20 things You should never say to a Graphic
Transcription
20 things You should never say to a Graphic
the high iq society media internal mensa indonesia 04 20 Things You Should Never Say to a Graphic Designer 09 Usaha bunuh diri mungkin bisa dicegah 14 Eiffel, Here I come! Image courtesy of: startup stock 02 MInd Edisi #03 2015 Edisi #03 2015 daftar isi MInd 03 editor’s note Tim Redaksi MInd 05 06 11 Formasi Geologi Pulau Bali Tulisan lanjutan Pak Nurseto yang merupakan rangkaian dari artikel Oleh-oleh dari Bali. GO - The Art of Strategy Membahas dan meperkenalkan permainan GO, sebuah permainan yang mengandalkan strategi. Is this the brainiest child in Britain? Sebuah artikel yang menceritakan tentang anak jenius dari Inggris yang bernama Shrindi Prakash. k n ow l e d g e c ov e r s t o r y Greetings! 06 profile Selain itu, dalam edisi ini pula kami menyampaikan undangan dari Panitia Asian Mensa Gathering 2015 dari rekan-rekan mensa di Korea. Surat undangan resmi kami muat dalam salah satu halaman pada edisi MInd kali ini. Salah satu mensan, yaiyu Yosie, juga telah menuliskan sebuah artikel yang mengajak rekan-rekan mensan sekalian untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan Asian Mensa Gathering 2015 di Korea tahun ini. 15 16 Identity Crisis: Are You really YOU? Sebuah tulisan dari David Riswanto. Courage and Forgiveness in Social Dancing Artikel dari Budi Waskita ini membahas satu sisi dari Social Dancing. life Dalam edisi MInd kali ini kami memuat cerita fiksi yang ditulis oleh salah satu mensan, yaitu Dewo. Cerita fiksi ini akan dibagi menjadi dua bagian yang terpisah dalam edisi yang berbeda. Untuk mensan lain yang memiliki tulisan cerita fiksi juga bisa mengirimkan tulisannya ke tim redaksi melalui email yang tercantum di bawah pada bagian submission guidelines. social Kami dari tim redaksi kembali menanti kiriman-kiriman tulisan serta saran, kritik, dan masukan dari rekan-rekan sekalian demi menyampaikan MInd yang bermanfaat bagi rekan-rekan mensan semua. Selamat membaca! 17 19 environment 11 Danau di Puncak Dunia Busam re nimil et ini offic totate sim re volorum del is mollam quod quosam, od untur? Tur aut unt omnis coritisquam 18 19 21 23 What is Behind the Roaming Zombie Insects in Search for Water? Busam re nimil et ini offic totate sim re volorum del is mollam quod quosam, od untur? Tur aut unt omnis coritisquam Hygiene hypothesis: antara bersih dan kotor Busam re nimil et ini offic totate sim re volorum del is mollam quod quosam, od untur? Tur aut unt omnis coritisquam The Age of Cryptocurrency Busam re nimil et ini offic totate sim re volorum del is mollam quod quosam, od untur? Tur aut unt omnis coritisquam Mystery Riddle Perspell aborionetus periorere quo dit as dit, ut vendant science health book review quiz media internal mensa indonesia EDITORIAL submission guidelines editor in chief: Language: English or Bahasa Indonesia; Anggriyani Asri e d i to r i a l b oa r d : Text: MS Word (Windows) or plain text; Satriadi Gunawan Albertus Femi Ardine creative designer Anggriyani Asri : Nurseto Ardiputranto, Kim Katherin, Theodore Manthovani, David Riswanto, Budi Waskita, Yosie Octavia, Aisyah Aminy M., Ray Djajadinata. Satriadi Gunawan contributors Word count limit: 250-500 words (short article) 600-1000 words (long article) Send by e-mail to: anggriyaniasri@gmail.com *The Editor reserves the right to include or edit submissions for space and content considerations. Photo: PNG or JPG; disclaimer Albertus Femi Ardine The content of this magazine is provided for information purposes only. The should not be construed as an opinion or image constituted by Mensa organization. 04 MInd Edisi #03 2015 Edisi #03 2015 knowledge MInd bertemu saudara sepupu national directory of mensa indonesia oleh-oleh dari bali bagian tiga Oleh: Nurseto Ardiputranto the high iq society chairman honorary president Sahat Simarmata (52039), +628563095938, BB 20f99d97, sahatps@mensa-id.org Thomas Hanan Thoha (52144), +6281383390150, tomthoha@mensa-id.org vice chairman and legal director Ferial Fahmi Kadir (52126), +62818131304, BB 22aa16e0, ferial@mensa-id.org director admin Muhamad A. Martoprawiro (52007), +6281221222424, muhamad@mensa-id.org director organizational development Riyanto Mashan (52045), +6281510676188, BB 214d7cd, riyanto@mensa-id.org director relationship development Bayu Prawira Hie (52006), BB 21cc56da, dr.b@mensa-id.org treasurer Anne K. Adijuwono (80041), +6281386060508, BB 269b765e, anne@mensa-id.org psychologist Rismawati Silaban +62818760173, rismawati.silaban@lautan-luas.com sight coordinator Sariputra Sumana (20238), +62816913849, BB 253ab5f2, sariputra@mensa-id.org sig coordinator SIG Business Management: Bayu Prawira Hie SIG M-Concept: Anwar Hadi SIG Young Mensa: Sonny V SIG Open Mind: Jujung T. SIG Book: Patricia Wahyu e-mail enquiries@mensa-id.org mailing-list mensa_indonesia@yahoogroups.com website www.mensa-indonesia.org; twitter @Mensa_Indonesia atau http://www. twitter.com/mensa_indonesia fac e b o o k Mensa Indonesia (FB Personal Account, FB Group, FB Page) telegram group MInd (Mensa Indonesia) address Mayapada Tower 11th floor Jl. Jendral Sudirman kav. 28 INDONESIA SIG MaGe (Movies and Games): Theodore Manthovani SIG Animal Lover: Yosie Octavia SIG Dandan: Tara Anindyta ombudsman Samsul Hadi (52079), +62816899850, BB 207d23ea, samsul@mensa-id.org archivist Linda Yohana Ijo (52042), BB 261b831a, linda@mensa-id.org Mensa is an international society in which the sole requirement for qualification for membership is a score at or above the 98th percentile on any of a number of standardized intelligence test. Mensa is not-for-profit organization whose main purpose is to serve as a means of communication and assembly for its members. Qualification for membership may be determined by tests administered by Mensa, or by submission of properly certified prior evidence of qualification. All inquiries should be addressed to enquiries@mensa-id.org. test proctors Thomas Hanan Thoha (52144), Sariputra Sumana (20238), Sahat Simarmata (52039) west jakarta area coordinator Liliana Widyaningsih (52093), +62811987620, liliana@mensa-id.org bandung area coordinator Muhamad A. Martoprawiro (52007), +6281221222424, muhamad@mensa-id.org bank account number BCA 467.137.913.1 a.n. Anne Kurniawati Adijuwono “Mensa’s purposes are to identify and foster human intelligence for the benefit of humanity; to encourage research in the nature, characteristics, and uses of intelligence; and to provide a stimulating intellectual and social environment for its members.” J am 5.30 kami sudah bengun tidur dan berkemas menuju ke Pantai. Jam 6.oo perahu melaju ke arah barat meninggalkan pantai Lovina. Setelah menempuh 10 km, perahu berhenti. Jarak terdekat ke daratan masih 5 km. Ada sekitar 100 an perahu yang sama di sana. Masing2 memuat rata rata 5 orang. Dibandingkan 10 tahun yg lalu, jumlah perahu haya sekitar 20 buah. Perahunyapun tambal sulam. Tidak sebaik perahu yg kunaiki sekarang. Tak lama kemudian muncullah sekawanan Lumba2. Kurang lebih ada 20 ekor. Melompat lompat mengambil napas. Terharu betul hatiku...! Inilah saudaraku..., yg telah terpisah 55 juta tahun yg lalu. Lumba2 dan Paus adalah kerabat dekat. Mamalia...., beranak....., menyusui....., bernapas dengan paru²....., dan masih bisa mengeluarkan air mata kalau bersedih. Nenek moyang mereka mulai meninggalkan daratan, dan mencari kehidupan di laut sekitar 55 juta tahun yg lalu. 10 juta tahun setelah kepunahan Dinosaurus. Seperti halnya salah seorang pamanku, yg mempelopori meninggalkan Njenar, desa kecil di Purworejo, dan mencari penghidupan di Jakarta, 55 tahun yg lalu. Study Morfologi dari temuan fosil² dan penanggalan Radio Carbon, menyimpulkan seperti itu. Tangan (tungkai depan) dan kaki (tungkai belakang), telah berevolusi menjadi sirip. Seperti halnya Anjing Laut yg kita lihat sekarang. Anjing Laut adalah mamalia darat yang mulai beradaptasi dan mencari ikan di laut. Barangkali, 50 juta tahun mendatang, keturunan Anjing Laut, sudah berbentuk seperti ikan. Seperti halnya lumba lumba. Sampai berjumpa lagi saudara2 ku...! Aku balik ke daratan. Ref: http://evolution. berkeley.edu/evolibrary/ article/evograms_03 http://etb-whales. blogspot.com/2012/03/ snake-evolution-photosof-vestigial.html 05 06 MInd Edisi #03 2015 k n o ws loecdi g ae l amg korea 2015 Jarak Berkembang Biak Makhluk Hidup invitation to amg korea 2015 Oleh: Theodore Manthovani Oleh: Yosie Octavia M amalia memiliki banyak spesies dengan interval antar kelahiran anak yang besar. Gajah melahirkan anak sekitar 2 tahun sekali dengan umur mampu mencapai 70 tahun, dan paus beranak sekitar 5 tahun sekali dengan jangkauan umur sampai 80 tahun. Sementara itu orangutan dianggap sebagai primata dengan jarak kelahiran terlama, mencapai 8 tahun, dan memiliki jangkauan umur mencapai 45 tahun. Bandingkan dengan manusia yang bisa hamil kembali hanya diselingi beberapa minggu (walaupun ada kasus-kasus unik seperti jarak umur belasan tahun antara kakak dan adik), dan hidupnya rata-rata mencapai umur 75 tahun. Ini masih jauh lebih lama dibandingkan dengan lalat yang hanya hidup berumur beberapa minggu di tahap dewasa dan hanya sekali kawin dalam hidupnya (sperma ditampung sekali dan persediaannya dipakai berkali-kali untuk bertelur). Bagaimana dengan tumbuhan? Pohon sequoia raksasa mampu mencapai tinggi 85 meter dan berumur 3000 tahun, dengan rajinnya terus berbuah dan menebarkan biji sejak berumur 12 tahun. Bandingkan dengan tumbuhan pisang, yang hanya berbuah sekali seumur hidupnya yang lamanya sekitar 3 tahun. Bahkan akibat campur tangan manusia dalam menyeleksi turunannya, pisang yang sering kita makan ini berbunga dan berbuah yang memiliki biji, tapi tidak berfungsi sebagai alat reproduksi, mereka berkembang biak dengan metode tunas. Buahnyapun Images courtesy of: Jay Mantri (magdeleine.co) berbeda sekali bentuk asalnya dibandingkan bentuk pisang yang kita makan sekarang, pisang itu bagaikan anjing di dunia tumbuhan. Dikembang biakan manusia demi kepentingan dirinya, sampai berubah jauh dari nenek moyangnya dulu di saat masih hidup bebas di alam liar, namun itu adalah cerita lain. Secara logis kita akan terpancing untuk menyimpulkan bahwa semakin kecil ukuran suatu makhluk, maka umurnya akan semakin pendek dan daur perkembang biakannya juga akan semakin cepat. Tapi baru-baru ini disimpulkan berbeda oleh para ilmuwan dari Program Pengeboran Laut yang telah mengumumkan penemuan mereka di konferensi Goldschmidt yang dihadiri oleh lebih dari 4 ribu Image source: http://imgkid.com/private-dance-lessons.shtml ahli geokimia, di Florence, Italia. Mereka melakukan penelitian pada bebatuan yang berlokasi sampai 2,5 kilometer di bawah dasar laut dan menyatakan bahwa ditemukan kehidupan yang beragam di bagian dalam, jauh di bawah permukaan bumi. Lebih menarik lagi, dikatakan oleh Inagaki Fumio dari agensi Jepang untuk ilmu pengetahuan dan teknologi bumi (Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology), bahwa dalam sesendok teh batu hanya terkandung 1000 mikroba. Jumlah ini jauh lebih sedikit daripada sesendok teh batu dari permukaan bumi yang biasanya memiliki milyaran bakteri. Yang mencengangkan adalah, bahwa bakteri ini hanya berreproduksi setiap 10 ribu tahun, dan bebatuan di bawah dasar laut itu berumur 100 juta tahun. Di samping organisme bersel satu yang ditemukan di bebatuan dalam itu, Tim Engelhardt dari Universitas Oldenburg, Jerman, menunjukkan bahwa jumlah virus melebihi mikroba sampai 10x lipatnya. Dan tidak berhenti sampai di sini saja, semakin dalam lokasinya, jarak perbandingan jumlah keduanya tampak semakin jauh. Laju metabolisme bakteri purba ini sangatlah lamban sampai mencuat pertanyaan apakah ini masih bisa dikategorikan sebagai hidup, sementara mereka memperbanyak dirinya hanya sekitar setiap ribuan tahun sekali. Edisi #03 2015 MInd 07 08 MInd Edisi #03 2015 social Edisi #03 2015 dance Oleh: Budi Waskita R edowa is the single hardest dance step that I learned from History of Waltz. Sure, it takes a while to make Mazurka steps intuitive, but even now I’m still struggling with Redowa. It is an interesting dance, where your partner travels 5-6 feet in just 3 counts. “Down-two-three” is the mantra, although there have always been times when I’m either not traveling enough, not low enough, or forgot to help my partner turn. “Down-two-three”, and even lower if you can; it seems that there are a thousand things you have to do to get it correct. There was only frustration for the first few weeks, and then I had that magic moment you described, when you partner with just the right person. On that magic occasion, everything was smooth. Redowa was no longer a jumping step, but a smooth undulating movement, as if I were flying with the wind. The single minute lasted forever in my mind, and though I no longer remember who my partner was, I always remember that flying feeling. And then I spent the rest of the quarter trying to recreate that feeling whenever I do Redowa. More practice, with the right person, will do it. “It takes two to tango”, they said. I believe that when I learn to smoothly fall on each step of the Redowa, I will recapture that flying feeling. MInd 09 10 MInd Edisi #03 2015 cover story cover Edisi #03 2015 story MInd 11 Design in the workplace can be hard. We know, because we asked. 20 Things You Should Never Say to a Graphic Designer bu t p ro b a b ly d o Recently, we’ve been speaking to a number of different businesses about the challenges they face in their workplace. We’re going to be sharing these with you over the next couple of weeks, but we wanted to start with one of the most colorful topics we covered: communication between designers and departments or clients. Believe me, we get it. Graphic designers can be hard to communicate with. They have their design jargon and special software — and you might have no idea what it all means or how it all works. So if you work with designers, it helps to ask the right kind of questions that will move your project along and create a final product that everyone will be happy with — rather than questions that bring the project to a crashing halt with incorrect assumptions about the design process. What might those be? Check out these 20 examples of questions that designers wish they didn’t hear. It’s the first taste of some awesome plans we have in the pipeline to make design in the workplace amazingly simple. 01. Don’t say: “We haven’t finished writing the copy, but can you design a draft?” Why? You’ll often hear marketing experts say that “Content is king.” A design should be built around the content, not vice versa. Presenting content to its best advantage will always look better and get better results than trying to squeeze all the content into an existing design. Plus, going back and trying to re-arrange the design to fit the copy can be timeconsuming for a designer and increases the turn-around time for you or your company. Next time? Get the copy as close to its final version as you can before asking your designer to get started — it’s better for everyone. 02. Don’t say: “Can I get you to do something really quick?” Why? Are you sure it will be quick? Do you know what’s involved? Your designer is more than likely happy to accommodate an extra task or an adjustment here and there, but will definitely appreciate your consideration in asking how much time it will take (rather than if you just assume it’s a quick fix). Designers are good at giving estimates and will let you know how much time they need if you ask. 03. Don’t say: “Can you put it in a format that we can edit?” Why? If you request an editable source file, you’ll likely need specialized design software and risk changing your carefully crafted project for the worse if you don’t have any design knowledge yourself. If you want a professionalquality design but will need to make edits regularly, you might consider a DIY option like Canva, where you can have access to templates created by designers that you can customize or tweak at anytime without compromising design quality. 04. Don’t say: “Can you do lots of different versions? I think I’ll know what I want when I see it.” Why? Let’s say you’re buying an expensive, tailor-made suit or a fancy, custom dress. Would you say to the seamstress, “Can you make me six versions of the outfit? When I see them, I’ll choose the one I like best and pay for just that one.” Of course not. Just because graphic design is often a digital rather than physical/tangible product doesn’t mean that the designer puts any less time and care into the work. The design process will go more smoothly for both you and the designer if you first spend some time developing a detailed creative brief that helps the designer understand exactly what you’re looking for and are trying to achieve with the design — including information like your intended audience, preferred tone or aesthetic, budget, etc. 05. Don’t say: “Can you Photoshop it…?” Why? Yes, Photoshop and other advanced design software can do some amazing things. But it can’t do everything; sometimes designers receive requests that really are technically impossible. And just because you can do something doesn’t necessarily mean you should. Some of the more extreme or outlandish effects and treatments that are possible are not necessarily the best choice from a design perspective — plus, we’ve all seen Photoshop choices backfire, such as a model with an oddly angled arm or leg or impossibly thin proportions. So ask your designer to give you some feedback and constructive criticism; she’ll usually have a pretty good idea of what will or won’t work for your design. 12 MInd Edisi #03 2015 06. Don’t say: “Can I make just one more change? I promise it’s the last one.” Why? You know and your designer knows that there will probably be other changes after this one. After all, you’ve asked for multiple tweaks already. So let’s just be upfront about it and nicely, apologetically say something like: “I’m so sorry to keep taking up your time like this, but I found another change I’d like to make. Can you change this [word / font / graphic / color]? Feel free to add the extra time for these edits to your invoice.” Graphic designers are short on time just like you are, and although they do want to help you make sure the design fits your needs, they also appreciate the acknowledgement that their time is valuable. So next time, try compiling a list of all the changes you’d like to make and hand them over to the designer to do all at once, which is more efficient for everyone. 07. Don’t say: Can you do something that looks exactly like [this other designer’s work]?” Why? Aside from copyright issues (and possible legal consequences), this should be a matter of ethics. No designer should be okay with copying another artist’s work outright, and you shouldn’t expect them to. Instead, try pointing out what you like about the design specifically, and ask your designer to do their own take on the style or try certain elements inspired by the work, like a color scheme, basic layout, or general aesthetic (clean, vintage, bold, etc.). 08. Don’t say: “Can you use this image I found online?” Why? Turning to Google or other search engines for images can backfire in a number of ways. For one, like the previous point, you could run into legal trouble for using a copyrighted image — one that’s not licensed for personal or commercial use. Additionally, it’s likely that the image won’t even look good in your design because the resolution is too low. If you’re looking for an alternative to paying for stock photos, there is an increasing number of sources where you can find quality, free stock photos. We’ve complied and rated a selection of resources here. cover 09. Don’t say: “Can you have this done by tomorrow?” Why? Graphic design isn’t an instant process that is done with a few clicks of a mouse. Every project will have its own process and time requirements. Realistically, some designs can be whipped out in a day, while others will take much, much longer. It completely depends on the project (and the designer’s creative process). If you’ve found a designer you’d like to hire, let him or her know about your time constraints and ask for a realistic estimate on how long the design will take. 10. Don’t say: “I know someone who works for half that. Could you lower your rate to match?” Why? Designers set their prices based on multiple components: geography, cost of living, style, skill, experience, and many more. Every designer will have a different combination of strengths and abilities to offer, and there’s no special formula for determining if a designer’s rate is competitive or “fair.” Generally, though, you get what you pay for — so you need to decide what characteristics are most valuable to you in a designer (speed? quality? originality? reputation? personality?). That’s not to say price negotiation is not an option, but if your first encounter with a designer is an effort to “lowball” his rate — suggesting a rate much lower than normal, while expecting the same quality of work — that will be an immediate turnoff and feel disrespectful to the designer. Design studio story cover Edisi #03 2015 story 13. Hensher Creative offers a detailed guide to the subject, “Graphic Design Pricing: What’s a Good Designer Worth These Days?”, including what goes into pricing and some industry averages for different types of design projects. Don’t say: “Can you just get the logo off our website?” Why? Saving or taking a screenshot of a logo from your company website, Facebook page, or any other online source just won’t cut it quality-wise, especially for print projects. Logos need to have a certain resolution to look sharp and clear in your design; there are different requirements for print and web. The failsafe format to hand over your logo is a vector file, which means that it can be resized larger or smaller to suit any design without loss of quality. Common vector files types are AI (an Adobe Illustrator source file) and EPS. The original designer of your logo should be able to provide you with an appropriate file if you don’t have one. 11. Don’t say: [in the middle of a project] “By the way, I’ll need these other related items in addition to the initial design. Can you do that?” Why? Expanding the scope of your design project in the middle of that project, after agreeing upon a certain arrangement (e.g., you’ve agreed on a logo package, and now you’re asking for business cards and a letterhead design in addition), is one of the worst things you can do from a designer’s perspective — especially if you expect those additions to be included in the original price. This is where a creative brief comes in handy (again). Including the full scope of the project within the brief ensures that you and your designer are on the same page and can plan your budget and timeline accordingly, preventing unnecessary frustration. If you do run into extra, unexpected needs during the course of the project, you’ll need to work out a new budget and timeline for those additions. 14. 12. Don’t say: “Can you make it pop?” Why? Designers, unfortunately, can’t read your mind. So when you’re giving guidance or feedback on a design, try to be as specific as possible. Your designer won’t know what vague descriptors like “make it pop,” “edgy,” “modern,” or “fancy” mean unless you make it clear what they mean to you by being more detailed or showing examples that are similar to what you’re looking for. Don’t say: “How about we just go back to your original concept?” Why? Designers are designers because they have the artistic and technical ability to do their job well. Sometimes instead of asking for multiple iterations of a design concept, it’s best to trust your designer. After you explain what you need, let the designer come up with the best design she can. Then, take a good, hard look at the design — maybe take a couple days to mull it over, or run it by a trusted third-party who has some knowledge of design or your industry — and make sure any changes you request are necessary and explainable. Don’t waste your designer’s time with endless experimentation when the initial design is exactly what you asked for. MInd 13 15. Don’t say: “I started the design for you in Microsoft Word / Paint / Publisher. Can you finish it for me?” Why? While programs that come loaded on your PC or Mac are perfectly suitable for everyday, casual use, they’re not intended for professional design projects. Neither you nor an experienced designer will be able to get the kind of quality you’re looking for from a home office program. That’s why designers use specialized software. It’s best to let them use those tools from start to finish — you’ll be much happier with the final product. 16. Don’t say: “I can’t pay you, but you’ll get a lot of exposure. Is that ok?” Why? Designers like a little publicity as much as the next guy, but it won’t pay the bills. Freelance designers, in particular, have none of the benefits of traditional employment — they pay their own taxes and insurance, buy their own equipment and supplies, often maintain a home office, etc. All of those costs (not to mention regular living expenses) have to be taken into consideration when designers set their rates. So doing a job for free or for nonmonetary compensation usually just isn’t a viable option. 14 MInd Edisi #03 2015 17. Don’t say: “Once you’re done with the design, I can have unlimited revisions, right?” Why? Many designers put a limit or a fee structure on revisions because a project can theoretically never end — there’s always something new to try or another small adjustment to make. You can expect to go through a few rounds of revisions with your design; that’s normal, and most designers are happy to work with you to get your project as close to “perfect” as possible… within reason. Remember, even small changes take time to make, and the more changes you request, the longer the project’s turnaround time. 18. Don’t say: “How much would my [special, complicated project] cost?” Why? The answer isn’t as simple as you might think, and will be different for every project (and for every designer). To borrow an analogy from designer David Airey, asking “How much for [take your pick of design projects]?” is akin to asking a realtor “How much for a house?” The answer is that it depends…on a lot of things. That’s because pricing a project is not a black-andwhite process. Most designers will want to have a detailed discussion about your project before giving you a quote. Factors like how complex it is, how fast you’ll need it, what types of formats or deliverables you’ll want, where and how it will be printed and/or published, and many others all play a part in determining pricing. When you first approach a designer, offer your project details before asking about costs, and you’ll get a more thoughtful, accurate estimate. cover 19. Don’t say: “Can I call or email you anytime?” Why? Nobody — even freelancers or night-owls — monitors their work email or phone 24/7. Designers have schedules, too (even if they work from home in their pajamas) and often collaborate with multiple clients simultaneously. You may not be able to get a hold of your designer at a moment’s notice, but you should hear back from him during his working hours. If you’re concerned about how easy it will be keep it touch, make sure to ask when those working hours are (and limit your most important messages to that time) as well what his preferred method of communication is. 20. Don’t say: “You’re the expert here. Can’t you just do your creative magic?” Why? Well… yes and no. Designers are (or should be) experts at creating beautiful, functional designs from the guidance and parameters you provide. But, as we’ve story mentioned in previous points, having something to go on in the first place makes the process much smoother: a detailed creative brief is ideal, but even something as simple as providing some examples of designs you do and don’t like can be very helpful. Jeff Sholl at Propoint Graphics puts it this way: “‘You’re the expert here’ basically says: we [the clients] defer to your judgment to read our minds and give us something we didn’t even know we wanted. That is a lot of pressure to lay on a graphic designer….The bigger issue is the amount of freedom it gives the designer. This phrase gives us unlimited freedom to try to tell the story that you know best. We can deliver Picasso, but if you were looking for Rembrandt there’s gonna be an issue.” Designers can put all their creative energies into creating an interesting, effective design, but only you know what you want, so it’s ultimately up to you to communicate that. hukum bisnis 1 P ada suatu kesempatan Robert J. Laikin (pendiri, Chairman, dan CEOBrightpoint, Inc.) memberikan sharing mengenai prinsip-prinsip yang ia jalankan di dalam dunia bisnis. Dia menamakan prinsipprinsip bisnis tersebut sebagai 10 Hukum Bisnis yang dijabarkan sebagai berikut: 3 Clients that are easy to work with — who communicate clearly and politely, establish expectations upfront, and are willing to collaborate — get the best work from their designers. Belajarlah memisahkan antara pikiran dan tindakan. As with any collaborative environment, a little mutual respect and give-and-take go a long way in creating a productive partnership. 6 7 Menjadi kaya tidak ada hubungannya dengan uang. 9 Jika Anda gagal merencanakan sesuatu, berarti Anda berencana untuk gagal. 15 Ketika seseorang menyadari bahwa ayahnya benar, pada saat itu ia memiliki anak yang berpikir bahwa dirinya salah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun sebuah kepercayaan dan hanya sekian detik saja untuk menghancurkannya. 5 Seseorang yang bersikap baik kepada Anda namun kasar terhadap seorang pelayan, sesungguhnya dia bukanlah orang yang baik. Jika Anda dapat lolos berkat pesona Anda selama 15 menit pertama, Anda sebaiknya segera mengetahui sesuatu. 10 2 Kawan jauh lebih berharga daripada uang. 4 Beli dengan harga rendah dan jual dengan harga tinggi. MInd Oleh: Karly Mulyadi To sum up… And designers that have those same qualities have more satisfied clients. Most designers are more than happy to guide you through the often-foreign design process and answer any questions you might have, and they like nothing better than being asked for recommendations. Images courtesy of: Mike Lawn (dailymail.co.uk) 10 Edisi #03 2015 business 8 Fokus pada apa yang Anda miliki, bukan pada apa yang telah hilang. 16 MInd Edisi #03 2015 fiction Kalahnya Si Kaya racikan obat untuk anak saya. Sudah 4 hari ini badannya panas. Semoga sekedar demam biasa… bukan gejala DBD atau penyakit-penyakit berat lainnya.” “Anaknya umur berapa, Pak? Kok, enggak bareng sama Bapak?” bagian satu Oleh: Dewobroto Adhiwignyo “ Th e r i ch g e t r i ch e r a n d t h e p o o r g e t ch i l d r e n .” f. scott fitzgerald D i ruang tunggu suatu rumah sakit ibukota, seorang pria berusia 23 tahun yang berasal dari golongan ekonomi menengah nyaris ke bawah duduk setengah membungkuk dengan siku-siku tangan berpangku pada paha kedua kakinya. Telapak-telapak tangannya yang saling mengatup ia jadikan tempat bertumpu dagunya yang berjanggut tipis. Di ruangan itu hanya terdengar beberapa suara yang tidak terlalu penting untuk didengar: suara tayangan opera sabun yang diiringi background music lagu-lagu pop terkini dari televisi; dan suara beberapa orang yang tengah bertransaksi di apotek di samping ruangan tersebut. *** S enja itu, pria muda tersebut masih mengenakan pakaian ala pekerja kantoran kelas menengah ibukota; dengan kemeja putih hem panjang yang masing-masing hemnya telah ia singsingkan; tergulung hingga pangkal siku lengan atas secara tidak rapi akibat terburu-buru sejak jam Images courtesy of: Ryan McGuire bubar kantor. Cuff pada kedua hemnya tampak menjuntai seperti kelopak bunga yang baru saja mekar. Pada sisi dalam masing-masing cuff nampak guratan-guratan pekat noda hitam kecokelatan akibat keringat yang tercampur dengan debu, menandakan ruangan kantor perusahaan kelas menengah tempat ia bekerja tidak ber-AC; atau barangkali ber-AC, namun ACnya sedang rusak. Pergelangan tangan kirinya mengenakan arloji TAG Heuer KW yang entah KW berapa. Sebuah cincin emas tersemat pada jari manis tangan kirinya. Simpul dasi yang ia kenakan telah dilonggarkan hingga kerah kemeja arrow murahannya yang sudah lusuh dan kusut itu tidak lagi mencekak leher. Rambut hitamnya yang model belah tengah tampak lepek dan berantakan. Bercak besar bekas keringat berbentuk peta sebuah pulau terceplak jelas pada bagian belikat punggung kemejanya; mengindikasikan bahwa ia baru tiba dan duduk di ruang tunggu ber-AC rumah sakit itu tidak lebih dari 15 menit yang lalu. Ia datang sepulang kerja dari kantor dengan menggunakan kendaraan angkutan umum reyot yang sudah uzur, berpindah sekitar dua hingga tiga trayek di tengah hiruk pikuk jam pulang kantor para pekerja ibukota. Sambil menunduk, sesekali pria itu mendongakkan kepala untuk sekedar memperhatikan keadaan sekitar. Tak sekalipun ia sandarkan tubuh letihnya pada sandaran bangku, atau menyelonjorkan kakinya yang pegal-pegal untuk sekedar meregangkan otot. Gestur duduk kaku itu dikombinasikan dengan ekspresi tegang pada wajahnya yang berdebu dan agak berkeringat dingin. Sesaat kemudian mendadak ruang tunggu itu menjadi begitu hening; nyaris sunyi; dan akan menjadi benarbenar sunyi jika saja jarum jam dinding yang ada di sana berhenti berdetak. “Lagi nungguin istri lahiran ya, Pak?” Pria muda itu tersontak kaget. Di hadapannya tengah berdiri seorang pria parlente paruh baya berperawakan tinggi agak gemuk. Ia mengenakan stelan jas notch lapel biru tua. Di dahi bagian atas alis mata “Anak saya umur 10 tahun. Tadi setelah berobat, anak saya pulang duluan sama ibunya ke rumah naik taksi. Kasihan kalau ikut nunggu lama-lama di sini. Kebetulan juga saya baru pulang kantor, jadi tadi istri saya telepon, minta supaya saya sekalian ngambil dan nebus racikan obat. Saya kan tiap pulang ngantor memang selalu lewat jalan depan rumah sakit ini. Jadi nanti habis ambil obat saya pulang sendiri naik mobil.” kanannya terdapat bekas jahitan luka sobek yang meski kecil namun sangat jelas terlihat. Aroma wewangian Eau de Perfume-nya tercium semakin jelas oleh si pria muda setelah pria parlente paruh baya tersebut langsung duduk di sebelah kirinya tanpa permisi. Tanpa ba bi bu. “Anaknya yang keberapa, Pak? Laki atau perempuan?” Dalam hatinya si pria muda bergumam, “Ni orang tau aja kalau gue lagi nungguin bini gue lahiran.” Pria muda itu bergumam sambil tersenyum kecil. Ia lalu terdiam. Entah karena bingung mau berkata apa, atau memang karena tidak ingin melanjutkan perbincangan. “Iya, Pak. Barusan saya sampai di sini. Istri saya sudah masuk ke ruang bersalin waktu saya datang.” “Kok, enggak ikut masuk ke dalam? Enggak ikut nemenin lahiran istri…?” “Ah… enggak, Pak. Saya enggak tegaan liat istri teriak-teriak kesakitan karena kontraksi. Apa lagi ini lahiran pertamanya... dan tadi juga saya datang terlambat,” jawabnya sambil tersenyum kecut. “Bapak di sini sedang nunggu apa?” “Oh… saya sedang nunggu Edisi #03 2015 fiction “Anak pertama kami perempuan. Dan anak semata wayang. Ahahaha…!” jawab pria paruh baya tersebut sembari terkekeh kecil. “Oh….” “Saya baru married usia 41. Istri saya 8 tahun lebih muda usianya. Waktu itu saya memang pengen mapan di karier dan merintis wirausaha dulu, beli unit suite apartment dulu untuk persiapan berkeluarga, dan punya tabungan yang sekarang sebagiannya sudah saya invest lagi untuk nambah ‘passive income’ lain selain dari wirausaha. Jadi waktu married dan istri melahirkan saya sudah punya aset-aset dan enggak jadi terbebani secara finansial. Jikalaupun suatu waktu saya kenapa-kenapa lalu meninggal, saya dapat ninggalin istri dan anak dengan tenang karena istri saya dapat membiayai hidupnya dan anak kami dengan ‘passive income’ yang lebih dari cukup itu.” Si pria muda hanya duduk terdiam, namun kali ini ia menyandarkan badan dan menyelonjorkan kakinya sambil menghela nafas panjang. Wajahnya yang kelelahan semakin bertambah kusut. Dalam hatinya ia menggerutu. “Sombong dan angkuh bener ni orang. Mentang-mentang udah hidup makmur jadi orang gedean.” Bagi si pria muda, gaji bulanan pokok berikut tunjangantunjangannya sebagai pegawai kantoran biasa yang hanya sedikit lebih tinggi dari UMR memang tergolong sangat pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Sama sekali belum terpikir dalam benaknya, bagaimana kelanjutan strategi finansial keluarga setelah istrinya melahirkan kelak. Si pria parlente paruh baya yang nampak kurang peka dengan suasana hati pria muda tersebut lantas melanjutkan ceritanya. “Negeri ini sudah ketinggian kuantitas SDM; over-populated, tapi minim di kualitasnya. Kondisi ini makin parah dengan masyarakat kita yang hobinya married tanpa kesiapan apa-apa, baik secara mental maupun materi. Alih-alihnya bilang bahwa married itu untuk menyempurnakan ibadah lah… menghindari zina lah… banyak anak, banyak rezeki lah. Lha, kan nanti jadi kasihan si anak kalau bapak-ibunya kelewat miskin. Ujung-ujungnya anak-anak mereka enggak disekolahin, malah dipekerjakan jadi pengamen dan pengemis buat nambah 'rezeki'. Tambah lagi maraknya tayangan opera sabun tidak mendidik yang hampir selalu memposisikan orang miskin sebagai tokoh protagonis dan orang kaya sebagai tokoh antagonis. Seolaholah kemiskinan itu merupakan sebuah anugerah sebagai modal untuk dapat dikasihani dan disayangi. Alhasil, married dan punya banyak anak pun dianggap enggak jadi masalah walau terjerat carut marut kemiskinan karena mindset ala opera sabun: yang miskin itu pasti baik dan harus dikasihani; sementara yang kaya itu pasti jahat dan harus dibenci. Belum lagi pengaruh dari trend filmfilm religi zaman sekarang yang married cukup modal dengkul saja. Baru sebentar dikenalin ke anak gadisnya si calon mertua, lusa sudah berani ngadep bapak-ibunya minta restu untuk married. Dikiranya married itu perkara tetek bengek cinta dan ibadah doang apa? Seolah-olah kadar keimanan yang sengaja ditampilkan secara eksplisit dieksploitasi guna memperoleh simpati si calon mertua untuk membahagiakan anak gadisnya kelak. Apa enggak konyol itu indikator kesiapan married dan hidup berumahtangganya?” Monolog lanjutan itu membuat si pria muda semakin malas menanggapi racauan orang yang duduk di sebelahnya itu. Ia terus-terusan menggerutu dalam hati. “Kurang ajar…! Gue juga dulu ngelamar bini gue waktu lagi kere. Pun sekarang setelah 2 tahun berumah tangga hidup gue masih begini-begini aja; rumah pun masih ngontrak. Mertua gue dulu ngizinin gue nikah sama anak gadisnya karena tau gue rajin baca kitab suci dan rajin beribadah.” Meski perkataan si pria parlente paruh baya itu masuk akal, si pria muda yang secara terpaksa jadi pendengarnyapun masih merasa tinggi dalam kepas-pasannya jua ―yang dapat dikategorikan sebagai nyaris miskin―, bak tokoh protagonis opera sabun negeri ini yang merasa terzalimi dan wajib diberi belas kasihan, dibela, didoakan, dan dibantu, hanya atas dasar kondisinya yang 'tabah' (dalam artian tidak melakukan usaha solutif yang signifikan untuk memperbaiki kualitas kehidupannya) dalam kemiskinan. Dalam benaknya yang lain ia menerka-nerka, jangan-jangan pria parlente MInd 17 paruh baya tersebut memang mampu menerawang kehidupannya; karena racauan ngalor-ngidulnya sedari tadi selalu bingo menelisik kehidupannya yang serba paspasan dan dapat dikategorikan sebagai nyaris miskin. “Ah, tidak mungkin. Itu pasti hanya kebetulan saja,” sahutnya dalam hati seraya menenangkan diri. Si pria muda lantas hanya bergumam, sekedar untuk menunjukkan bahwa ia mendengarkan racauan pria parlente paruh baya itu. “Oh….” Pria parlente paruh baya itu lantas melanjutkan racauannya. “Saya sempat berpikir, masyarakat kita ini banyak yang masih berpikir pendek soal kehidupan pasca-wedding. Oleh sebab itu seharusnya pemerintah memperketat syarat-syarat hukum marriage pada hal-hal yang lebih konkret, ketimbang sibuk mempolemikkan marriage beda keyakinan yang jelas-jelas sifatnya pribadi dan tidak perlu dicampurtangani pemerintah. Hal-hal konkret itu dapat mencakup ketersediaan materi kedua calon pengantin: misalnya harus sudah punya properti/ tempat tinggal sendiri untuk berkeluarga yang legal secara hukum, penghasilan bulanan tetap harus ada minimal sekian juta rupiah, serta harus sudah punya tabungan minimal sekian puluh juta rupiah. Dengan demikian mereka yang akan married dapat dijamin telah siap. Jika belum siap secara mental, minimal siap secara materi. Anak-anak mereka pun kelak tidak akan diterlantarkan dan akan dapat mencicipi manisnya bangku pendidikan. Dengan demikian, ke depannya akan dihasilkan SDM-SDM yang berkualitas. Yah… paling tidak, akan lebih baik keadaannya ketimbang tidak sekolah sama sekali, meskipun dunia pendidikan negeri ini juga masih amburadul kondisinya. Ahahaha…!” ia mengakhiri monolognya yang barangkali agak utopis itu dengan terkekeh kembali. (bersambung...) 18 MInd Edisi #03 2015 Bagaimana jika kita kehilangan passport pada saat di luar negeri? Oleh: Karly Mulyadi travel Edisi #03 2015 travel 19 K e h i l a n g a n pa s s p o r t s a a t t r av e l i n g d i l u a r n e g e r i buk a n l a h h a l y a n g d i i n g i n k a n , n a m u n k e m u n gk i n a n i t u t e t a p s a j a a d a . L a l u, a pa ya n g h a r u s k i t a l a kuk a n j i k a k e h i l a n g a n d o ku m e n p a l i n g p e n t i n g k e t i k a m e l a kuk a n p e r j a l a n a n l i n t a s n e g a r a ? T ak ada satu pun traveler yang ingin kehilangan passport saat berlibur di luar negeri, baik karena kecopetan, kelalaian, atau pun kurang waspada. Jika mengalami hal ini, yang pertama harus kita lakukan adalah: jangan panik. Hal berikutnya yang harus dilakukan ketika kehilangan paspor di luar negeri adalah menyiapkan pas foto ukuran passport sebanyak 4 (empat) buah yang akan berguna saat pelaporan kehilangan di kantor polisi dan perwakilan RI di negara bersangkutan. Kita bisa foto di photo both yang biasanya ada di malmal atau di studio foto. Atau akan lebih baik lagi jika kita bisa mempersiapkan foto sejak sebelum berangkat untuk berjaga-jaga. Setelah itu, melakukan pelaporan kehilangan passport di kantor polisi terdekat. Jika kehilangan di kereta (seperti yang saya alami pada bulan Desember 2014 lalu) maka bisa melaporkannya di stasiun kereta tujuan. Kantor kepolisian tersebut akan menerbitkan surat keterangan kehilangan yang akan berguna saat pembuatan passport sementara di kantor perwakilan RI. Jangan lupa meminta copy surat keterangan kehilangan jika butuh untuk pengurusan asuransi kehilangan di tanah air. Pihak kantor polisi akan meminta kita untuk memberikan 1 (satu) buah pas foto dan menunjukkan copy/foto passport untuk Images courtesy of: Tomas Laurinavicius (magdeleine.co) MInd referensi pembuatan surat keterangan kehilangan. Tahap berikutnya yaitu mengurus pembuatan passport sementara di kantor perwakilan RI (KBRI atau Konsulat Jenderal) di negara bersangkutan. Pihak KBRI akan menerbitkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang berfungi sebagai passport sementara. Untuk membuat SPLP, ada beberapa persyaratan yang diminta, antara lain: 1. Surat identitas dari Indonesia (KTP/SIM/Akte Kelahiran/Kartu Keluarga) 2. Surat keterangan kehilangan dari kantor polisi terdekat 3. Salinan/fotokopi passport (bila ada). Foto passport yang kita simpan di dalam telepon genggam juga bisa digunakan. Cukup print atau e-mail foto passport tersebut ke pihak KBRI (seperti yang saya lakukan saat itu). 4. Formulir permohonan SPLP yang telah diisi dan ditandatangani. Formulir ini bisa didapatkan di KBRI atau kantor Konsulat Jenderal. 5. 2 (dua) buah pas foto ukuran passport dengan latar belakang warna terang. 6. Membayar biaya pembuatan SPLP. Di beberapa negara, biayanya berkisar US$ 5 atau EUR 5, dan dibayar dalam bentuk cash. Lamanya proses pembuatan SPLP tergantung KBRI masingmasing negara. Berdasarkan pengalaman saya, kurang dari 1 jam (tapi saat itu memang hanya saya saja yang mengurus pembuatan SPLP). Jika kita tak bisa menunjukkan kartu identitas, proses penerbitan SPLP mungkin akan memakan waktu cukup lama karena pemeriksaan identitas dan status kewarganegaraan. Dan jangan khawatir, pihak KBRI pun bersedia membantu meski kita melakukan pengurusan tersebut di saat weekend atau hari libur. Tapi jangan lupa telepon dulu untuk membuat janji. Jika SPLP telah terbit, kita bisa bernafas lega dan bisa kembali ke Indonesia untuk mengurus hilangnya passport di Kantor Imigrasi di kota tempat kita berdomisili. Cukup mudah, bukan? 20 MInd Edisi #03 2015 animal book Edisi #03 2015 review elusan kenikmatan Build, Borrow, or Buy: Solving the Growth Dilemma Oleh: Theodore Manthovani Oleh: Femi Ardine J udul dengan bahasa yang tampaknya vulgar ya, tenang saja, karena itu tidak menggambarkan isinya sama sekali. Pembahasan yang dimaksud adalah artinya secara literal dan istilahnya memang sering disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam novel ala 17+ sejak jaman bapak ibu saya. Kita tentu sering merasakan nikmatnya mengelus kepala sendiri, bahkan mungkin memang ada yang sejak kecil selalu dielus rambutnya oleh bapak/ibunya ketika ditemani tidur. Hal lumrah ini ternyata juga merupakan hal umum yang ada pada hewan lain, dan secara alam bawah sadar kita pun mengetahuinya. Hal ini terlihat dari bagaimana cara kita memperlakukan hewan peliharaan, berlaku khususnya untuk para pencinta hewan. Kucing dan anjing sering digambarkan sebagai anggota keluarga yang diperhatikan dengan ungkapan elusan pada kepala dan daerah lainnya. Hal ini ada dasarnya menurut sains, biang keroknya adalah neuron MRGPRB4+ yang teraktivasi saat melakukan hal ini. Perasaan nikmat yang kita kenali dan akhirnya kita sukai dan biasakan terus ini menjadi adiksi kita dalam mencari afeksi. Bukan hanya manusia, seperti yang telah saya sebutkan di atas, neuron ini juga terdapat pada hewan lain, terlihat jelas terutama pada jenis mamalia, dan tersebar di seluruh permukaan tubuh. Karena itulah hanya akan teraktivasi oleh interaksi kulit dan tentunya terasa oleh perlakuan lembut. Tampaknya hasil evolusi ini terkait dengan kehidupan sosial entitas dengan sesamanya, dan juga terhubung oleh kondisi yang merendahkan tingkat stres, yang pada akhirnya bisa terasa walaupun aktivitas yang terjadi sampai lintas spesies. Keberadaan neuron MRGPRB4+ ini tampaknya berumur jauh lebih tua dari mamalia, secara tampak juga ada pada makhluk jenis lain seperti burung yang masih merupakan keturunan langsung dinosaurus. Leluhur manusia tampaknya menyadari efek ini pada hewan dan menggunakan trik ini untuk menjinakkan berbagai hewan menjadi peliharaan, sehingga mampu mendomestikasi serigala buas dan mandiri menjadi anjing yang jinak dan setia. Y shopping experience. Your fear has come true, many are addicted to online shopping while your company’s performance slowly degrading. Then one day, the fourth year, come along pure-click retail businesses who pamper consumers with their simple using, saving time, and less effort shopping. Full time mothers, business women, single mothers, high-tech men, busy husbands, and many customer segments are starting to try this online Shareholders starting to take notice this new presence of online retail company. “Halt them, bring us back to our glory!” said shareholders to you. The only thing you can come as an answer is making your company as click-andmortar company, which is combination of retail and online shopping. Consumer can buy at physical shop or online, whichever they like. But, another problem arise, how can you make it happen as you never had any prior experience in online? Build the required capability internally, ou are a CEO of well known brickand-mortar retail company and have been sitting comfortably with both legs on your desk. One year, two years, three years have passed, your reign skyrocketed within shareholders and competitors shakingly awaiting at your judgement. MInd 21 borrow resources from another company, or buy a company which runs online shopping to acquire their knowledge? Decision making in build, borrow, or buy isn’t limited in an urgent need of change because of external factor like the example above. It can be applied to a firm in need of growth. For example, a startup company looking for an opportunity to create new product or take a step in brand new business will consider either build knowledge internally or merger with other company. In this book, when you face this situation - a situation when an opportunity to grow come towards you - 3 options can be chosen. That options are: 1.Build means build your capability internally using your existing human resources, raw material resources, knowledge, system, etc 2. Borrow means you can borrow some required resources from third-party via contract or alliance. Contract restricted on resources only with minimal exposure with third-party. Alliance doesn’t restricted on resources only, it can be knowledge, technology, system, etc, but alliance requires high collaboration with third-party. 3. Buy means you can buy another company that you need through M&A (Merger & Acquisition). The authors gave an example of Coca Cola launched their coffee product in Latin America. They sold their coffee using vending machine. Coca Images courtesy of: Tom Eversley 22 MInd Edisi #03 2015 book Of c o u r s e y o u d o n ’ t w a n t a n o t h e r c o m p a n y, wh i ch y o u w e r e a l l i e d w i t h i s s i ph o n i n g y o u wh i l e t h a t c o m p a n y a r e r e l uc t a n t t o s h a r e wh a t y o u n e e d . review Edisi #03 2015 quiz Mystery Riddle One evening there was a murder in the home of married couple, their son and daughter. One of these four people Cola believe in their internal capability, so they only use “Build” as their choice without building knowledge about Latin America using thirdparty. The result was far from expectation, disappointing. ‘Coffee’ was exaggeration , it was like drinking a syrup. Another example from authors comes from a company who have tendency to M&A in growing their company. Everytime they want a growth, M&A would be their first and only option, never looking or consider other option. Why? Because it was their habit. When one or two M&A were successful, it became a reinforcement that what they were doing are correct. So, as an effect, countless M&A had been done. Several years later, turmoil in within arise. Different culture, different system, different knowledge seem unblended. Performance is affected, then later the company had to be merged by another. Authors advises us to first look at “Build” as our first option. But before you decided to choose “Build”, you should consider these 2 questions. First, do you (company) have strong knowledge for the requirement? Second, do you have strong organizational fit? If both answers is yes, then go for “Build”. If it’s no, then look for second option, “Contract”. You have to answer to these question too before you choose to “Contract”. First, can you clarify on your requirement clearly? Second, can you be sure to protect your resources or any kind of assets from leaking to third-party? If it’s yes, go for “Contract”. If it’s no, look for “Alliance” option. Same as the previous option, answer these 2 questions first for “Alliance”. First, can you have a limited collaboration, limited on your specific needs only? Second, do you have compatibility with your alliance partner? Of course you don’t want another company, which you were allied with is siphoning you while that company are reluctant to share what you need. If both answers are yes, then go for it. If it’s no, you might have to consider the last option. through building or borrowing. Don’t forget to answer these questions before you decided to take this option. First, will your company be able to integrate successfully with the targeted firm? Second, are your employees motivated enough to face M&A? If it’s yes to both, then “Buy”. If it’s not, revisit the build-borrow-buy strategy or redefine your strategy. Overall, this book is great to read and recommended for owner, CEO, top management, entrepreneur aspirant, or CEO wannabe. Authors said that 46% companies are more likely to survive the next 5 years with well-rounded build-borrowbuy growth strategy than those that do not diversify. And, 40% of leaders are content to stick with one strategy they know best, blaming poor implementation when efforts to create new value fail rather than the real culprit: the wrong growth strategy. murdered one of the others. One of the members of the family witnessed the crime. The other one helped the murderer. These are the things we know for sure: 1. The witness and the one who 4. The one who helped the helped the murderer were not of the same sex. murderer was older than the victim. 2. The oldest person and the 5. The father was the oldest witness were not of the same sex member of the family. 3. The youngest person and the 6. The murderer was not the victim were not of the same sex. Who was the murderer? The last option is “Buy” through M&A. Authors said M&A should be the last option, not the first because M&A takes a lot of effort, cost, and risky. You should choose this option only if you can’t get resources or build competitive advantage Sumber: http://www.fitbrains.com/ blog/friday-fun-brain-teasers/ youngest member of the family. MInd 23 the high iq society Mayapada tower, 11th floor Jl. Jendral Sudirman kav. 28 INDONESIA e-mail website enquiries@mensa-id.org www.mensa-indonesia.org mailing-list mensa_indonesia@yahoogroups.com telegram group MInd (Mensa Indonesia) Mensa Indonesia @Mensa_Indonesia