jompet kuswidananto

Transcription

jompet kuswidananto
1
J OMPET K USWIDANANTO
Solo Exhibition
Curated by Alia Swastika
2
Kata-Kata dan Pergerakan Yang Mungkin
Words and Possible Movement
installation
2013
P E N G A N TA R K U R AT O R I A L
Kesunyian dalam Keramaian
Alia Swastika
Bagaimana memberi makna pada seluruh kegaduhan dan suarasuara yang tak selalu punya makna pada saat di mana kita
memberi ruang pada kebebasan bersuara? Bagaimana kita masih
percaya bahwa suara massa selalu punya daya tarik kuat, sebuah
distribusi energi dan kekuatan untuk memberi keyakinan atas
gagasan bersama?
Dua pertanyaan itulah yang barangkali bisa menjadi titik awal
untuk melihat karya-karya yang dipamerkan Jompet Kuswidananto
dalam Order and After. Proyek ini merangkum, sekaligus
menunjukkan pergeseran penting dari beberapa seri karya
yang telah diciptakannya selama periode 2011 - 2013. Setelah
proyeknya Java’s Machine, yang berbasis pada investigasinya
atas identitas masyarakat Jawa - pembentukan, perubahan dan
situasinya sekarang - dengan fokus pada persilangan budaya
dan kondisi pasca-kolonial, Jompet melangkah untuk melihat
realitas ketiga yang tercipta pada ruang antara. Proyek ruang
ketiga ini dinamakannya sebagai “Third Realm.” Proyeknya Anno
Domini (dipamerkan di Selasar Soenaryo Art Space, Bandung,
dan di Asian Art Museum San Fransisco) pada 2011 dan 2012
bergeser juga pada bentuk dan pendekatan baru, yang terutama
melibatkan ruang arsitektural dalam struktur karyanya. Masih
3
4
untuk merunut realitas ketiga, Jompet meneliti sepanjang jalan
Anyer-Panarukan pada 2012, menghasilkan projek On Asphalt
yang sempat dipamerkan di Taipei, Melbourne dan Jepang.
Order and After adalah proyek terbaru Jompet yang berangkat
dari pengamatan dan penelitiannya dari berbagai proyek
terdahulu, dan bermuara pada pertanyaan situasi Indonesia 15
tahun pasca Reformasi. Lima belas tahun telah berlalu semenjak
sebuah rezim dijatuhkan, dan harapan baru ditegakkan. Lebih
dari mempertanyakan apakah harapan-harapan baru tersebut
berhasil diwujudkan menjadi kenyataan, Jompet membangun
premisnya dari janji atas terbangunnya demokrasi. Salah satu
elemen penting dalam kehidupan demokrasi adalah “kebebesan
bersuara,” sebuah metafor yang merujuk pada kebebasan untuk
mengeluarkan pikiran dan pendapat, baik lisan maupun tulisan.
Menariknya, Jompet menarik gagasan kebebasan bersuara ini
dalam pemahaman suara sebagai “bunyi,” tanpa harus keluar
dari konteks sosial politiknya.
Dalam demokrasi pasca reformasi, kehidupan (politik) masyarakat
sehari-hari dipenuhi dengan berbagai upaya untuk menunjukkan
bahwa mereka ‘ada,’ dan yang terpenting, didengarkan.
Setelah Orde Baru menjadikan kehidupan politik sedemikian
terkontrol, dan karenanya menjadi senyap, masyarakat melihat
bunyi sebagai cara yang kuat untuk unjuk diri. Sebagian besar
bebunyian ini diciptakan bersama, oleh sekelompok orang atau
massa, sehingga terasa punya daya. Berbagai bunyi berbaur
menjadi satu dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan ruang
publik terasa gaduh dan, barangkali, ricuh. Setiap kelompok
menciptakan dan menampilkan bunyi-nya sendiri, yang mereka
percaya sebagai representasi dari nilai dan jalan yang mereka
percaya, sehingga telinga kita terbiasa dengan kontestasi dari
berbagai macam suara.
Karya pertama, Kata-Kata dan Pergerakan yang Mungkin.
Memasuki ruang pameran, pertama-tama Jompet menyambut
pengunjung dengan rangkaian bendera-bendera dari berbagai
lagu mars organisasi massa. Bendera ini digantung berwarnawarni, memberikan kesan yang festive, seperti sebuah perayaan
kegembiraan. Pilihan Jompet untuk mentransformasikan lagu-lagu
mars ini ke dalam bentuk teks, sebuah transformasi dari bunyi
menjadi teks tak bersuara, ironisnya, merupakan satu gagasan
tentang senyap. Ketimbang memperdengarkan lagu-lagu ini,
Jompet
mengundang
para
pengunjung
untuk
berimajinasi,
membayangkan sebuah suasana riuh yang terbangun dari berbagai
teks di atas bendera. Teks-teks yang berjajar ini menunjukkan
kontestasi dari berbagai nilai, ideologi dan kepercayaan berbeda
yang diperjuangkan oleh masing-masing kelompok. Lihat betapa
beragamnya nilai-nilai itu: agama, partai politik, kelompok
sepakbola, kelompok berbasis etnis, dan sebagainya. Lagu-lagu
diciptakan untuk menimbulkan satu ikatan emosional atas ideologi
bersama ini, dan, pada akhirnya, menjadi bagian dari ‘identitas
kelompok.’ Strategi untuk menuliskan teks-teks ini dalam bendera
juga berharga karena dengan demikian pengunjung dipaksa
membaca - tidak lagi mendengar, dan pada akhirnya, seperti
dikondisikan untuk menautkan makna teks dengan konteks.
Melangkah lebih jauh di dalam ruang pamer, di bawah benderabendera itu, pengunjung dihadapkan pada motor-motor tua yang
berjajar seperti sedang berparade. Bagi masyarakat Indonesia,
imajinasi visual yang semacam ini dengan segera mengantarkan
pada bayangan tentang keriuhan di jalanan ketika musim
kampanye tiba, atau suasana ketika para penonton sepakbola
merayakan kemenangan, atau bahkan sekumpulan anak-anak
remaja baru lulus sekolah. Kita telah begitu terbiasa menerima
suara bising dari puluhan sepeda motor sebagai bagian dari
kegaduhan di ruang publik kita, sesekali terganggu, tetapi acap
kali melihatnya sebagai sebuah atraksi yang menghibur. Amat
sering kita jumpai, parade motor itu dilakukan untuk menegaskan
identitas massa, dan oleh karenanya mereka berseragam,
menunjukkan eksistensi di tengah kerumunan.
Bagian terbesar, barangkali juga terpenting dari proyek ini adalah
instalasi Memanggungkan Kolektivitas. Instalasi ini merupakan
sekelompok ‘figur’--yang sebenarnya lebih tepat sebagai imaji
figur, atau bahkan hantu - yang berada di dalam bak belakang
sebuah truk tua. Imaji visual ini, sebagaimana parade sepeda
motor tadi, juga biasa kita temui di musim tertentu, termasuk di
antaranya pada peristiwa demonstrasi yang besar dari kelompok
buruh, petani, dan sebagainya. Dan pada karya ini kita bisa
5
6
menemukan pekerjaan kinetik khas Jompet, di mana figur-figur ini
bergerak seperti bertepuk tangan. Citra orang-orang dalam truk
ini bisa ditemukan pada video On Asphalt #4, sebuah rekaman
atas perjalanannya menyusuri jalanan Anyer-Panarukan. Di depan
mobil yang ditumpanginya, sekelompok lelaki muda berpakaian
santri berdesakan di dalam truk, dalam arah menuju entah.
Massa selalu menampilkan ketegangan antara individual dan
kolektif, antara “saya” dan “mereka,” juga “kita.” Karenanya,
selalu ada yang tak dikenali, anonim ketika membicarakan diri
kaitannya dengan massa. Suara personal sulit dikenali di antara
belantara suara bersama. Ini dinyatakan oleh Jompet melalui
karya Mengutip si Anonim, sebuah instalasi proyeksi teks, di
mana ia mengutip dua teks dari hasil wawancaranya dengan
“Anonim,” co-sutradara dari film “The Act of Killing.”
Meski secara visual seluruh instalasi ini menyajikan citra gambar
yang meriah, ruangan terasa senyap. Kali ini tidak ada yang
berderap, berdentum atau bunyi instrumen musik. Keriuhan
dihadirkan dalam cara yang diam, semua suara diminimalisir,
termasuk pada semua video.
Keseluruhan instalasi ini berbicara tentang ‘massa’ dan bagaimana
mereka dimobilisasi dan diorganisir. Dalam pengakuan Jompet,
istilah ‘mobilisasi’ ini sendiri, telah dihindari, bahkan ditolak, oleh
beberapa aktivis politik masa kini yang sempat ditemuinya untuk
meneliti subjek ini. Mereka menilai bahwa mobilisasi merupakan
terma Orde Baru, yang merujuk pada kontrol yang langsung
dari atas pada masyarakat bawah. Sebaliknya, sekarang ini,
semua individu dalam massa bisa melakukan pengerahan massa
untuk mendapatkan dukungan. Jompet melihat bahwa berbeda
dengan masa Orde Baru yang melihat massa sebagai bagian
dari formalitas politik, maka pada masa kini, massa menjadi
kendali utama bagi mesin politik itu sendiri. Pada situasi hari
ini, mesin politik menyaratkan kehadiran massa, sehingga
organisasi-organisasi ini berupaya sekuat tenaga menggalang
massa. Jompet tertarik untuk melihat massa sebagai sekumpulan
energi, daya, dan kekuatan sebagai sesuatu yang terus bergerak
dan menggerakkan. Dalam pernyataannya, Jompet menyebut
7
Words and Possible Movement (detail)
installation
2013
bahwa demokrasi adalah sebuah proses organik dimana setiap
kelompok kepentingan menggambar posisinya sendiri di dalam
peta, di mana garis yang mereka gambar acapkali bertabrakan
dengan kelompok kepentingan lain. Dalam perbenturan ini, tak
jarang massa digunakan untuk menegaskan garis dan posisi bagi
kelompok tertentu.
Seluruh strategi yang digunakan Jompet pada presentasi projeknya
kali ini, sebagaimana proyek-proyek sebelumnya, sangat dekat
dengan teater dan panggung. Semua instalasi di sini mempunyai
dimensi performatif, memindahkan apa yang kita lihat dalam
kehidupan sehari-hari, dengan pendekatan separuh abstraksi
separuh mendekati kenyataan. Seperti selalu, ia menggunakan
barang-barang temuan, hampir semuanya bekas pakai, bahkan
hampir terlihat seperti rongsokan, yang memang ia sengaja
untuk memberi kesan tua. Dengan situasi ruangan yang nyaris
‘dramatik’, beberapa pembesaran dan penegasan atas peristiwa,
ingatan kita atas persentuhan kita dengan fenomena-fenomena
yang melibatkan massa ini dipertegas, agar kita sendiri merasakan
energi dan daya yang ingin digemakan oleh sang seniman. Kita
lebih terlibat pada pengerahan daya ini ketimbangan ketegangan
politik yang sesungguhnya mendasari semua perpindahan orang
banyak ini.
8
Words and Possible
Movement
(detail)
installation
2013
Peristiwa
keseharian,
yang
kadangkala
lebih
performatik
dan dramatik ketimbang peristiwa panggung, sebagaimana
yang ditegaskan Richard Schechner, memang terasa sebagai
‘tontonan’. Filsuf Slavoj Zizek merujuk fenomena-fenomena ini
sebagai “ideologico-critical spectacles”, yang merujuk pada
situasi di mana yang ideologis berada di antara tampak dan tidak
tampak (visible and invisible). Lebih lanjut, Zizek menyatakan
bahwa kepastian ideologis lebih sering tersembunyi, seperti
tersimpan dalam kotak kaca, dalam kehidupan masyarakat
kontemporer yang penuh gairah konsumtif. Subjek dan individu
dalam masyarakat tidak lagi berdiri atas nama identitas ideologis
yang besar, tetapi langsung menjadi subjek kesenangan (subject
of pleasures), sehingga identitas ideologis yang ingin ditampilkan
menjadi tersembunyi. Individu-individu dalam karya Jompet ini,
meski menggunakan seragam dan penanda identitas lain untuk
menegaskan kekhasan kerumunannya, sesungguhnya tidak secara
langsung merepresentasikan ideologi dan kepercayaan mereka,
karena sekarang ini setiap atribut yang dipakai seseorang menjadi
bagian dari pertarungan kuasa dan kepentingan. Pertarungan
kuasa ini menuntut kedewasaan untuk melihat perbedaan dan
menumbuhkan sikap toleran , sebagaimana yang di awal disebut
oleh Jompet, sehingga semua mendapat tempat dalam peta.
Pertarungan atas nama ideologi mempunyai harga mahal yang
harus dibayar, dimana Zizek menyebut harga ini sebagai keriuhan
di latar belakang (background noise) dan bagi Zizek menghapus
keriuhan ini hampir menjadi sesuatu yang utopis.
Apakah daya massa selalu ada dalam kutub yang positif?
Saya
tertarik
untuk
melihat
bagaimana
gerakan-gerakan
mengatasnamakan massa mempunyai dampak sosial politik yang
besar untuk membawa perubahan. Akan tetapi, apakah berubah
saja sudah cukup? Bagaimana dengan arah dari perubahan
itu sendiri, masihkah semua peduli pada tujuan-tujuan masa
depan? Filsuf muda Jerman yang mendalami studi arsitektur,
Markus Miessen, mengetengahkan pandangan menarik berkaitan
dengan bahayanya menggunakan massa sebagai garda depan
demokrasi. Kasus-kasus seperti Occupy Wall Street, yang
menginspirasi berbagai gerakan massa besar-besaran beberapa
tahun belakangan menunjukkan ketegangan yang disebut Miessen
sebagai pasca-konsensus.
Dalam bukunya, The Nightmare of Democracy, Miessen menyebut
bahwa model konvensional dalam partisipasi berdasar pada
asumsi protokol sosial demokrasi di mana setiap suara dari setiap
orang punya beban yang sama dalam masyarakat egaliterian.
Partisipasi, terutama dalam waktu krisis, dilihat dan dirayakan
sebagai
penyelamat
mempertanyakan,
dari
apakah
para
ada
setan.
Miessen
kemungkinan
kemudian
untuk
melihat
partisipasi sebagai bentuk kekerasan yang lain, praktik nondemokratis, dan model yang oportunistik atas intervensionisme?
Ia telah melakukan serangkaian penelitian dan percobaan
yang berangkat dari premis dan pertanyaan di atas, terutama
berkaitan dengan penggunaan ruang publik sebagai ruang
dasar partisipasi politik, tidak dalam tujuan untuk menyatakan
ketidakpercayaan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, tetapi lebih
untuk mempresentasikan dan memancing perubahan yang kritis
dan produktif.
Karya-karya Jompet dengan tepat menampilkan ketegangan
antara model konvensional partisipasi dengan kritisisme yang
dibawa Miessen. Tidak secara langsung ia melihat partisipasi
massa sebagai kekerasan, tetapi kita merasa ada pertanyaan
kritis yang diajukan di sana. Cara-cara yang ia gunakan untuk
menggarisbawahi perpindahan massa, dalam sudut pandang
tertentu,
menyarankan
kita
untuk
mengajukan
pertanyaan-
pertanyaan terhadap hal yang kita terima sebagai “sudah wajar
adanya”.
9
10
Ruang Ganti Hamlet (detail)
Hamlet’s Dressing Room
installation
2013
Bagian terakhir dari instalasi di ruang pamer adalah kotak
hitam yang berisi artifak-artifak penghasil suara dan perekam
bunyi. Memberi penegas atas teater sebagai rujukannya, Jompet
memberi judul karya ini sebagai Ruang Ganti Hamlet. Puluhan
loud speaker, drum bekas pakai, pemutar musik bekas pakai,
serta berbagai macam kostum dan atribut yang biasa dipakai
orang-orang pada waktu berkumpul bersama. Semua disatukan
seperti gudang atau ruang arsip. Karya ini berangkat dari
satu bagian dari naskah Hamlet Machine-nya Heiner Müller, di
salah satu monolognya Hamlet di mana dia berbicara setelah
ia menanggalkan perannya sebagai Hamlet. Ruang ini seperti
menyimpan sejarah dan percikan kenangan tentang peristiwa
-peristiwa bersama skala besar di luar publik, tentang bagaimana
suara-suara dan kehadiran orang-orang, yang seringkali berujung
pada berubahnya sejarah masyarakat, pada akhirnya (di)
bisu(kan). Jompet Kuswidananto menghadirkan kesenyapan itu di
tengah-tengah hiruk pikuk berkumpulnya massa, memberi ruang
jeda di antara diri dan dunia. *
C U R AT O R I A L I N T R O D U C T I O N
Silence in the Crowd
Alia Swastika
How do we give meaning to all the noise and voices that do not
always have meaning at that moment we give them space and
freedom to speak? How can we still believe that the voice of the
masses has appeal; distribution of energy and strength to provide
certainty that we are thinking together?
These two questions may represent a starting point from which
to see the works exhibited by Jompet Kuswidananto in “Order
and After.” The project embraces, as well as represents, important
changes from several series of works created in the period 20112013. After his Java’s Machine project, which was based on
investigations into the identity of Javanese society – its forms,
changes and current situations – with a focus on cross-cultural
and post-colonial conditions, Jompet has moved on to look at the
third reality that is created in the spaces in between. This third
space project is called the “Third Realm”. His Anno Domini project
(exhibited at Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, and Asian
Art Museum San Fransisco) in 2011 and 2012 also shifted his
work towards new forms and approaches, in particular involving
architectural spaces in his work. Still tracing the third reality,
Jompet investigated the length of Anyer Panarukan street in 2012,
resulting in the On Asphalt project that was exhibited in Taipei,
11
12
Melbourne and Japan.
‘Order and After’ is a new project for Jompet that departs from
observations and research from a number of earlier projects, and
voices questions about the situation in Indonesia 15 years postReformation. Fifteen years have past since a regime was toppled
and new hope was born. More than simply questioning whether
those hopes were successfully realised, Jompet builds his premise
from the promises of democratic development. One important
element in the life of democracy is “free speech”, a metaphor that
refers to freedom to express thoughts and opinions, both verbally
and in writing. Interestingly, Jompet draws this concept of free
speech into his understanding of voice as “sound”, without having
to remove it from its socio-political context.
In post Reformation democracy, the every-day (political) life of
the people is filled with efforts to show that they “are”, and most
importantly, to be heard. After the New Order’s creation of a
political life that was highly controlled, and because of this silent,
society came to see sound as a strong way of displaying itself.
The majority of this noise is created together, by groups of people
or masses, so that there is a sense of power. Various sounds blur
to become one in every-day life, generating public spaces that
seem noisy and even chaotic. Each group constructs and displays
its own sound, that they believe represents the values and path
that they believe in, until the ear becomes accustomed to this
contestation from so many different voices.
On entering the exhibition space, Jompet at first welcomes visitors
with a series of flags and marching songs from mass organisations.
The flags hang colourfully, giving a festive impression, like a
happy celebration. Jompet’s choice to transform the marching
songs into text form, a transformation from sound to mute text,
ironically constructs conceptual silence. Rather than listening to
these songs, Jompet invited visitors to imagine – visualise – a
clamorous atmosphere constructed from the various texts on the
flags. These rows of texts indicate the contestation of diverse
values, ideologies and beliefs that are championed by each
group. See how varied these values are: religion, political parties,
soccer supporters, ethnic groups and so on. The songs are created
to evoke emotional ties to joint ideologies and eventually, the song
becomes a part of their ‘group identity.’ The strategy of writing
these texts on the flags is valuable because it forces visitors to read
– not to listen – and ultimately seems to condition them to link the
meaning of the text to the context.
Moving further into the exhibition space, visitors are faced with
old motorbikes that are lined up as if on parade. For Indonesian
society, visual imaginaries such as these immediately conjure up
visions of the commotion in the street when the campaign season
begins, or the atmosphere when soccer fans celebrate a win, or
even a group of teenagers who have just graduated. We have
become used to accepting the sound of tens of motors as a part
of the noise of our public spaces; occasionally it is disturbing,
but frequently we see it as a kind of entertaining attraction. Most
often when we meet a motorbike parade it is underway to stress a
mass identity; because of this they are uniformed, displaying their
existence in within the throng.
The largest and most important part of this project is the nearly 30
‘figures’ that are places in the tray of an old truck. Some of them
are waiting to get in the back of the truck, as though they don’t
care that they will be jostled once inside. This visual image, like
that of the motorbike parade, is also one we encounter during
particular seasons, among them incidences of large demonstrations
by labourers, farmers and others.
The mass consistently present tense relations between individuals
and the collective, between ‘me’ and ‘them’ as well as ‘us’. Thus,
Tentang Aspal #4
On Asphalt #4
(detail)
5 channels video
(partly screenedl
2012
13
14
Ruang Ganti Hamlet
Hamlet’s Dressing Room
installation
2013
there will always be an unknown, anonymous when talking about
the self in relations to the mass. Personal voices are undisclosed in
the midst of collective sounds. This is stated by Jompet through his
work ‘Quoting the Anonymous’ - an installation of text projectionswhich he quoted from his interview with The Anonymous, codirector of the film ‘The Act of Kiling’.
All of this installation speaks of the ‘masses’ and how they are
mobilised and organised. Jompet acknowledges that the phrase
mobilisation itself is one avoided, or even rejected by the
contemporary political activists he has had the opportunity to meet
during his investigations on this subject. They consider mobilisation
a term of the New Order, referrring to a kind of direct control from
above over society below. On the contrary, these days, all of the
individuals within the mass can mobilise a mass in order to gain
support. For Jompet the difference in the New Order eras was
one which saw the mass as a kind of political formality, whereas
now the masses are one of the controlling forces of the political
machine itself. In today’s situations, the political machine requires
the presence of the masses, so these organisations try as hard
as they can to establish a mass as a pool of energy, power and
strength that continues to be moved and to move. In his enquiries,
Jompet mentions democracy as an organic process where each
group’s interests describe their own position on the map, where
the lines they draw often collide with the interests of other groups.
All of the strategies Jompet uses in his project this time, as in
his previous projects, are very close to theatre and the stage. All
of his installations here have a performative dimension, shifting
what we see in our everyday lives, with an approach that is half
abstract and half near reality. As always he uses found objects,
almost all re-used, many even seeming like rubbish, it does indeed
give the impression of being old. In the situation of this almost
‘dramatic’ space, our memories of encounters that involve the
masses are reinforced, so that we feel the energy and strength that
the artist echoes. We are more involved in the mobilisation of this
power than in the political tensions that are the real basis for the
movement of all these people.
Everyday events, that are sometimes more performative and
dramatic than the events on stage, as explained by Richard
Schechner, do really seem like a ‘spectacle.’ The philosopher
Slavoj Zizek referred to these phenomena as “ideologico-critical
spectacles” that refer to a situation where ideology is in between the
visible and the invisible. Further, Zizek states that the ideological
conviction is more often hidden, as though stored in a glass box,
within the lives of contemporary societies filled with a consuming
passion. The subject and individual in society no longer stand
against the name of a major ideology, but immediately become the
“subjects of pleasure”, so the ideological identity that desires to be
displayed becomes hidden. The individuals in Jompet’s work here,
although they wear uniforms and other signs of identity to stress
the uniqueness of their throng, are actually indirectly representing
their ideologies and beliefs, because this is now an attribute used
by the person to become a part of the contest for power and
importance. This power contest demands enough maturity to see
difference and develop a tolerant attitude, such as that which
Jompet has begun to discuss, so that all may find their place on
the map. To fight in the name of ideology carries a uanvoidably
high price; Zizek calls this price ”background noise, for him the
obliteration of this noise is almost a kind of utopia.
Is the power of the mass always at the negative extreme? I was
interested to see how movements in the name of the masses have a
strong socio-political effect in bringing about change. In his book
The Nightmare of Democracy, Miessen says that conventional
models of participation depend on the assumptions of socially
democratic principle whereby every voice from every person has
equal weight in an egalitarian society. Participation, especially in
15
16
times of crisis, is seen and celebrated as a saviour from demons.
Miessen then asks, is it possible to see participation as another
kind of violence, a non-democratic practice and an opportunistic
model of interventionism? He undertakes a series of research
experiments that depart from the premise of the above question,
in particular connected to the use of public space in political
participation, not with the intention of expressing his mistrust of
the principles of democracy, but more to represent and invite
change and productive criticism.
Jompet’s works precisely display the tension between conventional
models of participation and the criticisms brought up by Miessen.
He does not directly see mass participation as violence, but we
sense there is a critical question proposed here. The methods he
uses to underline mass movement, from a particular perspective,
suggests that we ask questions about issues that we accept as
“inevitable.”
The final part of this installation in the exhibition space is a black
box which contains artefacts of voice and sound recordings.
Confirming theatre as his reference point, Jompet gives this work
the title Hamlet’s Dressing Room. Tens of loudspeakers, secondhand drums, second hand instruments and a variety of costumes
and attributes that are often used by people when they gather
together, are united in a kind of warehouse or archive. The work
is inspired by a scene in Heiner Müller’s Hamlet Machine when
Hamlet is dressing off his costume to end his act. This space seems
to collect history and spark memories of large scale collaborative
events outside of the public, of how the voices and presence
of people, which often peaks at points of change in a society’s
history, are eventually silenced. Jompet Kuswidananto places
silence in the middle of the commotion of the masses, giving
space for an interlude between the self and the world. *
References:
1. Slavoj Zizek. Denial: The Liberal Utopia dalam Lacan.com 2009 (English)
2. Markus Miessen. The Nightmare of Participation. Staenberg Press, 2011
3. Literatur tentang karya Jompet dan wawancara dengan seniman
17
The Artworks
Mengutip si Anonim
Quoting the Anonymous
projected texts on wall
2013
(detail)
18
18
Kata-Kata dan Pergerakan Yang Mungkin
Words and Possible Movement
installation
2013
(detail)
19
20
Ruang Ganti Hamlet
Hamlet’s Dressing Room
installation
2013
21
(detail)
Ruang Ganti Hamlet
Hamlet’s Dressing Room
installation
2013
22
Tentang Aspal #4
On Asphalt #4
5 channels video (partly screenedl
2012
(detail)
23
Sesi menggambar bersama seniman muda tentang Organisir/Mobilisir
Drawing session with a younger artist on Organisir/Mobilisir
9 ink on paper, 40cm x 40cm each, in Collaboration with Timoteus Anggawan Kusno
2013
(detail)
24
(detail)
Memanggungkan Kebersamaan
Staging Collectivism
linstallation
2013
25
26
Merekam latihan dua orang aktor dalam La Lecture-nya Henri Fantin –Latour
Taping a Rehearsal of Two Actors on Henri Fantin-Latour’s La Lecture
Video recorded performance in collaboration with Theodorus Christanto and MN. Qommarudin
2013
27
The Opening
28
Exhibition
ExhibitionView
View
29
30
Jompet Kuswidananto
C U R R I C U L U M V I TA E
Born in 1976, in Yogyakarta
Lives and works in Yogyakarta-Indonesia
EDUCATION
1995-1999
Gadjah Mada University, Faculty of Social and Politics Science, Yogyakarta, Indonesia
SOLO EXHIBITION
2012
2011
2011
2010
2010
2009
2008
On Asphalt, Project Fulil Art Space, Taipei
Third Realm, Independent project at 54th Venice Biennale, Venice, Italy
Java’s Machine: Family Chronicle, Selasar Sunaryo, Bandung
Third Realm, Para-site Art Space, Hongkong
Java’s Machine: Phantasmagoria, Osage Gallery, Hongkong
Java’s Machine: Phantasmagoria, Osage Gallery, Singapore
Java’s Machine: Phantasmagoria, Cemeti Art House, Yogyakarta
SELECTED GROUP EXHIBITIONS
2013
WE = ME, Asean Art Exhibition, Art Centre of Silpakorn University, Bangkok
2012
Taboo, Museum of Contemporary Art, Sydney, Australia
Rally, Eko Nugroho and Jompet Kuswidananto, Indonesian Contemporary
Art, National Gallery of Victoria, Melbourne
Taipei Biennale, Taipei Fine Art Museums, Taipei
Moscow Biennale for Young Art, Moscow
Phantoms of Asia, Asian Art Museum, San Francisco
2011
Jakarta Biennale, National Gallery, Jakarta
Jogjakarta Biennale XI, Jogja National Museum, Jogjakarta
Global Contemporary, Art Movement Since 1989, ZKM Karlsruhe, Germany
Indonesian – Eye, Saatchi Gallery, London
Motion / Sensation, Edwin Gallery, Jakarta
Inlux, Ruang Rupa, Jakarta
2010
Mental Archieve, Cemeti Art House, Yogyakarta
Kuandu Biennale, Kuandu museum of ine arts,
Taiwan Art Forte, Gana art Center, Seoul
Media Landscape, Zone East, Contemporary Urban Culture, Liverpool
Contemporaneity, Shanghai Museum of Contemporary Art, China
Loss of the Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
The Tradition of The New, Shaksi Gallery, Mumbai
2009
Jogjakarta Biennale X, Jogja National Museum, Jogjakarta
Beyond the Dutch, Centraal Museum Utrecht, The Netherlands
10th Lyon Biennale, Musee d’art contemporaine, Lyon, France
Perang, Kata dan Rupa, Salihara Gallery, Jakarta
Jakarta Biennale, Indonesian National Gallery, Jakarta
2008
Yokohama Triennale, Yokohama, Japan
Landing Soon, Group exhibition, Erasmus Huis, Jakarta
Manifesto, Group Exhibition, National Gallery, Jakarta
2007
Jogjakarta Biennale, Taman Budaya Yogyakarta
‘Equatorial Rhythms’, Stenersen Museum, Oslo, Norway
‘OK Video #3, MILITIA’, Indonesian National Gallery, Jakarta
‘Anti Aging’, Gaya Fusion Art, Ubud-Bali
2005
Fukuoka Asian Art Triennale, Fukuoka Asian Art Museum, Japan
CP Bienalle, Indonesian Bank Museum, Jakarta
Revolution Ugly, No Beauty, Cemeti Arts House, Yogyakarta
THEATRE AND DANCE PERFORMANCE
2012
2010
2009
2006
Restaurant of Many Orders, in collaboration with Hiroshi Koike, Japan
Third Bodies, On Embracing the In-Between, collaboration with Yudi Ahmad Tajudin
and Teater Garasi.
‘Garibaba’s Strange World’, Dance Theatre with Pappa Tarahumara and Hiroshi
Koike
‘King’s Witch’, a contemporary orchestra with Tony Prabowo and Garasi
Theatre Laboratory
HONORS AND AWARDS
2011
2010
2008
Lecturis Award Finalist, Art Amsterdam, The Netherlands
Asia Art Award Finalist, Loop Gallery, Seoul, South Korea
Academic Art Award, Yogyakarta Institute of Art, Yogyakarta
RESIDENCY
2012
2010
2007
2006
Nagareyama City Lifelong Learning Center, Japan
Geumcheon Art Space, Seoul, South Korea
Cemeti Art House, Yogyakarta
Kawasaki Factory, Japan
PUBLIC COLLECTION
Akili Museum of Art, Jakarta, Indonesia
National Gallery of Victoria, Melbourne Australia
Gallery of Modern Art, Brisbane, Australia
Singapore Art Museum, Singapore Michael Jacobs collection, New York,
Kardis Art Foundation, San Francisco, USA
Museum of Contemporary Art Photography, Chicago, USA
31
32
JOMPET
WOULD LOVE
TO THANK TO:
Nurkholis (Brekele)
Warsito dan Kru PissOne
Ipung (Muh. Habib Syaifullah)
Danang Luthi
Kotot
Ragil Binsar
Theodorus Christanto
MN. Qomarrudin
Timoteus Anggawan Kusno
Risky Summerbee
Andri Nur latif
Jamaludin Latief
Banjar Tri Andaru Cahyo
Adi Wisanggeni
Dodok Putra Bangsa
Andreas Ari ‘Inyonk’ Dwianto
Yudi Ahmad Tajudin
Dewa Ngakan Ardana
Teater Garasi
Nindityo Adipurnomo dan Proyek Pseudo
Partisipatif
The Anonymous of The Act Of Killing
Kelompok Simtotduror Al-Jannah Bil Iman
Pekalongan
Suporter Kalong Mania Persip Pekalongan
ORDER AND AFTER
Jompet Kuswidananto
Solo Exhibition
December 11 2013 - January 5 2014
Curated by
Alia Swastika
Translator:
Elly Kent
Photographer:
Stanislaus Yangni
Irvin Domi
Exhibition Venue
Ark Galerie
Jl. Suryodiningratan 36A,
Yogyakarta 55141
Published by
Ark Galerie
www.arkgalerie.com
aRK
aRK
ark
ark
aRK
ark
Enquiries
+62 274 388162
contact@arkgalerie.com