakan ke sepuluh 184 GAMBARAN PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR (WUS) TENTANG ALAT KONTRASEPSI BAWAH KULIT (AKBK) DI DESA WANGUNSARI KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2012 THE DESCRIPTION OF FERTILE AGE WOMEN`S KNOWLEDGE ABOUT CONTRACEPTIVES UNDER THE SKIN IN THE VILLAGE OF WANGUNSARI DISTRICT OF LEMBANG WEST BANDUNG REGENCY IN 2012 Yosi Oktri, Dyeri Susanti, dan Neni Nurjanah Program Studi Kebidanan STIKes Budi Luhur ABSTRACT 185 Background:Family planning is an effective way of working to prevent maternal and child mortality. One of Family planning in Indonesia is birth control Under the skin. It is very few people in Indonesia who use contraceptives under the skin. That is only 7.19% it is because the lack of knowledge about it. Aims: The writer would like to find out the description of Fertile Age women's knowledge about Contraceptives under the Skin in the village of Wangunsari district of Lembang West Bandung Regency. Methods: Descriptive with the approaching of cross-sectional. The population of this research is that the entire Fertile Age women in the village of Wangunsari sub-district Lembang Bandung regency west by the number of samples many as 97(stratified of sampling). Technical data used data primary, secondary and data secondary data from the village of while data primary by way of distributing a questionnaire to respondents and an analyzer used was analysis univariate . Results: Women's knowledge about Contraceptives Age Fertile Bottom Skin in the village of Wangunsari district of Lembang West Bandung Regency pointed out that of the 97 Women of fertile Age most of which as many as 40 people(41.2%) had less knowledge. Conclusion: Description knowledge of Fertile-age Women birth control under the Skin in the village of Wangunsari District of Lembang West Bandung Regency mainly is 40 people less knowledgeable (41.2%). Expected health worker and village government Wangunsari further enhance both the counseling and guidance program of family planning. Keywords: Knowledge, contraceptives under the skin PENDAHULUAN Keluarga Berencana (KB) merupakan cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu dan anak, karena dapat menolong pasangan usia (PUS) untuk menghindari/melindungi kaum ibu dari kehamilan dan resiko tinggi. Hal ini dapat mengurangi AKI (angka Kematian Ibu) dan AKB (Angka Kematian Bayi). Keluarga Berencana (KB) juga merupakan sarana untuk membantu 186 pasangan usia subur (PUS) menghindari keinginan, mengatur waktu dan umur suami istri saat kelahiran dan menentukan jumlah anak dalam keluarga (BKKBN Jabar, 2009). Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat permanen. Penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang memenuhi fertilitas. (Wiknjosastro, 2005). Ada beberapa macam metode kontrasepsi yaitu metode sederhana seperti: KB alamiah, coitus interuptus, mekanis (kondom), kimiawi (spermised) dan Metode modern seperti : kontrasepsi hormonal (pil, suntik, implant/AKBK) IUD/AKDR, kontrasepsi mantap (MOW dan MOW) (Hartanto, 2004). Program KB awalnya di maksudkan untuk mengatur kelahiran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Keberhasilan program KB dapat dilihat dari kesertaan sampai Juni 2009 pasangan usia subur (PUS) yang dibina menjadi peserta KB aktif di Jawa Barat mencapai 74,98% dari 6.382.691 PUS dengan berbagai kontrasepsi. IUD 430.095 peserta (13,60%), MOW 111.135 peserta (3,52%), MOP 61048 peserta (1,93%), kondom 38.742 peserta (1,23%), Implant 227.277 peserta (7,19%), suntik 1.206.245 (38,16%) dan penggunaan pil 1.086.857 peserta (34,38) (BKKBN Jabar, 2009). Jumlah peserta KB di Bandung Barat pada tahun 2009 yaitu IUD 13.956 peserta (13,77%), MOW 3.828 peserta (3,78%), MOP 2.542 peserta (2,51%), kondom 1.020 peserta (1,01%), Implant 8449 peserta (8,33%), suntik 33.125 (32,67%) dan penggunaan pil 38.465 peserta (37,94%) (BKKBN Jabar, 2009). Tabel 1.1 Jumlah Akseptor Keluarga Berencana Puskesmas Lembang periode Januari sampai dengan Desember tahun 2011 Jenis kontrasepsi 187 No Desa WUS IUD MOW MOP Kondom AKBK Suntik Pil 1 Pagerwangi 2.300 77 56 15 3 81 1.317 367 2 Kayuambon 1.832 305 94 1 24 29 947 168 3 Lembang 3.322 445 151 8 40 96 1335 609 4 Mekarwangi 1.577 85 74 45 16 110 580 244 5 Wangunsari 2.813 108 72 18 9 80 1210 1743 Jumlah 11.804 1020 447 87 92 396 5389 3131 (Sumber : UPTD KB Kecamatan Lembang) Pada Tabel 1.1 tertera jumlah akseptor keluarga berencana pada tahun 2011 wilayah kerja puskesmas Lembang terdiri dari 5 wilayah yaitu Pagerwangi, Kayuambon, Lembang, Mekarwangi, dan Wangunsari. Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) merupakan alat kontrasepsi hormonal yang paling sedikit digunakan di Desa Wangunsari dilihat dari jumlah Wanita subur yang ada di Desa tersebut yaitu 80 orang dari 2.813 WUS. Padahal bila dilihat dari kelebihannya implant mempunyai keuntungan yang cukup unggul dari kontrasepsi hormon lainnya. Alat kontrasepsi bawah kulit atau dikenal juga dengan istilah implant progestin umumnya berupa kapsul plastik, tipis, fleksibel, yang mengandung 36 mg levonorgestrel yang dimasukkan ke dalam kulit lengan wanita. Setelah diberi obat bius, dibuat sayatan dan dengan bantuan jarum dimasukkan kapsul implant. Jenis alat kontrasepsi bawah kulit yaitu norplant terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dan lama kerjanya 5 tahun. Implanon terdiri dari satu batang putih lentur dan lama kerjanya 3 tahun sedangkan jadena/implanon terdiri dari 2 batang dengan lama kerja 3 tahun. AKBK ini bisa digunakan oleh wanita yang sudah punya anak ataupun belum (Saifuddin, 2006). 188 Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik antara umur 20-45 tahun. Pada wanita usia subur ini berlangsung lebih cepat dari pria. Puncak kesuburan ada pada rentang usia 20-29 tahun. Pada usia ini wanita memiliki kesempatan 95% untuk hamil. Pada usia 30-an persentasenya menurun hingga 90%. Sedangkan memasuki usia 40, kesempatan hamil berkurang hingga menjadi 40%. Setelah usia 40 wanita hanya punya maksimal 10% kesempatan untuk hamil (BKKBN, 2009). Berdasarkan survey pendahuluan yang dilaksanakan oleh peneliti kepada 10 Wanita Usia Subur (WUS) di Desa Wangunsari didapatkan bahwa 6 dari 10 WUS tidak tahu tentang alat kontrasepsi bawah kulit, terlihat dari tidak tahunya WUS tersebut tentang pengertian AKBK dan tempat pemasangannya dan 4 orang lainnya hanya mengetahui pengertian AKBK dan tempat pemasangannya saja. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana gambaran pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat?”. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Pada penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan wanita usia subur (WUS) tentang Alat Kontrasepsi bawah Kulit (AKBK). Adapun sub variabel meliputi: Pengertian Alat kontrasepsi, Pengertian Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK), Jenis AKBK, Mekanisme kerja AKBK, Keuntungan AKBK, Kerugian AKBK, Indikasi Pemakasian AKBK, Indikasi Pemakasian AKBK, dan Kontra indikasi AKBK. Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, 189 memungkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap objek atau suatu fenomena. Definisi oprasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristik (Hidayat, 2007). Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Hasil ukur adalah Baik jika jawaban benar 76-100%, Cukup jika jawaban benar 56-75%, Kurang jika jawaban benar ≤ 55%. Skala ukur yang digunakan adalah Ordinal. B. 1. Populasi dan Sampel Penelitian. Populasi Populasi merupakan seluruh subjek (manusia, binatang percobaan, data laboratorium, dll) yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang ditentukan. (Riyanto, 2011). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita Usia Subur (WUS) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang kabupaten Bandung Barat periode Januari-Desember 2011 yaitu sebanyak 2813 responden. 2. Sampel Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili atau representatif populasi (Riyanto, 2011). Jumlah sampel yang akan diteliti adalah menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2005) sebagai berikut : N 1 N (d ) 2 2813 n 1 2813 (0,1) 2813 n 1 28.13 n 96,6 97 orang n Keterangan: n : Besar Sampel. N : Besar Populasi. d : Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10). 190 3. Teknik sampling Teknik pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling yaitu sampel diambil secara acak dari setiap RW. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik unit umum dari anggota populasi, kemudian menentukan strata atau lapisan karakteristik unit tersebut secara random (Notoatmodjo, 2005). C. Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan data Data dalam penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu: a. Data primer, adalah data yang dikumpulkan oleh penulis sendiri yaitu dengan teknik wawancara terpimpin atau interview yang dilakukan berdasarkan pedoman berupa kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. b. Data sekunder, adalah data yang diambil dari suatu sumber dan biasanya data itu sudah dikombinasi lebih dahulu oleh instansi atau yang mempunyai data, yaitu diperoleh dari catatan medis atau diagnosa dokter, pengamatan KMS, dan laporan tahunan. Untuk mengukur pengetahuan WUS tentang AKBK di Desa Wangaunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat tahun 2012, Peneliti menggunakan data primer yang dikumpulkan oleh Peneliti. 2. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan data penelitian. Data yang diambil adalah data primer yang diperoleh secara langsung dari responden dengan menggunakan dalam bentuk multiple choise. Pengambilan data dilakukan setelah memberi penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan dan tata cara penelitian serta meminta kesediaan dari responden untuk dijadikan sampel penelitian, kemudian responden diminta untuk mengisi kuesioner dengan lengkap. Adapun 191 kuesioner yang dilakukan adalah kuesioner tertutup yaitu kuesioner yang telah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih. Kuesioner tersebut berisi 20 pertanyaan multiple choise. 3. Uji Validitas Uji validitas ini dilakukan untuk tiap item. Teknik uji yang digunakan adalah Korelasi Person Product Moment. Skor setiap item pertanyaan yang di uji kevalidannya dikorelasikan dengan skor total seluruh item dengan rumus : rxy n XY X . Y n. X 2 X . n. Y 2 Y 2 2 ( Riyanto, 2011 ) Keterangan : rhitung : Koefisien Korelasi. n : Jumlah Responden. ∑ Xi : Jumlah Skor Pertanyaan. ∑ Yi : Skor Total Pertanyaan. Selanjutnya bila r hitung ≥ r tabel artinya pertanyaan tersebut valid (Riyanto, 2011). Uji validitas dilakukan di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat pada tanggal 28 April 2012. Uji validitas dilakukan kepada 20 responden dengan 25 pertanyaan. Dan didapatkan hasil dari 25 pertanyaan terdapat 5 pertanyaan yang tidak valid yaitu pertanyaan no 6, 11, 16, 18, 23 dan pertanyaan yang tidak valid tersebut tidak digunakan karena tidak mempengaruhi hasil penelitian. 4. Uji Reliabilitas 192 Reliabilitas adalah kestabilan pengukuran, alat dikatan reliabel jika digunakan berulangulang nilai sama. Sedangkan pertanyaaan dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. (Riyanto, 2011) Teknik uji reliabilitasnya “Cronbach’s Alpha” dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 2 k Si rii 1 2 k 1 S t Keterangan: rii = Koefisien reliabilitas tes k = Banyaknya butir pertanyaan 2 = Varians skor butir St2 = Varians skor total Si Apabila rii > r tabel berarti reliabel dan apabila rii < r tidak reliable (Riyanto, 2011 ). Dalam penelitian ini dinyatakan 20 dari 25 pertanyaan sudah reliabel karena r Alpha > r tabel, dengan nilai Cronbah’s Alpha = 0,965 dan nilai r tabel = 0,444 dengan tingkat kepercayaan 0,01 D. Prosedur Penelitian a. Sebelum Penelitian 1) Merumuskan Masalah. 2) Menentukan topik penelitian. 3) Mencari data awal. 4) Penyusunan proposal penelitian. 5) Mengikuti bimbingan proposal penelitian. 6) Meminta perijinan pada institusi terkait. b. Selama Penelitian 193 Bekerja sama dengan petugas Desa Wangunsari Kecamatan Lembanng Kabupaten Bandung Barat Dalam pengumpulan data. E. Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data Menurut Riyanto (2011) agar analisis menghasilkan informasi yang benar, ada empat tahapan dalam mengolah data, yaitu: Editing, Coding, Processing, dan Cleaning. b. Analisa Data Analisis yang digunakan dalam peneltian ini adalah analisa univariat. Analisis univariat dimaksudkan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi dari variabelvariabel yang diamati. Data hasil pengamatan dicatat dan kemudian diringkas dalam bentuk tabel yang dikenal dengan distribusi frekuensi yang kemudian dihitung proporsi atau presentasinya dan disajikan dalam bentuk Tabel (Notoatmodjo, 2005). Keterangan : P = Presentasi. a = Skor jawaban yang benar. b = Skor maksimum. Pengukuran dari interpretasi dari data hasil penelitian di kelompokan dalam tiga kategori yang mengacu pada teori Arikunto (2006). 1. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100% 2. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75% 3. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai ≤ 55% F. Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian, menurut Hidayat (2007) peneliti harus mendapat adanya rekomendasi dari institusi atau pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada institusi atau lembaga tempat penelitian untuk mencegah timbulnya masalah etika, maka dilakukan hal194 hal sebagai berikut: Persetujuan (Informed Consent), Tanpa nama (Anonimity), dan Kerahasiaan (Confidentiality). G. Lokasi dan Waktu Penelitia Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Waktu penelitian dimulai Mei-Juni 2012. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Table 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Kategori Frekuensi Presentase Baik 18 18.6 Cukup 39 40.2 Kurang 40 41.2 Total 97 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.1 pengetahuan WUS tentang AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar 195 WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 40 orang (41,2 %), sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 18 orang (18,6 %), dan yang memiliki pengetahuan cukup 39 orang (40,2%). 2. Pengetahuan WUS Tentang Pengertian Kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Pengertian Kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Kategori Frekuensi Presentase Baik 79 81.4 Cukup 0 0 Kurang 18 18.6 Total 97 100 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan hasil analisa pada tabel 4.2 pengetahuan WUS tentang pengertian kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan baik yaitu 79 orang (81,4 %), sebagian kecil berpengetahuan kurang sebanyak 18 orang (16,15%) dan yang memiliki pengetahuan cukup 0 orang (0%). 3. Pengetahuan WUS Tentang Pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Kategori Frekuensi Presentase Baik 47 48.5 Cukup 0 0 Kurang 50 51.5 196 Total 97 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan hasil analisa pada tabel 4.3 pengetahuan WUS tentang pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS berpengetahuan kurang yaitu 50 orang (51,5%), sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 47 orang (48,5%) dan yang memiliki pengetahuan cukup 0 orang (0%). 4. Pengetahuan WUS Tentang Jenis-jenis AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Jenis-jenis AKBK di Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Kategori Frekuensi Presentase Kurang 45 46.4 cukup 0 0 kurang 52 53.6 Total 97 100.0 Desa Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan hasil analisa pada tabel 4.4 pengetahuan WUS tentang jenis-jenis AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 52 orang (53,6%), sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 45 orang (46,4%) dan yang memiliki pengetahuan cukup 0 orang (0%). 5. Pengetahuan WUS Tentang Cara Kerja AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Cara Kerja AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. 197 Kategori Frekuensi Presentase Baik 14 14.0 Cukup 32 33.0 Kurang 51 52.6 Total 97 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.5 pengetahuan WUS tentang cara kerja AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 51 orang (52,6%) sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 14 orang (14.0%), dan yang memiliki pengetahuan cukup 32 orang (33,0%). 6. Pengetahuan WUS Tentang Keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS tentang Keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Kategori Frekuensi Presentase Baik 24 24.7 Cukup 30 30.9 Kurang 43 44.3 Total 97 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan hasil analisis tabel 4.6 pengetahuan WUS tentang keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 43 orang (44.3 %), sebagian kecil 198 memiliki pengetahuan baik sebanyak 24 orang (24,7%), dan yang memiliki pengetahuan cukup 30 orang (30,9%) 7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Kerugian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Kerugian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Kategori Frekuensi Presentase Baik 34 35.1 Cukup 0 0 Kurang 63 64.9 Total 97 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan dari analisis tabel 4.7 pengetahuan WUS tentang kerugian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 63 orang (64.9%), sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 34 orang (35,1%) dan yang memiliki pengetahuan cukup 0 orang (0%). 8. Pengetahuan WUS tentang Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Penegetahuan WUS Tentang Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Kategori Frekuensi Presentase Baik 30 30.9 Cukup 20 20.6 Kurang 47 48.5 Total 97 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 199 Berdasarkan dari analisis pada tabel 4.8 pengetahuan WUS tentang indikasi AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 47 orang (48,5%), sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 15 orang (30,9%), dan yang memiliki pengetahuan cukup 20 orang (20,6%). 9. Pengetahuan WUS Tentang Kontra Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Pengetahuan WUS Tentang Kontra Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Kategori Frekuensi Presentase Baik 32 33.0 Cukup 18 18.6 Kurang 47 48.5 Total 97 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Berdasarkan dari analisis pada tabel 4.9 pengetahuan WUS tentang kontraindikasi AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar WUS memiliki pengetahuan kurang yaitu 47 orang (48,5%), sebagian kecil memiliki pengetahuan baik sebanyak 32 orang (33.0%), dan yang memiliki pengetahuan cukup 18 orang (18.6%). B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diketahui bahwa pengetahuan WUS terhadap Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang 200 Kabupaten Bandung Barat sebagian besar 40 responden (41.2%) memiliki kategori pengetahuan kurang. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pendidikan dimana sebagian besar responden berpendidikan SMP, sehingga renponden kurang mengetahui tentang pengertian, jenis-jenis, cara kerja, keuntungan, kerugian, indikasi dan kontra indikasi AKBK. Kurangnya pengetahuan responden dapat menyebabkan Akseptor AKBK sedikit bahkan menurun dari tahun ke tahun karena ketidaktahuan Akseptor tentang alat kontrasepsi yang mereka gunakan. Hasil penelitian ini memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Leni Nuraeni di Puskesmas Soreang Kabupaten Bandung tahun 2009 sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik. Hal ini disebabkan oleh faktor pendidikan responden yang memiliki jenjang pendidikannya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa “Tingkat pendidikan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula pemahaman seseorang terhadap informasi yang didapat dan pengetahuan pun akan semakin tinggi”. 1. Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Hasil analisis pengetahuan WUS tentang kontrasepsi di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar responden 81,4% memiliki pengetahuan baik. Hasil presentasi ini diperoleh 79 orang dari 97 responden dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dengan baik. Hal ini disebabkan karena responden berpengalaman dalam menggunakan alat kontrasepsi. Seperti yang diuraikan oleh Notoatmodjo (2003) Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. 2. Pengetahuan WUS Tentang Pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Hasil analisis pengetahuan WUS tentang pengertian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 50 responden (51,5%) memiliki 201 pengetahuan kurang. Hasil presentasi diperoleh 50 orang dari 97 responden menjawab pertanyaan yang diajukan kurang tepat. Kurangnya pengetahuan responden tentang AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat dapat dipengaruhi dari kurangnya penyuluhan atau informasi dari tenaga kesehatan tentang AKBK. Hal ini sesuai dengan yang dikemukaan oleh Meliono (2007) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu pendidikan, media dan keterpaparan informasi. 3. Pengetahuan WUS Tentang Jenis-jenis AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Hasil analisis pengetahuan WUS tentang jenis-jenis AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar 52 responden (53.6%) memiliki pengetahuan kurang. Hal ini terlihat dari sebgian besar responden yang kurang tepat dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Ini disebabkan karena WUS lebih memilih kontrasepsi selain AKBK sehingga pengetahuan tentang jenis-jenis AKBK kurang diketahui oleh responden. Pengetahuan tentang KB sangat penting bagi akseptor, karena apabila seorang akseptor KB yang memakai alat kontrasepsi tanpa didasari pengetahuan maka keikutsertaannya dalam KB tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003). 4. Pengetahuan WUS Tentang Cara Kerja AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Hasil analisis pengetahuan WUS tentang cara kerja AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar yaitu 51 responden (52,1%) memiliki pengetahuan kurang. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya responden yang memahami tentang cara kerja AKBK serta kurangnya penyuluhan/informasi dari tenaga kesehatan tentang cara kerja Alat Kontrasepsi terutama AKBK. Cara kerja AKBK diantaranya adalah lendir serviks menjadi kental, mengganggu proses pembentukan endometrium sehingga sulit terjadi implantasi, mengurangi transportasi sperma dan menekan ovulasi. (Saifuddin, 2006). 202 5 Pengetahuan WUS Tentang Keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Hasil analisis pengetahuan WUS tentang keuntungan AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 43 responden (44,3%) memiliki pengetahuan kurang. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya konseling tentang keuntungan alat kontrasepsi terhadap WUS saat menggunakan kontrasepsi menyebabkan kurang tahunya responden terhadap keuntungan dari Alat Kontrasepsi. Hal ini sesuai dengan dikemukakan oleh Meliono (2007) bahwa salah satu faktor pengetahuan adalah keterpaparan informasi. Informasi dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan observasi terhadap dunia sekitar kita serta diteruskan melalui komunikasi. 6. Pengetahuan WUS Tentang Kerugian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Hasil analisis pengetahuan WUS tentang kerugian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar yaitu 63 responden (64.9%) memiliki pengetahuan kurang. Kurangnya pengetahuan responden dipengaruhi oleh sebagian besar responden belum pernah menggunakan AKBK sehingga pengetahuan responden kurang mengenai kerugian AKBK. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003), pengetahuan diperboleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. 7. Pengetahuan WUS Tentang Indikasi Pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Hasil analisis pengetahuan WUS tentang indikasi pemakaian AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 47 responden (48,5%) memiliki pengetahuan kurang. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya konseling tentang Indikasi Pemakaian AKBK terhadap WUS saat menggunakan kontrasepsi menyebabkan kurangnya responden terhadap indikasi pemakaian AKBK. Hal ini sesuai dengan dikemukan oleh Meliono (2007) bahwa salah satu faktor pengetahuan adalah keterparan informasi. 203 8. Pengetahuan WUS Tentang Kontraindikasi AKBK di Desa Wangunsari Kecamtan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Hasil analisis pengetahuan WUS tentang kontraindikasi AKBK di Desa Wangunsari Kecamtan Lembang Kabupaten Bandung Barat yaitu sebagian besar 47 responden (48,5%) memiliki pengetahuan kurang. Kurangnya pengetahuan responden tentang Kontraindikasi dari AKBK di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat dapat dipengaruhi dari kurangnya penyuluhan atau informasi dari tenaga kesehatan tentang AKBK. Hal ini sesuai dengan yang diuraikan oleh Meliono (2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu pendidikan, media dan keterpapan informasi. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka disimpulkan bahwa : 1. Secara keseluruhan pengetahuan WUS terhadap Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) di Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sebagian besar 40 responden (41.2%) memiliki kategori pengetahuan kurang. 2. Responden memiliki pengetahuan baik sebesar 81,4%, 50 responden (51,5%) memiliki pengetahuan kurang, sebanyak 52 orang (53,6%) mempunyai pengetahuan kurang baik. 3. Pengetahuan WUS tentang cara kerja AKBK yaitu 51 orang (52,6%) mempunyai pengetahuan kurang baik 4. Hasil penelitian pengetahuan WUS tentang keuntungan yaitu 43 orang (44,3%) mempunyai pengetahuan kurang baik. 204 5. Pengetahuan WUS tentang Kerugian AKBK yaitu 63 orang (64%) mempunyai pengetahuan kurang. 6. Pengetahuan WUS tentang Indikasi Pemakaian AKBK yaitu besar 47 orang (48,5%) mempunyai pengetahuan kurang. 7. Pengetahuan WUS tentang Kontraindikasi Pemakaian AKBK yaitu 47 orang (48,5%) mempunyai pengetahuan kurang. 8. Pengetahuan WUS mempunyai pengetahuan kurang dalam mengetahui mengenai AKBK. B. Saran Disarankan bagi pengembangan ilmu kesehatan khususnya ilmu kebidanan yang difokuskan pada teori tentang Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) seiring perkembangan zaman. Disarankan penelitian ini dapat dijadikan bahan dokumentasi atau sebagai bahan acuan untuk menambah pengetahuan bagi para Mahasiswi dalam mengadakan penelitian selanjutnya secara sistematis dan ilmiah. 205 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT. RINEKA CIPTA. BKKBN, 2009. Peserta KB Aktif Jalur Pelayanan Pemerintah + Swasta Dibanding PUS Laporan diperoleh pada tanggal 20 Januari 2012. http://prov.bkkbn.go.id/jabar/data.php?catid=24. Data Peserta KB, PUS, WUS Periode Januari sampai dengan Desember. 2011. UPTD KB Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Hartanto, Hanafi, 2004. KB (Keluarga Berencana) dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hidayat, A.Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. Meliono, Irmayanti dkk. 2007. MPKT modul 1. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta : PT.RINEKA CIPTA. , 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT.RINEKA CIPTA. Riyanto, Agus, 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika Saifuddin, Abdul Barri, 2006, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Wiknjosastro, Hanifa, 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. 206 HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN TERHADAP FUNGSI KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA PADA KELUARGA ANGGOTA BKR DAN KELUARGA BUKAN ANGGOTA BKR DI KELURAHAN JAMIKA KECAMATAN BOJONGLOA KALER KOTA BANDUNG Wini Hadiyani STIKep PPNI Jawa-Barat Email : winhad@yahoo.com Abstract Juvenile delinquency may arise due to malfunction families and low emotional intelligence. Emotional intelligence in adolescents can determine their behavior. Family function is a role that must be done to meet the needs of family members physically and psychologically. Satisfaction with the family function is expected to prevent at-risk behavior in adolescents. The purpose of this study is to determine the relationship between satisfactions with family functioning with the adolescents emotional intelligence in Jamika, Bojongloa Kaler Bandung. The method used in this study is correlational with case control design. The samples in this study were 55 adolescents from the families’ member of BKR as the case groups and 69 teenagers from families who were not member of BKR as control groups. The data was collected using family APGAR and emotional intelligence. Data analysis was conducted two steps starting from univariate and bivariate analysis. The result of this study shows that there is a relationship between satisfaction with family functioning and adolescent’s emotional intelligence on BKR families with p Value 0.00 and OR 1.13. Adolescents with BKR families’ member p value 0.037 and OR 2.63. There were no differences in satisfaction with family functioning among adolescents of BKR families and nonBKR families while emotional intelligence there are significant differences in the two groups of teenagers. It is suggested that nurses can increase partnerships with families to prevent risk behavior in adolescents. In addition, increasing the cooperation between the districts BojongloaKaler, BKKBN and primary health centers (Puskesmas) in the planning, implementation, evaluation and monitoring teen’s family development program will enhance families’ functioning. Keywords: adolescents, emotional intelligence, families functioning 207 PENDAHULUAN Rijalihadi (2011) mengungkapkan bahwa remaja adalah aset bangsa jika dapat menunjukkan potensi diri yang positif, namun sebaliknya akan menjadi masalah jika remaja tersebut menunjukkan perilaku yang negatif bahkan sampai terlibat dalam kenakalan remaja. Perilaku remaja yang menyimpang di Indonesia saat ini digambarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) sebagai berikut: banyaknya pernikahan usia remaja, sex pra nikah dan kehamilan tidak diinginkan, perilaku aborsi sekitar 700 – 800 ribu adalah remaja, HIV/AIDS sebanyak 70% remaja, perilaku minuman keras dan Narkoba (Rijalihadi, 2011). Data Biro Statistik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, 5 provinsi di Indonesia yang memiliki angka kenakalan remaja yang tinggi adalah Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Palang Merah Indonesia, 2011). Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan remaja. SKB Mendiknas, Menkes, Menag, dan Mendagri No. 1/U/SKB/2003; 1067/Menkes/SKB/VII/2003; No. MA/230A/2003; No. 4415-404/2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah. Melalui tatanan sekolah diupayakan pembinaan kesehatan remaja dioptimalkan. Selain itu di wilayah masyarakat pembinaan remaja dan pembinaan keluarga pun sudah dilakukan oleh pemerintah salah satunya yaitu program Bina Keluarga Remaja (BKR) merespon permasalahan remaja serta fungsi keluarga melalui pendekatan ke orangtua dan remaja. Kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari diri remaja tersebut dan faktor eksternal berasal dari orangtua, teman sebaya dan lingkungan tempat tinggal (Hurlock, 2004). Rini, dkk (2012) menyatakan adanya hubungan antara kenakalan remaja dengan kecerdasan emosional remaja di Surakarta. Fakta ini sesuai dengan Goleman (dalam Sunar 2010) bahwa 80 % kesuksesan individu di masyarakat dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dan hanya 20% saja yang ditentukan oleh kecerdasan intelegensi. Kemampuan remaja dalam mengendalikan emosi dan tuntutan dari lingkungan dapat berdampak terhadap perilaku remaja. Peran keluarga sangat penting dalam memberikan dampak positif maupun dampak negatif dalam emosi remaja. Penelitian Riyanti (2012) di Kabupaten Grobogan menyatakan bahwa semakin tinggi keharmonisan keluarga maka semakin rendah kenakalan remaja. Keluarga yang sehat secara fisik dan psikologis akan menciptakan lingkungan yang mendukung pelaksanaan fungsi keluarga yang optimal. 208 Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan wilayah terpadat dan cakupan remaja tertinggi di Kota Bandung (Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2011). Bina Keluarga remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler terbentuk mulai tahun 2009. Kegiatan penyuluhan/pertemuan dilakukan hampir sebulan sekali. Kader BKR di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler berjumlah 7 orang. Kader terkadang melakukan kunjungan rumah terhadap anggota yang memiliki masalah keluarga. Kader BKR berpendapat bahwa remaja dengan keluarga yang aktif menjadi anggota BKR cenderung melakukan kegiatan yang positif dibandingkan dengan remaja yang memiliki keluarga yang bukan anggota BKR. Tujuan penelilitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional remaja pada keluarga anggota BKR dan keluarga bukan anggota BKR di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung. Tujuan khusus adalah untuk 1) Mengidentifikasi kepuasan remaja terhadap fungsi keluarga di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung pada bukan anggota BKR, 2) keluarga anggota BKR dan keluarga Mengidentifikasi kecerdasan emosional remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung pada keluarga anggota BKR dan keluarga bukan anggota BKR, 3) Menganalisis hubungan kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung pada keluarga anggota BKR dan remaja dengan Keluarga bukan anggota BKR, 4) Menganalisis perbedaan kepuasan terhadap fungsi keluarga dan kecerdasan emosional remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung pada keluarga anggota BKR dan Keluarga bukan anggota BKR. METODELOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan korelasi dan pengambilan data dilakukan menggunakan rancangan case control study. 171 Sampel kasus adalah semua remaja yang memiliki keluarga sebagai anggota BKR di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung sebanyak 55 responden. Pengambilan sampel secara total sampling. Sedangkan sampel kontrol adalah semua remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung yang memiliki keluarga bukan sebagai anggota BKR. Pengambilan sampel dilakukan secara random Sampling. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: remaja yang tinggal bersama orang tua, rentang usia 12 – 21 tahun, masih bersekolah, remaja belum menikah. Instrumen yang digunakan adalah APGAR Keluarga (Smilkstein, 1978) dengan reabilitas menggunakan Cronbach’s alpha memiliki range antara 0,8 – 0,85. Uji validitas dengan menggunakan total item korelasi antara 0,5 – 0,65. Instrumen penelitian kecerdasan emosional yang digunakan adalah instrumen pengukuran kecerdasan emosional remaja yang dikembangkan oleh Sumikan (2011) dengan uji reliabilitas menggunakan taraf signifikan 5% diperoleh nilai 0,535 – 0,773. Uji reabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha memiliki nilai 0,923. Analisis data dilakukan secara bertahap mulai dari analisis univariat dan bivariat. Menguji hubungan dan kekuatan hubungan antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional serta kepuasan terhadap fungsi keluarga kesadaran diri, pengeloaan diri, motivasi , empati dan kecakapan diri menggunakan uji Chi Square dan (Odds Ratio). kontigensi 2x2 Tabel dengan tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Analisis perbedaan dua kelompok pada sampel kasus dan sampel kontrol dilakukan uji beda bivariat dengan menggunakan Mann Whithey. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kepuasan Remaja Terhadap Fungsi Keluarga Keluarga anggota BKR Keluarga bukan anggota 172 BKR Kepuasan terhadap Fungsi Keluarga f % f % Berfungsi baik 41 74,5 44 63,8 Berfungsi cukup 14 25,5 25 36,2 55 100 69 100 Total Keluarga berfungsi baik lebih dominan pada kedua kelompok namun lebih banyak pada keluarga anggota BKR. Keadaan ini sesuai dengan tujuan dibentuknya BKR oleh BKKBN (2007) yaitu meningkatkan kepedulian, kesadaran dan tanggung jawab orang tua terhadap kewajiban membimbing, meningkatkan pengetahuan kesadaran remaja dalam meningkatkan ketahanan fisik dan non fisik dalam kehidupan rumah tangga yang sejahtera. Keluarga yang mampu berfungsi dengan baik menjadi harapan para remaja. Harapan remaja terhadap orang tua dapat memperlihatkan tanggung jawab keluarga memberikan promosi kesehatan pada remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Parvizy & Ahmadi (2009) yang mengungkapkan bahwa remaja mengharapkan orang tua dapat berkomunikasi dengan baik, mengajarkan cara menjalani kehidupan, peduli terhadap perkembangan remaja, menghargai mereka dan memberikan rasa aman dan nyaman. Keluarga yang mampu memahami kondisi remaja akan mampu menciptakan fungsi keluarga yang baik sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitawati (2008) mengungkapkan bahwa perilaku agresif dan kenakalan remaja yang sangat tinggi dipengaruhi secara langsung oleh komunikasi orang tua dan remaja rendah. Kontribusi fungsi keluarga terhadap perilaku remaja diungkapkan dalam penelitian Marsito, dkk (2009) bahwa fungsi sosial dan fungsi ekonomi 173 keluarga berpengaruh terhadap perilaku merokok pada remaja. Hal ini juga juga diungkapkan oleh Henderson, et. al (2006) yang menyatakan bahwa perilaku kenakalan yang dilakukan remaja karena adanya manajemen keluarga yang tidak terorganisir dengan baik, kurangnya pengawasan orang tua, adanya paksaan dalam usaha untuk mengontrol remaja, rendahnya tingkat keterlibatan dan kemandirian yang diberikan kepada remaja. 2. Kecerdasan emosional Remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung Keluarga anggota BKR Keluarga bukan anggota BKR Tingkat kecerdasan f % f % Rendah 0 0 0 0 Sedang 12 21,8 32 46,4 Tinggi 43 78,2 37 53,6 Total 55 100 69 100 Kecerdasan yang dimiliki oleh remaja di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler cukup beragam. mempengaruhi kematangan mengungkapkan kematangan Hurlock (2004) mengungkapkan usia emosi, emosi sedangkan dipengaruhi Santrock oleh jenis (2003) kelamin. Kematangan emosi menurut pendapat Chaube (2002) dipengaruhi oleh lingkungan. Remaja sebagai responden dengan keluarga anggota BKR didominasi oleh remaja awal dan berjenis kelamin laki-laki dan usia awal remaja. Selain itu Priatini dkk (2008) menyatakan pengaruh teman sebaya berdampak pada kecerdasan emosional pada remaja. Hasil analisis di atas mengungkapkan dalam program BKR perlu juga adanya perhatian terhadap perbedaan usia, jenis kelamin, lingkungan, 174 pendidikan sekolah dan teman sebaya merupakan hal yang harus diperhatikan oleh keluarga. Responden remaja dengan keluarga anggota BKR memiliki kecerdasan emosional tinggi dengan persentasi lebih besar dibandingkan responden remaja yang bukan anggota BKR. Hal ini sejalan dengan Goleman (2003) cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan mempengaruhi kematangan emosi. Kecerdasan emosi yang kurang akan diikuti ketidakmampuan dalam mengatur emosi. Yanti (2005) mengunkapkan bahwa kemampuan mengatur emosi yang kurang dan perilaku menjalin interaksi dengan orang lain menyebabkan gangguan perilaku, memilih tindakan agresif sebagai stategi keluar dari masalah (coping). Individu yang secara emosional telah matang dapat menentukan dengan tepat bahwa dirinya perlu terlibat dalam suatu masalah sosial serta dapat turut memberikan jalan keluar atau pemecahan yang diperlukan. Kecerdasan emosional dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalin interaksi sosial untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu (Martin, 2003). Remaja mengalami gangguan penyesuaian diri pada masa ini, maka kelak remaja akan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri pada tahap perkembangan selanjutnya (Andayani, meningkatkan 2003). fungsi keluarga kecerdasan emosional yang kematangan emosi dan Program dapat tinggi dapat perkembangannya serta mampu BKR yang diupayakan pada remaja menyesuaikan ditujukan untuk membentuk sehingga diri dalam pada memiliki tahap menentukan perilaku yang positif sesuai perannya di masyarakat. 3. Hubungan Kepuasan terhadap Fungsi Keluarga dengan Kecerdasan Emosional 175 Sub Variabel Kecerdasan Emosional Kepuasan terhadap tinggi sedang IK 95% fungsi keluarga n % n % p OR min maks Keluarga Anggota BKR berfungsi baik 38 88,4 5 11,6 1,132 1,015 1,261 0,222 31,220 0,000 berfungsi cukup ref 2 100 0 0 Keluarga Bukan Anggota BKR berfungsi baik 25 56,8 19 43,2 2,632 0,037 berfungsi cukup ref 1 33,3 2 66,7 Hasil di atas menyatakan kedua kelompok memiliki hubungan yang signifikan terhadap kecerdasan emosional. Compan et.al (2001) menyatakan bahwa aktivitas ritual keluarga berhubungan dengan perilaku remaja. Aktivitas ritual yang di lakukan oleh keluarga di kecamatan Bojongloa Kaler adalah hampir sebagian besar anggota keluarga mengikuti kegiatan keagamaan dan memiliki sosialisasi yang baik antar tetangga. Faktor lain yang berdampak terhadap kecerdasan emosional remaja adalah tipe pengasuhan orang tua.Tipe pengasuhan yang dimiliki oleh orangtua akan berdampak terhadap efektifitas fungsi keluarga sehingga pengetahuan orang tua terhadap pola asuh akan meningkatkan fungsi keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Priatini dkk (2008) yang menyatakan bahwa tipe pengasuhan orang tua berpengaruh nyata terhadap kecerdasan emosional. Kepuasan remaja terhadap fungsi keluarga, tipe pengasuhan dan aktivitas ritual perlu diperhatikan agar dapat meningkatkan kecerdasan 176 emosional pada remaja. Kegiatan BKR di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler belum mencakup tipe pengasuhan dan aktivitas ritual yang berdampak terhadap kecerdasan emosional, kegiatan yang dilakukan baru mencakup peningkatan pengetahuan tentang fungsi keluarga sehingga kedua kelompok remaja tersebut memiliki hubungan antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional. 4. Hubungan Kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan subvarible kecerdasan emosional Kepuasan terhadap fungsi keluarga Sub Variabel Kecerdasan Emosional tinggi n % sedang n % IK 955 p OR min maks Kesadaran Diri berfungsi baik berfungsi cukup 35 79,5 9 20,5 0,6 10 36,4 15 1,9 0,16 23,92 1,7 0,14 20,75 0,69 1,023 0,84 1,011 ref 63,6 Pengelolaan diri berfungsi baik berfungsi cukup 34 77,3 10 22,7 0,7 20 81,8 5 ref 18,2 motivasi berfungsi baik berfungsi cukup 28 63,6 16 36,4 0 12 54,5 13 ref 45,5 empati berfungsi baik 9 20,5 35 79,5 0,9 0,4 berfungsi 7 31,8 18 68,2 ref 177 cukup kecakapan diri berfungsi baik berfungsi cukup 18 40,9 26 59,1 0,9 0,2 7 31,8 18 0,79 ref 68,2 Motivasi merupakan salah satu subvariabel pada kecerdasan emosional. Terdapat hubungan yang bermakna antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dan motivasi. Keluarga anggota BKR yang berfungsi baik akan memiliki motivasi sebesar 0,171 kali dibandingkan dengan keluarga anggota BKR yang berfungsi cukup, sedangkan BKR yang berfungsi baik keluarga bukan anggota akan memiliki motivasi sebesar 0,84 kali dibandingkan dengan keluarga bukan anggota BKR yang berfungsi cukup. Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapi. Dimyati (2002) mengungkapkan menurut jenisnya motivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu motivasi primer dan motivasi sekunder. Fungsi keluarga yang baik akan memberikan dorongan dan dukungan kepada remaja dalam pembentukan motivasi. Keluarga berperan dalam pembentukan motivasi primer dan sekunder. Motivasi primer yaitu motif dasar yang berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. Motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari dan didapatkan di dalam lingkungan keluarga. Pembentukan motivasi pada remaja dapat berkaitan dengan ketercapaian fungsi keluarga. Kesalahan dalam pemberian motivasi dapat berdampak negatif terhadap perilaku remaja. Kekuatan hubungan motivasi remaja pada keluarga anggota BKR berfungsi baik dengan keluarga yang berfungsi cukup lebih rendah perbedaannya dibandingkan dengan keluarga yang bukan anggota BKR. Hal ini memperlihatkan bahwa kekuatan antara kepuasan terhadap fungsi keluarga pada keluarga BKR akan memberikan dampak motivasi yang lebih dibandingkan dengan keluarga bukan anggota BKR. Terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi keluarga dengan empati pada remaja dengan keluarga anggota BKR, sedangkan keluarga 178 1,015 bukan anggota BKR tidak terdapat hubungan antara fungsi keluarga dengan empati pada remaja. Kekuatan empati pada remaja keluarga anggota BKR yang berfungsi baik sebesar 0,193. Kemampuan empati menjadi dasar pembentukan hubungan yang harmonis dengan orang lain (Goleman, 2003). Seorang yang empati digambarkan sebagai seorang yang toleran yang mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Perilaku empati ini nantinya akan meningkatkan kesadaran pada diri (White & Gerstain dalam Sarwono, 2002). Empati yang baik adalah empati yang diikuti oleh kesadaran diri jadi tidak salah dalam penempatan empati. Keluarga yang memiliki pengetahuan terhadap fungsi keluarga memiliki pengaruh dalam pembentukan empati pada remaja. Keselarasan antara empati dan kesadaran diri menjadi hal yang penting dalam pembentukan perilaku yang positif pada remaja. Program BKR diharapkan mampu meningkatkan kepuasan remaja terhadap fungsi keluarga melalui peningkatan dan pembinaan fungsi keluarga. Hubungan yang bermakna antara kepuasan terhadap fungsi keluarga anggota BKR dan kecakapan diri pada remaja dengan keluarga anggota BKR, sedangkan pada keluarga bukan anggota BKR tidak terdapat hubungan antara fungsi keluarga dengan kecakapan diri. Kekuatan hubungan kecakapan diri pada remaja anggota BKR antara keluarga berfungsi baik dan keluarga berfungsi cukup yaitu 0,082 kali. Kecakapan diri pada remaja dapat digambarkan dengan kecakapan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Remaja yang memiliki kondisi emosi yang kurang baik atau rendah diri akan mengakibatkan remaja kurang memahami orang lain sehingga remaja cenderung berorientasi pada dirinya sendiri dan cenderung menunjukkan perilaku asosial (Yustika, 2005). Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tentu akan mampu melewati masa remajanya dengan lancar dan diharapkan ada perkembangan ke arah kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh lingkungannya. Sebaliknya, apabila remaja mengalami gangguan penyesuaian diri pada masa ini, maka kelak remaja akan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri pada tahap perkembangan selanjutnya (Andayani, 2003). Kemampuan 179 remaja dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya tidak timbul dengan sendirinya. Kemampuan ini diperoleh remaja dari bekal kemampuan yang telah dipelajari dari lingkungan keluarga, dan proses belajar dari pengalaman-pengalaman baru yang dialami dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Keluarga anggota BKR menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan kecakapan diri, empati dan motivasi, sedangkan pada keluarga bukan anggota BKR menunjukkan hubungan yang bermakna hanya antara kepuasan terhadap fungsi keluarga dengan motivasi. Kepuasan remaja terhadap fungsi keluarga anggota BKR memberikan dampak terhadap 3 sub variabel dari kecerdasan emosional sedangkan remaja dengan keluarga bukan anggota BKR hanya kepada motivasi saja. Dampak yang lebih banyak diberikan oleh keluarga BKR dalam pembentukan kecerdasan emosional pada remaja sesuai dengan Goleman (2003) yang mengungkapkan berdasarkan pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orangtua. Cara orangtua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan anak. Pendapat ini sesuai dengan Chapman (Puspitawati, 2009), mengungkapkan bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Fungsi keluarga yang tinggi diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap kecerdasan emosional remaja yang akan berdampak terhadap perilakunya. 5. Perbedaan Kepuasan Terhadap Fungsi Keluarga dan Kecerdasan Emosional Remaja antara Keluarga anggota BKR dan Bukan Anggota BKR Kepuasan TerhadapFungsi Kecerdasan Emosional 180 Keluarga Anggota BKR Bukan BKR n Mean Rank 55 67.64 p n Mean Rank 55 73.54 0,148 anggota 69 58.41 p 0,002 69 53.54 Kecerdasan emosional pada kedua kelompok memiliki perbedaan yang ditunjukkan dengan nilai p value sebesar 0,002. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan terhadap fungsi keluarga bukan satu-satunya yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosional pada remaja. Faktor lain yang mungkin berdampak pada pembentukan kecerdasan emosional remaja sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hurlocks (2004) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi kecerdasan emosional adalah usia, jenis kelamin, orang tua, teman sebaya dan lingkungan tempat tinggal. Kepuasan terhadap fungsi keluarga merupakan faktor dari orang tua memiliki peran dalam pelaksanaan fungsi keluarga. Ali dan Asrori (2010) berpendapat bahwa amat penting bagi remaja diberikan bimbingan agar keingintahuan yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-kegiatan yang positif, kreatif dan produktif. Kepuasan terhadap fungsi keluarga diupayakan mampu untuk memberikan bimbingan kepada remaja sehingga dapat memilih teman sebaya yang memberikan dampak terhadap perilaku remaja. Fokus pada masa ini adalah menerima perubahan fisik dan adanya pengaruh yang kuat dari teman sebaya (Santrock, 2003). Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan keberfungsian keluarga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Abu Bakar, Noh dan Ariffin (2011) yang menyatakan perilaku yang tidak baik dan pengaruh teman sebaya dapat dihindari dengan pola komunikasi keluarga yang mementingkan ketegasan, kepatuhan dan disiplin pada remaja. Pengetahuan orang tua mengenai keberfungsian keluarga menjadi hal yang penting sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Terzian, et. al (2011) menyatakan dukungan dan fungsi keluarga mampu mencegah perbuatan remaja yang beresiko. Program-program kemitraan antara keluarga 181 dan perawat dapat meningkatkan keberfungsian keluarga. Program kemitraan yang dilakukan oleh perawat dapat meningkatkan pengetahuan keluarga terhadap fungsi keluarga. DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Che Noh & Ariffin. 2011. Hubungan Komunikasi Keluarga dalam Menangani Konflik dalam Kalangan Remaja. Jurnal Pengajian Media Malaysia Vol.13. No.1 Ali, M & Ansori M. 2011.Perkembangan Kreativitas Jakarta : PT.Bumi Aksara Andayani, B. 2003. Hubungan Antara Dukungan Sosial Ayah dengan Penyesuaian Sosial Pada Anak Remaja Laki-Laki. Buletin Psikologi No 1 halaman 23-35. Badan Keluarga Berencana. 2007. Pedoman Pembinaan Kelompok Bina Keluarga Remaja. Bandung : BKKBN Compañ. Moreno. Ruiz & Pascual. 2001. Doing Things Together: Adolescent Health and Family rituals. Spain : Research Report. Melalui [jech.bmj.com/content] (17-04-2003) Chaube, S.P. 2002. Psychology of Adolescents in India. New Delhi. Concept Publising Company Dimyati, 2002. Transisi Remaja. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia Ferrera,Lapeira, Rayob, Gallartc & Marquésd. 2004. Consumption of psychodrugs. Influence of family dysfunction. Spain. Melalui [http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed] (20-10-2012) Friedman. 2010. Keperawatan Keluarga. Teori dan Praktik Edisi 5. Terjemahan R.L Deborah & Asy. Jakarta : EGC Goleman, D. 2003. Kecerdasan emosional. Terjemahan Hermaya, T. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Henderson, E. C, Dakof, A. G, Schwartz, J. S, Liddle, A. H. 2006. Family functioning, self concept, and severity of adolescent externalizing problems. Journal Child Family Studies. Vol.15. Hal: 721-731 182 Hurlock, E.B. 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentan Kehidupan. Terjemahan Istiwidiyanti & Soedjarno. Jakarta : Erlangga Marsito, Sahar, Mustikasari. 2009 Kontribusi Keluarga Terhadap Perilaku Remaja Merokok di SMA/SMK Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Keseshatan Keperawatan Vol. 5, No 3, Oktober Marsito, Yudha. 2011 Hubungan Pola Asuh Dalam Keluaraga dengan Persepsi Remaja tentang Perilaku Seksual Pra-Nikah. Jurnal Ilmiah Keseshatan Keperawatan Vol. 7, No 3, Oktober Martin, Anthony Dio. 2003. Emotional Quality Management. Jakarta: Arga. Monk, F, J. 2001. Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Terjemahan Haditono. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Parvizy, Ahmadi. 2009. A qualitative Study on Adolescence, Health and Family. PMCID : PMC2838649. Mental Health in Family Medicine Priatini, Latifah & Guhardja. 2008. Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan Sekolah, dan Peran Teman Sebaya terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Jurnal Keluarga & Konsumen : Vol.1 no. 1 Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung 2011 Puspitawati, H. 2008. Pengaruh Komunikasi Keluarga, Lingkungan dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajaran pada Sekolah Menengah 01 di Kota Bogor. PEKSOS: Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Vol. 7, Nomor 2, Nopember 2008 Puspitasari, A. 2009. Emotional Intelligent Parenting. Jakarta Rijalihadi. 2011 Fenomena Kenakalan Remaja di Indonesia. [http://ntb.bkkbn.go.id] (19-04- 2013) Melalui Rini, Hardjajani & Nugroho. 2012 Kenakalan Remaja Ditinjau dari Kecerdasan Emosional dan Penyesuaian pada Siswa SMAN Se -Surakarta . Jurnal Ilmiah Psikologi Candra Jiwa Riyanti. 2012. Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan kenakalan remaja Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 2 Geyer Kabupaten Grobogan Melalui: [repository.library.uksw.edu] (19-04-2013) Santrock, J.W.. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja (edisi keenam). Alih Bahasa: Adelar dan Saragih. Jakarta: Erlangga. 183 Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada Schmitz, Baker, Nukui, Epperly. 2011. Idaho Rural Family Physician Workforce Study:the Community Apgar Questionnaire Smilkstein, G., Ashworth, C., & Montano, D. 1982. Validity and reliability of the Family APGAR as a test of family function. Journal of Family Practice, 15, 303-311. Sudiharto. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC Sunar, D. P. 2010. Edisi Lengkap Tes IQ EQ dan SQ. Jogjakarta : FlashBooks Fungsi dan Peran Keluarga. Melalui [http://euissunarti.staff.ipb.ac.id] (23-022013) Suparajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dalam Praktik. Jakarta : EGC Terzian. Andrews & Moore . 2011. Preventing Multiple Risky Behaviors among Adolescents: Seven Strategies. Research to Result Trend Child melalui [http://www.childtrends.org/files/Child_Trends] ( 22-04-2013) Wong & Whaley. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Terjemahan Ester & Kurnianingsih. Jakarta: EGC Yanti, D. 2005. Ketrampilan Sosial pada Anak Menengah Akhir yang Mengalami Gangguan Perilaku. e-USU Repository. Medan: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2010-2012) Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Yustika. 2005. Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Delikuen di Lembaga Permasyarakatan. Anima Indonesian Psychology. Journal no. 20, hal.139-148 184 PENGARUH PELAKSANAAN PENDEKATAN POSSITIVE DEVIANCE TERHADAP STATUS GIZI PADA BALITA MALNUTRISI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIMENYAN KABUPATEN BANDUNG EFFECT OF APPROACH TO POSSITIVE DEVIANCE NUTRITIONAL STATUS IN CHILDREN MALNUTRITION IN THE DISTRICT OF HEALTH CIMENYAN BANDUNG Eva Supriatin STIKep PPNI Jabar Jl Muhammad No 34 Bandung Email: evatarisa@gmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Pendekatan Positive Deviance (PD) terhadap Status Gizi pada Balita dengan malnutrisi di Wilayah Kerja Puskesmas Cimenyan Kabupaten Bandung. Coasy eskperiment dilakukan dalam penelitian ini dan rancangan penelitian menggunakan sifat Cohort Study. Pengambilan sampel dilakukan secara Purporsive Sampling didapatkan jumlah sampel 17 balita. Instrumen yang digunakan untuk identifikasi gizi balita menggunakan baku antropometri balita WHO 2005 yang dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score). Untuk mengetahui pengaruh PD terhadap status gizi pada balita menggunakan Uji T (T-test) dengan batas kemaknaan (nilai alpha) 5 %. Hasil uji t menunjukan p value 0,000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan nilai beda nya sebesar 1,482. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan kata lain, bahwa pendekatan Positive Deviance memberikan pengaruh yang signifikant terhadap perubahan status gizi pada balita malnutrisi Kata Kunci : Positive Deviance, Malnutrisi, Status gizi balita 185 Abstract The aim this study was to analyze the effect of Positive Deviance Approach ( PD ) of under five year old children in work Area Health Center Cimenyan Bandung. Coasy eskperiment conducted in this study and the study design using nature Cohort Study . Sampling was done by Purporsive Sampling obtained sample size 17 toddler . The instrument used for identification using standard anthropometric nutritional toddler WHO 2005 converted into standardized values ( Z - score) . To determine the effect of PD on the nutritional status of children under five using T test ( T - test) with a limit of significance ( alpha value ) of 5% . T test results showed p value of 0.000 ( p < 0.05 ) means that there is a significant difference before the nutritional status of children after the positive deviance approach . With its different value of 1.482 . The conclusion is there is a significant difference in nutritional status of children before to after the positive deviance approach . In other words , that the Positive Deviance approach signifikant give effect to changes in the nutritional status of malnourished under five year old children Key words: positive deviance, undernutrition, nutritional status. 186 Latar Belakang Di Indonesia pada tahun 2010 Angka gizi buruk mencapai 4, 9%, Gizi kurang 13,0%. Sementara Jawa barat menempati urutan ke-5 terbanyak yaitu 3,1% balita gizi buruk, 9,9% balita gizi kurang (Depkes, 2011). Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Dampak dari gizi buruk ini bisa menyebabkan KEP (Kurang Energi Protein), KEK (Kurang Energi Energi Kalori), balita akan menjadi lebih rentan terhadap infeksi, menyebabkan munculnya penyakit kronis, menyebabkan seseorang tidak mungkin melakukan kerja keras dan akan menyebabkan gagal tumbuh. Anak yang menderita gizi buruk mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (Depkes, 2011). PD adalah suatu pendekatan yang berbasis masyarakat sehingga yang berperan dalam pelaksanaan positive deviance (PD) ini adalah seluruh elemen masyarakat yang meliputi kader, tokoh masyarakat, petugas kesehatan. Akan tetapi pelaku utamanya adalah keluarga (Aryastami, 2011). Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui tentang Pengaruh Pendekatan Positive Deviance terhadap Status Gizi Balita Gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Cimenyan Kabupaten Bandung. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui Pengaruh Pendekatan Positive Deviance terhadap Status Gizi pada Balita Malnutrisi di Wilayah Kerja Puskesmas Cimenyan Kabupaten Bandung. 129 METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan coasy eskperiment dan pengambilan data dilakukan menggunakan rancangan case control study. Rancangan penelitian menggunakan sifat Cohort Study Populasi dalam penelitian ini adalah ibu dan balita yang memiliki balita gizi usia <5 tahun buruk sejumlah adalah 42 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara Purporsive Sampling sejumlah 17 orang, sesuai dengan kriteria inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : 1. Balita dengan status gizi kurang 2. Rentang usia 1-5 tahun 3. Tidak ada komplikasi dari gizi buruk 4. Bersedia menjadi responden Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balitadikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan bakuantropometri balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masingindikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut :Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator BB/U : 1. Gizi Buruk : Zscore < -3,0 2. Gizi Kurang : Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0 3. Gizi Baik : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0 Pengumpulan data dilakukan pada kelompok eksperimen dengan cara penimbangan berat badan dan tinggi badan sampel kemudian ditentukan status gizi berdasarkan z-score sebelum dilakukan penelitian kemudian dilakukan tahapan pendekatan possitive deviance dan untuk melihat keberhasilan proses tersebut setelah perlakukan dilakukan penimbangan berat badan dan tinggi badan sampel kemudian ditentukan status gizi berdasarkan z-score. Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan Positive Deviance.Secara teknis persiapan membutuhkan waktu 1 minggu tergantung pada kondisi masyarakat setempat.Secara teknis persiapan membutuhkan waktu 1-2 minggu tergantung pada kondisi masyarakat setempat.Intervensi berorientasi kepada perilaku pengasuhan, pemberian makan, 130 kebersihan dan perawatan kesehatan.Setelah itu dilakukan monitoring dan pengukuran berat badan secara kontinyu. Analisis Data Univariat menggunakan rumus: P f x100% n P = Persentase f = frekuensi/jumlah responden yang menjawab n = Jumlah responden. Analisa Bivariat untuk mengetahui pengaruh PD terhadap status gizi pada balita yaitu yaitu menggunakan Uji T (T-test) dengan batas kemaknaan (nilai alpha) 5 % untuk melihat hasil kemanaan perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan 0,05. Penolakan terhadap hipotesis apabila P value < berarti ada pengaruh atau ada perbedaan bermakna, sedangkan gagal penolakan terhadap hipotesa apabila P value > 0,05 berarti tidak ada perbedaan / tidak ada hubungan bermakna antara keduanya. Rumus : Uji beda dua Mean Dependent (Paired Sample Test) T=d SD_d / √n Keterangan : d : Rata-rata deviasi/ selisih sample pre test dengan sample post test SD_d : Standar deviasi dari deviasi atau selisih sample pre dan post test N : Jumlah sample HASIL Analisa Univariat 1. Usia Repsonden Tabel 4.1 distribusi frekuensi usia responden (bulan) Usia (dalam Bulan) 18 24 36 48 Total F 3 4 8 2 17 % 17,6 23,5 47,1 11,8 100,0 131 Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa 47,1% responden berusia 36 bulan (3 tahun). 2. Tingkat Pendidikan Ibu Tabel 4.2 distribusi frekuensi tingkat pendidikan ibu Tingkat Pendidikan SD SMP SMA PT Total F 10 4 3 0 17 % 58,9 23,5 17,6 0 100,0 Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa 58,9% tingkat pendidikan ibu responden SD. 3. Identifikasi Perilaku Khusus Keluarga Berdasarkan hasil penyelidikan didapatkan perilaku khusus keluarga dalam hal : Perilaku Khusus Keluarga 1. Pemberian Makan — Memberikan makanan selingan — Memasak makanan sendiri — Makanan bervariasi — Frekuensi makan 2-3 x/hari — Pemberian makan oleh ibu — Keluarga makan bersama — Pemberian Vitamin jika anak tidak mau makan 2. Pengasuhan — Anak berinteraksi dan diasuh oleh nenek selain ibu — Jika anak nakal dinasihatin — Meninabobokan anak — Menemani anak bermain dan belajar 3. Kebersihan — Mencuci tangan sebelum makan — Memcuci sayuran dan buah sebelum dikonsumsi — Memiliki MCK sendiri — Tidak memelihara hewan di rumah atau dekat rumah — Memandikan anak 1 x/hari — Belum memenuhi cuci tangan sebelum makan 4. Perawatan Kesehatan — Pemberian imunisasi tidak lengkap — Jika anak sakit dibawa ke puskesmas — Tidak tahu cara penanganan : demam, diare 132 4. Gambaran Status Gizi Balita Tabel 4.3 distribusi frekuensi status Gizi Balita sebelum intervensi dan setelah inetrvensi Status gizi Pre Tes Pos Tes 1 Pos Tes 2 Pos tes 3 F % F % F % F % Gizi baik - - 5 29,4 13 76,5 15 88,2 Gizi Kurang 17 100 12 70,6 4 23,5 2 11,8 Berdasarkan tabel diatas dapat didentifikasi bahwa adanya kemajuan terhadap perubahan status gizi balita disetiap tahapan positif deviance.Data post test 1 yang diambil pada 12 hari pertama post intervensi PD, menunjukkan ada prosentase kenaikan status gizi menjadi gizi baik sebesar 29,4%. Pada data post test 2 yang diambil pada 12 hari kedua post intervensi PD terjadi peningkatan status gizi yang signifikan sebesar 76,5%. Perkembangan kemajuan status gizi terakhir yang diambil pada 12 hari ketiga post intervensi PD tampak pada data post test 3, menggambarkan perubahan yang sangat pesat dibandingkan dengan post test pertama, dimana sebagian besar balita yaitu 88,2% adalah status gizi baik. B. Analisa Bivariat Hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji t menunjukan bahwa n Hasil uji t menunjukan p valuen 0,000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan nilai beda nya sebesar 1, 482. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa 47,1% Rerata Perbedaan P ± s.b. rerata ± s.b. Status Gizi 17 10,00 -1,482 0,000 sebelum ± ±0,212 pendekatan 0,952 PD Status Gizi 17 11,48 setelah ± pendekatan 0,822 PD responden berusia 36 bulan (3 tahun) dengan kondisi gizi kurang (sebelum dilakukan intervensi). Hal ini membuktikan anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita rawan gizi dan penyakit, karena adanya anggapan pada masa ini merupakan transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, anak balita belum dapat mengurus dirinya 133 sendiri, termasuk memilih makanan, serta biasanya anak balita sudah mempunyai adik atau ibunya sudah bekerja penuh sehingga perhatiannya sudah berkurang. Dampak kekurangan gizi terhadap tumbuh kembang anak telah cukup disadari oleh berbagai kalangan. Gizi buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, namun hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan system, karena kondisi ini juga sering disertai dengan defisiensi asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporakporandakan system pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga akan sangat mudah untuk menimbulkan infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berbagai disfungsi yang dialami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang di bawah kadar normal), dan kekurangan elektrolit penting serta cairan tubuh. Jika fase akut tertangani namun tidak di follow up dengan baik, akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya, maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dengan derajat berat lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Jika kondisi gizi buruk terjadi pada masa golden period perkembangan otak (0-3 tahun), maka dapat dibayangkan otak tidak dapat berkembang sebagaimana anak yang sehat, dan kondisi ini akan irreversible (sulit untuk pulih kembali). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 58,9% tingkat pendidikan ibu responden adalah SD. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, maka makin banyak yang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Tetapi sebaliknya, apabila tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga sangat rendah, maka tingkat ekonomi keluarga juga rendah, akibatnya akan mempengaruhi tingkat ketahanan pangan, sehingga timbullah berbagai masalah kesehatan dalam keluarga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap status gizi anak. Pengetahuan, selain diperoleh dari pendidikan formal, juga dapat diperoleh dari keaktifannya dalam mencari atau menggali sumber. Pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola asuh ibu dan membawa dampak pada anaknya. Hal ini dapat dilihat pada 134 perilaku khusus keluarga berdasarkan hasil penelitian, meliputi perilaku pemberian makan, didapatkan : ibu biasa memberikan makanan selingan, namun jenis dari makanan selingan tersebut yang harus diidentifikasi lebih dalam lagi, karena berdasarkan wawancara dan pengamatan peneliti, makanan selingan yang diberikan berupa makanan yang mengandung MSG; ibu responden memasak makanannya sendiri, meskipun cara memasak makanannya belum sesuai seperti mencuci sayuran sebelum dipotong, memasak makanan terlalu matang; ibu responden memberikan makanan bervariasi setiap harinya, hanya penyajiannya masakan yang belum menarik; frekuensi makan 2-3x/ hari, meskipun porsi makan anak belum memenuhi kebutuhan; pemberian makanan dilakukan oleh ibu responden; keluarga makan bersama pada waktu-waktu tertentu; dan pemberian vitamin melalui puskesmas jika anak tidak mau makan. Perilaku kedua adalah pengasuhan/ pola asuh meliputi Anak berinteraksi dan diasuh oleh nenek selain ibu; Jika anak nakal dinasihatin; Meninabobokan anak ; Menemani anak bermain dan belajar, hanya jenis permainan yang diberikan belum tepat dan alat permainannya belum sepenuhnya bersifat APE (Alat Permainan Edukatif). Menurut Rahayu (2001)12, anak yang diasuh dengan baik oleh ibunya akan lebih berinteraksi secara positif dibandingkan bila diasuh oleh selain ibunya. Pengasuhan anak oleh ibunya sendiri akan menyebabkan anak merasa aman. Anak akan memperoleh pasangan dalam berkomunikasi dan ibu sebagai peran model bagi anak yang berkaitan dengan keterampilan verbal secara langsung. Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan mempengaruhi proses tumbuh kembangnya. Hal ini berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap, dan praktek tentang pengasuhan anak. Menurut Notoatmodjo (1997)9, suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu praktek atau tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi praktek, diperlukan faktor pendukung antara lain fasilitas dan support dari pihak lain, misal suami, orang tua atau mertua. Perilaku ketiga adalah perilaku menjaga kebersihan yang meliputi mencuci sayuran dan buah sebelum dikonsumsi, Memiliki MCK sendiri, Tidak memelihara hewan di rumah atau dekat rumah, Memandikan anak 1 x/hari, belum memenuhi Mencuci tangan sebelum makan. Kebersihan diri merupakan hal yang sangat penting karena lingkungan terkait dengan agen penyebab terjadinya penyakit, seperti diare, dan demam berdarah. Perilaku keempat adalah perawatan kesehatan yang meliputi Pemberian imunisasi tidak lengkap, jika anak sakit dibawa ke puskesmas, Tidak tahu cara penanganan : demam, diare. Anak balita merupakan masa yang mudah terinfeksi penyakit. Oleh karenanya diperlukan ketekunan ibunya untuk membawa anaknya ke fasilitas kesehatan jika anaknya 135 mengalami penyakit infeksi. Selain memberikan imunisasi lengkap kepada anak sebelum menginjak usia 1 tahun, pengobatan penyakit pada masa kanak-kanak dan mendapatkan bantuan profesional pada waktu yang tepat, sangat berperan dalam menjaga kesehatan anak. A. Pengaruh Pendekatan Positive Deviance dengan Status Gizi Balita Positive deviance dipakai untuk menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif yang berhubungan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Positive deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada dari perilaku masyarakat tersebut. Program positive deviance dibagi menjadi empat kategori utama yaitu, pemberian makanan, pengasuhan, kebersihan dan mendapatkan pelayanan kesehatan melalui kegiatan persiapan, pelaksanaan , evaluasi dan monitoring didapatkan hasil uji t menunjukan p valuen 0,000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan nilai beda nya sebesar 1, 482. Berdasarkan tabel 4.3 dapat didentifikasi bahwa adanya kemajuan terhadap perubahan status gizi balita disetiap tahapan positif deviance. Data post test 1 yang diambil pada 12 hari pertama post intervensi PD, menunjukkan ada prosentase kenaikan status gizi menjadi gizi baik sebesar 29,4%. Pada data post test 2 yang diambil pada 12 hari kedua post intervensi PD terjadi peningkatan status gizi yang signifikan sebesar 76,5%. Perkembangan kemajuan status gizi terakhir yang diambil pada 12 hari ketiga post intervensi PD tampak pada data post test 3, menggambarkan perubahan yang sangat pesat dibandingkan dengan post test pertama, dimana sebagian besar balita yaitu 88,2% adalah status gizi baik. Hal ini menunjukkan pendekatan positive deviance efektif untuk mengatasi masalah gizi pada balita. Perubahan ini dapat dilihat setelah kegiatan penyuluhan dan simulasi yang disampaikan pada program positive deviance, fokus perubahan perilaku empat kategori utama yaitu, pemberian makanan, pengasuhan, kebersihan dan perawatan kesehatan yang dilakukan peneliti bekerja sama dengan kader, desa dan puskesmas membuahkan hasil dengan adanya perubahan status gizi balita. Melalui kegiatan evaluasi dan monitoring yang dilakukan peneliti bersama kader, Ibu responden mulai mempraktekan di rumah pengetahuan yang didapat selama kegiatan penyuluhan, simulasi dan pertemuan-pertemuan yang diadakan dalam rangkaian kegiatan program positve deviance. 136 Hasil penelitian penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Piroska A. Bisits Bullen11 di Universitas Walden, Minneapolis USA, menyimpulkan bahwa positive deviance dengan pendekatan hearth untuk mengurangi malnutrisi anak ternyata efektif. Di Indonesia, studi positive deviance telah dilakukan oleh Jauhari dkk (2000) di Jakarta, Bogor dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak usia 6-17 bulan berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapatkan respon ketika berceloteh, selalu mendapat senyum dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapat perhatian orangtua. Sementara itu, Frisda Turnip melakukan penelitian pengaruh positive deviance pada ibu terhadap status gizi baduta di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara dan Pengaruh Positive Deviance terhadap Status Gizi Balita (Sitti Dahlia) hasilnya menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Slamet Riyadi, pendekatan positive deviance gizi (Pos Gizi) dan dampaknya pada anak balita di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh menunjukkan bahwa pos gizi merupakan strategi yang potensial untuk meningkatkan status gizi. B. Keterbatasan Penelitian Jumlah sampel yang digunakan terbatas dan jumlahnya masih sedikit, jika dibandingkan dengan jumlah kasus gizi kurang pada balita di wilayah kecamatan Cimenyan. C. Implikasi Bagi Keperawatan Penelitian ini memberikan gambaran dan referensi bagi keperawatan khususnya praktik keperawatan komunitas dan keluarga. Praktik komunitas dan keluarga diselenggarakan dengan berbasis pada masyarakat sangat cocok dengan program Positive deviance dengan mengoptimalkan kemampuan dan partisipasi aktif masyarakat. Didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan keluarga yang menguntungkan sebagai inti 137 program positive deviance dibagi menjadi empat kategori utama yaitu, pemberian makanan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Keuntungan metode positive deviance: 1. Cepat Pendekatan ini memberikan solusi yang dapat menyelesaikan masalah dengan segera. 2. Terjangkau Positive deviance dapat dijangkau dan keluarga tidak perlu bergantung pada sumber daya dari luar untuk mempraktekkan perilaku baru. 3. Partisipatif Partisipasi masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam rangka mencapai keberhasilan pendekatan positive deviance. 4. Berkesinambungan Pendekatan positive deviance merupakan pendekatan berkesinambungan karena berbagai perilaku baru sudah dihayati dan berlanjut setelah kegiatan berakhir. 5. Asli Karena solusi sudah ada di tempat itu, maka kemajuan dapat dicapai secara cepat tanpa banyak menggunakan analisis atau sumber daya dari luar. 6. Secara budaya dapat diterima Pendekatan ini didasarkan pada perilaku setempat yang diidentifikasi dalam konteks sosial, etnik, bahasa dan agama di setiap masyarakat. 7. Berdasarkan Perubahan Perilaku Pendekatan ini tidak mengutamakan perolehan pengetahuan, namun ada tiga langkah proses perubahan perilaku yang termasuk di dalamnya, yaitu penemuan (penyelidikan,PD), demonstrasi (kegiatan pos gizi) dan penerapan (kegiatan pos gizi dan di rumah). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan tentang Pengaruh Pendekatan Positive Deviance terhadap Status Gizi pada Balita Malnutrisi di Wilayah Kerja Puskesmas Cimenyan Kabupaten Bandung disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna status gizi balita sebelum dengan setelah pendekatan positive deviance. Dengan kata lain, bahwa pendekatan Positive Deviance memberikan pengaruh yang signifikant terhadap perubahan status gizi pada balita malnutrisi 138 Saran 1. Dilakukan penelitian yang sama dengan jumlah sampel yang lebih representatif sehingga dapat mewakili wilayang kabupaten Bandung untuk mendapatkan data tentang efektifitas Positive Deviance 2. Sosialisasi program Positive Deviance ke dinas kabupaten Bandung sebagai alternatif upaya penyelesaian masalah gizi balita di wilayah kabupaten Bandung 3. Membuat sistem penghargaan untuk kader-kader yang merupakan barisan terdepan dalam menentukan keberhasilan program kesehatan khususnya program Positive Deviance DAFTAR PUSTAKA Arikunto, suharsimi.2010.prosedur penelitian ( suatu pendekatan praktek). Jakarta : Rineka Cipta Aryastami, 2011. Perbaikan gizi anak balita melalui pendekatan positive deviance : sebuah uji coba di Kabupaten Cianjur. Depkes:Jakarta Bolles K, Speraw C, Berggren G, Lafontant JG. Ti Foyer (hearth) community-based nuturition activities informed by positive deviance approach in Leogane, Haiti: a programmatic description. Food Nutr Bull 2002; 23 (suppl 4): 11-7. Core Gorup, PCI, 2003. Perilaku dalam Postive Deviance. Depkes, 2012. Sambutan Menkes pada Buku Pedoman Penangan Gizi Buruk. Jakarta Departemen Kesehatan RI, 2010. Penilaian antropometri status gizi. Available at http://www.gizi.depkes.go.id, diakses pada tanggal 26 Februari 2013 Pukul 15.45WIB Marsh DR, Schroeder DG. The positive deviance approach to improve health outcomes: experience and evidence from the field. Food Nutr Bull 2002; 23 (suppl 4): 5-8. Riskesdas, 2012. Riset Kesehatan Dasar Nasional. Jakarta. www.riskesda.litbang.depkes.go.id (diakses pada tanggal 26 Februari 2013 pukul 17.37 WIB). Unicef, 2012. Kematian Balita Di Indonesia. Jakarta. www.Unicef.org (diakses pada tanggal 26 Februari 2013 pukul 17.37 WIB). 139 HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KENAKALAN REMAJA DI SMAN I BATUJAJAR KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2012 Oktoruddin Harun, Reini Astuti, Shani Mubarak Azis STIKes Budi Luhur Cimahi ABSTRAK Latar belakang: Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa. Secara umum masa remaja dianggap ada dalam satu periode transisi dengan tingkah laku antisocial yang potensial. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja, salah satunya pola asuh orang tua. Pola asuh orang yang diterapkan orang tua akan mempengaruhi perkembangan fisik, emosional dan intelektual anak. Tujuan Penelitian: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri I Batujajar Kabupaten Bandung Barat. Metode Penelitian: Metode penelitian menggunakan desain kros seksional. Sampel dalam penelitian ini siswa-siswi kelas X dan kelas XI sebanyak 87 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik stratified proportional random sampling.Data diperoleh dengan wawancara. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan nilai α = 0,05. Hasil Penelitian: hasil penelitian menunjukkan pola asuh demokratis 16 responden ( 18,4%) dan tidak demoktratis 71 responden ( 81,6%). Pola asuh otoriter 19 respenden ( 21,8%) dan tidak otoriter 68 responden ( 78,2%). Pola asuh permisif 40 responden ( 46,0%) dan tidak permisif 47 responden (54%). Pola asuh neglectful 15 responden ( 11,2%) dan tidak neglectful 72 responden (82%). Sebanyak 41 responden ( 47,1%) ada kenakalan remaja dan 46 responden ( 52,9%) tidak ada kenakalan remaja. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara pola asuh demokratis dengan kenakalan remaja ( nilai p = 0,101), dan pola asuh otoriter dengan kenakalan remaja ( nilai p = 0,813). Ada hubungan antara pola asuh permisif dengan kenakalan remaja ( nilai p = 0,002 ) dan pola asuh neglectful dengan kenakalan remaja ( nilai p = 0,012 ). Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara pola asuh demokratis dan pola asuh otoriter dengan kenakalan remaja. Ada hubungan antara pola asuh permisif dan neglectful dengan kenakalan remaja Keywords: pola asuh, orang tua, kenakalan remaja. 140 PENDAHULUAN Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses mencapai dewasa inilah anak harus memalalui berbagai tahap tumbuh kembang, termasuk tahap remaja ( Soetjiningsih, 2004 ). Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda ( Marheni dalam Soetjiningsih, 2004 ). Sedangkan menurut Sarwono (2006), batasan usia 11 – 24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia. Batasan remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun, dan remaja akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun ( Al-Mighwar, 2006 ). Secara umum masa remaja dianggap ada dalam satu periode transisi dengan tingkah laku antisosial yang potensial, disertai dengan banyak pergolakan hati atau kekisruhan batin pada fase-fase remaja (Kartono, 2010). Menurut Kartono (2010) perilaku anak-anak remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma social, mayoritas kenakalan remaja berusia dibawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15- 19 tahun; dan sesudah umur 22 tahun, kasus kenakalan remaja jadi menurun. Sebuah survey online yang dilakukan oleh salah satu majalah remaja bekerja sama dengan sebuah badan yang berkampanye mencegah kehamilan dini pada remaja. The National Campaign to Preven Teen and Unplanned Pregnancy di Amerika Serikat. Sebanyak 1.280 remaja dan dewasa muda ikut dalam survey tersebut. Hasil cukup mengejutkab bahwa sebanyak 11% mereka yang berumur 13-16 tahun mengaku pernah berfoto setengah bugil dengan ponselnya. Lalu mempublikasikan foto itu lewat blog atau website pribadinya ( Kenakalan Remaja. 18 Desember 2010) Detikhot. ) Belakangan ini, kasus-kasus kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia menjadi sungguh sangat memprihatinkan dari tahun 2008 mencapai 15.000 kasus narkoba, 468 di antaranya dilakukan oleh remaja. Fakta dari Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2010 menyatakan bahwa dalam lima tahun terakhir jumlah kasus tindak pidana narkoba rata-rata hingga mencapai 51,3% atau bertambah 3.100 kasus pertahun. Kenaikan tertinggi tahun 2009 sebanyak 16.252 kasus atau naik 935 dari tahun sebelumnya. Ditahun yang sama tercatat 22.000 orang tersangka kasus tindak pidana narkoba, kasus ini naik 101,2% dari tahun 2009 sebanyak 11.323 kasus ( Badan Narkotika Nasional, 2010.¶ 1. http: // www.bnn.go.id, diperoleh tanggal 3 Januari 2012 ) 141 Selain itu di Indonesia di perkirakan jumlah prostitusi remaja yang berusia antara 15-20 tahun sebanyak 60% dari 71.280 orang. UNICEF Indonesia menyebutkan angka 3% dari 40.000-150.000 orang dari angka 17.000 pelacur remaja atau 50% dari total penjaja seks ( Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,2010 ¶ 2, http://www.bkkbn.go.id. Diperoleh tanggal 3 januari 2012 ). Di Jawa Barat , hasil survey dasar kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang dilakukan BKKBN Jawa Barat terhadap 288 responden usia sekolah SMP dan SMA di enam Kabupaten di Jawa Barat pada bulan Mei 2010 diperoleh data sekitar 39,55% remaja Jawa Barat pernah melakukan seks pranikah (perzinahan). Ternyata semakin keatas jenjang sekolah, moralitas mereka semakin rusak. Bahkan terdapat bukti tambahan dari survey sebuah LSM menyatakan 44,8 % mahasiswa dan remaja Bandung telah melakukan hubungan perzinahan, bahkan hampir sebagian besar di wilayah kos-kosan mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) tersebar di Bandung. ( Fenomena seks in the kost. Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM).Sahabat Anak dan Remaja Indonesia (Sahara Indonesia). Juni 2010.¶.1,diperoleh tanggal 3 Januari 2012 ). Jenis-jenis kenakalan remaja terbagi menjadi empat yaitu : 1.Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, dan pembunuhan. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan. 3.Kenakalan social yang tidak menimbulkan korbang di pihak lain : pelacuran , penyalahgunaan obat, hubungan sebelum menikah/perzinahan. 4.Kenakalan melawan status : mengingkari status anak seperti membolos, pergi dari rumah tanpa sepengetahuan orang tua, membantah perintah orang tua (Sarwono, 2011) Beberapa faktor yang turut mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja adalah kelalaian orang tua dalam mendidik anak, sikap perlakuan orang tua yang buruk terhadap anak, kehidupan ekonomi keluarga yang morat-marit, diperjualbelikan minum keras dan obat-obatan secara bebas, kehidupan moralitas masyarakat yang kondusif, pengaruh teman sebaya, perceraian orang tua dan kualitas lingkungan ( Yusuf, 2011 ) Kenakalan remaja dapat ditinjau dari empat factor penyebab, yaitu : factor pribadi, factor keluarga yang merupakan lingkungan utama, maupun factor sekolah dan lingkungan sekitar yang secara potensial dapat membentuk perilaku seorang remaja. Keluarga dibutuhkan seorang anak untuk mendorong, menggali, mempelajari, dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, religiusitas, norma-norma dan sebagainya (Wahyuningsih,2007.¶ 24, http://www.uny.ac.id,diperoleh tanggal 3 Januari 2012 ). 142 Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relaitf konsisten dari waktu ke waktu. Pola asuh ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif. Terdapat empat macam pola asuh orang tua : pola asuh demokratis, otoriter, permisif dan neglectful ( Baumrind, 1967 dalam Petranto, 2006. ¶ 2. http://dwppfrijenewa.isuisse.com, diperoleh tanggal 3 Januari 2012 ) Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain. Pola asuh otoriter cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar memberikan kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. Pola asuh neglectful akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem (harga diri ) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman. Tipe pola asuh neglectful adalah orang tua memberikan waktu yang sangat sempit pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka.( Baumrind.1967 dalam Petranto,2006.¶ 5.http://dwppfrijenewa.isuisse.com, diperoleh tanggal 3 Januari 2014) Menurut (Santrock 2007) Pola asuh penelantar atau neglectful parenting style. Pola asuh ini bercirikan orang tua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak karena cenderung lalai. Urusan anak dianggap oleh orang tua sebagai bukan urusan meraka atau orang tua menganggap urusan sang anak tidak lebih penting dari urusan mereka. Anak yang diasuh dengan gaya seperti ini cenderung kurang cakap secara social, memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk, tidak memiliki kemandirian diri yang baik, dan tidak bermotivasi untuk berprestasi. Dalam konteks timbulnya perilaku penyimpangan oleh remaja, pola asuh seperti ini menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki frekuensi tinggi 143 dalam melakukan tindakan anti social. Karena mereka tidak biasa untuk diatur sehingga apa yang mereka mau lakukan ( Santrock, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Departemen Sosial tahun 2004, bahwa pola asuh yang dominan menurut remaja adalah pola asuh otoriter ( 83,33%) dan disusul dengan pola asuh permisif dan demokratis masing-masing 9% dan 7,67%. Keluarga yang kurang demokratis dalam menerapkan pola asuh terhadap anak, akan menciptakan iklim yang kurang kondusif bagi perkembangan anak diantaranya adalah perilaku menyimpang dan kenakalan remaja ( DepSos (2004), http://goresanelinova.wordpress,com diperoleh pada tanggal 7 Januari 2012 ). Sedangkan hasil penelitian Rani F ( 2008), menunjukkan ada hubungan antara persepsi anak tentang pola asuh permisif dengan kenakalan remaja, dan persepsi anak tentang pola asuh neglectful dengan kenakalan remaja. Setelah peneliti melakukan studi pendahuluan ke SMAN 1 Batujajar pada tanggal 11 Januari 2012, dengan mewawancarai guru bimbingan konseling dan guru kesiswaan, didapatkan : 100 anak yang bolos sekolah tanpa alasan yang jelas, 6 anak yang suka memperlakukan temannya dengan kekerasan atau berkelahi, 6 anak yang suka melakukan keributan di kelas, 10 anak kedapatan merokok, 2 anak memiliki video porno di ponselnya, 5 anak sekolah dalam keadaaan mabuk, 32 anak suka kesiangan dan pada tahun 2009, seorang siswi hamil diluar nikah. Selain itu, ada 15 orang tua atau wali murid yang tidak datang ketika diundang ke sekolah dalam rangka menyelesaikan masalah anaknya. Mereka yang seringm bermasalah tersebut kebanyakan berasal dari keluarga yang tidak utuh atau telah bercerai. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti melakukan penelitian tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kenakalan Remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar Kabupaten Bandung Barat Tahun 2012. 144 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deksriptif korelasi yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan denngan tujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar Kabupaten Barat Tahun 2012. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2012. Rancangan penelitian yang digunakan adalah kros seksional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar kelas X dan XI berjumlah 641 siswa. Sampel yang digunakan adalah 87 siswa. Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified proportional random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan tehnik wawancara. HASIL PENELITIAN 1. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Demokratis Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN I Batujajar Hasil penelitian mengenai hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar dengan menggunakan Analisis bivariat dengan uji Chi Square dengan alpha = 0,05, dapat dilihat pada Tabel 1, berikut ini: Tabel 1 Hubungan Pola Asuh Orang Tua Demokratis Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012 Kenakalan Remaja Pola Asuh Orang Tua Tidak Nakal n Demokratis 11 % 68,7 Total Nilai p Nakal n 5 % 31,3 n % 16 100 145 Tidak Demokratis 30 Jumlah 41 42,3 41 57,7 71 100 0.101 47,1 46 52,9 87 100 Pada Tabel 1 tertera data mengenai pola asuh orang tua demokratis sebanyak 11 responden (68,7%) tidak nakal, dan 5 responden (31,3%) terlibat dalam kenakalan remaja. Sedangkan pada pola asuh orang tua tidak demokratis terdapat 30 responden ( 42,3%) dan 41 responden (57,7%) terlibat dalam kenakalan remaja. Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua demokraktis dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p > 0,05 ). „2.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Tabel 2 . Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012 Kenakalan Remaja Pola Asuh Orang Tua Total Tidak Nakal Otoriter Nilai p Nakal n % n % n % 8 42,1 11 57,9 19 100 0,813 Tidak Otoriter 33 48,5 35 51,5 68 100 Jumlah 41 47,1 46 52,9 87 100 146 Dari tabel diatas ternyata pada pola asuh orang tua otoriter terdapat 8 responden (42,1%) tidak nakal dan 11 responden (57,9%) terlibat dalam kenakalan remaja. Sedangkan pada pola asuh orang tua tidak otoriter terdapat 33 responden ( 48,5%) tidak nakal dan 35 responden (51,5%) terlibat dalam kenakalan remaja. Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p > 0,05 ). 3.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Tabel 3 Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012 Kenakalan Remaja Pola Asuh Orang Tua Total Tidak Nakal Permisif Nilai p Nakal n % n % n % 11 27,5 29 72,5 40 100 0,002 Tidak Permisif 30 63,8% 17 36,2 47 100 Jumlah 41 47,1 46 52,9 87 100 147 Dari tabel diatas ternyata pada pola asuh orang tua permisif terdapat 11 responden (27,5%) tidak nakal dan 29 responden (72,5 %) terlibat dalam kenakalan remaja. Sedangkan pada pola asuh orang tua tidak permisif terdapat 30 responden ( 63,8%) tidak nakal dan 17 responden (36,2%) terlibat dalam kenakalan remaja. Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata ada hubungan antara pola asuh orang tua permisif dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p < 0,05 ). 4.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Neglectful Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Tabel 4 Hubungan Pola Asuh Orang Tua Neglectful Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Tahun 2012 Kenakalan Remaja Pola Asuh Orang Tua Total Tidak Nakal Neglectful Nilai p Nakal n % n % n % 12 80,0 3 20,0 15 100 0,012 Tidak Neglectful 29 40,3 43 59,7 72 100 Jumlah 41 47,1 46 52,9 87 100 Dari tabel diatas ternyata pada pola asuh orang tua neglectful terdapat 12 responden (80,0%) tidak nakal dan 3 responden (20,0 %) terlibat dalam kenakalan remaja. Sedangkan 148 pada pola asuh orang tua tidak neglectful terdapat 29 responden ( 40,3%) tidak nakal dan 43 responden (59,7%) terlibat dalam kenakalan remaja. Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata ada hubungan antara pola asuh orang tua neglectful dengan kenakalan remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batujajar ( p < 0,05 ). PEMBAHASAN 1.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Demokratis Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel .1. tidak ada hubungan antara pola asuh demokratis dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p > 0,05 ). Hal ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang mendorong anak untuk mandiri namun masih menetapkan batasan dan kendali pada tindakan mereka ( Santrock, 2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Yusuf (2011), bahwa pola asuh demokrasi akan berdampak terhadap perilaku anak ( kompetensi emosional, social, dan intelektual ). Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakterisitik anak yang bersikap bersahabat, memiliki percaya diri, mampu mengendalikan diri, bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa percaya diri. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Yusuf (2011) , bahwa pola asuh demokratis tidak ada hubungan dengan kenakalan remaja tetapi ada faktor lain yang bisa mengakibatkan kenakalan remaja seperti : perceraian orang tua, perselisihan orang tua, hidup menganggur, dan kurang memanfaatkan waktu. 2.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel.2 tidak ada hubungan antara pola asuh otoriter dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p > 0,05 ). Menurut Yusuf (2011 ) pola asuh otoriter akan menghasilkan karakterisitik anak yang mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai 149 arah yang tidak jelas. Sedangkan menurut Santrock (2007) mengungkapkan bahwa pola asuh otoriter biasanya mengakibatkan perilaku anak yang egoistis dan antisosial. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Kartono (2010) bahwa sebagian besar dari remaja tidak semua melakukan kejahatan atau kenakalan sekalipun mempunyai kecenderungan anti sosial/kenakalan, disebabkan adanya kontrol diri yang kuat dari setiap diri remaja dan kepatuhan secara normal terhadap kontrol sosial yang efektif. Sedangkan menurut Hurlock dalam Rani (2008) mengungkapkan bahwa pola asuh otoriter akan berdampak ketika remaja sudah dewasa, dan penerapan pola asuh semasa dulu akan diterapkan kembali anaknya kelak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rani (2008), yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara persepsi anak tentang pola asuh otoriter dengan kenakalan remaja. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang diungkapkan Yusuf (2011), bahwa pola asuh otoriter tidak ada hubungan dengan kenakalan remaja tetapi ada faktor lain yang bisa mengakibatkan kenakalan remaja seperti : perceraian orang tua, perselisihan oorang tua, hidup menganggur, kurang memanfaatkan waktu. 3.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel.3. orang tua permisif ada hubungan antara pola asuh dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p < 0,05 ). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rani (2008), menunjukkan adanya hubungan antara persepsi anak tentang pola asuh permisif dengan kanakalan remaja. Hasil penelitian ini sesuai pula dengan teori Yusuf (2011), bahwa pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif , agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara social. Orang tua tipe ini biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun biasanya bersifat hangat, sehingga sering kali disukai oleh anak. Hal ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pola asuh orang tua permisif adalah pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. 150 4.Hubungan Pola Asuh Orang Tua Neglectful Dengan Kenakalan Remaja Di SMAN 1 Batujajar Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada tabel.4. ada hubungan antara pola asuh orang tua neglectful dengan kenakalan remaja di SMAN 1 Batujajar ( p < 0,05 ). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rani (2008), menunjukkan adanya hubungan antara persepsi anak tentang pola asuh neglectful dengan kanakalan remaja. Hasil penelitian ini sesuai pula dengan teori Yusuf (2011), bahwa pola asuh neglectful akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsif, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan perilaku kurang perhatiab secara fisik dan psikis pada anaknya. Hal ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pola asuh orang tua neglectful adlah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Markum ( dalam Maryani ,2007 ) mengungkapkan bahwa dari keempat pola asuh yang orang tua terapkan tidak ada satu polah asuh yang terbaik yang diterapkan pada anak. Hal ini karena setiap anak dilahirkan dengan membawa tempramen dan pola perilaku tersendiri. Maka dari itu Baumrind ( dalam Dariyo, 2004 ) ,berpendapat seringkali orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes, dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu, sehingga seringkali muncul tipe pola asuh situasional. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua demokratis dengan kenakalan remaja ( p > 0,05 ). 2. Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan kenakalan remaja ( p > 0,05 ). 3. Ada hubungan antara pola asuh orang tua permisif dengan kenakalan remaja ( p < 0,05 ). 4. Ada hubungan antara pola asuh orang tua neglectful dengan kenakalan remaja ( p < 0,05 ). 151 SARAN 1. Mengefektifkan forum pertemuan antara orang tua murid dengan pengajar dan berkoordinasi dengan tim bimbingan konseling sehingga orang tua dan guru dapat mengetahui dan memonitor perkembangan anak di sekolah dan rumah. 2. Membina komunikasi antara orang tua, guru atau orang terdekat dengan remaja dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi para remaja. 3. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan sebagai bahan perbandingan pada penelitian yang sama atau untuk melakukan melakukan penelitian lebih lanjut. 152 KEPUSTAKAAN Agustiani,H.( 2009). Psikologi Perkembangan Edisi Revisi II. Bandung.Refika Aditama Al-Mighwar, M.(2005). Psikologi Remaja Petunjuk Bagi Guru dan Orang Tua. Bandung. Pustaka Setia. Anonim. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2010. Jumlah Prostitusi Remaja Berusia 15-20. http://www.bkkbn.go.id.diperoleh pada tanggal 3 Januari 2012. ________ . Badan Narkotika Nasional,2010.Kasus-Kasus Kenakalan Remaja. http://www.bnn.go.id, diperoleh tanggal 3 Januari 2012 ________ . DepSos (2004). Pola Asuh Yang Dominan Menurut Remaja. http://goresanelinova.wordpress.com. Diperoleh tanggal 7 Januari 2012 Arikunto, S. 2010,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi Jakarta.Rineka Cipta Dario, (2004) . Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung.Rosda Hidayat,A.A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisis Data. Jakarta; Salemba Medika. Kartono.(2010).Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta .Rajawali Pers Lembaga Swadaya Masyarakat Sahara Indonesia.( 2010).Fenomena Sex in The Kost. Diperoleh pada tanggal 3 Januari 2011 Maryani, E.(2007) Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Anak Usia 153 Sekolah (9-12 Tahun) Di Sekolah Dasar Negeri Sukaraja III Kecamatan Rawamerta Karawang. STIKes Ahamad Yani Masngudin.(2004). Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang.. http://www.depsos.go.id. Diperoleh tanggal 3 Januari 2012 Notoatmodjo.S.(2010). Metodologi PenelitianiKesehatan .Edisi Revisi.Jakarta Rineka Cipta. Nursalam.(2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. (Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Keperawatan). Jakarta. Salemba Medika Panuju,P. dan Ida.U .( 2005). Psikologi Remaja. Jogjakarta; Triara Wacana Yogya. Petranto, I.( 2006).Rasa Percaya Diri Anak ADalah Pantulan Pola Asuh Orangtuanya. http://dwipptrijenewa.isuisse.com, diperoleh tanggal 3 Januari 2012 Rani, F. (2008).Hubungan Persepsi Anak Tentang Pola Asuh Orang Tua Dengan Kenakalan Remaja Di SMA Pasundan 3 Bandung. STIKes Ahmad Yani. Riyanto ,(2009) .Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Cetakan Kedua.Nuha Medika. Yogjakarta. Santrock, (2007),Perkembangan Anak . Jilid 2 Edisi 11. Jakarta. Erlangga Sarwono,S.W.( 2006)..Psikologi Remaja. Jakarta. Rajawali Press 154 Sugiyono, (2010). Statistik Untuk Penelitian. Bandung. Elfabeta Soetjiningsih.( 2004).Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahanny . Jakarta. Sagung Seto Wahyuningsih,S (2007).Pengaruh Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja. http://www.uny.ac.id. Diperoleh tanggal 3 Januari 2012 Yusuf.H.S .(2011).Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja .Bandung.Rosda. 155 GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG RUMAH SEHAT DI RW 05 KELURAHAN UTAMA, KECAMATAN CIMAHI SELATAN THE DESCRIPTION OF KNOWLEDGE ABOUT HEALTH HOUSE AT RW 05 SOCIETY IN MAIN SUB-DISTRICT, SOUTH CIMAHI DISTRICT Budi Rianto dan Ersan Maulana Ramdani DIII Keperawatan STIKes Budi Luhur Cimahi ABSTRACT Background: The rapid advances in technology and health have given to human understanding and awareness that housing unhealthy or poor housing is the cause of the low level of physical and spiritual health. This led to out breaks of disease and reducing the work force or power production, slum settlements in the cities was increasingly mushrooming. The housing minister stated that the facts show that the house is not habitable or slums to reach 4.8 million housing units. In 2009 the proportion of eligible healthy in western Java has reached 59.78% (West Java Health Office 2009). Phenomena about healthy home for the community itself is still quite common or some of them even do not know the meaning of a healthy home, healthy home for health benefits, the risk of unhealthy and healthy home conditions. This is due to lack of information. Besides, it is also the knowledge and understanding of society itself is still relatively poor Purpose: The writer would like to know the description of society Knowledge about Healthy Housed at RW 05 society in Hujung village, Main Sub-District, South Cimahi district. Methods: This study used descriptive method, Sample retrieval techniques in this study conducted in a "simple random sampling". Samples used as many as 100 respondents by distributing questionnaires and analyzed using univariate The results: The results of this study found that of 100 respondents, who are knowledge about healthy home by 43(43%) respondents whom had good knowledge, while the less knowledge were as many as 33 (33%)respondents and are knowledge had enough as many as 24(24%)respondents. Conclusion: From the results of a study of 100 respondents with regard to the description of public knowledge about healthy homes in Rw 05 Village Hujung Cimahi District South Main Village, then in general it can be concluded that the knowledge society Hujung Rw 05 village Primary Village South Cimahi district by the number of respondents 100 respondents had a good knowledge of as many as 43(43.0%) respondents. Keywords : Descriptive. Knowledge Healthy Homes 156 PENDAHULUAN Permukiman kumuh dikota-kota kian lama kian menjamur adanya permukiman kumuh dikota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya merupakan fenomena yang sering dijumpai atau ditemui. Permukiman kumuh yang berada diantara Gedung-gedung pencakar langit dari sana dapat terlihat bahwa tidak semua masyarakat yang ada diperkotan memiliki penghidupan yang layak. Mereka yang berada pada permukiman kumuh umumnya adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, keberadaan permukiman kumuh dikotakota besar merupakan salah satu akibat dari semakin derasnya arus migrasi yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota yang tidak diiringi dengan pembangunan di kota secara merata. Oleh sebab itu tidak dapat dipungkiri lagi akan semakin bertambahnya pula permukiman kumuh dikota-kota besar. (http://www.tribunnews.com/ 25 Desember 2012). Pada tahun 2009 proposi rumah yang memenuhi kriteria sehat di Jawa Barat baru mencapai 59,78% (Dinkes jawa barat.2009) Kota Bekasi memiliki proporsi rumah sehat yang paling tinggi, yaitu mencapai 89,74% sedangkan yang paling rendah adalah kabupaten bandung yang hanya mencapai 28,13% Kepala Bidang Perumahan dan Permukiman Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi menyatakan, tiga titik kawasan permukiman yakni, di bantaran sungai, wilayah yang berbatasan dengan kawasan industry dan di sepanjang lintasan rel kereta api. Menurutnya, tiga titik tersebut selalu menjadi lokasi favorit berkembangnya permukiman kumuh di Kota Cimahi. Penetapan tiga kawasan kumuh yang menjadi prioritas pembenahan itu juga sudah tercantum dalam Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP). (Dinkes jawa barat.2009 diperoleh pada tanggal 25 Desember). Pada 2011 lalu, pihaknya melakukan pembenahan di wilayah Melong dan Cigugur Tengah dimana kedua wilayah tersebut berbatasan langsung dengan kawasan industri. Untuk tahun ini, pembenahan permukiman kumuh akan difokuskan di wilayah Cibeureum yang bersampingan langsung dengan lintasan rel kereta api. Pembenahan terus dilakukan setiap tahunnya, namun dilakukan secara parsial akibat terbatasnya anggaran yang tersedia. (http://www.inilahjabar.com diperoleh 28 Desember 2012). Pada 2012 ini, pihaknya berencana membenahi 185 unit rumah yang dananya berasal dari APBD Kota Cimahi 2012, mengakui dengan tingkat pertambahan penduduk yang mencapai 2,2% setiap tahun, Kota Cimahi dihadapkan pada persoalan serius terkait ketersediaan perumahan bagi penduduknya. Namun begitu,tak bisa menyebutkan angka pasti jumlah permukiman kumuh di kota cimahi (http://www.inilahjabar.com/di peroleh pada tanggal 28 Desember). Fenomena tentang rumah sehat bagi masyarakat itu sendiri masih terbilang cukup awam atau beberapa diantaranya bahkan tidak tahu dari pengertian rumah sehat, manfaat rumah sehatbagi kesehatan, resiko rumah tidak sehat dan syarat-syarat rumah sehat. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi. Disamping itu juga pengetahuan dan pemahaman dari masyarakat itu sendiri masih tergolong kurang baik. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang bagaimana pengetahuan masyarakat Rw 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan. 157 METODELOGI PENELITIAN Pada penelitian ini menggunakan metode desriktif dengan Rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil dan dapat digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan (Nursalam 2008). 1. Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2010). Adapun variable dalam penelitian ini adalah Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan. 2. Definisi Oprasional Definisi oprasional merupakan variabel yang telah didefinisikan yang perlu didefinisikan secara oprasional, sebab istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang berlainan. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi penelitian Populasi penelitian ini adalah mayarakat RW 05 Desa Hujung kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan yang berjumlah 1.000 (Kepala keluarga). 2. Sampel Penelitian Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik “simple random sampling” yaitu pengambilan sampel dilakukan secara acak dari setiap. Adapun sampel yang akan diambil adalah dengan menggunakan rumus menurut Notoatmodjo, 2002 sebagai berikut: Keterangan : N = Besar Populasi n = Besar Sampel d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan 0,1 Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang dengan pembagian strata sebagai berikut : RT 01 RT 02 RT 03 7 kepala keluarga 158 RT 04 RT 05 RT 06 RT 07 RT 08 RT 09 RT 10 A. yaitu : 100 orang. Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data Peneliti membuat kuesioner dengan dimodifikasi oleh peneliti sendiri disesuaikan dengan teori yang dikemukakan oleh Setiadi (2007). Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan yang sudah berkeluarga (kepala keluarga). 2. Instrumen Penelitian Sebagai alat pengumpul data dalam penilitian ini adalah kuesioner yang didesain khusus sesuai dengan tujuan penelitian dan variabel yang akan diteliti. 3. Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas Penguji menggunakan teknik uji validitas Korelasi Pearson Product Moment. Skor setiap item pertanyaan yang diuji kevalidannya di korelasikan dengan skor total seluruh item dengan rumus (Riyanto, 2011). rXY = Keterangan : rxy : Koefesien korelasi n : Jumlah responden uji coba ∑X : Jumlah skor item ∑Y :Skor total keseluruhan item Selanjutnya untuk meningkatkan tingkat korelasi dari tiap item atau butir soal yang diperoleh harus dibandingkan dengan angka kritik table korelasi nilai r product moment. Kriteria validasi dari tiap item adalah bila jika (r) ˃0,361 maka item tersebut dapat dikatakan valid, sedangkan (r) ˂0,361, maka item tersebut tidak valid. Setelah data didapat dan ditabulasikan, maka pengujian validitas akan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Uji validasi telah dilaksanakan di RW 10 kelurahan Utama dengan jumlah responden 30 dan terdiri dari 25 pertanyaan. Didapatkan 3 pertanyaan tidak valid. Kemudian 3 pertanyaan yang tidak valid tersebut diperbaiki. b. Uji Reliabilitas Penulis menggunakan teknik uji validitas Cronbach’s Alpha sebagai berikut : 2 k si rii = 1 2 k 1 st 159 Keterangan : rii = Koefisien reliabilitas test k = Cacah butir 2 = Varians skor butir si st2 = Varians skor total Dari hasil analisa diperoleh nilai Cronbach‟s Alpha sebesar 0,959 atau lebih dari 0,7 (costanta) sehingga dinyatakan reliabel. c. Prosedur Penelitian meliputi: Tahap Persiapan, Tahap Pelaksanaan, dan tahap akhir Pengolahan dan Analisa data meliputi: Editing, Coding, Scoring, Processing, Cleaning, dan Tabulating. 1. Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara univariant, yaitu menghitung jumlah kategori dari jawaban responden yang ditampilkan dalam bentuk distribusi frekwensi dan persentase dari tiap variabel. Selanjutnya data yang diperoleh dikumpulkan, pertanyaan yang dijawab dengan benar diberi nilai satu (1) dan jika salah diberi nilai 0 (nol) kemudian dituangkan dalam bentuk tabel dengan perhitungan analisis. Menurut Arikunto (2006): P = x 100% Keterangan : P : Persentase a : Jumlah pertanyaan yang dijawab benar b : Jumlah semua pertanyaan Pengukuran dan interprestasi data dari hasil penelitian dikelompokan dalam 3 kategori, yang mengacu pada teori Arikunto (2003), yaitu: 2. Baik = Apabila pertanyaan dijawab dengan benar sebanyak ≥ 76%-100% 3. Cukup = Apabila pertanyaan dijawab dengan benar sebanyak 56%-75% 4. Kurang = Apabila pertanyaan dijawab dengan benar sebanyak 55% Hasil persentasi kemudian diinterprestasikan kedalam kata-kata atau kalimat dengan menggunakan katagori, sugiyono (2006) sebagai berikut: 0% dibaca tidak seorangpun dari responden, 1-26% dibaca sebagian kecil dari responden, 27-49% dibaca hampir setengah dari responden, 50% dibaca setengah dari reponden, 51-75% dibaca sebagian besar dari responden, 76-99 dibaca hampir seluruh dari responden, 100% dibaca seluruh responden. C. Etika Penelitian Secara umum prinsip etik dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu: 1. Prinsip manfaat a. Bebas dari penderita Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus. 160 b. Bebas dari eksploitasi Partisipasi objek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakini bahwa partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk apapun. Ini bertujuan agar penderita / responden dengan jelas tahu dan paham mengenai maksud dan tujuan dari peneliti melakukan penelitian. c. Resiko (benefits ratio) Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan. 2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity) a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination) Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak untuk memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika mereka seorang klien. b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full disclosure). Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta tanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek. c. Informed consent Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, subjek mempunyai hak untuk bebas berpatrisipasi atau menolak untuk menjadi responden. Pada informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu. 3. Prinsip keadilan (right to justice) a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment) Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian. d. Hak di jaga kerahasiaanya (right to privacy) Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia (confidentiality). B. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian dilakukan di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan. Waktu Penelitian dilakukan pada Bulan Maret-Juli 2013. 161 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Bab ini akan menyajikan hasil penelitian yang telah dilakukan di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan dengan besar sampel 100 responden dengan judul “Gambaran Pengetahuan masyarakat Tentang Rumah Sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan” dengan variabel gambaran pengetahuan tentang pengertian Rumah sehat, gambaran pengetahuan tentang manfaat rumah sehat, gambaran pengetahuan tentang resiko rumah tidak sehat, gambaran pengetahuan tenang syarat-syarat rumah sehat. Table 4.1 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang rumah sehat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tahun 2013. Pengetahuan Frekuensi Persentase (%) Baik 43 43.0 Cukup 24 24.0 Kurang 33 33.0 Total 100 100.0 Dari analisis Tabel 4.1 pengetahuan masyarakat tentang rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Keluraham Utama Kecamatan Cimahi Selatan hampir setengahnya berpengetahuan baik sebanyak 43 responden (43%), hampir setengahnya sebanyak 33 responden berpengetahuan kurang (33%) dan sebagian kecil berpengetahuan cukup sebanyak 24 responden (24%). Table 4.2 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang pengertian rumah sehat di Rw 05 Desa Hujung Kelurahan Utma Kecamatan Cimahi Selatan. Pengetahuan Frekuensi Persentase (%) Baik 35 35.0 Cukup 12 12.0 Kurang 53 53.0 Total 100 100.0 Dari analisis Tabel 4.2 pengetahuan masyarakat tentang pengertian rumah sehat di Rw 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan berpengetahuan kurang tentang pengertian rumah sehat sebanyak 53 responden (53.0%) hampir setengah dari 162 responden berpengatahuan baik tentang pengertian rumah sehat sebanyak 35 responden (35.0%) dan sebagian kecil berpengetahuan cukup tentang pengertian rumah sehat sebanyak 12 responden (12.0%). Table 4.3 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan. Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total Frekuensi Persentase (%) 65 18 17 100 65.0 18.0 17.0 100.0 Dari analisis Tabel 4.3 pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan sebagian besar berpengetahun baik tentang manfaat rumah sehat sebanyak 65 responden (65.0%), sebagian kecil berpengetahun cukup tentang manfaat rumah sehat sebanyak 18 responden (18.0%) dan sebagian kecil yang berpengetahun kurang tentang manfaat rumah sehat sebanyak 17 responden (17.0%). Table 4.4 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang resiko rumah tidak sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan. Pengetahuan Frekuensi Baik Cukup Kurang Total 41 23 36 100 Persentase (%) 41.0 23.0 36.0 100.0 Dari analisis Tabel 4.4 pengetahuan masyarakat tentang resiko rumah tidak sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan hampir setengah dari responden berpengetahuan baik tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 41 responden (41.0%), hampir setengah dari responden berpengetahun kurang tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 36 responden (36.0%), dan sebagian kecil dari responden berpengetahuan cukup tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 23 responden (23.0%). Table 4.5 Distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat tentang syarat-syarat rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan. Pengetahuan Baik Cukup Frekuensi Persentase (%) 43 19 43.0 19.0 163 Kurang Total 38 100 38.0 100.0 Dari hasil analisis Tabel 4.5 pengetahuan masyarakat tentang syarat-syarat rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan hampir setengah dari responden berpengatahuan baik sebanyak 43 responden (43.0%), hampir setengah dari responden berpengetahuan kurang tentang syarat-syarat rumah sehat sebanyak 38 responden (38.0%) dan sebagian kecil dari responden berpengetahuan cukup tentang syarat-syarat rumah sehat sebanyak 19 responden (19.0%). B. Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kepada masyarakat tentang rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan, dapat diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Gambaran Pengetahuan masyarakat Tentang rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden atau masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama kecamatan Cimahi Selatan hampir setengahnya berpengetahuan baik sebanyak 43 responden (43%), hampir setengahnya sebanyak 33 responden berpengetahuan kurang (33%) dan sebagian kecil berpengetahuan cukup sebanyak 24 responden (24%). Adapun masyarakat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan yang berpengetahuan baik dikarenakan mereka tahu dan memiliki pengalaman sama halnya Menurut Notoatmodjo 2007 mengatakan bahwa: Pengatahuan merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang dalam melakukan pengindraan terhadap suatu rangsangan tertentu. Pengindraan ini terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.(over behavior) (Notoatmodjo 2007). 2. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang pengertian rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan Berdasarkan dari hasil analis terhadap 100 responden tentang pengertian rumah sehat, terlihat bahwa berpengetahuan kurang tentang pengertian rumah sehat sebanyak 53 responden (53.0%) hampir setengah dari responden berpengatahuan baik tentang pengertian rumah sehat sebanyak 35 responden (35.0%) dan sebagian kecil berpengetahuan cukup tentang pengertian rumah sehat sebanyak 12 responden (12.0%). Kurangnya pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tentang pengertian rumah sehat terjadi karena masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tidak mendapatkan materi pembelajaran tentang pendidikan kesehatan khususnya mengenai penjelasan pengertian rumah sehat secara jelas, sehingga dengan demikian masih banyak masyarakat yang belum tahu, atau tidak mau tahu dan tidak ingin tahu tentang pengertian rumah sehat.Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang menentukan sikap 164 seseorang, semakin banyak aspek positip dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu begitu juga sebaliknya. 3. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan. Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tentang manfaat rumah sehat, terlihat bahwa sebagian besar berpengetahun baik tentang manfaat rumah sehat sebanyak 65 responden (65.0%), sebagian kecil berpengetahun cukup tentang manfaat rumah sehat sebanyak 18 responden (18.0%) dan sebagian kecil yang berpengetahun kurang tentang manfaat rumah sehat sebanyak 17 responden (17.0%). Mayoritas pengetahuan masyarakat tentang manfaat rumah sehat baik. Adapun responden yang berpengetahuan baik itu mungkin dikarenakan berdasarkan informasi yang diperolehnya melalui fasilitas-fasilitas yang dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, atau buku (Notoatmodjo 2007). 4. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang resiko rumah tidak sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecaman Cimahi Selatan. Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden, terlihat bahwa hampir setengah dari responden berpengetahuan baik tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 41 responden (41.0%), hampir setengah dari responden berpengetahun kurang tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 36 responden (36.0%), dan sebagian kecil dari responden berpengetahuan cukup tentang resiko rumah tidak sehat sebanyak 23 responden (23.0%). Mayoritas pengetahuan responden tentang resiko rumah tidak sehat berpengetahuan baik. Sejalan dengan teori yang disampaikan Notoatmodjo (2007) pengalaman atau pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang diperoleh bisa memperluas pengetahuan seseorang dalam pengetahuan. 5. Gambaran Pengetahuan masyarakat tentang syarat-syarat rumah sehat di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan Berdasarkan dari hasil analisis terhadap 100 responden di RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan tentang syarat-syarat rumah sehat, terlihat bahwa hampir setengah dari responden berpengatahuan baik sebanyak 43 responden (43.0%), hampir setengah dari responden berpengetahuan kurang tentang syarat-syarat rumah sehat sebanyak 38 responden (38.0%) dan sebagian kecil dari responden berpengetahuan cukup tentang syarat-syarat rumah sehat sebanyak 19 responden (19.0%). Mayoritas responden RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan berpengetahuan baik. Menurut Notoatmodjo (2007) keyakinan dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu, baik keyakinan itu sifat positif maupun negatif. 165 SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan dengan jumlah responden 100 responden, memiliki pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 43 responden (43.0%). Adapun faktor yang mempengaruhi kepada masyarakat Rw 05 Desa Hujung Kelurahan Utama adalah dari faktor lingkungan, faktor ekonomi dan faktor sosial. Sedangkan secara khusus berdasarkan klasifikasi sub variabel-variabel penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan mengenai pengetahuan rumah sehat dengan jumlah 100 responden hampir setengahnya memiliki pengetahuan baik yaitu 43 responden (43.0%). 2. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan mengenai pengertian rumah sehat dengan jumlah 100 responden sebagian besar dari responden memiliki pengetahuan kurang yaitu 53 responden (53.0%). 3. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan mengenai manfaat dari rumah sehat dengan jumlah responden 100 responden, sebagian besar berpengetahuan baik yaitu sebanyak 65 responden (65.0%). 4. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan mengenai resiko rumah tidak sehat dengan jumlah responden 100 responden sebagian besar berpengetahuan baik yaitu sebanyak 41 responden (41.0%). 5. Diketahui Pengetahuan masyarakat RW 05 Desa Hujung Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan mengenai swyarat-syarat rumah sehat dengan jumlah responden 100 responden, hampir sebagian dari responden berpengetahuan baik yaitu sebanyak 43 responden (43.0%). B. SARAN Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian yang akan datang serta dapat membedakan tingkat pengetahuan yang lebih sempurna. 166 RELATIONSHIP OF THE KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF NURSE WITH THE INCIDENT CARDIAC PULMONARY RESUSCITATION IN EMERGENCY ROOM AT RSUD ALIHSAN GENERAL HOSPITAL , WEST BANDUNG REGENCY, WEST JAVA PROVINCE Emy Salmiyah, Lim Susanti, dan Dadang Ahmad Nur STIKes Budi Luhur Cimahi ABSTRACT Background of this study is the increasing number of deaths caused by cardiac interval and stopped breathing. Based on WHO data of 2008, the deaths in the world due to heart disease by 13.7%, in Indonesia by 8.7% and amounted to 12.74% of West Java.The purpose of this study are to determine relationship of the knowledge and attitude of nurse with the incident cardiac pulmonary resuscitation in Emergency Room at RSUD Al-Ihsan General Hospital, West Bandung Regency, West Java Province. The method used in this study is the correlation method and research used to design the cross-sectional study. The population in this study were all nurses in the Emergency Room at RSUD Al-Ihsan General Hospital. Collecting data were analyzed with univariate and bivariate percentage by using the chisquare test.Based on the analysis of the results of the study concluded that knowledge has a relationship with the incidence of cardiopulmonary resuscitation with a value of P = 0.001 at α = 0.05 and attitudes have a relationship with the incidence of cardiopulmonary resuscitation with a value of P = 0.000 at α = 0.05. The results of this study concluded that there is a relationship of knowledge with cardiac pulmonary resuscitation events and attitude relationships with cardiac pulmonary resuscitation events. The result is expected, the AlIhsan Hospital to facilitate the nurses to attend seminars / cardiac pulmonary resuscitation refreshing every three months, revised Standard Operasional Procedure Cardiac Pulmonary Resuscitation, conduct ongoing cooperation with STIKes Budi Luhur: America Heart Associtatione Basic Live Support Training International and Ambulance Emergency 118 : Training Basic Trauma Cardiac Live Support. Keywords : Knowledge, attitude, cardiac pulmonary resuscitation 167 PENDAHULUAN Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga dengan melalui suatu proses yaitu proses belajar dan membutuhkan suatu bantuan, misalnya : buku dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan perawat tentang resusitasi jantung paru merupakan modal yang sangat penting untuk pelaksanaan tindakan resusitasi jantung paru pada situasi kritis. Pengetahuan perawat tentang resusitasi jantung paru akan menentukan keberhasilan tindakan resusitasi jantung paru. Makin lambat dimulainya tindakan resusitasi jantung paru yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan makin tinggi pula resiko kematian. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Sikap mendukung yang harus ditunjukan oleh seorang perawat ketika menghadapi pasien henti jantung dan henti napas merupakan respon yang harus dimiliki oleh seorang perawat berupa :Tidak panik, jangan terburu-buru memindahkan korban dari tempatnya, berteriak minta tolong, memperhatikan keamanan penolong, pasien dan lingkungan. Sikap yang mendukung dalam melakukan resusitasi jantung paru tersebut harus dimiliki oleh seorang perawat yang bekerja di rumah sakit. Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung merupakan Rumah Sakit Tipe B milik Provinsi Jawa Barat yang memberikan berbagai macam jenis pelayanan kesehatan yang meliputi : Poli Klinik, Rawat Inap, Tindakan Pembedahan, Laboratorium, Radiologi, Rehabilitasi Medis, Akupunktur, Farmasi, Pelayanan Gawat Darurat. Instalasi Gawat Darurat sebagai salah satu bagian instalasi yang berada di Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan merupakan instalasi yang memberikan pelayanan kepada pasien selama 24 jam terus menerus, dengan fokus utama pelayanan yaitu memberikan pelayanan gawat darurat. seperti yang tercantum pada tabel berikut ini. 168 Tabel 1.1 Tindak Lanjut Pelayanan Pasien Instalasi Gawat Darurat Bulan Januari 2013 Sampai Dengan Maret Tahun 2013 Jenis Kasus No 1. Bulan Bedah Jan Feb Mar Non Bedah Jan Feb Mar Obgyn Jan Feb Mar Jumlah Total Persentase 2. 3. Tindak Lanjut Pelayanan Rawat Rujuk Pulang Pulpak 255 197 450 0 235 141 315 0 296 152 465 0 811 189 910 0 742 215 820 0 806 235 940 0 201 117 80 0 251 136 75 0 298 141 46 0 3848 1518 4130 0 40,1 15,7 43,0 0 Jumlah Mati 3 2 12 23 22 23 0 1 0 87 0,9 905 693 925 1933 1799 2004 398 463 485 9605 100,0 S u m b e r : B a g i a n PPL RSUD Al-Ihsan Berdasarkan data di atas angka kematian pasien di Instalasi Gawat Daurat RSUD Al-Ihsan dari Bulan Januari sampai dengan Maret 2013 sebesar 0,9 %. angka kematian pasien di Instalasi Gawat Darurat cukup tinggi, maka perlu adanya upaya untuk menurunkan angka kematian yang harus dilakukan oleh perawat dengan memahami pengetahuan dan sikap dalam melaksanakan resusitasi jantung paru secara cepat, tepat dan akurat.. Perawat yang bekerja di instalasi gawat darurat harus memilki pengetahuan dan sikap yang baik tentang resusitasi jantung paru, yang salah satunya didapat melalui pelatihan penanganan gawat darurat. Berikut tabel daftar perawat yang sudah tersertifikasi pelatihan penanganan gawat darurat. Tabel1.2 Daftar Perawat Ahli Yang Tersertifikasi Pelatihan Penanganan Gawat Darura tInstalasi Gawat Darurat Tahun 2013 No SertifikatPelatihanPPGD II/BTCLS 1. Tersertifikasi 2. BelumTersertifikasi Total Jumlah Persentase 17 58,6 12 41,4 29 100,0 Sumber :BagianDiklat RSUD 169 Dari tabel diatas menunjukan dari jumlah total perawat IGD sebanyak 29 orang, perawat yang telah mengikuti pelatihan PPGD II/BTCLS sebanyak 58,6 % dan ACLS sebesar 6,9 %. Hal tersebut masih dibawah Standar Pelayanan Minimal Gawat Darurat yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI sebesar 100 %. Pada studi pendahuluan melalui wawancara secara acak pada 15 orang perawat Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan tentang pengetahuan dan sikapketika dihadapkan dengan kejadian tindakan resusitasi jantung, 53 % orang dari responden telah dapat menjawab dengan benar tentang pengertian, tujuan, indikasi dan tahapan resusitasi jantung paru dan 47 % menjawab salah tentang pengertian dan tahapan resusitasi jantung paru . Berdasarkan hasil wawancara sikap ketika menghadapi kejadian resusitasi jantung paru sebanyak 60 % merasa cemas dan panik dan 40 % merasa tidak cemas , oleh karena diantaranya mereka telah mengikuti pelatihan penanganan gawat darurat. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai :“ Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Perawat Dengan Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan kejadian tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung pada penanganan pasien gawat darurat. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini digunakan metode survei Analitik korelasi dengan Rancangan penelitian cross sectional. Variabel Penelitian meliputi: a. Variabel Bebas (variable independent) Variable bebas (variable Independent) adalah Variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Variabel bebas atau variable Independent yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap perawat. b. Variabel Terikat (variable dependent) Variabel terikat (variable dependent)adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel terikat (variable dependent) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kejadian tindakan resusitasi jantung paru. 5. Definisi Operasional Definisi operasional adalah merupakan penjelasan semua variable dan isitilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca mengartika mana penelitian (Setiadi, 2011). Alat ukur yang 170 digunakan adalah Kuisioner dengan skala ordinal serta skor adalah ≥76% : Baik, 5675 % : Cukup, < 56 %: Kurang. Sedangkan untuk Sikap yaitu≥ Mean (86,56) : Mendukung < Mean (86,56) : Tidak Mendukung, serta Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru yaitu≥ Mean (60,22) : Tepat < Mean( 60,22) : Tidak Tepat. B. Populasi Dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung, yaitu :sebanyak 29 perawat. 2. Sampel Kriteria inklusi : CI, PP, PA, pendidikan DIII keperawatan, sedangkan kriteria eklusi : perawat yang sedang cuti melahirkan 1 orang dan peneliti 1 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 27 responden. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampling jenuh yaitu : tehnik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan, karena jumlah populasi relatip kecil (kurang dari 30 responden). C. Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari : a. Variabel pengetahuan menggunakan angket tertutup sebanyak 23 pertanyaan, setiap pertanyaan disediakan empat alternatif jawaban dan salah satu diantaranya jawaban yang benar. b. Variabel sikap menggunakan skala likert sebanyak 34 pernyataan, setiap pernyataan disediakan empat alternative jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). c. Variabel Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru menggunakan observasi sebanyak 23 pernyataan, setiap pernyataan disediakan dua alternative jawaban yang dikategorikan tepat dan tidak tepat. 1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian a. Uji Validitas Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument.Suatu instrument yang valid atau sahih mempunyai valditas yang tinggi. (Arikunto,2010). 171 Uji validitas ini dilakukan untuk setiap item.Teknik uji yang digunakan untuk pertanyaan pengetahuan adalah korelasi Pearson Product Moment. Skor setiap item pertanyaan yang di uji kevalidannya dikorelasikan dengan skor total seluruh item dengan rumus : Rxy : n.XY ( X ) ( Y ) {n. X 2 ( X ) 2 }.{n. Y 2 ( Y ) 2 } Keterangan : Rxy = Koefisien Korelasi n = Jumlah Responden uji coba ∑X = Jumlah skor item ∑Y = Skor total seluruh item Selanjutnya untuk meningkatkan tingkat korelasi dari tiap item atau butir soal yang diperoleh harus dibandingkan dengan angka kritik tabel korelasi nilai r Product Moment. Uji validitas dilaksanakan tanggal 4 - 11 Juni 2013 diIGD Rumah Sakit Cibabat, karena karakterisktik IGD Rumah Sakit Cibabat sama dengan karakteristik IGD Rumah Sakit Al-Ihsan sama. Uji validitas dilakukan pada 20 orang responden. Keputusan uji dikatakan valid, jikanilai r Product Moment : 1) Bila r hitung (r pearson) > r table (0,444) ; maka Ho ditolak artinya pertanyaan valid. 2) Bila r hitung (r pearson) < r table (0,444) ; maka Ho gagal ditolak artinya pertanyaan tidak valid. Setelah dilakukan uji validitas pada 20 orang responden di IGD Rumah Sakit Cibabat, dengan hasil sebagai berikut : a) Pengetahuan Sebanyak 25 butir pertanyaan, diketahui jumlah pertanyaan yang valid sebanyak 21 pertanyaankarena memiliki r hitung>r tabel (0,444). Dan untuk 4 pertanyaan pada nomor : 6, 13, 16, 23 dinyatakan tidak valid karena memiliki r hitung < r table (0,444), sehingga pada penelitian untuk pertanyaan yang tidak valid nomor : 13, 22 diganti kalimatnya, sedangkan pertanyaan yang tidak valid pada nomor : 6,16 tidak digunakan kembali karena sudah terwakilkan dengan pertanyaan yang lainnya. b) Sikap Sebanyak 34 butir pernyataaan, diketahui jumlah pernyataan yang valid sebanyak 31 pernyataan karena memiliki r hitung>r tabel (0,444). Dan untuk pernyataan pada nomor :1,3, 23 dinyatakan tidak valid karena 172 memiliki r hitung < r table (0,444), sehingga pada penelitian, untuk pernyataan yang tidak valid nomor : 1, 23 diganti kalimatnya, sedangkan pernyataan yang tidak valid pada nomor : 3 tidak digunakan kembali karena sudah terwakilkan dengan pernyataan yang lainnya. c) Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru Sebanyak 24 butir pernyataaan, diketahui jumlah pernyataan yang valid sebanyak 23 pernyataan karena memiliki r hitung>r tabel (0,444). Dan untuk pernyataan pada nomor :2 dinyatakan tidak valid karena memiliki r hitung < r table (0,444), sehingga pada penelitian, untuk pernyataan yang tidak valid nomor : 2 diganti kalimatnya. b. Reliabilitas Uji realiabilitas instrumen penelitian menggunakan rumus Alpha Cronbach, dengan pertimbangan bahwa reliabilitas Alpha Cronbach dapat dipergunakan baik untuk instrumen yang jawabannya berskala maupun, yang bersifat dikhotomis. Pertanyaan dikatakan reliable jika jawaban sesorang terhadap pertanyaan/pernyataan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.Uji validitas ini dilakukan pada 20 orang perawat IGD RS Cibabat dengan membandingkan nilai alpha atau nilai r hasil>konstanta (0,6),maka pertanyaan tersebut dikatakan valid atau reliabel. Dan jika r alpha <konstanta, maka pertanyaan tersebut tidak reliabel. Berdasarkan hasil uji reliabilitas kuesioner penelitian pada tanggal 4 - 11 Juni 2013, didapatkan nilai α= 0,955> nilai konstanta (0,6). Jadi seluruh butir pernyataan kuesioner kejadian tindakan resusitasi jantung paruuntuk penelitian ini dinyatakan reliabel, karena memiliki nilai α>konstanta. D. Prosedur Penelitian meliputi: Tahap persiapan, Mendapatkan izin penelitian, Mendapatkan informed concent (persetujuan daeri responden), Melakukan pengumpulan data, Melakukan pengecekan kelengkapan substansi data, Melakukan pengolahan data dan analisa data, Penyusunan laporan penelitian dan Penyajian hasil penelitian. E. Teknik Pengolahan Dan Analisa Data a. Tekhnik pengolahan data meliputi: Editing, Coding, Processing, Cleaning, Tabulating 2. Analisis Data Meliputi Analisis Univariat dan Bivariat 173 F. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah AlIhsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung dari tanggal 15 sampai 30Juni 2013. Hasil Penelitin dan Saran 1. Pengetahuan Perawat Tentang Resusitasi Jantung Paru Dari 27 orang responden, terdapat 7 orang (25,9%) memiliki pengetahuan baik, 9 orang (33,3%) memiliki pengetahuan cukup dan 11 orang (40,7 %) memiliki pengetahuan kurang. Menurut analisa penulis tingginya proporsi kelompok perawat dengan pengetahuan kurang baik tentang resusitasi jantung perawat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu :kurangnya pendidikan dan pelatihan tentang PPGD/BTCLS(41,4 %). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, 2003, bahwa pendidikan dapat menambah wawasan atau pengetahuan seseorang yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan lebih luas dibandingkan tingkat pendidikan yang lebih rendah, sedangkan menurut Prabu,2003 bahwa pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerial yang mempelajari pengetahuan dan keterampilan tekhnis dalam tujuan terbatas. 2. Sikap Perawat Terhadap Resusitasi Jantung Paru Dari 27 orang responden, terdapat 12 orang (44,4 %) mendukung terhadap tindakan resusitasi jantung paru dan 15 orang (55,6 %) tidak mendukung terhadap tindakan resusitasi jantung paru. Menurut analisa penulis tingginya proporsi kelompok perawat dengan sikap yang tidak mendukung terhadap kejadian resusitasi jantung perawat disebabkan : kurangnya perawat memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi tentang resusitasi jantung paru. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, 2003, media masa, seperti :TV, radio, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain merupakan suara komunikasi yang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan berfikir kognitif baru berbagai terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuati hal sehingga terbentuknya arah sikap tertentu. 174 3. Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru Dari 27 orang responden, terdapat dari 12 orang yang mempunyai sikap mendukung, resusitasi sebesar 11 orang (91,7 %) melakukan dengan tepat tindakan jantung paru dan 1 orang (8,3%) tidak tepat melakukan tindakan resusitasi jantung paru, sedangkan dari 15 orang (100 %) yang mempunyai sikap tidak mendukung, sebesar 15 orang (100%) tidak tepat dalam melakukan tindakan resusitasi jantung. Menurut analisa penulis, penyebab seorang perawat tidak tepat dalam melakukan tindakan resusitasi jantung paru disebabkan oleh :kurangnya perawat yang tersertifikasi pelatihan PPGD/BTCLSyaitu :10orang (41,4 %) belum tersertifikasi pelatihan PPGD II/BTCLS. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan menurut Prabu,2003 : pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerialnya mempelajari pengetahuan dan keterampilan tekhnis dalam tujuan terbatas. 4. Hubungan Pengetahuan Dengan Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru. Dari 27 orang responden, terdapat dari 12 orang yang mempunyai sikap mendukung, sebesar 11 orang (91,7%) melakukan dengan tepat tindakan resusitasi jantung paru dan 1 orang (8,3%) tidak tepat melakukan tindakan resusitasi jantung paru, sedangkan dari 15 orang(100 %) yang mempunyai sikap tidak mendukung, sebesar 15 orang (100%) tidak tepat dalam melakukan tindakan resusitasi jantung paru. Hasil analisa hubungan pengetahuan dengan kejadian tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan dengan uji statistik menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0,001< α (0,05) maka disimpulkan bahwa Ho ditolak yang berarti ada hubungan pengetahuan dengan tindakan resusitasi jantung paru. Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis menganalisa : semakin baik pengetahuan perawat tentang resusitasi jantung paru semakin tepat tindakan resusitasi jantung paru yang dilakukan dan semakin kurang pengetahuan resusitasi jantung paru, semakin tidak tepat seorang perawat dalam tindakan resesusitasi jantung paru. Kurangnya pengetahuan tentang resusitasi jantung mengakibatkan perawat tidak tepat dalam melakukan tindakan resusitasi jantung paru, hal ini disebabkan oleh kurangnya perawat memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi tentang resusitasi jantung paru. 175 Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, 2003, media masa, seperti :TV, radio, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain merupakan suara komunikasi yang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. 5. Hubungan Sikap Dengan Kejadian Tindakan Resusitasi Jantung Paru Dari 27 orang responden, terdapat dari 12 orang yang mempunyai sikap mendukung, sebesar 11 orang (91,7 %) melakukan dengan tepat tindakan resusitasi jantung paru dan 1 orang (8,3%) tidak tepat melakukan tindakan resusitasi jantung paru, sedangkan dari 15 orang (100 %) yang mempunyai sikap tidak mendukung, sebesar 15 orang (100%) tidak tepat melakukan tindakan resusitasi jantung paru. Hasil analisa hubungan sikap dengan tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan dengan uji statistik menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0,000< α (0,05) maka disimpulkan bahwa Ho ditolak yang berati ada hubungan sikap dengan tindakan resusitasi jantung paru. Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis menganalisa : semakin mendukung sikap perawat akan resusitasi jantung paru semakin tepat tindakan resusitasi jantung paru yang dilakukan dan semakin tidak mendukung sikap perawat akan resusitasi jantung paru, semakin tidak tepat seorang perawat dalam melakukan tindakan resesusitasi jantung paru. Sikap perawat yang tidak mendukung akan resusitasi jantung paru disebabkan oleh : a. Kurangnya perawat memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi tentang resusitasi jantung paru. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo, 2003, media masa, seperti :TV, radio, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain merupakan suara komunikasi yang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. b. Kurangnya perawat yang tersertifikasi pelatihan PPGD/BTCLS yaitu : 10 orang (41,4 %) belum tersertifikasi pelatihan PPGD II/BTCLS. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan menurut Prabu, 2003 : pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan 176 prosedur sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerialnya mempelajari pengetahuan dan keterampilan tekhnis dalam tujuan terbatas. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Kurang dari setengahnya pengetahuan perawat tentang resusitasi jantung paru kurang baik (40,7 %), lebih dari setengahnya sikap perawat terhadap resusitasi jantung paru tidak mendukung (55,6%), lebih dari setengahnya dari jumlah perawat tidak tepat (59,3%) dalam menghadapi kejadian tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung Tahun 2013. 2. Ada hubungan pengetahuan dengan kejadian tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung Tahun 2013, dengan hasil uji statistik chi-square menunjukan nilai P = 0,001 < α (0,05). 3. Ada hubungan sikap dengan kejadian tindakan resusitasi jantung paru di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung Tahun 2013, dengan hasil uji statistik chi-square menunjukan nilai P = 0,000 < α (0,05). B. Saran Pihak rumah sakit diharapkan dapat memfasilitasi para perawat untuk mengikuti seminar/refreshing resusitasi jantung paru setiap tiga bulan, revisi Prosedur Tetap Resusitasi Jantung Paru, mengadakan kerja sama berkelanjutan dengan STIKes Budi Luhur untuk penyelenggaraan Pelatihan BLS AHA International dan AGD 118 untuk penyelenggaraan Pelatihan BTCLS. 177 Daftar Pustaka Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bina Aksara. ______.2003 Manajemen Penelitian. Cetakan ke enam. Jakarta : PT Rineka Cipta. ______.2010. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Azhwar, Saiffudin. 2010. Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya, Edisi Ke 2.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hidayat, A Aziz Alimul. 2003. Riset Keperawatan &Tekhnik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Hudak,CM dan Gallo, BM. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Alih Bahasa Monika E. dkk. Edisi VI, Volume I . Jakarta : EGC. Maryati, Ade. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Dengan Tindakan Perawat Dalam Penanganan Penderita Gawat Darurat Di IGD RSUD Cibabat Cimahi. Skripsi : STikes Budi Luhur Cimahi. (http://www.scribd.com/doc/107495793/hubungan-antarapengetahuan-dan sikap-dengan-tindakan-perawat-dalam-penanganan-penderitagawat darurat-di-igd-rsud-cib diperoleh pada tanggal 20 Juli 2013). Notoatmodjo,Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. ______. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. ______. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta. Nursalam, 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. PERKI. 2011. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS(Advanced Cardiac Life Support) Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Purwanto,H. 1998. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC Riyanto, Agus. 2009. Pengolahan Dan Analisis Data-Data Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Sugiono. 1999. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Tjokronegoro, A dkk, 1998. Panduan Gawat Darurat, Jilid I Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Wawan & Dewi. 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Manusia (dilengkapi contoh kuesioner).Yogyakarta : Nuha Medika. 178 HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KLINIS PADA KASUS GAWAT DARURAT OLEH MAHASISWA S1 KEPERAWATAN TINGKAT AKHIR STIKES BUDI LUHUR CIMAHI KNOWLEDGE LEVEL RELATIONSHIP WITH CLINICAL DECISION MAKING IN THE CASE OF EMERGENCY BY THE END OF NURSING STUDENTS S1 STIKES BUDI LUHUR CIMAHI 2) 1) Purwo Suwignjo , Sada Ukur Barus dan Wilda Ariefiani Putri 1) Program Studi Ilmu Keperawatan (D3) dan Keperawatan (S1) STIKes Budi Luhur Cimahi 2) 3) Program Studi Ilmu Keperawatan Studi Ilmu ABSTRCT Background: The increasing cases of emergency caused by traffic accidents are the leading cause of death in urban areas. According to data Ditlantas City Police in 2011, there are 7,817 kinds of traffic accidents, the main cause of the rising death toll is the presence of 3 Too Late (3T) is too late to seek help, Too Late Too Late reach the destination and obtain appropriate care after arriving at the destination. Clinical decision making is highly dependent on the knowledge, experience and practice exercises. The purpose of the study: To determine the relationship of knowledge to clinical decisionmaking in case of emergency by the end of the level Nursing Students S1 STIKes Budi Luhur Cimahi. Method: Survey method using cross sectional analytic study. This study used a sample of 40 final year nursing students S1. Were taken with a total sampling. Data obtained by interview and questionnaire later in the statistical analysis. RESULTS: A total of 11 (27.5%) were less knowledgeable, as many as 22 people (55%) and quite knowledgeable of 7 people (17.5%) either knowledgeable. And there were 22 (55.0%) of respondents with no proper clinical decision-making, while 18 (45.0%) with clinical decision-making right. The results of this study found that knowledge has a relationship with clinical decision making with p value = 0.005 at α = 0.05. Conclusions and Recommendations: There is a relationship between knowledge of the clinical decision-making. Institutions are expected to be able to update the methods of cooperative learning, provide emergency simulation and training to students from the first semester to provide emergency knowledge that students were able to take the appropriate clinical decisions. Keywords: Cross Sectional, nowledge, Clinical Decision Making, mergency. 179 PENDAHULUAN Pengertian gawat adalah mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu tindakan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Sehingga prinsip utama pada penanganan kasus gawat darurat ini adalah penanganan cepat dan tepat untuk mengurangi kematian dan kecacatan lebih lanjut dan memaksimalkan peluang untuk hidup atau sembuh (Jevon & Ewens, 2007). Kejadian gawat darurat sering sekali terjadi disekitar kita, baik itu bentuknya kecelakaan rumah tangga, kecelakaan kerja, atau kecelakaan lalu lintas. Sehingga WHO menyarankan, agar tenaga kesehatan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan berdasarkan pendekatan proses pengambilan keputusan klinis berdasarkan evidence based (berdasarkan fakta atau bukti) dalam praktiknya. Dijelaskan dalam sebuah artikel yang menyatakan bahwa Media Aesculapius (2007) kasus gawat darurat yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama di daerah perkotaan. Didukung oleh data menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) jumlah penduduk di dunia pada 2010 meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 1,3 juta orang (Najwa , 2012, tersedia dalam http://www.scribd.com hlm 24, diperoleh tanggal 08 januari 2012) Berdasarkan banyaknya korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas tersebut sehingga WHO (World Health Organization) mengemukakan faktor yang mendasari kematian (Underlying cause) adalah penyakit atau cedera yang menimbulkan serangkaian kejadian yang berakhir dengan kematian, atau kecelakaan atau kekerasan yang menimbulkan cedera yang mematikan. (Najwa , 2012. Tinjauan Pemberian Kode External cause pada kasus gawat darurat di RSUD Kota Bau-Bau http://www.scribd.com hlm 24, diperoleh tanggal 08 januari 2012). Saat ini Rumah Sakit merupakan tempat pertama dalam penanganan korban gawat darurat. Sedangkan jika diperhitungkan, waktu yang dibutuhkan dalam membawa korban dari lokasi kejadian menuju Rumah Sakit begitu terbatas sehingga timbul kegagalan dalam penanganan kasus kedaruratan. Hal tersebut umumnya disebabkan oleh kegagalan mengenal risiko kematian, keterlambatan rujukan, kurangnya sarana yang memadai untuk penanganan pertolongan pertama atau penanganan Bantuan Hidup Dasar. Pengambilan keputusan klinis dapat terjadi berdasarkan suatu proses yang sistemetis, logis dan jelas. Proses pengambilan keputusan klinis dapat dijelaskan, diajarkan dan dipraktikkan secara gamblang. Kemampuan ini tidak hanya tergantung pada pengumpulan informasi, tetapi tergantung juga pada pengetahuan dasar, pengalaman, perilaku(percaya diri, rasa ingin tahu, mau mengambil resiko dll), standar berfikir, intuisi, keterbatasan kemampuan dan lain-lain (Potter & Perry, 2009). 180 Namun yang terjadi pada saat ini, kurangnya kesadaran dan pengetahuan akan penyebab utama meningkatnya angka kematian korban ialah adanya 3 Terlambat (3T) yaitu terlambat mencari pertolongan, terlambat mencapai tempat tujuan dan terlambat memperoleh penanganan yang tepat setelah tiba ditempat tujuan. Hal tersebut merupakan suatu point penting dalam kasus gawat darurat yang berhubungan dengan adanya kecepatan dan ketepatan dalam pengambilan keputusan klinis oleh para penolong saat berhadapan dengan korban (Depkes RI,2000a, ¶ 1 www.eprints.undip.ac.id.pdf diperoleh pada tanggal 09 Januari 2012). Kemampuan pengambilan keputusan klinis sangat tergantung pada pengetahuan, pengalaman dan latihan praktik. Ketiga faktor ini sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan klinis yang dibuat sehingga menentukan tepat atau tidaknya tindakan yang di berikan pada klien. Seorang tenaga klinis apabila dihadapkan pada situasi dimana terdapat suatu keadaan panik, membingungkan dan memerlukan keputusan cepat (biasanya dalam kasus emergency) maka 2 hal yang dilakukan yaitu mempertimbangkan satu solusi berdasarkan pengetahuan yang pernah diperoleh dan meninjau pengalaman yang berkesan dalam menghadapi dan menangani kasus (Azhwar, 2009). Apabila tidak ada pengalaman yang dimiliki dalam situasi ini dan simpanan pengetahuan yang belum memadai maka tenaga klinis tersebut akan mengalami kebingungan dan tidak mampu memecahkan masalah yang ada (Potter&Perry, 2009). Pada studi pendahuluan melalui wawancara secara acak pada 20 orang mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir tentang pengetahuan penanganan kasus gawat darurat dan cara pengambilan keputusan klinis ketika dihadapkan dengan kejadian gawat darurat disekitar, 6 orang dari mereka mengetahui bagaimana cara penanganan kasus gawat darurat mulai dari evakuasi sampai penanganan pertolongan pertamanya, karena 3 dari responden tersebut merupakan anggota organisasi tim kesehatan di kampus yang sering mendapat pelatihan kegawatdaruratan dan 3 responden lainnya mengaku pernah memiliki pengalaman pada orang terdekat mereka yang mengalami kecelakaan, sehingga mereka menanganinya sampai menyerahkan korban ke Rumah Sakit. Sedangkan 14 responden lainnya mengaku bingung dan tidak mampu memecahkan masalah tersebut, sehingga mereka hanya melakukan yang bisa mereka lakukan saja seperti berteriak meminta tolong, bahkan ada juga beberapa dari mereka yang tidak melakukan intervensi apapun. Hal tersebut merupakan suatu fenomena yang harus dicari solusinya. Mahasiswa kesehatan merupakan aset bangsa yang akan menjadi ujung tombak dalam kemajuan-kemajuan dibidang kesehatan. Oleh karena itu pengetahuan dasar dan pengalaman klinis akan sangat memicu timbulnya pemikiran yan inovatif dalam pengambilan keputusan klinis (Potter & Perry, 2009). Melihat fenomena tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan di tuangkan dalam judul “Hubungan Pengetahuan Dengan Pengambilan 181 Keputusan Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir Stikes Budi Luhur Cimahi”. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini adalah : Adakah Hubungan Pengetahuan Dengan Pengambilan Keputusan Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Hubungan Pengetahuan Dengan Pengambilan Keputusan Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir Stikes Budi Luhur Cimahi. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei analitik pendekatan Cross Sectional. Metode penilitian survei analitik adalah survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo, 2010). Variabel penelitian meliputi: variabel independen adalah Pengetahuan, sedangkan variabel dependen adalah Pengambilan Keputusan Klinis. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Hasil ukur pengetahuan meliputi :Kurang,jika <56%, Cukup, jika 56-76%, dan Baik, jika > 76% (Nursalam,2008). Sedangkan variabel dependen Pengambilan Keputusan Klinis adalah hasil ukur tidak tepat dan tepat. Masing –masing variabel menggunakan skala ordinal. Populasi penelitian ini adalah Mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir Stikes Budi Luhur Cimahi yang telah mendapat mata kuliah Gawat Darurat dengan jumlah populasinya sebanyak 40 orang dengan total sampling seluruh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir sebanyak 40 responden. Teknik Pengumpulan Data adalah data primer, yaitu data yang diambil langsung atau dikumpulkan dari mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan angket yang berisi 31 soal pengetahuan dan 2 soal berupa kasus fiktif tentang gawat darurat untuk mengetahui ketepatan pengambilan keputusan klinis mahasiswa dalam menangani kasus gawat darurat. Dalam penelitian ini responden dikumpulkan dalam dua kelas yang berbeda dimana terdapat 20 responden dari setiap kelasnya. Uji validitas dalam penelitian ini akan dilaksanakan pada S1 Keperawatan tingkat akhir di STIKes Ahmad Yani, karena karakterisktik STIKes Ahmad Yani sama dengan karakteristik STIKes Budi Luhur. Uji validitas dilakukan ke 20 orang responden dengan nilai r Product Moment 0,444. Lalu dilanjutkan dengan uji Reliabilita dengan nilai α= 0,949 > nilai konstanta (0,6). Prosedur penelitian yaitu meliputi tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan. 182 Tekhnik pengolahan data yaitu: Editing, Coding, Processing, dan Cleaning. Analisa data diuji dengan analisis univariat dan bivariat dengan metode chi square test ( ), digunakan untuk mengadakan pendekatan (mengestimate) atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi (f0) dengan frekuensi yang diharapkan (f e) dari sampel apakah terdapat hubungan yang signifikan atau tidak antara pengetahuan dengan pengambilan keputusan klinis pada kasus Gawat Darurat (Riyanto, 2009). Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di STIKes Budi Luhur Cimahi, waktu penelitian bulan Januari - Juni 2012. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Analisis univariat a. Gambaran Distribusi Tingkat Pengetahuan Tabel 4.1 Distribusi Tingkat Pengetahuan Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir pada Kasus Gawat Darurat Pengetahuan Frekuensi Persentase (f) % Kurang 11 27,5 Cukup 22 55,0 Baik 7 17,5 Jumlah 40 100 Berdasarkan Tabel 4.1 didapatkan bahwa dari 40 responden terdapat 11 (27,5%) yang berpengetahuan kurang, sebanyak 22 orang (55,0%) berpengetahuan cukup dan sebanyak 7 orang (17,5%) berpengetahuan baik. b. Gambaran Distribusi Pengambilan Keputusan Klinis Table 4.2 Distribusi Pengambilan Keputusan Klinis Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir pada Kasus Gawat Darurat Frekuensi Persentase Pengambilan keputusan klinis (f) % 183 Tidak tepat 22 55 Tepat 18 45 Jumlah 40 100 Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa dari 40 responden terdapat 22 (55,0 %) responden dengan pengambilan keputusan klinis tidak tepat sedangkan 18 (45,0%) dengan pengambilan keputusan klinis tepat. 2. Analisis Bivariat Tabel 4.3 Hubungan Pengetahuan Dengan Pengambilan Keputusan Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir STIKes Budi Luhur Cimahi. Pengetahuan Pengambilan Keputusan Klinis tentang Total P Tidak tepat Tepat Gawat value Darurat Kurang n % n % n % 10 90, 9 1 9,1 11 10 0 Cukup 11 50 11 50 22 10 0 Baik 1 14, 3 6 85, 7 7 10 0 Total 22 55 18 45 40 10 0 0,005 Berdasarkan analisa Hubungan pengetahuan dengan pengambilan keputusan klinis oleh mahasiswa S1 Keperawatan STIKes Budi Luhur dalam menangani kasus gawat darurat didapatkan bahwa dari 11 responden yang berpengatahuan kurang terdapat 10 (90,9%) dengan pengambilan keputusan klinis tidak tepat dan 1(9,1%) dengan pengambilan keputusan tepat. Dari 22 responden yang berpengetahuan cukup terdapat 11 (50%) dengan pengambilan keputusan klinis kurang tepat dan 11(50%) dengan pengambilan keputusan klinis tepat. Dari 7 responden dengan pengetahuan baik terdapat 184 1(14,3%) dengan pengambilan keputusan kurang tepat dan 6(85,7%) dengan pengambilan keputusan klinis tepat. Dari hasil uji chi-square diperoleh p value = 0,005 dengan menggunakan alpha 5 %(0,05) dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pengambilan keputusan klinis pada kasus Gawat Darurat oleh Mahasiswa tingkat akhir STIKes Budi Luhur Cimahi. B. Pembahasan 1. Pengetahuan Dari 40 responden terdapat 11 (27,5%) yang berpengetahuan kurang, sedangkan yang berpengetahuan cukup sebanyak 22 orang (55%) dan yang berpengetahuan baik sebanyak 7 orang (17,5%). Pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan kesehatan juga akan berpengaruh kepada perilaku sebagian hasil jangka menengah dari pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan mahasiswa STIKes Budi Luhur bervariasi ada yang berpengetahuan kurang, cukup dan baik. Setengah dari Mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir berpengetahuan cukup . Setelah wawancara dengan beberapa mahasiswa S1 Keperawatan mengenai pembelajaran Keperawatan Gawat Darurat sebagian besar mengatakan bahwa Gawat Darurat merupakan mata kuliah yang dianggap penuh dengan tantangan karena memerlukan kecepatan dan ketepatan. Gawat darurat merupakan mata kuliah yang cukup sulit dipahami jika tidak diiringii dengan fasilitas praktek, strategi cara pemecahan masalah dan pengalaman dalam menangani kasus gawat darurat secara langsung. Menurut Notoatmodjo (2003) banyak hal yang mempengaruhi tingkat pengetahuan diantaranya yaitu : pengalaman, lingkungan, dan pengaruh media massa. 185 Pengalaman mahasiswa dalam penanganan kasus gawat darurat sangat berpengaruh dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesional yang dapat mengembangkan kemampuan dalam pengambilan keputusan klinis ketika berhadapan dengan kasus. Media massa seperti buku,majalah kesehatan, artikel, jurnal, internet dan lain-lain yang memadai dapat membentuk pengetahuan dan wawasan seseorang. Namun sebagian besar mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir belum memanfaatkan fasilitas internet, jurnal, artikel dan lain-lain secara optimal sehingga informasi mengenai trend dan issu kegawatdaruratan kurang tersosialisasi kepada mahasiswa. 2. Pengambilan keputusan klinis Dari 40 responden terdapat 18 (45,0%) dengan pengambilan keputusan klinis tepat dan 22 (55,0 %) responden dengan pengambilan keputusan klinis tidak tepat. Lebih dari setengah responden pengambilan keputusan klinis dalam penanganan kasus gawat darurat adalah tidak tepat, menurut hasil wawancara dengan beberapa responden bahwasanya responden merasa kurang terasah karena minimnya pelatihan, simulasi, praktek dan pengalaman dalam menangani kasus gawat darurat secara langsung sehingga hal tersebut membuat responden menjadi panik dan bingung tindakan apa yang harus diberikan ketika berhadapan dengan kasus. Pengambilan keputusan sangat bersifat individual tergantung pada nilai dan aktifitas individu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pegetahuan dasar spesifik, Pengalaman, perilaku, standar untuk berfikir, agama dan adat istiadat, serta sosial (Potter& Perry,2009 ; Suhaemi,2004). Pengambilan keputusan klinis adalah kegiatan pemecahan masalah yang berfokus pada penentuan masalah klien dan memilih penatalaksanaan yang tepat (Potter & Perry 2009). Sehingga keterampilan dalam pengambilan keputusan klinis perlu dilatih agar mahasiswa terbiasa menangani kasus gawat darurat dengan cepat dan tepat. 3. Hubungan pengetahuan dengan pengambilan keputusan klinis Berdasarkan analisis hubungan pengetahuan dan pengambilan keputusan klinis didapatkan bahwa dari 11 responden berpengetahuan kurang, dengan sebagian besar pengambilan keputusan klinis tidak tepat. Dari 186 22 Responden yang berpengetahuan cukup dengan setengahnya pengambilan keputusan tepat. Dari 7 responden berpengetahuan baik dengan sebagian besar pengambilan keputusan tepat. Dari hasil uji chi-square diperoleh p value = 0,005 dengan menggunakan alpha 5%(0,05) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pengambilan keputusan klinis pada kasus Gawat Darurat. Hal ini berarti jika pengetahuan baik maka pengambilan keputusan mereka juga akan semakin baik. Hal ini sesuai dengan teori Lawrence Green yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dan perilaku seseorang (Notoatmodjo,2003). Dari hasil penelitian terlihat bahwa mahasiswa berpengetahuan kurang diperoleh hasil lebih dari setengahnya adalah pengambilan keputusan tidak tepat. Tingkat keeratan hubungan antara pengetahuan yang kurang menunjukan bahwa pengambilan keputusan menjadi tidak tepat. Agar pengambilan keputusan menjadi tepat perlu dilakukan upaya peningkatan pengetahuan dan pelatihan dalam memecahkan kasus dan menanganinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (dalam Notoatmodjo,2003) yang menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku dan perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. 187 SIMPULAN A. Simpulan 1. Lebih dari setengah Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir STIKes Budi Luhur Cimahi berpengetahuan cukup dalam menangani kasus Gawat Darurat. 2. Lebih dari setengah mahasiswa S1 Keperawatan tingkat akhir STIKes Budi Luhur Cimahi dengan pengambilan keputusan tidak tepat ketika menangani kasus Gawat Darurat. 3. Ada hubungan antara Pengetahuan Dengan Pengambilan Keputusan Klinis Pada Kasus Gawat Darurat Oleh Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat Akhir Stikes Budi Luhur Cimahi. B. Saran Sebagai bahan masukan dalam peningkatan pengetahuan mahasiswa dengan cara mempergunakan metode pembelajaran evidence based (berdasarkan bukti) dan cooperatif learning. Sebagai bahan acuan memaksimalkan fasilitas yang tersedia seperti internet, hotspot, buku, jurnal dan text book di perpustakaan, dan Sebagai acuan untuk melakukan penelitian berikutnya serta diharapkan agar peneliti selanjutnya dapat meneliti faktor lainnya. 188 DAFTAR PUSTAKA Azhwar, Saiffudin.2010. Sikap manusia teori dan pengukurannya edisi ke 2. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Jevon, Philip dan Ewens Beverly. 2008. Pemantauan Pasien Kritis Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga Medical series. Najwa, 2012. Tinjauan Pemberian Kode Eksternal cause pada kasus Gawat darurat di RSUD Kota Bau-bau. http://www.scribd.com/doc/60696689/6ISI. Notoatmodjo,Soekidjo.2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta. Nursalam, 2008.Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan pedoman skripsi, tesis dan Instrumen penelitian keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Potter & Perry. 2009. Fundamental of Nursing Fundamental keperawatan buku1 edisi 7 .Jakarta : Salemba Medika Riyanto, Agus. 2009. Pengolahan dan analisis data-data kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Suhaemi, Mimin Emi. 2004. Etika Keperawatan Aplikasi pada Praktik.Jakarta : EGC. 189 SOCIAL RELATIONSHIPS ECONOMY OF A FAMILY WITH THE PROVISION OF MP-ASI EARLY IN INFANTS 6-0 MONTHS IN THE VILLAGE OF CILANGARI THE WORK AREA OF DTP GUNUNGHALU SUB-DISTRICT GUNUNGHALU BANDUNG REGENCY WEST 2013 Eva Bherty T, Nandang Mulyana, dan Santi Yayuliani STIKes Budi Luhur Cimahi ABSTRACT Background: complementary Foods BREAST MILK is a food or beverage containing nutrition, given to infants or children aged 6-24 months to meet the needs of its nutrition value, award of MP-ASI early still plentiful in rural areas as well as urban areas. The practice of awarding MP-ASI is one of the indicators of nutrition parenting. Many of the losses or the risk posed by Complementary feeding BREAST MILK (MP-ASI) too early, among others: disorders of lactation, kidney burden too heavy resulting in hiperosmolaritas plasma, allergic to food and digestive disorders or diarrhea. Connection with the provision of MP-ASI in urban areas are education, income, as well as mothers working outside the home. Women in urban areas are mostly working in both the formal or informal sector. In these conditions, for mothers who are breastfeeding difficult to still be able to breastfeed her child, especially if living far apart with a place to work.Research objectives: a social economic family relationship with the MP-ASI giving Premature Infants 0-6 months in Cilangari village of Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung Regency by 2013. Research methods: this research is a study of the analytic of cross sectional study research design. The population in this research is the mother who has a baby age & lt; 6 months as many as 68 people working DPT Gununghalu relic, and samples taken 65 people who meet certain criteria of a sample technique used is the Total Sampling techniques. Data obtained with the dissemination of a questionnaire and analyzed statistically.Research results: there is a significant relationship between maternal education grant MP-ASI early in Cilangari village of Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung Regency. There is a significant relationship between the work of the mother giving the MP-ASI early in Cilangari village of Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung Regency. There is a significant relationship between family income provision of MP-ASI early in Cilangari village of Gununghalu sub-district of DTP work area Gununghalu West Bandung Regency.Summary: there is a significant relationship between social economic families with the provision of MP-ASI early in infants 0-6 months working in the area of COLLAPSIBLE Gununghalu. Suggestion: advised to health workers to do to improve knowledge, counseling craftsmanship and motivation mother about a feeding practices escort breast-fed precisely and correctly. Keywords : Cross sectional, social economy and MP-ASI 190 PENDAHULUAN Kualitas kesehatan penduduk suatu bangsa dapat dilihat dari angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak dan balita (AKABA), dan angka kematian ibu melahirkan (AKI). Gambaran umum derajat kesehatan bayi di dunia hingga saat ini adalah kurang dari 15% bayi diberikan Air Susu Ibu (ASI) selama 4 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping (Suradi, 2004). Bahkan hasil kajian United Nations Children’s Fund (UNICEF), yaitu salah satu Badan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang kesejahteraan anak-anak, menyatakan hampir 90% kematian bayi dan balita terjadi di negara berkembang akibat diare dan ISPA hasil Survey demografi kesehatan WHO ditemukan data pemberian ASI Eklusif yang masih rendah dikarenakan bayi di berikan makanan pendamping ASI terlalu dini (Bahar, 2006). Padahal keadaan tersebut dapat dicegah oleh pemberian ASI atau air susu ibu (Simanjuntak, 2001). Program perbaikan gizi tahun 2010-2014 merupakan kelanjutan dari RPJM 2005-2009 dan sekaligus sebagai milestone pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 dengan sasaran kebijakan adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 18% dan prevalensi gizi lebih menjadi setinggi-tingginya 10%. Upaya perbaikan gizi perlu memberikan perhatian lebih kepada kelompok ibu hamil, bayi dan anak sampai usia 24 bulan terutama keluarga miskin (Budihardja, 2008). Praktek pemberian MP-ASI dini masih banyak dijumpai di daerah pedesaan maupun perkotaan. Praktek pemberian MP-ASI merupakan salah satu indikator pola asuh gizi, yaitu praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Penelitian WHO tahun 2001 tentang pemberian ASI eksklusif (< 4 bulan) dari tahun 1995-2001 di beberapa negara menunjukkan bahwa negara-negara kurang berkembang sebesar 37%, negara berkembang sebesar 48%, dan angka dunia sebesar 45%. Hal ini menggambarkan masih rendahnya praktek pemberian ASI eksklusif dan masih tingginya angka praktek pemberian MP-ASI dini di negara-negara tersebut. Sedangkan penelitian di Amerika Serikat, survey yang dilakukan oleh Russ Laboratories Mother dan NHANES-III tentang ibu yang memberikan ASI dan yang memberikan ASI eksklusif pada bayi sampai umur 6 bulan tahun 1971-2001 menggambarkan bahwa pada tahun 2001 ibu-ibu yang melahirkan di rumah sakit dan memberikan ASI pada bayinya sebesar 69,5% dan diamati secara longitudinal, ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan sebesar 191 32,5%. Dari angka tersebut berarti 67,5% dari ibu-ibu yang memberikan ASI sudah melakukan praktek pemberian MP-ASI dini (Frances, et al 2006). Mengingat pentingnya peran ASI eklusif dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan (Depkes) menetapkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2004 yang menyatakan bahwa ASI Eksklusif diberikan sampai usia bayi 6 bulan. Hal ini penting untuk menurunkan AKB di seluruh propinsi di Indonesia. Sedangkan Dinkes KBB diketahui AKB 30/1000 KH pada tahun 2010. Hal ini dipengaruhi oleh indek kesehatan masyarakat Kabupaten Bandung Barat masih 69,27 yaitu di bawah rata-rata indek kesehatan propinsi yang sebesar 71,03. Dampak yang ditimbulkan yaitu tingginya jumlah bayi dengan gizi buruk yang mencapai 1.160 orang. Selain itu masih bervariasinya sistem pelayanan yang diberikan di Kabupaten Bandung Barat, khususnya di Rongga, Gununghalu, Sindangkerta dan Cililin. (Harian Seputar Indonesia, 2012). Kecamatan Gununghalu terdapat 9 desa, dengan jumlah bayi <6 bulan sebanyak (n=230). Desa Cilangari adalah desa yang memiliki jumlah bayi terbanyak (n = 65) dengan prosentase pemberian ASI dini tertinggi yaitu 34,34%. Tingginya pemberian ASI secara dini telah dibuktikan melakukan study pendahuluan dimana penelitian melakukan wawancara terhadap 20 Ibu yang memiliki usia bayi dibawah 6 bulan sebanyak 16 ibu sudah memberikan makanan pendamping ASI sebelum usia bayi menginjak 6 bulan, sebanyak 3 ibu masih memberikan ASI Eklusif, dan 1 Ibu tidak memberikan ASI pada bayinya. (Pusk DTP Gununghalu, 2013). Desa Cilangari merupakan desa terpencil di Wilayah Kecamatan Gunnghalu dan mayoritas penduduk bertani dan tingkat pendidikan SD – SMP, dengan rata-rata pekerjaan sebagai petani dan buruh. Dari 20 ibu di Desa Cilangari terdapat 10 ibu yang berpendidikan SMP, 3 berpendidikan SD dan 7 berpendidikan SMA. 13 orang bekerja sebagai buruh pabrik dan 7 orang sebagai ibu rumah tangga. 11 diantaranya menyatakan bahwa pendapatan keluarga mereka < UMR dan 9 diantaranya > UMR. Berdasarkan data tersebut, maka peneliti memandang perlu melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan social ekonomi keluarga dengan pemberian makanan pendamping ASI dini pada bayi umur < 6 bulan. Tujuan penelitian inin unutuk mengetahui hubungan social ekonomi keluarga dengan pemberian MP-ASI Dini pada Bayi 0-6 Bulan di Desa Cilangari Wilayah Kerja DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013. 192 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan Metode survei Analitik dengan Rancangan penelitian yaitu studi cross sectional. Variabel penelitian meliputi: Variabel Dependen adalah pemberian MP-ASI dini pada bayi <6 bulan di Desa Cilangari Wilayah Kerja DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013 dan Variabel Independen adalah pemberian MP-ASI dini dalam penelitian ini adalah pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi usia < 6 bulan sebanyak 65 orang di Wilayah Pusk DTP Gununghalu Desa Cilangari Kecamatan Gununghalu Kabuaten Bandung Barat. 2. Sampel Penelitian Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Total Sampling yakni pengambilan sampel dari semua besarnya populasi, jumlah sampel yang memiliki kriteria sebanyak 65 responden yang memenuhi kriteria. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder meliputi: a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden, dengan melakukan wawancara/kuesioner pada variabel pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga. b. Data sekunder : jumlah bayi yang mendapat MP-ASI dini yang tercatat dalam catatan puskesmas. Instumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah berupa daftar pertanyaan (kuesioner) yaitu data umum dan data khusus yang dirancang oleh penulis sendiri yang sebelumnya telah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum penelitian dimulai. Lembar kuesioner, yaitu alat pengumpul data berupa daftar 193 pertanyaan yang sebelumnya telah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum penelitian dimulai. Pengisian lembar kuesioner dengan cara wawancara pada ibu bayi. Uji validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian a. Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan untuk mengukur hubungan social ekonomi yaitu pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga dengan MP-ASI dini pada bayi 0-6 bulan Pada penelitia ini akan di laksanakan di wilayah kerja Puskesmas Rongga sebanyak 20 responden. b. Uji Reliabilitas Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan one shot atau di ukur sekali saja. Disini pengukurannya hanya sekali dan kemudian hasil dibandingkan dengan hasil pertanyaan lain (Riyanto, 2009). Prosedur Penelitian Menyusun proposal, Seminar proposal, Pengumpulan Data, Pengolahan Data dan Penyajian atau presentasi hasil penelitian Analisa Data Analisa dapat dilakukan dengan menggunakan program aplikasi statistik dengan tahapan analisis Univariat dan Bivariat. Lokasi dan Waktu Penelitian Waktu penelitian ini dilakukan pada Tgl 1-25 Agustus 2013 yang dilakukan diwilayah kerja Puskesmas DTP Gununghalu Kec Gununghalu Ds Cilangari Kabupaten Bandung Barat. 194 HASIL PENELITIAN 1. MP-ASI dini Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil analisa univariat diketahui bahwa 41 (63,1%) atau sebagian besar yang memberikan MP-ASI dini dan 24 (36,9%) yang tidak memberikan MP-ASI dini. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar Ibu di Desa Cilangari telah memberikan MP-ASI dini kepada bayinya. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI (Depkes, 2006). Menurut WHO (2004) bahaya pemberian MP-ASI dini adalah produksi ASI akan berkurang sehingga nutrisi tidak terpenuhi, infeksi akan meningkat, mudah terkena diare. Bayi yang sudah diberi makanan setengah padat pada usia kurang dari 6 bulan akan menyusui lebih sedikit. Hal ini disebabkan ukuran perut bayi masih kecil sehingga mudah penuh, sedangkan kebutuhan gizi bayi belum terpenuhi. Akibatnya, proses pertumbuhan bayi akan terganggu. Sebaliknya, apabila bayi yang berumur lebih dari enam bulan belum mengenal makanan lain selain ASI, pertumbuhan dan perkembangannya akan mengalami gangguan. Kemungkinan besar, bayi akan lebih sering menangis karena merasa lapar (Krisnatuti, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah perubahan sosial budaya, faktor psikologis, faktor biologis, faktor kurangnya petugas kesehatan, peningkatan promosi susu kaleng dan penerangan yang salah. (Soetjiningsih, 2004). Kebanyakan ibu di Desa Cilangari tidak memberikan ASI eksklusif (MP-ASI dini) karena sebagian besar ibu bekerja sebagai buruh pabrik yang berdampak pada pola asuh anak sehingga waktu untuk memberikan ASI secara eksklusif terbatas. Selama ditinggal bekerja bayi mereka dititipkan kepada orang tua atau nenek bayi. Karena orang tua mereka beranggapan bahwa anak mereka dulu yang diberi makanan pada umur 2 bulan sampai sekarang dapat hidup sehat dan anggapan buah seperti pisang baik untuk kesehatan bayi sehingga pada usia 2 bulan sudah diberikan. Pengetahuan ibu yang kurang tentang ASI menyebabkan ibu tidak memberikan ASI eksklusif, padahal kondisi bekerja tidak mengahalangi ibu untuk tetap memberikan ASI nya, karena ketidaktahuan cara pengambilan (pemompaan) dan cara penyimpanan menyebabkan ASI tidak diberikan. Notoatmodjo, 2003 faktor-faktor yang memepengaruhi pengetahuan adalah pengalaman, pendidikan, kepercayaan, umur, pekerjaan dan sumber informasi. Dari 195 hasil penelitian sebagian besar ibu berpendidikan rendah dan keadaan pendapatan keluarga tinggi. 2. Pendidikan Ibu Hasil analisa univariat menunjukkan bahwa sebagian besar berpendidikan rendah (< SMA) yaitu 45 (69,2%). Hasil analisa hubungan anatara pendidikan dengan pemberian MP-ASI dini diketahui bahwa bahwa dari 45 ibu yang berpendidikan rendah terdapat 34 (75,6%) yang memberikan MP-ASI dini dan 11 (24,4%) yang tidak MP-ASI dini. Dari 20 ibu yang berpendidikan tinggi diketahui bahwa 7 (35%) yang memberikan MP-ASI dini dan 13 (65%) yang tidak MP-ASI dini. Dari hasil uji chi square diperoleh p value = 0.004 (< alpha 5 %) sehingga Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemberian MP-ASI dini dengan nilai peluang PR =5,740 (95%CI : 1,830-18,003) artinya ibu yang termasuk dalam kategori berpendidikan rendah (< SMA) berpeluang 5,7 kali lebih besar untuk memberikan MP-ASI dini dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah di Kota Semarang tahun 2009 yaitu ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI dini. Pendidikan seseorang dikategorikan kurang/rendah bilamana ia hanya memperoleh ijazah hingga SMP atau pendidikan setara lainnya kebawah, dimana pendidikan ini hanya mencukupi pendidikan dasar 9 tahun. Sementara pendidikan dikategorikan tinggi jika SMA ke atas (Depdiknas, 2007). Pendidikan dapat mempengaruhi daya intelektual seseorang dalam memutuskan suatu hal, termasuk penentuan pemberian ASI eksklusif (tidak MP-ASI dini). Pendidikan ibu yang kurang menyebabkan daya intelektualnya juga masih terbatas sehingga perilakunya sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya ataupun perilaku kerabat lainnya atau orang yang mereka tuakan. Sedangkan seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki pandangan lebih luas tentang suatu hal dan lebih mudah untuk menerima ide atau cara kehidupan baru. Wanita yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Sehingga mereka lebih mampu mengambil keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya dan keluarganya. Misalnya dalam memberikan ASI eksklusif. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah seseorang tersebut menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang 196 dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan itu menuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap pemberian MP-ASI dini, Menurut WHO (2001) mengemukakan bahwa pendidikan menjadi dasar yang penting bagi seseorang karena dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan untuk lebih beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi dapat meningkatkan kemampuan ibu untuk menerima cara-cara pemberian MP-ASI yang baik dan menghindari nasehat keluarga atau teman yang kurang baik (Irawati, 2006). Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan maka terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, makin mengerti waktu yang tepat memberikan makanan tambahan bagi bayi serta mengerti dampak yang ditimbulkan jika makanan tambahan tersebut diberikan terlalu dini. Terbatasnya tingkat pendidikan dan kurangnya keterampilan berpengaruh terhadap kurangnya kesadaran dan manfaat pemeliharaan kesehatan, khususnya kesehatan keluarga dan masyarakat. Tingkat pendidikan yang semakin baik akan menjamin kesehatan keluarga yang baik pula. Ibu yang berpendidikan akan memahami informasi dengan baik penjelasan yang diberikan oleh petugas kesehatan, apalagi yang berhubungan dengan cara pencegahan penyakit dan penanggulangan dini penyakit pada anak. Selain itu, ibu yang berpendidikan tidak akan terpengaruh dengan informasi yang tidak jelas. 3. Pekerjaan Ibu Hasil analisa univariat menunjukkan bahwa setengah nya dari responden bekerja yaitu 33 (50,8%). Berdasarkan analisa hubungan antara pekerjaan dengan pemberian MP-ASI dini diketahui bahwa dari 33 ibu yang bekerja terdapat 28 (84,8%) yang memberikan MP-ASI dini dan 5 (15,2%) yang tidak memberikan MP-ASI dini. Dari 32 ibu yang tidak bekerja terdapat 13 (40,6%) yang memberikan MP-ASI dini dan 19 (59,4%) yang tidak memberikan MP-ASI dini. Dari hasil uji chi square diperoleh p value 0,001 (< alpha 5 %) sehingga Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan antara pekerjaan dengan pemberian MP-ASI dini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Almini (2010) di Desa Tubokarto Wonogiri yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status pekerjaan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI dini. 197 Pekerjaan memiliki pengaruh terhadap pemberian MP-ASI dini, ibu yang bekerja tidak dapat memberikan waktu untuk memberikan ASI bagi bayinya sehingga memberi pengaruh kumulatif yaitu semakin banyak ibu yang tidak menyusui bayinya dan banyak ibu yang memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dini sebagai alternatif (Roesli, 2007). Ibu yang bekerja akan berpengaruh terhadap pola asuh anak, ibu menjadi kurang perhatian dan kurang dekat dengan anak karena sebagian besar waktu siang digunakan untuk bekerja di luar rumah. Selain itu, pemberian ASI untuk bayi pun semakin berkurang. Pada umumnya kendala yang dialami oleh para ibu yang bekerja dan masih mempunyai bayi adalah kesulitan untuk memberikan ASI-nya secara Eksklusif karena biasanya pada ibu yang bekerja, ibu hanya diberikan cuti selama tiga bulan. Waktu tersebut dirasakan kurang cukup bagi ibu karena ibu harus kembali bekerja dan tidak bisa memberikan ASI-nya secara penuh sampai bayi berumur 6 bulan. Kendala lainnya juga yaitu kurangnya fasilitas yang disediakan di tempat ibu bekerja untuk para ibu menyusui seperti tempat atau ruang untuk menyusui bayinya, ruang untuk memerah ASI, ketiadaan waktu ibu untuk mengatur jadwal antara pemberian ASI untuk bayinya dengan jadwal ibu bekerja, keterampilan ibu yang kurang dalam memerah ASI-nya, di tempat ibu bekerja tidak disediakan kulkas atau tempat untuk menyimpan ASI, kesulitan mengatur jarak tempuh antar rumah dengan tempat ibu bekerja dan ibu merasa ASI-nya tidak bisa mencukupi kebutuhan bayinya bahkan sampai ASI-nya tidak keluar karena ibu harus bekerja sehingga ibu tidak memperdulikan pola makan yang benar dan sehat untuk bisa diberikan pada bayinya melalui ASI. 4. Pendapatan Keluarga Hasil analisa univariat menunjukkan setengahnya dari responden menyatakan pendapatan keluarganya tinggi (>UMR) yaitu sebanyak 33 (50,8%). Berdasarkan analisa hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemberian MP-ASI dini diketahui bahwa dari 33 ibu yang menyatakan pendapatan keluarga tinggi ( >UMR) terdapat 26 (78,8%) sebagian besar yang memberikan MP-ASI dini dan 7 (21,2%) yang tidak memberikan MP-ASI dini. Dari 32 ibu yang menyatakan pendapatan keluarga rendah terdapat 15 (46,9%) yang memberikan MP-ASI dini dan 17 (53,1%) yang tidak memberikan MP-ASI dini. Dari hasil uji chi square diperoleh p value=0,016 (< alpha 5 %) sehingga Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemberian MP-ASI dini. 198 Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustini, (2008) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan/ekonomi keluarga dengan pemberian MP-ASI dini yang disebabkan oleh ketidak sulitnya untuk memperoleh makanan bayi tersedia dalam berbagai macam kemasan kecil sehingga dapat terjangkau oleh semua golongan ekonomi. Pemberian ASI yang tidak bisa dilakukan secara penuh biasanya akan didampingi dengan susu formula. Pada ibu-ibu kelompok ekonomi (pendapatan keluarga) menengah ke atas, sudah banyak terpengaruh oleh iklan dan promosi susu formula. Meskipun tanpa disusui sendiri oleh ibunya, kebanyakan ibu-ibu percaya bahwa anaknya akan tetap sehat dan cerdas , akan tetapi bagi ibu dikalangan menengah kebawah ASI tidak diberikan dikarenakan ASI tidak keluar akibar faktor gizi ibu yang kurang dan pendapatan keluarga yang tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari (Hasan, 2005). Orang tua yang mempunyai pendapatan tinggi akan mempunyai daya beli yang tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersebut mengakibatkan pemilihan jenis makanan dan jumlah makanan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, termasuk pada pemberian makanan pendamping ASI bagi bayi. Makanan pendamping ASI dini tidak hanya bisa diberikan oleh keluarga yang memiliki pendapatan dengan kategori tinggi tetapi juga bisa diberikan oleh keluarga yang memiliki pendapatan dengan kategori rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya asumsi bahwa anak akan merasa cepat lapar kalau tidak diberi makan. Selain itu juga sering diberikan air tajin, madu atau pisang pada usia bayi kurang dari 6 bulan. Manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik moral maupun material, baik kebutuhan penting maupun tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Makanan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan melakukan gerak hidupnya. Peningkatan pendapatan dalam rumah tangga memberikan kesempatan kepada rumah tangga untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu jumlah dan keragaman pangan yang mereka beli. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekirman (2000:19), yang menyatakan bahwa keluarga yang berstatus sosial ekonomi yang rendah atau miskin umumnya menghadapi masalah gizi kurang keadaanya serba terbalik dari masalah gizi lebih dan pendapat Soetjiningsih (2004:10), yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga yang baik dapat menunjang tumbuh kembang anak. karena orang tua menyediakan semua kebutuhan anak-anaknya. 199 Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Sehingga tinggi rendahnya pendapatan sangat mempengaruhi daya beli keluarga terhadap bahan pangan yang akhirnya berpengaruh terhadap status gizi seseorang terutama anak balita karena pada masa itu diperlukan banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Ninik, 2005) Pendapatan yang tinggi belum tentu akan diikuti tingginya status gizi balita, sebaliknya dengan pendapatan yang rendah pun belum tentu status gizi balitanya kurang baik. Tidak ada kecenderungan bahwa responden yang mempunyai pendapatan tinggi dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang tinggi pula, demikian juga sebaliknya tidak ada kecenderungan bahwa dengan pendapatan yang rendah alokasi untuk kebutuhan pangan yang rendah. Dengan pengeluaran makan yang lebih tinggi digunakan untuk memenuhi konsumsi pangan dengan kualitas gizi yang baik (Ninik, 2005). SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Dari 65 ibu proporsi terbanyak yaitu : (63,1%) atau sebagian besar ibu yang memberikan MP-ASI dini, (69,2%) atau sebagian besar yang berpendidikan rendah, (50,8%) setengahbya dari responden yang bekerja dan (50,8) atau setengahnya dari responden yang menyatakan pendapatan keluarganya tinggi (diatas > UMR) 2. Ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu pemberian MP-ASI dini di Desa Cilangari Wilayah Kerja Pusk DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat 3. Ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu pemberian MP-ASI dini di Desa Cilangari Wilayah Kerja Pusk DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat 4. Ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga pemberian MP-ASI dini di Desa Cilangari Wilayah Kerja Pusk DTP Gununghalu Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat 200 B. Saran a. Disarankan kepada petugas kesehatan untuk melakukan penyuluhan agar lebih meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi ibu mengenai praktek pemberian makanan pendamping ASI dengan tepat dan benar dengan metode dan media penyuluhan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, seperti pemasangan poster, pembuatan leaflet atau lembar balik. b. Disarankan agar materi penyuluhan yang disampaikan tentang dampak pemberian makanan pendamping ASI dini pada bayi dan manajemen laktasi semakin ditingkatkan dan menganjurkan petugas kesehatan selalu memberikan edukasi kepada ibu hamil, bersalin, menyusui dan keluarganya. 201 DAFTAR PUSTAKA Adriaansz, Wiknjosastro dan Waspodo. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjdo. Alimul Hidayat, A. Aziz (2007) , Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data, Penerbit Salemba medika Ansori, M. 2002. Hubungan Umur Pertama Kali Pemberian MP-ASI Dengan Status Gi zi Bayi Umur 6-12 Bulan Di Kecamatan PedamaranKabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan Tahun 2001, Tesis. Depok:FKM-UI Arifin Siregar, 2004. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Gizi Dan Perilaku Ibu Dalam Pemberian MP-ASI Pada Bayi 0-6 Bulan Di Desa Kenokorejo kecamatan Polokarto. (diperoleh tanggal 28 Juni 2013) Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Azrul, Azwar. (2004). Manajemen laktasi. Jakarta. Depkes RI Bahar, dkk. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Bayi Setelah Pemberian MP-ASI pada Keluarga Miskin di Wilayah Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. VolIII-Edisi-2-Juli-Des-2006. Baskoro, Anton. 2008. ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Banyu Media, Yogyakarta. Budihardja, 2008. WNPG IX: Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Perbaikan Gi zi 20102014. Jakarta: Dirjen Binkesmas Depkes RI (Primadi, 2006). Cipta Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal Tahun 2006. Depkes RI. Jakarta. Diah Krisnatuti & Rina Yenrina. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Frances, et al. 2006. “Lactation’ Modern Nutrition in Health and Disease 10. America: Lippincott Williams & Wilkins Harian Seputar Indonesia, (Diakses pada tanggal 28 juni 2013 ) Haryanti, 2006. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Di Desa Jatirejo Kecamatan Jumapolo.(diperoleh tanggal 28 Juni 2013) http://cerpeneddelweissnaqiyyah.blogspot.com/2011/06/resiko-pemberian-mpasi-terlaludini.html Irawati, (2006). Pendidikan dan Kesehatan, http://www.ayahbunda.co.id, diperoleh tanggal 5 juni 2013 Makanan Pendamping ASI Dini Pada Bayi Di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta Timur Thun 2001 : . Tesis S2. Depok: FKM-UI (SDKI 2007). 202 Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mangajar dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Muchtadi D. 1994. ASI Susu Formula dan Makanan Tambahan. Pustaka Sinar Harapan Jakarta. Notoatmodjo, S. (2007). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo,s. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta Rineka Cipta Roesli, U. (2007). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. Roesli, Utami. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Elex Media Komputindo, Jakarta Sagala, Syaiful. 2007. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Simandjuntak, 2001. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta. Sugiyono, (2009). Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alphabeta Suhardjo, 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gi zi. Jakarta: Bumi Aksara Suradi, R. 2004. Manajemen Laktasi. Jakarta: Perkumpulan Perinatologi Indonesia. Thaib, Firdaus, Fauzah dan SM Manoeroeng 1996. Pola pemberian ASI pada bayi umur 012 bulan dan beberapa aspek social keluarga pengunjung poliklinik anak Rumah Sakit Umum Tapaktuan, Majalah Kedokteran Indonesia. Volum : 46. Nomor 12, hal : 671. WHO, 2003. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. Switzerland: UNICEF 203 THE RELATIONSHIP OF MOTIVATION WITH OBEDIENT CHRONIC KIDNEY DISEASE PATIENT WHO UNDERGOING HEMODIALYSIS THERAPY AT PERISAI HUSADA CLINIC OF BANDUNG CITY. Siti Aminah, Atira, dan Aan Andriani STIKes Budi Luhur Cimahi ABSTRACT Background of this research is still many Chronic Kidney Disease (CKD) patient with hemodialysis who experiencing of drop out every year. One of the factors is low motivation of CKD patient who undergoing hemodialysis therapy. Objective of the research is to observe the relationship of motivation with obedient CKD patient who undergoing hemodialysis therapy at Perisai Husada Clinic of Bandung City. Method of the research used analysis study with research design cross sectional, population of this research were 40 CKD patients, Data analysis obtained by two period univariate use frequency distribution and bivariate use chi square statistic.The result of the research showed p value 0,043 with 0,05 The conclusion of the research according to the result, there are the relationship between motivation with obedient CKD patients who undergoing hemodialysis therapy at Perisai Husada Clinic of Bandung city.Suggestion according to the result of the research is expected, it could be the reference to increase an optimal and qualified of nursing care especially for CKD patients was through effort increase motivation of CKD patients to obey hemodialysis therapy which involve as well as family role and also for input to make training for nurses about effective health education method to increase motivation and the obedient of CKD patients. Keywords : Motivation, obedient undergoing hemodialysis therapy 204 PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progesif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). GGK dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti Diabetes Mellitus (DM), glomerulonefritis kronik, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, infeksi, medikasi, atau agen toksik (timah, kadmium, merkuri, kromium) (Brunner & Suddart, 2002 dalam Sari, 2009). Gagal ginjal merupakan suatu kasus yang dialami seluruh dunia. Kasus gagal ginjal di dunia diperkirakan meningkat lebih dari 50%. Di Amerika Serikat, negara yang sangat maju dan tingkat gizinya tinggi, setiap tahun ada sekitar 20 juta orang dewasa menderita penyakit ginjal kronis sedangkan di Indonesia peningkatan penyakit gagal ginjal tersebut sudah mencapai 20% dari jumlah penduduk per tahun. Oleh karena itu tanpa pengendalian yang tepat dan cepat, diperkirakan pada tahun 2015 penyakit ginjal bisa menyebabkan kematian hingga rata-rata 36 juta penduduk dunia pertahun (http://azharoo.com, diperoleh pada tanggal 29 April 2010). Salah satu terapi yang dapat membantu pasien untuk meringankan penyakitnya yaitu terapi “hemodialisis” (cuci darah). Hemodialisis didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermiabel (alat dialysis) ke dalam dialisat (Andri, 2012). Hemodialisis merupakan salah satu terapi yang saat ini banyak dilakukan oleh pasien gagal ginjal. Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, membutuhkan waktu 1215 jam untuk cuci darah setiap minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam setiap kali terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus menerus sepanjang hidupnya (Bare & smeltzer, 2002). Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya serta penyesuaiaan diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Perasaan yang sering dialami oleh pasien adalah perasaan tidak berdaya, hilang kendali terhadap dirinya dan perasaan hilang harapan. Hal ini disebabkan persepsi pasien bahwa vonis cuci darah dianggap sebagai titik akhir kehidupannya. Mereka menganggap, akan tergantung hidupnya dengan alat dan tidak mampu lagi melakukan kegiatan hidup sehari-hari dengan normal (Andri, 2012). Dalam memberikan kualitas kesehatan dan kesembuhan kepada kliennya, Klinik Perisai Husada terus melakukan pembenahan dan peningkatan mutu pelayanan. 205 Klinik Perisai husada memberikan pelayanan kesehatan penyakit dalam dan syaraf dalam satu atap dengan slogan pelayanan “feeling at home”. Klinik spesialis penyakit dalam dan saraf Perisai Husada sangat peduli terhadap cure and care bagi pasien. Cure (pengobatan) yaitu konsultasi dokter spesialis dan terapi pengobatan yang dilakukan dengan sumber daya yang kompeten, berdedikasi tinggi dan terintegrasi. Care (perhatian) adalah menyediakan pelayanan untuk fasilitas pencegahan dan menjadi sumber informasi bagi pasien tentang penyakit dalam dan saraf. Untuk fasilitas pelayanan terapi hemodialisis unit hemodialisa klinik Perisai Husada membuka layanan dari hari senin sampai jumat dengan jam kerja dari pukul 07.00-19.00 WIB dan hari sabtu pukul 07.00-17.00 WIB (Profil Klinik Perisai Husada, 2013). Hemodialisis (cuci darah) pada penderita gagal ginjal selain membantu pasien dalam mempertahankan hidup, di sisi lain dapat menimbulkan beberapa masalah baik dari aspek fisik, psikologis, sosial ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu hal yang paling menonjol sebagai dampak dari aspek-aspek diatas adalah tingginya angka droup out. Droup out dapat diartikan sebagai ketidak patuhan penderita gagal ginjal dalam melakukan tindakan cuci darah, meninggal, pindah ke teknik yang lain misalnya CAPD atau cangkok ginjal. Pada kenyataan dilapangan tahun 2009 angka droup out penderita gagal ginjal yang menjalani cuci darah di Indonesia mencapai jumlah 1230 kasus dan di Jawa Barat masih banyak terdapat 810 kasus untuk Jawa Barat (IRR, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada bulan Maret 2013, penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Klinik Perisai husada adalah sebanyak 40 orang. Berdasarkan wawancara dengan 10 orang pasien yang melakukan hemodialisis, 5 orang diantaranya mengatakan tidak teratur menjalani terapi hemodialisis, 2 orang diantaranya mengatakan terlalu mahalnya biayanya dan tidak sanggup bila harus melakukanya secara rutin, dan 1 orang diantaranya mengatakan jarak rumahnya terlalu jauh dari tempat terapi, serta 2 orang lagi mengatakan kurang termotivasi karena dirinya sudah tua dan takut menyusahkan anak – anaknya. Dari data kunjungan pasien ditemukan angka kunjungan Cito (mendadak) hemodialisis untuk tahun 2013 mengalami peningkatan dalam 3 bulan terakhir ini, angka kunjungan cito mencapai 11 kali kunjungan. Sedangkan untuk 2 tahun kebelakang yaitu 2011 dan 2012 angka kunjungan cito kurang dari 10 kali kunjungan. 206 Dari angka kejadian drop out dan dari kunjungan cito hemodialisis yang setiap tahunnya meningkat ini menunjukkan bahwa kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi hemodialisis secara rutin masih kurang. Dalam menghadapi kondisi tersebut motivasi sangat diperlukan. Motivasi adalah suatu alasan (reasoning) seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Notoatmodjo, 2007). Motivasi diperlukan pasien gagal ginjal kronik untuk mendorong perilaku mereka agar rutin dalam menjalani terapi hemodialisis dan pengobatan lainnya. Motivasi ini dapat dikategorikan menjadi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intrinsik akan mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhannya, dorongan itu dapat berupa kebutuhan, persepsi, pengalaman, dan nilai. Motivasi yang bersifat ekstrinsik merupakan dorongan lingkungan pada seseorang untuk melakukan suatu aktivitas sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan pemicu bagi seseorang untuk melakukan suatu perilaku yang diinginkan baik oleh individu itu sendiri dan oleh lingkungannya. Selain motivasi, juga dibutuhkan suatu kepatuhan dalam menjalani suatu terapi. Kepatuhan menurut Potter dan Perry (2006) adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan tindakan terapi. Kepatuhan pasien berarti bahwa pasien dan keluarga harus meluangkan waktu dalam menjalani pengobatan yang dibutuhkan. Kepatuhan pada penderita gagal ginjal kronik dalam menjalani program terapi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena diperkirakan bahwa jika pasien tidak patuh menjalani terapi akan terjadi penumpukan zat-zat berbahaya dari tubuh hasil metabolisme dalam darah sehingga penderita akan merasa sakit di seluruh tubuh dan jika hal tersebut dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan motivasi dengan kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung. 207 METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan Metode Survei Analitik dengan Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Variabel penelitian menjadi dua yaitu : a. Variabel Independen Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain, suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan dampak pada variabel dependen (Nursalam, 2003). Variabel independen pada penelitian ini adalah motivasi pasien gagal ginjal kronik baik secara internal maupun eksternal. b. Variabel Dependen Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain, variabel respon akan muncul sebagi akibat dari manipulasi variabel-variabel lain (Nursalam, 2003). Variabel dependen pada penelitian ini adalah kepatuhan menjalani terapi hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah 40 pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis . 2. Sampel Penelitian Dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 40 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Total sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan seluruh responden/pasien yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada. Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data Data langsung diperoleh dari responden dengan menggunakan kuisioner. Instrumen atau Alat Pengumpulan Data:Alat ukur yang digunakan berupa kuisioner yang berisi pernyataan tentang faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi, dan untuk kepatuhan menjalani terapi kuisionernya berisi pernyataan tentang indikator 208 dari kepat uhan itu sendiri yang masing-masing berbentuk skala likert. Alat pengukuran untuk variabel motivasi Jawaban yang disajikan berupa SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju) dengan skor untuk pernyataan positif maka jawaban yang diberikan SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan untuk pernyataan negatif skor jawaban berupa SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4. Alat pengukuran untuk variabel kepatuhan menjalani terapi hemodialisis menggunakan skala Guttman dan jawaban yang disajikan berupa Ya, dan Tidak. Untuk jawaban yang benar skor diberikan Ya = 1, Tidak = 0 Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas Uji validitas dilakukan di unit Hemodialisa RS Dustira Cimahi dan instrument penelitian/kuisioner diberikan kepada 20 orang.Hasil dari uji validitas terhadap kuisioner Motivasi dari 24 pernyataan, te rdapat 4 pernyataan yang tidak valid yaitu pernyataan no 10 (r hitung 0.264), no 13 (r hitung 0.340), no 18 (r hitung -0.054) dan no 24 (r hitung 0.402). Sedangkan untuk kuisioner kepatuhan dari 12 pernyataan terdapat 3 pernyataan yang tidak valid yaitu no 3 (r hitung 0.298), no 7 (r hitung 0.331) dan no 11 ( r hitung 0.257). Pernyataan yang tidak valid peneliti menghilangkan pernyataan tersebut karena pernyataan yang masih tersisa dapat mewakili dalam penilaian motivasi dan kepatuhan responden. Berdasarkan hasil uji reliabilitas didapatkan bahwa nilai cronsbach alpha untuk kuesioner Motivasi 0,943 > konstanta 0.6 maka ke 24 pernyataan dinyatakan reliable. Begitu pula untuk kuesioner kepatuhan nilainya 0.872 > konstanta (0.6) maka 12 pernyataan tersebut dinyatakan reliabel. Prosedur Penelitian Menyusun proposal dan instrument, Seminar proposal, Pelaksanaan penelitian, Analisa Data dan Seminar Hasil penelitian. Lokasi Peneliti dilakukan pada di Klinik Perisai Husada. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013. 209 HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Motivasi Pasien Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Gambaran motivasi pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang telah diuji dengan analisis univariat dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Motivasi Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung Variabel Motivasi Frekuensi Presentase Tinggi 24 60% Sedang 12 30% Rendah 4 10% Total 40 100% Sumber : Data Penelitian 2013 Tabel 4.1. tertera gambaran motivasi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung sebanyak 24 (60%) responden. Yang artinya sebagian besar dari responden memiliki motivasi kategori tinggi dalam menjalani terapi hemodialisis. Motivasi pasien gagal ginjal kronik di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung memiliki motivasi yang tinggi dalam menjalani hemodialisis. Hal ini menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronik di klinik perisai husada memiliki semangat hidup yang tinggi untuk menjalani hidup dengan kondisi kesehatan yang lebih terjaga. Motivasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari kebutuhan, persepsi, pengalaman, kemampuan untuk belajar, sistem nilai yang dianut. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari sarana, dukungan, dan penghargaan. Keluarga berperan besar dalam mempengaruhi persepsi individu dan sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai serta dapat juga menentukan program pengobatan yang dapat diterima pasien. Keluarga juga memberikan dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan keluarga yang sakit. Pengaruh lingkungan juga berpengaruh terhadap motivasi pasien misalnya dari sesama pasien gagal ginjal kronik, mereka saling menguatkan dan saling member semangat untuk rutin mengikuti hemodialisis. Hal ini dapat menjadi penguat dan pembangkit semangat sehingga pasien tidak merasa menderita sendiri karena banyak orang yang kena gagal ginjal tapi dapat menikmati waktu lama dengan suasana yang ceria. 210 2. Gambaran Kepatuhan Pasien Yang Menjalani Terapi Homodialisis Gambaran kepatuhan pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang telah diuji dengan analisis univariat dapat dilihat pada Tabel 4.2 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisis Di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung Variabel Kepatuhan Frekuensi Presentase Tidak Patuh 14 35% Patuh 26 65% Total 40 100% Sumber : Data penelitian 2013 Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang patuh menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung sebanyak 26 responden (65%). Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar pasien gagal ginjal kronik di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung lebih banyak yang patuh dibandingkan jumlah pasien yang tidak patuh. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor diantaranya adalah faktor internal yaitu keadaan fisiologis dan psikologis misalnya umur, jenis kelamin, derajat kesehatan, kepribadian, tingkat ekonomi dan pengetahuan. Dan faktor eksternal yaitu hal diluar individu yang merupakan rangsangan untuk menentukan sikap misalnya pengalaman, lingkungan, dukungan keluarga, keterlibatan petugas kesehatan dan lain-lain. Pada penelitian ini hanya membahas faktor motivasi baik secara internal maupun eksternal, yang sangat berpengaruh besar pada tingkat kepatuhan seseorang yaitu kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani program terapi hemodialisis. Kepatuhan pada pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi hemodialisis merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena jika pasien tidak patuh akan terjadi penumpukkan zat-zat berbahaya dari tubuh, hasil metabolisme dalam darah. Sehingga pasien akan merasakan sakit diseluruh tubuh dan jika hal tersebut dibiarkan akan menyebabkan kematian. 3. Hubungan Motivasi Dengan Kepatuhan Pasien Yang Menjalani Terapi Hemodialisis. Hubungan motivasi dengan kepatuhan pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang telah diuji dengan analisis bivariat dapat dilihat pada Tabel 4.3 211 Tabel 4.3 Analisis Hubungan Motivasi Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisis Di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung Kepatuhan Menjalani Hemodialisis Motivasi pasien Gagal ginjal Kronik Total P. value Tidak patuh Patuh 12 12 24 (50%) (50%) (100%) 2 10 12 (16.7%) (83.3%) (100%) 0 4 4 (0%) (100%) (100%) 14 26 40 (35%) (65%) (100%) Tinggi Sedang 0,043 Rendah Total Sumber : data penelitian 2013 Pada Tabel 4.3 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki motivasi kategori tinggi dari total 24 responden terdapat 12 (50%) responden yang patuh dan 12 (50%) responden yang tidak patuh dalam menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung. Dari hasil analisis diperoleh nilai hasil p value sebesar 0,043< (α=0,05) sehingga Ho ditolak. Dari hasil analisa diperoleh juga X² hitung sebesar 6,300 >X² tabel (5,991) maka Ho ditolak. Dari hasil analisis uji statistik untuk tabel 3x2 tidak bisa menghasilkan OR. Nilai Contingency coefficient sebesar 0,369 yang mempunyai pengertian, jika nilai uji semakin lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya hubungan antara motivasi dengan kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji statistik yang dijabarkan pada Tabel 4.3 didapatkan nilai p = 0.043 < nilai alpha = 0.05 maka H0 ditolak artinya adanya hubungan antara motivasi dengan kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien yang memiliki motivasi tinggi cenderung untuk patuh dalam menjalani terapi hemodialisis, sedangkan pasien yang memiliki motivasi rendah cenderung untuk tidak patuh dalam menjalani terapi hemodialisis. Hal ini disebabkan karena pasien gagal ginjal kronik yang memiliki motivasi tinggi sudah memahami bahwa mereka memerlukan terapi atau pengobatan yang harus dilakukan secara terus-menerus untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah mengalami kerusakan 212 atau tidak berfungsinya organ tersebut. Yang mana tidak sedikit akan menimbulkan beberapa dampak psikologis yang dapat ditandai dengan serangkaian perubahan perilaku antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Sebanyak 40 responden yang menjalani terapi hemodialisis, terdapat sebanyak 24 (60%) responden memiliki motivasi kategori tinggi, motivasi kategori sedang 12 (30%) responden dan motivasi kategori rendah 4 (10%) responden. Jadi sebagian besar gambaran motivasi pasien gagal ginjal kronik adalah motivasi kategori tinggi. 2. Gambaran kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis terdapat sebanyak 26 (65%) responden yang memiliki kepatuhan dan yang tidak memiliki kepatuhan 14 (35%) responden. Jadi sebagian besar responden patuh menjalani terapi hemodialisis. 3. Ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Perisai Husada Kotamadya Bandung dengan nilai p value <0.05 yaitu 0.043. B. SARAN Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk membuat pelatihan atau seminar mengenai metode pendidikan kesehatan yang efektif dalam meningkatkan motivasi pasien gagal ginjal kronik untuk mematuhi terapi hemodialisis. Dan rutin setiap tahunnya melaksanakan acara pertemuan/gathering antara semua pasien dan keluarga. 213 DAFTAR PUSTAKA Alimul, A. (2007). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika. Andri, dkk. (2012). Cuci darah siapa takut. Dokter kita edisi 3. Jakarta :PT Temprint. Arukunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Salemba Medika. Azharoo. 2009. 1, http://azharoo.com, diperoleh pada tanggal 29 april 2010. Azwar. (2001). Reliabilitas Dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Bahar. (2001). Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI. Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2. Jakarta : EGC. Doenges. (2000). Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC. Handoko, M. (2004). Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta : Kanisius. Harianja, (2007). Managemen Kesehatan. Jakarta : Bumi Aksara. Hasibuan. (2005). Managemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara. Hastono. (2004). Statistik Kesehatan. Jakarta : Raja Grafindo. Hidayat. (2009). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Irwanto, dkk. (2002). Psikologi Umum. Jakarta : Prenhallindo. 214 Latifiana, 2008, 2, http://www.litbang.depkes.go.id/actual/klipingginjal.htm, diperoleh pada tanggal 20 mei 2013). Niven. (2002). Psikologi Kesehatan Pengantar Untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain. Edisi kedua. Jakarta : EGC. Notoatmodjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi ke 2 Jakarta : Rineka Cipta. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta. Nursalam. (2003). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Infomedika. Riyanto (2007). Belajar Mudah SPSS Untuk Penelitian Kesehatan. Bandung : Dewa Ruchi. Roesly, Rully. (2012). Gangguan Ginjal Akut. Bandung : PT TRUBUS. Smeltzer (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. STIKes Budi Luhur Cimahi (2012).Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Tugas Akhir Dan Skripsi. Cimahi: Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat. Sugiono, (2003). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfa Beta. Sulianti, (2007), 3, http//www.google.com,hemodialisis machine diperoleh pada tanggal 19 mei 2013) , 2006, ,4, http//www.google.com,hemodialisis. diperoleh pada tanggal 19 mei 2013). Sukandar, Enday. (2006). Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung. 215 Sunaryo. (2004). Psikologi. Jakarta : EGC Trihendardi. (2013). Langkah Praktis Menguasai Statistic Untuk Ilmu Social Dan Kesehatan. Yogyakarta : CV ANDI OFFSET. Widodo. (2004). Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Zaidin, Ali. (2004). Teori Motivasi. Bandung: Pustaka Setia 216 Petunjuk Penulisan Jurnal Ilmiah STIKes Budi Luhur Cimahi 1. Jurnal Ilmiah STIKes Budi Luhur Cimahi menerima tulisan ilmiah berupa hasil penelitian, telaah pustaka, atau review yang berkaitan dengan bidang keperawatan, kebidanan, dan kesehatan masyarakat. 2. Naskah diutamakan yang belum pernah diterbitkan dimedia lain, baik cetak maupun elektronik. Jika sudah pernah disampaikan dalam suatu pertemuan ilmiah hendaknya diberi keterangan yang jelas mengenai nama, tempat, dan tanggal berlagsungnya pertemuan tersebut. 3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia baku atau bahasa Inggris dengan huruf Arial 11, naskah disusun dengan sistematika sebagai berikut: a. Judul naskah ditulis dengan huruf kapital, singkat, dan jelas serta mencerminkan isi tulisan, tidak lebih dari 12 kata (bahasa Indonesia) atau 10 kata (bahasa Inggris). b. Nama penulis tanpa gelar, diikuti alamat instansi masing-masing dan disebutkan alamat korespondensi kepada penuullis lengkap dengan alamat e-mail. c. Abstrak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, masing-masing maksimum 165 kata, dilengkapi dengan kata kunci (keywords) 3-5 kata. d. Isi/batang tubuh: 1) Untuk tulisan berupa laporan hasil penelitian, disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pendahuluan (Introduction), Metode Penelitian (Materials and and Methods), Hasil dan Pembahasan (Result and Discussion), Kesimpulan dan Saran 2) (Conclusion). Untuk tulisan bukan laporan hasil penelitian, disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pendahuluan, Bagian-bagian sesuai topik tulisan, serta Penutup berupa kesimpulan dan Saran. e. Daftar Pustaka (References) ditulis berurutan dengan Nomor Arab (1, 2, 3, dst.) dengan urutan pemunculan berdasarkan nama penulis secara alfabetis dengan sistem Harvard. Publikasi dari penulis yang sama dan dalam tahun yang sama ditulis dengan cara menambahkan huruf a, b, atau c, dan seterusnya tepat dibelakang tahun publikasi (baik penulisan dalam daftar pustaka maupun sitasi dalam naskah tulisan). Alamat Internet ditulis menggunakan huruf Italic, contoh: 1) Buller H, Hoggart K. 1994a. New Drugs for Acute Respiratory Distress Syndrome. New England J Med 337(6): 435-439. 2) Buller H, Hoggart K. 1994b. The Sosial Integrationof British Home Owners Into Rench Rural Communities. J Rural Studies 10(2):197-210. 217 3) Dowor M. 1977. Planning aspects of Second homes, di dalam Coppock JT (ed), Second homes: Curse or Blessing? Poxford: Pergamen Pr. Hlm 210237. 4) Grinspoon L., Bakalar JB. 1993. Marijuana: the Forbidden Medicine. London: Yale Univ Press. 5) Palmer FR. 1986. Mood and Modality. Cambridge: Cambridge univ Press. 4. Sitasi/rujukan kepustakaan dilakukan dengan mencantumkan nama penulis dan tahun penerbitan yang diletakkan dalam tanda kurung. Contoh: Respons dipengaruhi oleh beberapa stimulus, meliputi stimuli fokal, kontekstual, dan residual (Friedman, 1988). 5. Untuk penulisan keterangan gambar, ditulis Gambar 1; Grafik. dsb. 6. Bila sumber Gambar diambil dari buku atau dari sumber lain, maka dibawa keterangan gambar ditulis nma penulis dan tahun penerbitan. 7. Tabel harus utuh, jelas terbaca, dibuat dengan format tabel pada Microsoft Words, tanpa garis pembatas kolom dan baris pada badan tabel, diletakkan simetris ditengah area pengetikan, diberi judul dan tabel dengan angka arab 1, 2, 3,... dst. 8. Naskah dikirim dalam bentuk cetakan (hard copy) dan berkas elektronik (dalam bentuk CD) melalui pos/kurir atau diantar sendiri ke sekretariat jurnal. 9. Naskah yang diterima akan detelaah oleh Redaksi/Editor/Mitra Bestari, apabila diperlukan akan diberi catatan dan dikembangkan kepada penulis untuk direvisi, untuk selanjutnya dikirimkan kembali secara utuh ke pada redaksi jurnal untuk diterbitkan. 218 219 220