Untitled - BPTP Sulawesi Selatan

Transcription

Untitled - BPTP Sulawesi Selatan
Prosiding
EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL
“Akselerasi Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan”
Penyunting :
Fadjry Djufry
Djafar Baco
Jermia Limbongan
Sahardi
Matheus Sariubang
Andi Ella
Peter Tandisau
M. Basir Nappu
Andi Baso Lompengeng Ishak
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2013
Prosiding
EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL
Redaktur Pelaksana :
Ramlan
Sunanto
Novia Qomariyah
Asriyanti Ilyas
Sarintang
Andi Faisal Suddin
Erina Septianti
Desain Perwajahan :
Syamsul Bachrie
Andi Wahyudi
Andry Priyadharmadi P
Diterbitkan Oleh :
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Alamat redaksi :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar, 90243
Telp : (0411) 556449
Fax : (0411) 554552
Email : bptp_sulsel@yahoo.com
Website : sulsel.litbang.deptan.go.id
KATA PENGANTAR
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) telah
menyelenggarakan Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan
dengan tema “Akselerasi Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan” di Makassar pada tanggal
19 - 21 Juni 2013.
Tujuan Ekspose dan Seminar Nasional ini adalah menjaring ide dan gagasan
yang implementatif dalam mengatasi permasalahan di sektor pertanian sekaligus dapat
dijadikan sebagai
merumuskan
sumber referensi bagi seluruh pengguna teknologi
kebijakan
perencanaan
dan
implementasi
dalam
penelitian/pengkajian/
pengembangan/diseminasi mengenai sektor pertanian ramah lingkungan berkelanjutan
dan berwawasan agribisnis.
Peserta Ekspose dan Seminar Nasional terdiri dari pengambil kebijakan, peneliti,
penyuluh, dan stakeholder lainnya. Adapun makalah yang dipresentasikan dalam bentuk
oral maupun poster sebanyak 183 makalah. Makalah terdiri atas 8 makalah utama, 37
makalah kelompok peternakan, 46 makalah kelompok integrasi tanaman-ternak, 36
makalah kelompok tanaman pangan, 6 makalah kelompok
hortikultura, 7 makalah
kelompok pekebunan, 3 makalah kelompok Sumber Daya Lahan, 28 makalah kelompok
sosial ekonomi pertanian, dan 7 makalah kelompok pascapanen.
Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak
yang telah berperan aktif, sehingga prosiding ini dapat terwujud dan dapat
disebarluaskan ke petani (KTNA, Kelompok tani), penyuluh pertanian, peneliti maupun
pengambil kebijakan dan stakeholder lainnya.
Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan berbagai pihak
yang berkepentingan dalam penelitian dan pengembangan pertanian khususnya di
Sulawesi Selatan.
Makassar, 14 Januari 2014
Kepala Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian
Dr. Ir. Agung Hendriadi, M.Eng
NIP. 19610802 198903 1 011
i
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
ARAHAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN ......................................................................................................................... xix
SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PADA ACARA
EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL INOVASI PETERNAKAN RAMAH
LINGKUNGAN TAHUN 2013 ................................................................................................ xxi
RUMUSAN EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN RAMAH
LINGKUNGAN ..................................................................................................................... xxiii
BUKU I
RUMINANSIA BESAR
KERAGAAN TEKNOLOGI DALAM PELAKSANAAN m-P3MI DI KABUPATEN
PINRANG
Repelita Kallo, Matheus Sariubang, dan Nurdiah Husnah .................................................. 1
KUALITAS PUPUK ORGANIK KOTORAN SAPI PADA BERBAGAI JENIS DAN
TAKARAN PEMBERIAN PAKAN LOKAL
Titin Sugianti, Prisdiminggo, dan Tanda Sahat S. Panjaitan ............................................. 10
LESSON LEARNED PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI KABUPATEN BANGKA
TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG: PERMASALAHAN DAN
SOLUSI
Suyatno dan Risfaheri.......................................................................................................... 18
MANAJEMEN PAKAN DALAM
SUB SEKTOR PETERNAKAN UNTUK
MEWUJUDKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
Harmini1, Andi Faisal Suddin2, dan Sarintang2 ................................................................... 26
PENGGUNAAN LEGUME POHON TURI (Sesbania grandiflora) SEBAGAI PAKAN
SAPI PENGGEMUKAN DI PULAU LOMBOK
Tanda Panjaitan dan Prisdiminggo ..................................................................................... 31
PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI PROVINSI SULAWESI
TENGGARA
D a h y a ................................................................................................................................ 37
PENGEMBANGAN PEMANFAATAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU (SEBESAR 20%) SAPI PERAH DI JAWA
BARAT
Eriawan Bekti1, Nandang Sunandar1, Yeni Widiawati2, Ahmad
Hanafiah1, Erni Gustiani1, dan Sumarno Tedy1 .................................................................. 48
MODEL KELEMBAGAAN PRODUKSI COMPLETE FEED YANG DIBANGUN SECARA
PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA SAPI PERAH DI
KABUPATEN ENREKANG
Syahdar Baba1, Ambo Ako1, Anis Muktiani2, dan M.I. Dagong1 ........................................ 58
iii
PENGARUH LIMA TARAF PEMUPUKAN NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT Setaria, Stylosanthes DAN CAMPURAN
Setaria/Stylosanthes
Andi Ella ................................................................................................................................ 66
PEMBERIAN PAKAN SAPI PERBIBITAN DAN PENGGEMUKAN BERBASIS PELEPAH
DAUN SAWIT DI KALIMANTAN SELATAN
Suryana, A. Darmawan, dan Muhammad Yasin ................................................................. 71
PENGEMBANGAN SAPI
BERBASIS MASYARAKAT MENDUKUNG PROGRAM
SEJUTA RANCH DI PAPUA BARAT Studi Kasus di Distrik Bomberay Kabupaten
Fak-Fak
Entis Sutisna dan Alimuddin................................................................................................ 81
EVALUASI PERAGAAN TEKNOLOGI FLUSHING UNTUK MENINGKATKAN
EFISIENSI REPRODUKSI INDUK SAPI POTONG DI JAWA BARAT (Studi Kasus
pada Peragaan Teknologi Flushing 2012 di Kabupaten Subang)
Yayan Rismayanti, Nandang Sunandar, dan Sukmaya ...................................................... 93
KAJIAN PEMANFAATAN JERAMI PADI DAN BAGAS TEBU SEBAGAI PAKAN
SUBTITUSI RUMPUT TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI TERNAK SAPI BALI
Andi Ella ................................................................................................................................ 99
KAJIAN PENGGEMUKAN SAPI POTONG UNTUK MENDUKUNG PROGRAM
SWASEMBADA DAGING SAPI DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI
GORONTALO
Serli Anas, Muh. Asaad, dan Rosdiana .............................................................................. 104
KAJIAN SUPLEMENTASI DAN PENGGUNAAN PGF2α DALAM MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS SAPI BALI DI PULAU TIMOR
Ati Rubianti, Amirudin Pohan, dan Paskalis Th. Fernandez ............................................ 110
KELAYAKAN TEKNIS DAN FINANSIAL INTRODUKSI TEKNOLOGI PAKAN UNTUK
PENGGEMUKAN SAPI MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING, SAPI
DAN KERBAU (PSDSK) DI KABUPATEN BANTAENG
Armiati dan Baso Aliem Lologau ....................................................................................... 121
PELUANG PENGEMBANGAN USAHA PENGGEMUKAN DAN PEMBIBITAN MELALUI
PENDEKATAN KANDANG KOMUNAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PROGRAM
SWASEMBADA DAGING SAPI DI PULAU TIMOR
Yusuf, Sophia Ratnawaty, dan A. Pohan .......................................................................... 130
PEMANFAATAN KERBAU SEBAGAI SUMBER TENAGA DAN KONTRIBUSINYA
TERHADAP BIAYA PENGOLAHAN TANAH PADI SAWAH
Jonni Firdaus dan Andi Dalapati ....................................................................................... 141
PEMANFAATAN LIMBAH KULIT KOPI SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI
KABUPATEN REJANG LEBONG
Wahyuni Amelia Wulandari, dan Zul Efendi ..................................................................... 151
PEMBERIAN DAUN LAMTORO (Leucaena leucocepala) UNTUK MENSUPLAI
KEBUTUHAN PROTEIN SAPI BRACHMAN PADA MUSIM KEMARAU DI PULAU
SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR
Ulfah Trifani Agustin .......................................................................................................... 158
PENGGUNAAN BAHAN LOKAL UNTUK PENGOBATAN SAPI POTONG DI
PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN BUNGO
Sari Yanti Hayanti, Zubir, dan Masito ............................................................................... 172
iv
PENINGKATAN KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG MELALUI PERBAIKAN
PAKAN (FLUSHING) DI JAWA BARAT
Sukmaya, Nandang Sunandar, dan Yayan Rismayanti .................................................... 180
PERAN INOVASI TEKNOLOGI SAPI POTONG DAN KERBAU DALAM MENDUKUNG
PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU (PSDSK) DI KALIMANTAN
SELATAN
Suryana dan Muhammad Yasin ......................................................................................... 186
PERANAN PETERNAKAN SAPI POTONG BAGI PEREKOMIAN WILAYAH DAN
PETANI LAHAN KERING DI NTT
Y. Ngongo, Yusuf dan A. Pohan ......................................................................................... 201
PERBAIKAN LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH MELALUI PENGEMBANGAN
TERNAK SAPI
Zikril Hidayat, Asmarhansyah, dan Risfaheri ................................................................... 209
PERFORMAN INDUK SAPI LOKAL DONGGALA YANG DIPELIHARA SECARA
EKSTENSIF DI LEMBAH PALU SULAWESI TENGAH
Soeharsono, M. Takdir, dan F.F. Munier ........................................................................... 218
PERSEPSI PETANI TERHADAP LEGUME POHON SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI
PENGGEMUKAN: STUDI KASUS UNTUK TANAMAN TURI DI PULAU LOMBOK
Nurul Hilmiati, Tanda Panjaitan, dan Prisdiminggo Canggai .......................................... 225
POLA PENGEMBANGAN TANAMAN PAKAN DAN PENGELOLAAN PAKAN UNTUK
MENUNJANG
USAHATANI
TERNAK
SAPI
YANG
PRODUKTIF
DAN
BERKELANJUTAN DI NUSA TENGGARA TIMUR
Debora Kana Hau dan Jacob Nulik .................................................................................... 230
POTENSI DAN MANFAAT LIMBAH KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI SUMBER
PAKAN ALTERNATIF PADA TERNAK
Ririen Indriawaty Altandjung1 dan Erina Septianti2 ........................................................ 238
RESPON PRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP SUPLEMENTASI
PROBIOTIK DAN UMB DI KELOMPOK TERNAK MEKARLAKSANA KABUPATEN
BANDUNG
Erni Gustiani, Nandang Sunandar, dan Sukmaya ............................................................ 247
STRATEGI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN
DI DAERAH PERKOTAAN DI KALIMANTAN TIMUR (Studi Kasus di Gunung
Binjai, Kota Balikpapan)
Nur Rizqi Bariroh dan M Hidayanto .................................................................................. 253
SUPLEMENTASI PAKAN LOKAL DALAM RANSUM SAPI POTONG YANG SEDANG
DIGEMUKKAN
Daniel Pasambe, M. Sariubang, dan A. Nurhayu .............................................................. 259
TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI MENDUKUNG PERCEPATAN PENCAPAIAN
SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI SUMATERA UTARA
Tatang M. Ibrahim ............................................................................................................. 267
USAHA PERBIBITAN SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN (STUDI KASUS
KELOMPOK PETERNAK NGUDIMULYO, PLERET, BANTUL)
Erna Winarti dan Supriadi ................................................................................................. 276
v
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GH PADA POPULASI KAMBING KACANG DI
KABUPATEN JENEPONTO DENGAN TEKNIK PCR-RFLP
Yulianty1, Lellah Rahim2, dan Muhammad Ihsan Andi Dagong2 ..................................... 281
RUMINANSIA KECIL
EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK KAMBING DITINJAU DARI SEGI PENERAPAN
SINKRONISASI ESTRUS
Matheus Sariubang dan Amir ............................................................................................ 289
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS DAN PENERIMAAN
USAHA TERNAK KAMBING DI DAERAH KERING LOMBOK TIMUR
Farida Sukmawati1, Novia Qomariyah2, dan Sasongko W. Rusdianto1 .......................... 299
PENGAWETAN PAKAN SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK DI PULAU TIMOR,
NUSA TENGGARA TIMUR
Paskalis Th.Fernandez, Ati Rubianty, dan Medo Kote ..................................................... 310
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN IGF-1 PADA POPULASI KAMBING KACANG DI
KABUPATEN JENEPONTO DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PCR-RFLP
Ridha tunnisa1 , Lellah Rahim 2, Muhammad Ihsan Andi Dagong2 ................................. 321
KERAGAMAN GEN PITUITARY TRANSCRIPTION FACTOR (PIT-1 LOKUS PSTI)
PADA POPULASI KAMBING LOKAL DI PROVINSI SULAWESI SELATAN M.I.A.
Dagong1, L. Rahim1, Sri Rachma A.B1, K.I. Prahesti1 dan N. Purnomo2 ......................... 328
KINERJA REPRODUKSI BEBERAPA JENIS KAMBING BETINA DALAM KAWIN
SILANG DENGAN KAMBING BOER MELALUI TEKNIK INSEMINASI BUATAN
Bachtar Bakrie, Neng Risris Sudolar, dan Umming Sente ............................................... 336
DUKUNGAN PEMBIBITAN TERNAK SAPI DAN PENGGEMUKAN TERHADAP
PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI LAHAN KERING DI DESA OEBOLA
KABUPATEN KUPANG
Medo Kote dan Yohanes Leki Seran .................................................................................. 347
PEMANFAATAN KULIT BUAH KOPI SEBAGAI CAMPURAN PAKAN KOMPLIT
KAMBING BOERKA SEDANG TUMBUH
Kiston Simanihuruk, Antonius, dan M. Syawal ................................................................ 354
PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG TERHADAP KENAIKAN
BERAT BADAN HARIAN TERNAK KAMBING DI DESA NGESTIRAHAYU
KECAMATAN PUNGGUR KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
Marsudin Silalahi dan Suryani ........................................................................................... 364
PENINGKATAN MUTU TERNAK KAMBING MELALUI KUALITAS KONDISI
KANDANG DI LAMASI PANTAI, KABUPATEN LUWU SULAWESI SELATAN
Hasnah Juddawi1 dan Suardy Mandung2............................................................................ 370
PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK MELALUI DEMONSTRASI TEKNOLOGI
TERNAK KAMBING DI DESA HAMBAPRAING KABUPATEN SUMBA TIMUR
Paskalis Fernandes, Medo Kote, dan Yohanes Leki Seran ............................................. 380
POTENSI PENGEMBANGAN KELINCI DI PERKOTAAN DALAM MENDUKUNG
KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL)
Andi Saenab1 dan A. Nurhayu2 .......................................................................................... 388
vi
DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU
DI KABUPATEN TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN
Andi Baso Lompengeng Ishak1, A. Nurhayu1, dan J. A. Syamsu2 ................................... 394
WAFER PAKAN KOMPLIT LIMBAH PASAR SEBAGAI BAHAN PAKAN KAMBING
Andi Saenab1 dan A. Nurhayu2 .......................................................................................... 403
TERNAK UNGGAS
INTRODUKSI PAKAN MURAH AYAM BURAS BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL
TERHADAP TINGKAT KEUNTUNGAN PETERNAK DI KABUPATEN MAROS
Abigael Rante Tondok, Novia Qomariyah dan Amirullah ................................................ 412
PEMANFAATAN ELA SAGU (Metroxylon Sp) FERMENTASI DAN NON
FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKTIVITAS AYAM BURAS
Ulfah T.A. ............................................................................................................................ 420
PENERAPAN DAN KENDALA SISTEM BIOSEKURITI TERNAK UNGGAS DI
SEKTOR TIGA DAN EMPAT DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT FLU BURUNG
(AVIAN INFLUENZA)
Desmayati Zainuddin1, Tri Wardhani1, I Wayan T Wibawan2 dan
Isbandi1 .............................................................................................................................. 426
PENGARUH SUPLEMENTASI PROBIOTIK PADA PAKAN AYAM POTONG
TERHADAP BERAT HIDUP, BERAT KARKAS DAN LEMAK ABDOMEN
Erpan Ramon dan Wahyuni Ameliawulandari .................................................................. 438
PERFORMA
REPRODUKSI
ITIK
ALABIO,
ITIK
CIHATEUP
DAN
PERSILANGANNYA
P.R Matitaputty1 dan P.S Hadjosworo2 ............................................................................ 444
INTEGRASI
ALTERNATIF TEKNOLOGI SPESIFIK BUDIDAYA JAGUNG SEBAGAI SUMBER
PENYEDIA PAKAN TERNAK DI LAHAN KERING NUSA TENGGARA BARAT
Baiq Tri Ratna Erawati1 dan Andi Takdir M2 ..................................................................... 453
APLIKASI FORMULASI PAKAN SEIMBANG UNTUK MENDUKUNG PETERNAKAN
ITIK PETELUR RAMAH LINGKUNGAN
Agung Prabowo dan Aulia Evi Susanti .............................................................................. 462
APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN DALAM
MENDUKUNG INTEGRASI SAPI POTONG DAN PADI
Jasmal A. Syamsu, Hikmah M.Ali, dan Muhammad Yusuf ............................................... 471
BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PAKAN
Syafruddin .......................................................................................................................... 479
DINAMIKA DAN KERAGAAN SISTEM INTEGRASI TERNAK TANAMAN BERBASIS
PADI, JAGUNG DAN SAWIT DI KALIMANTAN SELATAN
Eni Siti Rohaeni1 dan Muhammad Najib2 ......................................................................... 484
vii
ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN SEBAGAI PAKAN TERNAK UNTUK
PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DALAM SISTEM USAHATANI
DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN
Eni Siti Rohaeni1 dan Muhammad Najib2 ......................................................................... 496
FERMENTASI KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI BAHAN UTAMA PENYUSUNAN
PAKAN TAMBAHAN UNTUK TERNAK SAPI
F.F. Munier, M. Takdir, Nurmasitah Ismail, dan Soeharsono .......................................... 505
IMPLEMENTASI
INOVASI TEKNOLOGI INTEGRASI TANAMAN-TERNAK DI
LAHAN KERING YOGYAKARTA MENDUKUNG TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
Supriadi, Gunawan, dan E. Winarti ................................................................................... 513
IMPLEMENTASI SISTEM MANAJEMEN PAKAN BERKELANJUTAN MENDUKUNG
PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KALIMANTAN TENGAH
Adrial................................................................................................................................... 521
INOVASI PAKAN TERNAK SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN UNTUK
SWASEMBADA DAGING SAPI
Gunawan, Supriadi, dan Erna Winarti .............................................................................. 536
INOVASI TEKNOLOGI DALAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN – TERNAK PADA
PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI SULAWESI BARAT
Ida Andriyani, Hatta Muhammad, Sarpina ....................................................................... 542
INTEGRASI TERNAK DAN TANAMAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS
LAHAN BEKAS PENAMBANGAN BATUBARA RAMAH LINGKUNGAN
M. Hidayanto, M. Chary Septyadi, dan Yossita Fiana....................................................... 551
INTEGRASI TERNAK KAMBING PADA LAHAN PERTANAMAN KUBIS
Syamsu Bahar1, Novia Qomariyah2 dan Baso Aliem Lologau2......................................... 559
INTEGRASI TERNAK KAMBING PADA PERKEBUNAN KAKAO
Syamsu Bahar1, Novia Qomariyah2 dan Hatta Muhammad2 ........................................... 568
INTEGRASI TERNAK SAPI DAN PEMANFAATAN LIMBAH PERKEBUNAN RAMAH
LINGKUNGAN DI PROVINSI ACEH
Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani ..................................................................... 578
INTEGRASI USAHATANI JAGUNG DENGAN TERNAK SAPI SEBAGAI UPAYA
PENINGKATAN NILAI TAMBAH PETANI
Yohanes G. Bulu ................................................................................................................. 586
JENIS RUMPUT DAN FREKUENSI PEMBERIAN PADA TERNAK DI KAWASAN
INSEMINASI BUATAN (IB) KABUPATEN BUNGO DAN TEBO PROVINSI JAMBI
Sari Yanti Hayanti dan Zubir ............................................................................................. 594
JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK DI KABUPATEN BUNGO
Masito,Endang Susilawati dan Zubir ................................................................................ 603
KAJIAN INTEGRASI TANAMAN JAGUNG DAN PENGGEMUKAN SAPI BALI DI
KABUPATEN BOALEMO GORONTALO
Dwi Rohmadi dan Muh. Asaad........................................................................................... 609
KAJIAN SISTEM INTEGRASI PADI-ITIK PADA LAHAN SAWAH IRIGASI DENGAN
DUKUNGAN SUMBER DAYA LOKAL DI PAPUA BARAT
Alimuddin, Surianto Sipi, dan Halijah ............................................................................... 615
viii
KAPASITAS PETERNAK PADA TEKNOLOGI PENGOLAHAN JERAMI PADI SEBAGAI
PAKAN DALAM MENDUKUNG INTEGRATED FARMING SYSTEM POLA SAPI
POTONG DAN PADI
Agustina Abdullah, Hikmah M. Ali, dan Jasmal A. Syam ................................................. 622
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN Kasus : Sistim
Pertanian Terintegrasi (SIMANTRI) Tanaman dan Ternak pada Zona Lahan
Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah
I Ketut Kariada ................................................................................................................... 628
KELAYAKAN TEKNOLOGI SILASE RUMPUT LAPANGAN DALAM PENGGEMUKAN
SAPI BALI DI KOTA BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR
Nur Rizqi Bariroh, Retno Widowati, M. Rizal, dan M. Hidayanto .................................... 640
PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK SAPI SEBAGAI PUPUK ORGANIK
MENDUKUNG INTEGRASI KAKA0 – TERNAK DI KABUPATEN JAYAPURA
Usman, M. Nggobe, dan B.M.W. Tiro ................................................................................ 645
PENDEKATAN PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN BERKELANJUTAN MELALUI
SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK
Wihardjaka, Mulyadi, dan Prihasto Setyanto ................................................................... 653
PENDUGAAN EMISI METANA DAN NITROUS OKSIDA DARI AKTIFITAS
PETERNAKAN DI PROVINSI JAMBI
Zubir1 dan Lindawati2 ........................................................................................................ 664
PENGAWETAN PAKAN SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK DI PULAU TIMOR,
NUSA TENGGARA TIMUR
Paskalis Th. Fernandez, Ati Rubianty, dan Medo Kote .................................................... 673
PENGELOLAAN BIOGAS DARI INTEGRASI TANAMAN PANGAN DAN TERNAK
SAPI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
Mulyadi, A. Wihardjaka, dan Prihasto Setyanto ............................................................... 685
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG MELALUI PENDEKATAN SISTEM
INTEGRASI TERNAK – PADI DI SULAWESI SELATAN
Daniel Pasambe dan A. Nurhayu ...................................................................................... 694
PENGKAJIAN INTEGRASI SAPI POTONG DENGAN TANAMAN JAGUNG DI
KABUPATEN JAYAPURA
Usman, M. Nggobe, dan B.M.W. Tiro ................................................................................ 702
PENYEDIAAN PAKAN TERNAK RUMINANSIA MELALUI MODIFIKASI SISTEM
PERTANAMAN JAGUNG
Syafruddin dan Saidah ....................................................................................................... 714
PERANAN TERNAK SAPI DALAM SISTEM USAHA TANI TANAMAN PADI SAWAH
DI TULANG BAWANG
Elma Basri, Yulia Pujiharti, dan M. Silalahi ...................................................................... 722
PERFORMANSI VARIETAS UNGGUL CABAI MERAH BERBASIS PEMANFAATAN
PUPUK ORGANIK LIMBAH TERNAK DI KABUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN
Herniwati dan Abigael Rantetondok ................................................................................. 732
POTENSI DAN PELUANG PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN
TERNAK, UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DI SULAWESI
TENGGARA
Rusdin, Suharno, dan Rusdi .............................................................................................. 740
ix
POTENSI BIOMAS DAN LIMBAH TANAMAN JAGUNG TERHADAP KETERSEDIAAN
PAKAN TERNAK RUMINANSIA
Faesal .................................................................................................................................. 747
POTENSI DAN PELUANG HASIL IKUTAN TANAMAN JAGUNG SEBAGAI
PENYEDIA PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN
Sunanto, Eka Triana, dan Sarintang ................................................................................. 755
POTENSI DAUN Gliricidia sp SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF UNTUK PEDET SAPI
PERANAKAN ONGOLE (PO) LEPAS SAPIH DI KABUPATEN KEBUMEN
Pita Sudrajad1, Subiharta1, dan Novia Qomariyah2 ......................................................... 765
POTENSI LAMTORO MERAH (Acacia villosa) SEBAGAI SUMBER PROTEIN DAN
PAKAN ANTIMETANOGENIK RAMAH LINGKUNGAN UNTUK TERNAK
RUMINANSIA
Hadriana Bansi, A. A. Rivaie, dan P.R. Matitaputy ........................................................... 773
POTENSI LIMBAH BEBERAPA VARIETAS JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK DI
KABUPATEN TAKALAR
Amir dan Muhammad Thamrin .......................................................................................... 780
POTENSI LIMBAH KULIT KAKAO SEBAGAI PELUANG INTEGRASI DENGAN
TERNAK KAMBING DI SULAWESI BARAT
Ida Andriyani, Hatta Muhammad, dan Sarpina ................................................................ 785
POTENSI TUMBUHAN DI BAWAH TEGAKAN HUTAN PINUS SEBAGAI SUMBER
PAKAN RUMINANSIA DI DESA PADASARI KABUPATEN SUMEDANG
Indra Heru Hendaru1, Luki Abdullah2, dan
Panca Dewi Manu Hara Karti2 ........................................................................................... 794
PRODUKTIVITAS
KLON-KLON UBI JALAR MENGHASILKAN DAUN UNTUK
PAKAN TERNAK DI KABUPATEN MAMASA, SULAWESI BARAT
M. Jusuf1, Demmaelo2, dan Peni Agustianto3 ................................................................... 802
RESPON ANGGOTA KELOMPOK GAPOKTAN DALAM MEMANFAATKAN PUPUK
CAIR DARI URINE SAPI POTONG DI KABUPATEN SINJAI
S. N. Sirajuddin, K. Kasim, dan I. Rasyid .......................................................................... 813
STRATEGI PENYEDIAAN HIJAUAN PAKAN RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA
TERNAK SAPI POTONG
Siti Lia Mulijanti, A. Hanafiah , dan N Sunandar .............................................................. 821
STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN PAKAN RAMAH LINGKUNGAN UNTUK
USAHA TERNAK SAPI POTONG
Siti Lia Mulijanti, N Sunandar, dan Sukmaya ................................................................... 828
TEKNOLOGI PENGOLAHAN PAKAN TERNAK KAMBING BERBAHAN LOKAL
LIMBAH BUAH KAKAO UNTUK PEMBERDAYAAN PETANI M-P3MI DI KABUPATEN
MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT
Sarpina, Hatta Muhammad, dan Ida Andriani ................................................................. 838
x
BUKU II
TANAMAN PANGAN
ANJURAN PEMUPUKAN PADI SAWAH DI KABUPATEN BOMBANA PROVINSI
SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN PERANGKAT UJI TANAH SAWAH (PUTS)
Didik Raharjo...................................................................................................................... 847
DAMPAK
PEMANFAATAN PEKARANGAN DI KAWASAN RUMAH PANGAN
LESTARI (KRPL) KABUPATEN KOLAKA
Edi Tando ............................................................................................................................ 853
EFEKTIVITAS BEBERAPA HERBISIDA YANG DIAPLIKASIKAN PADA 7, 10, 12,
DAN 15 HARI SETELAH SEBAR PADA BUDIDAYA PADI SISTEM TABELA
Maintang dan Nasruddin Razak ........................................................................................ 859
FLUKTUASI POPULASI Helicoverpa armigera Hubner SEBAGAI HAMA TANAMAN
JAGUNG DI KABUPATEN MAMUJU UTARA SULAWESI BARAT
Rahmatia Djamaluddin dan Suriany ................................................................................. 870
HASIL BIJI DAN DAYA ADAPTASI GALUR HARAPAN KEDELAI PADA
LINGKUNGAN OPTIMAL
M. Muchlish Adie, Ayda Krisnawati, dan Didik Harnowo ................................................. 875
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI
PADA LAHAN SAWAH BUKAAN BARU DI KAB. MAROS PROV. SULAWESI
SELATAN
Fadjry Djufry dan Ramlan ............................................................................................... 882
KERAGAAN HASIL VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA SEKOLAH LAPANG
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI KABUPATEN BONE BOLANGO
PROVINSI GORONTALO
Warda ................................................................................................................................. 889
KAJIAN EFETIVITAS DAN EFISIENSI PENGGUNAAN BEBERAPA KOMBINASI
PUPUK LEPAS LAMBAT PADA PADI SAWAH DI KABUPATEN SIDRAP
Nasruddin Razak ............................................................................................................... 899
KAJIAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU DAN LOKAL PADI
GOGO PADA LAHAN KERING DI MALUKU
La Dahamarudin dan M.P. Sirappa .................................................................................... 907
KAJIAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.)
PADA BERBAGAI PEMUPUKAN N DAN JARAK TANAM JAGUNG (Zea mays L.)
DALAM POLA TUMPANG SARI DI LAHAN KERING MALUKU TENGAH
A. Arivin Rivaie dan Albertus E. Kelpitna .......................................................................... 921
KAJIAN POLA DISTRIBUSI PENERAPAN INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
DI PROVINSI GORONTALO
Muh. Asaad, Annas Zubair, dan Zulkifli Mantau ............................................................... 929
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL VUB PADI PADA PENDAMPINGAN SLPTT DI KAB. WAJO, SULAWESI SELATAN
Arafah dan M. Amin............................................................................................................ 941
xi
KONTRIBUSI PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI
MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN BERORIENTASI RAMAH
LINGKUNGAN DI LUWU TIMUR
Herniwati dan Peter Tandisau ........................................................................................... 947
KAJIAN MODEL PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADI DAN HAMA
LAINNYA PADA PERIODE VEGETATIF TANAMAN PADI
Asriyanti Ilyas dan Baso Aliem Lologau ........................................................................... 955
PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI AKIBAT PENGGUNAAN
PUPUK NPK 15-10-12
Didik Harnowo dan Q. D. Ernawanto ................................................................................ 963
OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN DI DESA SALU PAREMANG
SELATAN KABUPATEN LUWU
Sahardi, Kartika Fauziah, Asryanti Ilyas, dan Dewi Mayanasari..................................... 970
PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM PROGRAM KAWASAN RUMAH
PANGAN LESTARI MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN DI
KABUPATEN TAKALAR PROVINSI SULAWESI SELATAN
Wanti Dewayani, Amir Syam, Rahmatiah Djamaluddin .................................................. 979
PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN
PANGAN RUMAH TANGGA DI
DESA MATTOMBONG KECAMATAN
MATTIROSOMPE KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN
Hasnah Juddawi1 dan Suardy Mandung2 .......................................................................... 986
PEMANFAATAN UBI KAYU (Cassavas) SEBAGAI BAHAN BAKU KASOAMI BERGIZI
PENGGANTI BERAS DI SULAWESI TENGGARA
Fathnur dan Edi Tando ...................................................................................................... 994
PENAMPILAN EMPAT VARIETAS PADI TERHADAP SERANGAN TUNGRO PADA
DISPLAY SL-PTT DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI
TENGAH
Asni Ardjanhar dan Abdi Negara ..................................................................................... 1000
PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU
PADI SAWAH DAN JAGUNG LAHAN KERING DI KABUPATEN BULUKUMBA
Muhammad Thamrin dan Ruchjaniningsih ..................................................................... 1005
PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) JAGUNG
MELALUI DEMONSTRASI TEKNOLOGI DI KABUPATEN BONE PROVINSI
SULAWESI SELATAN
Idaryani1, St. Najmah1, dan Astiani Asady2 .................................................................... 1014
PENGARUH KONDISI SIMPAN DAN PERLAKUAN PRIMING TERHADAP
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH JAGUNG
Patta Sija dan Aisyah Ahmad .......................................................................................... 1023
PENGELOMPOKAN TOLERANSI KEDELAI TERHADAP KEKERINGAN PADA
STADIA PERKECAMBAHAN
Ayda Krisnawati dan M. Muchlish Adie ........................................................................... 1035
PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN MELALUI PEMANFATAN LAHAN
PEKARANGAN DI KABUPATEN TORAJA UTARA
Nely Lade. S ...................................................................................................................... 1043
xii
PENINGKATAN KUALITAS GIZI JAMUR TIRAM PUTIH MELALUI FORMULASI
SUBSTRAT MEDIA TANAM
Abdul Wahab .................................................................................................................... 1051
PENYEBARAN PENANGKARAN DAN KETERSEDIAN BENIH PADI DI SULAWESI
SELATAN
Sahardi.............................................................................................................................. 1058
KAJIAN EFISIENSI PEMUPUKAN DAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH PADA
LAHAN IRIGASI DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU
M. P. Sirappa dan Edwen D. Waas .................................................................................. 1066
PERANAN DAN NILAI ANTHESIS SILKING INTERVAL (ASI) TERHADAP
PRODUKTIVITAS JAGUNG
Maintang ........................................................................................................................... 1079
STRATEGI PERCEPATAN DISTRIBUSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI MELALUI
UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER DI SULAWESI TENGAH
Muh. Afif Juradi, Soeharsono dan Asni Ardjanhar ........................................................ 1086
POTENSI SUMBERDAYA DAN PILIHAN KOMODITAS PERTANIAN DI KABUPATEN
JENEPONTO (Hasil PRA M-P3MI di Kab.Jeneponto)
M.Basir Nappu .................................................................................................................. 1094
RESPON TIGA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH TERHADAP SERANGAN
TIKUS Rattus argentiventer PADA DISPLEY SLPTT DI SULAWESI TENGAH
Abdi Negara, Asni Ardjanhar dan Saidah ....................................................................... 1112
ANALISIS POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DAN PENGHEMATAN BELANJA
PANGAN MELALUI PEMANFAATAN PEKARANGAN (Studi Kasus KWT Flamboyan
Kabupaten Gowa Sulsel)
Arini Putri Hanifa dan Fadjry Djufry ............................................................................... 1118
TINGKAT
SERANGAN PENGGEREK BATANG PADI PADA SISTEM TANAM
PINDAH DAN TANAM BENIH LANGSUNG DI SULAWESI TENGGARA
Cipto Nugroho, Idris dan Didik Raharjo ......................................................................... 1125
UJI ADAPTASI DAN DAYA HASIL GALUR HARAPAN
PADI SAWAH DI
KABUPATEN BARRU SULAWESIS SELATAN
Sahardi1 dan Iswari S. Dewi2 ......................................................................................... 1130
UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO TAHAN KERACUNANAN
ALUMINIUM (Al) DENGAN PRODUKTIVITAS DI ATAS 5 TON/HA GABAH KERING
GILING
Suriany .............................................................................................................................. 1135
UJI PEMANFAATAN BEBERAPA SUBSTRAT LOKAL SEBAGAI MEDIA TUMBUH
JAMUR TIRAM
Abdul Wahab1 dan Gusti Ayu Kade Sutariadi2................................................................ 1146
VARIABILITAS HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADA VARIETAS PADI
MEMBERAMO DI PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN
Baso Aliem Lologau .......................................................................................................... 1152
xiii
HORTIKULTURA
INVENTARISASI, IDENTIFIKASI, DAN TINGKAT SERANGAN HAMA PENYAKIT
TANAMAN SAYURAN DAN BUAH DALAM KEGIATAN M-KRPL DI KABUPATEN
LUWU SULAWESI SELATAN
Asriyanti Ilyas dan Sahardi ............................................................................................. 1160
SURVEI INTENSITAS SERANGAN Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense)
PENYEBAB PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA BEBERAPA VARIETAS PISANG
(Musa spp.) DI KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN
Astiani Asady1 dan Idaryani2 ........................................................................................... 1167
PENGARUH KONSENTRASI DAN INTERVAL WAKTU PEMBERIAN LARUTAN HARA
HYPONEX TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PAPRIKA (Capsicum
annum var. grossum)
Herman1 dan Andi Satna2 ................................................................................................ 1177
PENINGKATAN KUALITAS JERUK SIEM MELALUI APLIKASI TEKNOLOGI
PRAPANEN
Muhammad Taufiq Ratule dan Abdul Wahab ................................................................. 1191
RESPON PETANI TERHADAP PENGGUNAAN PUPUK NPK SUPER DAN HAYATI
ECOFERT PADA TANAMAN KENTANG MELALUI DEMONSTRASI PLOT
(DEMPLOT) DI GOWA SULAWESI SELATAN
Nurjanani dan Sri Sasmita Dahlan .................................................................................. 1197
STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JERUK BESAR DI SULAWESI SELATAN
Nurdiah Husnah dan Nurjanani....................................................................................... 1207
UJI DAYA HASIL BEBERAPA VARIETAS CABAI PADA LAHAN KERING DI
KABUPATEN JENEPONTO
M. Basir Nappu ................................................................................................................. 1215
PERKEBUNAN
APLIKASI MANAJEMEN KEBUN DALAM USAHATANI KAKAO
DI KABUPATEN LUWU
Kartika Fauziah, Nurdiah Husnah, Sahardi Mulia Dan Farida Arief .............................. 1222
KAJIAN PEMANFAATAN KOMPOS PUPUK KANDANG PADA PEMBIBITAN TEBU
GENERASI 2 (G2) ASAL KULTUR JARINGAN
Peter Tandisau dan Herniwati ......................................................................................... 1228
KAJIAN PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
LADA DI SULAWESI TENGGARA
Rusdi ................................................................................................................................. 1235
KAJIAN PENYARUNGAN BUAH KAKAO YANG DILAKUKAN PETANI DALAM
PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (Conopomorpha cramerella
Snellen)
Rahmatia Djamaluddin .................................................................................................... 1241
xiv
PEMANFAATAN TANAMAN SELA DI LOKASI PEREMAJAAN TANAMAN
PERKEBUNAN
M. Basir Nappu ................................................................................................................. 1246
PENGEMBANGAN TEKNIK SAMBUNG PUCUK (BUD GRAFTING) SEBAGAI
ALTERNATIF PILIHAN PERBANYAKAN BIBIT KAKAO SECARA VEGETATIF DI
KORIDOR IV SULAWESI
Jermia Limbongan dan Fadjry Djufry ............................................................................. 1259
PROSPEK PEMANFAATAN LIMBAH BUAH KAKAO SEBAGAI BAHAN
MULTIFUNGSI
Arini Putri Hanifa dan Jermia Limbongan ...................................................................... 1271
KAJIAN RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL RIMPANG LEMPUYANG GAJAH
(Zingiber zerumbet S.) PADA BEBERAPA JENIS TANAH DAN PUPUK KANDANG
A. Arivin Rivaie ................................................................................................................. 1283
PENGARUH JENIS TANAH DAN MANAJEMEN BUDIDAYA TANAMAN TERHADAP
TINGKAT KEBERHASILAN ESTABLISHMENT LAMTORO TARRAMBA, TOLERAN
KUTU LONCAT DI NUSA TENGGARA TIMUR
Jacob Nulik dan Debora Kana Hau .................................................................................. 1293
SOSIAL EKONOMI
ANALISA FINANSIAL USAHA SAPI POTONG "PENGGEMUKAN" PADA MODEL
KAWASAN KANDANG KOMUNAL DI KABUPATEN MAROS, SULAWESI SELATAN
Novia Qomariyah dan Amirullah ..................................................................................... 1300
ANALISIS TINGKAT PENGHEMATAN KELOMPOK WANITA TANI (KWT) MELALUI
POLA PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN
RUMAH TANGGA ( Studi Kasus M-KRPL Kabupaten Jeneponto)
Sarintang dan Maintang .................................................................................................. 1307
ANALISIS NILAI TUKAR USAHATANI JAGUNG DI SULAWESI TENGGARA
Zainal Abidin dan Muh. Taufiq Ratule ............................................................................. 1317
ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PENGGEMUKAN TERNAK SAPI DI DESA
SIDERA KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI PROVINSI SULAWESI
TENGAH
Mardiana Dewi, Muhammad Abid, dan Muhammad Amin ............................................. 1325
ANALISIS SENYAWA TANIN, TOTAL FENOL, DAN ASAM FITAT PADA PRODUK
OLAHAN TEPUNG SORGUM (Sorghum bicolor L.)
Fawzan Sigma Aurum dan Suprio Guntoro .................................................................... 1334
ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH IRIGASI DI KECAMATAN KAIRATU
KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT
Maryam Nurdin, Andriko Notosusanto, Norry Eka Palupi, dan Hadriana
Bansi ................................................................................................................................. 1341
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESIKO USAHA TERNAK
SAPI PERAH DI KOTA BOGOR
Ari Abdul Rouf1 , Bagus Priyo Purwanto2, dan Zulfikar Moesa2 .................................... 1349
xv
DAMPAK BANTUAN SAPI POTONG JENIS PERANAKAN ONGOLE (PO) TERHADAP
ASPEK TEKNIS, SOSIAL, DAN EKONOMI DI DESA KOTA GAJAH KABUPATEN
LAMPUNG TENGAH
Suryani dan Marsudin Silalahi ......................................................................................... 1354
DINAMIKA PERANAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DALAM PEREKONOMIAN
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Zainal Abidin..................................................................................................................... 1360
DINAMIKA POPULASI SAPI POTONG DI SULAWESI SELATAN
Eka Triana Yuniarsih ........................................................................................................ 1367
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN ANALISIS USAHATANI KAKAO DI
SULAWESI SELATAN
Sunanto, Nelly Lande, dan Jermia Limbongan ............................................................... 1377
SUMBER DAYA LAHAN
KAJIAN
PEMBUATAN
PUPUK ORGANIK
DI
KABUPATEN
MAROS
Ruchjaniningsih, Syamsul Bahri, Jamaya Halifah, dan Rahman .................................. 1387
KAJIAN POLA DAN FAKTOR PENENTU PENYALURAN PENERAPAN INOVASI
PERTANIAN PTT PADI GOGO DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA
Hamid Mahu1, Maryam Nurdin1 dan Sarintang2 ............................................................. 1401
KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI JERUK PAMELO DI KABUPATEN PANGKEP
Armiati .............................................................................................................................. 1414
KELAYAKAN USAHATANI PEMANFAATAN KULIT BUAH KAKAO UNTUK
PENGGEMUKAN TERNAK SAPI (Studi Kasus di Desa Malino, Kabupaten
Donggala)
Mardiana Dewi, Soeharsono dan F.F. Munier ................................................................. 1424
KERAGAAN TINGKAT BELAJAR SOSIAL DALAM SEKOLAH LAPANG
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) PADI DI KABUPATEN MAROS
Warda Halil ....................................................................................................................... 1431
KERAGAAN KELEMBAGAAN DAN KEMITRAAN USAHATANI DALAM RANGKA
PENINGKATAN MUTU KAKAO DI SULAWESI BARAT
Muh. Taufik ....................................................................................................................... 1440
LINKAGE
DIKLATLUH MELALUI TOT PENYULUH PERTANIAN DALAM
MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Vyta W. Hanifah, E. Sirnawati, A.Yulianti, dan U. Humaedah ....................................... 1451
MANAJEMEN SUMBERDAYA TERPADU SUATU STRATEGI MENUJU PERTANIAN
BERKELANJUTAN
Ruchjaniningsih dan Muhammad Thamrin ..................................................................... 1461
NILAI TAMBAH DAN PENDAPATAN PETANI PADA BUDIDAYA PADI DI LAHAN
SAWAH IRIGASI DENGAN MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK (Kasus: Desa
Sidorejo, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo)
M. Eti Wulanjari1, Yusmasari2, dan Sri Karyaningsih1 ................................................... 1476
xvi
PEMBERDAYAAN PETANI BERBASIS CYBER EXTENSION SEBAGAI MEDIA
INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN DI
SULAWESI TENGAH
Muh. Amin dan Muhammad Abid .................................................................................... 1484
PENGARUH KEPERCAYAAN TERHADAP KOMITMEN PETERNAK PADA PABRIK
PAKAN SKALA KECIL DI KABUPATEN SIDRAP
Irmasusanti S1, Andi Faisal Suddin2, A.R. Siregar3, Isbandi4, Sarintang2 .................... 1495
PEMBAGIAN KERJA GENDER DALAM MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN
LESTARI (M-KRPL) DI KOTA BINJAI (Kasus di Kelurahan Jati Utomo Kecamatan
Binjai Utara)
Tumpal Sipahutar1 dan Andi Faisal Suddin2 ................................................................... 1501
PERAN SUBSEKTOR PETERNAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
PROVINSI GORONTALO
Ari Abdul Rouf Dan Soimah Munawaroh ......................................................................... 1509
PERANAN KELEMBAGAAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) TERNAK
DALAM UPAYA PENINGKATAN USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG (Studi Kasus
di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros)
Muhammad Darwis1 , Sunanto2 , Andi Faisal Suddin2, dan Sarintang2 ......................... 1518
RESPON PETANI TERHADAP PENDAMPINGAN SL-PTT PADI DI PROPINSI
SUMATERA UTARA
Didik Harnowo, Sortha Simatupang, Sarman Tobing, Timbul Marbun ......................... 1530
PROFIL DAN STRUKTUR PENDAPATAN USAHATANI TERNAK SAPI TERHADAP
PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI/PETERNAK
Sri Bananiek Sugiman dan Dahya ................................................................................... 1539
RESPON PETANI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA CABAI MERAH DI
KABUPATEN MAROS
Abigael Rante Tondok ...................................................................................................... 1546
RESPON PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis
hypogaea L.) DI KABUPATEN BONE
Warda Halil, Armiati dan Syamsul Bahri........................................................................ 1557
PASCAPANEN
DISAIN PENGISIAN BIOGAS KE DALAM TABUNG GAS ELPIJI
Nur Shadrina .................................................................................................................... 1569
KAJIAN CARA PANEN DAN PELILINAN TERHADAP KUALITAS BUAH JERUK
KEPROK SELAYAR SELAMA PENYIMPANAN
Andi Darmawidah............................................................................................................. 1577
KAJIAN PEMBUATAN SAUS LOMBOK KATOKKONG DENGAN SUBTITUSI LABU
KUNING, PISANG KEPOK, DAN UBI JALAR
Andi Darmawidah............................................................................................................. 1583
KERAGAMAN MUTU BIJI JAGUNG DI TINGKAT PETANI DAN PEDAGANG
I.U.Firmansyah ................................................................................................................. 1588
xvii
PENGAWETAN DAGING SAPI SECARA TRADISIONAL UNTUK MENDUKUNG
KEAMANAN DAN KETAHANAN PANGAN DI NUSA TENGGARA TIMUR
Masniah1, Yusuf1 dan Syamsuddin2 ................................................................................ 1598
TEKNOLOGI
PASCA PANEN SUSU DAN DIVERSIFIKASI OLAHAN SUSU
MENJADI PRODUK YANG BERMUTU DAN BERNILAI TAMBAH
Erina Septianti dan Andi Darmawidah ............................................................................ 1605
UJI KUALITATIF DAN KUANTATIF FORMALIN PADA BUAH APEL ANGGUR DAN
LENGKENG YANG BEREDAR DI KOTA MAKASSAR SULAWESI SELATAN
Wanti Dewayani1, Abu Bakar Tawali2, dan Asri3 ............................................................ 1617
DAFTAR PESERTA
xviii
ARAHAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN
Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Yang saya hormati :
Gubernur Sulawesi Selatan;
Bupati Se-Sulawesi Selatan;
Kepala Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan;
Kepala UK/UPT lingkup Badan Litbang Pertanian
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan se Sulawesi Selatan
Kepala Badan Penyuluhan se Sulawesi Selatan
Undangan dan hadirin yang berbahagia
Selamat pagi dan salam sejahtera,
Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
Subhanahu Wata’ala, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada
kita semua,
sehingga pada hari ini dapat mengikuti Ekspose Inovasi
Peternakan Ramah Lingkungan dengan tema “Akselerasi Inovasi
Peternakan Ramah Lingkungan”. Kegiatan ekspose merupakan salah satu
wujud penyebaran hasil-hasil penelitian dan pengkajian yang dilaksanakan oleh
UK/UPT Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian baik lingkup nasional
maupun daerah seperti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, dengan kata lain
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian merupakan perpanjangan tangan Badan
Litbang Pertanian didaerah untuk melaksanakan kegiatan penelitian spesifik
lokasi Sulawesi Selatan. Selain itu juga diharapkan melalui pelaksanaan kegiatan
ini dapat menghimpun ide/gagasan yang informatif dan implementatif dalam
mendukung program swasembada daging dan pengembangan industri
peternakan. Ide-ide tersebut nantinya dapat digunakan oleh Pemerintah
Sulawesii Selatan dalam mengambil kebijakan strategi serta langkah-langkah
operasional dibidang pertanian dan peternakan.
Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam menopang kehidupan manusia
yang sangat bergantung pada faktor teknis dan lingkungan. Selama bertahuntahun sistem pertanian yang ada selalu mengandalkan penggunaan input kimiawi
yang berbahaya untuk meningkatkan hasil atau produksi pertanian. Hal ini
menuntut adanya penerapan teknologi yang dapat mengoptimalkan hasil tanpa
menimbulkan degradasi pada lingkungan. Salah satu inovasi yang dilakukan
adalah penerapan sistem pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan . Agar
teknologi yang diterapkan dapat diaplikasikan dilingkungan petani maka perlu
adanya metode yang tepat untuk mengkomunikasikan teknologi ini terhadap
petani.
Kegiatan Ekspose ini merupakan pertemuan yang sangat tepat mengingat pada
tahun 2013-2014 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah
mencanangkan sebagai tahun kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas, hal ini
terkait dengan peran Badan Litbang Pertanian yang semakin vital pada masa
mendatang, tetapi tantangan dan kendala yang dihadapi dalam mewujudkan
xix
target-target pembangunan pertanian menjadi semakin berat. Oleh karena itu
kerja keras harus dibarengi dengan kerja cerdas guna mewujudkan kinerja yang
produktif untuk menghasilkan riset-riset dibidang pertanian yang aplikatif dan
sesuai kebutuhan masyarakat pengguna teknologi.
Sudara-saudara sekalian,
Dalam Era Pembangunan yang semakin kompetitif menuntut Badan Litbang
Pertanian untuk selalu berupaya mengoperasionalisasikan kegiatan penciptaan
teknologi pertanian yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi
untuk mewujudkan peran litbang dalam pembangunan pertanian (impact
recognition) dan nilai ilmiah tinggi (scientific recognition).
Ke depan, peran Badan Litbang Pertanian sebagai lembaga riset pertanian
nasional selalu akan berhadapan dengan tuntutan dan dinamika lingkungan
strategis baik domestik maupun global. Guna merespon dinamika itu, perlu
dilakukan upaya-upaya antisipatif antara lain dengan melakukan kegiatan
diseminasi inovasi pertanian, melalui ekspose dan seminar nasional inovasi
peternakan ramah lingkungan.
Saudara-saudara sekalian,
Semoga dalam ekspose inovasi peternakan ramah lingkungan dapat lebih
menyebarluaskan hasil-hasil riset yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian
sekaligus memperoleh umpan balik terkait hasil-hasil inovasi peternakan yang
dihasilkan.
Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini, dengan mengucapkan
Bismillahir’rahmanirrahim, saya buka Ekspose Nasional Inovasi Peternakan
Ramah Lingkungan. Saya berharao dengan pelaksanaan kegiatan ini dapat
memberikan manfaat untuk kesejahteraa seluruh rakyat Indonesia, khususnya
masyarakat pertanian di Sulawesi Selatan.
Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kepala Badan Litbang Pertanian,
Dr. Haryono
xx
SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN
PADA ACARA EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL INOVASI
PETERNAKAN RAMAH LINGKUNGAN TAHUN 2013
Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat pagi dan Salam
sejahtera bagi kita sekalian,
Yang saya hormati :
1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;
2. Bupati Gowa;
3. Kepala Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan;
4. Kepala UK/UPT lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
5. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan se Sulawesi Selatan
6. Kepala Badan Penyuluhan se Sulawesi Selatan
7. Seluruh peserta Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan Ramah
Lingkungan
8. Undangan dan hadirin yang berbahagia
Pertama-tama saya mengajak kepada kita semua, untuk senantiasa
memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang menyertai kita saat ini, sehingga
acara Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tahun 2013 dapat kita
laksanakan. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya menyampaikan terima
kasih serta penghargaan yang tinggi kepada saudara-saudara sekalian yang
hadir pada hari ini untuk mengikuti Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi
Peternakan Ramah Lingkungan dengan tema Akselerasi Inovasi Peternakan
Ramah Lingkungan.
Hadirin yang saya hormati,
Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah lumbung pangan nasional telah
dijadikan sebagai barometer keberhasilan pembangunan nasional khususnya di
sektor pertanian. Hal ini sangat beralasan mengingat hasil pembangunan
pertanian di daerah ini dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan hasil yang
cukup menggembirakan.
Selain itu, dengan program over stock beras 2,0 juta ton pertahun, Sulawesi
Selatan telah menjadi pemasok utama kebutuhan beras nasional, bahkan tidak
bisa dipungkiri beras Sulawesi Selatan telah sampai di Filipina, Brunai
Darussalam, Malaysia hingga Timor Leste melalui jalur intraselluler.
Bagi bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 230 juta jiwa
sekarang ini, tentunya upaya ketahanan pangan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Pengalamam selama ini menunjukkan bahwa negara yang tidak memiliki
ketahanan pangan nasional yang mantap, cepat atau lambat akan hancur
berkeping-keping sebagaimana terjadi di negara Rusia beberapa waktu lalu.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kebijakan pembangunan pertanian di
Sulawesi Selatan selalu menjadikan beras sebagai prioritas utama, mulai dari
Operasi “Lappoase”, Tri Program Perwilayahan Komoditas, GRATEKS-2, Gerbang
Emas dan terakhir ini adalah Gerakan Over Stock Beras 2 juta ton. Dalam rangka
xxi
menunjang kebijakan perberasan di Sulawesi Selatan, beberapa langkah
strategis yang dilakukan antara lain:
1. Perbaikan mekanisme pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi;
2. Mendorong pengembangan agribisnis pertanian terpadu melalui integrasi
tanaman-ternak-ikan terutama pada daerah-daerah dengan kandungan
organik rendah; pengadaan alat pembuatan pupuk organik (APPO) dan
rumah kompos secara bertahap terul dilakukan untuk mendukung pertanian
organik ini;
3. Memfasilitasi dan memediasi upaya-upaya perbaikan harga beras, termasuk
harga jagung sehingga dapat menguntungkan petani;
4. Pelibatan aparat teritorial TNI (DANRAMIL & BABINSA), Camat dan Kepala
Desa/Lurah dalam pengawalan dan pendampingan kegiatan di lapangan;
pelaksanaan kegiatan IPAT-BO di Kabupaten Gowa dan rencana pelaksanaan
Denfarm Padi/Jagung seluas 10 Ha pada masing-masing kabupaten/kota se
Sulawesi Selatan merupakan aksi nyata pelibatan aparat TNI/Polri dalam
menunjang pembangunan pertanian khususnya beras dan jagung di Sulawesi
Selatan;
5. Perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur jaringan irigasi;
6. Membantu petani melalui pengadaan bantuan benih.
Target pembangunan pertanian di Sulawesi Selatan yang merupakan program
prioritas pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk mendukung swasembada
pangan berkelanjutan telah saya canangkan seperti Surplus beras 2 juta ton,
peningkatan produksi jagung 1,5 juta ton, gerakan pencapaian populasi sapi 1
juta ekor pada tahun 2013. Untuk mensukseskan program ini, diperlukan
kerjasama kita semua.
Dukungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sangat diperlukan
untuk mencapai target yang telah kita tetapkan, karena target tersebut tidak
akan tercapai tanpa dukungan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan di
lapangan atau kebutuhan petani. Untuk menghasilkan teknologi tentu diperlukan
penelitian dan pengkajian.
Saya kira itulah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, dan dengan
mengucapkan “Bismillahirahmaanirrahim” acara Ekspose dan Seminar Nasional
Inovasi Peternakan Ramah Lingkungan Tahun 2013 Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian dengan resmi saya buka
Sekian
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Gubernur Sulawesi Selatan
DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH
xxii
RUMUSAN
EKSPOSE DAN SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN
RAMAH LINGKUNGAN
Keberhasilan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014
merupakan salah satu wujud kemampuan suatu bangsa untuk menjamin
kemandirian pangan hewani yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas yang
didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal. Pengembangan
peternakan yang berbasis sumberdaya lokal ramah lingkungan merupakan upaya
strategis guna mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Berkaitan dengan hal tersebut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian menyelenggarakan Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Peternakan
Ramah Lingkungan (EIP-RL) dengan tema: “Akselerasi Inovasi Peternakan
Ramah Lingkungan”. Berdasarkan arahan Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Gubernur Sulawesi Selatan dan masukan dari
pemakalah utama maupun makalah-makalah yang di sampaikan dalam seminar
dan respon para peserta ekspose dan seminar, maka tim perumus meyusun
rumusan-rumusan sebagai berikut:
1. Untuk mencapai Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK),
maka populasi sapi dan kerbau harus ditingkatkan dengan mengintegrasikan
tanaman-ternak, baik dengan tanaman pangan maupun perkebunan. Limbah
tanaman pangan dan perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak,
sebaliknya kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk organik bagi
tanaman pangan dan perkebunan. Arah pembangunan komoditas
perkebunan dengan pendekatan teknoekologis dalam upaya peningkatan
produktivitas yang ramah lingkungan dengan siklus tertutup atau Zero
Waste. Khusus integrasi pada komoditas ternak diharapkan mampu
menghasilkan energi terbaharukan (Biogas).
2. Peran strategis tamanan perkebunan dalam pembangunan nasional adalah
(a) integrasi dapat meningkatkan daya saing produk di dunia (Green
Economy), (b) inovasi teknologi dapat merubah deret hitung menjadi deret
ukur, (c) Meningkatkan lapangan kerja dan meningkatkan devisa negara,
dan (d) konservasi dan kelestarian lingkungan.
3. Peran Lingkungan dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain; energi,
gambut, emisi gas, logam berat, dan lain lain. Dalam konvensi lingkungan
disepakati bahwa perlu pembenahan, penataan erosi tanah, perbaikan iklim
mikro, perbaikan penyimpanan air tanah, dan penyerapan emisi rumah kaca.
4. Integrasi tanaman dan ternak berhasil apabila dapat mewarnai kegiatan
usaha pertanian-perkebunan. Sebagai Contoh sistem integrasi serai wangi
yang dilakukan dengan sistem agribisnis. Sistem integrasi yang ramah
lingkungan harus memperhatikan Zero waste atau Low Cost. Dalam hal ini
berkaitan dengan pemanfaatan dan peningkatan nilai tambah limbah
pertanian. Integrasi antara ternak dan tanaman hanya bermakna bagi
pengguna apabila terjadi sinergi positif.
xxiii
5. Isu strategis dukungan regulasi pemerintah Sulawesi Selatan terhadap sub
sektor peternakan adalah (a) Gerakan Optimalisasi Sapi (GOS), (b)
pengendalian pemotongan sapi betina produktif, (c) instalasi pembibitan
rakyat, (d) Revitalisasi IB Mandiri, (d) Pengawasan lalu lintas ternak, (d)
intensifikasi penggunaan pejantan unggul, (e) Gerakan Pembangunan
ekonomi rakyat, (f) peningkatan kompentensi SDM serta kelembagaan
peternak. Program tersebut sudah berjalan 6 tahun namun produksi
pertumbuhan populasi ternak lokal masih perlu dipacu, dan impor sapi di
Sulawesi Selatan mengalami penurunan sehingga tinggal 800 ribu ekor per
tahun. Untuk menekan impor sapi, pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan
terus memprogram satu juta ekor sapi pada tahun 2013 dan untuk mencapai
tujuan tersebut maka penguasaan IPTEK mutlak diperlukan dalam
pengelolaan sumberdaya peternakan, khususnya ternak local
6. Limbah tanaman pangan dan perkebunan dapat dijadikan pakan ternak yang
ramah lingkungan, baik pemberian secara langsung atau pengolahan
terlebih dahulu. Salah satu teknologi pemberian pakan ternak lokal adalah
pemanfaatan pelepah daun sawit sebagai pakan dan mampu memberikan
hasil yang
lebih baik
untuk sapi
penggemukan dibanding untuk
pembibitan. Untuk menekan penurunan berat badan ternak yang ekstrim
pada musim kemarau, pemberian daun lamtoro sebanyak 10 kg/hari/ekor
Sapiu Barachman sebagai sumber protein dan dilakukan sepanjang tahun
untuk memperoleh pertambahan berat badan yang stabil. Penggunaan
pakan lokal dengan komposisi konsentrat 1% dari bobot badan + rumput
lapangan 1% + jerami fermentase 1% dari bobot badan dapat
meningkatkan bobot badan sapi penggemukan.
7.
Pemanfaatan limbah kulit kopi sebagai pakan sapi potong dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan sapi Bali dan secara finansial
menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi.
8.
Potensi sumberdaya lahan dengan agroekosistem lahan kering telah
dimanfaatkan dengan komoditas ubi kayu, cabai, jagung, dan ternak, Serta
memberdayakan kelembagaan petani.
9.
Pemetaan distribusi inovasi teknologi pengelolaan tanaman terpadu dan
peternakan dapat memberikan gambaran dalam perencanaan pengkajian
dan diseminasi teknologi produksi spesifik lokasi. Usahatani ternak kambing
di daerah lahan kering dipengaruhi oleh beberapa kaktor yaitu; mortalitas,
ketersediaan pejantan, dan sistem pemeliharaan.
10. Pengembangan usaha ternak sapi potong memerlukan peranan
kelembagaan gabungan kelompok tani (Gapoktan). Akselerasi inovasi
Peternakan Ramah Lingkungan sangat ditentukan oleh faktor sosiologis
disamping oleh faktor ekonomis dan faktor teknis.
Makassar, 20 Juni 2013
Tim perumus
xxiv
ANJURAN PEMUPUKAN PADI SAWAH DI KABUPATEN BOMBANA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN
PERANGKAT UJI TANAH SAWAH (PUTS)
Didik Raharjo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl.Prof.Muh.Yamin No.89 Puuwatu Kendari
Email : didikbptpsultra@gmail.com
ABSTRAK
Konsep pemupukan spesifik lokasi telah dikembangkan beberapa tahun terakhir sebagai
alternatif penggunaan rekomendasi umum bagi wilayah yang luas. Rendahnya tingkat
produktivitas padi disebabkan karena ketersediaan hara di dalam tanah masih rendah
dan petani belum melakukan paket teknologi padi sawah secara keseluruhan terutama
mengenai pemupukan spesifik lokasi. Kajian dilakukan di enam kecamatan di Kabupaten
Bombana yaitu Lantari Jaya, Rarowatu Utara, Rarowatu, Rumbia, Poleang Timur, dan
Poleang Utara pada MT II tahun 2012. Lokasi sasaran pengambilan sampel tanah
dilakukan sengaja dengan pertimbangan bahwa lokasi merupakan sentra tanaman padi
sawah. Tahapan pengambilan sampel tanah adalah untuk lahan yang struktur tanah
relatif homogen diambil sebanyak 10 titik dengan kedalaman lapisan olah 0 -20 cm
menggunakan bor tanah sawah. Selanjutnya dilakukan uji status hara N, P, K, dan pH
tanah berdasarkan cara kerja PUTS. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat
status hara Nitrogen (N), Phospor (P), Kalium (K) dan tingkat kemasaman tanah (pH)
serta rekomendasi pemupukan padi sawah Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara.
Status hara N, P, dan K di Kabupaten Bombana beragam. Hara N sebagian besar
berstatus tinggi hanya satu lokasi yang statusnya rendah, untuk status hara P beragam
dari yang status rendah, sedang, dan tinggi. Status hara K juga beragam dari yang
berstatus rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat Kemasaman tanah (pH) dari 4,5 sampai
6,0. Untuk target produktivitas 6 t/ha GKG, rekomendasi pemupukan berdasarkan pupuk
tunggal. Untuk status N tinggi, P tinggi, dan K sedang. Anjurannya yaitu Urea 200 kg/ha
+ SP-36 75 kg/ha + KCl 75 kg/ha. Lokasi dengan status hara status N tinggi, P tinggi,
dan K rendah yaitu Urea 200 kg/ha + SP-36 75 kg/ha + KCl 125 kg/ha. Lokasi dengan
status hara N tinggi, P sedang, dan K sedang anjuran pemupukannya yaitu Urea 200
kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 75 kg/ha.
Kata kunci : Status hara, pemupukan, padi sawah
PENDAHULUAN
Hal penting yang harus dilakukan dalam kegiatan berbudidaya tanaman
untuk mendapatkan hasil produktivitas yang maksimal adalah melakukan
pemupukan yang tepat. Dalam pengertian sehari-hari pupuk adalah suatu bahan
yang digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah, sedang pemupukan adalah
penambahan bahan tersebut ke tanah agar tanah menjadi lebih subur
(Hardjowigeno, 1995). Pemupukan yang tepat tersebut harus dilakukan sesuai
dengan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi. Konsep pemupukan spesifik
lokasi telah dikembangkan beberapa tahun terakhir sebagai alternatif
penggunaan rekomendasi pupuk secara umum bagi wilayah yang luas.
847
Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Bombana cukup luas yaitu 11.689
ha dengan tingkat produktivitas padi sawah 44,68 Kw/ha (BPS Sultra, 2012).
Rendahnya tingkat produktivitas tersebut disebabkan karena ketersediaan hara
di dalam tanah masih rendah dan petani belum melakukan paket teknologi
budidaya padi sawah secara keseluruhan terutama mengenai pemupukan
spesifik lokasi.
Pada awal Revolusi Hijau, peningkatan hasil terjadi terutama melalui
pemanfaatan pupuk N (Nitrogen), kerap disubsidi oleh pemerintah,
dikombinasikan dengan varietas inbrida modern.
Melihat hasilnya, petani
terdorong meningkatkan takaran pupuk N hingga berlebihan, tetapi tidak
memberikan cukup pupuk P (Phospor) dan K (Kalium), oleh karena hasil
meningkat maka hara-hara yang sebelumnya cukup menjadi kurang (Thomas et
al., 2007).
Selain berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi, setelah
puluhan tahun penerapan revolusi hijau dengan berbagai input agrokimia,
ternyata juga menimbulkan dampak negatif seperti menurunnya kesuburan lahan
karena terjadi ketidakseimbangan hara dalam tanah dan pencemaran lingkungan
seperti meningkatnya kadar nitrat dalam tanah dan air akibat penggunaan
pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan dan meningkatnya emisi gas rumah
kaca (GRK) seperti CH4 dan N2O (Budianto, 2002).
Penerapan pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah memerlukan
data analisa tanah, di sisi lain daya jangkau (aksesibilitas) penyuluh dan petani
untuk menganalisis contoh tanah masih rendah, sehingga menyebabkan
rekomendasi pupuk untuk padi bersifat umum, hal ini mengakibatkan pupuk
yang diberikan tidak berimbang dan efisiensi pemupukan menjadi rendah karena
ada kemungkinan suatu unsur hara diberikan secara berlebihan, sementara
unsur hara lainnya diberikan lebih rendah dari yang dibutuhkan tanaman
(Setyorini et al., 2006).
Ada beberapa metode pendekatan untuk menentukan rekomendasi
pemupukan pada padi sawah yaitu Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS),
pemupukan padi sawah spesifik lokasi menggunakan software PuPS versi 1.0,
Bagan Warna Daun (BWD), dan Pemupukan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) berbasis
internet. Keempat alat bantu tersebut diperuntukkan sebagai dasar rekomendasi
pemupukan yang menggunakan pupuk anorganik N, P, dan K. Meskipun PUTS
telah mampu memberikan informasi mengenai kondisi makro tanah seperti N
(Nitrogen), K (Kalium) dan P (Phospor) di dalam tanah tetapi tetap dibutuhkan
analisis tanah di labolatorium khususnya untuk mengukur status hara S dan Zn
(Aljabri dan Syafruddin, 2007).
Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat status hara makro
Nitrogen (N), Phospor (P), dan Kalium (K), tingkat kemasaman tanah (pH), serta
rekomendasi pemupukan untuk padi sawah Kabupaten Bombana Sulawesi
Tenggara.
848
METODOLOGI
Kajian dilakukan di enam kecamatan sentra tanaman padi sawah di
Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara yaitu Kecamatan Lantari Jaya,
Rarowatu Utara, Rarowatu, Rumbia, Poleang Timur dan Poleang Utara pada MT
II tahun 2012. Penentuan lokasi sasaran pengambilan sampel tanah dilakukan
secara sengaja dengan pertimbangan bahwa lokasi merupakan sentra tanaman
padi sawah. Tahapan pengambilan sampel tanah adalah untuk lahan yang
struktur tanah relatif homogen diambil sebanyak 10 titik dengan kedalaman
lapisan olah 0 - 20 cm menggunakan bor tanah. Sampel tanah tersebut
kemudian dicampur hingga rata yang akan dijadikan bahan analisis dengan
menggunakan peraksi yang terdapat pada Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS),
selanjutnya dilakukan uji status hara N, P, K dan pH berdasarkan cara kerja
PUTS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Status Hara Lahan Sawah
Dari enam kecamatan sentra tanaman padi sawah di Kabupaten Bombana
terdapat status hara makro N, P, dan K yang beragam. Status Hara N sebagian
besar tinggi hanya satu lokasi yang status hara N rendah yaitu di desa Biru
Kecamatan Poleang Timur. Status hara P beragam dari yang status rendah,
sedang dan tinggi. Untuk status hara K juga beragam dari yang berstatus
rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat kemasaman tanah (pH) setiap lokasi juga
beragam dari 4,5 sampai 6,0. Pada tanah masam (pH < 4,5), ketersediaan
beberapa hara lebih rendah dari pada tanah netral, serta kemungkinan besar
muncul keracunan Fe (besi). Ciri tanah yang banyak mengandung besi umumnya
pada permukaan air genangan tertutup lapisan seperti minyak, dan pada daun
padi terdapat bintik karat.
Hasil analisis status hara makro N, P, dan K di beberapa lokasi sentra
tanaman padi sawah disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis status hara lahan sawah di beberapa lokasi sentra tanaman padi
sawah Kabupaten Bombana, 2012
No.
Kecamatan
Desa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Lantari Jaya
Lantari
Lantari
Rarowatu Utara
Rarowatu Utara
Rarowatu Utara
Rumbia
Rumbia
Rarowatu
Rarowatu
Poleang Timur
Poleang Timur
Poleang Timur
Poleang Utara
Poleang Utara
Poleang Utara
Anugrah
Lomba Kasih
Lantari
Marga Jaya
Aneka Marga
Tunas Baru
Lameroro
Rumbia
Ladumpi
Lakomea
Biru
Tepoe
Bambaea
Tampabulu
Toburi
Tanah Poleang
Status Hara
N
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
P
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
K
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Rendah
Rendah
pH
4,5-5
4,5-5
4,5-5
6.0
5,5
5,0
5,0
6.0
5,5
5,5
5,5
5,5
5
5-6
5
5
849
Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Menggunakan Pupuk Tunggal
Anjuran pemupukan padi sawah berdasarkan hasil analisis PUTS untuk
lokasi sentra tanaman padi di Kabupaten Bombana menggunakan pupuk tunggal,
untuk hara N menggunakan Urea, hara P menggunakan SP-36 dan hara K
menggunakan KCl. Rekomendasi pemupukan padi sawah di Kabupaten Bombana
menggunakan pupuk tunggal untuk target hasil 6/ha, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekomendasi pemupukan padi sawah menggunakan pupuk tunggal
No.
Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Desa
Lantari Jaya
Lantari
Lantari
Rarowatu Utara
Rarowatu Utara
Rarowatu Utara
Rumbia
Rumbia
Rarowatu
Rarowatu
Poleang Timur
Poleang Timur
Poleang Timur
Poleang Utara
Poleang Utara
Poleang Utara
Anugrah
Lomba Kasih
Lantari
Marga Jaya
Aneka Marga
Tunas Baru
Lameroro
Rumbia
Ladumpi
Lakomea
Biru
Tepoe
Bambaea
Tampabulu
Toburi
Tanah Poleang
Urea (kg/ha)
200
200
200
200
200
200
200
200
200
200
250
200
200
200
200
200
Pupuk Tungggal
SP 36 (kg/ha) KCl (kg/ha)
75
75
75
75
75
125
75
75
75
75
75
75
100
75
75
75
100
75
100
75
75
75
75
75
100
125
125
75
100
75
75
125
Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Menggunakan Pupuk Majemuk
N,P,K (15,15,15)
Petani padi sawah terkendala pada ketersediaan pupuk tunggal yang ada
di lapangan terutama KCl, sehingga untuk melakukan pemupukan tepat dan
berimbang dapat menggunakan pupuk majemuk. Tepat dan berimbang dalam
hal ini adalah tepat jenis hara, tepat dosis hara, tepat waktu pemupukan dan
tepat cara. Dosis anjuran pemupukan padi sawah dengan menggunakan pupuk
majemuk N, P, dan K disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekomendasi pemupukan padi sawah menggunakan pupuk majemuk
N,P,K (15,15,15)
Kelas Status Hara Tanah
P
Rendah
Sedang
Tinggi
K
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Rekomendasi Pupuk Tunggal Dan Majemuk (Kg/Ha)
Tambahan Pupuk Tunggal
NPK 15-15-15
Urea
KCl
250
170
40
250
170
250
170
200
180
50
200
180
200
180
150
200
60
150
200
10
150
200
10
Sumber : Petunjuk Penggunaan PUTS (Setyorini et al., 2006).
850
Anjuran Penggunaan Pupuk Tunggal dan Majemuk (Urea, SP-36 dan
KCl dan NPK 15-15-15)
Kegiatan penting yang harus diperhatikan terhadap rekomendasi
pemupukan adalah waktu dan besarnya dosis penggunaan pupuk tunggal dan
majemuk untuk tanaman padi sawah untuk setiap tahapan pertanaman. Waktu
dan besarnya dosis pupuk disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Anjuran penggunaan Pupuk Tunggal dan Majemuk (Urea, SP-36, KCl
dan NPK 15-15-15)
Jenis
Pupuk
Pupuk Dasar (0 – 14 HST)
Pupuk Susulan I (21 – 35 HST)
Pupuk Susulan
(42 – 49 HST)
II
Urea
SP-36
KCl
NPK
1/3 Dosis Urea
Semua Dosis Sp-36
½ Dosis KCl
Semua Dosis Npk 15-1515
1/3 Dosis Urea
½ Dosis KCl
- ½ Dosis Urea Tambahan
- Semua
Dosis
KCl
Tambahan
1/3 Dosis Urea
- ½ Dosis Urea
Tambahan
Sumber : Petunjuk Penggunaan PUTS (Setyorini et al., 2006).
KESIMPULAN
Untuk target produktivitas padi sawah 6 t/ha GKG, maka Status hara N,
P, dan K dan rekomendasi pemupukan di kabupatem Bombana yaitu:
A. Status N tinggi, P tinggi, K sedang. Anjuran Pemupukanya Urea 200
kg/ha,SP-36 75 kg/ha dan KCl 75 kg/ha.
B. Status N tinggi, P tinggi, K rendah.
Anjuran Pemupukanya Urea 200
kg/ha,SP-36 75 kg/ha dan KCl 125 kg/ha.
C. Status N tinggi, P sedang, K sedang.
Anjuran Pemupukanya Urea 200
kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha.
D. Status N rendah, P tinggi, K sedang.
Anjuran Pemupukanya Urea 250
kg/ha, SP-36 75 kg/ha dan KCl 75 kg/ha.
E. Status N tinggi, P rendah, K sedang.
Anjuran Pemupukanya Urea 200
kg/ha, SP-36 125 kg/ha dan KCl 75 kg/ha.
F. Status N tinggi, P sedang, K rendah.
Anjuran Pemupukanya Urea 200
kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 125 kg/ha.
851
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabri, M. dan Syafruddin. 2007. Perangkat Uji Tanah Sawah Versus Analisis
Tanah Di Labolatorium Untuk Rekomendasi Pemupukan Padi Di
Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional BPTP Sulawesi Tengah.
Dalam Yogi P. Rahardjo dan Saidah (Eds) Prosiding Semiloka Nasional
Dukungan Agro-Inovasi Untuk Pemberdayaan Petani Kerjasama UNDIP,
BPTP Jateng dan Pemprof Jawa Tengah.Semarang hal 104-109.
BPS Sultra. 2012. Sulawesi Tenggara dalam Angka Tahun 2012. Kendari.
Budianto, J. 2002. Tantangan Dan Peluang Penelitian Pengembangan Padi
Dalam Perspektif Agribisnis dalam Pramono, J., D. Prajitno,Tohari, D.
Shiddieq, dan S.Y. Jatmiko (Eds) Prosiding Semiloka Nasional Dukungan
Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani Kerjasama UNDIP, BPTP
Jateng dan Pemprof Jawa Tengah. Semarang hal.141-148.
Hardjowigeno. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Bogor.
Setyorini, D., Ladiyani R.W, dan A. Kasno. 2006.
Petunjuk Penggunaan
Perangkat Uji Tanah Sawah Versi 1.1. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Thomas, F., C. Witt, R. Buresh, dan A. Dobermann. 2007. Padi : Panduan Praktis
Pengelolaan Hara, (Eds ke dua 2007) Terjemahan A Practical Guide to
Nutrient Management. Kerja sama IRRI, IPPNI-IPI dengan Badan
Penelitian dan Pengembangan pertanian. Jakarta.
852
DAMPAK PEMANFAATAN PEKARANGAN
DI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) KABUPATEN KOLAKA
Edi Tando
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof. Muh. Yamin No 89 Puwatu Kendari
Email: edit.kendari@yahoo.com
1
ABSTRAK
Masih cukup banyak lahan pekarangan masyarakat yang belum termanfaatkan secara
optimal sebagai kebutuhan pemenuhan pangan dalam keluarga. Lahan pekarangan yang
dikelola secara optimal dapat memberikan manfaat bagi rumah tangga dan keluarga
yang mengelolanya. Sebagai bentuk gerakan optimalisasi pemanfaatan pekarangan
sebagai sumber gizi keluarga, saat ini pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian
sedang gencarnya merintis model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), merupakan
salah satu solusii ketahanan pangan berbasis rumah tangga. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui dampak pemanfaatan pekarangan di Kawasan Rumah Pangan
Lestari (KRPL) Kabupaten Kolaka. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer yang
diperoleh dari hasil kegiatan pengkajian di lapangan, untuk mengetahui dampak
pengembangan progam Model Kawasan Ruman Pangan Lestari (M-KRPL), dilakukan
survey sosial ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan Program M-KRPL telah berhasil
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta KRPL dalam pemanfaatan
pekarangan, dapat menghemat pengeluaran pangan sebesar Rp. 150.000 hingga
Rp.250.000,-/keluarga/bulan serta Peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar
6,86.
Kata kunci : Pekarangan, M-KRPL
PENDAHULUAN
Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa,
banyak contoh negara dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi
mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi
penduduknya. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan
bahwa “ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Atas dasar hal itu, maka
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus
sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia (Saliem, 2011). Menurut
Rachman dan Ariani (2007) bahwa tersedianya pangan yang cukup secara
nasional maupun wilayah merupakan syarat dari terwujudnya ketahanan pangan
nasional. Namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan yang harus dipenuhi
adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga.
Masih cukup banyak lahan pekarangan masyarakat yang belum
termanfaatkan secara optimal sebagai kebutuhan pemenuhan pangan dalam
keluarga. Menurut catatan Kementan tahun 2012, luas lahan pekarangan di
Indonesia saat ini mencapai 10,3 juta ha atau 14% dari seluruh luas tanah
pertanian rakyat.
853
Lahan pekarangan yang dikelola secara optimal dapat memberikan
manfaat bagi rumah tangga dan keluarga yang mengelolanya. Hal ini dapat
terlihat dari beragam fungsi dasar pekarangan yaitu menjadi sumber pangan
keluarga, seperti sayur - sayuran, umbi - umbian, buah - buahan serta ternak
dan ikan, sumber obat - obatan atau apotik hidup, sumber bumbu, rempah
masakan, sumber pupuk organic, serta sumber keindahan/estetika. (Badan
Litbang Pertanian (2012); Sinar Tani (2012).
Sebagai bentuk gerakan optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai
sumber gizi keluarga, saat ini pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian
sedang gencarnya merintis model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), di
mana tujuan penting yang ingin di capai dalam pengembangan program KRPL ini
antara lain : meningkatkan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam
pemanfaatan lahan, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan
masyarakat secara lestari, mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga
serta menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri (Badan
Litbang Pertanian, 2011).
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) merupakan salah satu
solusii ketahanan pangan berbasis rumah tangga yang perlu terus dikembangkan
keberadaannya. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah membuat
kebijakan bahwa setiap kabupaten harus ada satu desa model, sehingga
diharapkan tahun 2013 nanti, sudah ada replikasi lebih dari 5000 desa model di
seluruh Indonesia (Badan Litbang Pertanian, 2012)
Kabupaten Kolaka memiliki potensi pengembangan M-KRPL yang cukup
luas. Hal ini terlihat dari sumberdaya lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat
dalam sektor pertanian, khususnya komoditas hortikultura (buah-buahan,
sayuran dan tanaman hias), tanaman obat-obatan dan lainnya masih cukup
tersedia, meskipun belum termanfaatkan secara optimal. karena masih banyak
lahan-lahan kosong disekitar rumah yang belum dimanfaatkan fungsinya dalam
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui dampak pemanfaatan pekarangan di KRPL Kabupaten Kolaka
mendukung ketahanan pangan.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai Desember 2012 di Desa
Huko - Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer yang diperoleh dari hasil
kegiatan pengkajian di lapangan, yaitu kegiatan inisiasi pengembangan rumah
pangan lestari yang dilakukan terhadap 30 rumah tangga (keluarga) yang
terletak dalam satu kawasan.
Untuk mengetahui dampak pengembangan progam Model Kawasan
Ruman Pangan Lestari (M-KRPL), dilakukan survey sosial ekonomi dengan tehnik
wawancara menggunakan kuisioner. Survey dilaksanakan dua kali yakni sebelum
kegiatan berjalan dan sesudah kegiatan. Untuk survey awal bertujuan menggali
informasi awal/base line mengenai kedaan sebelum adanya kegiatan M-KRPL,
sedangkan survey akhir bertujuan untuk melihat dampak setelah adanya
kegiatan M-KRPL.
854
Analisis data dilakukan secara sederhana yaitu dengan analisis tabel
frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu dideskripsikan keadaan sebelum dan
setelah adanya KRPL (before and after).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Hasil survey untuk karakteristik responden di Desa
Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, disajikan pada Tabel 1.
Huko-Huko,
Tabel 1. Karakteristik responden di Desa Huko-Huko, Kecamatan Pomala
Kabupaten Kolaka, 2012.
No.
1.
2.
3.
4.
-
Karakteristik
Umur
(tahun)
Pendidikan
(tahun)
Jumlah
Anggota
Keluarga
(orang)
Pekerjaan
- Kepala Keluarga/
Suami
- Istri
-
5.
Pendapatan
per bulan (Rp)
6.
Pengeluaran
konsumsi
pangan
per bulan (Rp)
Luas
strata
lahan
pekarangan
Pemanfaatan lahan
Pekarangan
7
8
Sumber : Data Primer, 2012
-
-
Keterangan
Di bawah 16 tahun
16 – 54 tahun
Di atas 54 tahun
6 tahun (SD)
9 tahun (SMP)
12 tahun (SMA)
16tahun (Diploma III/S1)
1- 4
5- 8
Wiraswasta
PNS
Petani
Lain-lain
Ibu Rumah Tangga
Wiraswasta
Petani
Lain-lain
Rp. 500.000 - Rp. 1.500.000
Rp. 1.600.000 - Rp. 3.000.000
Diatas Rp. 3.000.000
Di bawah Rp. 500.000
Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000
Di atas Rp. 1.000.000
Strata I (< 100 m2)
Strata II (100 - 300 m2)
Strata III (> 300 m2)
Sebelum M-KRPL
Sesudah M-KRPL
Persentase (%)
0
86,7
13,3
30
43
17
10
60
40
57
13
10
20
90
10
0
0
20
56,7
23,3
10
73
16,7
10,00
66,67
23,33
7
100
Berdasarkan Tabel 1, nampak bahwa rata - rata umur peserta M - KRPL
adalah
16 - 54 tahun (86,7%), dengan tingkat pendidikan terbanyak 6 - 9
tahun (43%). Jumlah anggota keluarga antara 1 - 4 orang (60%), sementara
pekerjaan masyarakat antara lain wiraswasta (Pertambangan/tukang), PNS,
petani, ibu rumah tangga dan lain - lain. Pendapatan satu keluarga per bulan
855
tertinggi yaitu antara Rp. 1.600.000,- - Rp. 3.000.000,- sedangkan pengeluaran
konsumsi pangan per bulan yaitu antara Rp. 500.000,- Rp, 1.000.000,-.
Pengeluaran untuk konsumsi pangan cukup tinggi, hal ini disebabkan
sebagian sumber pangan keluarga seperti beras, umbi - umbian, sayuran,
tanaman obat, ikan, daging, telur di beli di pasar dan pedagang keliling.
Pengamatan dilapangan menunjukkan sebanyak 97 % sumber pangan
karbohidrat dari masyarakat Desa Huko - Huko berasal dari beras. Jagung, ubi
kayu, ubi jalar dan talas dijadikan makanan sampingan. Sayuran yang sering
dikonsumsi yaitu daun kelor, kangkung, sawi, terung, daun kacang, bayam, daun
ubi, labu, kacang panjang, kopi gandu dan pare.
Pemanfaatan Pekarangan
Pemanfaatan lahan pekarangan rumah merupakan salah satu alternatif
untuk mewujudkan kemandirian pangan dalam rumah tangga. Tujuan penting
yang ingin di capai dalam pengembangan program KRPL ini antara lain :
meningkatkan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan,
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat secara lestari,
mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga serta menciptakan
lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri.
Sebelum adanya program M-KRPL, pemanfaatan lahan pekarangan hanya
7 %, sebagian besar petani responden belum memanfaatkan pekarangan rumah
untuk menanam sayuran, buah - buahan dan tanaman obat dan hanya sebagian
kecil masyarakat memanfaatkan pekarangan dengan menanam bunga, membuka
kebun di depan n samping rumah dengan buah - buahan, kolam ikan, beternak
ayam 4 - 15 ekor, serta membuka usaha kecil - kecilan seperti membuka
warung. Setelah adanya program M-KRPL, minat petani kooperator dalam
pemanfaatan lahan pekarangan telah mencapai 100 %, khususnya dengan
menanam sayuran, buah-buahan, umbi - umbian, tanaman obat, tanaman
pangan (jagung), dll.
Dampak Pemanfaatan Pekarangan
Beberapa dampak dari pemanfaatan pekarangan melalui program M-KRPL
di Desa Huko - Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, antara lain :
Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan
Upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani kooperator
dilakukan melalui pelatihan. Pendampingan teknologi yang diberikan dalam
pelatihan meliputi
materi - materi yang secara umum terkait dengan
pemanfaatan lahan pekarangan, antara lain: Pembuatan media semai dan
tanam, Penyemaian, Pengisian polybag, Pendederan bibit (pemindahan ke
polybag kecil), Penanaman dan pemeliharaan calon benih sebar, Pemeliharaan
bibit dan pengendalian OPT, Pembuatan bedengan, Pemupukan, Prosesing
benih sebar, Cara tanam dan pembuatan rak vertikultur, Pembuatan kompos
atau pupuk kandang, serta Panen dan pasca panen.
Setelah mengikuti pelatihan, peserta M-KRPL semakin termotivasi dalam
mengelola lahan pekarangannya. Berdasarkan survey di lapang menunjukkan
bahwa tingkat adopsi peserta KRPL terhadap teknologi yang diberikan yaitu
856
83,33%. Hal ini menunjukkan keterampilan peserta KRPL meningkat, khususnya
keterampilan menanam sayuran, buah, dll.
Penghematan Belanja Pangan dan Pendapatan
Berdasarkan hasil survey melalui wawancara kepada 30 peserta, nampak
bahwa pengeluaran rumah tangga peserta M-KRPL Kolaka untuk belanja pangan
berkisar antara Rp. 500.000,- - Rp, 1.000.000,-./bulan. Sebelum adanya program
KRPL, khusus untuk komponen sayuran rata - rata pengeluaran berkisar antara
Rp. 100.000 - Rp. 400.000,-/bulan dan setelah adanya M-KRPL warga dapat
menghemat pengeluaran pangan sebesar Rp. 150.000 hingga Rp.250.000,/bulan. Penghematan ini sebagian besar berasal dari komponen belanja sayuran.
Beberapa jenis sayuran hasil panen di lahan pekarangan peserta telah di
jual ke pasar tradisional oleh beberapa orang peserta KRPL yaitu sawi, terung,
kangkung dan seledri, dengan jumlah keseluruhan dari hasil penjualan yaitu Rp.
550.000,- Rp. 800.000,-.
Pola Pangan Harapan (PPH)
Pola pangan harapan (PPH) merupakan susunan kelompok pangan yang
didasarkan pada kontribusi energinya untuk memenuhi kebutuhan gizi secara
kuantitas, kualitas, keragamannya yang dinyatakan dengan skor PPH.
Skor angka kecukupan energy (AKE) dan angka pola pangan harapan
(PPH) di lokasi M-KRPL Desa Huko – Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten
Kolaka disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Skor Angka Kecukupan Energy (AKE) dan angka Pola Pangan Harapan
(PPH) di M-KRPL, Kabupaten Kolaka Tahun 2012
No.
Kelompok Pangan
Skor
Max
Skor AKE
Mei
Skor PPH
Desember
Mei
Desember
1
Padi-Padian
25
11,29
16,86
11,29
16,86
2
3
4
5
6
7
Umbi
Pangan hewani
Minyak dan lemak
Buah/biji berminyak
Kacang-kacangan
Gula
2,5
24
5
1
10
2,5
1,05
16,53
2,3
0
9,45
0,93
2,05
17,73
2,3
0
9,54
0,93
1,05
16,53
2,3
0
9,45
0,93
1,05
17,73
2,3
0
9,54
0,93
8
9
Sayur dan buah
Lain-lain
Total
30
0
100
51,19
0
92,74
51,67
0
101,08
30
0
71,55
30
0
78,41
Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) 2000 kkal/Kap/Hari
Berdasarkan Tabel 3 di atas, nampak bahwa sebelum adanya program
M-KRPL, skor PPH adalah 71,55, setelah adanya program M-KRPL skor PPH
menjadi 78,41, atau terjadi peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar
6,86.
Hal tersebut menunjukkan adanya perbaikan kualitas gizi pangan yang
dikonsumsi masyarakat. Peningkatan skor tertinggi terjadi akibat meningkatnya
konsumsi masyarakat terhadap padi-padian dan pangan hewani.
857
Eskalasi
Selama pelaksanaan program M-KRPL di Kabupaten Kolaka, jumlah
kepala keluarga yang mereplikasi/menerapkan M-KRPL, dapat di bagi dalam 2
(dua) kelompok, yaitu : 1) dalam kawasan, awalnya 30 kepala keluarga
menjadi 45 kepala keluarga, 2) luar kawasan, awalnya 32 kepala keluarga
menjadi 69, sehingga jumlah keseluruhan kepala keluarga yang mereplikasi MKRPL adalah 114 kepala keluarga.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil kajian ini adalah sebagai
berikut:
1. Program M-KRPL telah berhasil meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
peserta
KRPL dalam pemanfaatan pekarangan.
2. Program M-KRPL dapat menghemat pengeluaran pangan sebesar Rp. 150.000
hingga Rp.250.000,-/keluarga/bulan.
3. Peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 6,86.
4. Eskalasi M-KRPL sebesar 114 kepala keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Inovasi Terkini Budidaya
Sayuran di Pekarangan. http://www.litbang.deptan.go. id. [diakses 15
September 2012].
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Fungsi Pekarangan.
http://www.litbang.deptan.go.id. [diakses 15 September 2012].
Rachman, H.P.S. dan M. Ariani. 2007. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di
Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program.
Makalah pada “Workshop Koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik Masalah
Ketahanan Pangan Dalam Upaya Perumusan Kebijakan Pengembangan
Penganekaragaman Pangan“, Hotel Bidakara, Jakarta, 28 November
2007. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik
Indonesia.
Saliem H.P. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL): Sebagai Solusi
Pemantapan Ketahanan Pangan. 10 hlm.
Sinar Tani. 2012. Sinar Tani Edisi 31 Oktober – 6 Nopember 2012. No. 3480.
Susanti, Y. 2011. Pemanfaatan Pekarangan Sebagai Penyuplai Gizi Keluarga.
http://www.bptp-ntb@litbang.deptan.go. id. [5 September 2011].
858
EFEKTIVITAS BEBERAPA HERBISIDA YANG DIAPLIKASIKAN
PADA 7, 10, 12, DAN 15 HARI SETELAH SEBAR
PADA BUDIDAYA PADI SISTEM TABELA
Maintang dan Nasruddin Razak
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jalan Perintis Kemerdekaan Km,17,5 Sudiang, Makassar
Email: Salsabila.marzuki@yahoo.com
ABSTRAK
Pertanaman padi sistem tabela secara ekonomis lebih efisien dan menghemat tenaga
kerja, tetapi disisi lain pertumbuhan gulma akan lebih cepat menyaingi tanaman padi.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dosis optimal dan waktu aplikasi yang efektif
dari herbisida Topshot 60 OD yang selektif terhadap tanaman padi dan efektif dalam
mengendalikan gulma. Lokasi pengujian di kabupaten Sidrap, terdiri dari dua unit yaitu
desa Tonronge Kecamatan Baranti dan Desa Lanrang Kec. Panca Rijang, berlangsung
September - Desember 2012. Penelitian disusun dalam bentuk rancangan acak
kelompok. Aplikasi herbisida pada 7, 10, 12 dan 15 Hari Setelah Sebar (HSS), terdapat
15 unit perlakuan herbisida. Peubah yang diamati (1) tingkat keracunan tanaman padi
pada 3,7,14 dan 28 HAS (Hari setelah aplikasi), (2) Kontrol efikasi pada 15 dan 30 HSA.
Analisis data sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil pengujian
menunjukkan herbisida topshot 60 OD selektif terhadap tanaman padi pada semua dosis
dan waktu aplikasi yang diberikan. Di lokasi Tonronge, herbisida Topshot dosis 1000
ml/ha, 1250 ml/ dan 1500 ml/ha yang diaplikasikan pada 7, 10, 12 dan 15 hari setelah
sebar (HSS) efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally, L.chinensis, Cyperus Sp.
F.miliceae, S.zeilanica dan M.vagininalis. Pengujian di lokasi Lanrang, herbisida Topshot
dengan dosis 1250 dan 1500 ml/ha lebih efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally
dan L.chinensis. Gulma Cyperus Sp dan F.miliceae efektif dikendalikan dengan herbisida
topshot pada berbagai dosis dan waktu aplikasi yang diberikan. Herbisida Tigold,
Nominee 300 ml/ha, Ricestra-xtra dan herbisida Clipper + Clincer juga efektif dalam
mengendalikan gulma E.crusgally, L.chinensis, Cyperus Sp, S.zeilanica, F.miliceae dan
M.vaginalis baik di Tonronge maupun Lanrang.
Kata kunci : Gulma, tingkat keracunan, kontrol efikasi, tabela
PENDAHULUAN
Padi merupakan tanaman sereal yang bernilai sosial, politik dan ekonomi,
karena tanaman padi merupakan bahan makanan pokok bagi lebih dari setengah
penduduk di dunia. Untuk mempertahankan keseimbangan antara permintaan
dan produksi padi, maka diperlukan upaya untuk menstabilkan laju kenaikan
produksi melalui peningkatan produktivitas tanaman.
Oleh karena itu,
dibutuhkan berbagai inovasi diantaranya penggunaan varietas unggul,
pemupukan berimbang, teknologi pengelolaan tanaman yang ramah lingkungan,
pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) termasuk diantaranya
teknologi pengendalian gulma.
859
Gulma merupakan tumbuhan pengganggu dan menurunkan hasil padi
bila tidak dikendalikan secara efektif. Gulma menyaingi tanaman dalam
pengambilan unsur hara, air, ruang, dan cahaya. Gulma merugikan petani
melalui: (1) Perananannya sebagai tumbuhan inang hama dan penyakit
tanaman; misalnya gulma Cyperus iria merupakan tumbuhan inang bagi hama
wereng cokelat dan kerdil rumput; (2) Penyumbatan saluran irigasi sehingga
saluran irigasi tidak efisien, misalnya Eichornia crassipes (eceng gondok); (3)
Mengurangi kualitas hasil panen; (4) Bersaing dengan tanaman untuk
mendapatkan cahaya, air dan hara dan kebutuhan pertumbuhan lainnya; (5)
Menganggu kelancaran pekerjaan petani, misalnya gulma berduri seperti bayam
duri dan Mimosa invisa L (sikejut); dan (6) Menurunkan kualitas dan kuantitas
hasil panen (Madrid (1977); Gupta (1984)) dalam Pane dan Sigit (2008).
Di lahan irigasi persaingan gulma dengan padi dapat menurunkan hasil
padi 10-40 %, tergantung spesies dan kepadatan gulma, jenis tanah, pasokan
air, dan keadaan iklim (Nantasomsaran dan Moody, 1993). Pada tingkat
pengelolaan petani, kehilangan hasil padi akibat persaingan dengan gulma
berkisar 10-15 %. De Datta (1981) dalam Pane dan Sigit (2008) menyatakan
bahwa kehilangan hasil oleh persaingan gulma adalah sekitar 34 % pada padi
tanam pindah, 45 % padi “tabela” (tanam benih langsung) di lahan sawah irigasi
dan tadah hujan, dan 67 % pada padi gogo.
Pengendalian gulma biasanya dilakukan secara manual (penyiangan
dengan tangan) dan pengaturan air. Saat ini penyiangan dengan tangan sudah
mulai ditinggalkan sebab keterbatasan tenaga kerja. Perkembagan selanjutnya,
gulma dikendalikan dengan alat sederhana seperti kored dan landak, lalu secara
mekanis, menggunakan alat mesin. Teknologi pengendalian gulma berkembang
semakin maju dengan dikembangkannya bahan kimia yang disebut “ herbisida”.
Teknik pengendalian secara khemis (dengan menggunakan herbisida)
cenderung mengalami peningkatan (kualitas dan kuantitas) dari tahun ke tahun
di banyak negara. Volume pemakaian herbisida jauh lebih tinggi (70-100 %) di
negara-negara maju dibanding dengan negara -negara sedang berkembang (De
Datta dan Herdt (1983); Valverde 2003 dalam Purba, (2009). Peningkatan
penggunaan herbisida disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, ketersediaan
tenaga kerja terbatas, dengan herbisida waktu pelaksanaan pengendalian gulma
relatif singkat, dan biaya pengendalian lebih murah (cost-effective) dibanding
dengan teknik lain. Pemakaian herbisida dapat membuat petani lebih mudah
melakukan pekerjaan pengendalian (Purba, 2009). Pane (2003) menambahkan
bahwa adanya kelangkaan buruh tani serta harga herbisida yang terjangkau
telah mendorong petani pada lahan irigasi di beberapa negara di Asia termasuk
Indonesia beralih dari tanam pindah (tapin) ke tanam benih langsung (tabela).
Seiring perkembangan teknologi pengendalian gulma dengan herbisida,
telah banyak jenis-jenis herbisida yang dipasarkan dengan berbagai macam
bahan aktif, formulasi, cara, dan waktu aplikasi yang bervariasi. Beberapa
herbsida tersebut diantaranya adalah herbisida Topshot, Tigold, Nominee, RiceStra extra, Herbisida Clincher dan Clipper. Herbisida tersebut diyakini mampu
mengendalikan gulma yang umum tumbuh pada pertanaman padi di Indonesia.
Pertanaman padi dengan sistem tabela secara ekonomis lebih efisien dan
menghemat tenaga kerja, tetapi disisi lain pertumbuhan gulma akan lebih cepat
menyaingi tanaman padi, oleh karena itu pemilihan herbisida harus selektif dan
860
se efisien mungkin untuk dapat mengendalikan gulma.
Berdasarkan hal
tersebut, dilakukan uji efeketifitas herbisida Topshot dengan tujuan :
1. Mengetahui dosis optimal dan waktu aplikasi yang efektif dari herbisida
Topshot 60 OD yang selektif terhadap tanaman padi dan efektif dalam
mengendalikan gulma yang umum tumbuh di Indonesia.
2. Mengetahui efikasi herbisida Topshot 60 OD dibandingkan dengan herbisida
Tigold, Nominee, Ricestar-Xtra, Clipper dan Clincher.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sidrap, terbagi atas dua unit
percobaan yaitu di Desa Tonronge Kecamatan Baranti dan Desa Lanrang
Kecamatan Panca Rijang, berlangsung dari September hingga Desember 2012.
Penanaman pada lokasi Tonronge berlansung pada tanggal 28 Nopember 2012
dan penanaman pada lokasi Lanrang, tanggal 9 Desember 2012.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi campuran herbisida
cyhalofop- butyl 50 g L-1 + penoxulam 10 g L-1 (Topshot 60 OD), bahan aktif
cyhalofop-butyl (Clincher 100 EC), bahan aktif penoxulam (Clipper 25 OD),
fenoksaprop –P-Etil (Ricestar-Xtra), bahan aktif 105.5 g/L Byspribac sodium
(Nominee) dan herbisida Tigold.
Rancangan Penelitian
Penelitian disusun dalam bentuk rancangan acak kelompok. Aplikasi
herbisida dilaksanakan pada 7, 10, 12 dan 15 Hari Setelah Sebar (HSS),sehingga
terdapat 15 unit perlakuan.
Tabel 1. Waktu aplikasi, perlakuan, dan dosis herbisida pada 7, 10, 12 dan 15
Hari Setelah Sebar (HSS)
Waktu Aplikasi
7
7
10
10
10
10
12
12
12
15
15
15
15
15
0
Perlakuan
Topshot 60 OD
Topshot 60 OD
Topshot 60 OD
Topshot 60 OD
TiGold 10 WP
Topshot 60 OD
Topshot 60 OD
Topshot 60 OD
Nominee SC100
Topshot 60 OD
Topshot 60 OD
Ricestar-Xtra OD89
Nominee SC100
Clipper + Clincher ( 25OD + 100 EC)
Kontrol
Dosis (ml/ha)
1000
1500
1250
1500
600
300
1250
1500
300
1250
1500
500
300
600 + 1000
0
861
Setiap perlakuan di ulang 3 kali dengan ukuran plot 4 x 5 m (20 m2).
Varietas padi yang digunakan yakni Inpari 9. Metode aplikasi Foliar spray 320
L/ha. Pengamatan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh. Jenis gulma yang
diamati adalah: E. cruss-galli (ECHCG), Leptochloa chinensis (LEFCH), Cyperus
difformis (CYPDI), Fimbristylis miliacea (FIMMI), Spenochlea zeylanica (SPDZE),
Ludwigia octovalvis (LUDOC), Monochoria vaginalis (MOOVA), Marsilea minuta
(MASMI), dan Cyperus sp (CYPIR). Peubah yang diamati adalah:
1. Tingkat keracunan (visual) tanaman padi pada 3, 7, 14 dan 28 HSA (Hari
Setelah Aplikasi). Jika keracunan masih terlihat, terus diamati hingga gejala
keracunan tidak terlihat. Tingkat keracunan disusun menjadi 1-9 skala.
Tabel 2. Gejala keracunan pada setiap skala
Tingkat
keracunan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gejala
Tanaman sehat, tidak tampak gejala keracunan ataupun kelihatan
terhambat pertumbuhannya.
Keracunan sangat kecil, tampak sedikit terhambat
Tanaman sedikit keracunan, (daun sedikit berubah, pucuk
terbakar), tanaman pulih setelah 3-5 hari
Tampak sekali tingkat keracunannya, terhambat, daun
kering/menguning, hilangnya klorofil, pulih sekitar 5-7 hari , tidak
tampak akan menunjukkkan kehilangan hasil
Tampak sekali tingkat keracunannya, serious terhambat,
abnormal, recovery lambat > 7 hari, yield loss bakal terjadi
Keracunan tinggi, tanaman tidak tumbuh atau tumbuh sangat
merana, absolut akan kehilangan hasil
Keracunan tinggi, sebagian tanaman mati, kerdil dan yakin sekali
akan kehilangan hasil
Keracunan sangat tinggi, hampir sedikit sekali tanaman yang
hidup setelah aplikasi
Seluruh tanaman mati segera setelah aplikasi
2. Pengendalian gulma per species (% visual pengurangan biomass vs kontrol)
pada 15 dan 30 Hari Setelah Sebar (HSA). Persentase dari kontrol efikasi
untuk setiap jenis gulma dihitung dengan mengggunakan rumus:
% Kontrol = ( (NUT-NT)/ NUT * 100
Dimana:
NUT = Jumlah gulma pada kontrol (tanpa perlakuan)
NT = Jumlah gulma pada plot perlakuan
Analsis Data
Data hasil pengamatan Kontrol efikasi herbisida pada pengamatan 15
dan 30 HSA dianalisis sidik ragam (Anova) dengan menggunakan program
SAS,9.0. Perbedaan antar setiap perlakuan dianalisis lanjut dengan metode uji
berganda Duncan 5 %.
862
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Keracunan
Lokasi Desa Tonronge
Tingkat keracunan berdasarkan gejala yang terlihat pada tanaman padi
yang diamati pada hari ke- 3, 7, 14 dan 28 hari setelah aplikasi (HSA) disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Gejala keracunan yang tampak secara visual pada tanaman padi di
pengamatan 3, 7, 14 dan 28 hari setelah aplikasi (HSA). Lokasi Desa
Tonronge
Waktu
Aplikasi
7
7
10
10
10
10
12
12
12
15
15
15
15
15
0
Perlakuan
Topshot (1000 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
TiGold (600 ml/ha)
Topshot (300 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Topshot(1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Ricestar-Xtra(500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Clipper + Clincher (1000 + 1000 ml/ha)
Kontrol
Pengamatan (HSA)
3
7
14
1.3
1
1
1
1.6
1.3
1
2
1
1.3
2
1
1
2
1
1
2
1
1
2
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
2
3
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
28
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Secara umum tidak nampak adanya gejala keracunan pada tanaman padi
yang diamati. Pengamatan 7 hari setelah aplikasi terlihat adanya gejala
keracunan ringan pada tanaman padi di semua plot perlakuan herbisida, gejala
yang terlihat, tanaman padi mengalami sedikit hambatan inhibisi berupa adanya
titik seperti agak terbakar pada daun, namun pada pengamatan selanjuntya (14
dan 28 HSA) tanaman padi sudah mulai segar kembali, sehingga dapat
dinyatakan bahwa jenis dan dosis herbisida serta waktu aplikasi yang diberikan
mampunyai selektifitas yang tinggi terhadap tanaman pokok sehingga tidak
mengakibatkan keracunan pada tanaman padi.
Lokasi Desa Lanrang
Gejala keracunan ringan terlihat hanya pada pengamatan 3 dan 7 hari
setelah aplikasi (HSA) Tabel 4. Dilihat dari persentasenya keracunan yang
terlihat sedikit lebih berat dibandingkan pada lokasi pengujian di Tonronge,
namun pada pengamatan selanjutnya (14 dan 28 HSA) tanaman sudah segar
kembali sehingga dapat dinyatakan pula bahwa pada lokasi ini semua jenis serta
dosis dan waktu aplikasi herbisida yang diberikan bersifat selektif pada tanaman
padi sehingga tidak menimbulkan keracunan. Hal ini berarti herbisida-herbisida
tersebut aman digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman padi sistem
tabela.
863
Tabel 4. Gejala keracunan yang tampak secara visual pada tanaman padi di
pengamatan 3, 7, 14 dan 28 hari setelah aplikasi (HSA). Lokasi Desa
Lanrang
Waktu
Aplikasi
7
7
10
10
10
10
12
12
12
15
15
15
15
15
0
Perlakuan
Topshot (1000 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
TiGold (600 ml/ha)
Topshot (300 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Topshot(1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Ricestar-Xtra(500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Clipper + Clincher (1000 + 1000 ml/ha)
Kontrol
Pengamatan (HSA)
3
7
14
1
1.6
1
1.3
2
1
1.6
2
1
2
2
1
2
2.6
1
1
1.6
1
1
2
1
1
2.6
1
1
3
1
1
1.6
1
1
2
1
1.6
1
1
1.6
1
1
1.3
1.6
1
1
1
1
28
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Kontrol Efikasi
Lokasi Desa Tonronge
Kemampuan suatu herbisida dalam mengendalikan gulma sasaran dapat
dilihat dari nilai kontrol efikasinya. Kontrol efikasi menggambarkan persentase
pengurangan biomassa gulma karena penggunaan herbisida dibandingkan
dengan kontrol atau tanpa pemberian herbisida. Semakin besar nilai kontrol
efikasi dari suatu herbisida menunjukkkan semakin efektif herbisida tersebut
dalam mengendalikan gulma sasaran. Kontrol efikasi herbisida topshot yang
diaplikasikan pada waktu 7, 10, 12 dan 15 hari setelah sebar di lokasi pengujian
desa Tonronge disajikan pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 15
Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Tonronge
Kontrol Efikasi
Waktu
Aplikasi
Perlakuan
E.
crusgally
L.
chinensis
Cyperus
Sp.
F.
miliceae
S.
zeilanica
M.
vaginalis
7
7
10
10
10
10
12
12
12
15
15
Topshot (1000 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
TiGold (600 ml/ha)
Topshot (300 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Topshot(1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
864
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
Lanjutan…
Waktu
Aplikasi
Perlakuan
Kontrol Efikasi
E.
crusgally
L.
chinensis
Cyperus
Sp.
F.
miliceae
S.
zeilanica
M.
vaginalis
15
RicestarXtra(500ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Clipper + Clincher
(1000 + 1000 ml/ha)
Kontrol
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.91 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.76 a
9.76 a
10.05 a
10.05 a
9.44 a
9.44 a
1.00 b
1.00 b
1.00 b
15
15
0
1.00 b
1.00 b
1.00 b
Tabel 6. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 30
Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Tonronge
Waktu
Aplikasi
7
7
10
10
10
10
12
12
12
15
15
15
15
15
0
Kontrol Efikasi
Perlakuan
E.
crusgally
L.
chinensis
Cyperus
Sp.
F.
miliceae
S.
zeilanica
M.
vaginalis
Topshot (1000 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
TiGold (600 ml/ha)
Topshot (300 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Topshot(1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Ricestar-Xtra(500
ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Clipper + Clincher
(1000 + 1000 ml/ha)
Kontrol
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.70ab
10.05 a
8.83 b
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
8.40 b
10.05 a
10.05 a
9.10 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.85 a
9.19 a
10.05 a
10.05 a
9.19 a
9.94 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.93 a
9.93 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.93 a
10.05 a
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.08 a
9.08 a
9.08 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.08 ab
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
7.033 a
7.033 a
9.60 a
10.05 a
1.00 c
1.00 c
1.00 b
1.00 b
1.00 b
1.00 b
Pada Tabel 5 dan 6, herbisida Topshot 60 OD yang diaplikasikan pada
berbagai dosis dan waktu aplikasi yang berbeda berdasarkan hasil uji lanjut,
memperlihatkan kontrol efikasi yang tidak berbeda dengan herbisida lainnya
(Ricestar-Extra, Nominee, Tigold) dalam mengendalikan gulma E.crusgally,
Cyperus Sp., F.miliceae, S.zeilanica dan M. vaginalis. Hal ini berarti herbisida
topshot yang diaplikasikan pada berbagai dosis dan waktu aplikasi yang berbeda
mempunyai efektifitas yang sama dengan herbisida lainnya dalam
mengendalikan gulma-gulma tersebut.
Terlihat pula bahwa semua jenis
herbisida yang diberikan menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol.
Topshot 60 OD adalah herbisida yang terdiri dari dua bahan bahan aktif
yang berbeda yaitu Penoxsulam dan Cyhalofop-butyl. Penoxsulam merupakan
herbisida grup Triazolopyrimidines sulfonamide, bekerja menghambat enzim
acetolactate synthase (ALS), memiliki spektrum luas, diabsorbsi oleh gulma
terutama melalui daun, dan sebagian kecil melalui akar dan ditranslokasikan.
Rumus kimiadari penoksulam adalah C16H14F5N5O5S. Penoxsulam merupakan
herbisida post emergence yang digunakan pada tanaman padi untuk
mengendalikan gulma teki, gulma daun lebar, gulma air, dan rumputrumputan
865
tertentu. Sedangkan Cyhalofop-butyl merupakan herbisida post emergence untuk
gulma golongan rumput-rumputan. Cyhalofop-butyl merupakan herbisida grup
Aryloxyphenoxypropionate dengan rumus formula C16H12FNO4 yang bekerja
menghambat ACCase (acetyl CoA carboxylase) (Weed Science, 2011).
Lokasi Desa Lanrang
Hasil analisis analisis statistik menunjukkan perbedaan nyata di antara
semua jenis herbisida dan waktu aplikasi yang diberikan jika dibandingkan
dengan kontrol, tetapi terdapat perbedaan antara herbisida topshot pada
berbagai dosis dan waktu aplikasi dan antara herbisida topshot dengan herbisida
lainnya, baik pada pengamatan 15 Hari Setelah Aplikasi (HSA) maupun pada
pengamatan 30 Hari Setelah Aplikasi (HSA) (Tabel 7 dan Tabel 8).
Tabel 7. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 15
Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Lanrang
Waktu
Aplikasi
7
7
10
10
10
10
12
12
12
15
15
15
15
15
0
Kontrol Efikasi
Perlakuan
E.
crusgally
L.
chinensis
Cyperus
Sp.
F.
miliceae
Topshot (1000 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
TiGold (600 ml/ha)
Topshot (300 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Topshot(1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Ricestar-Xtra(500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Clipper + Clincher (1000
+ 1000 ml/ha)
Kontrol
5.570
6.730
8.736
10.05
9.340
9.570
9.340
9.537
7.923
10.05
9.837
9.590
8.950
6.453
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
10.05
9.906
10.05
7.436
9.973
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
7.033
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
8.50 b
10.05 a
10.05 a
1.00 e
d
bdc
bac
a
bac
bac
bac
bac
bdac
a
a
bac
bac
dc
1.00 c
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
b
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
1.00 b
1.00 c
Tabel 7 menunjukkan herbisida topshot dengan dosis 1250 ml/ha dan
1500 ml/ha yang diaplikasikan pada 10, 12, 15 HAS, memiliki efektivitas yang
sama dalam mengendalikan gulma E. crusgally dan berbeda nyata dengan
herbisida topshot dengan dosis 1000 ml/ha pada aplikasi 7 HST. Hal ini
menunjukkan, herbisida topshot dengan dosis 1250 ml/ha dan dosis 1500 ml/ha
dapat digunakan untuk mengendalikan gulma E. crusgally dengan waktu aplikasi
10, 12 dan 15 hari setelah tebar benih padi tabela. Efektivitas yang sama juga
diperlihatkan oleh herbisida Tigold, Nominee, dan Ricestar X-tra. Herbisida
Topshot pada berbagai dosis dan waktu aplikasi juga efektif mengendalikan
gulma L.chinensis, Cyperus sp. dan F. miliceae. Efektifitas yang sama juga
diperlihatkan oleh herbisida Tigold, Ricestar-xtra dalam mengendalikan gulma L.
chinensis, dan herbisida Tigold, Nominee dalam mengendalikan gulma F.miliceae.
866
Tabel 8. Kontrol efikasi herbisida terhadap gulma sasaran pada pengamatan 30
Hari Setelah Aplikasi (HSA), lokasi desa Lanrang
Waktu
Aplikasi
7
7
10
10
10
10
12
12
12
15
15
15
15
15
0
Kontrol Efikasi
Perlakuan
E.
crusgally
L.
chinensis
Cyperus Sp.
F.
miliceae
Topshot (1000 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
TiGold (600 ml/ha)
Topshot (300 ml/ha)
Topshot (1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Topshot(1250 ml/ha)
Topshot (1500 ml/ha)
Ricestar-Xtra(500 ml/ha)
Nominee(300 ml/ha)
Clipper + Clincher (600 +
1000 ml/ha)
Kontrol
9.83 a
9.83 a
10.05 a
9.92 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.76 a
8.39 a
9.44 a
5.76 b
8.90 b
10.02 a
10.05 a
10.05 a
9.95 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.70 ab
10.05 a
10.05 a
9.55 ab
10.05 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
7.033 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
10.05 a
9.08 ab
8.63 ab
7.85 b
1.00 c
1.00 c
1.00 b
1.00 c
Herbisida topshot pada berbagai dosis dan waktu aplikasi pada
pengamatan 30 HST memperlihatkan efektifitas yang sama dalam
mengendalikan gulma E.crusgally, Cyperus Sp. Dan F.miliceae, sedangkan
terhadap gulma L.chinensis efektif pada dosis 1250 ml/ha dan 1500 ml/ha pada
berbagai waktu aplikasi.
Efeketifitas topshot hanya berbeda dengan herbisida
Clipper + Clincer dalam mengendalikan E.crusgally. Demikian juga antara
herbisida topshot dosis 1000 ml/ha yang diaplikasikan pada 7 HST tidak
menunjukkan perbedaan dengan herbisida nominee dosis 300 ml/ha dengan
aplikasi 15 HST.
Herbisida Ricestar-xtra,Nominee dan Clipper + Clincer
memperlihatkan efektivitas yang sama dalam mengendalikan gulma F.miliceae.
Herbisida topshot berbahan aktif sihalofop-Butyl 50 g/l/ penoksulam 10
g/l. Herbisida ini bersifat sistemik. Dosis rekomendasi 0,75- 1,5 ltr/ha dengan
waktu aplikasi 10-15 HST. gulma sasaran Ludwigia octovalvis, Alternantera
philoxeroides, L.chinensis, E.crusgally, Cyperus iria dan Fimbristilis miliceae.
Herbisida Clincer berbahan aktif sihalofop, Clipper berbahan aktif penoksulam
dan herbsida ricestra-xtra berbahan aktif fenoksaprop –P-Etil. Pengujian di
lapangan memperlihatkan bahwa herbisida tersebut efektif dalam mengendalikan
beberapa spesies gulma yang tumbuh pada pertanaman padi sawah sistem
tabela. Pane dan Sigit (2008) menyatakan bahwa pada pertanaman padi sistem
tabela dan pertanaman padi gogo dengan sistem tabela kering (dry seeding)
herbisida sihalofop, fenoksaprop-P-etil, oksadyagril, oksadiason dan lain-lain
dapat dipakai dalam pengendalian gulma, namun di dalam pemakaiannya perlu
diperhatikan dosis, waktu aplikasi dan cara aplikasinya. Kim (1996) dalam Pane
dan Sigit (2008) menyarankan bahwa untuk menghindari terjadinya resistensi
gulma terhadap herbisida tertentu dianjurkan untuk memakai herbisida yang
mempunyai lebih dari satu bahan aktif.
Herbisida Topshot tersusun atas dua bahan aktif yaitu sihalofop-Butyl 50
g/l/ penoksulam 10 g/l. Perkembangan teknologi pencampuran herbisida dengan
bahan aktif berbeda bertujuan untuk mendapatkan spektrum pengendalian yang
lebih luas, serta diharapkan dapat memperlambat timbulnya gulma yang resisten
867
terhadap herbisida, mengurangi biaya produksi, serta mengurangi residu
herbisida. Salah satu hal yang harus dicermati dalam pencampuran herbisida
adalah apakah campuran tersebut bersifat antagonistik atau tidak. Jika campuran
herbisida tersebut bersifat antagonis, maka pengendalian gulma dengan
herbisida campuran tersebut tidak akan efektif. Oleh karena itu, suatu campuran
herbisida perlu diuji sifat aktivitasnya, dan ini ditentukan oleh jenis formulasi,
cara kerja dan jenis-jenis gulma yang dikendalikan (Guntoro dan Fitri, 2013).
Periode kritis persaingan gulma pada tanaman padi umumnya terjadi
sampai 40 hari pertama dari siklus hidupnya. Pada fase ini kanopi tanaman
belum menutup, intensitas cahaya ke permukaan tanah masih tinggi sehingga
biji-biji gulma berkecambah dan tumbuh lebih cepat dari tanaman padi.
Pertumbuhan gulma pada periode tersebut, biasanya tidak menyebabkan tingkat
persaingan dan penurunan hasil yang nyata.
Nyarko dan De Datta (1991)
menyatakan bahwa gulma jajagoan sangat peka terhadap naungan, sehingga
bila kanopi padi menutupi permukaan tanah, maka gulma tersebut akan kalah
bersaing dengan tanaman padi. Sebaliknya pada pertanaman padi sistem tabela
pertumbuhan gulma akan lebih cepat menyaingi tanaman padi, oleh karena itu
diperlukan pemilihan herbisida yang tepat waktu aplikasinya agar pertumbuhan
gulma dapat ditekan lebih awal.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Terdapat gejala keracunan ringan pada 3- 7 hari dan tidak ada lagi gejala
keracunan pada pengamatan 14 dan 28 hari untuk semua dosis dan jenis
herbisida yang diaplikasikan baik pada waktu aplikasi 10,12 dan 14 Hari
setelah tabela (HST).
2. Di lokasi pengujian desa Tonronge, herbisida Topshot dengan dosis 1000
ml/ha, 1250 ml/ dan 1500 ml/ha yang diaplikasikan pada 7, 10, 12 dan 15
hari setelah tabela (HST) efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally,
L.chinensis, Cyperus Sp. F.miliceae, S.zeilanica dan M.vagininalis.
3. Di lokasi pengujian desa Lanrang, herbisida Topshot dengan dosis 1250 dan
1500 ml/ha lebih efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally dan
L.chinensis, sedangkan terhadap gulma Cyperus Sp dan F.miliceae efektif
dikendalikan dengan herbisida topshot baik dengan dosis 1000, 1250 dan
1500 ml/ha dengan aplikasi 7, 10, 12 dan 15 HST.
4. Herbisida Tigold, Nominee 300 ml/ha, Ricestra-xtra dan herbisida Clipper +
Clincer juga efektif dalam mengendalikan gulma E.crusgally, L.chinensis,
Cyperus Sp, S.zeilanica, F.miliceae dan M.vaginalis baik di unit percobaan
desa Tonronge maupun desa Lanrang.
868
SARAN
Herbisida topshot dengan berbagai dosis dan waktu aplikasi yang
berbeda menunjukkan efektifitas yang tidak berbeda secara statistik, dosis 1250
ml/ha dengan waktu aplikasi 12 hari setelah sebar (HSS) memperlihatkan
efektifitas yang stabil di dua lokasi pengujian sehingga disarankan untuk
menggunakan dosis dan waktu aplikasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
De Datta, S.K. dan R.W. Herdt. 1983. “Weed Kontrol Technology in Irrigated
Rice”. Paper Presented at the Weed Kontrol in Rice Conference. IRRI.
Los Banos, Philippines, August 31-September 4, 1981 p.89-108.
Guntoro, D. dan T. Y. Fitri. 2013. Aktivitas Herbisida Campuran Bahan Aktif
Cyhalofop-Butyl dan Penoxsulam terhadap Beberapa Jenis Gulma Padi
Sawah. Bul. Agrohorti 1 (1) : 140 – 148. Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Purba, E. 2009. Keanekaragaman Herbisida dalam Pengendalian Gulma
Mengatasi Populasi Gulma Resisten dan Toleran Herbisida. Makalah
disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam
Bidang Ilmu Gulma pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara,
10ktober,2009. http://www.usu.ac.id. [diakses 14 September 2012].
Pane. 2003. Kendala dan Peluang Tabela di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian,
22(4), 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pane, H. dan S.Y. Jatmiko. 2008. Pengendalian Gulma Pada Tanaman Padi dalam
Padi Innovasi Teknologi Produksi, Buku 2, Editor Aan A. Daradjat, Agus
Setiyono, A. Karim Makarim dan Andi Hasanuddin. Balai Besar
Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal.
267 – 294.
Natasomsaran, P. dan K. Moody. 1993. “Weed Management for Rainfed LowLand Rice”. Paper to be Presented at The Secpnd Annual Technical
Meeting of the Rainfed Lowland Rice Consortium, Semarang, Indonesia,
10-13 Februari 1993.
Nyarko, K. dan De Datta. 1991. A. Handbook for Weed Kontrol In Rice. Manila,
Philiphines: IRRI.
Weedscience.
2011.
Herbicide
Resistant
Weed
Summary
http://www.weedscience. org. [September, 2013).
Table.
869
FLUKTUASI POPULASI Helicoverpa armigera Hubner SEBAGAI HAMA
TANAMAN JAGUNG DI KABUPATEN MAMUJU UTARA SULAWESI BARAT
Rahmatia Djamaluddin dan Suriany
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jalan Perintis Kemerdekaan Km,17,5 Sudiang, Makassar
Email: bptp_sulsel@yahoo.com
ABSTRAK
Hama utama pada berbagai daerah penghasil jagung adalah lalat bibit Atherigona sp.,
penggerek batang Ostrinia furnacalis, penggerek tongkol Helicoverpa armigera Hubner,
ulat gerayak (Mythimna sp. dan Spodoptera sp.). Penggerek tongkol Helicoverpa
armigera Hubner adalah serangga polifag yang sering ditemukan pada pertanaman
jagung. Infestasi serangga ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung.
Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan gambaran populasi penggerek tongkol
selama pertumbuhan tanaman pada musim tanam pertama dan kedua untuk
menentukan alternatif pengendalian yang efektif dan efisien. Pengkajian ini dilaksanakan
di desa Bambakoro, kecamatan Lariang adalah salah satu daerah sentra produksi jagung
di kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat pada musim tanam Mei hingga Agustus 2010
(MT I) dan September hingga Desember 2010 (MT II). Pengamatan dilakukan selang
seminggu selama pertumbuhan tanaman. Parameter yang diamati yaitu jumlah larva
penggerek tongkol jagung Helicoverpa armigara dan musuh alaminya yang ditemukan
pada tanaman terutama pada tongkol sebanyak 100 tanaman yang dipilih secara
acak.Penggerek tongkol H. armigera ditemukan dua generasi pada pertanaman ini.
Populasinya tidak terlalu besar, populasi tertinggi 83 ekor larva per 100 tanaman untuk
MT I dan 49 ekor larva per 100 tanaman pada MT II dan ditemukan pada pengamatan
kelima (8 MST) dan keenam (9 MST).Musuh alami yang ditemukan pada musim tanam I
(Mei – Agustus) puncak populasi musuh alami (Orius sp., Chrysopa sp., dan laba-laba)
ditemukan pada minggu ke-8 sedangkan pada musim tanam II (September – Desember)
ditemukan populasi Orius sp. dan laba-laba, puncak populasinya pada minggu ke-5 dan
Chrysopa sp. pada minggu ke-8.
Kata kunci: Fluktuasi, hama tanaman, jagung
PENDAHULUAN
Kendala biotik dalam produksi jagung meliputi gangguan yang
disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT), salah satunya adalah
hama (Subandi et al., 1988). Hama jagung diketahui menyerang pada seluruh
fase pertumbuhan tanaman jagung, baik vegetative maupun generative. Hama
utama pada berbagai daerah penghasil jagung adalah lalat bibit, Atherigona sp.,
penggerek batang, Ostrinia furnacalis, penggerek tongkol Helicoverpa armigera,
ulat grayak (Mythimna sp., dan Spodoptera sp.), dan tikus (Baco et al., 1988).
Hama utama pada tanaman jagung adalah penggerek tongkol
Helicoverpa armigera Hubner (Baco dan Tandiabang, 1988; Manti, 1986; dan
Anonim, 1989) karena sering dijumpai di lapangan sejak saat tanaman mulai
tumbuh sampai dengan stadia pengisian biji pada tongkol dan bunga jantan tidak
terbentuk sempurna.
870
Serangga hama ini bersifat polifag yang sering ditemukan pada
pertanaman jagung dan dilaporkan bahwa serangga ini merupakan hama utama
dari tanaman jagung. Selain tanaman jagung H. armigera juga dapat ditemukan
pada tanaman kapas, tembakau, sorgum, kentang, tomat dan kacang-kacangan
(Kalshoven, 1981).
Di Sulawesi Selatan, hama ini selalu ditemukan dengan densitas populasi
yang cukup tinggi pada pertanaman petani di beberapa lokasi pertanaman petani
seperti Barru, Soppeng, Wajo, Palopo dan Bulukumba (Direktorat Jenderal
Perlindungan Tanaman Pangan, 1989). Imago betina H. armigera meletakkan
telur pada pucuk tanaman dan bilamana tongkol sudah mulai keluar maka telur
tersebut diletakkan pada rambut jagung, sesaat setelah mnetas larva akan
menginvasi masuk ke dalam rongkol dan akan memakan biji yang sedang
mengalami perkembangan. Infestasi serangga ini akan menurunkan kualitas dan
kuantitas tongkol jagung.
Penanaman jagung secara monokultur yang dilakukan beruntun dari
musim ke musim, memperkecil keragaman organisme dan dapat mengakibatkan
ledakan populasi hama, sedangkan pada pertanaman ganda serangan hama
lebih rendah karena adanya diversifikasi tanaman. Interaksi organism di dalam
pertanaman ganda berlangsung dalam bentuk fisik maaupun interferensi biologis
(Emden dan Williams, 1974).
Diketahuinya fluktuasi populasi hamatanaman jagung serta faktor utama
yang menyebabkannya akan menjadi masukan yang merupakan dasar dalam
merakit pengendalian hama tersebut secara efisien.
METODOLOGI
Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Bambakoro, Kecamatan Lariang,
yaitu salah satu sentra produksi jagung di Kabupaten Mamuju Utara provinsi
Sulawesi Barat pada MT Mei hingga Agustus 2010 (MT I) dan September hingga
Desember 2010 (MT II). Pennaman jagung dilakukan bersamaan dengan petani
di sekitarnya dengan menggunakan varietas jagung hibrida Bisi 2. Luas
pertanaman petani yang diamati 0,5 ha dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, dan
2 biji perlubang tanam. Pemupukan dilakukan dengan dosis 200 kg Urea, 100 kg
SP36, dan 100 kg KCl per ha. Pengamatan dilakukan selang seminggu selama
pertumbuhan tanaman. Parameter yang di amati yaitu jumlah larva penggerek
tongkol jagung Helicoverpa armigera dam musuh alami yang ditemukan pada
tanaman terutama pada tongkol sebanyak 100 tanaman yang dipilih secara acak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggerek tongkol H. armigera ditemukan dua generasi pada pertanaman
ini. Populasinya tidak terlalu besar. Populasi tertinggi hanya 83 ekor larva untuk
MT I dan 49 ekor larva pada MT II per 100 tanaman yaitu pada pengamatan
kelima (8 MST) dan pengamatan keenam (9 MST). Fluktuasi populasi larva
penggerek tongkol yang ditemukan selama MT I dan MT II, disajikan dalam
Gambar 1.
871
Kondisi ini kemungkinan besar disebabkan tingginya populsi predator
seperti Chrysopa sp., Orius sp. dan laba-laba ( Gambar 2 dan 3). Telur H.
armigera yang biasanya diletakkan di rambut jagung terpredasi oleh Orius sp.
yang jug selalu ada di rambut jagung. Sedang telur-telur yang diletakkan di
permukaan daun atau di batang dimangsa oleh larva dari Chrysopa sp.
Gambar 1. Fluktuasi populasi H. armigera pada tanaman jagung 4 12 MST.
Serangan penggerek tongkol terjadi baik pada pertumbuhan vegetatif
maupun generatif. Pada fase pertumbuhan vegetative hama ini menyerang titik
tumbuh, pada serangan yang berat, tanaman akan mati. Pada kajian ini keadaan
tidak terjadi karena baik telur maupun larva awal terperadasi oleh Orius sp.
yang populasinya cukup tinggi pada awal pertumbuhan. Serangan penggerek
tongkol pada umur lanjut hanya menyebabkan kerusakan pada ujung tongkol.
Kondisi ini juga terjadi pada musim tanam II (MT II) dan terlihat puncak populasi
penggerek tongkol lebih rendah dari puncak populasi penggerek tongkol MT I.
Gambar 2. Gambaran populasi musuh alami yang ditemukan di lapang pada MT I
( Mei – Agustus 2010)
872
Gambar 3. Gambaran populasi musuh alami yang ditemukan di lapang pada MT
II ( September – Desember 2010).
Pada gambar terlihat bahwa populasi laba-laba dan Orius sp. hanya
mencapai puncak pada minggu ke-5 (5 MST) sebesar 31 ekor sedangkan
Chrysopa sp. pada minggu ke 8 ditemukan 78 ekor larva per 100 tanaman.
Kondisi ini kemungkinan besar menyebabkan rendahnya populasi penggerek
tongkol karena telur H.armigera yang biasanya diletakkan di rambut jagung
terpredasi oleh Orius sp. yang juga selalu ada di rambut jagung. Sedang telurtelur yang diletakkan di permukaan daun atau di batang, dimangsa oleh larva
dari Chrysopa sp. Serangan penggerek tongkol terjadi baik pada pertumbuhan
vegetatif maupun generatif. Pada fase pertumbuhan vegetatif hama ini
menyerang titik tumbuh, pada serangan yang berat tanaman akan mati. Dilain
pihak serangan penggerek tongkol pada umur lanjut hanya menyebabkan
kerusakan pada ujung tongkol.
KESIMPULAN


Penggerek tongkol H. armigera ditemukan dua generasi pada pertanaman
ini. Populasi tertinggi hanya mencapai 83 ekor per 100 tanaman untuk MT I
dan 49 ekor per 100 tanaman pada MT II yaitu pada pengamatan kelima (8
MST) dan keenam (9 MST).
Pada musim tanam I ( Mei – Agustus) puncak populasi musuh alami (Orius
sp., Chrysopa sp. dan laba-laba) ditemukan pada minggu ke-8 sedangkan
pada musim tanam II (September – Deseber) ditemukan populasi Orius sp.
dan Laba-laba, puncak populasinya pada minggu ke 5 dan Chrysopa sp. pada
minggu ke-8.
873
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1989. Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi
dan Palawija di Indonesia. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman
Pangan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
Baco,D., J. Tandiabang, and W.Wakman. 1988. Pest and Diseases of Maize in
Indonesia: Status and Research Needs.Rest.Inst. Of Maize and Other
Cereals. Maros. 12 p.
Baco,D., dan J. Tandiabang. 1988. Hama Utama Jagung dan Pengendalian
Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
P. 185 – 204.
Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan, 1989. Rekomendasi
Pengendalian Jasad Pengganggu Tanaman di Indonesia. Direktorat
Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.
Kalshoven, LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Jakarta. 701 p.
Manti, I. 1986. Pengaruh Waktu Aplikasi Insektisida Terhadap Hama Jagung di
Lundang Sumatra Barat. Pemberitaan Penelitian Sukarami. Badan
Litbang Pertanian. Balittan Sukarami. Hal. 20 – 24.
Subandi, I., Manwan, and A. Blumenschein. 1988. National Coordinated Research
Program on Corn. Central Research Institute for Food Crops. Agency for
Agricultural Research and Development.
Emden, H.F. van and Williams, G.F. 1974. Insect Stability and Diversity in AgroEcosystems. Ann. Rev. Ent. 19, 455-75. Fox, LR (1975). Factors
Influencing Cannibalism, a Mechanism of Population
Limitation in The Predator Notonecta hoffmanni. Ecology (In press).
Page 13.
874
HASIL BIJI DAN DAYA ADAPTASI GALUR HARAPAN KEDELAI
PADA LINGKUNGAN OPTIMAL
M. Muchlish Adie, Ayda Krisnawati, dan Didik Harnowo
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Jl. Raya Kendalpayak km 8 PO Box 66 Malang
Email: mm_adie@yahoo.com
ABSTRAK
Kedelai di lahan sawah masih menjadi penyumbang terbesar terhadap kebutuhan
nasional. Sebanyak10 galur kedelai (SHRW60/100H-21-16-33-9; SHRW60/100-36-4745-16; SHRW60/100-37-4-46-17; SHRW60/100-37-4-47-18; SHRW60/100-39-5-48-19;
SHRW60/100H-154-131-36-78-1; SHRW60/100H-136-42-160-33; SHRW60/100H-154131-36-78-2; A/W-C-6-60; dan A/W-C-6-62), dan dua varietas pembanding (Burangrang
dan Anjasmoro) diuji potensi hasil bijinya di Madiun (2 lokasi), Sragen (2 lokasi), dan
Cianjur (2 lokasi) pada MK 2010. Rancangan percobaan yang digunakan di setiap lokasi
penelitian adalah rancangan acak kelompok, 12 perlakuan dan setiap perlakuan diulang
empat kali. Sidik ragam tergabung diperoleh interaksi yang nyata antara genotipe dan
lingkungan (G x L) untuk karakter tinggi tanaman, jumlah polong hampa, berat 100 biji
dan hasil biji. Sedangkan lokasi dan galur berpengaruh nyata terhadap sifat umur
masak, tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, berat
biji/tanaman, berat 100 biji dan hasil biji. Varietas pembanding Burangrang dan
Anjasmoro masing-masing mampu berproduksi 2.60 dan 2.30 t/ha, dan dari 10 galur
yang diuji, Aochi/W.C.6.62, mampu berproduksi tertinggi yakni 2.45 t/ha. Galur
Aochi/W.C.6.62 memiliki hasil biji lebih tinggi dibandingkan varietas Anjasmoro, dan
tergolong stabil hasil bijinya. Karakteristik dari galur Aochi/W.C.6.62 adalah memiliki
umur masak sebanding dengan Burangrang dan lebih genjah dibandingkan Anjasmoro.
Kata kunci: Galur, lahan optimal, daya adaptasi, stabilitas
PENDAHULUAN
Lahan optimal identik dengan lahan sawah, masih berpotensi sebagai
penyumbang terbesar terhadap kebutuhan kedelai nasional dibandingkan dengan
kedelai yang dihasilkan dari lahan tegal. Penyebabnya adalah (1) Kedelai di
lahan sawah hampir tidak berkendala keharaan tanah, (2) Berdekatan dengan
industri berbahan baku kedelaibaik untuk bahan baku pangan maupun pakan,
dan (3) Produktivitas per satuan luas relatif tinggi. Pada lahan sawah, kedelai
dibudidayakan pada musim terakhir, mengikuti pola tanam padi – padi – kedelai.
Varietas kedelai yang diperlukan pada lahan optimal yaitu yang berdaya
hasil tinggi dan beradaptasi luas, sehingga dapat dibudidayakan di berbagai
agroekosistem. Adaptasi varietas diartikan ragam hasil yang konsisten tinggi
pada lintas lokasi sepanjang waktu. Semakin maju usaha perbaikan varietas di
suatu negara, semakin spesifik batas adaptasi dari varietas unggul yang
dianjurkan. Penggunaan varietas unggul di daerah yang luas dengan agroekologi
yang beragam, akan memberikan kerugian akibat adanya adaptasi yang kurang
optimal karena tidak termanfaatkannya interaksi genotipe x lngkungan (G x L).
875
Pengujian sejumlah genotipe kedelai di berbagai lingkungan hampir selalu
diperoleh interaksi G x L (Alghamdi 2004; Arsyad dan Nur 2006; Krisnawati dan
Adie 2008; Jandong et al. 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa setiap galur
memiliki batas adaptasi, dengan kata lain menunjukkan gagalnya setiap galur
untuk berpenampilan konsisten baik, khususnya hasil biji, pada semua
lingkungan. Peran genotipe, lingkungan dan interaksinya masih menjadi kajian
yang menarik bagi pemulia tanaman, khususnya dalam mempengaruhi hasil biji
kedelai. Ashraf (2010) mengidentifikasi lebih pentingnya faktor lingkungan
(95,80%)dalam menentukan hasil biji kedelai dibandingkan dengan peran
genotipe yang hanya berkonstribusi sebesar 80,84% maupun G x L sebesar
60,86%.
Uji daya hasil genotipe kedelai di berbagai sentra produksi di Indonesia,
juga menunjukkan bahwa lingkungan, berkonstribusi sebesar 48,8%; lebih tinggi
dibandingkan dengan kontribusi G x L sebesar 16% maupun genotipe sebesar
7,4% (Susanto dan Adie 2010). Sedangkan Adie et al. (2013) juga
mengindikasikan besarnya peran lingkungan ditunjukkan oleh dugaan komponen
ragam lingkungan (δ2L = 0,0604) adalah paling besar, kemudian diikuti oleh
besaran ragam galat (δ2E = 0,0470), ragam galur (δ2G = 0,0258) dan yang
terkecil adalah dugaan ragam interaksi G x L yakni sebesar δ2GL =
0,0225.Ekspresivitas hasil biji kedelai memang ditentukan oleh interaksi antara
genotipe, lingkungan dan pengelolaan tanaman (G x L x M).
Beberapa varietas kedelai yang dilepas setelah tahun 2000 di Indonesia
memiliki potensi hasil di atas 3 t/ha (Badan Litbang Pertanian, 2011). Potensi
hasil diartikan kemampuan maksimum dari suatu varietas yang ditumbuhkan
pada lingkungan yang optimal, yang diperoleh saat uji adaptasi galur harapan.
Ekspresivitas hasil biji dari varietas, terutama pada skala budidaya oleh petani,
selanjutnya ditentukan oleh faktor lingkungan dan pengelolaan tanaman.
Rendahnya hasil kedelai sebagaian besar memnag disebabkan oleh faktor
lingkungan dan pengelolaan. Tyagi (2013) dari hasil uji daya hasil terhadap 40
genotipe kedelai di delapan lokasi di India berhasil mengidentifikasi bahwa faktor
lingkungan paling mennetukan adalah pengolahan tanah dan pemupukan
nitrogen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi daya hasil dan
memetakan daya adaptasi dari masing-masing galur harapan kedelai.
METODOLOGI
Bahan penelitian terdiri dari 10 galur harapan kedelai
yaitu
SHRW60/100H-21-16-33-9; SHRW60/100-36-47-45-16; SHRW60/100-37-4-4617; SHRW60/100-37-4-47-18; SHRW60/100-39-5-48-19; SHRW60/100H-154131-36-78-1; SHRW60/100H-136-42-160-33; SHRW60/100H-154-131-36-78-2;
A/W-C-6-60 dan A/W-C-6-62, dua varietas pembanding yaitu Burangrang
(berukuran biji besar berumur genjah) dan Anjasmoro (berukuran biji besar).
Penelitian dilakukan di enam sentra produksi kedelai yakni Madiun (2 lokasi),
Sragen (2 lokasi), dan Cianjur (2 lokasi), sehingga seluruhnya berjumlah 6 unit
penelitian. Penelitian dilakukan pada MK 2010. Rancangan percobaan yang
digunakan di setiap lokasi penelitian adalah rancangan acak kelompok, 12
perlakuan dan setiap perlakuan diulang empat kali. Ukuran petak 2,8 m x 4,5 m,
jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman per rumpun. Pemupukan dengan 50
876
kg Urea, 100 kg SP36 dan 75 kg KCl per ha diberikan secara sebar merata
sebelum tanam. Perawatan benih (seed treatment) dengan Marshal. Lahan yang
digunakan adalah lahan sawah bekas tanaman padi, sehingga tanpa dilakukan
olah tanah. Tanam dilakukan paling lambat lima hari setelah panen padi, dan
sebelum tanam dibuat saluran drainase dan
diaplikasikan herbisida.
Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan secara optimal. Data yang
diamati adalah hasil biji dan komponen hasil biji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sidik ragam tergabung terhadap 12 galur harapan yang diuji di enam
sentra produksi diperoleh interaksi yang nyata antara genotipe dan lingkungan
(G x L) untuk karakter tinggi tanaman, jumlah polong hampa, berat 100 biji dan
hasil biji. Sedangkan lokasi dan genotipe berpengaruh nyata terhadap seluruh
sifat yang diamati yakni umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabanag, jumlah
polong isi, jumlah polong hampa, berat biji/tanaman, berat 100 biji dan hasil biji
(Tabel 1). G x L yang nyata menunjukkan bahwa keragaan karakter tersebut
berbeda-beda pada lokasi yang digunakan, atau urutan keunggulan karakter
berbeda untuk setiap lokasi. Besaran KK beragam dari 1.13 hingga 35.26%. Nilai
KK untukhasilbijiadalah 15.51%.
Tabel 1.
Sidik ragam tergabung hasil dan komponen hasil dari 12 genotipe
kedelai pada enam lokasi, 2010
Sifat
Umurmasak (hr)
Tinggitanaman (cm)
Jumlahcabang/tanaman
Jumlahpolongisi/tanaman
Jumlahpolonghampa/tanaman
Beratbiji/tanaman (g)
Berat 100 biji (g)
Hasilbiji (t/ha)
Lokasi
263.685
2072.761
38.552
2474.933
69.266
118.106
17.887
4.925
Kuadrat Tengah
Genotipe
**
54.034 **
**
485.135 **
**
2.117 **
**
383.112 **
**
17.614 **
**
40.149 **
**
81.093 **
**
1.339 **
tn * dan ** = tidak nyata, nyata p=0.05, nyata p =0.01
GxL
0.806 tn
38.998 **
0.566 tn
95.140 tn
4.267 *
7.863 tn
2.768 *
0.144 *
KK
(%)
1.13
11.50
25.26
27.15
32.90
35.26
6.65
15.51
Hasil Biji
Lingkungan optimal dipresentasikan sebagai lingkungan budidaya kedelai
pada lahan sawah. Pada sebagian besar lahan sawah, kedelai berada dalam pola
tanam padi – padi – kedelai. Selama tahun 2010, curah hujan cukup tinggi pada
berbagai sentra produksi kedelai di Indonesia.
Hasil biji merupakan resultante dari genotipe x lingkungan, dan ditambah
dengan faktor pengelolaan (manajemen) tanaman (G x L x M). Rata-rata hasil
biji dari 10 galur yang diuji di enam lokasi adalah 1.84 – 2.45 t/ha. Tabel 2
menunjukkan bahwa dua varietas pembanding yaitu Burangrang dan Anjasmoro
masing-masing mampu berproduksi 2.60 dan 2.30 t/ha. Dari 10 galur yang diuji,
diperoleh bahwa genotipe Aochi/W.C.6.62, mampu menghasilkan produksi
tertinggi, yakni 2.45 t/ha.
877
Curah hujan yang tinggi sepanjang tahun berpengaruh terhadap
perolehan hasil biji dari genotipe yang diuji. Dari enam lokasi yang digunakan,
hanya lokasi di Madiun yang bernilai optimal; sedangkan empat lokasi lainnya
berkategori kurang optimal dalam menampilkan hasil biji. Indeks lingkungan
sebagai pengukur produktivitas lingkungan, menunjukkan bahwa hanya lokasi
Madiun yang bernilai Ij positif (lingkungan produktif) sedangkan yang lain nilai Ij
bernilai negatif.
Di Sragen, pada lokasi Gondang, hasil tertinggi 2.74 t/ha diperoleh oleh
galur Aochi/W.C.6.62, dan varietas pembanding juga mampu berdaya hasil
hingga 2.70 t/ha lebih tinggi dari varietas Anjasmoro yang hanya mempu
berproduksi 2.13 t/ha. Galur terbaik kedua di lokasi tersebut adalah
Aochi/W.C.6.60 (2.33 t/ha). Namun pada lokasi Sambirejo, justru varietas
Burangrang mampu berproduk tertinggi yakni 2.38 t/ha dan diikuti oleh varietas
Anjasmoro sebesar 2.09 t/ha. Di Sragen; Burangrang mampu berproduksi
konsisten tinggi.
Pada lingkungan produktif seperti di Madiun, ragam hasil biji dari
genotipe yang diuji menjadi beragam. Rata-rata hasil di Pilangkenceng adalah
2.53 t/ha dan di Balerejo rata-rata hasilnya adalah 2.51 t/ha. Di Pilangkenceng,
Burangrang berdaya hasil 2.82 t/ha; diikuti oleh Anjasmoro 2.75 t/ha. Dua galur
terbaik di lokasi tersebut adalah Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19 (2.74 t/ha) dan
Aochi/W.C.6.62 (2.73 t/ha). Di Balerejo; galur Shr.W.60/IAC.100-36-47-45-16,
justru mampu memiliki hasil biji tertinggi yaitu 2.70 t/ha; galur Shr.W.60/G.100
H-154-131-36-7 berdaya hasil sepadan dengan Burangrang yaitu 2.61 t/ha.
Konsistensi potensi hasil dari varietas Burangrang juga terjadi pada lokasi
Cianjur. Di Ciranjang hasil biji Burangrang adalah 2.79 t/ha diikuti oleh galur
Aochi/W.C.6.62 yang mencapai 2.56 t/ha. Baik Burangrang maupun
Aochi/W.C.6.62 ternyata konsisten hasilnya di Bojongpicung masing-masing
mencapai 2.30 t/ha dan 2.27 t/ha.
Pengujian yang dilakukan di enam lokasi, varietas Buragrang memang
berdaya hasil tertinggi dan galur Aochi/W.C.6.62 mendekati perolehan hasil biji
yang dicapai Burangrang.
Tabel 2. Hasil biji dari 12 genotipe kedelai di enam lokasi, 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
878
Genotipe
Shr.W.60/G.100 H-21-16-33-9
Shr.W.60/IAC.100-36-47-45-16
Shr.W.60/IAC.100-37-4-46-17
Shr.W.60/IAC.100-37-4-47-18
Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19
Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78
Shr.W.60/G.100 H-136-42-160-33
Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78
Aochi/W.C.6.60
Aochi/W.C.6.62
Burangrang
Hasil biji (t/ha)
L1
L2
L3
L4
L5
L6
1.52
1.52
1.54
1.53
1.93
2.25
1.51
1.79
2.33
2.74
2.70
1.72
1.58
1.92
1.44
1.61
1.86
1.78
1.57
1.64
1.89
2.38
2.42
2.58
2.42
2.27
2.74
2.52
2.04
2.55
2.55
2.73
2.82
2.43
2.70
2.42
2.44
2.50
2.61
2.57
2.33
2.50
2.51
2.61
1.87
1.80
1.98
1.73
2.01
2.30
1.89
1.93
2.23
2.56
2.79
1.63
1.76
1.63
1.63
1.86
2.08
1.69
1.71
2.07
2.27
2.30
Rata2
1.93
1.99
1.98
1.84
2.11
2.27
1.91
1.98
2.22
2.45
2.60
Lanjutan…
No
Genotipe
12 Anjasmoro
Rata-rata
Ij = indeks lingkungan
Keterangan:
Hasil
L3
2.75
2.53
0.40
L1
L2
2.13 2.09
1.96 1.79
-0.17 -0.34
biji (t/ha)
L4
L5
2.49 2.36
2.51 2.12
0.38 -0.01
L6 Rata2
1.96 2.30
1.88 2.13
-0.25
L1 = Srimulyo, Gondang, Sragen; L2 = Blimbing, Sambirejo, Sragen
L3 = Muneng, Pilangkenceng, Madiun; L4 = Simo, Balerejo, Madiun
L5 = Sukaluyu, Ciranjang, Cianjur; L6 = Neglasari, Bojongpicung, Cianjur
Stabilitas Hasil
Potensi hasil suatu genotipe ditentukan oleh faktor genetik dan kualitas
lingkungan. Hamblin et al. (1980), menyatakan bahwa genotipe yang memiliki
ragam perubahan fenotipik yang relatif sama dan konsisten berdaya hasil tinggi
pada berbagai lingkungan yang berbeda akan dikatakan sebagai genotipe yang
stabil. Mekanisme stabilitas secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat
hal, yaitu heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, toleransi terhadap
cekaman, dan daya pemulihan yang cepat terhadap cekaman. Metode rataan –
KK dari Francis dan Kannenberg (1978) identik dengan konsep biologik, atau
identik dengan konsep homeostatik (Lin et al. 1986).
Francis dan Kannenberg (1978) memetakan hasil biji dan stabilitas hasil
biji dari suatu genotipe menjadi empat kuadran yaitu kuadran I (hasil tinggi dan
stabil), kuadran II (hasil tinggi tidak stabil)l kuadran III (hasil rendah tidak stabil)
dan kuadran IV (hasil rendah stabil). Pemetaan terhadap 12 genotipe yang diuji,
diperoleh bahwa enam genotipe berada di kuadran III, artinya berdaya hasil
rendah dan tidak stabil hasilnya. Lima genotipe berkriteria berdaya hasil tinggi
serta stabil hasil bijinya di enam lokasi. Serta satu genotipe berdaya hasil rendah
dan stabil (Tabel 3). Galur Aochi/W.C.6.62 selain berdaya hasil tinggi (2,45 t/ha)
juga tergolong stabil.
Tabel 3. Stabilitas hasil biji dari 12 genotipe di enam lokasi, 2010
No
Genotipe
1
Shr.W.60/G.100 H-21-16-33-9
Hasil
Biji
(t/ha)
1.93
2
Shr.W.60/IAC.100-36-47-45-16
1.99
22.17
III
Hasil biji rendah, tidak stabil
3
Shr.W.60/IAC.100-37-4-46-17
1.98
11.78
III
Hasil biji rendah, tidak stabil
4
Shr.W.60/IAC.100-37-4-47-18
1.84
14.29
III
Hasil biji rendah, tidak stabil
5
Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19
2.11
15.06
III
Hasil biji rendah, tidak stabil
6
Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78
2.27
6.39
I
7
Shr.W.60/G.100 H-136-42-160-33
1.91
11.30
III
Hasil biji rendah, tidak stabil
8
Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78
1.98
12.12
IV
Hasilbijirendah, stabil
9
Aochi/W.C.6.60
2.22
9.31
I
Hasilbijitinggi, stabil
10 Aochi/W.C.6.62
2.45
8.74
I
Hasilbijitinggi, stabil
11 Burangrang
2.60
3.88
I
Hasilbijitinggi, stabil
12 Anjasmoro
2.30
7.18
I
Hasilbijitinggi, stabil
2.13
11.29
Rata-rata
KK
(%)
Kuadran
Kriteria
13.26
III
Hasil biji rendah, tidak stabil
Hasilbijitinggi, stabil
879
Karakter Agronomik
Karakter agronomik berupa umur masak, tinggi tanaman, jumlah cabang,
jumlah polong isi, jumlah polong hampa, berat biji/tanaman dan bobot 100 biji
dari 10 galur harapan serta dua varietas pembanding tertera pada Tabel 4. Ratarata umur masak dari 12 genotipeadalah 79 hari, ukuran bijinya adalah 13.22
g/100 biji dan rata-rata tinggi tanamannya mencapai 42 cm.
Varietas
Burangrang tergolong berumur genjah (77 hari) dan Anjasmoro tergolong umur
masaknya sedang (82 hari). Semua genotipe yang diuji berkriteria genjah. Hal
ini disebabkan karena galur yang diuji merupakan hasil seleksi dari galur
berumur super genjah dengan kedelai introduksi.
Tabel 4. Karakter agronomik dari 12 genotipe kedelai di enam lokasi, 2010
No
Galur
UM
TG
JC
JPI
JPH BJ/T B100
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Shr.W.60/G.100 H-21-16-33-9
Shr.W.60/IAC.100-36-47-45s -16
Shr.W.60/IAC.100-37-4-46-17
Shr.W.60/IAC.100-37-4-47-18
Shr.W.60/IAC.100-39-5-48-19
Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78
Shr.W.60/G.100 H-136-42-160-33
Shr.W.60/G.100 H-154-131-36-78
Aochi/W.C.6.60
Aochi/W.C.6.62
Burangrang
Anjasmoro
77
77
77
77
77
80
79
80
80
80
77
82
41.15
40.90
43.21
41.38
41.07
37.69
42.79
38.79
40.73
36.09
53.32
46.86
2.21
2.50
2.69
2.44
2.44
2.98
2.56
2.39
2.89
3.19
2.96
2.46
30.83
36.23
37.29
33.67
34.98
32.04
35.08
28.71
33.60
35.04
43.52
40.19
Rata-rata
79
42.00 2.64 35.10 2.73
2.10
2.37
2.25
2.39
1.83
4.75
2.06
2.35
2.68
3.48
3.81
2.64
5.21
6.82
6.89
6.42
6.23
6.47
6.62
5.77
8.17
7.36
9.72
8.86
11.83
12.09
11.82
12.51
11.76
12.94
11.92
13.48
16.26
11.91
15.46
16.62
7.05 13.22
UM = umurmasak (hr); TG = tinggitanaman (cm); JC = jumlahcabang/tanaman;
JPI = jumlahpolongisi/tanaman; JPH = jumlahpolonghampa/tanaman; BJ/T = bobot
biji/tanaman (g); B100 = bobot 100 biji (g)
Tinggi tanaman beragam dari 36.09 – 53.32 cm (rata-rata 42 cm).
Burangrang memiliki tanaman tertinggi dari seluruh genotipe yang diuji. Tinggi
tanaman seringkali menjadi tolok ukur keoptimalan pertumbuhan tanaman.
Burangrang yang pada pengujian ini konsisten berdaya hasil tinggi, memiliki
tinggi tanaman dan jumlah polong yang optimal. Di Indonesia, ukuran biji
dikategorikan besar jika bobot 100 biji di atas 14 g; dan dikelompokkan sedang
jika bobotnya antara 10 – 14 g dan tergolong biji kecil jika bobot 100 bijinya di
bawah 10 g. Kecuali Aochi/W.C.6.60 (16.26 g/100 biji), 10 galur yang diuji
tergolong berukuran biji sedang, sedangkan dua varietas pembanding tergolong
berukuran biji besar. Varietas kedelai berukuran biji besar potensial untuk bahan
baku tempe.
880
KESIMPULAN
1. Galur harapan Aochi/W.C.6.62 memiliki hasi lbiji lebih tinggi dibandingkan
varietas Anjasmoro. Umur masak Aochi/ W.C.6.62 sebanding dengan
Burangrang dan lebih genjah dibandingkan Anjasmoro.
2. Galur Aochi/W.C.6.62 adaptif untuk lahan sawah dan stabilhasilnya di enam
sentra produksi kedelai.
DAFTAR PUSTAKA
Adie, M.M., A. Krisnawati, dan G.W.A. Susanto. 2013. Interaksigalur x
lingkungan, potensi hasil dan stabilitas hasil galur harapan kedelai
hitam. Akan diterbitkan di Jurnal Biologi. Bogor.
Alghamdi, S.S. 2004. Yield Stability of Some Soybean Genotypes Across Diverse
Environments. Pak. J. of Biological Sci. 7 : 2109-2114.
Arsyad, D. M. dan A. Nur. 2006. Analisis AMMI untuk Stabilitas Hasil Galur-Galur
Kedelai di Lahan Kering Masam. Penelitian Pertanian 25 : 78 – 84.
Ashraf, M., Z. Iqbal, M. Arshad, A. Waheed, M. A. Glufran, Z. Chaudhry and D.
Baig. 2010. Multi-environment Response in Seed Yield of Soybean
[glycine max (l.) merrill], genotypes through ggebiplot technique. Pak.
J. Bot., 42 : 3899-3905.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan
Umbi-Umbian. Malang. 179h.
Francis, T.R. and L.W. Kannerberg. 1978. Yield Stability Studies in Short-Season
Maize. I. A Descriptive Method for Grouping Genotypes. Can. J. Plant
Sci. 58 : 1029 – 1034.
Hamblin, J., H.M. Fisher, and H.I. Ridings. 1980. The Choice of Locality for Plant
Breeding when Selecting for High Yield and General Adaptation.
Euphytica 29:161-168.
Jandong, E.A., M.I., Uguru and OB.C.,Oyiga B.C. 2011. Determination of yield
stability of seven soybean (Glycine max) genotypes across diverse soil
pH levels using GGE biplot analysis. J. of Applied Biosciences 43 : 2924
– 2941.
Krisnawati, A. dan M.M. Adie. 2008. Korelasibeberapa
stabilitashasilpadabijikedelai. Agritek16 : 160-164.
parameter
Lin, C.S., Binns M.R., Lefkovitch L.P. 1986. Stability Analysis: Where Do We
Stand? Crop Sci., 26: 894–900.
Susanto, G.W.A. dan M.M. Adie. 2010. Adaptabilitas Galur Harapan Kedelai di
Lingkungan yang Beragam. Penelitian Pertanian 29 : 166-170.
Tyagi, S.D., and M. H. Khan. 2013. Genotype x Environment Interaction and
Stability Analysis for Yield and Its Components in Soybean [(Glycine
max L.) Merrill]. http://www.soygenetics.org. [diakses 1 Mei 2013].
881
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU
PADI PADA LAHAN SAWAH BUKAAN BARU
DI KAB. MAROS PROV. SULAWESI SELATAN
Fadjry Djufry dan Ramlan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan KM.17,5 Makassar
ABSTRAK
Cadangan lahan yang potensial dikembangankan sebagai lahan bukaan baru untuk
tanaman pangan di Kabupaten Maros masih cukup besar. Salah upaya yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mengurangi dampak konversi lahan-lahan sawah produktif ke
lahan non pertanian ialah dengan pengembangan lahan bukaan baru. Penelitian uji
adaptasi varietas unggul baru pada lahan sawah bukaan baru dilaksanakan selama enam
bulan mulai dari bulan April sampai dengan September 2012. Pengkajian dilaksanakan
dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Pada lahan
sawah bukaan baru di Kabupaten Maros, perlakuannya adalah terdiri dari 10 varietas
unggul baru padi (Inpari 1, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 13, Inpara 1, 2) serta 1 varietas pembanding
yaitu Cisantana. Ukuran petak yang digunakan 5 m x 6 m, jarak tanam legowo 2:1 , bibit
ditanam tiga batang per rumpun pada umur 25 – 30 hari. Tanaman diberi pupuk urea
200 kg/ha + 100 kg/ha SP-36 + 75 kg/ha KCl. Analisis varians, uji beda, analisis regresi
dan analisis kuantifatif. Cakupan analisis meliputi analisis data pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lahan sawah bukaan
baru di Kabupaten Maros, varietas padi yang memberikan produksi yang cukup tinggi
dan direkomendasikan untuk dapat dikembangkan adalah varietas Inpari 13, Inpari 4,
dan Inpari 6 dengan produktivitas masing-masing 3,75; 3,78 dan 4,51t/ha.
Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul baru padi, lahan sawah bukaan baru
PENDAHULUAN
Pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat dari tahun ke tahun
berimplikasi terhadap kebutuhan bahan pangan yang juga semakin meningkat.
Di lain pihak konversi lahan-lahan sawah produktif ke lahan non pertanian seperti
pemukiman, perkotaan dan pembangunan infrastruktur serta kebutuhan lainnya
tidak dapat dihindari khususnya di wilayah pulau Jawa. Hal ini mendorong
pemerintah untuk mencari lahan potensial yang belum dimanfaatkan secara
optimal. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
hal tersebut adalah dengan perluasan areal tanam dan pencetakan sawah baru.
Pencetakan sawah baru lebih banyak diarahkan ke lahan-lahan kering di
luar pulau Jawa, umumnya tergolong lahan-lahan marginal seperti ultisol, oksisol
dan inceptisol (Setyorini et al. 2007). Selanjutnya menurut Sudjadi (1984), lahan
sawah yang baru dicetak sering dihadapkan pada berbagai permasalahan
kesuburan tanah, sehingga produktivitas lahan sawah bukan baru biasanya jauh
lebih rendah dari sawah yang telah mapan. Kendala utama pada pada tanah
tersebut adala rendahnya pH, kandungan bahan organik dan unsur hara tanah
seperti P dan K yang rendah, serta adanya unsur besi yang dapat meracuni
tanaman padi.
882
Lahan sawah yang baru dicetak sering dihadapkan pada berbagai
permasalahan kesuburan tanah, sehingga produktivitas lahan sawah bukaan
baru biasanya jauh lebih rendah dari sawah yang telah mapan. Kendala utama
pada pada tanah tersebut adalah rendahnya pH, kandungan bahan organik dan
unsur hara tanah seperti P dan K yang rendah, serta adanya unsur besi yang
dapat meracuni tanaman padi.
Laporan Dinas Pertanian Prov. Sulawesi Selatan (2011), pada tahun 2009
hingga tahun 2011 program pencetakan sawah baru di Sulawesi Selatan
terealisasi dan siap tanam seluas 850 ha. Pemanfaatan lahan kering dan rawa
untuk usaha pertanian di Indonesia diperkirakan telah dilakukan sudah cukup
lama, walaupun lahan yang dimanfaatkan untuk usaha pertanian masih dalam
jumlah terbatas.
Peningkatan produktivitas padi pada lahan kering bukaan baru dapat
dilakukan dengan perbaikan teknologi budidaya dan perluasan areal panen
dengan meningkatkan intensitas pertanaman (IP). Dengan penerapan inovasi
teknologi, indeks pertanaman padi dapat ditingkatkan menjadi IP 200 dengan
pola tanam padi – padi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan
menerapkan teknik budidaya yang tepat yaitu menggunakan varietas unggul
yang adaptif, dan penggunaan pupuk sesuai dosis rekomendasi hasil padi dapat
ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk meningkatkan
produktivitas padi tersebut masih sangat memungkinkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dibutuhkan suatu inovasi teknologi
sebagai upaya peningkatan produktivitas padi pada lahan-lahan bukaan baru.
Ada dua hal yang bisa menjadi pendekatan pada masalah tersebut yaitu
perbaikan varietas melalui introduksi varietas unggul baru padi yang adaptif dan
perbaikan teknologi budidaya padi di tingkat petani melalui introduksi
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi khususnya komponen teknologi
pengelolaan hara. Inovasi teknologi teknologi yang relatif murah dan mudah
diterapkan oleh petani adalah introduksi varietas unggul baru.
Menurut Sembiring (2010), Kementerian Pertanian telah melepas lebih
233 varietas unggul yang terdiri atas 144 varietas unggul padi sawah inbrida, 35
varietas unggul padi hibrida, 30 varietas unggul padi gogo, dan 24 varietas padi
rawa. Dalam dua tahun terakhir ini Badan Litbang Pertanian telah melepas
varietas baru untuk padi lahan sawah irigasi (Inpari 1-13), varietas unggul padi
gogo (Inpago 4-6) dan untuk ekosistim rawa yaitu varietas Inpara 1–6. Varietasvarietas baru tersebut (Inpara 1-6) memiliki beberapa karakteristik diantaranya
memiliki toleransi atas rendaman air selama 7–14 hari pada fase vegetatif
dengan produktifitas yang lebih tinggi berkisar antara 4–6 t/ha GKG. Varietas
Inpari, selain produktivitas tinggi 6-10 ton/ha, juga ketahanan terhadap hama
dan penyakit, mutu beras premium dan umur pendek. Sedangkan untuk Inpago
memiliki keunggulan yaitu produktivitas yang tinggi > 4 ton/ha, tahan terhadap
serangan hama dan penyakit, toleran kekeringan serta umur lebih pendek.
Pengkajian varietas ungul baru padi yang adaptif pada lahan sawah
bukaan baru belum pernah dilakukan di Sulawesi Selatan khususnya di
Kabupaten Gowa dan Maros, sehingga hasil kajian ini diharapkan dapat
menghasilkan rekomendasi varietas unggul baru padi yang adaptif dapat
dikembangkan pada lahan-lahan sawah bukaan baru yang dapat meningkatkan
produksi > 4 ton/ha GKG. Kajian adaptasi beberapa varietas padi unggul baru
883
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan indeks pertanaman padi di Provinsi
Sulawesi Selatan. Selain itu hasil kajian ini diharapkan dapat menstimulir petani
memanfaatkan lahan sawah yang telah dibuka.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan selama satu musim tanam pada sentra
pengembangan tanaman padi di Kabupaten Maros mulai bulan April-September
2012. Pengkajian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok
(RAK) dengan tiga ulangan. Pada lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Maros,
perlakuannya adalah terdiri dari 10 varietas unggul baru padi (Inpari 1, 3, 4, 6,
7, 8, 10, 13, Inpara 1, 2) serta 1 varietas pembanding yaitu Cisantana. Ukuran
petak yang digunakan 5 m x 6 m, jarak tanam legowo 2:1 , bibit ditanam tiga
batang per rumpun pada umur 25 – 30 hari. Tanaman diberi pupuk Urea 200
kg/ha + 100 kg/ha SP-36 + 75 kg/ha KCl. Pengkajian dilaksanakan mulai bulan
Februari - September 2012. Secara umum tahapan kegiatan meliputi antara
lain,1) Sosialisasi pengenalan varietas padi unggul baru di tingkat petani, 2)
pembuatan demplot uji adaptasi varietas, 3) temu lapang, 4) apresiasi teknologi
penanganan benih, dan 5) monitoring dan evaluasi.
Pengkajian menggunakan rakitan-rakitan teknologi spesifik lokasi.
Komponen-komponen teknologi yang diterapkan, seperti terlihat pada Tabel 2
berikut ini.
Tabel 1.
No.
1.
2.
3
4.
5.
Komponen teknologi yang diterapkan pada padi, di Kab. Maros Tahun
2012
Komponen Teknologi
Pengolahan tanah
Varietas
4.
5.
Kebutuhan benih
Pembibitan/pesemaian
Jumlah tanaman per lubang
tanam
Jarak tanam
Pemupukan
6.
7.
8.
9.
Pengairan
Penyiangan
Pengendalian hama/penyakit
Panen dan Pascapanen
Pengelolaan Tanaman
Sempurna, dibuat saluran drainase
- VUB lahan sawah (Inpari 1, 3, 4, 6, 7, 8, 10,
13, 14, 15, 20, Sidenuk, Cisantana, Ciliwung
dan Ciherang)
25-30 kg/ha
Pesemaian basah dan kering
1-2 tan/lubang
Legowo 2:1
Urea: 200 kg/ha, SP36: 100kg/ha, KCl : 75
kg/ha (Pupuk Nitrogen berdasarkan BWD)
Intermitten dan Tata air konservasi
Pengendalian gulma terpadu
Pengendalian hama terpadu
Tepat waktu dan prosessing dengan alat dan
mesin
Data yang akan diamati meliputi meliputi: data agronomis tanaman dan
preferensi petani pada varietas serta data curah hujan selama pengkajian. Data
tanaman yang akan dikumpulkan meliputi : 1) Umur berbunga, yaitu jumlah hari
sejak sebar sampai saat 90% tanaman berbunga, 2) Jumlah anakan
maksimum/rumpun diamati pada 10 tanaman contoh per petak yang dipilih
secara acak pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah tanam, 3) Tinggi
884
tanaman (35 dan 45 hari setelah tanam), yaitu rata-rata tinggi tanaman dari 10
rumpun tanaman contoh dipilih secara acak, 4) Jumlah malai per rumpun, yaitu
rata-rata jumlah malai dari 10 rumpun tanaman contoh yang dipilih secara acak,
pengamatan dilakukan menjelang panen, 5) Panjang malai per rumpun diukur
pada 10 tanaman contoh dipilih secara acak.dilakukan pada saat menjelang
panen, 6) Jumlah biji per malai. 7) Jumlah biji yang hampa per malai, 8) Bobot
1000 butir gabah isi kering pada tingkat kadar air 14%, 9) persentase gabah isi
(%), 10) Hasil gabah bersih per plot yaitu hasil gabah yang dipanen dari petak
percobaan netto (setelah dikurangi satu baris tanaman pinggir), 11) Jenis dan
intensitas serangan penyakit, penilaian serangan hama dan penyakit akan
dinyatakan dalam nilai skor sesuai dengan sistim evaluasi baku untuk masingmasing hama dan penyakit tertentu, 12) ketinggian air (cm), dan 13) lama waktu
padi terendam (hari).
Analisis yang digunakan adalah fasilitas uji: analisis varians, uji beda,
analisis regresi, analisis kuantifatif dan analisis finansial B/C Ratio. Cakupan
analisis meliputi analisis data pertumbuhan dan produktivitas tanaman, cita rasa,
dan tanggapan petani melalui organoleptik. Varietas memperoleh hasil yang
tinggi dianggap lebih tahan terhadap perubahan lingkungan atau daya
adaptasinya tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen Pertumbuhan
Lokasi percobaan di Kabupaten Maros tergolong lahan sawah konversi
dari lahan kering yang masih baru. Lahan tersebut baru dikonversi menjadi
sawah sekitar 3 tahun. Hal tersebut akan mempengaruhi kemampuan adaptasi
pertumbuhan vegetatif dan generatif dari setiap varietas padi. Rata-rata
pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan jumlah malaiuji
adaptasi varietas pada lahan bukaan baru di Kabupaten Maros disajikan pada
Tabel 3. Pada Tabel 3 menunjukkan terdapat variasi perbedaan tinggi tanaman
pada setiap varietas unggul baru (VUB) yang dikaji. Hal ini disebabkan sifat
genetik dari masing VUB yang berbeda sehingga menghasilkan tinggi tanaman
yang berbeda pula. Tinggi tanaman tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 3
(79 cm) dan terendah oleh varietas Cisantana (62,9 cm). Tinggi tanaman yang
dicapai tersebut lebih rendah dari rata-rata tinggi tanaman yang telah dilaporkan
(Suprihatno, 2010). Tinggi tanaman padi berkolerelasi positip dengan luas daun
tanaman dalam melakukan proses fotosintesis. Menurut Suprapto dan Drajat
(2005) bahwa, tinggi tanaman digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi pada
tanaman padi, namun pertumbuhan tinggi tanaman yang tinggi belum menjamin
hasil yang diperoleh lebih besar. Hal ini sejalan dengan pendapat Blum (1998)
yang mengemukakan bahwa tinggi tanaman berkorelasi negatif terhadap hasil.
Selanjutnya jumlah anakan menentukan jumlah malai yang dihasikan oleh
tanaman (Tabel 3).
885
Tabel 2. Rataan tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah malai di Kab. Maros
Tahun 2012
Perlakuan/
Variates
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Anakan/
rumpun (batang)
Jumlah
malai/rumpun
(rumpun)
Inpari 1
Inpari 3
Inpari 4
Inpari 6
Inpari 7
Inpari 8
Inpari 10
Inpari 13
Inpara 1
64,9
79,0
66,8
68.3
61,6
64,2
63,7
71,4
64,9
a
a
a
a
a
a
a
a
a
11,2 a
12,1 a
11,7 a
9,6 a
10,9 a
9,3 a
10,8 a
10,5 a
9,6 a
10,2 a
9,5 a
10,1 a
10,0 a
10,0 a
10,1 a
9,0 a
8,5 a
8,8 a
Inpari 2
Cisantana
65,8 a
62,9 a
8,7 a
9,9 a
9,0 a
9,5 a
Keterangan : Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji Duncan 5 %
Jumlah anakan produktif berpengaruh langsung terhadap jumlah malai
yang dihasilkan. Makin banyak anakan produktif makin besar jumlah gabah yang
akan diperoleh. Rataan jumlah anakan produktif lebih sedikit dan tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata pada setiap varietas yang dikaji. Hal ini
disebabkan varietas yang ditanam kurang dapat beradaptasi baik pada kondisi
lingkungan tumbuh lahan bukaan baru di Kabupaten Maros. Kemampuan
membentuk anakan produktif dipengaruhi oleh interaksi sifat genetik varietas
dan lingkungan tumbuhnya (Endrizal dan J. Bobihoe, 2010). Varietas Inpari 3
memperlihatkan rata-rata jumlah anakan produktif (12,1 batang) lebih banyak
dibanding varietas lainnya dan terendah varietas Inpara 2 (8,7 batang).
Begitupula jumlah malai per rumpun tidak menunjukkan jumlah malai antara
varietas. Jumlah malai terbanyak dihasilkan pada varietas Inpara 1 (10,2
rumpun) dan terendah varietas Inpari 13 ( 8,5 rumpun).
Komponen Produksi
Rataan komponen hasil (panjang malai, jumlah gabah total, presentase
gabah isi, presentase gabah hampa, bobot 1000 butir gabah dan hasil t/ha GKP)
masing-masing VUB yang dikaji di Kabupaten Maros disajikan pada Tabel 4 dan
5. Panjang malai tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara varietas
unggul baru (VUB). Panjang malai tertinggi diperoleh varietas Inpari 10 (24,1)
lebih panjang dibanding varietas yang lainnya. Tabel 6 juga menunjukkan
perbedaan yang nyata antara varietas pada jumlah gabah total/malai dan
presentase gabah isi. Varietas Inpari 13 menghasilkan rata-rata jumlah gabah
total terbanyak (114,6) dibanding varietas lainnya. Jumlah gabah total terendah
diperoleh pada varietas Inpari 1 (76,6). Selanjutnya varietas Inpari 1
menghasilkan presentase gabah isi lebih besar (92,4) dibanding varietas lainnya.
Persentase gabah isi yang terendah diperoleh pada varietas Inpari 7 (72,4).
886
Sedangkan varietas Inpari 13 menghasilkan rata-rata persentase gabah hampa
lebih rendah (11,1) dibanding varietas lainnya.. Sedangkan bobot 1.000 butir
gabah yang terbesar dicapai oleh varietas Inpari 16 (29 g) dan terendah
diperoleh varietas Cisantana (24 g). Besar atau kecilnya gabah dari suatu
varietas dapat diukur dari bobot 1.000 butir gabah. Makin berat bobot 1.000
butir gabahnyamengindikasikan bahwa varietas tersebut gabahnya lebih besar.
Tabel 3.
Rataan panjang malai, jumlah gabah total, presentase
di Kab. Maros
Perlakuan/
Variates
Jumlah Gabah/
Malai (butir)
Presentase Gabah
isi (%)
a
a
a
a
76,6 a
98,1 b
97,3 b
91,2 b
92,43 b
79,19 a
74,5 a
76,8 a
Inpari 7
Inpari 8
22,0 a
22,1 a
84,8 a
83,4 a
72,1 a
71,9 a
Inpari 10
Inpari 13
Inpara 1
Inpari 2
Cisantana
24,1
23,4
22,2
21,4
22,8
82,2 a
114,6 b
99,7 b
99,9 b
112,1 b
83,9 a
82,6 a
90,1 b
89,2 b
77,48 a
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
1
3
4
6
Panjang malai
(cm)
gabah isi
22,9
22,9
22,7
23,7
a
a
a
a
a
Keterangan : Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji Duncan 5 %
Hasil tanaman padi dipengaruhi oleh komponen hasil seperti jumlah
gabah isi per malai dan bobot 1.000 butir. Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa varietas Inpari 13 menghasilkan produksi 4,51 t/ha GKP dan berbeda
nyata dengan hasil varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpari
13 dapat beradaptasi baik pada kondisi lahan bukaan baru di kabupaten Maros.
Meskipun hasil yang dicapai masih lebih rendah dari potensi hasilnya yaitu 9
t/ha. Hal ini disebabkan varietas Inpari 13 agak tahan terhadap cekaman
kekeringan dengan potensi hasil tinggi.
Tabel 7. Rataan presentase gabah hampa, bobot 1000 biji dan produksi GKP
Kab. Maros
Perlakuan/
Presentase Gabah
Variates
hampa (%)
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
1
3
4
6
7
Inpari 8
15,8
14,1
15,2
16,6
17,5
a
a
a
a
a
16,4 a
Bobot 1000 biji
Produksi
(g)
GKP (t/ha)
27,0
26,0
26,0
25,0
26,1
a
a
a
a
a
27,0 a
2,96
3,48
3,75
3,78
3,40
a
a
a
a
a
2,89 a
887
Lanjutan...
Inpari 10
15,1 a
25,8 a
3,67 a
Inpari 13
11,1 b
27,3 a
4,51b
Inpara 1
13,2 a
25,0 a
3,23 a
Inpari 2
16,8 a
25,7 a
3,19 a
Cisantana
23,4 a
24,0 a
2,61 a
Keterangan : Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji Duncan 5 %
KESIMPULAN
1. Lahan bukaan baru yang ada di kabupaten Maros berpotensi untuk
pengembangan varietas unggul baru padi.
2. Lahan sawah bukaan baru di Kabupaten Maros, varietas padi yang
memberikan produksi yang cukup tinggi dan direkomendasikan untuk dapat
dikembangkan adalah varietas Inpari 13, Inpari 4, dan Inpari 6 dengan
produktivitas masing-masing 3,75; 3,78 dan 4,51t/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Distan Sulawesi Selatan. 2011. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Prov. Sulawesi selatan.
Sembiring, H. 2010. Ketersediaan Inovasi Teknologi Unggulan Dalam
Meningkatkan Produksi Padi Menunjang Swasembada dan Ekspor. Dalam
Suprihatno B, et al (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Buku 1. Sukamandi. 2010.
Setyorini, D, D.A. Suriadikarta, dan Nurjaya. 2007. Rekomendasi Pemupukan
Padi Sawah Bukaan Baru. Dalam: Tanah Sawah Bukaan. Dalam F. Agus,
et al (eds). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hal
5-24.
Sudjadi, M. 1984. Problem Soils In Indonesia And Their Management. In:
Ecology Mangement Problem Soils in Asia. FFTC Book Series. No. FFTC
Book Series (27). P. 58-73
Suprihatno. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian.
Subang.
888
KERAGAAN HASIL VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA SEKOLAH
LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI KABUPATEN
BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO
Warda
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Email: warda_bptpsulsel@yahoo.co.id
ABSTRAK
Produksi dan produktivitas padi dari tahun 2006 sampai 2009 di Kabupaten Bone Bolango
masing-masing 19.450 ton dan 4,99 t/ha, sementara produksi dan produktivitas jagung
masing-masing 14.784 ton dan 4,31 t/ha. Dari data tersebut, tingkat produktivitas
tanaman padi dan jagung masih rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil masingmasing tanaman tersebut. Program peningkatan produksi padi dan jagung dapat dipacu
dengan penerapan teknologi spesifik lokasi sehingga peningkatan produktivitas dan
pendapatan petani dapat ditingkatkan. Dalam upaya pengembangan PTT, Kementerian
Pertanian meluncurkan program Sekolah Lapang (SL) PTT. Dengan SL-PTT diharapkan
terjadi peningkatan pengetahuan dan penerapan komponen teknologi PTT oleh petani.
Tujuan kegiatan adalah mempercepat implementasi dan diseminasi inovasi teknologi
pertanian mendukung pembangunan pertanian nasional dan daerah melaui kegiatan
program SL-PTT di Kabupaten Bone Bolango. Kegiatan dimulai dari Januari–Desember
2011 secara partisipatif melalui pelaksanaan demplot, kunjungan, wawancara,
narasumber, koordinasi dan pertemuan, diskusi dan umpan balik serta penerapan
teknologi spesiifik lokasi. Sebanyak 44 unit (60%) pendampingan SL-PTT padi non
hibrida. Teknologi tang diterapkan adalah varietas unggul, pemupukan dan sistem
tanam. Pada kegiatan demfarm padi sawah di Bone Bolango, hasil VUB padi yaitu Inpari
3: 5,2 t/ha; Inpari 4: 5,15 t/ha; Inpari 6: 5,56 t/ha; Inpari 10: 7,0 t/ha; dan Inpari 13:
6,25 t/ha. Sedangkan hasil VUB pada demplot/display yaitu Inpari 3: 5,7 t/ha; Inpari 4:
6,83 t/ha; Inpari 6: 5,56 t/ha; Inpari 7: 7,8 t/ha; Inpari 8: 7,8 t/ha; Inpari 9: 7,6 t/ha;
Inpari 10: 7,0 t/ha; Inpari 11: 5,9 t/ha; dan Inpari 13: 7,64 t/ha. Selain itu
pendampingan juga dalam bentuk narasumber pada pelatihan PL III dan distribusi media
inovasi teknologi masing-masing leaflet sebanyak 171 eksemplar; booklet sebanyak 157
eksemplar dan poster 114 eksemplar. Hasil padi non hibrida pada kegiatan LL dan SLPTT
masing-masing berkisar 5,6–5,8 t/ha dan 5,0–5,2 t/ha. Permasalahan dan kendala utama
yang dihadapi adalah musim hujan yang panjang dan curah hujan yang tinggi ( diatas
normal) serta serangan OPT.
Kata kunci: Padi, varietas, keragaan, PTT
PENDAHULUAN
Kabupaten Bone Bolango termasuk salah satu sentra produksi tanaman
pangan di Provinsi Gorontalo khususnya padi dan jagung. Lua areal sawah irigasi
teknis/desa, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan/ladang) di Kabupaten
Bone Bolango masing-masing 1.792 ha, 48 ha dan 16.043 ha (BPS Gorontalo
2008). Sedangkan produksi dan tingkat produktivitas padi dari tahun 2006
sampai 2009 di Kabupaten Bone Bolango masing-masing 19.450 ton dan 4,99
ton/ha, sementara produksi dan produktivitas jagung masing-masing 14.784 ton
dan 4,31 ton/ha (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2010). Dari
889
data tersebut, tingkat produktivitas tanaman padi dan jagung masih rendah jika
dibandingkan dengan potensi hasil masing-masing tanaman tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan swasembada beras
dan peningkatan produktivitas jagung di Gorontalo adalah dengan melalui
program intensifikasi dan peningkatan indeks pertanaman padi. Program
intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai dan kacang tanah) dapat
dipacu dengan penerapan teknologi spesifik lokasi sehingga peningkatan
produktivitas dan pendapatan petani dapat ditingkatkan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menghasilkan
berbagai inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman
khususnya tanaman pangan. Diantaranya varietas unggul yang sebagian di
antaranya telah dikembangkan oleh petani. Sejalan dengan perkembangan lmu
pengetahuan dan teknologi, Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan
dan mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang
ternyata mampu meningkatkan produktivitas padi, jagung dan kedelai dan
infisiensi input produksi. Dalam upaya pengembangan PTT, Deptan meluncurkan
program Sekolah Lapang (SL) PTT. Dengan SL PTT diharapkan terjadi
peningkatan pengetahuan dan penerapan komponen teknologi PTT oleh petani
sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelolah
usahataninya untuk mendukung upaya peningkatan produksi dan lebih khusus
dalam peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani padi,
jagung dan kedelai.
Berbagai program strategis dalam rangka pembangunan petanian
nasional dan daerah telah diprogramkan oleh Departemen Pertanian. Program
tersebut adalah P2BN, Sl-PTT (padi, jagung, kedelai, kacang tanah), PUAP,
Gernas Kakao, pengembangan kawasan hortikultura dan program peningkatan
swasembada daging sapi (P2SDS). Semua program strategis Deptan tersebut
diimplementasikan di wilayah kerja BPTP. Oleh karena itu keberhasilan program
strategis Deptan harus mendapat dukungan dari Balit sebagai penghasil
teknologi dan BPTP sebagai ujung tombak Badan Litbang Pertanian di Provinsi.
Disadari bahwa keterkaitan dan sinergi antara Balit dan BPTP belum optimal
sehingga perlu ditingkatkan. Pendampingan program strategis tersebut
diharapkan dapat mempercepat implementasi teknologi spesifik lokasi kepada
pengguna/petani yang akhirnya meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Penelitian ini bertujuan untuk mempercepat implementsi dan diseminasi
teknologi pertanian mendukung pembangunan pertanian nasional dan daerah
melalui kegiatan program SL-PTT di Kabupaten Bone Bolango. Perkiraan manfaat
dari penelitian ini adalah terciptanya percepatan implementasi dn diseminasi
inovasi teknologi pertanian mendukung pembangunan pertanian nasional dan
daerah di Kabupaten Bone Bolango.
METODOLOGI
Ruang Lingkup
Penelitian ini mencakup proses penentuan calon petani dan calon lokasi
(CP/CL), koordinasi dengan pemerintah daerah dan provinsi, penentuan dan
sebaran 60% pendampingan SL-PTT, penentuan lokasi demplot, efektivitas
demplot/uji varietas padi dan jagung, dukungan perbenihan per komoditas
890
(BLBU), efektivitas pelatihan teknis dan penyebarluasan inovasi melalui media
cetak dan elektronik, keragaan produktivitas komoditas padi dan jagung, dan
juga permasalahan dan tindak lanjut program pendampingan khususnya SL-PTT.
Lingkup kegiatan berada di Kabupaten Bone Bolango meliputi 5
Kecamatan, yaitu Kecamatan Suwawa, Tilongkabila, Kabila, Bulango Timur dan
Bulango Selatan. Pelaksanaan SL-PTT padi sawah dilakukan pada 74 unit SLPTT
dengan pendampingan teknologi oleh BPTP Gorontalo bekerjasama dengan
penyuluh (PPL) setempat. Kegiatan pendampingan didampingi dan dikawal oleh
LO (Liaisson Officer) dari BPTP Gorontalo.
Kegiatan pendampingan SL-PTT meliputi:
a. Display varietas unggul baru : merupakan diseminasi varietas-varietas unggul
baru produksi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi yang terbaru dan belum
pernah di adaptasikan pada SL-PTT tahun sebelumnya. Varietas unggul
tersebut akan diintroduksikan pada lahan laboratorium lapang dengan luasan
0,25 ha per LL.
b. Demfarm merupakan lahan percontohan komponen teknologi PTT padi dan
jagung yang terpilih yang dilaksanakan secara partisipatif bersama petani
kooperator. Komponen-komponen teknologi PTT untuk demfarm antara lain:
penggunaan varietas-varietas unggul baru yang merupakan hasil preferensi
petani dari varietas-varietas Inpari pada SLPTT sebelumnya (2010), yaitu:
Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10 dan Inpari 13. Komponen teknologi PTT
yang lain seperti sistem tanam jajar legowo, pemupukan berimbang
menggunakan BWD, pupuk organik, efisiensi air dengan alternate wet drying
(AWD). Luas lahan laboratorium lapangan/demfarm padi sawah minimal 5,8
ha dengan perlakuan sepenuhnya dibawah pendampingan peneliti dan
penyuluh BPTP serta PPL pendamping dari BP3K. Demfarm padi sawah
dilakukan di Kecamatan Tilongkabila dan Kabila.
c. Sekolah lapang SL-PTT padi sawah : Pada setiap lokasi padi sawah dilakukan
sekolah lapang sebagai SL percontohan dengan 8 kali pertemuan yang
disesuaikan dengan jadwal tanam di lapangan.
d. Penentuan Calon Petani dan Calon Lahan (CPCL)
e. Sosialisasi demfarm/padu padan dan kelembagaan
f. Pelaksanaan demfarm dan display varietas unggul baru
g. Ekspose/temu lapang
h. Pelaporan
Tahapan Pelaksanaan
Kegiatan SLPTT padi dilaksanakan sejak Bulan Maret 2011 sampai
Desember 2011. Lokasi kegiatan dilaksanakan di lima kecamatan di Kabupaten
Bone Bolango yaitu Kecamatan Suwawa, Tilongkabila, Kabila, Bulango Timur dan
Bulango Selatan.
Bahan dan Metode Pelaksanaan Kegiatan
Bahan meliputi sarana produksi yaitu benih, pupuk, pestisida dan bahan
penunjang lain yang diperlukan telah dipersiapkan sebelumnya, termasuk
penunjuk teknis pelaksanaan SL-PTT maupun leaflet teknologi untuk petani.
Disamping itu, beberapa peralatan untuk alat penerapan teknologi misalnya
BWD, AWD, perangkat PUTS dan PUTK juga dipersiapkan sebelumnya.
891
Lokasi pendampingan SL-PTT 2011 tersebar di lima kecamatan dengan
cakupan kegiatan (Tabel 1) sebagai berikut.
Tabel 1. Kegiatan serta komoditas pelaksanaan pendampingan SL-PTT 2011 oleh
BPTP Gorontalo
No
Kegiatan
1.
Demonstrasi
(Demfarm)
2.
Uji adaptasi varietas di LL
VUB padi unit LL
3.
Sosialisasi/padu
padan
program
SL percontohan padi dan
jagung
Bimbingan
Lapang/
Narasumber
1 kali pada setiap lokasi
4.
5.
Farm
Cakupan Komoditas dan
Volume
VUB padi Inpari 3, Inpari 4,
Inpari 6, Inpari 10 dan
Inpari 13
Keterangan
Luasan Demfarm padi
sebesar 5,8 ha pada
setiap
Kabupaten/Kota
Luasan uji adaptasi
0,25 ha per LL
Sebelum pelaksanaan
Demfarm
8 kali pertemuan (minimal)
5 lokasi demfarm
Minimal 1 kali
setiap lokasi LL
di
Pengamatan hasil panen dilakukan pada areal Demfarm masing-masing
secara ubin 2,5 x 2,5 m, sesuai sistem legowo 2:1 dan 4:1. Hasil timbang dalam
bentuk kering panen. Hasil panen masing-masing lokasi maupun masing-masing
varietas dibandingkan. Setiap kegiatan usaha tani baik yang teknis maupun non
teknis dalam pelaksanaan SL-PTT akan didokumentasikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Lokasi Pendampingan
Jumlah lokasi SLPTT di Kabupaten Bone Bolango yang meliputi komoditas
padi non hibrida sebanyak 74 unit dengan jumlah pendampingan sebanyak 44
unit (Tabel 2). Sementara sebaran lokasi SLPTT dan pendampingan ditempatkan
di lima kecamatan secara proporsional berdasarkan luas lahan, jumlah unit
SLPTT dan komoditas utama. Jumlah unit pendampingan demplot varietas
unggul baru peer kecamatan untuk tiga komoditas ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi pendampingan SLPTT di Kabupaten Bone Bolango
No.
Kecamatan
1.
Tilongkabila
2.
Kabila
3.
Suwawa
892
Lokasi SLPTT
(Desa/Kelurahan)
Bongoime, Bongopini, Toto
Utara, Iloheluma, Permata,
Tamboo, Mootilango, Moutong,
Tunggulo
Poowo, Tumbihe, Oluhuta,
Tanggilingo, Padengo, Dutohe,
Dutohe Barat, Oluhuta Utara,
Poowo Barat, Talango, Toto
Selatan
Bube
Baru,
Boludawa,
Huluduotamo
Sasaran Pendampingan
(Desa/Kelurahan)
Iloheluma, Moutong
Poowo,
Padengo
Tumbihe,
-
Lanjutan...
4.
Bulango
Timur
5.
Bulango
Selatan
Toluwaya,
Bulotalangi,
Bulotalangi Timur, Bulotalangi
Barat
Ayula
Selatan,
Sejahtera,
Mekar Jaya, Huntu Utara,
Huntu Selatan, Lamahu, Ayula
Timur.
-
Hasil Koordinasi di Tingkat Internal Pemda (Mapping Performance
Koordinasi dan Pemecahan Masalahnya)
Koordinasi internal di tingkat Pemda Provinsi dan Kabupaten dilakukan
sebelum dan saat berlangsung SLPTT. Koordinasi di tingkat provinsi dilakukan
untuk mengetahui jumlah unit dan luas SLPTT pada masing-masing kabupaten,
menyammakan persepsi pelaksanaan SLPTT, menjalin sinergi antar instansi yang
terkait serta pembagian tugas dan tanggung jawab semua pihak yang terkait dan
mengetahui perkembangan SLPTT yang sedang berjalan. Sementara koordinasi
di tingkat kabupaten dilakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, BPP, POPT
dan Koordinator Perbenihan. Koordinasi dilakukan dalam rangka persiapan
pendampingan, penetuan CP/CL pendampingan 60% dan lokasi demplot
varietas, sosialisasi pelaksanaan SLPTT tingkat kecamatan, perkembangan
kegiatan pendampingan dan permasalahannya serta pengumpulan data kinerja
SLPTT.
Tabel 3. Kinerja koordinasi pendampingan di Kabupaten Bone Bolango
No.
1.
Kabupaten
Bone Bolango
Komponen Penilaian Kinerja
Koordinasi (Skor 1-3)
A
B
C
3
2
2
Nilai
Faktor Kendala
-
Musim
kemarau
yang
cukup
panjang sehingga
mempengaruhi
jadwal tanam dan
pertanaman
Skor penilaian: 1=kurang; 2=baik; 3=sangat baik
A= Kelengkapan legalitas keterlibatan institusi
B= Berfungsinya institusi yang terlibat sesuai fungsi yang telah disepakati bersama.
C= Sinergi pelaksanaan di lapangan
Pelaksanaan Pendampingan Inovasi Teknologi
Efektivitas Demplot/ Demfarm Padi
Kegiatan di laboratorium lapang dan demplot difokuskan pada penerapan
komponen teknologi PTT berdasarkan hasil pertemuan di tingkat petani dan
pemerintah daerah. Pada lahan LL dan demplot varietas disediakan bantuan
sarana produksi berupa benih unggul bermutu, pupuk urea, ZA, NPK dan pupuk
organik. Bagi petani di areal SL-PTT hanya diberikan bantuan berupa benih
893
unggul bermutu (BLBU). Dengan adanya laboratorium lapang dan demplot
diharapkan dapat mempercepat alih teknologi melalui interaksi antara petani
peserta SL-PTT dengan petani non peserta SL-PTT.
Teknologi yang diterapkan pada setiap demplot varietas berbeda pada
setiap kelompok tani dan lokasi SLPTT. Teknologi utama yang diintroduksikan
adalah lima varietas unggul baru padi terbaru yaitu Inpari 3, 4, 6, 10 dan 13
khususnya pada kegiatan demfarm seluas lebih kurang 5,5 ha. Selanjutnya
teknologi lain yang diterapkan umumnya masih terbatas pada sistem tanam
legowo (4:1) dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm x 12,5 cm dan pemupukan
berdasarkan rekomendasi provinsi dan kabupaten (Tabel 4 dan Tabel 5).
Tabel 4. Keragaan pelaksanaan demfarm inovasi komoditas padi
No.
1.
Nama Lokasi
Demfarm
Desa Poowo
2.
Desa Iloheluma
Jenis Inovasi Teknologi Yang
Dikenalkan
Varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6,
Inpari 10 dan Inpari 13; Legowo 4:1
dan pemupukan sesuai rekomendasi
Varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6,
Inpari 10 dan Inpari 13; Legowo 4:1
dan pemupukan sesuai rekomendasi
Luas Demfarm
(ha)
3
2,5
Tabel 5. Keragaan pelaksanaan beberapa demplot/display inovasi komoditas padi
No.
1.
Nama Lokasi
Demfarm
Desa Poowo
2.
Desa Iloheluma
3.
Desa Bongopini
Jenis Inovasi Teknologi Yang
Dikenalkan
Varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6,
Inpari 10 dan Inpari 13; Legowo 4:1
dan pemupukan sesuai rekomendasi
Varietas Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10,
Inpari 11, Inpari 13; pemupukan sesuai
rekomendasi
Varietas Inpari 4, Inpari 7, Inpari 8,
Inpari 9, Inpari 13, Legowo 2:1 dan
pemupukan sesuai rekomendasi
Luas Demfarm
(ha)
0,2
0,2
0,2
Keterangan: Masing-masing demplot varietas seluas 0,2 ha
Dosis pemupukan pada setiap lokasi SLPTT khususnya LL bervariasi.
Namun pada umumnya menggunakan dosis rekomendasi. Pada display varietas
unggul baru, dosis pupuk yang diberikan berdasarkan hasil uji tanah dengan
PUTS yaitu 300 kg/ha phonska dan 210 kg urea/ha.
Dampak pelaksanaan demplot PTT dan varietas unggul baru padi non
hibrida memperlihatkan hasil yang baik yang ditandai dengan banyaknya
petani/pengguna teknologi yang melihat langsung demplot varietas (Tabel 6).
Jumlah petani yang berkunjung pada demplot varietas berkisar dari 14 orang
sampai 115 orang tergantung pada lokasi demplot dan penampilan tanaman.
Pada umumnya petani berinat dan akan melaksanakan hasil demplot dibanding
jumlah petani yang berminat namun belum ada kepastian akan menggunakan
hasil demplot. Hanya sedikit petani yang menyatakan tidak berminat. Hal ini
menandakan bahwa petani lebih tertarik menanam varietas terbaru (Inpari)
dibanding varietas yang sudah eksisting disebabkan banyak keunggulan yang
894
dimiliki varietas terbaru. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan
demplot adalah benih varietas inpari terbatas, curah hujan tinggi menyebabkan
banjir dan serangan OPT tertentu.
Uji Varietas Unggul Baru
Kegiatan demplot uji varietas dilakukan dengan mengintroduksikan lima
varietas baru padi sawah yaitu Inpari 1, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 7,
Inpari 8, Inpari 9, Inpari 10, Inpari 11 dan Inpari 13 yang disesuaikan dengan
ketersediaan benih varietas tersebut. Demplot ditempatkan pada SLPTT terpilih
dengan luas 0,20 ha. Keragaan hasil kegiatan demplot uji varietas unggul baru
padi sawah dapat dilihat pada Tabel 6. Produktivitas varietas padi tersebut
bervariasi berdasarkan lokasi demplot dan teknologi budidaya yang diterapkan.
Di Kecamatan Kabila, hasil varietas tersebut pada umumnya lebih tinggi dari hasil
yang diperoleh di Kecamatan lainnya. Berdasarkan informasi petani dan PPL
bahwa kelima varietas padi (Inpari 3, 4, 6, 10 dan 13) dapat dikembangkan
ditingkat petani supaya dapat menggantikan varietas padi yang lama
dikembangkan oleh petani seperti mekongga, cigeulis dan ciherang.
Tabel 6. Keragaan hasil pelaksanaan uji Varietas Unggul Baru (VUB)
No.
Nama
Lokasi Uji
VUB
VUB yang Diuji
Agroeko
sistem
1.
Desa Poowo
Sawah
Irigasi
2.
Desa
Iloheluma
Sawah
Irigasi
3.
Desa
Moutong
Sawah
Irigasi
4.
Desa
Bongopini
Sawah
Irigasi
Nama
VUB
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
3
4
6
9
10
13
3
4
6
11
13
1
6
10
4
7
8
9
13
Produktivitas
(ton GKP/ha)
5,20
5,15
5,56
6,70
7,00
6,25
5,70
6,00
5,50
5,90
7,64
6,83
7,80
7,80
7,60
5,53
Ciherang
Mekongga
Tingkat
Adaptabilitas
(tinggi,
sedang,
rendah)
sedangtinggi
Ciherang
Mekongga
Rendahtinggi
Ciherang
Mekongga
sedang
Ciherang
Mekongga
Sedangtinggi
Varietas
Pembanding
(Eksisting)
Dukungan Perbenihan Per Komoditas (Aspek, Distribusi, Mutu Benih,
Ketersediaan)
Secara umum, dkungan perbenihan pada kegiatan SLPTT di Kabupaten
Bone Bolango cukup baik karena sebagian besar benih BLBU dapat tersalurkan
ke petani, walaupun masih ada permasalahan yang ditemui seperti tidak tepat
895
varietas seperti permintaan petani, tidak tepat waktu dan mutu benih yang
rendah. Hal ini disebabkan oleh intensifnya koordinasi yang dilakukan oleh
Pemda dengan pemasok benih BLBU (PT. Pertani dan PT. SHS).
Tabel 7. Dukungan perbenihan padi dan jagung hibrida
No.
1.
2.
Nama Varietas
Yang
Yang
dibutuhkan
tersedia
Cigeulis,
Mekongga
Mekongga,
Inpari
Inpari, IR 64,
Tukad Balian
Bisi 2, 816, Asia Bisi 2, NT 10
3,
Nusantara,
SHS 4
Jumlah Benih (Kg)
Yang
Yang
dibutuhkan
tersedia
46.250
-
6.750
-
Mutu Benih
Baik
Buruk
Baik
-
Baik
-
Efektivitas Pelatihan Teknis
Selain pengawalan teknologi pada kegiatan LL dan SLPTT, pendampingan
kegiatan strategis Kementerian Pertanian juga dilakukan dengan beberapa
kegiatan seperti pelatihan dan sebagai narasumber dalam pelatihan PL II di
tingkat provinsi dan PL III di tingkat kabupaten. Di tingkat provinsi, peserta
difokuskan pada penyuluh pendamping, sedang di Kabupaten difokuskan pada
kelompok tani dan petani. Materi yang disampaikan antara lain kebijakan
pembangunan pertanian nasional dan provinsi Gorontalo, Metode Pendampingan
dan teknologi PTT padi, jagung dan kedelai, pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
dan pengelolaan hama dan penyakit padi dan palawija.
Tabel 8. Efektivitas pelatihan teknis
Tingkat
Penyelenggaraan
Pelatihan
Topik/Materi
Pelatihan
A.
Kabupaten
(PL II)
- Kebijakan
pembangunan
pertanian
- Pendampingan
dan komponen
SLPTT padi,
jagung dan
kedelai
- Pengelolaan
tanaman terpadu
- Pengendalian OPT
padi dan plawija
B.
Kecamatan
- Pengelolaan
tanaman terpadu
- Pengendalian OPT
- Pemupukan
896
Sasaran Peserta
Pelatihan
Jumlah
Asal
Peserta
Institusi
(org)
Penyuluh
60
Pelaksana
SLPTT
(Kelompo
k Tani)
25
Jumlah peserta
pelatihan yang
menjadi
narasumber di
wilayah kerjanya
-
-
Efektifitas Penyebarluasan Inovasi melalui Media Cetak dan Elektronik
Di samping sebagai narasumber dan pelaksana pelatihan, pendampingan
program strategis Kementrian Pertanian juga dilakukan dengan memperbanyak
dan mendistribusikan materi inovasi teknologi atau materi diseminasi kepada
stake holder khususnya penyuluh di BP4K dan BP3K se provinsi Gorontalo.
Khusus di kabupaten Bone Bolango telah didistribusi leaflet sebanyak 171
eksemplar; booklet sebanyak 157 eksemplar dan poster 114 eksemplar.
Tabel 9. Efektivitas penyebarluasan inovasi (VCD)
No.
Judul Materi
1.
7.
Budidaya
itik
(leaflet)
Pengolahan hijauan
pakan
murah
(leaflet)
Penggemukan sapi
(leaflet)
Menetaskan
telur
(booklet)
Analisis
sistim
usahatani (booklet)
Defisiensi
hara
(poster)
Jajar logowo
8.
Kalender
2.
3.
4.
5.
6.
Jumlah
Eksemplar
57
Jumlah Inovasi
yang dimuat
2
57
1
57
1
57
1
100
3
57
1
57
1
60
1
Target Penerima Media
Informasi
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Dinas Pertanian, BP4K,
BP3K, BPSB, SMKN
Perkembangan Produktifitas
Keragaan produktivitas padi non-hibrida per kecamatan memperlihatkan
variasi yang besar. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan varietas yang
ditanam, inovasi teknologi diterapkan, serangan OPT dan faktor musim. Hasil
rata-rata produktivitas padi non-hibrida per kecamatan ditampilkan pada Tabel
10. Dari tabel tersebut terlihat bahwa hasil rata-rata pada petak LL, areal SL dan
Non-SL memperlihatkan perbedaan yang cukup besar. Hasil pada petak LL lebih
tinggi dibanding hasil pada areal SL, begitu juga hasil pada areal SL lebih tinggi
dibanding areal Non-SL. Hal ini dapat disebabkan oleh inovasi teknologi lebih
banyak pada areal LL, sementara hasil lebih tinggi pada areal SL dibanding areal
Non-SL disebabkan oleh petani menerapkan inovasi teknologi sebagai dampak
atau hasil dari sekolah lapang. Selain itu, bimbingan dan pendampingan oleh
pemda dan pihak terkait (BPTP) lebih intensif pada areal LL dan SL.
897
Tabel 10. Hasil evaluasi produktivitas rata-rata per kecamatan di LL, SL dan NonSL Padi Non Hibrida
No.
Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
Bulango Timur
Bulango Selatan
Tilong Kabila
Kabila
Suwawa
Jumlah Unit
SL
8
13
27
22
4
Produktivitas (ton GKP/ha)
SL
LL
Non-SL
5,0-5,1
5,7-5,8
5,0-5,1
5,8
5,0-5,1
5,6-5,8
5,0-5,2
5,6-5,8
5,1-5,2
5,7-5,8
-
KESIMPULAN
Peningkatan produktivitas padi di Kabupaten Bone Bolango dapat
dilakukan dengan pendekatan SL-PTT. Salah satu kegiatan pendampingan
program SL-PTT yang dapat mempercepat peningkatan produktivitas adalah
introduksi/penanaman varietas unggul baru padi menggantikan varietas lama
yang umum di tanam petani seperti varietas inpari 3, inpari 4, inpari 6, inpari 10
dan inpari 13 melalui pelaksanaan demfarm dan demplot/display varietas.
Meskipun masih ditemui beberapa permasalahan dan kendala terutama musim
hujan yang panjang dan curah hujan yang tinggi (pada MT Februari 2011) serta
serangan OPT (penggerek batang, kepik hitam, walang sangit dan penyakit
hawar daun), namun dengan pendekatan SL-PTT sudah terbukti dapat
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penigkatan produktivitas padi
dan peningkatan pendapatan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo. 2009.Provinsi Gorontalo dalam Angka.
BPS Prov. Gorontalo. 2009.
Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan
Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan
Litbang Pertanian.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo. 2010. Data Luas
Tanam, Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Provinsi
Gorontalo. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo.
2010
Puslitbang Tanaman Pangan. 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL
PTT. Puslitbang Tanaman Pangan dan Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. 20 hal.
898
KAJIAN EFETIVITAS DAN EFISIENSI PENGGUNAAN BEBERAPA
KOMBINASI PUPUK LEPAS LAMBAT PADA PADI SAWAH
DI KABUPATEN SIDRAP
Nasruddin Razak
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jalan Perintis Kemerdekaan Km,17,5 Sudiang, Makassar
Email: bptp_sulsel@yahoo.com
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas beberapa kombinasi penggunaan
pupuk lepas lambat terhadap pertumbuhan dan hasil padi serta efisiensi dan tingkat
keuntungan yang diperoleh pada usahatani tanaman padi. dilaksanakan di desa
Tonrongge kecamatan Baranti kabupaten Sidrap pada MK 2008/2009. Penelitian
menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK) diulang 3 kali. Terdiri dari 14
kombinasi pemupukan sebagai perlakuan. Hasil Kajian menunjukkan tinggi tanaman
pada saat panen pada perlakuan K1( cara petani) tertinggi yaitu 110,7 cm diikuti
perlakuan K2 (Rekomendasi) 110,3 cm dan C3 110,0 cm. jumlah anakan produktip
perrumpun tertinggi pada perlakuan K1 dan D3 dengan jumlah anakan masing-masing
18,3. Hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 sebanyak 6769 kg/ha dan D3
sebanyak 6657 kg/ha kemudian K2 6436 kg/ha tidak berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya, Tingkat keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan pada K1 sebanyak Rp.
14.290.500 ,-/ha sedangkan, K2, D3, C3 dan B3 masing-masing melebihi
Rp.
13.000.000,/ha. Selebihnya diatas Rp.11.000.000,-/ha dan terendah adalah perlakuan A1
hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp. 9.986.800,-/ha.
Gross Benefit cost rasio
tertinggi pada perlakuan K2 sebesar 3,49 kemudian K1 sebesar 3,38 sedangkan
perlakuan lainnya diatas 3,00 – 3,23. Hal ini menunjukkan bahwa semua kombinasi
perlakuan menguntungkan dan menunjukkan efisiensi usahatani yang tinggi dengan B/C
ratio 2,99 – 3,49.
Kata kunci : Usahatani padi, pupuk lepas lambat, efektivitas, efisiensi, keuntungan
PENDAHULUAN
Permintaan terhadap beras terus mengalami peningkatan setiap tahun.
Proyeksi permintaan pada 2010 sekitar 41,50 juta ton 9 (Swastika et al., 2002)
dan diperkirakan akan meningkat sampai 78 ton pada tahun 2025 (Balai
Penelitian Tanaman Padi, 2002), sehingga pada tahun 2010 akan terjadi defisit
beras sekitar 12,78 juta ton (13,50% per tahun) apabila tidak dilakukan
peningkatan produktivitas . Menurut tim peneliti Badan Litbang Pertanian (1998),
konstribusi terbesar dalam permintaan beras adalah melalui peningkatan
produktifitas yaitu sekitar 56,80%. Peranan pupuk dalam pengkatan produksi
sangat besar terutama unsur hara makro seperti NPK. Partoharjono dan Makmur
(1993) menyatakann bahwa hara N,P dan K merupakan hara utama yang
diperlukan tanaman padi dan sering menjadi faktor pembatas produksi. Nitrogen
bersama unsur unsur lainnya seperti C, H, O, P dan S merupakan komponen
pembentuk asam amino Nukleotida dan beberapa senyawa lipid. Menurut Tisdale
et al. (1985) nitrogen yang diserap tanaman diubah dalam bentuk NH2+ dan
899
selanjutnya digunakan untuk pembentukan senyawa protein. Protein ini berperan
sebagai enzim yang mengontrol proses metabolisme dan asam nukleoprotein
yang mengonttrol proses hereditas. Selanjutnya dijelaskan bahwa nitrogen juga
berperan dalam penggunaan karbohidratdan bila supalai N berkurang maka
karbohidrat akan bertumpuk pada bagian vegetatif sehingga tanaman menjadi
kerdil. Menurut Yoshida (1981), salah satu akibat dari kekurangam N adalah
berkurangnya jumlah anakan. Penyerapan N terjadi sepanjang pertumbuhan
tanaman.
Sibberen dan Sharpley (1998) bahwa mobilitas P dalam tanah sangat
rendah dibanding unsur lainnya. Dengan demikian hara P perlu ditambahkan
kedalam tanah. Mengingat efisiensi pada lahan sawah sangat rendah, yaitu
hanya sekitar 15-20% (Soepartini et al., 1994) salah satu peranan penting dari
unsur P adalah menghasilkan dan memepercepat pematangan bulir. Selanjutnya
dijelaskan Tisdale et al. (1985) sebagian besar unsur P ditemukan sebagai bagian
penting dalam biji. Suplai P yang cukup pada awal pertumbuhan sangat penting
dalam meletakkan primordia pada bagian reproduktif, memperbesar rasio bulir
dan jerami, mendorong pembentukan bunga serta meningkatkan produksi dan
peningkatan hasil. Pupuk urea yang banyak digunakan petani saat ini adalah
pupuk urea yang sifatnya cepat larut, namun disisi lain banyak yang hanyut,
tercuci dan menguap. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan menutupi
kekurangan dari penggunaan pupuk yang cepat larut maka PT. Pupuk Kaltim
memproduksi beberapa jenis pupuk yang bersifat lepas lambat/slow releas
fertilizer (SRF), namun tingkat efektifitasnya terhadap pertumbuhan dan produksi
padi serta efisiensi tingkat keuntungan yang diperoleh pada pertanaman padi
belum diketahui.
Untuk mengetahui efektifitas beberapa kombinasi penggunaan pupuk
lepas lambat terhadap pertumbuhan dan hasil padi serta efisiensi dan tingkat
keuntungan yang diperoleh pada usahatani tanaman padi.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan pengkajian dilakukan di lahan petani
Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap pada MK 2008/2009.
Desa
Tonrongge
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 3 kali ulangan. Varietas Mekongga ditanam setelah bibit berumur 18 hari
setelah semai. Luas plot yang digunakan adalah 4 m x 5 m dengan jarak tanam
25 cm x 25 cm, dan aplikasi pupuk lepas lambat SRF D dan H diberikan semua
pada saat tanam, sedangkan pemupukan yang digunakan sebanyak seperdua
bagian urea, dan semua pupuk SP 36 dan KCl diberikan pada umur 10 hari
setelah tanam. Pemupukan yang kedua, sebanyak seperdua bagian urea sisa
diberikan pada umur 25 hari setelah tanam. Pengendalian gulma dilakukan
sesuai kebutuhan lapangan, sedangkan hama penyakit dikendalikan berdasarkan
prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
900
Para meter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah malai per
rumpun, gabah isi per malai, gabah hampa per malai, bobot seribu biji, hasil
gabah dengan kadar air 14%. Untuk mengetahui efesiensi dari usaha padi sawah
dilakukan analisis nisbah penerimaan atas biaya produksi (Medialdia, 1999).
PxQ
Gross B/C Ratio
=
∑ Bi
Dimana
P
= Harga produksi (Rp/Kg)
Q
= Hasil Produksi (Kg/Ha)
Bi
= Biaya produksi ke-i (Rp/Ha)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman
Pada pengamatan tinggi tanaman pada saat panen menunjukkan bahwa
pada perlakuan K1( cara petani) tertinggi yaitu 110,7 cm diikuti perlakuan K2
(Rekomendasi) 110,3 cm dan C3 110,0 cm. Sedangkan perlakuan lainnya
mempunyai tinggi tanaman diatas 100 cm namun tidak ada perbedaan yang
nyata antar perlakuan
(tabel 1.). Hal ini menunjukkan pemberian pupuk
Nitrogen yang tinggi baik urea, SRF-D dan SRF-H dalam dosis yang tinggi
berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman.
Jumlah Anakan
Pada pengamatan jumlah anakan produktip perrumpun (tabel 1)
menunjukkan bahwa pada perlakuan K1( Cara petani), D3 dengan jumlah
anakan masing-masing 18,3 diikuti B3, dan B2 masing-masing sebanyak 17,0
anakan/rumpun, kemudian perlakuan B1 sebanyak 16,7 selanjutnya perlakuan
D1 16,0 anakan dan D2, C3 masing-masing 15,7 anakan, perlakuan-perlakuan
ini berbeda nyata dengan A1, A2, C1 dan C2.
Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan tanaman pada beberapa kombinasi pupuk lepas
lambat padi sawah di Sulawesi Selatan lokasi Kab. Sidrap MT-II Tahun
2008 – 2009
Kode
Perlakuan
K1
Cara petani (urea 250, SP-36 150, KCl 50, ZA
50 kg/ha)
Rekomendasi (urea 200, SP-36 50, KCl 50
kg/ha)
SRF-D 300 kg/ha(1 x aplikasi)
SRF-D 400 kg/ha(1 x aplikasi)
SRF-D 500 kg/ha( 1 x aplikasi)
SRF-D 300,SP-36 50, KCl 50 kg/ha ( 2 x aplk)
SRF-D 400, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (2 x aplk)
SRF-D 500, SP-36 50, KCl 50 kg/ha( 2 x aplk)
SRF-H 210, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (1 x aplk)
SRF-H 280, SP-36 50, KCl 50 kg/ha (1 x aplk)
K2
A
A
A
B
B
B
C
C
1
2
3
1
2
3
1
2
Tinggi
Tanaman
(cm)
Jumlah Anakan
produktif/rumpun
110,7 tn
18,3 a
110,3
17,0 ab
102,7
105,7
107,0
105,3
107,3
108,3
105,0
107,7
13,7
15,3
15,7
16,7
17,0
17,3
14,0
14,7
c
bc
abc
ab
ab
ab
c
bc
901
Lanjutan…
Kode
C3
D1
D2
D3
KK
Perlakuan
SRF-H
SRF-H
SRF-H
SRF-H
350,
210,
280,
350,
SP-36
SP-36
SP-36
SP-36
50,
50,
50,
50,
KCl
KCl
KCl
KCl
50
50
50
50
kg/ha (1 x aplk)
kg/ha( 2 x aplk)
kg/ha( 2 x aplk)
kg/ha(2 x aplik)
Tinggi
Tanaman
(cm)
110,0
105,0
106,0
109,3
1,56
Jumlah Anakan
produktif/rumpun
15,7
16,0
15,7
18,3
8,49
abc
abc
abc
a
Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji berganda Duncan
Jumlah Gabah Isi/Malai
Pada tabel 2 dapat dilihat Jumlah gabah isi tertinggi diperoleh pada
perlakuan C3 119,3., B1 berturut-turut 119,3 dan 117,7 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya kecuali perlakuan D3 sebanyak 95,7 biji.
Jumlah Gabah Hampa/Malai
Pada pengamatan Jumlah gabah hampa permalai menunjukkan bahwa
perlakuan D3 tertinggi yaitu 21,3 biji per malai diikuti perlakuan K1 (cara
petani) dan A2 sebanyak 16 dan 15,7 biji/malai, berbeda nyata dibanding
dengan perlakuan lainnya.
Berat 1000 Biji
Hasil pengamatan terhadap berat 1000 biji menunjukkan bahwa
perlakuan C3 mempunyai berat 1000 biji tertinggi yaitu 28,4 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya, kecuali K 2 (rekomendasi), A2, C1 dengan berat
berturut-turut 27,4, 27,3., 27,1 dan terendah 27,0 gram/1000 biji pada
perlakuan B1.
Hasil Gabah Kering
Pada pengamatan berat gabah kering (k.a. 14 %) pada tabel 6
menunjukkan bahwa hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 (Cara petani)
sebanyak 6769 kg/ha dan D3
sebanyak
6657 kg/ha kemudian K2
(Rekomendasi) 6436 kg/ha tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya,
kecuali perlakuan C2, C1 dan A1 yang memperoleh hasil berturut-turut 5576,
5525 dan terendah 4989 kg/ha. Hal ini menunjukkan bahwa unsur hara
nitrogen yang bersumber dari Urea maupun SRF- N, Phosfor dan Kalium dalam
jumlah yang cukup sangat berpengaruh terhadap peningkatan hasil padi sawah
dilokasi kabupaten Sidrap . Menurut Partoharjono dan Makmur (1993),
menyatakan bahwa hara N, P, dan K merupakan hara utama yang diperlukan
tanaman padi dan sering menjadi faktor pembatas produksi.
Produksi pada perlakuan kombinasi pupuk lambat SRF-D pada perlakuan
B1, B2 dan B3 yang diaplikasi dua kali ditambah pupuk SP-36 dan KCl masingmasing 50 kg/ha, lebih tinggi dari pada pemberian pupuk dan dosis SRF-D
tunggal yang sama tetapi diaplikasi satu kali pada perlakuan A1, A2 dan A3, dan
produksi pada perlakuan kombinasi pupuk lambat SRF-H pada perlakuan D1, D2
dan D3 yang diaplikasi dua kali, lebih tinggi dari pada pemberian pupuk dan
dosis yang sama tetapi diaplikasi satu kali pada perlakuan C1, C2 dan C3. Hai ini
902
menunjukkan adanya efektifitas dan efisensi kombinasi penggunaan pupuk lepas
lambat pada tanaman padi dengan penambahan pupuk SP-36 dan KCL pada
pupuk SRF-D dan jumlah waktu pemberian pupuk pada kedua jenis pupuk lepas
lambat yang digunakan (tabel.2). suatu perlakuan dikatakan efektif jika produksi
yang dihasilkan lebih tinggi dari pembandingnya (Schemerhon John R. Jr, 1986
dalam Marissa, 2011) dan menurut Hidayat (1986) dalam Marissa (2011)
efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh sasaran hasil
telah dicapai, semakin besar persentase hasil yang dicapai semakin tinggi
efektivitasnya.
Tabel 2. Rata-rata hasil dan komponen hasil pada uji efektifitas pupuk SRFN (D & H) padi sawah di Sulawesi Selatan lokasi Kab.Sidrap. MT-II
Tahun 2008-2009
Kode
Perlakuan
K1
Cara petani (urea 250, SP-36
150, KCl 50, ZA 50 kg/ha)
Rekomendasi
(urea 200, SP-36 50, KCl 50
(kg/ha)
SRF-D 300 kg/ha (1 x aplikasi)
SRF-D 400 kg/ha (1 x aplikasi)
SRF-D 500 kg/ha (1 x aplikasi)
SRF-D 300,SP-36 50, KCl 50
kg/ha ( 2 x aplk)
SRF-D 400, SP-36 50, KCl 50
kg/ha (2 x aplk)
SRF-D 500, SP-36 50, KCl 50
kg/ha ( 2 x aplk)
SRF-H 210, SP-36 50, KCl 50
kg/ha (1 x aplk)
SRF-H 280, SP-36 50, KCl 50
kg/ha (1 x aplk)
SRF-H 350, SP-36 50, KCl 50
kg/ha (1 x aplk)
SRF-H 210, SP-36 50, KCl 50
kg/ha( 2 x aplk)
SRF-H 280, SP-36 50, KCl 50
kg/ha( 2 x aplk)
SRF-H 350, SP-36 50, KCl 50
kg/ha(2 x aplik)
K2
A
A
A
B
1
2
3
1
B2
B3
C1
C2
C3
D1
D2
D3
KK
Jumlah
gabah
isi/malai
113,7 ab
Jumlah
gabah
hampa/
malai
16,0 ab
Bobot
1000
biji
(gram)
27,8 ab
6769 a
106,3 ab
13,0 b
27,4 b
6436 ab
105,0
112,7
111,3
117,7
12,0
15,7
9,7
10,0
27,8
27,3
27,8
27,0
4989
5643
6161
5879
ab
ab
ab
a
b
ab
b
b
ab
b
ab
b
Hasil GKG
(kg/ha)
d
bcd
abc
abc
111,3 ab
12,7 b
27,6 ab
6300 abc
107,3 ab
12,3 b
27,5 ab
6392 abc
100,7 ab
11,0 b
27,1 b
5525 cd
110,7 ab
9,7 b
27,5 ab
5576 cde
119,3 a
12,3 b
27,5 ab
6412 abc
111,7 ab
9,0 b
27,6 ab
6071 abc
99,3 ab
12,3 b
27,5 ab
6155 abc
95,7 b
21,3 a
28,4 a
6657 a
9.68
36,0
1,68
5,34
Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji berganda Duncan
903
Tingkat Keuntungan dan Gross B/C rasio
Tingkat keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan pada
K1
sebanyak Rp. 14.290.500 ,-/ha sedangkan, K2, D3, C3 dan B3 masing-masing
melebihi Rp. 13.000.000,/ha. Diikuti berturut-turut oleh perlakuan B2, A3, D1,
D2 dan B1 dengan nilai keuntungan melebihi Rp.12.000.000/ha sedangkan
perlakuan lainnya masing-masing diatas Rp.11.000.000,-/ha dan terendah adalah
perlakuan A1 hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp. 9.986.800,-/ha.
Gross Benefit cost rasio tertinggi pada perlakuan K2 sebesar 3,49
kemudian K1 sebesar 3,38 dan D1 sebesar 3,23 selanjutnya D3 dan B2 masingmasing sebesar 3,20 sedangkan perlakuan lainnya diatas 3,00.
Hal ini
menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan menguntungkan secara
ekonomi, artinya apabila diinvestasikan dana sebesar Rp. 100,- akan memberikan
keuntungan sebesar Rp.300. (tabel. 3) dan kombinasi pemberian pupuk lepas
lambat cukup efisien secara ekonomi karena mencakup efisiensi teknis dimana
dengan pemberian dua kali dapat meningkatkan B/C ratio dan efisiensi alokatif
karena nilai produksi marginal melebihi nilai biaya yang dikeluarkan. Suatu
dikatakan efisiensi harga atau efisiensi alokatif kalau nilai dan produk marginal
sama dengan biaya produksi yang bersangkutan (titik impas dan efisiensi teknis
ditunjukkan akibat pengelolaan yang lebih baik, sedangkan dikatakan efisiensi
ekonomi kalau usaha pertanian tersebut mencapai efisiensi teknis dan sekaligus
juga mencapai efisiensi alokatif /harga (Soekartawi, 1993).
Tabel 3. Jumlah Biaya sarana, tenaga kerja, nilai produksi, keuntungan/ha dan
Gross B/F Rasio pada uji efektifitas pupuk SRF-N (D & H) padi sawah
di Sulawesi Selatan lokasi Kab. Sidrap. MT-II Tahun 2008 -2009
Kode
K1
K2
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
D1
D2
D3
904
Jumlah biaya (Rp./ha)
Sarana
Tenaga
Total
kerja
1.368.000
1.088.000
1.163.000
1.328.000
1.493.000
1.343.000
1.508.000
1.673.000
1.379.500
1.530.000
1.680.500
1.379.500
1.530.000
1.680.500
4.648.500
4.444.500
3.817.200
4.074.900
4.340.500
4.206.000
4.404.000
4.472.900
4.001.700
4.063.500
4.424.100
4.256.800
4.414.500
4.563.000
6.016.500
5.532.500
4.980.200
5.402.900
5.833.500
5.549.000
5.912.000
6.145.900
5.381.200
5.593.500
6.104.600
5.636.300
5.944.500
6.243.500
Nilai
produksi
(Rp/ha)
Keuntungan
(Rp./ha)
Gross B/C
rasio
20.307.000
19.308.000
14.967.000
16.929.000
18.483.000
17.637.000
18.900.000
19.176.000
16.575.000
16.728.000
19.236.000
18.213.000
18.465.000
19.971.000
14.290.500
13.775.500
9.986.800
11.526.100
12.649.500
12.088.000
12.988.000
13.0301.00
11.193.800
11.134.500
13.131.400
12.576.700
12.520.500
13.727.500
3,38
3,49
3,01
3,13
3,17
3,18
3,20
3,12
3,08
2,99
3,15
3,23
3,11
3,20
KESIMPULAN
1. Kombinasi Pemupukan urea , SP-36 kg, KCL dan ZA pada perlakuan cara
petani dan sesuai rekomendasi serta kombinasi pupuk lepas lambat efektif
meningkatkan produksi padi sawah dibandingkan dengan pemberian Pupuk
SRF-D diberikan secara tunggal dan kombinasi pupuk SRF-H tetapi diplikasi
hanya 1 kali di Sidrap.
2. Semua perlakuan menunjukkan efisiensi usahatani yang tinggi dengan B/C
ratio 2,99 – 3,49, Tingkat keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan
pada K1 diikuti K2, D3, C3 dan B3. Gross Benefit cost rasio tertinggi pada
perlakuan K2, K1, D1 selanjutnya D3 dan B2.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang) Departemen
Pertanian. 1998. Efisiensi Penggunaan Pupuk Dalam Strategi
Peningkatan Produksi Menuju Pertanian Tangguh. Lokakarya Nasional
Efisiensi Pupuk. Cipayung 16-17 November 1997. Prosiding.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2002. Pengelolaan Tanaman Terpadu Inovasi
Sistem Produksi Padi Sawah Irigasi (Brosur). Balai Penelitian Tanaman
Padi, Badan Litbang Pertanian.
Marissa, S. 2011. Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya
terhadap Produksi Padi (Studi kasus : Kabupaten Bogor) (skripsi).
Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut
Pertanian Bogor.
Medialdia, T. 1999. Total and Analysis of Adaptive Research in Farming System.
Paper Presented in International Adaptive Research of Farming System
Couse. Farming System and Soil Resource Institute. University of the
Philippines Los Banos Collega, Philippines.
Partoharjono, S. dan A. Makmur. 1993. Peningkatan Produksi Padi Gogo. Hal
523-459. dalam Ismunadji et al. (ed.). Padi Buku 2. Puslibangtan,
Bogor.
Sibberen, E. And A.N. Sharpley. 1998. Setting and Justifying upper Critical Limits
for Phosphorus in Soil. Pp. 157-176. In Tunny et al. (ed.). Phosphorus
Lossfrom Soil to Water. CABI.
Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. PT. Raja
Grafindo. Jakarta.
Soepartini, M., Nurjaya, A. Kasno, S. Ardjakusuma, Moersidi S. Dan J. Sri Adingsi.
1994. Status Hara P dan K serta Sifat-Sifat Tanah sebagai Penduga
Kebutuhan Pupuk Padi Sawah di Pulau Lombok. Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk. Puslittanak, Bogor, 12:23-34.
Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, dan Nyak Ilham. 2000. Proyeksi Penawaran dan
Permintaan Komoditas Tanaman Pangan :2000-10. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
905
Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Penelitian Optimalisasi
Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan
Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Puslittanak, Bogor.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4 th
Edition. Macmillan Publishing Company, New York.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. IRRI, Los Banos, Laguna,
Philippines. 269 p.
906
KAJIAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU DAN LOKAL
PADI GOGO PADA LAHAN KERING DI MALUKU
La Dahamarudin dan M.P. Sirappa
Staf Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku
Jln. Chr. Soplanit Rumah Tiga, Ambon 97234
Email :mpsirappa_64@yahoo.co.id
ABSTRAK
Kajian ini dilaksanakan di desa Sepa, kecamatan Amahai, Maluku Tengah, yang
berlangsung dari bulan Mei – Oktober 2012. Kajian bertujuan untuk memeperoleh
varietas unggul baru dan lokal padi gogo yang adaptif dan berproduksi tinggi pada lahan
kering.Kajian disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan
(petani sebagai ulangan). Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produksi gabah kering giling dengan
hasil tertinggi berturut-turut Situ Patenggang(5,47 ton/ha), Inpago 5 (4,65 ton/ha),
Inpago 6(4,44 ton/ha), Limboto (3,83 ton/ha), dan Inpago 4 (3,76 ton/ha). Hasil
terendah diperoleh pada varietas unggul Gajah Mungkur (2,51 t/ha), Danau Gaung (2,90
t/ha), dan Batu Tegi (2,99 t/ha). Padi lokal Maluku (Fulan Telo Mihat dan Fulan Telo
Gawa) hanya mampu memberikan hasil 2,37 – 2,94 t/ha.
Kata kunci: Kajian adaptasi, padi gogo, Maluku Tengah, produktivitas.
PENDAHULUAN
Kontribusi lahan sawah dalam penyediaan pangan, khususnya padi
nasional belum mencukupi dalam pemenuhan kebutuhan pangan.Target
penyediaan padi nasional tahun 2013sebesar 72,57juta ton GKG dan surplus
beras 10 juta ton pada tahun 2014 (Kementerian Pertanian, 2013; Dirjen
Tanaman Pangan, 2013) tidak cukup hanya dengan mengandalkan lahan sawah.
Upaya pemenuhan penyediaan padi nasional tersebut selain dari lahan sawah
juga melalui pemanfaatan lahan kering dengan beberapa strategi, diantaranya
peningkatan IP dan produktivitas.
Potensi lahan kering Maluku untuk pengembangan tanaman pangan,
termasuk padi gogo sangat luas, yaitu sekitar 718.684 ha, namun
pemanfaatannya baru sebagian kecil (2.791 ha) dengan tingkat produktivitas
rata-rata 2,26 t/ha (BPS Provinsi Maluku, 2010). Hasil tersebut masih rendah jika
dibandingkan dengan potensi hasil beberapa varietas unggul baru padi gogo (4 7 t/ha) (Badan Litbang Pertanian, 2007; 2008),
Permasalahan dalam
pemanfaatanlahan kering cukup banyak, diantaranya tingkat kesuburan tanah
rendah, rentan dengan OPT, perubahan iklim ekstrim, dan teknik budidaya
tanaman masih dilakukan secara tradisional.
Upaya peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan di masa
yang akan datang cukup komplek. Hal ini selain terkait dengan adanya konversi
lahan subur ke non pertanian dengan laju sekitar 110.000 ha/tahun, juga
budidaya padi dihadapkan pada perubahan global yang jika tidak diantisipasi
dengan baik, stabilitas perberasan nasional akan terganggu. Perubahan itu
907
otomatis merubah pola tanam padi, dan memicu perubahan hidup OPT yang
dapat menyebabkan ledakan hama penyakit tanaman padi. Dengan demikian,
produksi pangan nasional perlu secara signifikan ditingkatkan agar kebutuhan
dalam negeri dapat dipenuhi.
Dalam 6 tahun terakhir (2005-2010), BB padi telah merilis 32 varietas
unggul baru dengan berbagai keunggulan, misalnya varietas yang adaptif untuk
kekeringan dan keracunan Al, toleran dengan OPT utama pada lahan kering, dan
berumur genjah. Diharapkan dari varietas tersebut diperoleh varietas unggul
baru yang adaptif dan spesifik lokasi dengan produktivitas tinggi pada
agroekosistem lahan kering dalam menghadapi perubahan iklim. Selain VUB,
beberapa padi varietas lokal juga perlu dikaji potensi dan adaptasinya pada lahan
kering untuk mendapatkan varietas lokal yang spesifik lokasi dengan potensi
hasil tinggi.
Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), varietas unggul merupakan
salah satu teknologi PTT yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas
dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata varietas unggul terhadap
peningkatan produksi padi nasional. Varietas memberikan sumbangan sebesar
56% dalam peningkatan produksi, yang pada dekade 1970-2000 mencapai
hampir tiga kali lipat. Oleh karena itu, maka salah satu titik tumpu utama
peningkatan produksi padi adalah perakitan dan perbaikan varietas unggul
baru (Balitpa, 2004). Selanjutnya Lubis et al. (1999) dan Baehaki (2001),
menyatakan varietas unggul baru merupakan salah satu usaha untuk
meningkatkan hasil dan mengantisipasi kegagalan usahatani padi di tingkat
petani. Menurut Hapsah (2005), peningkatan produktivitas padi dapat
diupayakan melalui penggunaan varietas yang adaptif dengan penerapan inovasi
teknologi yang tepat.
Untuk mencapai hasil maksimal dari penggunaan varietas unggul baru
atau lokal, diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil dan
keunggulannya dapat terwujudkan (Makarim dan Las, 2005). Menurut Las
(2003), varietas memberikan kontribusi yang cukup nyata terhadap peningkatan
produksi padi. Hasil kajian FAO yang dilaporkan Las (2003) menunjukkan bahwa
secara partial, varietas memberikan kontribusi sebesar 16%, dan jika
diintegrasikan bersama dengan komponen teknologi budidaya lainnya, seperti
pupuk dan irigasi, peningkatan produksi padi dapat mencapai 75%.
Diharapkan dari
hasil
kegiatan ini akan diperoleh varietas yang
mempunyai produktivitas tinggi dan adaptif terhadap cekaman abiotik pada
lahan kering dalam menunjang ketersediaan pangan di Maluku.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Kajian ini dilaksanakan pada lahan kering milik petani yang berlangsung
dari bulan Mei – Oktober 2012, di Dusun Simalouw, Desa Sepa,Kecamatan
Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.
908
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam kajian ini antara lain: benih padi
gogo varietas unggul (Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Gajah Mungkur, Danau
Gaung, Situ Patenggang, Batu Tegi, Limboto) dan varietas lokal Maluku yaitu
lokal merah (Fulan Telo Mihat) dan lokal putih (Fulan Telo Gawa), pupuk organik,
urea, NPK Phonska, Furadan 3G, Regent, Curakron, Emulsifer (Sanvit).
METODOLOGI
Ukuran petak percobaan yaitu lebar 4 m dan panjang 10 m. Jarak antar
petak perlakuan 1,5 m.Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak
Kelompok yang diulang tiga kali (petani sebagai ulangan).Sistem tanam
menggunakan model legowo 4:1 dengan jarak tanam (20 cm x 10 cm) x 40 cm.
Jumlah benih tiap lubang tanam 3 - 5 butir.
Pemupukan P dan K didasarkan atas hasil analisis tanah atau status hara
tanah dengan menggunakan perangkat uji tanah kering (PUTK), sedangkan
pupuk nitrogen akan dikontrol berdasarkan bagan warna daun (BWD).
Pemupukan dasar dilakukan dengan memberikan urea sebanyak 50 kg
bersamaan dengan pupuk NPK Phonska pada umur 7-10 hst. Pupuk urea
susulan diberikan berdasarkan skala warna daun yang diukur dengan alat BWD
pada umur 28 hst dan pengukuran selanjutnya dilakukansetiap 10 - 14 hari. Jika
nilai pembacaan BWD < 4 maka takaran urea yang diberikan sekitar 50-100
kg/ha. Pupuk kandang diberikan dengan dosis 4 t/ha pada saat pengolahan
tanah terakhir. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan
menganut prinsip PHT, sedangkan gulma dikendalikan secara mekanis. Peubah
yang diamati adalah:
 Tinggi tanaman, yaitu rata-rata tinggi tanaman dari 5 rumpun contoh, diukur
dari permukaan tanah sampai ujung malai tertinggi.
 Jumlah anakan produktif per rumpun, yaitu rata-rata jumlah anakan dari 5
rumpun contoh, dihitung pada umur 60 hst.
 Jumlah gabah isi dan gabah hampa, yaitu rata-rata jumlah gabah isi dan
hampa dari 5 rumpun contoh.
 Bobot 1000 butir gabah isi, yaitu bobot 1000 biji gabah pada kadar air 14%.

Hasil gabah bersih per petak ubinan, yaitu bobot gabah yang dipanen dari
petak ubinanberukuran 2 m x 3 m. Timbang bobot gabah bersih dan lakukan
pengukuran kadar air. Konversi hasil gabah per petak ke hasil gabah per
hektar pada kadar air 14% berdasarkan rumus :
10.000
100-KA
Hasil (t GKG/ha) = --------- x --------- x B
LP
Dimana : KA
LP
B
100-14
= Kadar air gabah waktu panen
= Luas panen (m2)
= Bobot gabah (kg)
Analisis data dengan metode menggunakan program SAS, dan untuk
mengetahui perbedaan perlakuan dilakukan dengan uji-t (DMRT).
909
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Hara Tanah dan Dosis Pupuk
Berdasarkan hasil analisis tanah dengan menggunakan PUTK, diketahui
bahwa lokasi kajian di desa Sepa, kecamatan Amahai, kabupaten Maluku Tengah
memiliki status hara tanah P yang tergolong sedang, K tinggi, pH agak masam,
dan C-organik rendah (Tabel 1).
Tabel 1. Status hara tanah pada lokasi kajian di Dusun Simalouw, Desa Sepa,
KM7 Makariki, Maluku Tengah, 2012
Uraian
P
K
pH Tanah
C-Organik
Keterangan:
1)
2)
Nilai1)
Sedang
Tinggi
Agak Masam
Rendah
Rekomendasi Pupuk2) (kg/ha)
150 kg SP-36
50 kg KCl
1 ton kapur
2 ton BO/ha
Hasil pengukuran dengan PUTK
Setyorini et al. (2007)
Dosis rekomendasi pemupukan N pada Padi Gogo didasarkan atas penggunaan
bahan organik. Jika menggunakan bahan organik, takaran pupuk urea adalah
200 kg/ha, tetapi jika tidak menggunakan bahan organik, dosis urea adalah 250
kg/ha. Sehubungan dengan ketersediaan pupuk tunggal yang tidak tersedia di
lapangan saat ini, maka dosis pupuk tunggal dikonversi ke pupuk majemuk.
Dengan demikian, dosis pemupukan Padi Gogo di lokasi kajian di Desa Sepa,
Kecamatan Amahai, Maluku Tengah adalah sebagai berikut : 200 kg NPK
Phonska + 200 kg urea.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Hasil pengamatan pertumbuhan dan hasil tanaman yang meliputi tinggi
tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi dan
gabah hampa, bobot 1000 biji dan hasil/ha disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan panjang malai
pada kajian beberapa varietas unggul baru dan lokal Padi Gogo umur 2
bulan, 2012
Perlakuan
A. Inpago 4
B. Inpago 5
C. Inpago 6
D. Gajah Mungkur
E. Danau Gaung
F. Situ Patenggang
G. Batu Tegi
H. Limboto
I. Fulan Telo Mihat (lokal merah Maluku)
J. Fulan Telo Gawa (lokal putih Maluku)
Tinggi
Tanaman
115,38
114,20
104,30
97,93
116,30
97,27
111,17
111,98
119,47
125,40
ab
abc
bcd
cd
ab
d
abcd
abcd
ab
a
Jumlah
Anakan
Produktif
9,60
11,13
10,00
6,07
9,37
10,13
8,00
13,07
7,67
7,67
b
ab
ab
c
bc
ab
bc
a
bc
bc
Panjang Malai
23,95
21,95
21,18
18,89
20,63
21,74
22,84
22,64
20,23
20,90
ab
bcde
cde
f
def
cde
bc
bcd
ef
a
Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada α=0.05.
910
Varietas lokal rata-rata mempunyai tinggi tanaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan padi VUB, namun jumlah anakan, panjang malai, jumlah
gabah isi/rumpundari varietas lokal lebih rendah dibandingkan padi VUB,
sehingga produktivitas padi lokal juga lebih rendah, yaitu 2,37 – 2,94 t/ha
(Tabel 2 dan 3).
Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan panjang malai
pada kajian beberapa varietas unggul baru dan lokal padi gogo umur 2
bulan, 2012
Perlakuan
Jumlah
Gabah Isi/
Rumpun
Jumlah Gabah
Hampa/
Rumpun
Bobot 1000
Biji
(gram)
Produksi
GKG
ton/ha*
A. Inpago 4
86,56
b
49,63
b
26,17
ab
3,76
bc
B. Inpago 5
68,12
b
21,08
d
20,02
bcd
4,65
ab
C. Inpago 6
93,43
a
40,50
bc
19,43
d
4,44
ab
D. Gajah Mungkur
64,93
b
36,77
cd
29,04
a
2,51
d
E. Danau Gaung
66,04
b
27,88
cd
27,48
ab
2,90
cd
F. Situ Patenggang
93,46
b
30,91
cd
23,98
abcd
5,47
a
128,18
a
83,43
a
20,11
cd
2,99
cd
78,77
b
25,85
cd
24,39
abcd
3,83
bc
66,12
b
37,60
bcd
23,48
bcd
2,37
d
80,10
b
39,73
bc
25,41
abc
2,94
cd
G. Batu Tegi
H. Limboto
I. Fulan Telo Mihat
(lokal merah Maluku)
J. Fulan Telo Gawa (lokal
putih Maluku)
Keterangan: * Konversi dari hasil ubinan 2 m x 3 m
Angka rata-rata pada kolom yang samayang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada α=0.05.
Beberapa varietas unggul yang mempunyai produktivitas cukup tinggi
adalah Situ Patenggang (5,47 t/ha), Inpago 5 (4,65 t/ha), dan Inpago 6 (4,44
t/ha). Ketiga varietas tersebut cukup potensial untuk dikembangkan pada lahan
kering selain karena mempunyai produktivitas yang tinggi, juga cukup adaptif
terhadap cekaman iklim ekstrim yaitu curah hujan yang tinggi dan serangan
hama burung yang agak rendah. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata hasil padi gogo di Maluku sebesar 2,26 t/ha (BPS Provinsi
Maluku, 2010).
Varietas unggul lainnya mempunyai hasil yang lebih rendah, yaitu Gajah
Mungkur, Danau Gaung, Batu Tegi 2,51 t – 2,99 t GKG/ha.Varietas unggul
Impago 4 dan Limboto rata-rata memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan varietas lokal Maluku, yaitu 3,76 t – 3,83 t/ha. Hal ini disebabkan
terutama karena adanya serangan hama burung yang agak sulit dikendalikan
karena serangan terkonsentrasi hanya pada kegiatan kajian adaptasi tersebut.
Ini dapat dilihat dari rata-rata bobot 1000 biji yang cukup tinggi dari setiap
varietas, namun rata-rata hasil yang dicapai rendah.Hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan di lokasi KP Makariki menunjukkan bahwa rata-rata hasil gabah
yang dicapai pada vareiats Batu Tegi, Situ Patenggang, dan Limboto lebih tinggi
dibandingkan hasil kajian ini, masing-masing 3,69 t, 5,02 t, dan 6,03 t GKG/ha
(Dahamarudin, 2011), dimana tidak ada serangan burung.
911
Hasil gabah yang rendah dari beberapa varietas unggul yang dikaji
diduga selain disebabkan oleh serangan hama burung, juga kondisi iklim yang
cukup ekstrim (curah hujan yang tinggi) selama penelitian berlangsung (Tabel
4), terutama pada bulan Juli dimana tanaman sempat tergenang akibat luapan
banjir dari sungai.Curah hujan dalam tiga bulan (Juni sampai Agustus) berkisar
antara 511,0 - 1.064 mm, jauh di atas rata-rata curah hujan untuk kebutuhan
minimum tanaman padi (100 - 200 mm/bulan) (Oldeman dan Darmijati, 1977).
Tabel 4. Rata-rata curah hujan dan hari hujan selama penelitian berlangsung,
2012
Uraian
CH
(mm)
HH
(hari)
1
62
2
141,5
3
216,3
4
193,5
5
240
13
15
16
11
20
Bulan
6
7
511
1.064
24
28
8
692
9
159
10
54
11
26.5
12
127
24
17
8
5
14
Sumber : Stasiun Pos Makariki, Maluku Tengah, 2012
Varietas lokal Maluku pada pertumbuhan vegetatif cukup baik
penampilannya, tapi akibat serangan burung yang cukup tinggi maka hasil yang
dicapai rendah.Hasil kajian pemupukan yang dilakukan di KP. Makariki dengan
pemasangan jejaring benang di atas pertanaman, rata-rata hasil varietas lokal
putih Maluku (Fulan Telo Gawa) sebesar 2,69 t – 4,93 t/ha dan varietas unggul
baru Inpago 6 sebesar 3,26 t – 4,86 t/ha (Sirappa dan Dahamarudin, 2013).
KESIMPULAN
1. Varietas memberikan pengaruh signifikan terhadap produktivitas padi gogo
varietas unggul baru dan lokal Maluku.
2. Hasil gabah tertinggi diperoleh pada varietas Situ Patenggang (5,47 t/ha) dan
tidak berbeda nyata dengan Inpago 5 (4,65 t/ha) dan Inpago 6 (4,44 t/ha).
3. Varietas Limboto dan Inpago 4 memberikan hasil 3,83 t/ha dan 3,76 t/ha,
sedangkan varietas Fulan Telo Mihat (lokal merah Maluku), Gajah Mungkur,
Danau Gaung, Fulan Telo Gawa (Lokal putih Maluku), dan Batu Tegi, masingmasing memberikan hasil 2,37 t, 2,51 t, 2,90 t, 2,94 t dan 2,99 t/ha.
4. Varietas yang mempunyai prospek untuk pengembangan di Maluku adalah
varietas unggul baru Situ Patenggang, Inpago 5, Inpago 6, dan Fulan Telo
Gawa (lokal putih Pulau Buru, Maluku).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2008. Teknologi Padi dan Pemanasan Global.
Kerjasama Indonesia-IRRI. Badan Litbang Pertanian. International Rice
Risearch Institute.
Baehaki, S.E. 2001. Skrining Lapangan terhadap Hama Utama Tanaman Padi.
Pelatihan dan Koordinasi Program Pemuliaan Partisipatif (Shuttle
912
Breeding) dan Uji Multi Lokasi.
Balai Penelitian Tanaman Padi
Sukamandi, 9-14 April 2001.
Balitpa.
2004.
Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan
Kesejahteraan Petani. Balitpa, Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
BPS Provinsi Maluku. 2010. Maluku Dalam Angka.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Kerjasama BPS dengan
Dahamarudin, La. 2011. Perlakuan Invigorasi Benih Untuk Meningkatkan
Viabilitas, Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Padi Gogo (Oryza sativa L.).
Thesis Pascasarjana Jurusan Buddaya Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Dirjen Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.
Kementerian Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan.
Hapsah, M. Djafar.
2005.
Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian
Swasembada Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hal. 55-70.
Dalam B. Suprihatno et al. (ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju
Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan
Litbang Pertanian.
Kemeterian Pertanian. 2013. Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton Pada Tahun 2014. Edisi
Revisi. Kementerian Pertanian.
Las, I. 2003. Peta Perkembangan dan Pemanfaatan Varietas Unggul Padi.
Dokumen, Okt. 2003.
Lubis, E. Suwarno,dan M. Bustaman. 1999. Genetik Ketahanan Beberapa
Varietas Lokal Padi Gogo terhadap Penyakit Blas. Balai Penelitian
Tanaman Padi Sukamandi. Penelitian Pertanian Tanaman pangan V.
18:2:1999. Puslitbangtan.
Makarim, A.K. dan Irsal Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi
Sawah Irigasi melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT). Hal. 115-127. DalamB. Suprihatno et al.
(ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan.
Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
Oldeman, L.S. dan Darmiyati S. 1977. An Agroclimatic Map of Sulawesi.
Contribution No. 33 (1977) 30p. Bogor: Center Res. Inst.For Agr.
Setyorini, D., Nurjaya, L.R. Widowati dan A. Kasno. 2007. Petunjuk Penggunaan
Perangkat Uji Tanah Kering (Upland Soil Test Kit). Versi 1.0. Balai
Penelitian Tanah.
BB Litbang SDLP, Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian.
Sirappa, M.P. dan La Dahamsrudin. 2013. Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo
Varietas Unggul dan Lokal Yang Diberi Pupuk Organik dan Anorganik.
Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional di BPTP Sulawesi Tengah,
18 Maret 2013 (belum terbit).
913
DEKRIPSI BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO
LIMBOTO
Nomor seleksi
Asal persilangan
Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
Hama
Penyakit
Cekaman lingkungan
Anjuran tanam
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
TB47H-MR-5
Papah Aren/IR36//Dogo
Cere
115 – 125 hari
Tegak
110 – 132 cm
12 – 18 batang
Hijau
Hijau
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Kasar
Tegak
Mendatar
Bulat besar
Kuning bergaris coklat
Sedang
Tahan
Sedang
24 %
28 g
4,5 t/ha
6,0 t/ha
Tahan terhadap lalat bibit.
Tahan terhadap blas daun dan blas leher
Toleran kekeringan dan agak toleran keracunan Al.
: Cocok ditanam pada lahan kering (gogo) yang subur
dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl.
Pemulia
: E. Lubis, Murdani Diredja, Suwarno, danW. S.
ArdjasaTeknisi : Tusrimin dan Ade Santika
Alasan utama dilepas : Padi gogo hasil tinggi, tahan blas dan tolerankekeringan
Dilepas tahun
: 1999
SITU PATENGGANG
Nama seleksi
:
Asal persilangan
:
Golongan
:
Umur tanaman
:
Bentuk tanaman
:
Tinggi tanaman
:
Anakan produktif
:
Warna kaki
:
Warna batang
:
Warna telinga daun :
914
BP1153C-9-12
Kartuna / TB47H-MR-10
Cere
110 –120 hari
Tegak
100 –110 cm
10 – 11 batang
Ungu tua
Hijau tua
Kuning kotor
Warna lidah daun
Warna daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Indeks glikemik
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
Penyakit
Sifat khusus
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Ungu
Hijau, tepi daun tua berkilau ungu
Bagian atas kasar, bawah permukaan halus
Tegak
Menyudut 35 – 50 derajat
Agak gemuk
Kuning kotor
Sedang
Tahan
Sedang
24 %
53,7
27 g
4, 6 t/ha
6,0 t/ha
: Tahan blas
: Aromatik, respon terhadap pemupukan, mampu
dikembangkan di sawah
Anjuran tanam
: Lahan kering musim hujan, tumpangsari, lahan tipe
tanah
Aluvial dan Podsolik ketinggian tidak lebih dari 300 m dpl
Pemulia
: Ismail BP, Yamin S., Z.A. Simanullang, dan Aan A.
Daradjat
Tim peneliti
: Atito D, Husin Toha, Irsal L., dan Mukelar A.Teknisi : U.
Sujanang, Karmita, Meru, dan Sukarno
Pengusul
: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Alasan utama dilepas : Aromatik, produktivitas tinggi
Dilepas tahun
: 2003
BATUTEGI
Nomor seleksi
Asal persilangan
Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna helai daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
TB154E-TB-2
B6876B-MR-10/B6128B-TB-15
Cere
112 – 120 hari
Tegak
120 – 128 cm
8 – 12 batang
Hijau
Hijau
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Kasar
Tegak
Mendatar
Bulat sedang
Kuning bersih
915
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
Penyakit
Cekaman lingkungan
:
:
:
:
:
:
:
Sedang
Tahan
Pulen
22, 3%
25 g
3,0 t/ha
6,0 t/ha
: Tahan terhadap blas daun, blas leher, bercak daun coklat
: Agak toleran terhadap keracunan Al, dan bereaksi
moderat terhadap kekeringan
Anjuran tanam
: Baik dibudidayakan pada lahan kering subur dan lahan
kering Podzolik Merah Kuning(PMK) dengan tingkat
keracunan alumuniumsedang, dari dataran rendah
sampai ketinggian 500 m dpl.
Pemulia
: E. Lubis, M. Diredja, W. S. Ardjasa, B.Kustianto dan
Suwarno.
Teknisi
: Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan Ade Santika
Alasan utama dilepas : Padi gogo, hasil tinggi, tahan blas, mutu beras baik, nasi
pulen
Dilepas tahun
: 2001
GAJAH MUNGKUR
Nomor seleksi
Asal
Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna helai daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Potensi hasil
916
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
IRAT 112
Introduksi dari Kenya
Cere, kadang-kadang berbulu
90 – 95 hari
Tegak
95 – 100 cm
6 – 8 batang
Hijau tua
Hijau
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Licin
Tegak - miring
Tegak
Medium
Kuning keemasan
Agak tahan
Sedang
32, 2 %
36 g
2,5 t/ha
Ketahanan terhadap
Penyakit
Cekaman lingkungan
Anjuran tanam
Pemulia
Tw..Teknisi
Dilepas tahun
DANAU GAUNG
Nomor seleksi
Asal persilangan
Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna helai daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
Penyakit
Cekaman lingkungan
Anjuran tanam
Pemulia
Teknisi
Dilepas tahun
:
:
:
:
:
:
Tahan terhadap blas
Cukup toleran terhadap kekeringan
Baik ditanam sebagai padi gogo di daerah beriklim kering
Z. Harahap, Erwina Lubis, Murdani Diredja, dan Susanto
Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan Ade Santika
2001
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
TB165E-TB-12
ARC10372/B6135//Way Rarem
Cere
110 – 116 hari
Tegak
130 – 140 cm
14 – 18 batang
Hijau
Hijau
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Kasar
Tegak
Mendatar
Panjang sedang
Kuning bersih
Sedang
Tahan
sedang
24 %
27 g
3,4 t/ha
5,5 t/ha
: Tahan terhadap blas daun, blas leher, bercak daun coklat
: Agak toleran terhadap keracunan Al, toleran terhadap
keracunan Fe, dan bereaksi moderat terhadap ekeringan
: Baik dibudidayakan pada lahan kering suburdan lahan
kering Podzolik Merah Kuning(PMK) dengan tingkat k
keracunan alumuniumsedang, baik untuk padi sawah
beririgasi di lahan PMK dari dataran rendah sampai
ketinggian 500 m dpl.
: E. Lubis, M. Diredja, W. S. Ardjasa, Allidawati dan
Suwarno.
: Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan S. Suharsono
: 2001
917
INPAGO 4
Nomor seleksi
Asal persilangan
Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Jumlah gabah per
malai
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
Penyakit
Cekaman abiotik
Anjuran tanam
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
TB490C-TB-1-2-1
Batutegi/Cigeulis//Ciherang
Cere
124 hari
Tegak
134 cm
11 batang
Hijau
Hijau
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Kasar
Mendatar
Mendatar
Lonjong
Kuning jerami
:
:
:
:
:
:
:
:
248 butir
Sedang
Sedang
Pulen
21%
25 g
4,15 t/ha
6,08 t/ha
: Tahan terhadap beberapa ras penyakit blas
: Toleran terhadap keracunan Al (60 ppm)
: Baik ditanam di lahan kering subur, lahankering podsolik
merah kuning dengan tingkat keracunan aluminium
sedang
Pemulia
: Erwina Lubis, Aris Hairmansis, B. Kustianto,S. Suharsono,
Suwarno
Peneliti
: Santoso, Anggiani Nasution, Husin M. Toha
Teknisi
: Padio, Sunaryo, Endang Suparman, A.Santika, Pantja H.
Siwi
Pengusul
: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Alasan utama dilepas : Tahan beberapa ras blas, toleran Al, mutuberas baik
Dilepas tahun
: 2009
INPAGO 5
Nomor seleksi
Asal persilangan
Golongan
Umur tanaman
918
: B11338F-TB-26
: TB177E-TB-28-D-3/B10384E-MR-1-8-3//IR6008023///TB177E-TB-28-D- 3/B10386E-KN-36-2//BL245
: Cere
: 118 hari
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Kerontokan
Kerebahan
Jumlah gabah
per malai
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
Penyakit
Cekaman abiotik
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tegak
132 cm
14 batang
Hijau
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Kasar
Miring
Miring
Ramping
Kuning
Sedang
Sedang
:
:
:
:
:
:
148 butir
Sangat pulen
18%
26 g
4,04 t/ha
6,18 t/ha
: Tahan terhadap beberapa ras penyakit blas
: Toleran kekeringan, agak toleran terhadapkeracunan Al
(60 ppm)
Anjuran tanam
: Baik ditanam di lahan kering subur, lahan keringpodsolik
merah kuning dengan tingkatkeracunan alumunium
sedang
Pemulia
: Suwarno, E. Lubis, Bambang Kustianto, ArisHairmansis,
Supartopo
Peneliti
: Anggiani Nasution, Santoso, Husin M. TohaTeknisi :
Sunaryo, A. Santika, E. Suparman, Subardi,Pantja H. Siwi
Pengusul
: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Alasan utama dilepas : Tahan blas, toleran Al dan kekeringan, mutu beras baik,
nasi sangat pulen
Dilepas tahun
: 2009
INPAGO 6
Nomor seleksi
Asal persilangan
Golongan
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Anakan produktif
Warna kaki
Warna batang
: IR30176-B-2-MR-1
: Introduksi, IRAM2165/NC1281
: Cere
: 113 hari
: Tegak
: 117 cm
: 11 batang
: Hijau
: Hijau
919
Warna telinga daun
Warna lidah daun
Warna daun
Muka daun
Posisi daun
Daun bendera
Bentuk gabah
Warna gabah
Kerontokan
Kerebahan
Tekstur nasi
Kadar amilosa
Bobot 1000 butir
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Ketahanan terhadap
Penyakit
Cekaman abiotik
Anjuran tanam
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tidak berwarna
Tidak berwarna
Hijau
Kasar
Tegak-Miring
Tegak-Miring
Ramping
Kuning jerami
Sedang
Tahan
135 butir
22%
25 g
3,9 t/ha
5,81 t/ha
: Tahan terhadap beberapa ras penyakit blas
: Agak toleran terhadap keracunan Al (60 ppm)
: Baik ditanam di lahan kering subur, lahankering podsolik
merah kuning dengantingkatkeracunan aluminium sedang
Pemulia
: B. Kustianto, E. Lubis, Aris Hairmansis,Supartopo,
Suwarno
Peneliti
: Santoso, Anggiani Nasution, Husin M. TohaTeknisi :
Sunaryo, A. Santika, Pardio, E. Suparman,Pantjia H. Siwi
Pengusul
: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Alasan utama dilepas : Tahan blas, toleran Al, mutu beras baik
Dilepas tahun
: 2009
920
KAJIAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH
(Arachis hypogaea L.) PADA BERBAGAI PEMUPUKAN N
DAN JARAK TANAM JAGUNG (Zea mays L.)
DALAM POLA TUMPANG SARI DI LAHAN KERING MALUKU TENGAH
A. Arivin Rivaie dan Albertus E. Kelpitna
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku
Jl. Chr. Soplanit, Rumah Tiga – Ambon, Maluku
Telp (0911) 322664, Faks (0911) 322542
Email: arivinrivaie@yahoo.com
ABSTRAK
Integrasi jagung dengan kacang tanah dalam pola tumpangsari sangat bermanfaat
karena kacang tanah dapat memfiksasi N dari udara bebas lewat bakteri Rhizobium.
Pengaturan jarak tanam pada pola tumpangsari jagung dan kacang tanah sangat penting
untuk menghindari kompetisi dalam pengambilan cahaya matahari, air, dan unsur hara
termasuk N, salah satu unsur hara makro esensial. Akan tetapi, tumpangsari jagung
dengan kacang tanah yang dijumpai ditingkat petani umumnya tidak menggunakan jarak
tanam yang teratur. Sehingga berdampak pada rendahnya produksi per satuan luas.
Telah dilakukan kajian pola tumpangsari kacang tanah/jagung yang bertujuan untuk
mengkaji pengaruh pemupukan N dan jarak tanam jagung terhadap pertumbuhan dan
produksi kacang tanah dalam pola tumpangsari pada lahan kering di Desa Makariki,
Kecamatan Amahai, Maluku Tengah dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2009.
Percobaan lapangan disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (Split-Plot Design) yang
diulang 3 kali. Jarak tanam jagung sebagai petak utama, yaitu: (i) J1 = 80 x 25 cm, 6
baris jagung, 2 baris kacang tanah, (ii) J2 = 160 x 25 cm, 3 baris jagung, 4 baris kacang
tanah, dan (iii) J3 = 240 x 25 cm, 2 baris jagung, 6 baris kacang tanah. Dosis N (kg/ha)
sebagai anak petak, yaitu: (i) N0 = 0-0-0, (ii) N1 = 45-60-50, (iii) N2 = 90-60-50, (iv) N3 =
135-60-50, dan (v) N4 = 180-60-50. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa (a)
Penggunaan jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) meningkatkan produksi polong kering,
(b) Interaksi perlakuan jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) dengan dosis nitrogen N 3
(300 kg urea/ha) memberikan produksi polong kering tertinggi.
Kata kunci: Dosis N, jarak tanam, tumpangsari, jagung, kacang tanah
PENDAHULUAN
Dalam budidaya tanaman jagung, terdapat ruang kosong yang cukup
besar, karena pada umumnya jarak tanam antar barisan tanaman adalah 100 cm
atau 75 cm. Dalam rangka memanfaatkan ruang kosong tersebut, sangat tepat
jika budidaya tanaman jagung diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman
lain. Tumpangsari (intercroping) adalah salah satu bentuk dari Multiple Cropping
yang batasan pengertiannya adalah penanaman dua atau lebih tanaman secara
serempak pada lahan yang sama dalam waktu tertentu. Pilihan tanaman untuk
tumpangsari dengan jagung harus mempertimbangkan berbagai faktor antara
lain kompetisi terhadap input lingkungan yang dibutuhkan kedua tanaman. Salah
satu faktor input lingkungan yang perlu dipertimbangkan adalah aspek cahaya
dan nutrisi. Dalam hal ini, pilihan tanaman tumpangsari sedapat mungkin
921
meminimalkan terjadinya kompetisi terhadap cahaya dan nutrisi, misalnya
tanaman jagung dengan tanaman kacang tanah (Carr et al., 2004; Agegnehu et
al., 2006; Dhima et al., 2007).
Pupuk merupakan salah satu input usahatani yang mahal dan penting
dalam memperbaiki produksi tanaman sehingga dalam penggunaanya harus
tepat dosis agar tanaman dapat melakukan proses metabolisme dengan baik dan
menghindari pemborosan serta pencemaran lingkungan. Cara untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk adalah meningkatkan kepadatan akar
yang menyerap pupuk pada tanah lapisan olah melalui sistem tumpangsari.
Nitrogen sering juga disebut unsur yang mobil karena mudah menguap, larut,
tercuci (leaching) dan hilang masuk bersama air kedalam tanah yang dalam
sehingga yang diserap oleh tanaman hanya sedikit. Efisiensi penggunaan pupuk
nitrogen untuk tanaman serealia diperkirakan hanya 33% atau pada padi sawah
sebesar 40% (Sumarno, 2000; Glass, 2003).
Kacang tanah (Arachis hypogea L.) adalah salah satu jenis kacangkacangan sebagai sumber protein nabati yang tinggi setelah kedelai dan sangat
penting untuk proses metabolisme tubuh manusia juga sebagai pakan dan bahan
baku industri. Integrasi jagung dengan kacang tanah sangat bermanfaat karena
kacang tanah dapat memfiksasi N dari udara bebas lewat bakteri Rhizobium
sehingga kebutuhan nitrogen dalam bentuk pupuk anorganik dapat ditekan dan
tanaman jagung dapat mengambil sisa nitrogen yang tidak diserap oleh kacang
tanah (Fujita et al., 1992; Akunda, 2001; Muoneke et al., 2007).
Pengaturan jarak tanam pada pola tumpangsari jagung dan kacang tanah
merupakan hal yang esensi karena akan terjadi kompetisi dalam pengambilan
unsur hara, air, ruang dan cahaya matahari (Akunda, 2001; Prasad and Brook,
2005). Tumpangsari jagung dengan kacang tanah yang dijumpai ditingkat petani
umumnya tidak menggunakan jarak tanam yang teratur sehingga berpengaruh
terhadap jumlah populasi tanaman dan sulit dalam aplikasi bahan kimia,
penyiangan dan panen serta berdampak pada rendahnya produksi per satuan
luas (Suyamto, 1993). Jarak tanam yang tepat akan menentukan jumlah
populasi tanaman dalam suatu areal dan diperoleh hasil yang maksimal. Populasi
yang terlalu banyak akan mengakibatkan tidaknya efisiensi dalam penggunaan
ruang, cahaya, air dan unsur hara dalam tanah, sebaliknya populasi yang terlalu
sedikit mengakibatkan tidak efisiensi dalam pemanfaatan lahan yang
kesemuanya akan menyebabkan menurunnya hasil per satuan luas. Oleh karena
itu, kajian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemupukan N dan jarak
tanam jagung terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah dalam pola
tumpangsari pada lahan kering di Desa Makariki, Kecamatan Amahai, Maluku
Tengah.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di kebun Percobaan Makariki, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Maluku di Desa Makariki Kecamatan Amahai Maluku Tengah,
dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2009.
Dalam penelitian ini bahan-bahan yang digunakan antara lain : Pupuk
urea sebagai sumber N, SP-36, KCl, benih jagung varietas Srikandi Kuning 1,
benih kacang tanah lokal merah dan pestisida. Alat yang digunakan yaitu traktor,
922
pacul, meteran, parang, timbangan, ember, hand sprayer, kamera dan alat tulis
menulis dan PUTK (Perangkat Uji Tanah Kering). Pengkajian di lapangan
dirancang dengan menggunakan rancangan Split Plot Design (Rancangan Petak
Terbagi) yang diulang 3 kali dengan dosis nitrogen sebagai anak petak dan jarak
tanam jagung sebagai petak utama. Petak utama terdiri atas: (i) J1 = 80 x 25 cm
(6 baris jagung : 2 baris kacang tanah), (ii) J2 = 160 x 25 cm (3 baris jagung : 4
baris kacang tanah), dan (iii) J3 = 240 x 25 cm (2 baris jagung : 6 baris kacang
tanah). Sedangkan anak petak (N kg/ha) terdiri atas: (i) N0 = 0 – 0 – 0, (ii)
N1 = 45 – 60 – 50, (iii) N2 = 90 – 60 – 50, (iv) N3 = 135 – 60 – 50, dan (v) N4
= 180 – 60 – 50.
Jumlah satuan percobaan sebanyak 3 x 5 x 3 = 45 dengan luas petak 4,8
x 3 m. Setiap satuan percobaan ditentukan sepuluh tanaman sampel secara
acak. Pembersihan lahan dilakukan untuk membersihkan gulma yang ada diareal
penanaman kemudian dibajak dengan traktor secara sempurna (2 kali bajak, 1
kali harrow). Lokasi penanaman diploting dengan ukuran petak 4,8 x 3 m
sebanyak 36 petak, jarak antar petak 50 cm dan antar ulangan 1,5 m.
Penanaman jagung dilakukan dengan cara tugal 2-3 biji/lubang dengan jarak
tanam sesuai perlakuan dan jarak tanam kacang tanah 40 x 20 cm secara tugal
dengan 2 biji/lubang. Pada umur tujuh hari setelah tanam (hst) tanaman jagung
dipupuk dengan dosis 1/3 urea sesuai perlakuan N0 = 0, N1 = 48 g, N2 = 96 g,
N3 = 144 g, dan N4 = 192 g/petak serta semua SP-36 dan KCl yang diberikan
secara tugal ± 5 cm pada samping tanaman dan pemupukan kedua pada umur
30 hst, yaitu sisa 2/3 urea N0 = 0, N1 = 96 g, N2 = 182 g, N3 = 278 g, dan N4
= 374 g/petak, sedangkan untuk kacang tanah pemupukan dilakukan hanya satu
kali pada umur 7-10 hst dengan takaran pupuk urea = 72 g, SP-36 = 64,8 g dan
KCl = 72 g/petak yang diberikan secara larikan di samping barisan tanaman.
Pemeliharaan meliputi penyulaman yang dilakukan pada umur 7 HST jika
ada tanaman yang mati, penjarangan dilakukan dengan mempertahankan 2
tanaman jagung yang sehat per rumpun, penyiraman bila diperlukan,
pengendalian gulma dilakukan secara intensif dan pembumbunan kacang tanah
pada umur 21 HST. Pengendalian hama dengan perlakuan seed treatment benih
jagung yang dicampur dengan perbandingan 1 gram Dithane M 45 dengan 1 kg
jagung dan 1 g Sevin dengan 1 kg kacang tanah. Panen dilakukan jika daun
telah berwarna kuning dan sebagian telah berguguran yang ditandai dengan
polong sudah berisi dan keras. Data hasil pengamatan ditabulasi kemudian diuji
secara statistik dengan menggunakan uji F dan bila ada perlakuan yang
menunjukan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan menggunakan uji
BNT pada taraf p = 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Kacang tanah
Hasil uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap tinggi tanaman dan
luas daun kacang tanah umur 6 MST dapat dilihat pada Tabel 1.
923
Tabel 1. Hasil uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap tinggi tanaman
dan luas daun kacang tanah umur 6 MST
Perlakuan
J1
J2
J3
B N T = 0.05
Tinggi tanaman (cm)
58.5 a
53.0 b
51.5 c
1.86
Luas daun (mm2)
217 c
249 a
232 b
152
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang
sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05
Tabel 1 menunjukan bahwa tanaman tertinggi (58.5 cm) dicapai pada
perlakuan jarak tanam jagung J1 (80 x 25 cm) dan berbeda nyata dengan
perlakuan lain sedangkan luas daun terbesar (249 mm) dicapai pada perlakuan
J2 (160 x 25 cm) dan berbeda nyata dengan perlakuan lain. Hal ini
mengindikasikan bahwa tanaman kacang tanah yang ditumpangsarikan dengan
jagung pada perlakuan jarak tanam jagung J1 (80 x 25 cm) lebih tinggi dengan
luas daun yang sempit dibandingkan dengan tinggi tanaman dan luas daun
kacang tanah pada perlakuan jarak tanam jagung J2 dan J3 karena pada jarak
tanam jagung J1 tanaman kacang tanah berkompetisi dengan jagung dalam
memanfaatkan factor-faktor tumbuh terutama cahaya matahari sehingga kacang
tanah tumbuh memanjang dengan luas daun yang sempit. Menurut Cahyono
(2007), tanaman kacang tanam yang tumbuh di tempat-tempat teduh (naungan)
maka tanaman tumbuhnya memanjang, kurus, pucat dan tidak berproduksi
karena intensitas cahaya matahari yang kurang menyebabkan laju
perkecambahan dan pertumbuhan tanaman menjadi lambat.
Uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap jumlah polong tua,
bobot 100 biji dan produksi polong kering ton/ha dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji beda pengaruh jarak tanam jagung terhadap polong tua, bobot
100 biji dan produksi polong kering
Perlakuan
J1
J2
J3
B N T = 0.05
Polong muda
4.2 a
2.4 b
2.3 b
1.13
Polong tua
8.2 c
9.1 b
13.9 a
0.46
Bobot 100 biji (g)
44.5 c
44.8 b
47.3 a
0.43
Produksi t/ha
0. 52 c
0.59 b
1.07 a
0.05
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang
sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05
Tabel 2 menunjukan bahwa polong muda terbanyak (4.2 polong) dicapai
pada perlakuan J1 dan berbeda nyata dengan perlakuan J2 dan J3, polong tua
terbanyak (13.9) bobot 100 biji tertinggi (47.3 g) dan produksi polong kering
tertinggi (1.07 t) dicapai pada perlakuan jarak tanam J3 dan ketiga variabel
tersebut berbeda nyata dengan perlakuan J1 dan J2.
Hasil penelitian menunjukan jumlah polong tua, bobot 100 biji, dan
produksi polong kering ton/ha dicapai pada perlakuan jarak tanam jagung J3
diikuti dengan J2 dan J1. Hal ini disebabkan tanaman kacang tanah yang
tumbuh pada jarak tanam jagung J1 berkompetisis dengan tanaman jagung
untuk memanfaatkan faktor tumbuh, sebaliknya tanaman kacang tanah yang
tumbuh pada jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) tidak berkompetisi dengan
tanaman jagung sehingga berpeluang untuk memanfaatkan faktor-faktor tumbuh
924
(cahaya matahari, ruang, unsur hara dan air) dengan baik untuk kelangsungan
fotosintesis dan fotosintat dapat ditranslokasikan ke bagian-bagian organ
tanaman (sink) dengan sempurna dan berdampak pada peningkatan jumlah
polong tua, bertambahnya bobot 100 biji dan produksi polong kering ton/ha, hal
ini dijelaskan oleh Cahyono (2007), bahwa tanaman kacang tanah dapat
berproduksi dengan baik memerlukan panjang penyinaran matahari
(fotoperiodisitas) penuh sepanjang hari. Hasil uji beda pengaruh dosis nitrogen
terhadap tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji beda pengaruh dosis Nitrogen terhadap tinggi tanaman dan
luas daun kacang tanah umur 6 MST
Perlakuan
N0
N1
N2
N3
N4
B N T = 0.05
Tinggi tanaman (cm)
53.1 b
54.4 a
56.5 a
52.8 b
54.9 a
1.78
Luas daun (mm2)
20.2 c
22.6 b
23.4 b
23.6 a
24.3 a
1.46
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05
Tabel 3 menunjukan tanaman tertinggi dicapai pada perlakuan N2
(56.5cm), N4 (54.9 cm), dan N1 (54.4 cm). Ketiga berbeda nyata dengan
perlakuan lain. Luas daun terluas (24.3 mm) dicapai pada N4 dan N3 (23.6 mm)
dan berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan dosis Nitrogen
yang diaplikasikan untuk tanaman jagung dalam pola tumpangsari dengan
kacang tanah dapat menambah tinggi tanaman dan luas daun kacang tanah.
Hasil Kacang Tanah
Uji beda pengaruh dosis nitrogen terhadap jumlah polong tua, bobot 100
biji dan produksi polong kering ton/ha dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji beda pengaruh dosis nitrogen terhadap jumlah polong tua,
bobot 100 biji dan produksi polong kering kacang tanah
Perlakuan
N0
N1
N2
N3
N4
B N T= 0.05
Jumlah polong tua
9.0 c
9.8 b
10.6 a
11.3 a
11.2 a
0.65
Bobot 100 biji (g)
21.8 b
22.1 a
22.4 a
23.6 a
22.7 a
1.67
Produksi (t/ha)
0.35 b
0.36 b
0.35 b
0.95 a
0.37 b
0.048
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang
sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05
Tabel 4 menunjukan bahwa polong tua terbanyak (11.3 polong) dicapai
pada perlakuan dosis nitrogen N3, N4 (11.2 polong) dan N2 (10.6 polong) ketiga
parameter tersebut berbeda nyata dengan perlakuan N1 (9.8 polong) dan N0
(9.0 polong). Bobot 100 biji tertinggi dicapai pada perlakuan N4 (22.7 g) diikuti
dengan N3 (23.6 g) N2 (22.4 g) dan N1 (22.1 g) keempat parameter tersebut
berbeda nyata dengan perlakuan N0 (21.8 g). Hasil penelitian menunjukan
bahwa perlakuan dosis nitrogen N1, N2, N3, N4 memberikan penambahan
925
jumlah polong tua dan bobot 100 biji hal ini terjadi karena sifat unsure hara
nitrogen yang mobil (mudah begerak) tidak diserap oleh tanaman jagung dapat
dimanfaatkan oleh tanaman kacang tanah untuk menunjang pertumbuhan dan
perkembangannya. Menurut Cahyono (2007), bahwa tanaman kacang tanah
yang kekurangan zat hara nitrogen dapat mengakibatkan tanaman tumbuh
kerdil, daun berwarna hijau kekuningan dan produksinya rendah. Sedangkan
produksi polong kering tertinggi (0.95 ton) dicapai pada perlakuan N3 dan
berbeda nyata dengan perlakuan lain.
Uji beda pengaruh interaksi jarak tanam jagung dan dosis nitrogen
terhadap jumlah polong tua dan produksi polong kering ton/ha dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Interaksi pengaruh jarak tanamn jagung dan dosis nitrogen
terhadap polong tua dan produksi polong kering ton/ha
Perlakuan
J1N0
J1N1
J1N2
J1N3
J1N4
J2N0
J2N1
J2N2
J2N3
J2N4
J3N0
J3N1
J3N2
J3N3
J3N4
BNT 0.05
Jumlah polong tua
7.3 f
7.7 f
8.2 e
9.0 de
8.7 e
7.7 ef
8.2 e
9.6 d
10.3 d
9.8 d
12.1 c
13.6 b
14.2 ab
14.6 a
15.3 a
1.31
Produksi (t/ha)
0.41 h
0.43 g
0.46 g
0.54 f
0.74 d
0.52 fg
0.61 ef
0.57 f
0.54 f
0.69 de
0.92 c
1.12 a
1.07 a
1.14 a
1.12 a
0.08
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang
sama tidak berbeda menurut uji BNT pada taraf p = 0.05
Tabel 5 menunjukan bahwa jumlah polong tua terbanyak (15.3 polong)
dicapai pada kombinasi perlakuan J3N4, J3N3 (14.6 polong) dan J3N2 (14.2
polong) ketiga kombinasi perlakuan tersebut (J3N4, J3N3 dan J3N2) berbeda
nyata dengan kombinasi perlakuan yang lain sedangkan produksi polong kering
tertinggi (1.14 ton) dicapai pada kombinasi J3N3, J3N1 (1.12 ton/ha) dan J3N4
(1.12 ton/ha) keempat kombinasi tersebut berbeda nyata dengan perlakuan yang
lain. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semakin jarak tanam jagung
diperluas J3 (240 x 25 cm) dalam pola tumpangsari dengan kacang tanah dan
diikuti dengan perlakuan dosis nitrogen N3 (300 kg urea/ha) dan N4 (400 kg
urea/ha) untuk tanaman jagung dapat menambah jumlah polong tua dan
produksi polong kering ton/ha karena tanaman kacang tanah yang tumbuh pada
jarak tanam jagung J3 tidak berkompetisi dengan tanaman jagung dalam
memanfaatkan faktor-faktor tumbuh dan unsur hara nitrogen yang tercuci
terbawa air dapat diserap oleh tanaman kacang tanah
926
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian pengaruh pemupukan N dan jarak tanam jagung
terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah dalam pola tumpangsari di
lahan kering ini dapat disimpulkan bahwa (i) Penggunaan jarak tanam jagung J3
(240 x 25 cm) dapat meningkatkan produksi polong kering (t/ha), dan (ii)
Interaksi perlakuan jarak tanam jagung J3 (240 x 25 cm) dengan dosis nitrogen
N3 (300 kg urea/ha) dapat meningkatkan produksi polong kering (t/ha).
SARAN
Disarankan agar dalam praktek tumpangsari jagung/kacang tanah untuk
menggunakan jarak tanam jagung J3N3 (240 x 25 cm) dan J2N3 (160 x 25 cm)
dan mendapatkan informasi yang lebih lengkap, maka perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk mengetahui kebutuhan pupuk P dan K untuk pola tanam ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agegnehu, G., A. Ghizam and W. Sinebo. 2006. Yield performance and land-use
efficiency of barley and faba bean mixed cropping in Ethiopian
highlands. Eur. J. Agron. 25: 202-207.
Akunda E.M. (2001). Intercropping and population density effects on yield
component, seed quality and photosynthesis of sorghum and soybean.
J. Food Tech. (Africa) 6: 170-172.
Cahyono B. 2007. Budidaya Kacamg tanah. Teknik Budidaya pengolahan. Analisis
Usaha Tani. Penerbit Aneka Ilmu. Semarang.
Carr, P.M., R.D. Horsley and W.W. Poland. 2004. Barley, oat and cereal-pea
mixtures as dryland forages in the Northern Great Plains. Agron. J. 96:
677- 684.
Dhima, K.V., A.A. Lithourgidis, I.B. Vasilakoglou and C.A. Dordas. 2007.
Competition indices of common vetch and cereal intercrops in two
seeding ratio. Field Crop Res. 100: 249-256.
Fujita K, Ofosu-Budu K.G., Ogata S. 1992. Biological nitrogen fixation in mixed
legume-cereal cropping systems. Plant Soil, 141: 155-175.
Glass, A. D. M. 2003. Nitrogen Use Efficiency of Crop Plants: Physiological
Constraints upon Nitrogen Absorption. Critical Reviews in Plant Sciences
22: 453-470.
Muoneke C.O., Ogwuche M.A.O., Kalu B.A. (2007). Effect of maize planting
density on the performance of maize/soybean intercropping system in a
guinea savanna agroecosystem. Afr. J. Agric. Res., 2: 667-677.
Prasad, R. B. and Brook, R. M. (2005). Effect of varying maize densities on
intercropped maize and soybean in Nepal. Experimental Agriculture
41:365–382.
927
Sumarno. 2000. Konsep Usaha Tani Ramah Lingkungan. Tonggak Kemajuan
Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Pusat Penelitian Tanaman
Pangan Bogor.
Suyamto, H. 1993. Hara mineral dan pengelolaan air pada tanaman kacang
tanah. Dalam A. Kasno, A. Winarto, dan Sunardi (Ed). Kacang tanah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian
Tanaman Pangan. Malang. p. 108-137.
928
KAJIAN POLA DISTRIBUSI PENERAPAN INOVASI PERTANIAN
SPESIFIK LOKASI DI PROVINSI GORONTALO
Muh. Asaad, Annas Zubair, dan Zulkifli Mantau
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Email: bptp-gorontalo@litbang.deptan.go.id
ABSTRAK
Dalam peningkatan produktivitas, inovasi teknologi telah banyak dilakukan, salah satunya
adalah terobosan dalam pelaksanaan SL-PTT padi.Tujuan dari kajian ini adalah
memetakan dan mengetahui pola distribusi penerapan inovasi PTT padi sawah di Provinsi
Gorontalo.Kajian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2011. Lokasi kajian
adalah empat Kabupaten di Provinsi Gorontalo, yaitu
Kab. Bone Bolango, Kab.
Gorontalo, Kab. Gorontalo Utara dan Kab. Boalemo. Data yang dikumpulkan terdiri dari
terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa informasi dan atau
publikasi dari para stakeholder (instansi terkait), yaitu Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPS,
Kecamatan dan Desa. Sedangkan data primer merupakan hasil wawancara terstruktur
dan semi terstruktur dari para responden (petani dan PPL) di empat Kabupaten tersebut.
Data dianalisis deskriptif dan analisis domain. Hasil kajian menunjukkan bahwa pola
distribusi penerapan inovasi teknologi yang diharapkan oleh petani adalah dari BPTP
langsung ke petani, sedangkan umumnya pola yang diinginkan oleh para stakeholder
harus tetap melewati lembaga penyuluhan kemudian ke penyuluh lapangan untuk
selanjutnya disebarluaskan ke tingkat petani.
Kata kunci : Pola distribusi, inovasi, spesifik lokasi
PENDAHULUAN
Salah satu sumber pertumbuhan yang mendukung pengembangan
agribisnis yang handal dan potensial ialah inovasi teknologi yang bermanfaat
meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas dan pengembangan produk.Hal
ini berdampak pada pemacuan pertumbuhan diversifikasi produk, transformasi
produk, nilai tambah dan daya saing inovasi teknologi yang vital dalam
mendorong perluasan dan diversifikasi agribisnis yang dinamis, efisien dan
berdaya saing tinggi. Oleh karenanya inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, seyogyanya merupakan : 1) teknologi yang
dibutuhkan 2) mempunyai nilai komersial serta 3) memberi nilai tambah
(demand driver and market oriented technology) kepada khalayak penggunanya.
Upaya memacu produksi dilakukan baik melalui perluasan areal tanam
maupun peningkatan produktivitas.Dalam peningkatan produktivitas, inovasi
teknologi telah banyak dilakukan. Terobasan dalam peningkatan produktivitas
dilakukan Badan Litbang Pertanian melalui pendekatan PTT dimana dalam
pendekatan ini menekankan peningkatan produktivitasi dan pendapatan petani
dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Dalam implementasinya,
PTT memadukan pengelolaan tanaman, tanah, air, iklim dan OPT dalam
perakitan paket teknologi. Dalam upaya penyebarluasan pemahaman PTT
dengan baik ke tingkat petani, Kementerian Pertanian melakukan program SLPTT. Pelaksanaan SL-PTT mengadopsi program SL-PHT yang telah berhasil dan
929
berkembangan baik dan dengan memadukan pengalaman-pengalaman dalam
pelaksanaan pengembangaan inovasi teknologi budidaya terutama pada
tanaman padi dan jagung diberbagai lokasi di Indonesia (Badan Litbang
Pertanian, 2008).
Keberhasilan kegiatan pengkajian BPTP ditentukan oleh tingkat
pemanfaatan dan penerapan inovasi oleh pengguna teknologi khususnya
masyarakat tani di wilayah kerjanya. Umumnya hasil penelitian Badan Litbang
Pertanian baru diketahui oleh 50% penyuluh, setelah dua tahun sejak dihasilkan.
Setelah tahun ke-6 hanya 80% penyuluh, akibatnya teknologi yang sampai ke
petani akan lebih lama. Salah satu bagian dari mata rantai distribusi inovasi,
yaitu sistem penyampaian (Delivery Subsystem) dan sub sistem penerima
(Receiving Sub system), diduga merupakan penghambat yang menyebabkan
lambatnya penyampaian teknologi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi.
Proses inovasi tidak terjadi dalam suatu area yang terisolasi dari
lingkungan, tetapi merupakan hasil interaksi yang bersifat sistemik mencakup
sistem riset iptek, berbagai unsur lingkungan ekonomi, sistem pendidikan dan
pelatihan, sektor publik serta kondisi sosiokultural sebuah masyarakat. Ukuran
kinerja sistem inovasi ditentukan dari nilai tambah ekonomi atau sosial
(outcome) inovasi. Penciptaan pengetahuan baru merupakan aspek penting dari
inovasi, tetapi kinerja sistem inovasi ditentukan oleh keberhasilan dalam difusi
dan adopsi pengetahuan baru di seluruh sistem (Kemenristek, 2010).
Pola penyampaian inovasi teknologi yang konvensional juga
menyebabkan kemandekan penerapan inovasi teknologi seperti digunakannya
pola – pola yang top down, orientasi proyek dan non partisipatif.Fenomena ini
dapat dilihat dari suatu program yang dianggap proyek oleh petani sehingga
selesai program maka selesai pula keterlibatan petani dan tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan harus memenuhi
kriteria antara lain: 1) secara teknis mudah dilaksanakan, 2) secara finansial,
menguntungkan dan 3) secara sosial dapat diterima,sehingga pola adopsi dan
difusi teknologinya berlangsung cepat.
Agar inovasi teknologi yang dihasilkan oleh BPTP Gorontalo dapat
dimanfaatkan oleh pengguna akhir dan pengguna antara (stakeholder terkait
pada saat yang dibutuhkan) diperlukan suatu kajian tentang pola distribusi
penerapan inovasi pertanian spesifik lokasi di provinsi Gorontalo.Tujuan dari
kajian ini adalah memetakan dan mengetahui pola distribusi penerapan inovasi
PTT padi sawah di Provinsi Gorontal.
METODOLOGI
Kajian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2011. Lokasi
kajian adalah empat Kabupaten di Provinsi Gorontalo, yaitu Kab. Bone Bolango,
Kab. Gorontalo, Kab. Gorontalo Utara dan Kab. Boalemo.
Data yang dikumpulkan terdiri dari terdiri dari data sekunder dan data
primer. Data sekunder berupa informasi dan atau publikasi dari para stakeholder
(instansi terkait), yaitu Dinas Pertanian, BP4K, BP3K, BPS, Kecamatan dan Desa.
Sedangkan data primer merupakan hasil wawancara terstruktur dan semi
terstruktur dari para responden (petani dan PPL) di empat Kabupaten tersebut.
930
Berdasarkan indikator tersebut maka ditentukan 2 Kabupaten yang
dikategorikan telah berkembang, yaitu : Kab. Bone Bolango dan Kab. Gorontalo,
dan 2 Kabupaten yang dikategorikan kurang berkembang, yaitu : Kab. Gorontalo
Utara dan Kab. Boalemo. Selanjutnya lokasi kecamatan yang menjadi sasaran
pengamatan ditentukan secara purposive.
Selanjutnya untuk sampel responden pada masing-masing kabupaten
sebanyak 30 responden, ditentukan secara acak sederhana. Sehingga total
responden pada 4 kabupaten tersebut sebanyak 120 responden, terbagi atas 60
responden untuk wilayah yang telah berkembang inovasi teknologinya dan 60
responden lainnya untuk wilayah yang kurang berkembang inovasi teknologinya.
Untuk menentukan/memetakan pola distribusi sesuai tujuan pertama,
menggunakan analisis deskriptif dan analisis domain. Analisis domain merupakan
salah satu instrumen analisis data kualitatif yang dilakukan untuk memperoleh
gambaran/pengertian bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang
tercakup di suatu fokus/pokok permasalahan yang diteliti (Neuman, 2003).
Informan kunci dan responden ditentukan atas pertimbangan sebagai
berikut: (1) pelaku yang terlibat dalam alur penyebaran inovasi (pejabat, peneliti,
penyuluh, teknisi) baik di BPTP, Dinas terkait, Lembaga pelaksana fungsi
penyuluhan kabupaten, dan BPP; (2) petani/anggota kelompok tani yang
memiliki pengalaman dalam menerapkan teknologi dan dianggap berhasil, (3)
petani/anggota kelompoktani yang memiliki pengalaman menerapkan teknologi
dan dianggap kurang berhasil.
Pemetaan pola distribusi inovasi pertanian dilakukan berdasarkan pola
komunikasi teknologi yang menyangkut alur teknologi mulai dari pencipta
teknologi (Balai Komoditas) sampai kepada pengguna akhir teknologi (petani)
baik pola yang formal maupun pola informal, metode penyampaian,
menggunakan media elektronik, cetak, demfarm, dan demplot serta kemudahan
akses inovasi teknologi timbal balik dari peneliti ke petani
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani Responden
Secara umum karakteristik petani responden dalam penelitian ini terdiri
dari umur, pendidikan, penguasaan lahan, pengalaman berusahatani, status
anggota keluarga dan struktur pendapatan rumah tangga tani satu tahun
terakhir, baik yang berasal dari kegiatan on farm, off farm maupun non farm.
Dari 120 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 44 tahun
dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (54 persen). Tabel 1
memberikan gambaran umum mengenai kondisi usia para petani responden.
Tabel 1. Karakteristik usia petani responden
Usia
20 -30 tahun
30 - 40 tahun
40 - 50 tahun
50 - 60 tahun
> 60 tahun
Total
Persentase (%)
10
34
32
15
9
100
931
Berdasarkan Tabel 4 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi usia
para petani responden rata-rata masih pada usia produktif (usia kerja). Hal ini
mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk mengembangkan lagi
usahatani yang sudah ada.
Faktor pendidikan memegang peranan penting dalam suatu manajerial
usaha. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan membaca peluang usaha yang
dilakukan masing-masing petani responden. Petani responden pada umumnya
hanya tamat SD (54%), kemudian disusul tamat SMP (30%), SMA (14%) dan
Perguruan tinggi (2%). Hal ini berpengaruh pada kemampuan dan kesempatan
memperoleh alternatif usaha guna pemenuhan pendapatan rumahtangga tani. Di
samping itu, terdapat keterbatasan dalam pemilihan atau kemampuan
menangkap peluang usaha lain
Keseluruhan petani responden melakukan kegiatan usahatani padi dan
jagung sebagai sumber pendapatan utama dari sektor on farm, disamping
sebagian kecil berusahatani hortikultura, peternakan (sapi, kambing dan ayam)
dan perkebunan (kelapa dan kakao). Hal ini didasari pada curahan waktu kerja
pada kegiatan usahatani jagung dan padi sebanyak 8 – 10 jam per
hari.Sedangkan pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari off farm adalah
buruh tani harian dan pengolah hasil pertanian (musiman).Adapun dari sektor
non farm, profesi PNS dan atau pegawai tetap lainnya, merupakan sumber
pendapatan utama. Hal ini terlihat dari tingginya rata-rata pendapatan per tahun
dari sumber pendapatan tersebut (Tabel 2).
Tabel 2. Struktur pendapatan petani responden
Sumber Pendapatan
On Farm :
1. UT Jagung (MT)
2. UT Padi (MT)
3. Perkebunan (bulanan)
4. Peternakan (musiman)
5. UT Hortikultura
Off Farm :
1. Buruh tani (bulanan)
2. Pengolah (bulanan)
Non Farm :
1. Dagang (mingguan)
2. Industri (musiman)
3. PNS/TNI/POLRI (bulanan)
Pendapatan (rata-rata)
per periode (Rp)
per tahun (Rp)
5,236,645
12,137,886
2,575,000
258,333
416,667
10,473,290
24,275,772
7,900,000
3,100,000
5,000,000
1,089,893
380,000
2,086,315
760,000
175,000
5,000,000
2,366,600
3,000,000
5,000,000
28,400,000
Walaupun berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa secara keseluruhan
pendapatan dari usahatani padi sawah paling besar dibanding dengan usahatani
lainnya, namun ternyata petani merasa bahwa keuntungan tersebut hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga 25 – 50%. Hal ini berdasarkan hasil analisis
tabulasi kuisioner mengenai tingkat kepuasan petani dari keuntungan usahatani
padi sawah, dimana dari 120 responden, rata-rata menjawab bahwa tingkat
932
kepuasan dari keuntungan usahatani padi sawah masih rendah atau hanya
memenuhi kebutuhan hidup keluarga 25 – 50% saja.
Tabel 3. Luas kepemilikan lahan usahatani responden
No.
Luas Lahan (ha)
Jumlah Petani (orang)
Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
< 0.25
0.25 - 0.85
1–2
3–4
>4
5
74
36
5
0
4
62
30
4
0
Total
120
100%
Berdasarkan Tabel 3, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar petani
responden di empat kabupaten lokasi penelitian tersebut hanya memiliki lahan
usahatani sebesar 0.25 – 0.85 ha atau kurang dari 1 ha. Dari aspek perolehan
keuntungan usahatani padi sawah, luasan lahan sekecil ini belum akan mampu
memenuhi seluruh kebutuhan hidup petani. Sehingga hal ini sejalan dengan hasil
analisis tingkat kepuasan petani dari keuntungan usahatani padi sawah, seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya.
Pola Distribusi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah.
Pelaksanaan SL-PTT Padi Sawah Tahun 2011 di Provinsi Gorontalo
tersebar pada 5 Kabupaten dan 1 Kota sebanyak 1124 unit SL-PTT, dengan
rincian 74 unit di Kabupaten Bone Bolango, 520 unit di Kabupaten Gorontalo,
160 unit di Kabupaten Boalemo, 132 unit di Kabupaten Pohuwato, 200 unit di
Kabupaten Gorontalo Utara, 38 unit di Kota Gorontalo. Pelaksanaan SL-PTT di
Provinsi Gorontalo telah memasuki tahun ketiga sejak 2009. BPTP Gorontalo
sesuai dengan tugasnya melakukan pendampingan baru pada tahun 2010 berupa
display varietas unggul baru padi pada 60 % lokasi LL, penyebaran materi
teknologi berupa leaflet, brosur, poster; analisis tanah untuk rekomendasi
pemupukan pada 60 % LL; pelatihan-pelatihan baik ke PPL maupun ke petani,
serta temu lapang (BPTP Gorontalo, 2010)
Seperti diketahui bahwa PTT bukanlah paket teknologi melainkan
pendekatan yang sinergi dan terpadu yang didalamnya terdapat muatan
komponen teknologi spesifik lokasi, antara lain varietas unggul baru, benih
bermutu yang berlabel, system tanam jajar legowo, pemupukan berimbang, PHT,
penanganan panen dan pasca panen yang merupakan komponen teknologi dasar
disamping komponen teknologi pilihan lainnya seperti penanaman bibit umur
muda (15 HST), penanaman bibit 2-3 bibit/lubang, penggunaan BWD, pengairan
berselang, penggunaan pupuk organik.
Difusi Teknologi PTT Padi sawah yang dilakukan oleh BPTP Gorontalo
dilakukan melalui kegiatan pengkajian yang merupakan pengenalan komponen
teknologi PTT Padi Sawah tahun 2006 misalnya varietas unggul baru padi
Mekongga dan Tukad Balian, serta varietas hibrida Hipa 3, dan Hipa 6 yang
sebelumnya tidak pernah dikenal di Provinsi Gorontalo. Selanjutya difusi
teknologi PTT dilanjutkan melalui kegiatan Prima Tani Lahan Sawah Irigasi pada
tahun 2007 -2009, serta pendampingan SL-PTT Padi Sawah mulai tahun 2010.
933
Tabel 4. Sebaran varietas unggul padi sawah Badan Litbang Pertanian di Provinsi
Gorontalo
No
Jenis
Tanaman
(Varietas)
Kota
Gorontalo
(Ha)
Kab.
Gorontalo
(Ha)
Kab.
Boalemo
(Ha)
Kab.
Pohuwato
(Ha)
Bondoyudo
Cibogo
Cigeulis
Ciherang
Ciliwung
Cimelati
Cisantana
Inpari 1
Inpari 3
Inpari 4
Inpari 6
Inpari 8
Inpari 9
Inpari 10
IR 64
Luk Ulo
Mekongga
Tukad
Balian
19 Way Apo
JUMLAH
% VUB Badan
Litbang
% Kontribusi
BPTP
96,80
111,60
310,50
55
1,80
202,00
-
71,20
16,87
1.061,77
3.311,20
100
70
10
22
7,30
20,00
6.553,78
154,60
36,00
140,00
1.648,00
43,00
6,00
26
17
6
26
26
275,00
48,00
982,00
25,00
215,60
112,65
934,38
1.048,00
15
311
207
20
15
153
475,45
394,75
-
90,72
60,91
40
26,10
96,00
-
777.7
82.7 %
8,61
11.406,73
86.31 %
53,00
3.357
84.3 %
202,45
4.103,85
74.6 %
313.73
17 %
39.22 %
60.33 %
31.51 %
40.48 %
12.3 %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Kab. Bone
Kab.
Bolango
Gorontalo
(Ha)
Utara (Ha)
76,50
57,50
157,50
17
134
17
63,00
-
Jumlah
(Ha)
107,20
405,77
1.574,24
6.422,49
1.048,00
43,00
6,00
41
540
417
47
26
41
175
785,65
68,00
8.291,53
179,60
64,00
328,06
586.5 20.546,54
11.19 %
5.51 %
Sumber : Laporan Kegiatan SLPTT BPTP Gorontalo, 2010
Hasil pengamatan lapang (2006-2011) komponen teknologi PTT yang
eksis dan difusinya sudah menyebar cukup luas yakni penggunaan varietas
unggul baru Mekongga, Tukad Balian, Cigeulis, Ciherang, Inpari 1, Inpari 3,
Inpari 4, Inpari 6, Inpari 8, Inpari 9, Inpari 10 dan Inpari 13 pada SL-PTT tahun
2011 serta komponen teknologi sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1. Pada
Tabel 22 disajikan data sebaran varietas unggul baru Badan Litbang Pertanian di
Provinsi Gorontalo sampai tahun 2011.
Potensi lahan sawah di Provinsi Gorontalo adalah 28.254 ha. Dari potensi
tersebut seluas 20.546 ha atau 73 % telah ditanami varietas unggul dari Badan
Litbang Pertanian. BPTP Gorontalo cukup berperan dalam distribusi inovasi
teknologi terutama varietas unggul baru dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
dengan memberikan kontribusi sebesar 11.331 ha atau 40,1% khususnya
varietas Mekongga, Tukad Balian, Cigeulis dan Inpari. Persentasi sebaran
varietas Badan Litbang Pertanian di Provinsi Gorontalo terlihat pada Gambar 1.
Dari alokasi distribusi inovasi varietas unggul baru yang di introduksikan
oleh BPTP (2006-2011) per kabupaten terlihat bahwa peran BPTP menonjol pada
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato.Hal ini disebabkan kedua
Kabupaten ini merupakan binaan BPTP Gorontalo melalui kegiatan Prima Tani,
934
yang didalamnya berisi muatan inovasi PTT Padi Sawah.Sedangkan pada
Kabupaten lainnya peran BPTP dalam distribusi inovasi varietas unggul baru
dimulai 2010 melalui pendampingan SL-PTT.
Gambar 1. Persentase sebaran varietas Badan Litbang Pertanian di Provinsi
Gorontalo
935
Gambar 2. Pola Existing distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah
di Provinsi Gorontalo
Secara fungsional BPTP melakukan terobosan distribusi inovasi teknologi
PTT padi sawah langsung ke kelompok tani melalui Demfarm, Display Varietas,
Show Window Padi dan Pelatihan-pelatihan maupun penyebaran media informasi
tercetak (buku, poster dan leaflet). Bersamaan itu secara simultan BPTP
melakukan pelatihan TOT pada PPL-PPL dari BP3K mengenai PTT Padi
sawah.Dalam gambar terdapat alur putus-putus yang menyatakan wilayah
distribusi inovasi teknologi PTT padi sawah ditingkat pengguna akhir (petani)
melalui POKTAN dalam satu wilayah maupun pokt antar wilayah.
Sedangkan hubungan dengan dinas masih sebatas koordinasi program
(ditandai dengan anak panah putus-putus). Hal ini karena institusi Dinas tidak
berperan sebagai penyelia informasi teknologi, sebab peran tersebut merupakan
mandat BP4K (Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Perkebunan dan
Kehutanan).Namun dari hasil wawancara diperoleh beberapa saran/ masukan
untuk percepatan/ pembaharuan distribusi informasi teknologi ke petani, yaitu :
936
1. Petani dirangsang agar proaktif mencari informasi teknologi pertanian ke
sumber-sumber teknologi, seperti BPTP;
2. BPTP secara berkala melakukan kunjungan dan pembinaan pada para PPL di
BP3K, agar mereka dapat memperoleh informasi teknologi terbaru dan
mampu menghadapi para petani yang kain kritis saat ini. Terlebih untuk para
PPL yang baru terangkat atau status kontrak (PTT);
3. Penerapan kembali pola BIMAS perlu dipertimbangkan. Karena dirasakan
pada saat pola BIMAS dengan sistem komando, difusi teknologi langsung ke
petani lebih cepat, sehingga media informasi teknologi seperti demplot, liflet,
liptan, brosur dan buku teknis dapat lebih efektif;
4. Penguatan lembaga BP3K, sebagai lembaga penyuluhan terdepan yang
langsung berhadapn dengan para petani. Hal ini sejalan dengan sasaran
dalam Revitalisasi Penyuluhan yang dituangkan dalam UU No. 16 tahun 2006
tentang Sistem PenyuluhanPertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K)
tertanggal 15 November2006. Berdasarkan UU No. 16 tahun 2006 tersebut,
maka
mulai
tahun
2007
program
RPP
difokuskan
untuk
mengimplementasikan beberapa subprogram, yaitu: (1) penataan
kelembagaan penyuluhan; (2) peningkatankuantitas dan kualitas penyuluh;
(3) peningkatan sistem penyelenggaraanpenyuluhan; (4) peningkatan
kepemimpinan dan kelembagaan petani; dan(5) pengembangan jejaring
kerjasama penyuluhan dan agribisnis.
5. Pola ideal adalah dari BPTP  BP3K  petani. Hal ini dimaksudkan agar
supaya lembaga BP3K lebih kuat dan efektif seperti uraian pada poin 4.
Disamping itu terdapat sejumlah permasalahan yang perlu menjadi
perhatian, yaitu :
1. Penguasaan teknologi informasi oleh para PPL dirasakan masih kurang.
Sehingga perlu dilakukan peningkatan melalui pelatihan-pelatihan agar para
PPL tersebut dapat selalu mengupdate informasi teknologi pertanian;
2. Setelah era-Bimas, BP3K sebagai ujung tombak penyampaian informasi
teknologi pertanian lebih mengedepankan program dibanding karya nyata di
lapangan. Sehingga ketika para PPL diperhadapkan langsung dengan petani,
sering mereka tidak percaya diri. Untuk itu perlu ditingkatkan intensitas
pelatihan bagi para PPL, terutama dalam aspek penguasaan materi dan
audiens, serta cara pendekatan/ bersosialisasi atau berinteraksi dengan para
petani di lapangan;
3. Efektivitas PL-II dan PL-III dalam program SLPTT belum terlihat, sebab
umumnya hanya bersifat satu arah dan terlalu banyak teori. Untuk itu porsi
praktek lapang perlu diperbanyak dan diutamakan, agar para PPL lebih
terampil dan percaya diri.
Pola Distribusi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Yang diharapkan
(Expectation)
Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder terkait (Dinas, BP4K
dan BP3K) diperoleh harapan bahwa sebagai pemegang mandat sumber inovasi
teknologi pertanian di daerah, maka BPTP harus lebih berperan aktif dalam
937
melatih para penyuluh dan petani di lapangan. Untuk itu sebaiknya mulai dari PLII dikoordinir langsung oleh BPTP, karena lebih menguasai aspek teknologinya.
Gambar 3 memaparkan pola distribusi inovasi yang ideal menurut BPTP
agar paket-paket teknologi padi sawah dapat berdifusi secara efektif dan efisien.
Berdasarkan pengalaman pendampingan SL-PTT, Prima Tani, dan FEATI di
lapangan terjadi inkoordinasi antara BP4K dan Dinas Pertanian Kabupaten,
sehingga akselerasi distribusi inovasi teknologi kurang efektif. Hal ini disebabkan
program berada pada Dinas Pertanian sedangkan SDM untuk melaksanakan
program berada di BP4K. Apabila dilakukan restrukTurisasi birokrasi dengan
menempatkan BP4K satu atap dengan Dinas Pertanian maka diharapkan terjadi
sinergisme kegiatan, SDM, dan pembiayaan operasional kegiatan.
Berdasarkan hasil wawancara pada 120 petani responden di 4 Kabupaten
lokasi penelitian diperoleh informasi bahwa umumnya untuk pola distribusi
inovasi teknologi yang diinginkan petani responden adalah dari Balit komoditas
ke BPTP, melalui PPL dan langsung ke petani. Disamping itu 37% petani
responden juga memilih pola yang sudah ada sekarang (Balit-BPTPDinas/Bakorluh-BP4K/BP3K-Poktan-Petani) sebagai pola yang masih efektif saat
ini. Sedangkan metode yang efektif menurut pendapat petani responden
umumnya adalah dempot (demonstrasi plot) (Tabel 5).
Gambar 3. Pola distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah yang diharapkan di
Provinsi Gorontalo
938
Tabel 5. Sebaran pola dan metode distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah
yang diinginkan Petani Responden
Pola Distribusi Inovasi yg disukai
Jumlah
Persentase
Media/ Metode Distribusi Inovasi yg
Efektif
A
B
C
D
E
1
2
3
4
5
6
44
37%
35
29%
6
5%
1
1%
34
28%
0
0%
0
0%
1
1%
72
60%
33
28%
14
12%
Ket.: A = Balit komoditas – BPTP – Dinas/ Bakorluh – BP4K/BP3K – Penyuluh –
Gapoktan/ Poktan – Petani; B = Balit Komoditas – BPTP - Petani; C = Petani –
Petani; D = Balit Komoditas – Swasta – Agen/ Distributor – Petani; E = BPTP –
Penyuluh – Petani; 1 = Poster, 2 = Liflet, 3 = Buku, 4 = Demplot, 5 = cetakan &
demplot, 6 = tidak ada.
Simpul Kritis dan Alternatif Kebijakan Distribusi Inovasi Teknologi PTT
Padi Sawah di Provinsi Gorontalo
Hasil wawancara dengan stakeholder terkait dengan BP4K,BP3K dan
Dinas Pertanian Provinsi maupun Kabupaten, diketahui ada beberapa simpul
kritis yang dapat menghambat pola distribusi inovasi teknologi PTT Padi Sawah
antara lain :
1. Rasio tenaga PPL Fungsional dan non fungsional yang tidak seimbang,
menyebabkan biaya operasional untuk melakukan kunjungan ke petani tidak
ada, karena biaya operasional hanya diberikan kepada PPL Fungsional,
sementara PPL Fungsional saat ini banyak yang telah pindah sebagai pejabat
struktural pada BP4K maupun BP3K sehingga fungsi sebagai Penyuluh
Fungsional tidak berjalan. Alternatif kebijakan : a). perlu adanya
pengembalian para penyuluh pada fungsinya semula sebagai pejabat
fungsional penyuluh, b). Pengangkatan calon penyuluh harus diiringi dengan
percepatan penetapannya sebagai penyuluh pertanian definitif, c). Tunjangan
fungsional penyuluh pertanian di daerah harus segera direalisasikan dan
dimasukkan dalam penganggaran APBD setiap tahunnya.
2. Kurangnya pembekalan maupun pelatihan bagi PPL-PPL baru yang direkrut
secara instan sehingga PPL tidak memiliki rasa percaya diri ketika
berhadapan dengan petani. Alternatif kebijakan : a). Kebijakan pengiriman
PPL baru untuk melanjutkan studi sampai jenjang S1, b). Kontrak mengikat
(kedinasan) disertai ancaman sanksi berat jika para PPL yang telah
disekolahkan atau dilatih jangka panjang tidak menjalankan fungsi jabatan
yang diembannya dengan sebaik-baiknya.
3. Tidak tersedianya dana pembinaan khusus/biaya operasional untuk
melakukan aktivitas penyuluhan di lapangan. Alternatif kebijakan : perlu
adanya penganggaran dalam APBD atau APBD-P setiap tahunnya.
4. Kurangnya sarana dan prasarana seperti komputer, jaringan internet di BP3K
sehingga akses informasi teknologi yang diperoleh penyuluh terbatas.
Alternatif kebijakan : a). Kerjasama dengan pihak ketiga dan atau sponsor
yang memiliki itikad baik dalam membantu memajukan penyuluhan di
daerah, b). Peningkatan kemampuan SDM (PPL) dalam hal informasi
teknologi (IT) melalui program-program pelatihan jangka pendek maupun
jangka panjang di daerah maupun di luar daerah.
939
Menyangkut kebijakan penyediaan informasi teknologi oleh lembaga penyedia,
terdapat beberapa teori menyangkut hal ini. Robey and Zmud (1992); Lindley
and Dunn (2000) menyebutkan beberapa diantaranya, yaitu :
1. Model konflik politik, yang mengenalkan konsep dari berbagai tujuan yang
diemban oleh beberapa stakeholder terkait.
2. Model ekologi organisasi, yang memperlihatkan format organisatoris sebagai
suatu hasil dari kontrol eksternal daripada suatu bentuk keputusan sepihak
atau preferensi dari masing-masing anggota organisasi/ lembaga.
3. Model manajerialinovasi, yang mengemukakan bahwa adopsi dari teknologi
baru tergantung pada masalah kepedulian dan kebiasaan organisatoris yang
menganjurkan/ mendorong pada pengambilan resiko.
4. Model difusi inovasi, yang mengemukakan bahwa penyebarluasan teknologi
baru tergantung pada aplikasi petani/ penerima yang disesuaikan dengan
konteks kerja mereka.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Pola distribusi penerapan inovasi teknologi yang diharapkan oleh petani
adalah dari BPTP langsung ke petani, sedangkan umumnya pola yang
diinginkan oleh para stakeholder harus tetap melewati lembaga penyuluhan
kemudian ke penyuluh lapangan untuk selanjutnya disebarluaskan ke tingkat
petani.
Secara umum faktor usia petani responden masih dikategorikan pada usia
produktif (rata-rata 44 tahun), namun faktor pendidikan menjadi faktor
pembatas untuk pengembangan atau pemilihan cabang-cabang usaha yang
bisa menopang pendapatan rumah tangga tani.
Luas kepemilikan lahan yang hanya berkisar 0.25 – 0.85 ha menjadi salah
satu faktor pembatas perolehan keuntungan dari kegiatan usahatani padi
sawah petani responden.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi.
Departemen Pertanian, Badan Litbang pertanian.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo. 2010. Laporan Kegiatan
Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Tahun
2010. BPTP Gorontalo.
Kementerian Riset dan Teknologi, 2010. Pedoman Insentif Riset. Edisi 5.
Kementerian Riset dan Teknologi & Dewan Riset Nasional, Jakarta.
Lindley, D.C.O. and T.Dunn. 2000. Factos Affecting the Use of Information
Technology in Thai Agricultural Cooporatives : A Work in Progress. The
Electronic Journal of Information System in Developing Countries, 2 (1) :
1 – 15.
Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods (Fifth edition). Qualitative and
Quantitative Approach. Pearson Education, Inc. P : 584.
Robey, D. and R. Zmud. 1992. “Research on the Organization of End-User
Computing: Theoretical Perspectives from Organizational Science,”
Information Technology and People, 6, 1, 11-27.
940
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL VUB PADI PADA
PENDAMPINGAN SL-PTT DI KAB. WAJO, SULAWESI SELATAN
Arafah dan M. Amin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan, Km. 17,5 Makassar
E-mail: arafahthalib@yahoo.com
ABSTRAK
Salah satu inovasi teknologi yang cepat berkembang, namun lambat sampai dilahan
petani adalah penerapan varietas unggul baru (VUB). Keragaan pertumbuhan dan hasil
VUB padi pada pendampingan SL-PTT Di kab. Wajo, Sulawesi Selatan dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui daya adaptasi berbagai VUB terhadap pertumbuhan dan hasil
padi sawah. Kegiatan dilaksanakan di Desa Mappadaelo Kec. Tanasitolo, Kab. Wajo.
Tanam tanggal 7 Juni 2011 dan panen tanggal 20 September 2013. Kegiatan ini disusun
dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 ulangan, ukuran plot 4 x 5 m, susunan
perlakuan adalah: Inpari-7, Inpari-8, Inpari-10, Inpari-13 dan Ciherang (pembanding).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil GKP tertinggi diperoleh pada Inpari-10 setinggi
7,70 t/ha, kemudian Inpari-8 setinggi 7,64 t/ha dan hasil GKP terendah adalah varietas
Ciherang dengan hasil hanya 7,00 t/ha. Hasil GKP VUB Inpari-7, Inpari-8, Inpari-10 dan
Inpari-13 lebih tinggi dibanding varietas pembanding yaitu Ciherang.
Kunci: VUB Padi, pertumbuhan dan hasil
PENDAHULUAN
Salah satu inovasi teknologi yang cepat berkembang, namun lambat
sampai dilahan petani adalah penerapan varietas unggul baru (VUB). Hingga saat
ini sudah banyak varietas unggul baru padi yang sudah dirakit dan dilepas oleh
Badan Litbang Pertanian, tetapi yang digunakan dan dikembangkan petani masih
terbatas (Badan Litbang Pertanian, 2007). Oleh karena itu, perlu upaya intensif
untuk mensosialisasikan varietas-varietas unggul baru tersebut secara lebih luas
kepada pengguna seperti pada loaksi prima tani.
Penerapan teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam
pemanfaatan sumberdaya petani yang terbatas. Dengan penerapan teknologi
inovasi tepat guna spesifik lokasi diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi
dan produktivitas serta peningkatan efisien dan mutu yang selanjutnya akan
membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan
masyarakat (Sudaryanto dan Adnyana, 2002).
Penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) merupakan teknologi andalan
yang secara luas digunakan oleh masyarakat, harga murah, dan memiliki
kompatibilitas yang tinggi dengan teknologi maju lainnya. Penggunaan varietas
unggul tersebut memungkinkan Indonesia dapat mecapai swasembada beras.
Maka dari itu, fokus program pemuliaan tanaman masih terus ditingkatkan pada
upaya penyediaan varietas unggul yang lebih baik dari varietas yang telah ada
(Manwan, 1997).
Menurut Baehaki (1996), varietas unggul yang dilepas saat ini baru
sekitar 10% dari kebutuhan nasional. Disamping itu, pelepasan varietas unggul
941
masih bersifat nasional dan belum mempertimbangkan kesesuaian lingkungan
dan agroekologi spesifik sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas
beberapa komoditas pertanian unggulan. Hal ini sangat dirasakan oleh petani
dan konsumen.
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting
dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi nyata
varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain
tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Hal ini terkait
dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh varietas unggul padi, antara lain berdaya
hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit utama, umur genjah sehingga
sesuai dikembangkan dalam ponam tertentu, dan rasa nasi enak (pulen) dengan
kadar protein relative tinggi (Suprihatno et al 2007).
Berdasarkan hal tersebut diatas dilakukan pengkajian beberapa varietas
unggul baru terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah dengan tujuan
untuk mendapatkan varietas unggul baru padi yang dapat beradaptasi baik dan
memberikan hasil tinggi.
METODOLOGI
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Mappadaelo Kec. Tanasitolo, Kab.
Wajo. Tanam tanggal 7 Juni 2011 dan panen tanggal 20 September 2013.
Kegiatan ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 ulangan, ukuran
plot 4 x 5 m, susunan perlakuan adalah: Inpari-7, Inpari-8, Inpari-10, Inpari-13
dan Ciherang (pembanding). Bibit ditanam pada umur 21 hari setelah hambur
dengan jumlah bibit 2-3 batang perumpun dengan jarak tanam 25 x 25 cm.
Pemupukan dilakukan berdasarkan hasil analisis tanah dengan PUTS dengan
dosis 200 kg Phonska/ha + 200 kg urea/ha. Pemupukan pertama dilakukan pada
umur 10 hari setelah tanam dengan dosis 100 kg phonska/ha. Pemupukan kedua
dilakukan pada umur 25 hari setelah tanam dengan dosis 100 kg phonska + 100
kg ure/ha. Pemupukan ketiga dilakukan pada umur 40 hari setelah tanam
dengan dosis 100 kg urea/ha. Pengendalin gulma dilakukan dengan pemberian
herbisida pra tumbuh dan penyiangan tangan sebanyak 2 kali yaitu pada umur
15 hari setelah tanam dan 30 hari setelah tanam. Pengendalian hama penyakit
yaitu dengan metode PHT sedangkan pengelolaan air dengan cara intermitten.
Adapun data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman saat panen, jumlah
anakan produktif, jumlah gabah permalai, persentase gabah hampa, berat 1000
biji dan hasil gabah kering panen (GKP). Data yang telah dikumpulkan dianalisis
dengan uji berganda Duncan (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman
Hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan tinggi tanaman (Tabel 1) secara
statistik menunjukkan, pertumbuhan tinggi tanaman dari berbagai varietas yang
ditanam bervariasi antara 101,7 sampai 112,25 cm. Varietas Ciherang
memberikan pertumbuhan tinggi tanaman tertinggi yaitu 112,25 cm berbeda
nyata dibanding dengan varietas lainnya. Sedangkan terendah adalah varietas
942
inpari-13 dengan tinggi hanya 101,75 cm. Dengan demikian pertumbuhan tinggi
bervariasi dari setiap varietas akibat dari faktor genetik dari masing-masing
varietas yang berbeda sehingga pertumbuhan di lapangan juga memberikan
penampilan yang berbeda. Seperti dikemukakan Sujitno, et al. (2011) bahwa
tinggi tanaman dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan timbuh
tanaman. Berhubungan dengan tinggi tanaman, petani lebih menyukai tanaman
yang tidak terlalu tinggi, hal ini berkaitan dengan tingkat ketahanan tanaman
terhadap keadaan cuaca seperti hujan dan angin, dimana tanaman dengan tinggi
tanaman lebih tinggi biasanya mudah rebah.
Jumlah Anakan
Hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan jumlah anakan produktif (Tabel
1) secara statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah anakan produktif
dari berbagai varietas yang ditanam berbeda nyata. Varietas inpari-10 dan inpari8 memberikan jumlah anakan yang tertinggi yaitu sebesar masing-masing 18,00
batang dan berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-7 dan ciherang,
namun tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-13. Jumlah anakan
produktif yang paling rendah diperoleh pada varietas inpari-7 yaitu hanya 15
batang per rumpun. Hasil penelitian Krismawati, et al (2011), bahwa jumlah
anakan berbeda dari setiap varietas dan daya adaptasi dari varietas yang
berbeda dimana ditentukan oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan.
Sehubungan dengan jumlah anakan ini petani lebih menyenangi tanaman padi
dengan jumlah anakan yang sedang dan menjadi produktif semuanya, artinya
bahwa jumlah anakan mampu memberikan pertambahan jumlah gabah isi yang
lebih banyak dibanding dengan gabah hampa.
Jumlah Gabah Permalai
Hasil rata-rata pengamatan jumlah gabah per malai (Tabel 1) secara
statistik menunjukkan variasi diantara varietas yang ditanam. Varietas inpari-13
memberikan jumlah gabah per malai yang paling banyak yaitu sebesar 138,75
biji dan berbeda nyata dibanding dengan varietas inpari-10 dan ciherang, naumn
tidak berbeda nyata dibanding denga varietas inpari-7 dan inpari-8. Sedangkan
yang paling rendah diperoleh pada varietas ciherang dan inoari-10 dengan
jumlah gabah per malai masing-masing hanya 127,25 dan 130,75 biji. Dengan
demikian varietas inpari-13 mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik
sehingga dapat membentuk jumlah gabah permalai yang banyak dibanding
dengan varietas lainnya. Hal ini berkaitan dengan sifat yang dimiliki varietas
inpari-13 yaitu daun yang tegak, berwarna hijau tua dan permukaan daun yang
kasar (Suprihatno, et al., 2011), dengan sifat itu menunjukkan kemampuan
fotosintesa yang lebih baik (Sirappa, 2007).
Persentase Gabah Hampa
Hasil rata-rata pengamatan persentase gabah hampa (Tabel 1) secara
statistik menunjukkan bahwa persentase gabah hampa yang paling rendah
diperoleh pada varietas inpari-10 dan inpari-13 yaitu masing-masing hanya
15,75%, sedangkan yang paling tinggi diperoleh pada varietas ciherang dengan
persentase gabah hampa sebanyak 19,50%. Dengan demikian persentase gabah
hampa untuk varietas inpari-10 dan inpari-13 cukup baik karena varietas ini
943
berdasarkan diskripsi yang ada menunjukkan adanya ketahanan terhadap
penyakit hawar daun bakteri (HDB) dimana pada saat musim tanam tersebut
serangan HDB cukup tinggi, sebaliknya varietas ciherang memperoleh persentase
gabah hampa yang cukup tinggi disebabkan karena adanya serangan penyakit
HDB tersebut. Menurut Nafisah et al. (2006). Tingkat keparahan penyakit HDB
bisa disebabkan karena tingkat kesuburan lahan sehingga memperoleh kondisi
lingkungan mikro yang berbeda. Persentase gabah hampa bisa juga dipengaruhi
oleh tidak serempaknya pematangan biji akibat tidak bersamaannya keluar biji,
sehingga pada saat dipanen masih ada biji yang belum berisi dengan sempurna
dan pada akhirnya akan menjadi biji hampa.
Berat 1000 biji
Hasil rata-rata pengamatan berat 1000 biji (Tabel 1) secara statistik
menunjukkan bahwa varietas inpari-10 mempunayi barat 1000 biji yang paling
tinggi yaitu sebesar 26,50 gr dan berbeda nyata dibanding dengan varietas
inpari-7 dan inpari-13, namun tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas
inpari-8 dan ciherang. Dengan demikian varietas inpari-10 memiliki bentuk gabah
yang lebih besar dan berisi sehingga bobotnya lebih besar.
Hasil Gabah Kering Panen (GKP)
Hasil rata-rata pengamatan hasil gabah kering panen (GKP) (Tabel 1)
menunjukkan bahwa hasil GKP yang diperoleh bervariasi antara 7,00 t/ha sampai
7.70 t/ha. Hasil GKP yang tertinggi diperoleh pada varietas inpari-10 dengan hasil
sebesar 7,70 t/ha, sedangkan yang paling rendah diperoleh pada varietas
ciherang dengan hasil GKP hanya mencapai 7,00 t/ha. Tingginya hasil GKP yang
diperoleh pada varietas inpari-10 disebabkan karena varietas ini memiliki jumlah
anakan yang cukup tinggi dengan berat 1000 biji yang tinggi dan persentase
gabah hampa rendah. Hal ini sesuai menurut Abayawickrama et al. (2007),
jumlah anakan yang tidak produktif berkorelasi negatif dengan hasil, sedangkan
jumlah gabah isi dan jumlah gabah total berkorelasi positif. Karena itu jumlah
anakan produktif, jumlah gabah isi, dan jumlah gabah total per malai merupakan
sifat-sifat yang perlu diting-katkan melalui pemuliaan tanaman.
Hal ini menunjukkan bahwa varietas inpari-10 cukup potensial dan
beradaptasi baik pada lokasi dimana kegiatan ini dilaksanakan dan memang
berdasarkan pendapat dari berbagai petani dan penyuluh yang berkunjung di
lokasi kegiatan memberikan respon yang cukup baik terhadap varietas inpari-10.
Sedangkan varietas ciherang dengan hasil GKP yang paling rendah yaitu hanya
mencapai 7,00 kg/ha disebabkan karena varietas ini persentase gabah hampa
yang cukup tinggi sehingga berpengaruh pada hasil GKP yang diper-oleh. Hal ini
seperti disampaikan Sutisna (2006) melaporkan bahwa varietas memiliki daya
hasil yang berbeda pada keondisi lapang tertentu.
944
Tabel 1. Keragaan pertumbuhan dan hasil VUB padi, Kab. Wajo, MH. 2011
No.
Varietas
1.
2.
3.
4.
5.
Inpari-7
Inpari-8
Inpari-10
Inpari-13
Ciherang
Tinggi
tanaman
(Cm)
107,75c
104,75c
110,00b
101,75d
112,25a
Jumlah
anakan
(btg)
15,00c
18,00a
18,00a
16,75ab
16,00bc
Jumlah
gabah/malai
(biji)
137,00a
137,75a
130,75b
138,75a
127,25b
Persentase
hampa
(%)
18,00ab
17,25bc
15,75c
15,75c
19,50a
Berat
1000
biji (gr)
25,50bc
26,00ab
26,50a
24,75c
26,00ab
Hasil
GKP
(t/ha)
7,10b
7,64a
7,70a
7,50ab
7,00b
Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasar uji DMRT
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh seperti diatas, maka dapat
dibuat kesimpulan seperti berikut:
1. Varietas inpari-10 memeliki pertumbuhan dan daya adapatasi yang lebih baik
dibanding dengan varietas lainnya
2. Varietas inpari-10 mampu memberikan hasil yang tertinggi yaitu sebesar 7,70
t/ha dan varietas ciherang memperoleh hasil GKP yang tererndah yaitu hanya
7,00 t/ha
3. Varietas inpari-10 dapat dijadikan acuan untuk pengembangan varietas di
lokasi yang ekosistemnya sama atau mendekati lokasi penelitian ini
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abayawickrama, A.S.M.T., M. Fahim, D.S. De Z. Abeysiriwardena, K.C. Madhusani
and R.M. Dhar-maratne. 2007. Contribution of yield related characters
to grain yield improvement ini different age groups of rice (abstrak).
News and Events of the Departement of Agriculture, Agriculture News
in Sri Lanka. http://www.sgridept.gov.lk/ NEWS/asda.htm=con.
Krismawati, A. dan Z. Arifin. 2011. Stabilitas hasil beberapa varietas padi lahan
sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
14(2): hal: 84-92.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman umum produksi benih sumber padi.
badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian,
Jakarta.
Suprihatno, B., A A. Dradjat, Satoto, Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono, S.D.
Indrasari, O.S. Lesmana dan Hasil Sembiring. 2007. Deskripsi varietas
padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar
Penelitian Padi. Sukamandi, Subang Jawa Barat.
Baehaki, A. 1996. Prospek Penerapan “Breeder Right” di Indonesia. dalam
Yuniarti, A. Djauhari, M.A. Yusran, Baswarsiati dan Rosmahani (Ed).
945
Sujitno, E., T. Fahmi, dan S. Teddy. 2011. Kajian adaptasi beberapa varietas
unggul padi gogo pada lahan kering dataran rendah di Kabupaten
Garut. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
14(1): hal: 62-69.
Sutisna N.E. 2006. Pengaruh sistem ratunisasi dan pemupukan nitrogen terhadap
hasil beberapa varietas padi di lahan sawah irigasi. J. Agrivigor 5(3): hal
207-222.
Manwan, I. 1997. Regulasi pelepasan varietas komoditas pertanian di indonesia.
Peripi Komda Jawa Timur. Balitkabi, Malang.
Sirappa, M.P., A.J. Riewpassa, dan Edwen D. Wass. 2007. Kajian pemberian
pupuk NPK pada beberapa varietas padi sawah di Seram Utara. Jurna
Pengkajian dan Pengembangan Pertanian 10 (1): hal: 48-56.
Nafisah, A.A. Daradjat, B. Suprihatno, dan Riny SK. 2007. Heritabilitas karakter
ketahanan hawar daun bakteri dari tiga populasi tanaman padi hasil
seleksi daur siklus pertama. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan. 26(2): hal: 100-105.
Sudaryanto, T., dan M.O. Adnyana. 2002. Tantangan dan peluang pengkajian
teknologi pertanian dalam perspektif agribisnis. Makalah Lokakarya
Usahatani Terpadu Berwawasan Agribisnis Mendukung Pemanfaatan
Sumberdaya Pertanian Jawa Barat.
946
KONTRIBUSI PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI
MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI PANGAN BERORIENTASI RAMAH
LINGKUNGAN DI LUWU TIMUR
Herniwati dan Peter Tandisau
Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan km 17,5 Makassar Tlp : (0411) 556449
Email : erni_bptpsulsel@yahoo.com
ABSTRAK
Ketersediaan pangan yang berorientasi ramah lingkungan merupakan isyu penting yang
sedang didengungkan pada saat ini. Pemenuhan kebutuhan pangan yang aman dan
sehat dengan memanfaatkan sumberdaya lokal perlu mendapat perhatian. Upaya
menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah
tangga. Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana
Kabupaten Luwu Timur dari Januari hingga Desember 2012 Model KRPL didesa
Margolembo adalah KRPL Pedesaan yang berorientasi ramah lingkungan melalui
pemanfaatan sumber daya pertanian lokal antara lain penggunaan pupuk organik limbah
ternak atau tanaman serta penggunaan pestisida nabati. Kelembagaan kelompok KWT
Sayur Mandiri Kabupaten Luwu Timu keberadaannya masih muda, kompak, bersemangat
dan inovatif, responsif terhadap kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan.
Data
menunjukkan bahwa rata-rata KEA tiap insani adalah 2.288 (lebih tinggi sari rata-rata
Nasional, 2000). Sebagian besar (75%) mengkonsumsi energi > 2000 kkal/orang/hari.
Rata-rata skor PPH yang dicapai sekitar 75 dari nilai PPH awal rata-rata sebelum kegiatan
adalah 68. Sebagian besar (66%) keluarga mencapai skor PPH >70. Sementara itu
rata-rata pengeluaran konsumsi pangan keluarga tercatat Rp 40.360/hr. Umumnya
(>90%) pengeluaran konsumsi pangan keluarga antara Rp 20.000 – Rp 40.000/hr.
Selanjutnya sumbangan KRPL untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga rata-rata
Rp 4.750/hr. Sebagian besar (70%) dapat memenuhi kebutuhan dari KRPL senilai
> Rp 3000/hr.
Kata kunci : Pangan lestari, ramah lingkungan, kawasan, Luwu Timur
PENDAHULUAN
Pangan merupakan salah satu faktor penentu utama stabilitas sosial,
ekonomi, politik, serta kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Ketahanan
pangan (food security) yang kokoh merupakan indikator utama keberhasilan
pembangunan. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan
bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Maka terpenuhinya pangan bagi setiap
rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sasaran ketahanan pangan di
Indonesia (Saliem, 2011). Berbagai upaya dilakukan pemerintah dan kalangan
terkait untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan,
namun pada kenyataannya tingkat konsumsi masyarakat masih bertumpu pada
pangan utama beras. Hal itu diindikasikan oleh skor Pola Pangan Harapan belum
947
sesuai harapan, dan belum optimalnya pemanfaatan sumber bahan pangan lokal
mendukung penganekaragaman konsumsi pangan (BKP, 2010).
Sumberdaya lokal pertanian sangat melimpah. Akan tetapi
pemanfaatannya belum optimal. Salah satu sumber daya lokal yang ada di
lapangan adalah limbah pertanian berupa limbah ternak serta limbah yang
dihasilkan oleh tanaman. Limbah ternak berupa kotoran ternak baik padat
maupun cair dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang dapat menjadi
faktor utama pertumbuhan tanaman. Manfaat dari penggunaan pupuk organik
adalah terwujudnya pertanian ramah lingkungan dengan memanfaatkan potensi
sumberdaya lokal yang ada (Kementan, 2011)
Rachman dan Ariani (2007) menyebutkan bahwa tersedianya pangan
yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat keharusan dari
terwujudnya ketahanan pangan nasional, namun itu saja tidak cukup, syarat
kecukupan yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di
tingkat rumah tangga/individu. Berdasar pemikiran tersebut, adalah penting
untuk mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Tanpa
berpretensi mengabaikan pentingnya ketahanan pangan di tingkat nasional
maupun wilayah.
Upaya menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan yang beroriantasi
ramah lingkungan harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal
tersebut, pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah
tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan
rumah tangga. Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta ha atau
14% dari keseluruhan luas lahan pertanian. Lahan pekarangan tersebut
merupakan sumber potensial penyedia berbagai jenis bahan (diversifikasi)
pangan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan
inovatif.
Pemanfaatan pekarangan di setiap daerah bervariasi sesuai dengan
tingkat kebutuhan, sosial budaya, pendidikan masyarakat maupun faktor fisik
dan ekologi setempat (Rahayu dan Prawiroatmodjo, 2005). Masyarakat di
kabupaten Luwu Timur memanfaatkan lahan pekarangan masih didominansi
tanaman hias, terutama di daerah perkotaan yang sudah mengerti nilai estetika.
Dengan inovasi kreatifitas, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa
sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki nilai estetika sama dengan
tanaman hias dan memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan
gizi serta sumber pendapatan keluarga.
Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam
mewujudkan kemandirian pangan tersebut perlu diaktualisasikan dalam bentuk
menggerakkan lagi budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan
maupun di perdesaan. Olehnya itu Kementerian pertanian dalam dua tahun
terakhir cukup intensif dalam menyusun suatu konsep yang disebut dengan
Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Pada dasarnya KRPL merupakan suatu
himpunan rumah yang mampu mewujudkan kemandirian pangan keluarga
melalui pemanfaatan pekarangan (Mardiharini, 2011). Program ini dimaksudkan
agar masyarakat dapat melakukan diversifikasi pangan berbasis sumberdaya
lokal, sekaligus melestraikan tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan meningkatkan
pendapatan, serta pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui
948
partisipasi masyarakat. Tujuan dari kegiatan ini adalah memenuhi kebutuhan
pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan
pekarangan secara lestari yang berorientasi sumber daya lokal ramah
lingkungan. Diharapkan dengan kegiatan ini kemampuan keluarga dan
masyarakat secara ekonomi dan sosial dalam memenuhi kebutuhan pangan dan
gizi secara lestari dapat berkembang, menuju keluarga dan masyarakat yang
sejahtera.
METODOLOGI
Lokasi, Koordinat dan Waktu
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana
Kabupaten Luwu Timur dari Januari hingga Desember 2012. Terletak pada
koordinat 02o27’9’’ lintang selatan dan 120o43’291” bujur timur.
Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Untuk merencanakan dan melaksanakan pengembangan Model KRPL,
dibutuhkan tahapan kegiatan seperti telah dituangkan dalam Pedoman Umum
Model KRLPL (Kementerian Pertanian, 2011), yaitu:
Persiapan dan Penetapan lokasi
(1) Pengumpulan informasi awal tentang potensi kelompok sasaran, (2)
pertemuan dengan dinas terkait untuk mencari kesepakatan dalam penentuan
calon kelompok sasaran dan lokasi, (3) koordinasi dengan Dinas Pertanian dan
Dinas Terkait lainnya di Kabupaten Luwu Timur, dan (4) memilih pendamping
yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kriteria yang
telah ditentukan.
Pembentukan Kelompok
Kelompok sasaran adalah rumahtangga atau kelompok rumahtangga (25
rumah tangga) dalam satu Rukun Tetangga, Rukun Warga atau satu
dusun/kampung. Pendekatan yang digunakan adalah partisipatif, dengan
melibatkan kelompok sasaran, tokoh masyarakat, dan perangkat desa. Kelompok
dibentuk dari, oleh, dan untuk kepentingan para anggota kelompok itu sendiri.
Dengan cara berkelompok akan tumbuh kekuatan gerak dari para anggota
dengan prinsip keserasian, kebersamaan dan kepemimpinan dari mereka sendiri.
Sosialisasi Kegiatan
Menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan dan membuat kesepakatan
awal untuk rencana tindak lanjut yang akan dilakukan. Kegiatan sosialisasi
dilakukan terhadap kelompok sasaran dan pemuka masyarakat serta petugas
pelaksana instansi terkait.
949
Penguatan Kelembagaan Kelompok
Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelompok yakni:
(1) mampu mengambil keputusan bersama melalui musyawarah; (2) mampu
menaati keputusan yang telah ditetapkan bersama; (3) mampu memperoleh dan
memanfaatkan informasi; (4) mampu untuk bekerjasama dalam kelompok (sifat
kegotong-royongan); dan (5) mampu untuk bekerjasama dengan aparat maupun
dengan kelompok masyarakat lainnya.
Perencanaan Kegiatan
Melakukan perencanaan/rancang bangun pemanfaatan lahan pekarangan
dengan menanam berbagai tanaman pangan, sayuran, buah dan obat keluarga
(toga), ikan dan ternak, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal,
pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, kebun bibit desa (KBD), serta
pengelolaan limbah rumah tangga. Selain itu dilakukan penyusunan rencana
kerja untuk satu tahun. Kegiatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan
kelompok dan dinas instansi terkait.
Pelatihan Inovasi Teknologi
Pelatihan dilakukan sebelum pelaksanaan di lapang. Jenis pelatihan yang
dilakukan diantaranya: teknik budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan
toga, pembuatan pupuk organik (kompos) dari limbah ternak serta limbah
pertanian lainnya, perbenihan dan pembibitan, pengolahan hasil dan pemasaran
serta teknologi pengelolaan limbah rumah tangga. Jenis pelatihan lainnya adalah
tentang penguatan kelembagaan.
Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh kelompok dengan pengawalan
teknologi oleh Peneliti dan Penyuluh. Secara bertahap, dalam pelaksanaanya
menuju pada pencapaian kemadirian pangan rumah tangga, diversifikasi pangan
berbasis sumberdaya lokal, konservasi tanaman pangan untuk masa depan,
pengelolaan kebun bibit desa, dan peningkatan kesejahteraan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Kelompok Wanita Tani
Kelompok tani pelaksanaan KRPL di Desa Margolembo Kecamatan
Mangkutana adalah Kelompok Tani Wanita (KWT) Sayur Mandiri. Kelompok ini
dibentuk tahun 2010, yang cikal bakalnya dari Kelompok Buruh Tani. Pada tahun
2011, KWT ini dibina oleh Pemerintah Daerah (Badan Ketahanan Pangan)
Kabupaten Luwu Timur dalam rangka meningkatkan pemanfaatan lahan
pekarangan mendukung program ketahanan pangan. Kemudian tahun 2012,
BPTP Sulawesi Selatan melanjutkan pembinaan dan pendampingan guna lebih
mempercepat penerapan inovasi teknologi guna meningkatkan produktivitas
lahan pekarangan dalam rangkah lebih memperkuat ketahanan pangan
masyarakat pedesaan.
950
Umumnya, rata-rata keluarga memiliki pekarangan seluas ≥ 300 m2, yang
isinya tanaman buah-buahan, perkebunan, sayur-sayuran, ternak, dan lain
sebagainya. Keluarga juga umumnya memiliki sawah sebagai sumber utama
mata pencahariannya. Kelompok ini hingga kini masih tetap mempertahankan
jenis pekerjaan sebagai buruh tani khususnya pada kegiatan penanaman dan
panen padi (bekerja berkelompok yang sifatnya borongan, terkoordinir). Jumlah
Kepala Keluarga (KK) yang ada dalam KWT sayur mandiri sekitar 30 KK.
Keluarga yang potensial ikut KRPL tercatat 25 KK, sementara yang dianggap aktif
sebanyak
24 KK. Anggota yang ikut KRPL hingga kegiatan ini berakhir, tidak
berkembang, tetap 24 KK. Namun demikian beberapa keluarga berminat untuk
ikut berkembang.
Penguatan Kelembagaan Kelompok
Anggota KWT Sayur Mandiri cukup kompak, bersemangat tinggi untuk
maju, dan inovatif. Pertemuan-pertemuan baik rutin maupun insidentil dilakukan
guna membicarakan rencana-rencana dan membahas persoalan-persoalan untuk
membangun organisasi dan kelompok yang lebih sejahtera. Usia KWT yang
masih sangat muda memerlukan bantuan dalam bentuk binaan, modal, dan
fasilitas lainnya guna meningkatkan kemampuan kelompok.
Dlam rangka
penguatan kelompok ini, BPTP membantu menyiapkan sarana, prasarana berupa
bibit sayuran, buah-buahan, pupuk organik, tanah humus, pot, alsintan, polybag
dan lain-lain. Disamping itu, dibangun KBD (Kebun Bibit Desa), rumah kaca dan
penataan kebun bibit desa. Peningkatan kemampuan kelompok dilakukan pula
melalui pelatihan inovasi teknologi dan diskusi umpan balik melalui temu lapang.
Pelatihan inovasi teknologi dimaksudkan untuk memperkaya pengetahuan
dan skill peserta, dan mendorong agar penerapannya lebih cepat. Materi yang
diajarkan adalah pembuatan pupuk organik (kompos) dari jerami padi/jagung
dan kotoran hewan, pembuatan MOL (mikroorganisme lokal) sebagai
dekomposer dan biopestisida, serta budidaya tanaman sayuran. Respon KWT
terhadap pelatihan sangat baik, mereka mengharapkan tambahan-tambahan
pengetahuan lewat pelatihan-pelatihan berikutnya teristimewa untuk materi
budidaya dan pasca panen (kol, bawang merah, pasca panen, salak, dll).
Dalam temu lapang, peserta merespon baik dan mengharapkan
dukungan dan bimbingan pemerintah berkelanjutan. Masalah yang mereka
alami adalah harga sayur (tidak menguntungkan untuk diusahakan), musim
kering, pekerjaan sebagai buruh tani (tanam dan panen padi) mengganggu
usahatani sayuran (tidak optimal). Pada kondisi seperti tersebut, pengembangan
KRPL mengalami gangguan dan kurang berkembang. Maka diharapkan KWT
menyesuaikan keadaan, jika harga sayuran rendah, mereka menanam sayuran
yang harganya cukup baik (masih menguntungkan). Kekeringan dapat diatasi
dengan pemanfaatan air irigasi (jika masih ada saluran) melalui pompa air.
Budidaya Tanaman
Budidaya tanaman yang dilakukan oleh KWT sayur mandiri desa
Margolembo yaitu penanaman di lahan pekarangan yang ditata dalam petakanpetakan kecil. Sayuran yang umum diusahakan adalah sawi, kacang panjang,
bayam, kangkung, terong, ketelah pohon, tomat, cabe, ketimun, dan kacang
951
tanah. Dalam setahun ditanam 3 – 4 kali. Mereka memanfaatkan pupuk organik
(kompos) yang berasal dari kotoran ternak yang melimpah di daerah tersebut.
Masing-masing anggota mengelolah lahan sendiri. Kebun bibit desa dikelola
secara bersama (gotong royong).
Pengolahan Hasil
Pengolahan hasil (pasca panen) terbatas pada komoditas tertentu antara
lain kacang tanah (bahan baku kue kering tradisonal Tenteng), bayam (kerupuk
bayam), dan ubikayu (kerupuk singkong). Kelompok wanita tani umumnya
masih memerlukan binaan untuk pengembangan pengolahan hasil. Dalam suatu
pertemuan mereka minta untuk dilatih bagaimana pengolahan hasil salak yang
cukup melimpah di desa ini (mis.pembuatan dodol salak, keripik dan lain
sebagainya).
Pemasaran Hasil
Pemasaran hasil produk KWT belum memberikan memuaskan bagi
petani. Masing-masing menjual ke pedagang lokal (datang ke lokasi) dan harga
ditentukan oleh pedagang (sesuai harga pasar yang dipengaruhi oleh supply
setempat). Karena itu sistem pemasaran ke depan perlu perbaikan dan fasilitas
pemerintah dengan memuaskan kelompok tani. Karena bila petani tidak puas
petani enggan untuk mengembangkan program KRPL.
Pola Pangan Harapan (PPH)
Data Konsumsi Energi Aktual, PPH, Pengeluaran Konsumsi Pangan
Keluarga, dan Pemenuhan Kebutuhan dari KRPL disajikan pada Tabel 1. Data
menunjukkan bahwa rata-rata KEA tiap insani adalah 2.288 (lebih tinggi sari
rata-rata Nasional, 2000). Sebagian besar (75%) mengkonsumsi energi > 2000
kkal/orang/hari. Rata-rata skor PPH yang dicapai sekitar 75 dari nilai PPH awal
rata-rata sebelum kegiatan adalah 68. Sebagian besar (66%) keluarga mencapai
skor PPH >70. Sementara itu rata-rata pengeluaran konsumsi pangan keluarga
tercatat Rp. 40.360/hr. Umumnya (>90%) pengeluaran konsumsi pangan
keluarga antara Rp 20.000 – Rp. 40.000/hr. Selanjutnya sumbangan KRPL untuk
pemenuhan kebutuhan pangan keluarga rata-rata Rp. 4.750/hr. Sebagian besar
(70%) dapat memenuhi kebutuhan dari KRPL senilai > Rp. 3000/hr.
Tabel 1.
No
1
2
952
Konsumsi Energi Aktual, skor PPH, Pengeluaran Konsumsi Pangan
Keluarga, dan Pemenuhan Kebutuhan dari KRPL, Luwu Timur 2012
Uraian
Konsumsi Energi Aktual (kkal/kap/hr)
Rata-rata
< 2000
2000 – 3000
> 3000
Skor PPH
Rata-rata
< 60
60 – 70
70 – 80
> 80
Nilai
2.288
25%
62%
13%
75
17%
17%
21%
45%
Lanjutan...
3
4
Pengeluaran Konsumsi Pangan Keluarga (Rp/hr)
Rata-rata
< 20.000
20.000 – 40.000
> 40.000
Pemenuhan Kebutuhan dari KRPL (Rp/hr)
Rata-rata
< 2.000
2.000 – 3.000
3.000 – 5.000
> 5.000
Keterangan: - Data primer setelah diolah, 2012
- Jumlah sampel 24 orang
40.360
8%
50%
42%
4.750
4%
25%
13%
58%
KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.
Model KRPL didesa Margolembo adalah KRPL Pedesaan yang
berorientasi ramah lingkungan melalui pemanfaatan sumber daya
pertanian lokal antara lain penggunaan pupuk organik limbah ternak
atau tanaman serta penggunaan pestisida nabati. Kelembagaan
kelompok KWT Sayur Mandiri keberadaannya masih muda, kompak,
bersemangat dan inovatif, responsif terhadap kegiatan pemanfaatan
lahan pekarangan.
Produk sayuran dan buah-bauahn yang mereka hasilkan merupakan
produk organik tanpa menggunakan pupuk dan pestisida anorganik.
Kelompok wanita tani masih memerlukan pembinaan, dukungan,
bantuan guna meningkatkan kemampuan.
Konsumsi energi aktual, skor PPH, pengeluaran konsumi pangan
keluarga dan sumbangan pemenuhan kebutuhan pangan dari KRPL
tercatat berturut-turut 2.288 kkal/kop/hr, 75, Rp. 40.360 / hr, dan
Rp.4.750/hr. Nilai KEA dan skor PPH yang dicapai cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan (BKP). 2010. Perkembangan Situasi Konsumsi
Penduduk di Indonesia.
Kementerian Pertanian, 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan
Lestari. Jakarta 42 Hlm.
Mardharini, M. Ketut, K., Zakiyah, Dalmadi dan A. Susakti. 2011. Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari.
Balai Besar dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
953
Rachman, Handewi .P.S. dan M. Ariani. 2007. Penganekaragaman Konsumsi
Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan
Program. Makalah pada “Workshop Koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik
Masalah Ketahanan Pangan Dalam Upaya Perumusan Kebijakan
Pengembangan Penganekaragaman Pangan“, Hotel Bidakara, Jakarta, 28
November 2007. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik
Indonesia.`
Rahayu, M. & S.Prawiroatmodjo 2005. Keanekaragaman tanaman pekarangan
dan pemanfaatannya di Desa Lampeapi, Pulau Wawoni-Sulawesi
Tenggara. Jurnal Teknologi Lingkungan 6 (2) : 360-364.
Saliem H.P. 2011. Kawasan rumah pangan lestari (KRPL): Sebagai Solusi
Pemantapan Ketahanan Pangan. 10 hlm.
954
KAJIAN MODEL PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADI DAN HAMA
LAINNYA PADA PERIODE VEGETATIF TANAMAN PADI
Asriyanti Ilyas dan Baso Aliem Lologau
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar
Email: bptp_sulsel@yahoo.com
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian hama penggerek batang
dan hama lainnya pada fase vegetatif tanaman padi dan untuk mengurangi penggunaan
insektisida. Kegiatan dilaksanakan di Desa Melle, Kecamatan Palakka, Kabupaten Bone,
Provinsi Sulawesi Selatan, mulai Maret 2012 hingga Desember 2012. Pengkajian didesain
dalam 2 perlakuan yaitu pengendalian hama secara terpadu dan pengendalian hama cara
petani yang dilaksanakan pada hamparan sawah sekitar 100 ha. Pada setiap hamparan
dipilih secara sengaja 20 petani kooperator yang menjadi ulangan perlakuan. Parameter
yang diamati adalah kelompok telur, intensitas serangan hama penggerek batang padi
dan hama lainnya, populasi hama penggerek batang dan hama utama lainnya serta
karakteristik pengendalian hama oleh petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
populasi dan intensitas serangan hama pengerek batang dan hama lainnya sangat
rendah, sehingga penyemprotan dengan insektisida yang dilakukan pada pengendalian
cara petani hanya membuang waktu, biaya, dan membunuh musuh alami. Populasi
musuh alami lebih tinngi daripada populasi serangga mangsanya. Produksi gabah kering
panen pada perlakuan PHT sama dengan produksi pada perlakuan cara petani.
Kata kunci: Padi, penggerek batang padi, fase vegetatif, Pengendalian Hama Terpadu
(PHT)
PENDAHULUAN
Berbagai jenis penggerek batang padi yang dikenal di Indonesia yaitu:
penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker, penggerek batang
padi putih Scirpophaga innotata Walker, penggerek batang merah jambu
Sesamia inferens Walker, penggerek batang padi bergaris Chilo suppressalis
Walker, penggerek batang padi berkepala hitam Chilo polychrysus Meyrick, dan
penggerek batang padi berkilat Chilo auticilius Dudgeon. Di Provinsi Sulawesi
Selatan, penggerek batang padi putih merupakan spesies yang dominan dan
termasuk hama terpenting kedua sesudah hama tikus (Fachrudin dan Baco,
1973; Baco, 1992; Baco et al., 2007). Di sektor Barat Sulawesi Selatan,
penggerek batang lebih dominan pada fase vegetatif di musim kemarau, sedang
di sektor Timur lebih dominan di musim hujan (Baco, 1992; Baco et al., 1995;
Misnaheti et al., 2010).
Hama penggerek batang padi menyerang pada seluruh tingkat
perkembangan tanaman padi. Kehilangan hasil oleh serangan penggerek batang
sangat bervariasi tergantung intensitas tanaman dan stadia tanaman. Setiap
kenaikan 1% sundep dan beluk dapat menurunkan hasil padi masing-masing
0,28% dan 0,62% tetapi kerusakan serangan sundep 30% pada varietas tertentu
yang berumur ≤ 40 hari sesudah tanam belum menimbulkan kerugian yang
955
berarti karena masih dapat di kompensasi oleh pertumbuhan tunas baru
sedangkan kerusakan yang terjadi pada umur tua (beluk) tidak dapat di
kompensasi sehingga menyebabkan kehilangan hasil yang lebih tinggi (Anonim,
1994).
Pengendalian hama penggerek batang padi yang dilakukan petani selama
ini lebih mengandalkan penggunaan insektisida kimia, karena dapat memberikan
respon yang cepat dan dianggap dapat membantu petani dalam
mempertahankan hasilnya. Pemakaian insektisida kimia di Indonesia cukup tinggi
yaitu mencapai 20.000 ton. Pemakaian insektisida kimia secara berlebih diduga
kuat menjadi faktor pemicu meledaknya populasi hama penggerek batang padi.
Akumulasi residu insektisida yang sulit terurai di alam berdampak pada matinya
agensia-agensia hayati sebagai pengendali hama, punahnya organismeorganisme tertentu, terjadinya kekebalan spesies hama terhadap insektisida,
resurgensi hama, dan dapat menyebabkan keracunan pada manusia (Oka dan
Bahagiawati, 1991). Berdasarkan dampak negatif yang timbul dari penggunaan
insektisida kimia tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian untuk mengetahui
model pengendalian penggerek batang yang efektif, serta aman bagi manusia
dan lingkungan, dan mengurangi konsumsi insektisida terutama pada fase
vegetatif tanaman padi.
METODOLOGI
Kegiatan pengkajian dilaksanakan di Desa Melle, Kecamatan Palakka,
Kabupaten Bone pada bulan Maret sampai dengan November 2012.
Bahan yang digunakan yaitu benih padi, pupuk organik, pupuk anorganik,
dan insektisida. Sedangkan alat yang digunakan yaitu gelas ukur, botol plastik,
tali, terpal, meteran, papan plot, karung, kantong plastik, ATK, dan alat bantu
lainnya.
Pengkajian terdiri dari 2 perlakuan yang dilaksanakan pada 2 hamparan
sawah yang luasnya masing-masing sekitar 100 ha yang berjarak 250 - 500 m
satu sama lain. Pada setiap hamparan dipilih secara sengaja 20 petani
kooperator yang menjadi ulangan perlakuan.
Perlakuan-perlakuan yang diuji adalah:
a. Pengendalian Hama Terpadu (PHT), dengan komponen pengendalian
adalah:
1. Hambur benih, dilakukan setelah penerbangan imago penggerek
batang padi.
2. Sistem tanam, menggunakan jajar legowo 2 : 1 atau 4 : 1.
3. Pemungutan kelompok telur, yang dilakukan pada saat
dipersemaian sampai fase primordia.
4. pengendalian menggunakan insektisida berdasarkan ambang
kendali hama penggerek batabg padi yakni berdasarkan kerusakan
tanaman pada stadia vegetatif adalah 6% dan pada stadia
generatif adalah 10%.
956
b. Pengendalian cara petani ( menggunakan insektisda).
Perlakuan-perlakuan tersebut di atas disosialisasikan dan didiskusikan dengan
masing-masing kelompok petani kooperator yang akan menerapkannya.
Parameter yang diamati dalam pengkajian ini adalah:
a. Jumlah kelompok telur.
Pengumpulan kelompok telur dilakukan setiap minggu mulai dari persemaian
sampai tanaman memasuki fase promordia pada 10 tanaman contoh pada
setiap perlakuan. Telur penggerek batang yang ditemukan diambil bersama
helai daun tempat telur diletakkan dan dimasukkan dalam botol atau tabung
reaksi. Dasar botol diberi air secukupnya agar daun tidak mongering
sebelum telur menetas. Biasanya setelah 3 - 5 hari telur menetas, telur yang
fertile menjadi larva dan telur yang telah teinfeksi parasitoid akan keluar
imago parasitoid. Apabila parasitoid yang muncul dilepaskan kembali ke
lapangan.
b. Populasi hama penggerek batang dan hama lainnya diamati pada 10
tanaman contoh pada setiap perlakuan.
c. Intensitas serangan hama penggerek batang padi dan hama lainnya
diamati pada 10 tanaman contoh pada setiap perlakuan. Untuk
menghitung intensitas serangan (I) menggunakan rumus:
Σ tanaman terserang
I=
x 100 %
Σ tanaman yang diamati
d. Karakteristik pengendalian hama oleh petani. Data karakteristik petani
dikumpulkan melalui survei dengan menggunakan kuisioner kepada 20
orang petani kooperator.
e. Produksi gabah kering panen.
Data-data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan uji t pada taraf
kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Hama Yang Ditemukan pada Pertanaman Padi
Berbagai jenis hama yang menyerang tanaman padi, beberapa di
antaranya merupakan hama utama yang mampu menurunkan hasil produksi
secara drastis, salah satunya Penggerek Batang Padi (Schirpophaga innotata).
Namun, pada kondisi agroekosistem yang tidak mendukung perkembangan hama
serta perlakuan yang tepat, berbagai jenis hama tersebut tidak mengalami
perkembangan yang luas dan selalu berada di bawah ambang kendali selama
pertanaman. Berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman padi, diperoleh
populasi hama yang disajikan pada Tabel 1.
957
Tabel 1. Rata-rata populasi hama pada tanaman padi pada setiap perlakuan
Perlakuan
Jenis hama
PHT
Telur
Penggerek
batang padi
Ulat
penggulung
daun
Ngengat
hama putih
Hama putih
palsu
Spot telur
keong mas
Spot
Serangan
Tikus
Wereng
hijau
Wereng
batang
coklat
Walang.
sangit
Lalat daun
Cara
petani
Telur
Penggerek
batang padi
Ulat
penggulung
daun
Ngengat
hama putih
Hama putih
palsu
Spot telur
keong mas
Spot
Serangan
Tikus
Wereng
hijau
Wereng
batang
coklat
Walang.
sangit
Lalat daun
Inpari
6
Populasi hama /10 tanaman pada varietas:
Inpari Inpari
Cigeulis
Ciherang Mekongga
10
16
IR
66
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-
0,03
0,00
0,22
0,00
0,02
0,00
-
0,00
0,00
0,29
0,00
0,04
0,00
-
0,01
0,00
0,29
0,00
0,01
0,00
-
0,09
0,22
0,15
0,00
0,09
0,00
-
0,00
0,00
0,11
0,00
0,07
0,00
-
0,02
0,00
0,13
0,00
0,00
0,00
-
0,00
0,00
0,02
0,00
0,00
0,02
-
0,07
0,04
0,18
0,01
0,05
0,02
-
0,05
0,00
0,16
0,01
0,03
0,02
-
0,00
-
-
0,00
0,00
0,00
0,00
0,19
-
-
0,01
0,00
0,00
0,00
0,17
-
-
0,01
0,00
0,00
0,06
0,00
-
-
0,00
0,00
0,00
0,03
0,06
-
-
0,03
0,00
0,00
0,08
0,03
-
-
0,02
0,00
0,00
0,02
0,00
-
-
0,00
0,00
0,00
0,03
0,00
-
-
0,00
0,00
0,00
0,00
0,02
-
-
0,01
0,00
0,04
0,05
0,00
-
-
0,01
0,00
0,00
0,02
Sumber: Data primer setelah diolah, 2012
Populasi hama yang ditemukan sangat kecil dan terkendali, baik pada
perlakuan PHT maupun pada cara petani. Secara keseluruhan, rata-rata populasi
958
musuh alami lebih tinggi dibanding populasi hama (Tabel 2), sehingga intensitas
serangan setiap spesies hama sangat rendah yaitu di bawah 5%. Musuh alami
berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang
tidak merugikan. Hal ini terbukti dari setiap pengamatan dilahan pertanian,
beberapa jenis musuh alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan
secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem
persawahan tidak hanya ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi
juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi antar komponen ekosistem. Hasil
pengkajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang dari 700 serangga
termasuk parasitoid dan predator ditemukan di ekosistem persawahan dalam
kondisi tanaman tidak ada hama khususnya wereng batang coklat (WBC).
Predator WBC, umumnya polifag akan memangsa berbagai jenis serangga
(Santosa dan Sulistyo, 2007).
Tabel 2. Rata-rata populasi serangga musuh alami pada tanaman padi pada
setiap perlakuan
Populasi musuh alami/10 tanaman pada varietas:
Perlakuan
PHT
Jenis musuh
alami
Laba-laba
Capung
Inpari
6
Inpari
10
Inpari
16
Cigeulis
Ciherang
Mekongga
IR
66
0,31
0,30
0,20
0,30
0,60
0,49
0,08
0,28
0,21
0,34
0,07
0,33
-
sp.
Coccinelid
0,80
0,01
0,00
0,00
0,05
0,07
0,00
0,00
0,01
0,01
0,00
0,00
-
Laba-laba
Capung
0,20
0,22
-
-
0,16
0,23
0,11
0,24
0,09
0,18
0,21
0,23
sp.
Coccinelid
0,00
0,01
-
-
0,00
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,01
Cyrtorhynus
Cara
petani
Cyrtorhynus
Sumber: Data primer setelah diolah, 2012
Faktor-Faktor Rendahnya Populasi Hama di Pertanaman Padi
Populasi musuh alami yang ditemukan, lebih besar dibanding populasi
hama, terutama Capung dan Laba-laba. Keberadaan musuh alami di pertanaman
padi mampu menurunkan populasi hama, serta didukung rendahnya curah hujan
pada musim tanam April – September. Data curah hujan disajikan pada Tabel 3.
959
Tabel 3. Rata-Rata curah hujan di Kecamatan Palakka Kabupaten Bone Musim
Tanam 2012
Bulan
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
CH
129
65
38
50
49
-
Curah Hujan (CH) dan Hari Hujan (HH) per dekade
I
II
III
HH
CH
HH
CH
7
15
4
28
4
12
3
114
2
25
2
1
97
6
9
3
3
-
HH
2
5
1
1
-
Sumber: Data Dinas Pertanian Kabupaten Bone, 2012
Ketersediaan air pada sawah tadah hujan ditentukan oleh curah hujan
dan sawah irigasi ditentukan oleh pengaturan pengairan. Selain rotasi tanaman
dan pengaturan waktu tanam, pengaturan pengairan juga dapat menekan
populasi hama, terutama dalam areal yang luas (Hendarsih dan Usyati, 2005).
Pemilihan waktu tanam tepat dan faktor iklim terutama curah hujan pada kurun
waktu tertentu, telah memberikan dampak positif dalam pengendalian hama dan
penyakit (Praptana dan Yasin, 2008).
Karakteristik Pengendalian Hama Oleh Petani
Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua petani mengetahui ngengat
penggerek batang padi dengan nama lokal pucang-pucang. Mereka juga
mengetahui larva dari penggerek batang. Sayangnya 100 persen petani tidak
mengetahui pupa dan telur penggerek batang. Setelah diperlihatkan kelompok
telur dan membedah kelompok telur, tampak ratusan telur dalam satu kelompok
dengan menggunakan loup, baru mereka menyadarinya. Hasil pengamatan
menunjukkan, kelompok telur tidak ditemukan selama fase vegetatif tanaman
padi. Respon petani terhadap cara pengendalian hama disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Respon petani terhadap komponen pengendalian hama tanaman di
Desa Melle, Kecamatan Palakka, Kabupaten Bone.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
10
Jenis Aktivitas
Waktu Tanam Serempak
Menanam VUB Padi
Sistem Tanam Pindah
Jarak Tanam Legowo
Jarak Tanam Tegel
Frekuensi Pemupukan 2 kali
Pergiliran Tanaman
Mengetahui Cara Pemanduan
Hama
Mengenal Telur dan Imago
Penggerek Batang Padi
Frekuensi Mengumpulkan telur
11
Melakukan Penyemprotan
9
Sumber: Data primer setelah diolah, 2012
960
(%)
90
100
75
15
65
90
70
90
Keterangan
90
50
65
1 – 8 kali dengan temuan rata-rata
1 kelompok telur
pada fase
generatif
Frekuensi penyemprotan 1 – 8 kali
Berdasarkan hal tersebut pada petak sawah petani yang didampingi tidak
pernah dilakukan penyemprotan insektisida. Pada fase generatif tanaman padi
ditemukan populasi wereng coklat dengan kepadatan kurang dari satu ekor per
rumpun dan beberapa jenis hama minor lainnya yang ditemukan secara
insidentil. Berbagai jenis musuh alami penggerek batang padi maupun musuh
alami hama lainnya juga ditemukan meskipun padat populasinya juga cukup
rendah. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka tidak perlu dilakukan
suatu tindakan pengendalian.
Hasil pencacahan terhadap petani yang tidak didampingi, ternyata
mereka tetap melakukan penyemprotan dengan 2 - 8 kali selama satu musim
tanam. Mereka melakukan penyemprotan karena sudah menjadi kebiasaan dan
nampaknya sudah menjadi keharusan apabila mereka telah menemukan populasi
hama di sawahnya meskipun dalam keadaan padat populasi yang rendah.
Mereka kuatir padat populasi akan berkembang cepat dan terlambat diantisipasi
pengendaliannya.
Produksi Gabah Kering Panen
Produksi gabah kering panen pada perlakuan PHT dalam penelitian ini
tidak disemprot insektisida adalah 6,00 t/ha. Produksi ini tidak berbeda nyata bila
dibandingkan dengan perlakuan cara petani yang besarnya 5,9 t/ha yang
mendapat pengendalian hama 1 – 8 kali penyemprotan insektisida per musim
tanam (Tabel 5).
Tabel 5. Rata-rata produksi gabah kering panen Inpari 6 pada setiap perlakuan
Perlakuan
Produksi (ton/ha)
PHT
Cara Petani
6,0 a
5,9 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata
berdasarkan Uji t 95%
KESIMPULAN
Populasi dan intensitas serangan hama penggerek batang dan hama
lainnya sangat rendah, karena itu dalam penelitian ini belum dapat diketahui
efektivitas pengendalian hama penggerek batang dan hama lainnya. Populasi
predator seperti laba-laba dan capung lebih tinggi dari pada populasi serangga
inangnya. Produksi gabah kering panen pada perlakuan PHT sama dengan
perlakuan cara petani.
SARAN
Sebaiknya kajian ini diulangi pada lokasi yang sering terjadi serangan
penggerek batang padi dengan tingkat serangan yang tinggi.
961
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Djafar Baco
yang selalu memberi saran, petunjuk, dan koreksi dalam pelaksanaan penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada saudara Zaenal Nuruddin yang
bertugas sebagai teknisi selama pelaksanaan kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. Pengenalan dan Pengendalian OPT padi. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan
Tanaman. Jakarta.
Baco D., M. Yasin, dan Surtikanti. 1995. Penggerek batang padi dan strategi
pengendaliannya di Sulawesi Selatan. Dalam Kinerja Pen. Tan. Pangan.
p: 528-540.
Baco, D. 1992. Komposisi spesies penggerek batang padi di Sulawesi Selatan.
Makalah disampaikan pada Kongres IV PEI Yogyakarta 26-30 Januari
1992: 8p.
Fachrudin dan D. Baco. 1973. Pengkajian mengenai populasi penggerek batang
padi di Sulawesi Selatan. Dir. Pen dan Peng. Masy. Dirjen Pendidikan
Tinggi Dep. P dan K. Proyek 1214. Ent. 5. Fak. Pertanian UNHAS. 33p.
Hendarsih dan Usyati, 2005. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi.
www.bbpadi.litbang.deptan.go.id.
Misnaheti, Baco, D., dan Aisyah. 2010. Tren Perkembangan Penggerek Batang
Pada Tanaman Di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan
Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi
Selatan, 27 Mei 2010.
Oka, I, N.. dan Bahagiawti, A.H. 1991. Pengendalian hama terpadu. Badan
Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor, Padi. Buku III. Hal.653-680.
Praptana, R.H. dan Yasin, M. Epidemiologi dan Strategi Pengendalian Penyakit
Tungro. Jurnal IPTEK Tanaman Pangan. Pusat Pengkajian dan
Pengembangan
Tanaman
Pangan,
Badan
Pengkajian
dan
Pengembangan Pertanian, Bogor. Vol. 3 (2) hlm. 184 – 204.
Santosa, S. J. dan Joko Sulistyo. 2007. Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi
Pada Ekosistem Sawah. INNOFARM: Jurnal Inovasi Pertanian Vol 6 No.
1 2007: 1-10.
962
PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI AKIBAT
PENGGUNAAN PUPUK NPK 15-10-12
Didik Harnowo dan Q. D. Ernawanto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km.4 Malang, Tlp.(0341) 494052, Fax (0341) 471255
Email: didik_sultra@yahoo.com
ABSTRAK
Pemupukan yang berlebihan merupakan pemborosan dana, mengganggu keseimbangan
unsur hara dalam tanah, dan pencemaran lingkungan. Ketersediaan nitrogen, fosfat dan
kalium dalam tanah sering menjadi faktor pembatas utama dalam upaya memperoleh
hasil padi yang optimal. Pupuk NPK 15-10-12 merupakan produk baru sebagai alternatif
pupuk NPK Phonska 15-15-15 yang telah banyak beredar di pasaran. Tujuan penelitian
ini adalah diperolehnya dosis optimum aplikasi Pupuk NPK 15-10-12 pada tanaman padi.
Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi padi yaitu di desa Karangrejo, kecamatan
Gumukmas, Jember, mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Mei 2013. Perlakuan
terdiri dari berbagai kombinasi dosis pupuk NPK Phonska 15-15-15, NPK 15-10-12, Urea,
dan Petroganik (meliputi tujuh perlakuan). Rancangan percobaan acak kelompok 3
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan 350 kg/ha NPK 15-10-12 yang
dikombinasi dengan 200 kg Urea per ha mampu meningkatkan produksi gabah kering
panen padi varietas Inpari Sidenuk dengan produktivitas sebesar 7,75 t/ha (tidak
berbeda nyata dengan pupuk NPK Phosnka 15-15-15 300 kg/ha, dengan pendapatan
sebesar Rp 15.725.000 serta R/C rasio 2,60.
Kata kunci : Pupuk NPK 15-10-12, produktivitas padi, Inpari Sidenuk
PENDAHULUAN
Padi merupakan salah satu komoditas pangan strategis, komoditi ini
cukup berprospek dan tetap akan dikembangkan oleh pemerintah.
Meningkatnya nilai tambah komoditi padi seiring dengan meningkatnya
permintaan dan kebutuhan beras sebagai pangan pokok, mendorong untuk
meningkatkan produksi padi. Harapan untuk mencapai swasembada padi pada
tahun ini masih jauh dari sasaran, hal ini karena produktivitasnya masih rendah,
disamping faktor-faktor lainnya, misal anomali iklim, yang berakibat ledakan
serangan OPT.
Komoditas padi dikembangkan petani di lahan-lahan sawah intensif,
kondisi lahan-lahan sawah tersebut akibat dimanfaatkan secara terus-menerus
secara intensif dengan pemakaian pupuk anorganik (baik tunggal maupun
majemuk) dengan dosis yang irrasional di sisi lain pemakaian bahan organik
(baik pupuk organik, atau berupa serasah hasil panen yang jarang dikembalikan
ke tanah ataupun rendahnya pemakaian pupuk kandang atau pupuk hijau)
berakibat termarginalnya lahan-lahan tersebut.
Irrasionalnya pemupukan padi sawah, karena belum mendasarkan pada
kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan tanaman secara tepat.
Penggunaan pupuk yang efisien pada dasarnya adalah memberi pupuk dalam
jumlah, macam, jenis, dan bentuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman,
963
dengan cara dan saat pemberian yang tepat sesuai kebutuhan serta sesuai
dengan fase pertumbuhan tanaman padi. Pemupukan yang berlebihan
merupakan pemborosan dana, mengganggu keseimbangan unsur hara dalam
tanah, dan pencemaran lingkungan (Adiningsih et al., 1989; Moersidi et al.,
1991; Rochayati et al., 1991), sedangkan pemberian pupuk yang terlalu sedikit
tidak dapat memberikan tingkat produksi yang optimal.
Permasalahan kesuburan tanah diantaranya : ketersediaan nitrogen,
fosfat dan kalium dalam tanah sering menjadi faktor pembatas utama dalam
upaya memperoleh hasil pertanian yang optimal (Tisdale et al, 1985). Upaya
untuk mencukupi kebutuhan unsur hara makro tersebut bagi tanaman padi
biasanya dipenuhi dari pupuk Urea, ZA, SP-36 dan KCl ataupun pupuk majemuk
NPK. Pada beberapa lokasi aplikasi pemupukan hanya menekankan pada pupuk
N (Urea, ZA) dengan dosis yang tinggi, pupuk P dengan dosis rendah sampai
sedang, dan sebagian besar petani jarang menggunakan pupuk K. Hal ini
disebabkan (1) kebutuhan hara N paling besar (2) harga pupuk N paling murah,
harga pupuk P maupun K dirasa mahal oleh petani (3) pengaruh pupuk N
terhadap keragaan pertumbuhan tanaman secara langsung dan jelas, (4) pupuk
N mudah diperoleh. Oleh sebab itu, dengan meningkatnya hasil panen akan
diikuti oleh munculnya kekahatan beberapa unsur hara yang tidak pernah
diberikan, karena unsur hara dan bahan organik diangkut bersamaan panen
(Adiningsih dan Soepartini, 1995).
Pupuk
NPK 15-10-12 merupakan produk baru pupuk majemuk,
diharapkan dapat mengantisipasi kekahatan hara pada tanaman padi. Pengaruh
pupuk majemuk ini terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi belum
diketahui, termasuk perbedaannya dengan pupuk NPK Phonska 15-15-15. Dari
dasar pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan pengujian penggunaan pupuk
NPK 15-10-12 terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi.
Tujuan pengkajian adalah diperolehnya dosis optimum aplikasi Pupuk
NPK 15-10-12 pada tanaman padi.
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi padi, yaitu di Desa
Karangrejo, Kecamatan Gumukmas, Kabupaten Jember. Hasil analisis tanah
sebelum dilakukan pengkajian disajikan pada Tabel 1. Pelaksanaan mulai bulan
Januari 2013 sampai dengan April 2013.
Tabel 1.
Hasil analisis tanah sebelum dilakukan penelitian di lokasi Desa
Karangrejo, Kecamatan Gumukmas, Jember
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Analisis
pH - H2O
pH – KCl
C - organik ( % )
N - total ( % )
P2O5 ( ppm )
K-tersedia (me/100 g)
7.
KTK (me/100 g)
964
Nilai Penetapan
6.24
5.68
2.68
0.20
24.45
0.48
26,72
Status
agak masam
sedang
rendah
sedang
sedang
tinggi
Bahan
Bahan yang digunakan meliputi : tanaman padi varietas Inpari Sidenuk,
pupuk NPK 15-10-12, NPK Phonska 15-15-15, Urea, dan Petroganik. Pestisida
sesuai dengan rekomendasi.
Metoda
Penelitian ini merupakan percobaan lapang yang dilaksanakan pada
musim hujan 2013, menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan.
Susunan perlakuan NPK 15-10-12 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Susunan perlakuan NPK 15-10-12
Kode Perlakuan
A
B
C
D
E
F
G
NPK 15-15-15
0
300
350
400
0
0
0
NPK 15-10-12
0
0
0
0
300
350
400
Urea
0
200
200
200
200
200
200
Petroganik
0
500
500
500
500
500
500
Pupuk Urea diberikan 3 kali, yaitu yaitu : 1/3 dosis saat umur 7 hari
setelah tanam (hst), 1/3 dosis umur 21 hst, dan 1/3 sisa saat 35 hst; pupuk
NPK 15-15-15 dan NPK 15-10-12 dan Phonska diaplikasikan 2 kali yaitu 1/2
dosis saat tanam, dan 1/2 dosis saat umur 21 hst. Sedangkan Petroganik sekali,
yaitu sebelum tanam. Analisis tanah meliputi: N, P, K, C-organik, pH, KTK
dilakukan sebelum dilakukan percobaan.
Peubah yang diamati meliputi : tinggi tanaman umur 50 hst, dan saat
panen; Bobot 1.000 butir; persentase gabah hampa; bobot gabah kering panen
(GKP), dan analisis finansial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu faktor lingkungan yang berhubungan dengan pertumbuhanproduksi tanaman padi adalah iklim. Data iklim lokasi pengkajian, yaitu di
kecamatan Gumukmas kabupaten Jember, diperoleh di Dinas Pertanian
Kabupaten Jember selama 10 tahun terakhir (Dinas Pertanian Kabupaten
Jember, 2012).
Hasil analisis data curah hujan selama 10 tahun terakhir sejak 2003
sampai 2012, menunjukkan bahwa berdasarkan klasifikasi Oldeman lokasi
penelitian di wilayah kecamatan Gumukmas mempunyai curah hujan dengan tipe
E3, yaitu dengan < 3 bulan basah (curah hujan > 200 mm/bulan) dan 5 - 6
bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan). Rataan jumlah hari hujan 87 hari,
sedangkan rataan curah hujan tahunan sebesar 1293 mm.
Hasil analisis tanah Incentisol (Aluvial hidromorf) lokasi pengkajian
sebelum dilakukan pengkajian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kriteria
penilaian status kesuburan tanah (PPT, 1983), maka kesuburan tanah lokasi
pengkajian tergolong sedang.
965
Pertumbuhan tanaman padi merupakan salah satu cerminan ketersediaan
hara dalam larutan tanah, semakin rendah hara tanah berkorelasi positif dengan
semakin rendahnya pertumbuhan tanaman padi. Tanaman padi yang tidak
dipupuk sama sekali (perlakuan A) menampilkan tinggi tanaman terendah dan
nyata berbeda dengan perlakuan lainnya saat tanaman padi berumur 50 hst dan
saat panen. Pemupukan NPK 15-10-12 dengan berbagai dosis tidak berbeda
nyata dengan pemupukan Phonska. Peningkatan pemakaian pupuk NPK 15-1012 cenderung diikuti pula dengan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman padi
varietas Inpari Sidenuk walaupun tidak nyata berbeda. Demikian pula dengan
peningkatan dosis pupuk NPK Phonska 15-15-15. Namun apabila dibandingkan
dengan tanpa pupuk, meningkatan pertumbuhan secara nyata (Tabel 3).
Tabel 3. Rataan tinggi tanaman padi varietas Inpari Sidenuk pengaruh
pemupukan NPK 15-10-12 di Gumukmas, Jember
No.
1
2
3
4
5
6
7
Perlakuan
A (Kontrol)
B (Rekomendasi)
C
D
E
F
G
Tinggi tanaman (cm)
Umur 50 hst
Saat Panen
74,5 a
95,9 a
88,5 b
104,5 b
89,9 b
105,7 b
91,4 b
106,3 b
86,1 b
102,2 b
87,2 b
102,6 b
89,7 b
105,1 b
Keterangan : Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada taraf 5 %
Komponen Produksi
Antar dosis penggunaan NPK 15-10-12 tidak berpengaruh nyata terhadap
komponen produksi padi varietas Inpari Sidenuk (jumlah gabah isi per malai,
jumlah gabah hampa per malai, bobot 1.000 butir, dan produksi GKP). Demikian
pula pupuk Phonska 15-15-15. Penggunaan pupuk NPK 15-10-12 tidak berbeda
nyata dengan pupuk Phonska pada semua dosis. Namun apabila dibandingkan
dengan perlakuan A (tanpa penambahan pupuk) baik dosis Phonska, maupun
penggunaan pupuk NPK 15-10-12 menghasilkan komponen produksi nyata lebih
tinggi.
Pemupukan NPK 15-10-12 dengan dosis tidak meningkatkan jumlah
gabah isi/malai, namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa
pupuk; disisi lain pemakaian pupuk NPK 15-10-12 mampu menekan jumlah
gabah hampa/malai dibanding dengan tanpa pupuk (Tabel 4).
Penggunaan pupuk NPK 15-10-12 meningkatkan produksi gabah kering
panen (GKP) dibanding tanpa pupuk, namun peningkatan dosis tidak diikuti oleh
meningkatnya produksi GKP. Demikian pula dengan pemakaian pupuk Phonska.
Antar dosis pupuk NPK 15-10-12 tidak berbeda nyata dengan pupuk Phonska.
Pengaruh positif penggunaan jenis pupuk NPK 15-10-12 terhadap
peningkatan produksi GKP diduga disebabkan oleh adanya peningkatan unsur
hara N, hara P, dan hara K dalam larutan tanah sehingga meningkatkan
ketersediaan ketiga unsur ini bagi tanaman padi.
Pupuk NPK 15-10-12
mengadung 15 % N, 10 % P2O5, dan 12 % K2O; sedangkan hasil analisis tanah
(Tabel 1) kadar N tergolong rendah, P tergolong sedang dan K sedang;
966
sehingga tanaman padi Inpari Sidenuk merespon positif yang ditunjukkan
dengan penambahan tinggi tanaman dan produksi dibandingkan tanpa
pemupukan.
Tabel 4. Rataan komponen produksi padi Inpari Sidenuk pengaruh penggunaan
pupuk NPK 15-10-12 di Gumukmas Jember, 2013
Komponen Produksi
Bobot
Jml gabah
1.000 butir
hamba/malai
(g)
No.
Perlakuan
Jml gabah
isi /malai
Bobot GKP
(t/ha)
1
2
3
4
5
6
A (Kontrol)
B (Rekomendasi)
C
D
E
F
85,57
97,35
98,83
99,89
96,79
97,91
a
b
b
b
b
b
12,24 b
8,15 a
8,03 a
7,98 a
8,53 a
8,14 a
22,41 a
24,29 b
24,91 b
25,15 b
24,04 b
24,79 b
5,35 a
7,98 b
8,05 b
8,15 b
7,75 b
7,95 b
7
G
97,82 b
8,32 a
25,11 b
7,97 b
Keterangan : - Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata dengan uji DMRT pada taraf 5 %.
- Huruf A s/d G sesuai Tabel 2.
Analisis Finansial Usahatani
Pada analisis finansial diasumsikan bahwa semua beaya lainnya sama
kecuali beaya pupuk, sehingga tingkat pendapatan yang diperoleh petani akibat
dari perbedaan beaya pupuk.
Hasil analisis input-output usahatani padi
pengaruh penggunaan pupuk NPK 15-10-12 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis finansial usahatani padi Inpari Sidenuk pengaruh penggunaan
pupuk NPK 15-10-12 di Gumukmas Jember, 2013
Perlakuan
Produksi
A
B
C
D
E
F
G
5,35
7,98
8,05
8,15
7,75
7,95
7,97
Keterangan :
-
Beaya
Non
Pupuk
pupuk
250.000
7.680.000
1.260.000
8.710.000
1.375.000
8.710.000
2.250.000
8.710.000
1.140.000
8.710.000
1.235.000
8.710.000
1.330.000
8.710.000
Harga
Jual
GKP/kg
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
3.300
Nilai Jual
Pendapatan
17.655.000
26.334.000
26.565.000
26.895.000
25.575.000
26.235.000
26.301.000
9.725.000
16.364.000
16.480.000
15.935.000
15.725.000
16.290.000
16.261.000
Beaya non pupuk : meliputi tenaga kerja, bibit, pestisida, sewa lahan, iuran
HIPPA
Harga jual GKP saat panen Rp 3.300; Harga Urea Rp 1.600, NPK Phonska Rp
2.300. NPK 15-10-12 Rp 1.900
Huruf A s/d G sesuai Tabel 2.
967
Tabel 6. Analisis finansial usahatani padi penggunaan pupuk NPK 15-10-12
dibandingkan dengan rekomendasi di Gumukmas Jember, 2013
Jumlah
Satuan
40
kg
6,500
Pupuk
Rekomendasi
(300 kg
Phonska + 200
kg Urea)
260,000
NPK 15-10-12
300
kg
1,900
0
NPK Phonska
300
kg
2,300
690,000
Urea
200
kg
1,600
320,000
320,000
Petroganik
500
kg
500
250,000
250,000
Insektisida
2
lt
130,000
260,000
260,000
Fungisida
1
lt
150,000
150,000
150,000
Beaya Tenaga
kerja:
Pengolahan
tanah
Persemaian
28
HOK
20,000
560,000
560,000
12
HOK
20,000
240,000
240,000
Penanaman
34
HOK
20,000
680,000
680,000
Pemupukan
9
HOK
20,000
180,000
180,000
Penyiangan
20
HOK
20,000
400,000
400,000
6
HOK
20,000
120,000
120,000
Pengairan
10
HOK
20,000
200,000
200,000
Pemanenan
48
HOK
20,000
960,000
960,000
4,500,000
4,500,000
200,000
200,000
9,970,000
9,850,000
7,980
7,750
Nilai Produksi
26,334,000
25,575,000
Pendapatan
16,364,000
15,725,000
2.64
2.60
Uraian
Bibit Padi
PHT
Beaya
350 kg NPK 1510-12 + 200 kg
Urea
260,000
570,000
Biaya lain-Lain
Sewa Lahan
Iuran HIPPA
Total Biaya
Produksi (kg/ha)
R/C Ratio
1 MT
1 MT
Pemakaian pupuk sesuai rekomendasi (300 kg Phonska + 200 kg Urea
per ha) memberikan tingkat pendapatan (Rp. 16.364.000) dengan R/C ratio
2,64; sedangkan penggunaan pupuk NPK 15-10-12 yang memberikan
pendapatan tertinggi sebesar Rp. 15.725.000 dengan R/C ratio 2,60 yaitu dosis
350 kg yang dibarengi dengan 200 kg Urea per ha; walaupun produktivitasnya
tidak berbeda nyata.
968
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Pemakaian pupuk NPK 15-10-12 tidak menyebabkan penurunan
pertumbuhan maupun produktivitas padi dibandingkan dengan penggunaan
pupuk NPK Phonska 15-15-15.
Pemakaian NPK 15-10-12 dengan dosis rendah, sedang, dan tinggi tidak
berbeda nyata terhadap produksi padi Inpari Sidenuk pada tanah dengan
kadar P, dan K tergolong sedang .
Pupuk NPK 15-10-12 dengan dosis 350 kg yang dibarengi dengan pemberian
200 kg Urea per ha dapat digunakan sebagai alternatif pemupukan pada
tanaman padi varietas Inpari Sidenuk.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, S., J. S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A.M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan
fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya
Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Adiningsih, S., J.S. dan M. Soepartini, 1995. Pengelolaan pupuk pada sistem
usahatani lahan sawah. Makalah pada Apresiasi Metodologi Pengkajian
Sistem Usahatani Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis. PSE Bogor,
7-9 September 1995.
Dinas Pertanian Kabupaten Jember. 2012. Kompilasi Data Iklim Kabupaten
Jember Tahun 2000 - 2012.
Moersidi, S., J. Prawirasumantri, W. Hartatik, A. Pramudia, dan M. Sudjadi. 1991.
Evaluasi kedua keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa.
Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
PPT. 1983. Kriteria Kesesuaian Lahan. Pusat Penelitian Tanah, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Rochayati, S., Muljadi, dan J.S. Sri Adiningsih. 1991. Penelitian efisiensi
penggunaan pupuk di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional
Efisiensi Penggunaan Pupuk V:107-143. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Tisdale, S.L., W.I. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers.
Mac Millan Publ. Co. New York.
969
OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN
DI DESA SALU PAREMANG SELATAN KABUPATEN LUWU
Sahardi, Kartika Fauziah, Asryanti Ilyas, dan Dewi Mayanasari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5 Makassar
Email: bptp_sulsel@yahoo.com
ABSTRAK
Pemanfaatan pekarangan sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten
Luwu, belum optimal. Dengan masuknya inovasi teknologi Rumah Pangan Lestari yang
prakarsai Badan Litbang Pertanian, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa
sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan
kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Tujuan kegiatan ini adalah memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan
pekarangan secara lestari; Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam
pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan
tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan limbah jerami
menjadi pupuk organik, mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga
keberlanjutan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan
lokal untuk masa depan, mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga
mampu meningkat kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang
bersih dan sehat secara mandiri. Kegiatan dilaksanakan di Desa Salu Paremang Selatan,
Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, berlangsung mulai Januari
hingga Desember 2012, yang berada pada titik koordinat 3o 30’76” LS dan 120o36’59”
BT. Hasil kegiatan menunjukkan sebagian besar anggota KRPL mengkonsumsi hasil dari
usahatani pekarangannya, dan hanya sedikit yang dijual pada pedagang keliling. Angota
kelompok tani responden KRPL dapat menghemat pengeluaran rata-rata sebesar Rp.
190.000/KK/bulan. Terdapat peningkatan rata-rata PPH setelah program KRPL
dilaksanakan, yaitu dari 76,55 sebelum RPL dilaksanakan, menjadi 80,86.
Kata kunci: Kawasan rumah pangan lestari, pekarangan, penghematan pendapatan.
PENDAHULUAN
Ketahanan pangan (food security) menjadi fokus perhatian pemerintah
saat ini. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Maka terpenuhinya
pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran
dari ketahanan pangan di Indonesia. Presiden RI pada acara Konferensi Dewan
Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di Jakarta juga mengemukakan bahwa
ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga.
Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan pekarangan untuk
pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk
mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Mardharini et al., 2011).
970
Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta ha atau 14% dari
keseluruhan luas lahan pertanian. Lahan pekarangan tersebut merupakan
sumber potensial penyedia berbagai jenis bahan (diversifikasi) pangan yang
bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan inovatif. Lahan
tersebut sebagian besar masih belum dimanfaatkan sebagai areal pertanaman
aneka komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan.
Perhatian
masyarakat terhadap pemanfaatan lahan pekarangan relatif masih kurang,
sehingga pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan
belum banyak dilakukan.
Di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten Luwu, pemanfaatan
pekarangan belum optimal dan sebagian besar masih kosong. Dengan inovasi
kreatifitas, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis
tanaman apapun bisa memiliki nilai estetika sama dengan tanaman hias dan
memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber
pendapatan keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan dengan jenis tanaman:
pangan, hortikultura, obat-obatan, ternak, ikan dan lainnya, selain dapat
memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, juga berpeluang memperbanyak sumber
penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik.
Kementerian Pertanian telah menyusun suatu konsep yang disebut
dengan “Kawasan Rumah Pangan Lestari” (KRPL), yang dibangun dari kumpulan
Rumah Pangan Lestari (RPL). Masing-masing RPL diharapkan memenuhi prinsip
pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan meningkatkan
pendapatan, serta pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui
partisipasi masyarakat.
Badan Litbang Pertanian melalui 65 Unit Kerja (UK) dan Unit Pelaksana
Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia siap mendukung upaya
optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan melalui dukungan inovasi teknologi
dan bimbingan teknis. Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga
dalam mewujudkan kemandirian pangan, perlu diaktualisasikan dalam bentuk
menggerakkan budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan
maupun perdesaan. Kegiatan ini bertujuan untuk: memenuhi kebutuhan pangan
dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari;
meningkatkan kemampuan keluarga dalam pemanfaatan lahan pekarangan
untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan tanaman obat keluarga
(toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta limbah rumah
tangga menjadi kompos; dan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif
keluarga sehingga mampu meningkat kesejahteraan keluarga dan menciptakan
lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri (Kementan, 2011)
METODOLOGI
Lokasi, Koordinat, dan Waktu
Lokasi kegiatan kawasan model rumah pangan lestari (KRPL) adalah Desa
Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi
Sulawesi Selatan, yang berada pada titik koordinat 120o 36’ 59” Bujur Timur dan
3o 30’76” Lintang Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari hingga
Desember 2012.
971
Tahapan Kegiatan
Persiapan
Persiapan meliputi : (1) Pengumpulan informasi awal tentang potensi
sumberdaya dan kelompok sasaran, (2) Pertemuan dengan dinas terkait untuk
mencari kesepakatan dalam penentuan calon kelompok sasaran dan lokasi, (3)
Koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Dinas Terkait lainnya di kabupaten/kota,
(4) Memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Koordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten
Luwu, Dinas Pertanian Kabupaten Luwu menyarankan lokasi MKRPL adalah Desa
Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, sebab sebagian besar rumah
mempunyai lahan pekarangan yang cukup luas dan belum dimanfaatkan dengan
baik. Selain itu, masyarakat setempat juga mudah diajak bekerjasama dan
bergotong royong, serta kelompok tani setempat telah dikenal memiliki banyak
pengalaman usaha tani dan telah mendapat berbagai penghargaan atas
prestasinya dalam bidang pertanian. Dalam koordinasi ini, sekaligus ditentukan
sebanyak 25 KK yang akan masuk dalam anggota KRPL.
Pembentukan Kelompok
Kelompok sasaran adalah rumahtangga atau kelompok rumahtangga
dalam satu Rukun Tetangga, Rukun Warga atau satu dusun/kampung.
Pendekatan yang digunakan adalah partisipatif, dengan melibatkan kelompok
sasaran, tokoh masyarakat, dan perangkat desa. Kelompok dibentuk dari, oleh,
dan untuk kepentingan para anggota kelompok itu sendiri. Dengan cara
berkelompok akan tumbuh kekuatan gerak dari para anggota dengan prinsip
keserasian, kebersamaan dan kepemimpinan dari mereka sendiri.
Kelompok Wanita Tani di Desa Salu Paremang Selatan telah lama
terbentuk, dengan nama KWT Harapan Sejahtera dengan Ketua: Nurhayati,
Wakil Ketua: Sunarti, Sekretaris: Nurlela, Wakil Sekretaris: Musawwara, dan
Bendahara: Hj. Bunga. Organisasi ini dilibatkan dalam kegiatan MKRPL dan
diharapkan dapat membangun rumah pangan lestari dengan prinsip
pemanfaatan pekarangan untuk pemenuhan pangan dan gizi keluarga,
menghemat pengeluaran dan meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Sosialisasi
Dalam kegiatan sosialisasi disampaikan maksud dan tujuan kegiatan dan
membuat kesepakatan awal untuk rencana tindak lanjut yang akan dilakukan.
Kegiatan sosialisasi dilakukan terhadap kelompok sasaran dan pemuka
masyarakat serta petugas pelaksana instansi terkait.
Kegiatan sosialisasi dilakukan pada hari Kamis, tanggal 15 Maret 2012 di
Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu.
Pelaksanaan kegiatan sosialisasi dilakukan oleh Tim MKRPL BPTP Sulawesi
Selatan untuk Kabupaten Luwu. Pesertanya diikuti oleh Kepala Desa Salu
Paremang Selatan, Staf Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Luwu, Staf Dinas
Pertanian Kabupaten Luwu, Ibu-Ibu anggota Kelompok Wanita Tani Harapan
Sejahtera, Penyuluh setempat, tokoh masyarakat, dan anggota Kelompok Tani
972
Buah Harapan. Sosialisasi ini dihadiri kurang lebih 70 orang. Adapun acara dalam
kegiatan ini, yakni sambutan yang dimulai oleh Kepala Desa Salu Paremang
Selatan, dilanjutkan oleh Staf Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Luwu, dan
disusul oleh sambutan dari penanggung jawab kegiatan MKRPL Kabupaten Luwu
BPTP Sulsel, Dr. Ir. Sahardi, MS., yang menjelaskan tentang MKRPL dan jenis
kegiatan yang akan dilaksanakan. Acara sambutan dilanjutkan dengan diskusi,
pembagian kelompok sebanyak 5 kelompok, serta pembagian polybag untuk
wadah tanam. Acara ini berlangsung dari jam 09.00 wita sampai jam 13.00 wita,
yang dipandu oleh anggota tim MKRPL Kabupaten Luwu dari BPTP Sulsel, Ir.
Kartika Fauziah.
Penguatan Kelembagaan Kelompok
Penguatan Kelembagaan Kelompok dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan kelompok: (1) mampu mengambil keputusan bersama melalui
musyawarah; (2) mampu menaati keputusan yang telah ditetapkan bersama; (3)
mampu memperoleh dan memanfaatkan informasi; (4) mampu untuk
bekerjasama dalam kelompok (sifat kegotong-royongan); dan (5) mampu untuk
bekerjasama dengan aparat maupun dengan kelompok-kelompok masyarakat
lainnya.
Kelompok Wanita Tani (KWT) Harapan Sejahtera merupakan kelompok
yang kompak karena adanya hubungan kekeluargaan dan hubungan tetangga.
Sehingga interaksi dengan pengurus dengan para anggotanya sangat baik.
Dengan adanya kegiatan M-KRPL mulai dari perencanaan tanaman yang
ditanam, pembibitan di KBD dan pembagian tanaman kepada setiap anggota
berlangsung tertib dan penuh kekeluargaan. Setiap anggota mempunyai catatan
mengenai jenis tanaman, tanggal tanam dan panen serta penjualan dan
konsumsinya.
Kebun Bibit Desa (KBD)
KBD merupakan unit produksi benih dan bibit untuk memenuhi
kebutuhan pekarangan dalam membangun Rumah Pangan Lestari (RPL) maupun
kawasan. KBD ini bertujuan untuk mengembangkan sumber benih/bibit untuk
menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan
Pembangunan Kebun bibit desa (KBD) dilakukan secara gotong royong
oleh masyarakat Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten
Luwu. Pembangunan KBD dilanjutkan dengan pesemaian benih. KWT Harapan
Sejahtera sebagai anggota MKRPL secara bergiliran memelihara pesemaian di
KBD dan menginformasikan bibit yang sudah bisa dipindahkan ke lapangan, baik
ke rak vertikultur, polybag, maupun bedengan.
Budidaya Tanaman
Pesemaian
Pesemaian dilakukan di Kebun Bibit Desa (KBD). Tanah pesemaian terdiri
dari campuran tanah olah yang halus dicampur dengan pupuk organik hasil
pelatihan dengan perbandingan 1 : 1. KBD menghadap ke timur dengan
kemiringan + 45o agar sinar matahari pagi bisa masuk separuhnya dan setelah
siang hari diharapkan yang masuk 60 – 70%. Benih tanaman sayuran dan
pepaya sebelum disemaikan direndam dulu pada air hangat kuku (+45oC)
973
selama 1 jam dan diangin-anginkan sampai benih tidak lengket lalu benih
tersebut disebar merata pada media kemudian ditutup tanah tipis-tipis. Benih
tanaman sayuran dipindahkan ke wadah tanam (talang plastik). Bibit tanaman
bisa dipindahkan/ditanam di polibag atau rak vertikultur pada fase bibit bedaun
antara 4 – 5 helai.
Penanaman
Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah sub soil
(kedalaman 20 cm ) dengan pupuk organik (pupuk kandang dan Petroganik).
Media tanam dimasukkan dalam wadah talang, polybag besar atau tetap di
bedengan, selanjutnya bibit tanaman dipindahkan pada media tanam yang sudah
disiapkan. Penanaman dilakukan sore hari untuk menghindari kelayuan.
Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari terutama
pada satu minggu setelah tanam. Penyulaman dilakukan pada tanaman yang
mati, penyiangan dilakukan 1 – 2 minggu sekali tergantung banyaknya gulma
yang tumbuh. Pemupukan dilakukan dengan pupuk organik (pupuk kandang).
Tanaman sayuran dapat dipanen sesuai umur panen jenis sayuran yang ditanam
seperti bayam, kangkung dan sawi bisa dipanen pada umur 40 – 50 hari. Panen
dapat dilakukan dengan cara mencabut seluruh tanaman, memotong pangkal
batang dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Hasil panen segera
dibawa ke tempat teduh agar tidak cepat layu karena terkena sinar matahari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan utama kelompok wanita tani Harapan sejahtera adalah budidaya
sayuran pada lahan pekarangan. Jumlah responden adalah 25 rumah tangga.
Sejumlah jenis sayuran yang di usahakan pada lahan pekarang petani responden
tersebut seperti tersaji pada Tabel 1. Dari Tabel 1. Nampak bahwa cabe besar
ditanam 100 % oleh responden, menyusul tomat, cabe rawit dan terong ditanam
96% responden, sawi ditanam 88% dan kangkung 84% rumah tangga
responden. Hasil panen sayuran yang di tanam di pekarangan oleh responden
KRPL sebagian besar dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi
keluaga sendiri dan hanya sebagian kecil yang dijual ke pedagang keliling.
Menurut Department of Health & Human Services USA, konsumsi pangan
berperanan dalam timbulnya 5 dari 10 penyakit penyebab kematian, yaitu
jantung koroner, beberapa jenis kanker, stroke, diabetes tipe-2 (non-insulin
dependent), dan aterosklerosis. Pola konsumsi pangan berkaitan dengan
penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya,
yang dikarakterisasi dengan relatif tingginya konsumsi lemak jenuh, kolesterol,
natrium, dan gula (refined sugar), serta relatif rendahnya konsumsi lemak tidak
jenuh, biji-bijian, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan (Roberfroid, 1999
dalam Muchtadi, 2012). Banyak hasil penelitian menunjukkan konsumsi pangan
tertentu atau senyawa bioaktif yang terkandung didalamnya berhubungan
dengan penurunan risiko timbulnya penyakit (Hasler, 1998 dalam Muchtadi,
2012). Sebagian besar senyawa tersebut berasal dari pangan nabati, beberapa
diantaranya berasal dari pangan hewani atau mikroba (Muchtadi, 2012).
974
Tabel 1. Jenis sayuran yang ditanam anggota KRPL KWT Harapan Sejahtera
N0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jenis Sayuran
Tomat
Cabe besar
Cabe Rawit (kecil)
Terong
Sawi
Paria
Bayam
Kangkung
Gambas
Seledri
Daun Bawang
Kacang Panjang
Timun
Pepaya
Kelor
Jml. Rumah Tangga
yang menanam
24
25
24
24
22
14
6
21
17
19
21
12
5
17
3
Sumber: Data Primer setelah diolah, 2012
(%)
96
100
96
96
88
56
24
84
68
76
84
48
20
68
12
Banyak bukti, baik yang berasal dari studi epidemiologis maupun
penelitian-penelitian in vitro dan in vivo serta percobaan klinis, mengindikasikan
bahwa konsumsi pangan yang berasal dari tanaman dapat mengurangi risiko
timbulnya penyakit kronis, terutama kanker. Block et al. (1992) dalam Muchtadi
(2012) menyatakan bahwa berdasarkan 200 buah studi epidemiologis
memperlihatkan bahwa risiko timbulnya penyakit kanker pada masyarakat yang
mengonsumsi sayuran dan buah-buahan dalam jumlah tinggi hanya sekitar
setengahnya dibandingkan dengan masyarakat yang kurang mengonsumsi bahan
pangan tersebut. Dari data tersebut, terindikasikan bahwa dalam bahan pangan
nabati terkandung senyawa lain selain zat-zat gizi, yang dapat mengurangi risiko
timbulnya penyakit kanker tersebut. Steinmetz dan Potter (1991) dalam Muchtadi
(2012) mengidentifikasi lebih dari selusin kelas bahan kimia yang terkandung
dalam tanaman dan dapat aktif secara biologis, yang sekarang dikenal sebagai
senyawa fitokimia.
Tomat telah menjadi topik banyak penelitian, terutama menyangkut
likopen yang merupakan karotenoid utama buah tomat (Gerster, 1997 dalam
Muchtadi, 2012), serta peranannya dalam penurunan risiko timbulnya kanker
(Weisburger, 1988 dalam Muchtadi, 2012). Dalam suatu penelitian cohort
prospektif yang melibatkan lebih dari 47 000 orang laki-laki, ternyata bahwa
mereka yang mengonsumsi produk tomat sepuluh kali atau lebih per minggu
mempunyai risiko terkena kanker prostat 50% lebih rendah (Giovannuci et al.
1995 dalam Muchtadi, 2012). Penyakit kanker lain yang berhubungan terbalik
dengan kadar likopen dalam serum atau jaringan, antara lain kanker payudara,
saluran cerna, serviks, kantung empedu dan kulit (Clinton, 1998 dalam Muchtadi,
2012 ) serta mungkin kanker paru-paru (Li et al, 1997 dalam Muchtadi, 2012).
Mekanisme yang diusulkan tentang bagaimana likopen dapat
mempengaruhi risiko kanker, adalah berhubungan dengan fungsi antioksidannya. Likopen diketahui merupakan "pembersih" (quencher] singlet oksigen yang
paling efisien dalam sistem biologis (Di Mascio et al. 1989 dalam Muchtadi,
2012). Fungsi antioksidan likopen dapat juga digunakan untuk menjelaskan hasil-
975
hasil penelitian di Eropa, bahwa kadar karotenoid dalam jaringan adiposa
berhubungan terbalik dengan resiko infark miokardial (Kohlmeier dalam
Muchtadi, 2012).
Komponen sulfur pada bawang-bawangan yang berfungsi untuk
mencegah agregasi platelet dan menurunkan kadar kolesterol. serat pangan
(dietary fiber) dari berbagai sayuran, buah-buahan, serealia, dan kacangkacangan yang berperan untuk pencegahan timbulnya berbagai penyakit yang
berkaitan dengan proses pencernaan; Kurkumin pada rimpang kunyit dan ltumeron pada rimpang temulawak yang berkhasiat untuk pengobatan berbagai
penyakit;
Selain sayuran dan buah-buahan, terdapat pula ikan yang dipelihara
dalam kolam kecil di pekarangan. Ikan mengandung asam lemak omega-3 (n-3)
merupakan asam lemak tidak jenuh jamak (poly-unsaturated fatty adds, PUFA).
EPA (eikosapentaenoat) dan DHA (dokosaheksaenoat) diperoleh terutama dari
minyak ikan (sekarang terdapat pula di pasaran EPA dan DHA yang berasal dari
algae mikro). Diduga bahwa "Western Diet" defisien akan asam lemak omega-3
(Simopoulos, 1991 dalam Muchtadi, 2012), menarik perhatian para peneliti untuk
rnengetahui peranan asam lemak omega-3 dalam sejumlah penyakit, terutama
jantung koroner (PJK), kanker dan peranannya dalam perturnbuhan bayi.
Bahwa asam lemak omega-3 mempunyai peranan penting dalam PJK,
untuk pertama kali diutarakan pada tahun 1970-an oleh Bang dan Dyerberg,
1972 dalam Muchtadi, 2012 ). Mereka melaporkan bahwa orang Eskimo jarang
mengidap PJK, padahal mereka banyak mengonsumsi makanan kaya akan
lemak. Kardioprotektif konsumsi ikan telah diobservasi pada beberapa penelitian
prospektif (Krumhout et al., 1985 dalam Muchtadi), tetapi tidak terbukti pada
penelitian-penelitian lain (Ascherio et al, 1995 dalam Muchtadi, 2012).
Hasil negatif dapat dijelaskan bahwa meskipun asam lemak omega-3
dapat menurunkan kadar trigliserida, tetapi asam lemak tersebut tidak dapat
menurunkan kadar LDL (Hasler, 1998 dalam Muchtadi, 2012 ). Namun Daviglus
et al. (1997) dalam Muchtadi, 2012) menunjukkan konsumsi ikan sebanyak 35 g
atau lebih per hari dapat mengurangi risiko kematian akibat infark miokardial.
Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Energi (AKE)
Menurut Peraturan Presiden No 22 tahun 2009 adalah
Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal.
Disamping itu Permentan No. 43 tahun 2009 mengenai Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal.
Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan kelompok pangan yang
didasarkan pada kontribusi energinya untuk memenuhi kebutuhan gizi secara
kuantitas, kualitas, keragamannya dinyatakan dengan skor PPH. Semakin tinggi
skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi seimbang (skor PPH
maksimal 100). Saat ini skor PPH tahun 2010 mencapai 84,5. Sasaran skor PPH :
95,pada tahun 2015 (Anonim, 2012).
PPH tidak hanya memenuhi kecukupan gizi, akan tetapi sekaligus
mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna,
daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli (Hardinsyah, 1996
dalam Baliwati, 2007).
976
Rata-rata skor awal pola pangan harapan (PPH) sebelum kegiatan MKRPL di Luwu adalah 76,55, dan setelah kegiatan KRPL, skor PPH meningkat
menjadi 80,86 dengan rata-rata penghematan sebesar Rp. 190.000/kk/bulan.
Setelah panen hasil pekarangan, anggota KRPL mengkonsumsi dan menjualnya
sehingga selain meningkatkan PPH juga menambah pendapatan. Skor PPH
setelah KRPL lebih tinggi dibanding sebelum KRPL. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan angka kecukupan gizi keluarga (Tabel 2).
Tabel 2. Perkembangan M-KRPL Kabupaten Luwu Per November 2012
Jml KK
Peserta
KRPL
25
Penghematan
Pengeluaran RT
(Rp./Bulan/KK)
Selang
Rataan
(Range)
150.000
250.000
190.000
Pola Pangan Harapan
(PPH)
Kelembagaan Pemasaran
Sebelum
Menerap
kan RPL
Setelah
menerap
kan KRPL
Jenis
Produk
Jenis
Pasar
76.55
80,86
Sayuran
Pedagang
Keliling
Kisaran
Tambahan
Pendapatan
Keluarga
(Rp/KK)
Sumber: Data primer setalah diolah, 2012
Konsumsi pangan anggota M-KRPL di Desa Salu Paremang Selatan,
terbesar dititikberatkan pada kelompok pangan padi-padian sebagai sumber
energi, diikuti sayur dan buah-buahan, dan pangan hewani (Tabel 3). Menurut
Kandiana et al. (2009) pola konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan untuk sumber
karbohidrat dari padi-padian hampir sama dengan gambaran pola konsumsi
pangan penduduk Indonesia. Semua sayuran cepat dipanen sehingga cepat pula
dikonsumsi atau dijual. Sehingga kontribusi konsumsi lebih cepat dirasakan
manfaatnya, baik untuk konsumsi maupun untuk dijual. Dengan adanya hasil
panen sayur dan buah rumah tangga kelompok wanita tani Harapan Sejahtera
dapat menghemat dan meningkatkan status gizinya.
Tabel 3. Hasil perhitungan Skor Angka Kecukupan Energi (Skor AKE) sembilan
kelompok pangan pada kegiatan M-KRPL Di Desa Salu Paremang
Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kelompok Pangan
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan hewani
Minyak dan lemak
Buah/biji Berminyak
Kacang2an
Gula
Sayur dan Buah
Lain-lain
Total AKE
Rata-Rata
196,8
2,6
84,6
46,5
1,5
20,4
16,9
147,7
13,1
530,0
Nilai Max
578,9
33,8
289,7
522,0
33,4
135,3
109,2
575,9
125,3
2403,4
Nilai Min
34,0
0,0
3,6
0,0
0,0
0,0
0,0
1,4
0,0
38,9
Sumber: Data primer setelah diolah, 2012
977
KESIMPULAN
1. Kelompok wanita tani Harapan Sejahtera Sebagai responden kegiatan
M-KRPl menanam sejumlah 15 jenis sayuran, 100% rumah tangga
menanam Cabe besar, kemudian disusul tomat, cabe rawit dan terong
diusahakan oleh 96% dan 88% menanam Sawi, serta 84% menanam
kangkung
2. Hasil panen usahatani pekarangan sebagian besar dikonsumsi untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga sendiri dan hanya
sebagian kecil yang dijual.
3. Pola Pangan Harapan petani responden meningkat dari 76,55, menjadi
80,86 setelah pelaksanaan kegiatan KRPL dan terdapat penghematan
pengeluaran keluarga rata-rata sebesar Rp.190.000/KK/Bulan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Metode Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH)
Indikator M-KRPL.
Salah Satu
Badan Ketahanan Pangan. 2012. Metode Perhitungan Pola Pangan Harapan
(PPH) Salah Satu Indikator M-KRPL.
Baliwati, Y.F. (editor). 2007. Materi Pelatihan Analisis Ketersediaan Pangan
Wilayah berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan
Harian (PPH) (Tingkat I). Edisi Propinsi Jawa Barat.
Kandiana, M. Reisi N. dan Ikeu T. 2009. Analisis Situasi Pangan dan Gizi Propisi
Sulawesi Selatan Tahun 2005 dan 2007. Jurnal Ilmiah Agropolitan Vol.
2(1):128 – 135.
Kementerian Pertanian. 2011. Panduan Umum Kawasan Rumah Pangan Lestari.
Jakarta.
Mardharini, M. Ketut, K., Zakiyah, Dalmadi dan A. Susakti. 2011. Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari.
Balai Besar dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Muchtadi. 2012. Pangan Fungsional dan Senyawa Bioaktif. Alfabeta, Bandung.
252 hal.
978
PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM PROGRAM KAWASAN
RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG USAHA DIVERSIFIKASI
PANGAN DI KABUPATEN TAKALAR
PROVINSI SULAWESI SELATAN
Wanti Dewayani, Amir Syam, Rahmatiah Djamaluddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5 Makassar
Tlp. 0411-556449, Fax 0411-554522
ABSTRAK
Di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten Takalar, pemanfaatan pekarangan belum
optimal dan sebagian besar masih kosong. Dengan inovasi kreatifitas, lahan pekarangan
dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis tanaman apapun bisa memiliki multi fungsi
sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber pendapatan keluarga. Tujuan
kegiatan ini adalah memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat
melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; Meningkatkan kemampuan
keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya
tanaman pangan, buah, sayuran, dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan
ternak dan ikan, pengolahan limbah jerami menjadi pupuk organik, mengembangkan
sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan dan
melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan, mengembangkan
kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkat kesejahteraan keluarga
dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Lokasi kawasan
model rumah pangan lestarii (KRPL) adalah desa Parangmata, Kecamatan Galesong,
Suawesi Selatan. Daerah tersebut berada pada koordinat 119o 22l 47ll Bujur Timur dan 5o
19l 35ll Lintang Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari hingga Desember 2012.
Hasil kegiatan menunjukkan Hasil panen sebagian besar anggota KRPL ada yang hanya
mengkonsumsi hasil pekarangannya, ada yang selain mengkonsumsi juga sebagian
dijual dan ada pula yang menjual semua hasil pekarangannya. Hasil penjualan beberapa
jenis sayuran dan buah selama kegiatan MKRPL dengan tambahan pendapatan mulai Rp.
2.333 – Rp. 212.333 per bulan. Pemasaran dilakukan di pasar Terong Makassar. Ada
peningkatan Pola Pangan Harian setelah program KRPL dilaksanakan. Skor awal PPH
adalah 63,18 dengan rata-rata pengeluaran untuk pangan Rp. 56.750/hari. Setelah
kegiatan KRPL, skor PPH meningkat menjadi 71,20 dengan rata-rata pengeluaran pangan
Rp. 57.415/hari. Anggota KRPL menghemat pada komoditi sayuran dan buah sebesar Rp.
448.195 per bulan dan umbi (ubi kayu dan ubi jalar) sebesar Rp 113.420/ bulan.
Kata kunci : KRPL, pekarangan, penghematan pendapatan
PENDAHULUAN
Ketahanan pangan (food security) menjadi focus perhatian pemerintah
saat ini. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Atas dasar hal itu,
maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan
sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia. Presiden RI pada
979
acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di Jakarta juga
mengemukakan bahwa ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus
dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan
pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu
alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Mardharini
dkk., 2011).
Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta ha atau 14% dari
keseluruhan luas lahan pertanian. Lahan pekarangan tersebut merupakan sumber
potensial penyedia berbagai jenis bahan (diversifikasi) pangan yang bernilai gizi dan
memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan inovatif. Lahan tersebut sebagian
besar masih belum dimanfaatkan sebagai areal pertanaman aneka komoditas pertanian,
khususnya komoditas pangan. Perhatian masyarakat terhadap pemanfaatan lahan
pekarangan relatif masih kurang, sehingga pengembangan berbagai inovasi yang
terkait dengan lahan pekarangan belum banyak dilakukan.
Di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten Takalar, pemanfaatan
pekarangan belum optimal dan sebagian besar masih kosong. Dengan inovasi
kreatifitas, lahan pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga jenis
tanaman apapun bisa memiliki nilai estetika sama dengan tanaman hias dan
memiliki multi fungsi sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber
pendapatan keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan dengan jenis tanaman:
pangan, hortikultura, obat-obatan, ternak, ikan dan lainnya, selain dapat
memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, juga berpeluang memperbanyak sumber
penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik.
Kementerian Pertanian telah menyusun suatu konsep yang disebut
dengan “Kawasan Rumah Pangan Lestari” (KRPL), yang dibangun dari kumpulan
Rumah Pangan Lestari (RPL). Masing-masing RPL diharapkan memenuhi prinsip
pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan meningkatkan
pendapatan, serta pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui
partisipasi masyarakat.
Badan Litbang Pertanian melalui 65 Unit Kerja (UK) dan Unit Pelaksana
Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia siap mendukung upaya
optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan melalui dukungan inovasi teknologi
dan bimbingan teknis. Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga
dalam mewujudkan kemandirian pangan tersebut perlu diaktualisasikan dalam
bentuk menggerakkan lagi budaya menanam di lahan pekarangan, baik di
perkotaan maupun di perdesaan.
BPTP Sulawesi Selatan sebagai Unit Kerja Badan Litbang Pertanian telah
dan siap berperan aktif dalam pengembangan KRPL di wilayah Sulawesi Selatan.
Bentuk dukungan yang akan dilakukan antara lain: (a) Penyusunan Juklak dan
Juknis KRPL; (b) Koordinasi dan sosialisasi kegiatan KRPL; (c) Pelaksanaan
kegiatan KRPL yang akan berlangsung di 15 kabupaten, dan (d) Upaya
pengembangan KRPL di lokasi Lain. Pengembangan Model KRPL bertujuan
untuk:
1. Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui
optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari;
2. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan
lahan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dan
980
tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan
hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos;
3. Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan
pemanfatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal
untuk masa depan; dan
4. Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu
meningkat kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang
bersih dan sehat secara mandiri.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan dilaksanakan di desa Parangmata, Kecamatan Galesong,
Suawesi Selatan. Daerah tersebut berada pada koordinat 119o 22l 47ll Bujur
Timur dan 5o 19l 35ll Lintang Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai Januari
hingga Desember 2012. Bahan yang digunakan adalah benih sayuran (tomat,
cabai besar dan kecil, kacang hijau, kacang panjang, sawi, mentimun, terong,
paria, kelor, seledri, jagung manis dan kangkung darat), buah-buahan
(bengkuang, pepaya), ubi-ubian ( ubi kayu, ubi jalar ungu dan putih), tanaman
rempah dan obat (jahe (merah, putih), kunyit, lengkuas (merah dan putih) dan
sereh), jerami, starter promi, bambu, paku, tali, terpal plastik, benih ikan, rak
vertikultur, cangkul, pupuk organik, buku tulis, pulpen, dll.
Persiapan
Persiapan meliputi : (1) pengumpulan informasi awal tentang potensi
sumberdaya dan kelompok sasaran, (2) pertemuan dengan dinas terkait untuk
mencari kesepakatan dalam penentuan calon kelompok sasaran dan lokasi, (3)
koordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Terkait lainnya di
Kabupaten/Kota, (4) memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan
masyarakat sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, (5) pembentukan
kelompkok wanita tani (KWT), sosialisasi dan wawancara dengan anggota KWT
sebelum kegiatan dilaksanakan.
Pelaksanaan
Pelaksanaan meliputi pembuatan kebun bibit desa (KBD), pelatihan
pembuatan pupuk organik dari jerami padi sesuai anjuran dengan starter promi,
pesemaian di KBD dan penanaman di lahan pekarangan sesuai rekomendasi
yang dianjurkan, pengembangan jumlah anggota KWT dan wawancara setelah
kegiatan dilaksanakan serta temu lapang. Pengumpulan data dan informasi
dilakukan dengan observasi langsung dan wawancara semi terstruktur. Data
yang dikumpulkan mencakup jenis komditi yang ditanam, jumlah produksi,
jumlah yang dikunsumsi, jumlah yang dijual, pengukuran Pola Pangan Harapan
(PPH) sebelum dan sesudah kegiatan (Anonim, 2012), lokasi pemasaran hasil,
dll. data dianalisa secara deskriptif (Steel and Torrie, 1995).
981
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi dan Pemasaran
Hasil panen tanaman pekarangan anggota KRPL ada yang hanya
dikonsumsi (tidak dijual) dan ada pula yang menjual dan mengkonsumsi serta
ada pula yang menjual semua hasil pekarangannya. Di bawah ini (Tabel 1) hasil
penjualan beberapa jenis sayuran dan buah selama kegiatan MKRPL dengan
tambahan pendapatan mulai Rp. 2.333 – Rp. 212.333 per bulan.
Jenis produk yang dipasarkan adalah sayuran segar dan buah segar.
Mereka memasarkan produknya di pasar Terong, salah satu pasar basah di
Makassar. Pasar Terong dapat ditempuh selama 1 jam dari lokasi anggota KRPL.
Tabel 1. Tambahan pendapatan keluarga responden yang menjual hasil
panennya selama kegiatan program M-KRPL
No.
1.
2.
3.
7.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Nama
Rinawati
Saharia
Suriani dg. Tayu
Kartini dg Kebo
Mansia dg. Lu’mu
Zaenab dg. Senga
Supiani
Mariati
Jumasia
Hj. Sangnging
Jumlah Pendapatan keluarga
(Rp)/KK
Per tiga bulan
Per bulan
17.000
5.667
13.500
4.500
50.000
16.667
22.000
7.333
135.000
45.000
637.000
212.333
7.000
2.333
500.000
166.667
23.000
7.666
68.000
22.667
PPH (Pola Pangan Harapan)
Pola pangan harapan (PPH) dapat digunakan sebagai ukuran
keseimbangan dan keanekaragaman pangan, dengan terpenuhinya kebutuhan
energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit kebutuhan zat
gizi juga terpenuhi. Oleh karena itu skor pola konsumsi pangan mencerminkan
mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi pangan. Semakin
tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang (Hardinsyah,
et.al. 2001 dalam Baliwati, 2007).
Pada Tabel 2 terlihat, rata-rata skor awal pola pangan harian (PPH)
sebelum kegiatan adalah 63,18 dengan rata-rata pengeluaran untuk pangan Rp.
56.750/hari. Setelah kegiatan KRPL, skor PPH meningkat menjadi 71,20 dengan
rata-rata pengeluaran pangan Rp. 57.415/hari. Peningkatan skor PPH sebesar
8,02 sedangkan peningkatan pengeluaran hanya Rp. 665.
Hal ini karena sebelum program, anggota KRPL membeli semua
kebutuhannya termasuk konsumsi pangan dan tidak ada tambahan pendapatan.
Sedangkan setelah panen hasil pekarangannya, anggota KRPL mengkonsumsi
dan menjualnya sehingga selain meningkatkan PPH juga meningkatkan
pendapatan.
Rata-rata PPH setelah panen adalah 71,20. Skor PPH lebih tinggi daripada
skor awal sebelum kegiatan KRPL dilaksanakan. Namun skor ini masih di bawah
982
standar (100) demikian pula kualitas pangan belum baik. Konsumsi pangan
masih dititiberatkan pada padi-padian sebagai sumber energi, dan masih kurang
mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Sehingga hasil panen dari
pekarangannya sebagian besar dijual. Menurut Kandiana dkk. (2009) pola
konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan untuk sumber karbohidrat dari padipadian hampir sama dengan gambaran pola konsumsi pangan penduduk
Indonesia.
Tabel 2. Daftar pola pangan harapan (PPH) dan pengeluaran konsumsi pangan
sebelum dan sesudah kegiatan KRPL di Kabupaten Takalar
No. Sampel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Total
Rata-rata
Skor Awal PPH
66.24
56.52
54.013
47.16
73.75
75.38
72
50.29
85.53
59.75
54.365
Pengeluaran (Rp)
37260
118630
56965
59875
57775
40843
40000
45994
81504
46698
38716
694.998
63.18
624.260
56.750
Skor Akhir PPH
84.35
99.78
62.53
100
100
99.32
73.56
63.653
91.5
75.598
81.64
60.07
63.15
61.37
32.68
72.49
26.94
63.58
62.02
62.66
51.5
49.21
100
89
57.97
75.398
86.78
55.26
97.26
62.39
44.48
72.14
2278.277
71.20
Pengeluaran (Rp)
47.674
91.803
30.178
122.620
56.530
247.170
24.575
143.320
39.710
40.628
76.316
25.452
20.730
13.270
8.125
22.187
75.262
13.740
28.040
75.020
13.479
35.360
136.402
106.660
19.348
98.235
53.465
29.730
64.094
38.525
18.950
20.680
1.837.278
57.415
Penghematan dengan pemanfaatan Pekarangan
Anggota KRPL menghemat pada komoditi sayuran dan buah sebesar Rp.
448.195 per bulan dan umbi (ubi kayu dan ubi jalar) sebesar Rp 113.420/ bulan
(Tabel 3)
983
Tabel 3. Penghematan sayur, buah dan buah anggota KRPL
No. Responden
Sayur dan Buah (Rp)
Ubi jalar dan ubi kayu (Rp)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
26570
19500
10000
31250
19300
6820
500
4200
1000
6990
30000
41000
2250
7550
15000
5750
2500
7000
4750
0
0
0
0
0
2500
12500
0
0
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
11645
1690
27710
15200
2840
500
83700
12760
180
5400
18750
2090
7550
37500
2000
11750
0
0
1000
0
5000
0
0
0
8250
46170
0
0
0
0
3000
0
Rata-rata/hari
14939.83
3780.667
Rata-rata /bulan
448.195
113.420
Jenis tanaman yang ditanam adalah bengkuang, pepaya, kacang hijau,
kangkung, kacang panjang, sawi, mentimun, terong, pare, seledri, jagung manis,
tomat, lombok besar dan lombok kecil, jahe, kunyit, lengkuas, kelor, sereh, ubi
kayu, ubi jalar, dll.
Semua sayuran cepat dipanen sehingga cepat pula dikonsumsi atau
dijual. Demikian pula dengan ubi jalar dan ubi kayu yang telah ditanam
sebelumnya. Sehingga kontribusi konsumsi dan umbi lebih cepat dirasakan
manfaatnya, baik untuk konsumsi maupun untuk dijual. Dengan adanya hasil
984
panen sayur, buah, ubi jalar dan ubi kayu, kelompok wanita tani Pangan Lestari
dapat menghemat dan meningkatkan status gizinya.
KESIMPULAN
1. Hasil panen sebagian besar anggota KRPL ada yang hanya mengkonsumsi
hasil pekarangannya, ada yang selain mengkonsumsi juga sebagian dijual
dan ada pula yang menjual semua hasil pekarangannya.
2. Hasil penjualan beberapa jenis sayuran dan buah selama kegiatan MKRPL
dengan tambahan pendapatan mulai Rp. 2.333 – Rp. 212.333 per bulan.
Pemasaran dilakukan di pasar Terong Makassar.
3. Ada peningkatan Pola Pangan Harian setelah program KRPL dilaksanakan.
Rata-rata skor awal pola pangan harian (PPH) sebelum kegiatan adalah
63,18 dengan rata-rata pengeluaran untuk pangan Rp. 56.750/hari. Setelah
kegiatan KRPL, skor PPH meningkat menjadi 71,20 dengan rata-rata
pengeluaran pangan Rp. 57.415/hari.
4. Anggota KRPL menghemat pada komoditi sayuran dan buah sebesar Rp.
448.195 per bulan dan umbi (ubi kayu dan ubi jalar) sebesar Rp 113.420/
bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Metode perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH)
Indikator M-KRPL.
Salah Satu
Baliwati, Y.F. (editor). 2007. Materi Pelatihan Analisis Ketersediaan Pangan
Wilayah berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan
Harian (PPH) (Tingkat I). Edisi Propinsi Jawa Barat.
Kandiana, M. Reisi N. dan Ikeu T. 2009. Analisis Situasi Pangan dan Gizi Propisi
Sulawesi Selatan Tahun 2005 dan 2007. Jurnal Ilmiah Agropolitan Vol.
2(1):128 – 135.
Mardharini, M. Ketut, K., Zakiyah, Dalmadi dan A. Susakti. 2011. Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari.
Balai Besar dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1995. Principles and Procedures of Statistics a
Biometrical Approach. Mc.Graw Hill, New York.
985
PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN
DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
DI DESA MATTOMBONG KECAMATAN
MATTIROSOMPE KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN
Hasnah Juddawi1 dan Suardy Mandung2
Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar
2
Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar
Email : hjuddawi@yahoo.com
1
ABSTRAK
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau.Oleh karenanya pemantapan ketahanan pangan dilakukan melalui
pemantapan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu salah satu upaya untuk
meningkatkan
ketahanan pangan dan
gizi
keluarga
dapat dilakukan melalui
pemanfaatkan sumberdaya yang tersedia maupun yang dapat disediakan di
lingkungannya. Inovasi teknologi pemanfaatan lahan pekarangan dalam bentuk kawasan
rumah panganl estari sebagai model (M-KRPL),sehingga kegiatan ini merupakan sarana
komunikasi, evaluasi dan diskusi antara w a n i t a tani,penyuluh,peneliti dan pengambil
kebijakan. Program M-KRPL ini dilaksanakan di Desa Mattombong, Kecamatan
Mattirosompe, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, berlangsung dari Januari
sampai Desember 2012.
Kegiatan ini bersifat partisifatif dan dilaksanakan di 25
pekarangan rumah kelompok wanitatani Mekarsari sebagai petani kooperator, didampingi
oleh penyuluh, peneliti dan teknisi BPTP Sul-Sel serta penyuluh kabupaten Pinrang. Hasil
yang diperoleh yaitu: Kebutuhan pangan khususnya sayuran dan makanan tambahan dari
umbi dapat terpenuhi dari lahan pekarangan.. PPH yang diperoleh sebesar 86,2. dengan
sebaran 20 orang (80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga binaan (12%) antara skor
nasional dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2 keluarga binaan (8%) dibawah skor
nasional, sehingga pengeluaran rumah tangga dapat berkurang Rp.265.000,- (Rp.
200.000,- – Rp. 250.000,-)/bulan, bahkan keluarga binaan mendapatkan tambahan
pendapatan Rp.75.000,- - Rp.100.000,-/bulan.
Kata kunci : Lahan pekarangan, ketahanan Pangan, pola pangan harapan
PENDAHULUAN
Pembangunan ketahanan pangan mempunyai cirri cakupan luas, adanya
keterlibatan lintas sektor, multi disiplin serta penekanan pada basis sumberdaya
lokal. Salah satu butir pembangunan ketahanan pangan adalah mengembangkan
ketersediaan dan mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan berbasis
pangan lokal, melalui: (a) menjamin ketersediaan sarana dan prasarana
produksi, (b) mengendalikan alih fungsi lahan, (c) melakukan pengkajian dan
penerapan berbagai teknologi tepat guna pengolahan pangan berbasis tepungtepungan dan aneka pangan lokal lainnya, (d) menetapkan hari-hari tertentu
sebagai hari mengkonsumsi pangan lokal, (e) mendorong berkembangnya
986
kantin/warung desa/sekolah/perguruan tinggi untuk memanfaatkan bahan-bahan
pangan lokal. Saat ini konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita/tahun. Menurut
Wakil Menteri Pertanian, konsumsi ini perlu ditiurunkan, idealnya pada kisaran 90
hingga 100 kg/kapita/tahun, selanjutnya Presiden RI pada acara Konferensi
Dewan Ketahanan Pangan di Jakarta International Convention Center (JICC)
bulan Oktober 2010, menyatakan bahwa ketahanan pangan nasional harus
dimulai darirumah tangga melalui pemanfaatan lahan pekarangan untuk
pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternative untuk
mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Anonim, 2011). Dalam
masyarakat perdesaan, pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami tanaman
kebutuhan keluarga sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan masih
berkembang hingga sekarang meski dijumpai barbagai pergeseran (Saliem,
2011).
Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan bahwa “ Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga yang tercermin pada tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah, mutu serta aman, merata dan terjangkau”, Atas dasar tersebut, maka
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus
sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia (Saliem,2011).
Ketahanan pangan (food security) menjadi focus perhatian pemerintah
saat ini. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Atas dasar hal itu,
maka terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan
sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia. Presiden RI pada
acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di Jakarta juga
mengemukakan bahwa ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus
dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan
pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu
alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga (Mardharini
dkk., 2011).
Menurut Rachman dan Ariani (2007) bahwa tersedianya pangan yang
cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat dari terwujudnya
ketahanan pangan nasional. Namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan yang
harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga.
Di Sulawesi Selatan, pemanfatan lahan pekarangan masih didominansi
tanaman hias, terutama di daerah perkotaan yang sudah mengerti nilai estetika.
Dengan inovasi dan kreatifitas lahan pekarangan dapat ditata sehingga memiliki
multi fungsi baik sebagai bahan pemenuhan kebutuhan gizi serta sumber
pendapatan keluarga. Hal ini terlihat dengan realisasi konsumsi masyarakat
yang masih di bawah anjuran pemenuhan gizi yang ditunjukkan melalui indikator
skot Pola Pangan Harapan (PPH) nasional masih rendah 75,7 tahun 2009. Tahun
2010 PPH Provinsi Sulawesi Selatan masih 84,5, dan ditargetkan pada tahun
2015 angka PPH mencapai 90 (Badan Litbang, 2011). Guna memenuhi
kebutuhan sayur rumah tangga dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan
pekarangan dengan diversivikasi komoditi sayuran, melalui pengembangan
suatu Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model KRPL). Tujuan untuk
987
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga melalui pemanfaatan lahan
pekarangan dan terciptanya kemandirian pangan keluarga diversifikasi pangan
berbasis pangan, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, dan
peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan M-KRPL dilaksanakan di Desa Mattombong, Kecamatan
Mattirosompe, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, berlangsung dari
bulan Januari sampai Desember 2012.
Tahapan Pelaksanaan
1. Persiapan, diawali dengan pengumpulan informasi awal tentang potensi
sumberdaya dan kelompok sasaran yang dilakukan melalui metode PRA
2. Pembentukan Kelompok, adalah rumahtangga atau kelompok rumahtangga
dalam satu Rukun Tetangga, Rukun Warga atau satu dusun/kampung melalui
pendekatan partisipatif.
3. Sosialisasi, kegiatan sosialisasi dilakukan terhadap kelompok sasaran dan
pemuka masyarakat serta petugas pelaksana, instansi terkait untuk memberi
gambaran dan penjelasan mengenai kegiatan M-KRPL.
4. Pengembangan Jumlah Rumah Tangga, melibatkan 25 rumah tangga sebagai
pelaksana kegiatan M-KRPL.
5. Penguatan Kelembagaan Kelompok, dilakukan melalui pelatihan.
6. Kebun Bibit Desa (KBD), untuk menunjang ketersediaan bibit telah dibuat.
7. Sistem AgribisnisBudidaya Sayuran, Buah dan Peternakan Unggas
Jenis Data dan Informasi yang Dikumpulkan
Adapun data yang dikumpulkan meliputi :datakomsumsi energi dalam
perhitungan pola pangan harian padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani,
minyak/lemak, buah biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayuran dan buah,
dan nilai rupiah sumber energi pola pangan harian emnggunakan kuisioner.
Data yang dikumpulkan dianalisis sederhana untuk melihat penyebaran
komsumsi energi keluargadan analisis agribisnis M-KRPL.
HASIL DAN PEMBAHASAN
PPH (Pola Pangan Harapan)
Nilai atau skor PPH yang diperoleh mencerminkan tingkat keragaman
konsumsi pangan dalam rumah tangga. Hasil perhitungan PPH untuk Kelompok
binaan KWT Mekar Sari sesudah kegiatan M-KRPL dapat dilihat pada Tabel
1.Berdassarkan Tabel 2. Rata-rata Skor PPH yang diperoleh sebesar 86,2. Nilai
ini masih lebih tinggi dari perolehan nilai PPH secara nasional tahun 2009 yaitu
75,7 dan nilai PPH Provinsi Sulawesi Selatan 84,5, dengan sebaran 20 orang
(80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga binaan (12%) antara skor nasional
988
dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2 keluarga binaan (8%) dibawah skor
nasional, bahkan 4 keluarga binaan (16%) diatas 90,0.
Tabel 1.
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar
Sari, peserta M-KRPL Dusun Beru, Desa Mattombong, Kecamatan
Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012
No
Nama
1
Timang
2
Darmawati
3
Dada
4
Pa’Bangnga
5
Aminah
6
Maja
7
Manniaga
8
Sunni
9
Hasnah
10 Sri Agustina
11 Bara
12 Andi Wildana
13 Dilla
14 Samma
15 Hasmiati
16 Andi Nuraeni
17 Hj. Hasnah
18 Rahmawati Mustari
19 Aliyah
20 Hj. Nanda
21 Sitti Rahma
22 Hariani
23 Hj.Sirailu
24 Muti
25 Hj. Nurhayati
Rata-rata PPH
Keterangan:
Total AKE
598,1
667,8
720,0
421,3
323,1
527,3
593,7
719,7
247,0
273,5
553,6
447,6
216,3
320,1
464,4
534,3
281,2
257,1
416,7
348,3
433,7
495,1
254,4
162,3
390,9
Skor PPH
86,5
86,5
89,0
86,5
81,7
90,0
97,5
86,2
80,1
89,7
87,5
93,2
86,5
87,5
86,5
96,5
96,2
89,0
86,5
86,5
81,5
86,5
81,5
62,5
65,0
86,2
Keterangan
A
A
A
A
B
A+
A+
A
B
A
A
A
A
A
A
A+
A+
A
A
A
B
A
B
C
C
A = Skor > 85,0 = 20 keluarga binaan (80%)
B = Skor 76,0 - 84,5 (Sulawesi Selatan) = 3 keluarga binaan (12%)
C = Skor < 75,7 (Standar Nasional) = 2 keluarga binaan (8%)
Hal ini menunjukkan program M-KRPL dapat meningkatkan keragaman
konsumsi pangan terutama kelompok sayur dan buah. Rendahnya nilai PPH
yang diperoleh pada 2 keluarga binaan disebabkan karena keluarga binaan MKRPL tersebut belum mengelola pengadaan kebutuhan protein seperti kolam ikan
atau ternak ayam. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka masih
harus membeli. Faktor lainnya disebabkan oleh jumlah anggota rumah tangga
yang banyak sehingga total energi yang diperoleh per individu juga rendah.
989
Tabel 2. PPH berdasarkan Energi Pangan Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar
Sari, peserta M-KRPL Dusun Beru, Desa Mattombong, Kecamatan
Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012
No
Nama KWT
1
2
1
Timang
2
Darmawati
3
Dada
4
Pa’Bangnga
5
Aminah
6
Maja
7
Manniaga
8
Sunni
9
Hasnah
10
Sri Agustina
11
Bara
12
Andi Wildana
13
Dilla
14
Samma
15
Hasmiati
16
Andi Nuraeni
17
Hj. Hasnah
18
Rahmawati M.
19
Aliyah
20
Hj. Nanda
21
Sitti Rahma
22
Hariani
23
Hj.Sirailu
24
Muti
25
Hj. Nurhayati
Rata-rata Energi
Skor Maksimum
Skor PPH
PadiUmbi- Pangan
padian umbian hewani
3
138,7
149,1
291,7
120,4
89,5
102,9
165,7
246,3
80,6
180,5
180,5
141,2
109,7
80,6
119,7
85,9
69,3
83,4
101,4
171,6
235,6
60,4
123,0
89,5
260,0
135,1
25,0
25,0
4
38,3
16,4
21,1
15,7
9,5
15,7
18,9
5,4
2,5
2,5
5
283,2
268,2
153,2
130,6
72,6
116,4
102,1
153,5
90,4
49,6
108,8
103,2
51,9
25,8
248,5
162,6
97,4
60,4
195,3
54,2
157,3
331,2
66,3
123,3
24,0
24,0
Minyak Buah/biji
Kacang
&
Berminyak Kacangan
lemak
6
7
8
43,5
8,7
43,5
96,0
34,8
8,3
80,0
33,4
54,1
16,7
45,8
130,5 8,3
16,7
35,8
39,3
16,7
1,7
40,0
43,5
52,2
16,7
21,8
8,7
52,6
21,8
57,2
27,1
17,4
17,4
1,7
21,8
73,2
33,5
4,7
9,3
5,0
1,0
10,0
5,0
1,0
9,3
Sumber : Data primer setelah diolah, 2012.
Gula
9
4,6
16,0
17,4
0,7
1,1
5,1
1,2
1,2
11,6
0,7
5,1
13,2
5,1
5,1
7,3
3,7
2,2
3,6
2,9
4,6
3,6
1,5
1,5
4,4
2,3
5,0
2,5
2,5
Sayur
&
Buah
10
127
222,4
175,0
72,3
116,3
172,4
205,5
179,4
26,5
105,5
202,9
148,3
5,5
139,7
67,1
204,5
33,0
72,7
98,3
100,3
36,5
84,6
68,5
46,7
30,4
109,4
30,0
30,0
Lain
-lain
Total
AKE
11
1,2
3,4
0,9
1,3
0,5
0,7
2,7
0,5
0,0
1,3
0,3
0,0
0,5
0,0
0,1
0,6
0,3
0,3
1,3
0,2
0,7
0,0
0,2
0,1
6,1
0,9
0
12
598,1
667,8
720,0
421,3
323,1
527,3
593,7
719,7
247,0
273,5
553,6
447,6
216,3
320,1
464,4
534,3
281,2
257,1
416,7
348,3
433,7
495,1
254,4
162,3
390,9
426,7
100,0
99,3
Agribisnis M-KRPL
Program M-KRPL berpeluang sangat besar untuk dikembangkan di
Kabupaten Pinrang, hal ini terlihat dari keaktifan dari para peserta binaan dalam
merespon kegiatan ini. Diharapkan untuk pengembangan ke depan program ini
mampu meningkatkan nilai skor PPH masyarakat secara keseluruhan, tentu
dengan dukungan teknologi dan dukungan dari stakeholder yang terkait. Melalui
program M-KRPL diharapkan pengeluaran rumah tangga juga akan berkurang
terutama pengeluaran yang berhubungan dengan kebutuhan pangan umbiumbian, sayur dan buah serta pangan hewani. Pengeluaran rumah tangga
binaan KRPL kabupaten Pinrang dapat dilihat pada Tabel 3a,b dan c.
990
Tabel
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3a.
Pengeluaran Keluarga Binaan 1-10) peserta M-KRPL, Desa
Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012
Uraian
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan hewani
Minyak lemak
Buah (minyak)
Kacang2an
Gula
Sayur / Buah
Lain-lain
Total
Keluarga tani
1
2
11.345 26.845
53.150 48.250
2.375
475
3.750 13.200
19.825 59.375
9.220 21.641
99.665 169.786
3
23.950
6.325
22.300
2.375
10.325
23.180
7.015
95.470
Sumber : Data primer setelah diolah, 2012.
4
9.110
32.000
11.000
600
7.575
10.611
70.896
5
7.230
15.000
1.900
750
900
16.863
3.576
46.219
6
7
8.455 12.685
1.250
22.500 40.355
4.370
2.165
3.000
1.500
458
4.200
960
18.175 16.225
5.650 32.699
67.600 107.047
8
18.915
30.000
7.125
750
960
12.775
5.966
76.491
9
6.230
1.625
15.000
1.500
8.910
15.575
710
49.550
Tabel 3b. Pengeluaran Keluarga Binaan (11-20) peserta M-KRPL Desa
Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012
No
Uraian
Keluarga tani
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan
hewani
Minyak lemak
Buah (minyak)
Kacang2an
Gula
Sayur / Buah
Lain-lain
Total
11
12
13
14
15
16
17
18
6.230
18.401
43.730
19.730
6.230
11.430
7.030
5.673
28.765
8.533
12.260
15.000
9.092
3.750
39.650
1.750
44.050
15.000
1.525
15.615
358
600
31.675
1.750
49.145
5.025
1.500
4.200
8.325
2.104
51.815
95
400
8.351
21.275
854
89.705
2.375
4.200
3.050
3.733
42.180
2.850
1.500
3.510
9.500
394
27.734
1.188
6.000
11.775
1.069
71.112
475
526
2.920
36.600
8.084
101.435
1.188
572
1.800
9.475
4.330
38.037
1.082
3.000
19.875
5.675
75.538
Sumber : Data primer setelah diolah, 2012.
Umumnya kebutuhan untuk umbi-umbian diperoleh dari kebun sendiri,
belum dari KRPL karena belum menghasilkan.Kebutuhan sayur keluarga binaan
terutama bayam, terong, kangkung, tomat, sawi, kacang panjang dan cabe dari
kebun KRPL,
sudah terpenuhi, sehingga pengeluaran rumah tangga dapat
berkurang Rp.265.000,- (Rp.200.000,- – 250.000,-)/bulan, bahkan keluarga
binaan mendapatkan tambahan pendapatan Rp.75.000,- -Rp.100.000,-/bulan.
991
Tabel 3c. Pengeluaran Keluarga Binaan (21-25) peserta M-KRPL Desa
Mattombong, Kecamatan Mattirosompe Kabupaten Pinrang, 2012
No Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan hewani
Minyak lemak
Buah (minyak)
Kacang2an
Gula
Sayur / Buah
Lain-lain
Total
Keluarga tani
19
20
21
22
23
24
7.855
14.773
950
10.730
9.000
950
34.345
47.717
-
4.673
1.750
29.571
95
9.665
663
-
7.230
1.188
2.400
18.975
8.690
53.643
3.750
20.388
3.940
48.758
3.000
6.113
4.190
95.365
1.200
21.550
2.488
61.326
1.200
7.500
2.365
21.393
25
Per
kapita
54.230
4.000
6.300
3.206
146
4.346
444
16.028
729
21.729
2.222
3.600
1.875
30.125 21.700
1.363 51.935
43.505 140.040
84
19
763
3.740
1.600
14.348
420
93
3.816
18.699
8.002
71.738
Sumber : Data primer setelah diolah, 2012.
KESIMPULAN
1.
2.
Kebutuhan pangan khususnya sayuran dan makanan tambahan dari umbi
dapat terpenuhi dari lahan pekarangan. PPH yang diperoleh sebesar 86,2.
dengan sebaran 20 orang (80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga binaan
(12%) antara skor nasional dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2
keluarga binaan (8%) dibawah skor nasional.
Kebutuhan sayur keluarga binaan terutama bayam, terong, kangkung, tomat,
sawi, kacang panjang dan cabe dari kebun KRPLsudah terpenuhi, sehingga
pengeluaran rumah tangga dapat berkurang Rp.265.000,- (Rp.200.000,- –
250.000,-)/bulan, bahkan keluarga binaan mendapatkan tambahan
pendapatan Rp.75.000,- - Rp.100.000,-/bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Perkembangan Situasi Konsumsi Penduduk di Indonesia. Badan
Ketahanan Pangan (BKP). Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian, 2011. Petunjuk Pelaksanaan
Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Pengkajian dan
PEngembangan Teknologi Pertanian, Bogor.Kementerian Pertanian,
2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari.
Jakarta.
Mardiharini, M. dkk., 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model
Kawasan Rumah Pangan Lestari.Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Rachman, H.P.Saliem dan M. Ariani. 2007. Penganekaragaman Konsumsi Pangan
di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan
Program. Makalah pada “Workshop Koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik
992
Ratarata
Masalah Ketahanan Pangan Dalam Upaya Perumusan Kebijakan
Pengembangan Penganekaragaman Pangan“, Hotel Bidakara, Jakarta,
28 November 2007.Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia.
Saliem, Handewi P. 2011. Kawasan rumah pangan lestari (KRPL): Sebagai Solusi
Pemantapan Ketahanan Pangan.
993
PEMANFAATAN UBI KAYU (Cassavas) SEBAGAI BAHAN BAKU KASOAMI
BERGIZI PENGGANTI BERAS DI SULAWESI TENGGARA
Fathnur dan Edi Tando
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof. Muh.Yamin 89, Puwatu, Kendari
Email: edit.kendari@yahoo.com
ABSTRAK
Ubi kayu (Cassavas) merupakan salah satu tanaman pangan yang sangat disenangi
masyarakat, mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah dan banyak diusahakan petani,
lebih murah dari beras. Ubi kayu dapat diolah menjadi Kasoami yang bergizi .Tulisan ini
bertujuan untuk mereview pemanfaatkan ubi kayu sebagai bahan baku Kasoami bergizi
pengganti beras. Proses pembuatannya tidak rumit. Kasoami juga dapat dimodifikasi
rasanya untuk menambah selera masyarakat dengan menambahkan parutan kelapa,
kacang merah kukus, kacang merah tepung, dan gula merah.Untuk memperoleh Kasoami
dapat diolah sendiri maupun dengan membeli di pasar-pasar tradisional. Ubi kayu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Kasoamibergizi yang bisa dikonsumsi
masyarakat sebagai pengganti beras..Ubi kayu tanaman yang mudah tumbuh pada
berbagai jenis tanah dan banyak diusahakan petani, terutama di lahan kering yang
memiliki kesuburan rendah.Kasoami dapat dibuat sendiri bagi yang sudah terbiasa, bisa
juga kita jumpai di pasar-pasar tradisional.
Kata kunci : Ubi kayu, Kasoami, gizi
PENDAHULUAN
Sulawesi Tenggara merupakan daerah produksi ubi kayu. Pada tahun
2009 luas panen ubi kayu 12,353 ha, hasilnya 183,70 ku/ha dan produksinya
226,927 ton. Pada tahun 2010, luas panen ubi kayu 9,556 ha, hasilnya 170,94
ku/ha dan produksinya 163,350 ton (BPS, Sultra 2010).
Ubi kayu merupakan salah satu tanaman pangan yang sangat disenangi
masyarakat. Ubi kayu tanaman yang mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah
dan banyak diusahakan petani, terutama di lahan kering yang memiliki
kesuburan rendah (Suharno, et al., 1998). Ubi kayu lebih murah dari beras,
sehingga memilih ubi kayu untuk dikonsumsi sebagai pengganti beras
merupakan salah satu terobosan dalam diversifikasi pangan (BBP2TP, 2006). Ubi
kayu yang masih segar langsung diolah untuk menjadi bahan makanan pokok
misalnya Kasoami.
Kasoami merupakan salah satu makanan khas Sulawesi Tenggara, yang
bahan bakunya dari ubi kayu dengan Indeks Glikemik rendah. Indeks Glikemik
(IG) makanan adalah angka yang diberikan kepada makanan tertentu yang
menunjukkan seberapa tinggi makanan tersebut meningkatkan gula darah
setelah dikonsumsi. Proses pembuatannya sangat sederhana dan tidak sulit
(BBP2TP, 2006).
Kasoami juga dapat dimodifikasi, dengan berbagai macam rasa untuk
menambah cita rasa pada Kasoami itu sendiri sehingga masyarakat bisa
994
mengkonsumsi Kasoami sesuai dengan pilihan rasa yang disenangi. Sebagai
contoh Kasoami yang ditambahkan parutan kelapa, kacang merah kukus, kacang
merah tepung, gula merah pada parutan ubi kayu yang akan diolah menjadi
Kasoami. Tulisan ini bertujuan untuk mereview pemanfaatkan ubi kayu sebagai
bahan baku Kasoami bergizi pengganti beras.
METODOLOGI
Proses pembuatan Kasoami yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Ubi kayu dikupas kulitnya kemudian dicuci dengan air mengalir untuk
membersihkan kotoran yang melekat pada ubi kayu kemudian diparut.
2. Hasil parutan lalu diperas untuk mengurangi kandungan air pada parutan ubi
kayu dengan menggunakan kain yang agak tebal sehingga Kasoami bisa
awet disimpan beberapa hari untuk dikonsumsi tanpa harus pemanasan lagi.
3. Setelah parutan ubi diperas airnya kemudian dimasukkan dalam cetakan
khusus untuk Kasoami yang terbuat dari daun kelapa yang berbentuk
kerucut.
4. Masak menggunakan panci khusus untuk memasak Kasoami dengan nyala
api yang sedang. Tujuannya agar proses penguapan sempurna sehingga
Kasoami benar-benar matang luar dalam dan warnanya tetap sama dengan
sebelum dikukus.
Sebaiknya menggunakan kompor minyak tanah karena proses penguapan
pada kompor minyak tanah bagus untuk memasak Kasoami jika dibandingkan
dengan memasak menggunakan kayu bakar, tungku arang, dan kompor gas
yang penguapannya terlalu cepat panas. Jika proses penguapan terlalu cepat
panas, Kasoami bisa cepat masak, tetapi cuma masak di luarnya saja, sedangkan
di dalamnya belum masak.
Perlu juga diperhatikan waktu dalam memasak Kasoami. Kasoami jangan
terlalu lama dimasak, karena Kasoami yang terlalu lama dimasak, bagian luarnya
akan berwarna kuning (warna daun kelapa) yang mengurangi ciri khas Kasoami.
Kasoami yang telah masak, bentuknya kerucut dan padat, rasanya juga enak dan
agak kenyal. Warna Kasoami yang telah masak tetap putih seperti sebelum
dimasak. Kasoami dapat dimakan dengan menu lauk apa saja sesuai selera.
Kasoami yang dimodifikasi rasanya, proses pembuatannya sama dengan
Kasoami biasa, hanya saja pada proses ini parutan ubi kayu yang sudah diperas
airnya ditambahkan parutan kelapa, kacang merah kukus, kacang merah tepung,
dan gula merah.
Pada Kasoami kacang merah kukus, prosesnya adalah setelah parutan ubi
kayu yang sudah diperas airnya ditambahkan kacang merah yang telah
dikukus.Kacang merah kukus adalah kacang merah yang telah mendapat
beberapa perlakuan yaitu untuk mengurangi kandungan toksin (lectin
phytohaemagglutinin) dan gas pada usus yang dihasilkan oleh oligosakarida
kacang merah, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.Sehabis kacang
merah direndam, airnya dibuang, rebus dengan air yang banyak dalam panci
berpenutup selama 2-3 menit, lalu biarkan selama 2 jam.Buang air rebusan
tersebut, tambahkan air hingga kacang merah benar-benar terendam. Sesudah
dua jam, buang kembali air itu dan tambahkan lebih banyak air dan biarkan
995
terendam semalam sebelum benar-benar akan di masak. Setelah masak,
ditiriskan sampai tidak ada air yang melekat pada kacang merah tersebut,
tujuannya jika dicampur pada Kasoami, Kasoami tersebut tidak cepat basi (dapat
tahan lama disimpan).Kacang merah kukus yang telah kering airnya di potong
kecil-kecil atau dihancurkan kemudian dicampur pada parutan ubi kayu yang
telah diperas ubinya.Demikian juga halnya pada Kasoami kacang merah tepung.
Hal yang sama pada Kasoamikelapa dan gula merah. Adapun parutan
kelapa yang digunakan adalah parutan kelapa yang putih (kelapa yang telah
dikerok hitamnya).Untuk penggunaan gula merah sebaiknyagula merah tersebut
dipotong kecil-kecil atau dihancurkan.
Setelah semuanya dimasak, kemudian dianalisis untuk mengetahui nutrisi
pada masing-masing Kasoamidi UPT Laboratorium Dasar Unit Kimia Analitik
Universitas Haluoleo 2012.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Nutrisi Pada Ubi Kayu
Komposisi gizi ubi kayu per 100 gr bahan, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Komposisi gizi ubi kayu per 100 gr bahan
Energi (Kal)
Protein (gr)
Lemak (gr)
Karbohidrat (gr)
Ca (mg)
P (mg)
Fe (mg)
Vit. A (RE)
Vit. C (mg)
Vit. B (mg)
Air (gr)
BDD (%)
Serat kasar (gr)
Sumber : Dian Dini, 2011
157
0,8
0,3
34,9
33,0
40,0
0,7
48
30
0,06
60
75
8,45
Kandungan Nutrisi Pada Beras
Kandungan nutrisi pada beras per 100 gr, disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Kandungan nutrisi beras per 100 gr
Energi (Kal)
Karbohidrat (gram)
Gula (gram)
Serat Pangan (gram)
Lemak (gram)
Protein(gram)
Air (gram)
Thiamine (Vit. B1) (mg) dan (%)
Riboflavin (Vit. B2) (mg) dan (%)
Niacin (Vit. B3) (mg) dan (%)
996
365
79
0,12
1,3
0,66
7,13
11,62
0,070 dan 5
0,049 dan 3
1,6 dan 11
Lanjutan...
Pantothenicacid ( Vit. B5) (mg) dan (%)
Vit. B6 (mg) dan (%)
Folate (Vit. B9) (µg) dan (%)
Calcium(mg) dan (%)
Iron (mg) dan (%)
Magnesium (mg) dan (%)
Manganese (mg) dan (%)
Phosphorus (mg) dan (%)
Potassium (mg) dan (%)
Zinc (mg) dan (%)
1,014 dan 20
0,164 dan 13
8 dan 2
28 dan 3
0,80 dan 6
25 dan 7
1,088 dan 54
115 dan 16
115 dan 2
1,09 dan 11
Sumber: Wikipedia, 2012
Tabel 1 dan 2 menunjukkan kandungan gizi ubi kayu yang dibandingkan
dengan kandungan beras, sangat baik dan bisa dikonsumsi sebagai pengganti
beras.
Tabel 3. Kandungan nutrisi pada Kasoami
No
Kode Sampel
1
Kasoami Murni
2
Kasoami
Kelapa
3
Kasoami
Kacang Merah
Kukus
4
Kasoami
Kacang
Merah Tepung
Parameter
Kadar Air
Kadar Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
Vit. C
Energi
HCN
Kadar Air
Kadar Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
Vit. C
Energi
HCN
Kadar Air
Kadar Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
Vit. C
Energi
HCN
Kadar Air
Kadar Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
Vit. C
HCN
Satuan
%
%
%
%
%
Mg/As. Askorbat
Kal/gram
Mg/Kg
%
%
%
%
%
Mg/As. Askorbat
Kal/gram
Mg/Kg
%
%
%
%
%
Mg/As. Askorbat
Kal/gram
Mg/Kg
%
%
%
%
%
Mg/As. Askorbat
Mg/Kg
Uji 1
29,86
0,62
0,35
1,25
67,92
1,32
286,19
8,10
33,69
0,69
15,68
1,67
48,27
2,37
334,70
2,37
36,34
0,82
0,62
7,73
54,49
0,80
250,78
6,50
23,86
3,42
1,48
9,62
61,62
5,38
5,50
Hasil Uji
Uji 2
29,84
0,65
0,39
1,00
68,12
1,34
286,66
8,15
32,98
0,63
15,71
1,41
49,27
2,40
341,22
5,05
36,09
0,88
0,80
8,21
54,02
0,80
251,84
6,80
23,32
3,41
1,44
10,40
61,43
5,37
5,70
Uji 3
29,62
0,62
0,33
1,21
68,22
1,35
287,66
8,11
33,42
0,62
15,28
1,54
49,14
2,18
334,58
5,12
36,22
0,88
0,78
8,14
53,98
0,82
251,31
6,52
23,24
3,81
1,43
9,88
61,64
5,42
5,75
997
Lanjutan...
No
5
Kode Sampel
Kasoami
Gula Merah
Parameter
Kadar Air
Kadar Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
Vit. C
Energi
HCN
Satuan
%
%
%
%
%
Mg/As. Askorbat
Kal/gram
Mg/Kg
Uji 1
24,52
1,56
8,86
2,42
62,58
0,64
338.80
6,50
Hasil Uji
Uji 2
24,47
1,57
8,63
2,71
62,62
0,66
335,41
6,62
Sumber : UPT Laboratorium Dasar Unit Kimia Analitik Universitas Haluoleo, 2012
Uji 3
24,71
1,42
8,29
2,56
63,01
0,63
336,03
6,57
Dari tabel di atas menunjukkan kandungan nutrisi berbeda-beda pada
masing-masing Kasoami. Pada Kasoami biasa, kandungan karbohidratnya lebih
tinggi dibandingkan dengan Kasoami lainnya, selain itu juga kandungan HCNnya
juga tinggi tetapi kandungan lemaknya rendah.Hal ini karena belum ada
penambahan bahan lainnya, hanya 100 % ubi kayu.
Pada Kasoami kelapa kandungan lemak dan energinya tinggi, hal ini
karena kelapa banyak mengandung lemak (kolesterol).Kasoami kelapa sebaiknya
cepat dikonsumsi karena kandungan lemaknya tinggi. Pada Kasoami kacang
merah kukus, kadar airnya tinggi, hal ini karena mungkin dipengaruhi pada
waktu proses pembuatan Kasoami, kacang merah kukus yang tidak terlalu kering
airnya waktu ditiriskan. Kandungan protein juga pada Kasoami kacang merah
tinggi, karena kacang merah merah mengandung protein dan profil asam amino
dalam 100 gram kacang merah yang dimana kandungan protein pada kacang
merah hamper sama dengan kandungan protein pada daging,.Walaupun
kandungan protein nabati pada kacang merah tergolong protein tak lengkap
karena kurang lengkapnya profil asam amino esensial, namun dapat dilengkapi
dengan mengkonsumsi bahan karbohidrat misalnya ubi kayu yang diolah menjadi
Kasoami kacang merah kukus.
Pada Kasoami kacang merah tepung, kadar abunya tinggi yaitu ukuran
dari jumlah total mineral berupa komponen anorganik tertentu yaitu Ca, Na, Cl
dan K tinggi, dimana kandungan mineral kacang merah mampu mencukupi
masing-masing 24 persen kebutuhan harian mineral mangaan, 16 persen
kebutuhan mineral besi, 14 persen kebutuhan mineral fosfor, 12 persen
kebutuhan mineral potassium dan tembaga, 11 persen kebutuhan mineral
magnesium, 7 persen kebutuhan mineral Zinc dan lain-lain sisanya di bawah 3
persen. tetapi kadar airnya rendah. Dengan kadar mineral yang tinggi, kadar
abunya juga tinggi yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme
lainnya. Kasoami kacang merah kukus juga rendah lemak dan kalori sehingga
awet untuk disimpan lama.
Kasoami gula merah kandungan mineralnya tinggi, karena gula merah
kandungan mineralnya lebih tinggi daripada gula pasir. Kadar abu pada Kasoami
gula merah juga tinggi, lemaknya juga tinggi karena gula merah tersebut dari
enau pohon kelapa sehingga proteinnya juga tinggi, tetapi rasanya enak dan
manis dan banyak disukai masyarakat.
Kasoami aman jika dikonsumsi tiap hari karena memiliki Indeks Glikemik
yang rendah sehingga kadar gulanya rendah jika dibandingkan dengan nasi,
998
yang dapat mengendalikan rasa lapar dan nafsu makan karena glukosa akan
dilepaskan ke dalam darah dengan lambat.
Data-data tersebut menunjukkan kandungan gizi pada beberapa Kasoami
sangat potensial sebagai pengganti beras untuk dikonsumsi masyarakat.
Kandungan HCN juga pada masing-masing Kasoami rendah yaitu kurang dari 50
mg HCN tiap Kg sehingga tidak berbahaya untuk dikonsumsi.
Kasoami bisa awet disimpan beberapa hari dan jika akan dikonsumsi tidak
lagi melalui proses pemanasan, sehingga bisa dijadikan sebagai bekal makanan
pada perjalanan jauh.
KESIMPULAN
Ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
Kasoamibergizi yang bisa dikonsumsi masyarakat sebagai pengganti beras..Ubi
kayu tanaman yang mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah dan banyak
diusahakan petani, terutama di lahan kering yang memiliki kesuburan
rendah.Kasoami dapat dibuat sendiri bagi yang sudah terbiasa, bisa juga kita
jumpai di pasar-pasar tradisional.
SARAN
Perlunya sosialisasi tentang makanan Kasoami di masyarakat sebagai
pengganti beras dalam hal diversifikasi pangan, baik melalui media cetak atau
elektronik karena rasanya enak dan kandungan gizinya juga tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2006. Prosiding.
Seminar Nasional Dan Ekspose Hasil Penelitian, Kendari, Sulawesi
Tenggara, 18 -19 Juli 2005
BPS Sultra. 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Tenggara Kerjasama dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Tingkat I. Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dini, D. 2011. Kajian Pengelolaan Hasil Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal.
Disampaikan Pada Seminar Proposal Rencana Pengkajian Tim Pengkaji
(RPTP). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kendari 2011.
Suharno, Djasmi, Rubiyo, dan Purwanto, D. 1998. Budidaya Ubi Kayu. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian, Sulawesi Tenggara.
UPT Laboratorium Dasar Unit Kimia Analitik Universitas Haluoleo. 2012. Hasil
Analisis Kandungan Nutrisi Pada Kasoami.
Wikipedia. 2012. Beras. http://id.wikipedia.org/wiki/beras. [di akses 7 Maret
2012].
999
PENAMPILAN EMPAT VARIETAS PADI TERHADAP SERANGAN TUNGRO
PADA DISPLAY SL-PTT DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG
PROVINSI SULAWESI TENGAH
Asni Ardjanhar dan Abdi Negara
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jalan Lasoso No. 62.Biromaru, Palu
ABSTRAK
Upaya pengendalian penyakit Tungro telah banyak dilakukan. Penggunaan varietas
unggul yang dianggap paling efektif ternyata tidak mampu menekan meluasnya penyakit
tersebut. Demikian pula pergiliran varietas dengan waktu tanam yang tepat masih sulit
diterapakan secara meluas. Dengan program SL-PTT padi sawah, merupakan salah satu
terobosan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar pada
produksi tanaman pangan mendatang termasuk didalamnya padi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui penampilan empat varietas yang digunakan pada display SL-PTT padi
sawah terhadap serangan Tungro. Penelitian dilaksanakan di Desa Siniu, Kecamatan
Siniu Kabupaten Parigi Moutong pada bulan Mei MT 2012 pada display SL-PTT seluas 1
ha, dengan menanam padi varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13, dan Inpari 20.
Pemeliharan tanaman hingga panen sesuai dengan komponen PTT padi sawah yang
diajarkan kepada petani koperator. Penanaman dengan sistem jajar legowo 2:1 dengan
umur bibit 2-3 minggu, tanam 1 bibit per lubang. Pengamatan dilakukan dengan
menghitung persentase serangan yang menyerang pada setiap varietas, dan produksi
maksimal setiap varietas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Penampilan tingkat
serangan ke empat varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13, dan Inpari 20 bervariasi yaitu
serangan terendah 5 %, 10% dan yang tertinggi 15 %. Perbandingan tingkat produksi
terlihat bahwa Inpari 11 menghasilkan 4,9 ton/ha GKP, Inpari 6 dan Inpari 13
berproduksi 5,6 ton dan 6,8 ton, dan Inpari 20 hanya berproduksi 3,5 ton GKP (Gabah
Kering Panen).
Kata kunci: Penampilan, varietas, tungro
PENDAHULUAN
Pangan khususnya beras merupakan masalah nasional yang selalu
meminta perhatian. Walaupun Indonesia sudah pernah swasembada beras,
namun untuk mengimbangi laju pertambahan penduduk, masih dibutuhkan
tambahan produksi guna memperkuat cadangan beras nasional. Program
pemerintah tahun 2011 menyediakan cadangan beras nasional 10 juta ton beras
dengan asumsi sama dengan 18 juta ton GKG. Dengan program tersebut
pemerintah memantapkan dan melestarikan swasembada
beras dengan
program intensifikasi dan ektensifikasi, disamping peningkatan produksi
komoditas pangan lainnya.
Penggunaan Varietas Unggul Baru dalam program SL-PTT Padi, termasuk
sarana produksi didalamnya untuk menunjang program tersebut, juga
menimbukan masalah tak kunjung mereda, yaitu hama dan penyakit. Salah satu
diantaranya penyakit Tungro yang disebabkan oleh virus melalui serangga vektor
Nephotettix virescens. Di Indonesia penyakit Tungro mulai mendapat perhatian
1000
sejak tahun 1970 karena menimbulkan kerugian yang cukup besar (Tantera,
1986). Ratusan bahkan ribuan hektar pertanaman padi di beberapa daerah
tertentu
setiap tahunnya mengalami kerusakan karena serangan Tungro
tersebut, hingga tahun 1986 total luas areal yang terserang mencapai 217.923
ha tersebar di 17 provinsi (Manwan et al., 1987). Khusus di Sulawesi Tengah,
luas serangan mencapai 127 ha yang tersebar di beberapa kabupaten (Anonim,
2010).
Upaya pengendalian penyakit Tungro tersebut telah banyak dilakukan.
Penggunaan varietas unggul yang dianggap paling efektif ternyata tidak mampu
menekan meluasnya penyakit tersebut. Demikian pula pergiliran varietas dengan
waktu yang tanam yang tepat masih sulit diterapakan secara meluas. Program
SL-PTT padi sawah, merupakan salah satu terobosan yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi yang lebih besar pada produksi tanaman pangan
mendatang termasuk didalamnya padi. Melalui penerapan SL-PTT, petani akan
mampu mengelola sumberdaya yang tersedia (varietas, tanah, air, dan sarana
produksi) secara terpadu berdasarkan kondisi spesifik lokasi. Dengan program
SL-PTT ini komponen teknologi yang diterapkan salah satunya adalah
penggunaan varietas unggul baru, karena salah satu sasaran pelaksanaan SLPTT adalah teradopsinya berbagai alternatif pilihan komponen teknologi PTT Padi
oleh petani, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
mengelolah usahataninya untuk mendukung peningkatan produksi nasional.
Sehubungan hal tersebut diatas, perlu diamati dan diketahui penampilan empat
varietas komponen penggunaan Varietas Unggul Baru Padi yaitu Inpari 6, Inpari
11, Inpari 13, dan Inpari 20 pada display SL-PTT terhadap serangan Tungro.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan empat varietas
yang digunakan pad display SL-PTT padi sawah terhadap serangan Tungro.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di Desa Siniu, Kecamatan Siniu Kabupaten Parigi
Moutong pada bulan Mei MT 2012 pada display SL-PTT seluas 1 ha, dengan
menanam padi varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13, dan Inpari 20.
Pemeliharaan tanaman hingga panen, sesuai dengan komponen PTT padi sawah
yang diajarkan pada petani koperator. Penanaman dengan sistem jajar legowo
2:1, umur bibit 2-3 minggu, dan tanam 1 bibit per lubang. Pengamatan
dilakukan dengan rerata produksi setiap varietas dan menghitung persentase
serangan Tungro pada setiap varietas, dengan Rumus:
a
P=
X 100 %
b
Dimana:
P = Persentase serangan.
a = Jumlah populasi tanaman sampel yang terserang Tungro.
b = Jumlah populasi tanaman sampel yang diamati
1001
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan pengamatan persentase serangan Tungro
dilakukan di Desa Siniu, Kecamatan Siniu, tertera pada Tabel 1.
dan
produksi
Tabel 1. Persentase serangan Tungro dan produksi empat varietas padi sawah
pada kegiatan display di Kabupaten Parigi Moutong tahun 2012
LOKASI
KECAMATAN
Siniu
DESA
Siniu
DISPLAY
(1 Ha)
Padi
Sawah
VARIETAS
Inpari
Inpari
Inpari
Inpari
6
11
13
20
SERANGAN
TUNGRO
(%)
PRODUKSI (TON/HA) GKP
10
5
10
15
6,08
4,96
5,60
3,52
Hasil pengamatan pada Tabel 1 menunjukkan serangan Tungro pada
varietas Inpari 6, Inpari 11, Inpari 13 dan Inpari 20 bervariasi, yaitu serangan
terendah 5 %, 10% dan yang tertinggi 15 %. Hasil pengamatan saat timbulnya
gejala Tungro, ditemukan perubahan warna daun, dari warna hijau menjadi
kekuning-kuningan. Perubahan warna daun yang terserang Tungro ini
dipengaruhi oleh varietas padi, lingkungan, umur tanaman, dan strain virus
(Semangun, 1991). Perbedaan serangan juga disebabkan adanya perbedaan
dari masing-masing varietas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Agrios (1969),
bahwa keberhasilan suatu patogen untuk melakukan inveksi dan berkembang
pada jaringan tanaman, sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan faktor biokimia
yang dimiliki oleh tanaman tersebut. Virus Tungro di dalam tubuh tanaman
menyebabkan tanaman menjadi kerdi, sehingga pertumbuhan terhambat dan
perakaran kurang baik.
Serangga vektor N.virescens yang sudah terinveksi virus, akan terbang
dan hinggap ke tanaman sehat. Pada serangan serius dengan mengisap daun
sehat, dapat menyebabkan daun layu, anakan kurang dan mongering, dan
akhirnya mati. Menurut Tandiabang (1985), ketahanan suatu varietas unggul
terhadap penyakit Tungro menurun setelah serangga vektor penular penyakit
Tungro beradaptasi pada varietas tersebut. Taulu et al. (1987) mengemukakan
bahwa adaptasi serangga vektor penular Tungro pada suatu varietas unggul
terjadi setelah generasi ketiga, dan pada generasi ke enam populasinya sudah
mantap dan seragam. Penanaman ganda atau pernanaman padi terus menerus
dapat menyebabkan serangga vektor penular penyakit Tungro lebih cepat
beradaptasi pada varietas unggul yang ditanam. Makin lama terdapat tanaman
inang yang disukai, makin cepat peluangnya mencapai kepadatan yang tinggi
dan makin besar pula kemungkinan terjadinya ledakan penyakit virus Tungro.
Sebaliknya, pergiliran varietas akan menghambat terbentuknya populasi yang
dapat beradaptasi pada varietas unggul yang dianjurkan.
Dari kenyataan tersebut diatas, diterapkan konsep pengendalian penyakit
Tungro melalui pergiliran varietas berdasarkan tingkat ketahanan agar
memberikan hasil yang memuaskan. Namun masih terdapat kendala dan
hambatan, antara lain penentuan waktu tanam berdasarkan monitoring populasi
serangga vektor penular Tungro dan penyediaan benih yang tahan Tungro.
1002
Gambar.1. Perbandingan Tingkat Seranga Tungro dan Produksi
Pada Empat Varietas Padi Sawah Di Display
Kabupaten Parigi Moutong, MT Tahun 2012
20
15
10
5
0
Inpari.6
Inpari.11
Inpari.13
Inpari.20
Serangan (%)
10
5
10
15
Produksi (Ton/Ha)GKP
6,8
4,9
5,6
3,53
Varietas
Serangan (%)
Produksi (Ton/Ha)GKP
Gambar. 1 Perbandingan tingkat serangan Tungro dan produksi
Tingkat serangan Tungro pada Inpari 11 sebesar 5% dapat menghasilkan
4,9 ton/ha GKP, sedangkan serangan sedikit lebih besar yaitu 10 % pada Inpari
6 dan Inpari 13, dengan produksi 5,6 ton dan 6,8 ton, serta pada Inpari 20
tingkat serangan lebih tinggi yaitu 15 % dan hanya berproduksi 3,5 ton GKP.
Dampak serangan Tungro terhadap produksi pada display tidak begitu
berdampak menurunkan produksi karena rata-rata serangan tidak begitu parah
yaitu antara 5-15%, jika dilihat dari potensi hasil masing-masing varietas yaitu
Inpari 6 potensi hasil 12 ton/ha, hasil rata-rata 6,82 ton/ha. Inpari 11 rentan
terhadap Tungro potensi hasil 8,8 ton /ha, rata-rata hasil 6,5 ton /ha. Inpari 13
potensi hasil 8 ton/ha, rata-rata hasil 6,6 ton/ha rentan terhadap Tungro, namun
di daerah lain, hasil penelitian (Rosida et al., 2011)menyatakan bahwa dari hasil
uji ketahanan beberapa Varietas Unggul Baru padi sawah terhadap penyakit
Tungro, Inpari 13 dikategorikan sebagai agak tahan terhadap penyakit Tungro.
Inpari 20 potensi hasil 8,8 ton/ha, rata-rata hasil 6,4 ton/ha GKG rentan
terhadap Tungro (Anonim, 2013).
Ketahanan varietas padi terhadap penyakit virus Tungro sangat penting
artinya dalam peningkatan produksi, akan tetapi belum ditemukan varietas yang
tingkat ketahanannya permanen. Varietas tahan yang dianjurkan selama ini,
hanya memiliki sifat ketahanan terhadap serangga vektor wereng daun hijau,
bukan terhadap virusnya.Hal ini menyebabkan usaha pengendalian penyakit
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Menurut Tantera (1982), dalam
ketahanan varietas padi terhadap virus Tungro terhadap dua hal yang berbeda,
yaitu ketahanan tehadap serangga vektornya dan reaksinya terhadap virus
Tungro tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua sifat ketahanan tersebut
bebas satu sama lain yang dikendalikan oleh gen yang berbeda.
1003
KESIMPULAN
1.
2.
Penampilan tingkat serangan ke empat varietas bervariasi, tingkat serangan
terendah pada Inpari 11 sebesar 5 %, pada Inpari 6 dan 13 sebesar 10 %,
dan pada Inpari 20 sebesar 15 %.
Perbandingan tingkat
produksi menunjukkan bahwa
Inpari 11
menghasilkan 4,9 ton/ha GKP, Inpari 6 dan Inpari 13 berproduksi masingmasing 5,6 ton dan 6,8 ton GKP, dan Inpari 20 hanya berproduksi sebesar
3,5 ton GKP.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan Perkebunan
Peternakan Sulawesi Tengah.
Anonim.
2013.
Varietas
Inpari
20.
Litbang
Pertanian
http://www.litbang.deptan.go.id. [diakses 09 Juni 2013].
Jakarta.
Agrios. 1969. Plant Pathology. Academic Press. Inc. New York.
Manwan, I, S. Sama, and S.A. Risvi, 1987. Management Strategy of Control
Rice Tungro in Indonesia. In Proceedings of Workshop on Rice Tungro
Virus. Ministriy of Agriculture, AARD-MORIF.
Rosida, E.N., Komalasari, dan W. Senoaji. 2011. Uji Ketahanan Beberapa Varietas
Unggul Baru Padi Sawah Terhadap Penyakit Tungro. Prosiding Seminar
Nasional Penyakit Tungro. Makassar.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Tandiabang, J. 1985. Tingkat Resistensi Wereng Daun Hijau Nephotettix
virescens Distant Terhadap Insektisida pada Daerah Sulawesi Selatan.
Tesis. Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Taulu, L.A, S. Sosromarsono, I. N. Oka and E. Guharja. 1987. Adaptation of
Grean Leaf Hopper Nephotettix virescens Distant to Several Varieties of
Rice. In Proceeding of Workshop on Rice Tungro Virus, Ministry of
Agriculture , AARD-MORIF.
Tantera, D.M. 1982. Serangan Penyakit Virus Tungro di Bali. Jurnal Litbang
Pertanian Jakarta.
Tantera, DM, 1986. Present Status of Rice and Legumes Virus Diseases in
Indonesia. Tropical Agric. Recent. Japan.
1004
PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA
TERPADU PADI SAWAH DAN JAGUNG LAHAN KERING
DI KABUPATEN BULUKUMBA
Muhammad Thamrin dan Ruchjaniningsih
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan,
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5 Makassar 90221
Email: thamtami@yahoo.com; tamrin6875@gmail.com
ABSTRAK
Pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terpadu merupakan suatu pendekatan
holistik padi dan jagung yang bersifat partisipatif yang mensinergikan berbagai
komponen teknologi dengan kondisi spesifik lokasi sehingga dapat meningkatkan hasil
dan efisiensi masukan produksi serta menjaga kelestarian ekologi lingkungan. Kajian
bertujuan meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan
lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara
terpadu. Pengkajian dilaksanakan di kabupaten Bulukumba mulai bulan Januari sampai
Desember 2010. Pelaksanaan secara partisipatif dengan melibatkan petani sebagai
pelaku utama, poktan, gapoktan dalam menerapkan teknologi. Komponen teknologi yang
diimplementasikan pada demplot varietas unggul baru padi meliputi: (a) penggunaan
varietas unggul adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) cara tanam
(legowo), (d) penggunaan bahan organik (pupuk kandang/jerami), (e) pemupukan N
berdasarkan Bagan Warna Daun, (f) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah
melalui uji tanah, (g) pengendalian gulma dengan landak/gosrok), dan (i) pengendalian
hama secara PHT. Untuk jagung meliputi: (a) penggunaan varietas unggul hybrid, (b)
cara tanam sistem TOT dan olah tanah sempurna, (c) cara tanam (legowo), (d)
penggunaan bahan organik (pupuk kandang/jagung), (e) pemupukan berdasarkan status
hara tanah melalui uji tanah, (f) pengendalian gulma, hama dan penyakit secara PHT.
Hasil yang dicapai adalah 1) sebagian petani belum sepenuhnya melaksanakan PTT
sesuai dengan anjuran yang disebabkan petani masih ragu menerima perubahan yang
harus dilakukan, terutama dalam cara tanam legowo, pengaturan air dan penggunaan
organik (kompos jerami), 2) implementasi model PTT ditingkat petani yang dilaksanakan
sesuai anjuran, selain dapat meningkatkan hasil gabah kering giling padi dan
produktivitas jagung, juga dapat meningkatkan efisiensi input produksi seperti
penggunaan benih, dan pupuk masing-masing 25-35 % untuk padi dan 20-30 % untuk
jagung, 3) model PTT padi dan jagung dengan komponen teknologi yang diterapkan
dapat diterima secara teknis, sosial dan ekonomi oleh pengguna.
Kata kunci: Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), padi, jagung, sawah, lahan kering
PENDAHULUAN
Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat
bertambahnya jumlah penduduk, kualitas lahan menurun, dan tingkat penerapan
teknologi masih rendah, maka pemerintah melalui Departemen Pertanian
melakukan suatu terobosan pendampingan program strategis dalam peningkatan
produksi pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan
peternakan (Makarim et al., 2008).
1005
Pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terpadu yang sering
diringkas Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan
holistik yang semakin populer dewasa ini (Las, 2002). Pendekatan ini bersifat
partisipatif yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi sehingga bukan
merupakan paket teknologi yang harus diterapkan petani di semua lokasi
(Departemen Pertanian, 2008).
Pengalaman menunjukkan bahwa Sekolah Lapang Pengendalian Hama
secara Terpadu (SL-PHT) dengan belajar langsung di lahan petani dapat
mempercepat alih teknologi dan meredam serangan hama dan penyakit
tanaman. Keberhasilan SL-PHT yang ditindaklanjuti oleh pengembangan SL-Iklim
(SL-I) memberi inspirasi bagi pengembangan PTT melalui Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) dengan mensinergikan dan memperluas
cakupan SL-PHT dan SL-I dengan sasaran peningkatan produksi dan efisiensi
usahatani. Agar dapat berdaya guna dan berhasil guna, SL-PTT dilaksanakan
secara terpadu dengan melibatkan berbagai institusi yang kompeten, baik di
tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan, dan bahkan tingkat
desa (Departemen Pertanian, 2008).
Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu daerah di Provinsi Sulawesi
Selatan, dengan luas wilayah 115.467 ha dan terdiri dari 10 kecamatan (BPS
Bulukumba, 2009) memiliki potensi yang cukup besar dalam memajukan
pembangunan pertanian secara terintegrasi dari semua sektor, berkelanjutan,
dan ramah lingkungan tanpa meninggalkan faktor-faktor sosial dan budaya
setempat. Potensi Kabupaten Bulukumba terbentang luas mulai dari dataran
rendah (garis pantai, sawah irigasi dan tadah hujan) seluas 24.523 ha, dataran
medium (lahan perkebunan dan pengembalaan), dan dataran tinggi seluas
91.099 ha, sehingga upaya untuk menciptakan daerah yang mandiri berbasis
teknologi dapat dicapai dari daerah ini.
Sampai saat ini, komoditi andalan Kabupaten Bulukumba sub sektor
tanaman pangan meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu/jalar, dan kacang
tanah. Sub sektor hortikultura sayuran meliputi sawi, lombok, terong, dan buahbuahan terdiri dari alpukat, langsat, durian, mangga, dan rambutan. Khusus
tanaman pangan, pada tahun 2000 produksi padi mencapai 223.201,50 ton dari
luas panen 41.901 dengan produktivitas 5,3 t/ha. Produksi jagung mencapai
136.664 ton dari luas panen 27.721 ha dengan produktivitas 4,9 t/ha, dan
produksi kacang tanah mencapai 47.962,60 dari luas panen 5.458 ha dengan
produktivitas 0,8 t/ha (Bappeda Bulukumba, 2009). Produktivitas ketiga
komoditas tersebut masih sangat rendah dibanding potensi hasilnya sehingga
upaya untuk meningkatkan produktivitasnya masih terbuka luas dengan
mengembangkan berbagai inovasi teknologi yang sesuai kondisi setempat.
Selain itu, pemanfaatan teknologi spesifik yang berbasis pada masalah
atau lokasi yang dihadapi oleh masyarakat tidak hanya dapat meningkatkan
produksi dan produktivitas, tetapi juga diharapkan dapat merubah pola perilaku
dan berpikir petani dalam berusahatani. Penerapan teknologi spesifik lokasi harus
berjalan seiring dengan upaya-upaya untuk memberikan pencerahan
pengetahuna petani dalam menumbuhkan sikap kerjasama dan kompetisi yang
berjalan seimbang. Basis teknologi produksi harus didekatkan pada masyarakat
tani sebagai pihak yang akan memanfaatkan teknologi sehingga transfer atau
adopsi teknologi akan lebih cepat sampai pada sasaran dan berhasil guna.
1006
Tujuan pengkajian ini adalah meningkatkan produktivitas dan pendapatan
petani serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air,
tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Bulukumba mulai Januari sampai
Desember 2010. Pelaksanaan secara partisipatif dengan melibatkan petani
sebagai pelaku utama, poktan, dan gapoktan dalam menerapkan teknologi yang
akan didampingi. Peneliti dan penyuluh lebih bersifat sebagai supervisor dalam
penerapan teknologi. Pendampingan ini akan dilaksanakan dilahan petani dengan
petani kooperator yang ditentukan bersama oleh peneliti, penyuluh, PEMDA
setempat serta petani. Dalam kegiatan ini, komponen-komponen teknologi yang
ada dirakit menjadi paket teknologi yang spesifik.
Ruang lingkup pendampingan SL-PTT meliputi: 1) Pendampingan SL-PTT
oleh BPTP dilakukan untuk memberikan dorongan/ motivasi kepada pelaku
utama dan pelaku usaha dalam pemanfaatan paket teknologi hasil Litbang
Pertanian yang terdiri dari: Benih varietas unggul baru, tanam, Teknologi pupuk
organik (dekomposer) dan Alat dan mesin pertanian (penyiang, perontok, APPO).
2) Wujud pendampingan dilakukan melalui: Penyiapan Juknis dan SPO (Standar
Prosedur Operasional) untuk setiap teknologi tersebut, penyiapan
modul
pelatihan SL-PTT untuk PL-1 yang memuat paket teknologi hasil litbang
pertanian dan pembuatan demplot atau gelar teknologi di lokasi Laboratorium
Lapang (LL) pada setiap unit SL-PTT.
Tabel 1. Komponen teknologi dalam kegiatan pendampingan padi dan jagung di
kabupaten Bulukumba, 2010
No.
Komponen
Teknologi
VUB
LL
SL-PTT
Non SL-PTT
A.
Padi:
1.
Varietas
VUB
Ciherang,
Inpari 3, 6, 9, 10
Ciherang
Ciherang/Ciliung
Ciliung
yang
tidak murni lagi
2.
Pesemaian
Pesemaian basah,
seed treatment
Pesemaian basah,
seed treatment
3.
Jumlah benih
25-30 kg/ha
25-30 kg/ha
Pesemaian
basah,
seed
treatment
25-30 kg/ha
Pesemaian
basah,
seed
treatment
50-60 kg/ha
4.
Umur bibit
15-21 hari
15-21 hari
15-21 hari
>1 bulan
5.
Jumlah
bibit/rumpun
Cara tanam
1 – 3 batang
1 – 3 batang
1 – 3 batang
5-7 batang
Legowo 2:1
Legowo 2:1
Legowo 2:1
Tegel
8.
Pengelolaan
air
Pemupukan
9.
Bahan organik
10
Pengendalian
OPT
Pengaturan
draenase
Urea 150 kg/ha
(BWD) + Ponska
100 kg/ha
1-2 t/ha kompos
pukan
PHT
Pengaturan
draenase
Urea 150 kg/ha
(BWD) + Ponska
100 kg/ha
1-2 t/ha kompos
pukan
PHT
Pengaturan
draenase
Urea 150 kg/ha
(BWD) + Ponska
100 kg/ha
1-2 t/ha kompos
pukan
PHT
Pengaturan
draenase
100 kg/ha +
ponska
100
kg/ha
Tanpa
bahan
organik
Pengendalian
sudah terjadwal
6.
7.
1007
Lanjutan…
No.
B.
Komponen
Teknologi
Jagung:
VUB
LL
SL-PTT
Non SL-PTT
1.
Varietas
Bima 3, 4, 5
Bisi 2
Bisi 2
Bisi 2
2.
1
2
2
2
3.
Jumlah
biji/lubang
Cara tanam
Tugal
Alur
Alur
Alur
4.
Pemupukan
Urea 100 kg/ha +
Ponska 100 kg/ha
Ponska 100 kg/ha
Ponska
kg/ha
5.
Bahan organik
1 t/ha
-
-
-
6.
Pengendalian
OPT
PHT
PHT
PHT
Cara petani
100
Ponska
kg/ha
Jumlah unit pendampingan dan demplot pada SL-PTT Padi sebanyak 198
dan 75, sedangkan pada SL-PTT Jagung sebanyak 84 dan 16. Bahan yang
digunakan meliputi benih padi inbrida/hibrida, jagung hibrida/komposit, pupuk,
dan pestisida. Tahapan pelaksanaan yaitu a) Koordinasi dengan dinas
terkait/pemerintah desa untuk menentukan lokasi, b) Identifikasi wilayah
pendampingan, c) Apresiasi program pendampingan, d) Pelaksanaan kegiatan,
e) Pengamatan dan pengumpulan data, f) Temu lapang dan g) Pelaporan.
Komponen teknologi yang diimplementasikan pada unit pendampingan
khususnya demplot varietas unggul baru padi meliputi: (a) penggunaan varietas
unggul adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) cara tanam
(legowo), (d) penggunaan bahan organik (pupuk kandang), (e) pemupukan N
berdasarkan Bagan Warna Daun, (f) pemupukan P dan K berdasarkan status
hara tanah melalui uji tanah, (g) pengendalian gulma dengan landak/gosrok),
dan (i) pengendalian hama secara PHT. Untuk jagung meliputi: (a) penggunaan
varietas unggul hybrid, (b) cara tanam TOT dan olah tanah sempurna, (c) cara
tanam (legowo), (d) penggunaan bahan organik (pupuk kandang), (e)
pemupukan berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (f) pengendalian
gulma, hama dan penyakit secara PHT.
Pendampingan padi diawali dengan pengolahan tanah menggunakan
traktor dan hewan (kuda), yaitu bajak satu kali kemudian digaru dan diratakan.
Pengolahan tanah diusahakan sampai berlumpur dan rata. Penanaman padi
secara tapin dengan
tanam legowo 2:1. Pemupukan Urea (150 kg/ha)
berdasarkan pada hasil pengamatan dengan menggunakan Bagan Warna
Daun/Leaf Colour Chart (BWD/LCC) skala empat yang pengamatannya dimulai
pada umur 14 hst dengan interval 7-10 hari. Pemupukan dilakukan pada keadaan
sawah macak-macak dengan memberikan urea dua kali, yaitu pada masingmasing 1 dan 4 minggu setelah tanam. Pupuk Ponska diberikan satu minggu
setelah tanam.
Pengendalian hama dilakukan berdasarkan konsep Pengendelian Hama
Terpadu. Untuk kegiatan jagung pengolahan tanah Tanpa Olah Tanah (TOT)
dilakukan dengan menyemprotkan herbisida lalu dialur menggunakan ternak
atau tugal. Penanaman jagung dengan sistem legowo 2 : 1 jarak tanam (90 x 60
x 20 cm). Pemupukan Phonska berdasarkan hasil uji tanah diberikan pada 7 dan
40 hst.
1008
100
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah dan Agroekosistem
Kabupaten Bulukumba dengan luas wilayah 115.467 ha dari 10
kecamatan yang merupakan wilayah yang cukup potensial dalam upaya
pengembangan pertanian, peternakan dan perkebunan. Menurut data BPS
Kabupaten Bulukumba (2009), potensi lahan berdasarkan agroekosistemnya
terbagi atas lahan sawah seluas 20.293,80 ha dan lahan kering seluas 2.164,36
ha. Topografi dan fisiografi kurang lebih 95,38% berada pada ketinggian 0 –
1.000 meter di atas permkaan laut (dpl) dengan tinkat kemiringan tanah 0 – 40o.
Keadaan iklim berdasarkan klasifikasi daerah terbagi ke dalam 4 tipe yaitu: iklim
A dengan 9 bulan basah meliputi Bulukumba, Kindang dan Gantarang
sebahagian; iklim B dengan 7 bulan basah meliputi Kajang, Ujung Loe, Rilau Ale,
Kindang dan Gantarang sebahagian; iklim C dengan 5 bulan basah meliputi
Kajang, Herlang dan Bontotiro; iklim D dengan 4 bulan basah meliputi Ujung
Bulu, Gantarang sebahagian dan Bontotiro. Sedangkan kondisi curah hujan
digolongkan atas < 2.000 mm/tahun meliputi Ujung Bulu, Bontotiro, Kajang,
Bontobahari dan Gantarang; 2.000 – 3.000 mm/tahun meliputi Gantarang,
Bulukumba, Rilau ale, Kajang dan Herlang; > 3.000 mm/tahun meliputi Kindang,
Rilau Ale, dan Ujung Loe.
Potensi Sumberdaya Lahan dan Tanaman
Potensi sumberdaya lahan mencakup lahan kering dan lahan sawah,
sedang tanaman meliputi padi dan jagung disajikan pada (Tabel 1 dan 2). Total
luas sumberdaya lahan di sepuluh kecamatan adalah 22.458,16 ha terdiri dari
lahan kering 2.164,36 ha dan lahan sawah 20.293,80 ha. Kecamatan Kajang,
Kindang dan Rilau Ale merupakan 3 kecamatan yang memiliki potensi
sumberdaya lahan terluas (200.000 – 300.000 ha), sementara Ujung Loe dan
Gantarang menempati posisi dengan sumberdaya lahan dengan luas paling kecil
(< 50.000 ha).
Tabel
1. Luas areal tanam, luas panen, dan
Kabupaten Bulukumba, 2010
No.
Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Gantarang
Ujung Bulu
Ujung Loe
Bontobahari
Bontotiro
Herlang
Kajang
Bulukumpa
Rilau Ale
Kindang
Jumlah
produksi
Luas Lahan
Luas
Luas
Lahan
Tanam
Panen
Sawah
..…………………Ha…………………
6,41
8.004,90 13.556 14.805
27,40
310,60
583
583
182,20
2.771,00
5.825
5.660
53,10
154
134
144,60
25,00
210
182
339,00
454
384
1.056,80
1.191.10
4.575
4.774
49,80
2.625,60
8.018
7.370
172,00
3.038,40
7.243
6.428
183,25
1.775,10
1.866
4.720
2.164,36
20.293,80 42.484 45.040
Lahan
Kering
tanaman
padi di
Produksi
(t)
Produktiv
itas
(t/ha)
87.113
3.078
32.177
664
822
1.827
24.696
36.142
34.750
23.750
245.185
5,88
5,28
5,68
4,88
4,52
4,76
5,17
4,90
5,41
5,07
5,44
1009
Tabel 2. Luas areal tanam, luas panen, dan produksi tanaman jagung di
Kabupaten Bulukumba, 2010
No.
Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Gantarang
Ujung Bulu
Ujung Loe
Bontobahari
Bontotiro
Herlang
Kajang
Luas Lahan (Ha)
Luas
Luas
Tanam
Panen
Lahan
Lahan
Kering
Sawah
……………………..Ha………………
6,41
8.004,90
1.399
1.226
27,40
310,60
8
8
182,20
2.771,00
3.976
4.454
53,10
2.945
5.097
144,60
25,00
3.586
5.413
339,00
5.583
5.958
1.056,80
1.191.10
5.155
10.461
8.
9.
10.
Bulukumpa
Rilau Ale
Kindang
Jumlah
49,80
172,00
183,25
2.164,36
2.625,60
3.038,40
1.775,10
20.293,80
1.449
169
859
25.129
493
52
962
34.124
Produksi
(t)
Produk
tivitas
(t/ha)
4.752
24
18.355
15.367
16.504
27.723
34.908
3,87
2,97
4,12
2,02
3,05
4,65
3,34
1.348
193
2.852
122.027
2,74
3,71
2,97
3,58
Kinerja Model PTT di Tingkat Petani
Usahatani Padi
Usahatani padi di lokasi SL-PTT maupun non SL-PTT pada umumnya
relatif sama, petani belum menggunakan benih unggul dan bermutu karena
selama ini petani menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya yang sudah
beberapa kali di tanam dalam varietas yang sama. Selain itu benih yang
digunakan tidak disortir sesuai dengan perlakuan untuk benih. Penggunaan benih
pada petani non SL-PTT lebih banyak (40-50 kg/ha) dibandingkan dengan petani
yang menerapkan SL-PTT, karena menurut petani bibitnya tidak cukup jika benih
yang disemai sedikit, demikian juga dengan umur bibit, hal ini disebabkan karena
penanaman padi petani non SL-PTT dilakukan pada umur tua >30 hari dengan
jumlah bibit yang ditanam 5-7 batang per rumpun.
Penanaman dengan sistem tanam legowo hanya sebagian kecil
diprkatekkan dan kebanyakan menanam dengan sistem tegel. Dalam penerapan
sistem tanam legowo, petani agak sulit melakukannya karena disamping belum
terbiasa juga biaya tenaga kerja lebih mahal yaitu ada penambahan biaya tenaga
kerja Rp. 100.000,- per hektar.
Petani di lokasi pendampingan selama ini belum menggunakan bahan
organik (pupuk kandang) untuk lahan sawah karena petani belum tahu manfaat
dari penggunaan dan sulit mendapatkan pupuk kandang di lokasi Sl-PTT maupun
non SL-PTT. Penggunaan pupuk an-organik (Urea, SP36 dan KCl ) belum sesuai
dosis bahkan sebagian petani tidak menggunakan pupuk SP 36 dan KCl karena
harga kedua pupuk tersebut dirasakan petani sangat mahal, selain itu terkadang
sulit didapatkan dipasaran.
Pengendalian hama dan penyakit petani sering menggunakan pestisida
yang berlebihan tanpa memperhatikan sasaran hama/penyakit dan musuh alami,
sehingga mengakibatkan menjadi tidak efektif. Selain itu, petani masih sering
menggunakan pestisida yang sudah dicampur dua atau lebih jenis pestisida dan
1010
dosis tinggi sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Menurut
petani menggunakan pestisida dengan dosis yang tinggi dapat langsung
mengendalikan hama dan penyakit secara cepat dan tidak ada serangan lagi
setelah di semprot.
Usahatani Jagung
Usahatani jagung baik di SL-PTT maupun non SL-PTT pada umumnya di
lahan kering dengan teknologi relatif sama, petani pada umumnya menggunakan
benih unggul hybrid (Bisi) dan bermutu karena selama ini petani membeli benih
jagung langsung dari kios-kios tani, namun sebagian masih ada petani menanam
jagung hasil sebelumnya yang sudah beberapa kali di tanam dalam varietas yang
sama. Penggunaan benih pada petani non SL-PTT lebih banyak (20-30 kg/ha)
dibandingkan dengan petani yang menerapkan SL-PTT, karena menurut petani
bibitnya tidak cukup kalau benih yang ditanam hanya 1-2 biji per lubang tetapi
menanam 2-3 biji per lubang.
Penanaman dengan tanam legowo belum diprkatekkan dan umumnya
menanam dengan sistem alur dari bajak kuda dengan jarak tanam 75 cm x 25
cm. Dalam penerapan sistem tanam legowo, petani belum melakukannya karena
disamping belum terbiasa juga biaya tenaga kerja lebih mahal yaitu ada
penambahan biaya tenaga kerja Rp. 100.000 per hektar.
Petani di lokasi pendampingan selama ini belum menggunakan bahan
organik (pupuk kandang) untuk lahan kering karena petani belum tahu manfaat
dari penggunaan dan sulit mendapatkan pupuk kandang di lokasi Sl-PTT
maupun non SL-PTT. Penggunaan pupuk an organik (Urea, SP36 dan KCl )
belum sesuai dosis bahkan sebagian petani tidak menggunakan pupuk SP 36 dan
KCl karena harga kedua pupuk tersebut dirasakan petani sangat mahal, selain itu
terkadang sulit didapatkan dipasaran.
Pengendalian hama dan penyakit belum menerapkan secara PHT, petani
sering menggunakan pestisida yang berlebihan tanpa memperhatikan sasaran
hama/penyakit dan musuh alami, sehingga mengakibatkan menjadi tidak efektif.
Penerapan Teknologi VUB, LL, SL-PTT Padi dengan Pendekatan PTT
Hasil pendampingan teknologi menunjukkan bahwa melalui pendekatan
model PTT ternyata masih mampu meningkatkan produktivitas hasil panen
gabah kering giling (GKG) dari sebelumnya hanya rata-rata 5,44 t/ha (BPS, 2008)
menjadi 5,88 t/ha di lokasi pendampingan yang telah menerapkan usahatani padi
sawah secara intensif (Tabel 2). Bahkan beberapa varietas unggul baru yang
dicobakan menghasilkan produktivitas masing-masing Inpari 3 (6,4 t/ha), Inpari
6 (6,4 t/ha), Inpari 9 (6,7 t/ha), Inpari 10 (6,1 t/ha) dan Ciherang (6,1 t/ha).
Pertumbuhan awal padi dari masing-masing varietas menunjukkan
keragaan hasil yang cukup baik dan terlihat perbedaan antara pendekatan PTT
(VUB, LL, SL-PTT) dan non PTT. Pada fase vegetatif hama yang muncul seperti
keong mas, orong-orong, dan sundep tapi intensitas serangan masih rendah
dan dapat dengan mudah dikendalikan oleh petani secara manual dan kimiawi.
Pada fase generatif penapilan tanaman padi varietas Inpari 3, 6, 9, 10, dan
Ciherang dengan pendekatan PTT memperlihatkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman lebih baik dibandingkan non PTT. Serangan hama
walang sangit dan penyakit kresek pada fase generatif masih dalam batas
1011
intensitas rendah sehingga tidak memerlukan pengendalian secara intensif dan
cukup dilakukan secara sporadis dengan menyemprotkan insektisida dan
fungisida sesuai luas dan keberadaan serangan.
Tabel 2. Pertumbuhan dan Produksi Gabah Kering Giling (GKG) beberapa varietas
padi di lokasi pendampingan MH 2010 di Kabupaten Bulukumba
Uraian
Tinggi
Tanaman (cm)
Jumlah
Anakan
Produksi GKG
(t/ha)
VUB
LL*)
SLPTT*)
Non SLPTT**)
105,7
106,2
94,1
3
6
9
10
103,0
102,2
98,8
101,0
Ciheran
g
96,4
10,3
11,4
11,2
11,7
16,2
11,2
11,3
9,8
6,4
6,4
6,7
6,1
6,1
5.9
5.9
5,2
*) LL, SL-PTT=varietas Ciherang
**) Non SL-PTT = Ciherang dan /ciliung
Hasil pendampingan di lokasi VUB, LL, SL-PTT dan non SL-PTT
menunjukkan bahwa dengan pendekatan PTT dapat memberikan hasil yang lebih
tinggi untuk semua varietas dibandingkan dengan non SL-PTT.
Penerapan Teknologi VUB, LL, SL-PTT Jagung dengan Pendekatan PTT
Hasil pendampingan teknologi menunjukkan bahwa melalui pendekatan
model PTT ternyata masih mampu meningkatkan produktivitas dari 3,58 menjadi
5,1 – 5,8 ton per hektar. Hasil panen biji kering beberapa varietas jagung di
lokasi pendampingan yang telah menerapkan usahatani jagung lahan kering
secara intensif (Tabel 2).
Tabel 3. Pertumbuhan dan Produksi Biji Kering beberapa varietas jagung di lokasi
pendampingan MH 2010 di Kabupaten Bulukumba
Uraian
Tinggi Tanaman
(cm)
Jumlah Tongkol
Produksi
Biji
Kering (t/ha)
VUB
LL*)
SL-PTT*)
Non SLPTT**)
Bima 3
Bima 4
Bima 5
233,1
221,3
234,4
240,5
236,9
243,9
1,0
5,8
1,0
5,5
1,0
5,1
1,0
5,4
1,0
5,7
1,0
5,1
*) Bisi
**) Bisi/Pionir
Pertumbuhan awal jagung dari masing-masing varietas menunjukkan
keragaan hasil yang cukup baik dan terlihat perbedaan antara pendekatan PTT
(VUB, LL, SL-PTT) dan non PTT. Pada fase vegetatif hama intensitas serangan
masih rendah dan dapat dengan mudah dikendalikan oleh petani secara manual
dan kimiawi. Pada fase generatif penapilan tanaman jagung varietas Bima dan
Bisi (LL) dengan pendekatan PTT memperlihatkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman lebih baik dibandingkan non PTT.
1012
Hasil pendampingan di lokasi VUB, LL, SL-PTT, dan non SL-PTT
menunjukkan bahwa dengan pendekatan PTT dapat memberikan hasil yang lebih
tinggi untuk semua varietas dibandingkan dengan non SL-PTT.
KESIMPULAN
1. Sebagian petani belum sepenuhnya melaksanakan PTT sesuai dengan
anjuran yang disebabkan petani masih ragu menerima perubahan yang
harus dilakukan, terutama dalam cara tanam legowo, pengaturan air
dan penggunaan organik (kompos jerami).
2. Implementasi model PTT ditingkat petani yang dilaksanakan sesuai
anjuran, selain dapat meningkatkan hasil gabah kering giling padi dan
produktivitas jagung, juga dapat meningkatkan efisiensi input produksi
seperti penggunaan benih, dan pupuk masing-masing 25-35 % untuk
padi dan 20-30 % untuk jagung.
3. Model PTT padi dan jagung dengan komponen teknologi yang
diterapkan dapat diterima secara teknis, sosial dan ekonomi oleh
pengguna.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk teknis lapang
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian,
Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bulukumba, 2009. Mencari Format
Penelitian Sektor Pertanian di Kabupaten Bulukumba. Makalah
disampaikan pada Focus Discussion Group (FGD) Mencari Format
Penelitian Sektor Pertanian di Kabupaten Bulukumba.
BPS Bulukumba, 2009. Biro Pusat Statistik Bulukumba, Bulukumba dalam Angka.
Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2008. Panduan Pelaksanaan. Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi.
Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2008. Panduan Pelaksanaan. Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung.
Las, I, 2002. Pengembangan intensifikasi padi sawah irigasi berdasarkan PTT.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Usahatani
Terpadu Berwawasan Agribisnis Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya
Pertanian Jawa Barat. Lembang 16 April 2002. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Barat.
Makarim, A.K., D. Pasaribu, Z. Zaeni, dan I. Las, 2003. Analisis dan sintesis hasil
pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) dalam program
P3T. IAARD. Dept.. of Agriculture.
1013
PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) JAGUNG
MELALUI DEMONSTRASI TEKNOLOGI DI KABUPATEN BONE
PROVINSI SULAWESI SELATAN
Idaryani1, St. Najmah1, dan Astiani Asady2
BalaiPengkajianTeknologiPertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan km. 17,5 Sudiang, Makassar
2
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutananan Kab. Bone
Email: idaryani@yahoo.com
1
ABSTRAK
BPTP sebagai unit pelaksana teknis Badan Litbang Pertanian, berperan sebagai pusat
komunikasi dan penyedia sumber informasi teknologi serta menciptakan paket teknologi
spesifik lokasi bagi pengguna. Uji Coba/demonstrasi plot dilakukan bertujuan untuk
menguji teknologi yang dikembangkan/direkomendasikan BPTP ditingkat lapangan
sebagai upaya mendukung pengembang model-model sistem usahatani pada suatu
wilayah. Demonstrasi PTT jagung dilaksanakan di Kelompok Tani Ajang Kalung, Desa
Pongka, Kecamatan Tellu SiattingE, Kabupaten Bone. Metode yang digunakan adalah
introduksi konsep PTT jagung yang mencakup 1) penggunaan varietas unggul berdaya
hasil tinggi, 2) penggunaan benih bermutu, 3) penggunaan pupuk berimbang spesifik
lokasi, 4) penggunaan bahan organik, 5) pengendalian hama dan penyakit secara
terpadu, serta 6) panen pada waktu yang tepat. Namun pelaksanaan di lapangan tidak
semua komponen teknologi tersebut diterapkan oleh petani, tapi disesuaikan dengan
kondisi sosial dan tingkat kepercayaan petani terhadap teknologi baru. Pengumpulan
data dilakukan dengan melakukan observasi langsung di lapangan dan wawancara semi
terstruktur. Data yang dikumpulkan meliputi : kinerja model PTT di tingkat petani, analisa
usahatani, respon petani terhadap komponen teknologi, dan penerapan komponen PTT
di tingkat petani. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisa secara
deskriptif. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi PTT dapat
meningkatkan produktivitas padi 35 %, keuntungan yang diperoleh adalah
Rp. 8. 309.000/ha dengan R/C ratio 2,68 dan B/C 1,68.
Kata kunci: PTT, ujicoba/demonstrasi, jagung
PENDAHULUAN
Jagung menempati posisi penting dalam perekonomian nasional karena
merupakan sumber karbohidrat dan bahan baku industri pakan dan pangan. Di
samping bijinya, biomass hijauan jagung dalam negeri untuk pakan sudah
mencapai 4,9 juta ton pada tahun 2005 dan diprediksi menjadi 6,6 juta ton pada
tahun 2010 (Ditjen Tanaman Pangan, 2008).
Di Indonesia tanaman jagung ditanam pada agroekosistem yang
beragam, mulai dari lingkungan berproduktivitas tinggi (lahan subur) sampai
lingkungan berproduktivitas rendah (lahan suboptimal dan marginal). Oleh
karena itu diperlukan teknologi spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi lingkungan
setempat. Selama ini komponen budidaya tanaman jagung diterapkan secara
parsial, terutama pada lahan yang berproduktivitas rendah, sehingga tidak
memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan produksi. Memadukan
berbagai komponen teknologi yang saling menunjang atau bersifat sinergisme
1014
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi sistem produksi
tanaman jagung (Suryana et al., 2008).
Penerapan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi merupakan salah satu
komponen penting untuk meningkatkan hasil juga kualitas suatu komoditas yang
diusahakan di suatu daerah. Namun demikian dampak dari penerapan teknologi
tidak hanya tersebut di atas, tetapi diharapkan teknologi tersebut dapat menjaga
kelestarian lingkungan.
Secara umum perekonomian daerah Kabupaten Bone didominasi sektor
pertanian, khususnya sub sektor tanaman pangan, selanjutnya sub sektor
perkebunan, sub sektor peternakan dan sub sektor perikanan. Luas panen
tanaman jagung di Kabupaten Bone akhir tahun 2007 sebesar 40.370 hektar
dengan rata-rata produksi 4,2 ton/ha (BPS Kabupaten Bone, 2008). Kecamatan
Tellu SiattingE merupakan salah satu daerah sentra pengembangan jagung di
kabupaten Bone dengan luas panen 5.746 ha, rata-rata produksi 5,4 ton/ha.
Rendahnya produktivitas tersebut akibat belum banyaknya teknologi hasil
penelitian yang sampai ke petani, sehingga petani mengusahakan tanaman ini
sesuai dengan kebiasaan petani, serta penggunaan input tidak sesuai
rekomendasi, berarti masih ada peluang untuk meningkatkan produksi padi
dengan introduksi teknologi dalam budidaya dan pendekatan usaha yang
berwawasan spesifik lokasi dengan dimensi agribisnis.
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung merupakan strategi
pengelolaan tanaman jagung yang mensinergiskan berbagai komponen teknologi
yang dapat meningkatkan hasil dan efisiensi masukan produksi serta menjaga
kelestarian lingkungan (Badan Litbang Pertanian, 2007). PTT merupakan suatu
usaha untuk meningkatkan hasil jagung dan efisiensi masukan produksi dengan
memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara bijak.
Komponen teknologi PTT yang dianjurkan kepada petani adalah : 1)
Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, 2) Penggunaan benih bermutu,
3) Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi, 4) Penggunaan bahan organik,
5) Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, 6) Panen pada waktunya.
Dari semua komponen teknologi yang dianjurkan tidak harus semuanya
diterapkan petani secara utuh, tetapi disesuaikan dengan karakteristik biofisik
lingkungan, tanaman, kondisi sosial ekonomi dan budaya petani, sehingga
diharapkan ada efek sinergisme terhadap pertumbuhan tanaman spesifik lokasi
serta dinamis dalam susunan teknologinya karena adanya sistem introduksi
inovasi secara berkelanjutan (Makarim, et al., 2003).
Berdasarkan hal tersebut maka peningkatan produksi jagung melalui
pendekatan PTT perlu dikembangkan untuk diadopsi petani secara cepat dan
luas. Salah satu strategi pengembangannya dilakukan melalui percontohan di
tingkat petani berupa demonstrasi plot (demplot) dimana hal ini dilakukan di
lahan petani danmelibatkan petani secara langsung dalam pelaksanaannya
sehingga petani dapat secara langsung memahami dan memberi informasi
kepada petani lainnya.Tujuan kegiatan adalah untuk mengetahui tingkat
penerapan model PTT jagung melalui demonstrasi plot di Kabupaten Bone.
1015
METODOLOGI
Kegiatan demonstrasi dilakukan di Desa Pongka, Kecamatan Tellu
SiattingE, Kabupaten Bone yang merupakan salah satu daerah P3TIP/FEATI dan
salah satu sentra pengembangan jagung di Kabupaten Bone, yang dilaksanakan
oleh Kelompok Tani Ajang Kalung, dengan luas areal 1,5 ha. Petani yang terlibat
sebanyak 20 orang, dan dilakukan pada musim tanam II (kemarau).
Sebelum melakukan kegiatan terlebih dahulu dilakukan sosialisasi
program yang diikuti oleh petani/kelompok tani/FMA, aparat desa, dan aparat
dari instansi terkait di lokasi kegiatan. Selain itu juga dilakukan PRA untuk
memperoleh data dan informasi tentang usahatani serta kegiatan-kegiatan lain
yang akan dilakukan.
Metode yang digunakan adalah introduksimetode pendekatan PTT jagung
yang mencakup 1) penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, 2)
penggunaan benih bermutu, 3) penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi, 4)
penggunaan bahan organik, 5) pengendalian hama dan penyakit secara terpadu,
dan 6). panen pada waktu yang tepat. Namun pelaksanaan di lapangan tidak
semua komponen teknologi tersebut diterapkan oleh petani, tapi disesuaikan
dengan kondisi sosial dan tingkat kepercayaan petani terhadap teknologi baru.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung di lapangan
dan wawancara semi terstruktur. Data yang dikumpulkan meliputi : kinerja model
PTT di tingkat petani, analisa usahatani, respon petani terhadap komponen
teknologi, dan penerapan komponen PTT di tingkat petani. Data yang
dikumpulkan kemudian dianalisa secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Model PTT di Tingkat Petani
Berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan selama jagung
tumbuh di pertanaman, tanaman jagung yang ditanam melalui pendekatan PTT
(petani koopertaor) menunjukkan pertumbuhan lebih bagus dibandingkan
dengan yang ditanam dengan teknologi petani (petani non kooperator). Hal ini
disebabkan karena teknologi yang dianjurkan dapat dilakukan petani sesuai
petunjuk (yang dianjurkan), sehingga kemungkinan yang akan terjadi dapat
diatasi secara cepat.
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang paling utama yang
mampu meningkatkan produktivitas tanaman dan merupakan teknologi yang
paling mudah diadopsi oleh petani. Varietas unggul mempunyai keuntungan dan
kesesuaian yang tinggi dengan tingkat kerumitan yang sangat rendah. Varietas
merupakan faktor utama dalam peningkatan produktivitas jagung apabila
ditunjang oleh teknologi budidaya lain yang bersifat sinergis terhadap
keberhasilan peningkatan produktivitas jagung (Las, 2002).
Benih bermutu merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha
peningkatan produksi jagung. Benih bermutu ditentukan oleh faktor genetik dan
faktor fisik. Faktor genetik benih bermutu dari varietas unggul mempunyai
beberapa keuntungan yaitu produksi tinggi, tahan terhadap hama penyakit
tertentu, dan respon terhadap kondisi pertumbuhan. Sedangkan faktor fisik yaitu
1016
kemurnian tinggi, prosentase daya tumbuh tinggi, bebas dari kotoran dan biji
gulma, bebas dari insek dan hama penyakit, serta kadar air biji rendah.
Varietas Bima-3 yang ditanam dengan menerapkan model PTT
memperlihatkan pertumbuhan lebih bagus dibandingkan dengan tanaman jagung
yang ditanam dengan cara petani (non PTT). Hasil yang diperoleh adalah 7.800
kg/ha, dimana potensi hasil tersebut tidak terlepas dari ketahanan terhadap
hama dan penyakit. Varietas Bima-3 tergolong tahan penyakit bulai dan hasilnya
dapat mencapai 10 t/ha dengan rata-rata hasil 8,3 t/ha.
Pupuk organik memegang peranan penting dalam sistem usahatani,
karena kemampuannya dalam memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah.
Penggunaan bahan-bahan organik akan menyehatkan tanah, menurunkan
tingkat polusi, tanah terlindung dari proses degradasi (Widyarti, 2009). Respon
tanaman terhadap pupuk organik ini umumnya lambat karena proses penyediaan
hara bertahap melalui proses dekomposisi. Namun demikian, pemberian pupuk
organik mampu mengefisienkan penggunaan pupuk an-organik dan
meningkatkan produksi sebesar 16-36%.
Penerapan inovasi teknologi model PTT dapat meningkatkan produksi
jagung dibandingkan dengan pertanaman petani sekitarnya yang tidak
menggunakan konsep PTT. Hal ini disebabkan dengan penerapan inovasi
teknologi model PTT input yang diberikan sesuai dengan kebutuhan optimum
tanaman jagung selama pertumbuhannya.
Konsep pengendalian hama terpadu (PHT) memberikan kontribusi dalam
pengamanan potensi hasil melalui monitoring secara berkala. Dengan demikian
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya hama dan penyakit
dapat dilakukan oleh petani secara lebih dini. Demikian pula halnya dengan
pelaksanaan panen yang tepat waktu dan cara serta penanganan pasca panen
yang tepat dapat menghindari kehilangan hasil panen. Hasil penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa teknologi metode pendekatan PTT dapat
meningkatkan produktivitas jagung sebesar 30-35% dibanding non PTT.
Analisis Usahatani
Untuk mengukur tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usahatani
jagung, dihitung nisbah penerimaan atas biaya input yang digunakan dimana
pendapatan usahatani merupakan selisih antara nilai hasil dan biaya produksi.
Analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan usahatani melalui
pendekatan PTT pada tanaman jagung memberikan keuntungan bagi petani.
Implementasi model PTT di tingkat petani selain dapat meningkatkan
hasil jagung pipilan juga dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar Rp.
2.269.000 dibandingkan petani yang tidak menerapkan PTT.
Pendapatan bersih, R/C dan B/C diperoleh masing-masing Rp.
13.260.000/ha dengan R/C 2,68 dan B/C 1,68 untuk petani yang menerapkan
pendekatan metode PTT dan Rp. 11.050.000/ha dengan R/C 2,10 dan B/C 1, 10
untuk petani dengan usahatani non PTT. Perbedaan pendapatan ini diantaranya
dipengaruhi oleh penggunaan input produksi terutama penggunaan benih dan
pupuk. Rata-rata efisiensi penggunaan benih mencapai 15% (dari 30 kg menjadi
20 kg), sedangkan untuk penggunaan pupuk terutama pupuk Ponska dari 500 kg
menjadi 400 kg.
1017
Tabel 1. Hasil analisis usahatani uji coba/demonstrasi komponen PTT Tanaman
Jagung di Desa Pongka, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
Uraian
BiayaProduksi
- Benih
- Pupuk an organik :
1. Urea
2. NPK Ponska
- Pupukorganik
- Obat-obatan
TenagaKerja
- Penanaman
- Pemupukandanpenyiangan
- Panen
- Penjemurantongkol
- Pengangkutan
- Perontokan
Total Biaya
Hasil (kg/ha)
Pendapatanbersih
R/C
B/C
Volume
20 kg
HargaSatuan
(Rp. 000)
Nilai
(Rp. 000)
40
800
200 kg
400 kg
1000 kg
1 paket
1,8
2,2
1,0
285,5
360
880
1.000
285,5
10 HOK
10 HOK
10 HOK
10 HOK
20 HOK
5 HOK
25
25
25
25
25
25
7.800 kg
1,7
250
250
250
250
500
125
4.950
13.260
8.309
2,68
1,68,
Tabel 2. Hasil Analisis UsahaTani TanamanJagung Non PTT di Desa Pongka,
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
Uraian
BiayaProduksi
- Benih
- Pupuk an organik :
1. Urea
2. NPK Ponska
- Pupukorganik
- Obat-obatan
TenagaKerja
- Penanaman
- Pemupukandanpenyiangan
- Panen
- Penjemurantongkol
- Pengangkutan
- Perontokan
Total Biaya
Hasil (kg/ha)
Pendapatanbersih
R/C
B/C
1018
Volume
HargaSatuan
(Rp. 000)
Nilai (Rp.
000)
30 kg
40
1.200
200 kg
500 kg
750 kg
1 paket
1,8
2,2
1,0
245
360
1.100
750
245
10 HOK
10 HOK
25
25
250
250
10 HOK
10 HOK
20 HOK
5 HOK
25
25
25
25
6.500 kg
1,7
250
250
500
125
5.280
11.050
5.770
2,10
1,10,
Tanggapan/Respon Petani Terhadap Model PTT
Tanggapan/respon petani diperoleh melalui kuesioner, wawancara pada
saat pertemuan lapang, dan temu lapang.yang berisikan perihal tentang kegiatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung. Penerapan suatu teknologi
membutuhkan partisipatif kelompok yang menjadi sasaran, karena indikator
keberhasilan penerapan teknologi adalah respon yang ditujukan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Hal tersebut akan menunjukkan tingkat manfaat
yang dirasakan dan akan diuraikan sebagai berikut:
Aspek Teknis
Secara teknis pendekatan PTT Jagungmudah dilakukan petani karena
penerapan tidak membutuhkan keahlian khusus dan teknik pelaksanaannya
hanya memberi pemahaman kepada petanidalam menghitung jumlah kebutuhan
berdasarkan kebutuhan riil sesuai luasan yang dimiliki petani dan cara pemberian
yang tepat sehingga pupuk terserap oleh tanaman dan tidak banyak menguap
khususnya pupuk urea.
Aspek Ekonomi
Manfaat secara ekonomi yang dapat diperoleh oleh petani kooperator
khususnya pada penerapan teknologi dengan pendekatan PTT Jagung adalah
meningkatkan pendapatanpetanijagung sebesar 9,1 % dengan persentase
peningkatan keuntungan sebesar 18,0 % dengan R/C ratio 2,68 danB/C 1,68.
Aspek Sosial Budaya
Kelompok Tani/petani Ajang Kalung di Desa Pongka Kecamatan Tellu
SiattingEtermasukpetani yang kooperatif, sehingga dalam melakukan penerapan
teknologi di lapangankuranglebih90% petani dapat memahami, walaupun sosial
budaya masyarakat masihbersifat khas untuk masing-masing kelompok
masyarakat, pedesaan atau wilayah. Sosial budaya masyarakat dimanifestasikan
dalam tata kerja usaha tani. Pemupukan dengan cara tugal belum sepenuhnya
diterima petani, karena masih banyak petani yang memupuk dengan cara
menyebar diatas permukaan tanah, sehingga sebagian besar pupuk yang
diberikan menguap dan tidak bisa diserap oleh tanaman. Melalui pendekatan
PTTpadatanaman jagung dapatdibuktikandenganadanyapeningkatan hasil,
sehinggadiharapkan dapat merubah pola pikir petani dan mengadopsi serta
menyebar luaskan ke petani/kelompok tani lainnya.
Berdasarkan hasil analisis dari beberapa aspek diatas, untuk mengetahui
respon petani terhadap komponen teknologi melaluipendekatan PTT pada
tanamanjagungdapat dilihat pada Tabel 3.Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
respon petani cukup baik, dimanadari ke 5 komponen yang mendapat tanggapan
positif dengan nilai persentase terbesar (rata-rata 89 %)berturut-turut adalah
pada penggunaan pupuk organik, varietasunggul, perlakuan benih, jarak tanam,
dan dosis pemupukan dengan penggunaan BWD, sementara satu komponen
petani menolak (40 %) yakni cara pemberian pupuk dengan ditugal kemudian
ditutup dengan tanah. Hal ini disebabkan karena petani jagung di Desa Pongka
memupuk jagung dengan cara menghamparkan diatas tanah dekat tanaman
jagung tanpa menutup tanah, sehingga petani merasa agak sulit melakukannya
karena butuh tenaga dan waktu yang lama.
1019
Tabel 3. Tanggapan dan alasan petani terhadap komponen Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) Jagung di Desa Pongka, Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan
No.
Komponen
teknologi
1
Varietas
Hibrida Bima 3
2
3
Perlakuan
benih
Jarak tanam/
Jumlah benih
Tanggapan
Persentase
(%)
Alasan
- Tertarik
90
- Ragu-ragu
- Tertarik
10
90
- Menolak
- Tertarik
9
95
- Daya tumbuh benih cukupt inggi
(95%)
- Potensi hasilnya tinggi
- Sesuai dengan kondisi wilayah,
- Kesulitan memperoleh benih
Sulit diperoleh benihnya
Serangan Hama dan Penyakit
berkurang
Obat-obatan mahal
- Tanaman teratur
- Populasi tanaman bertambah
4
Pupuk An
Organik
Dosis
Cara
5
Pupuk Organik
Pemupukan
BWD
- Menolak
5
- Membutuhkan
lama
- Tertarik
90
-
- Ragu-ragu
- Tertarik
- Menolak
10
60
40
- Tertarik
100
- Tertarik
70
Mudah dilakukan
- Ragu-ragu
30
Tidak punya BWD
waktu
yang
Pertumbuhan tanaman cukup
bagus
- Efisiensi penggunaan pupuk
khususnya N
Harga pupuk mahal (P dan K)
Pupuk tidak menguap
Merepotkan, butuh waktu dan
tenaga
Pertumbuhan tanaman bagus dan
seragam
Penerapan Komponen PTT
Awalnya petani sebagai pelaku usahatani utama pada lokasi kegiatan
tidak semua bersedia mengaplikasikan model PTT pada lahan usahataninya. Hal
ini disebabkan karena lingkungan fisik dan kondisi sosial ekonomi petani pada
lokasi tersebut serta tingkat kepercayaan petani terhadap teknologi baru belum
menyesuaikan. Tingkat kepercayaan petani terhadap berhasil atau tidaknya
teknologi baru memegang peranan cukup besar dalam penerapan Model PTT
pada tanaman jagung.
Secara umum model PTT pada tanaman jagung dapat diterapkan oleh
petanidi lokasi kegiatan, baik petani kooperato rmaupun petani non kooperator,
walaupun belum sepenuhnya.
Hal ini disebabkan karena petani dapat
1020
merasakan hasil yang dicapai dengan model PTT yang dilakukan apabila sesuai
dengan kondisi wilayah dan sesuai dengan anjuran petugas.
Penerapan model PTT sangat dipengaruhi oleh sifat inovasi dan sifat
adopter dari petani, serta prilaku petugas lapang untuk menerima teknologi baru.
Penyebaran inovasi teknologi yang lambat di tingkat petani biasanya diduga
karena belum adanya metode yang tepat untuk mengakselerasi inovasi
teknologi.
Untuk mengadopsi suatu teknologi diperlukan upaya akselerasi melalui
metode diseminasi yang tepat dan sesuai dengan inovasi teknologi yang akan
dikembangkan agar produktivitas meningkat. Selain itu diperlukan implementasi
inovasi yang memberikan hasil yang nyata sebagai bukti di lapangan serta
kelembagaan yang mendukung terwujudnya sistem dan usaha agribisnis untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Salah satu metode percepatan
adopsi dan inovasi teknologi tersebut yaitu dengan melakukan Demonstrasi Plot
atauDemplot di tingkatpetani.
KESIMPULAN
1.
2.
Biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kooperator yaitu Rp. 4.950.500
sedangkan petani non kooperator Rp. 5.280.000, berarti efisiensi dapat
dicapai sebesar 3,2 %, persentase peningkatan pendapatan sebesar 9,1 %,
serta persentase keuntungan sebesar 18,0%, dengannilai R/C ratio masingmasing 2,7 dan 2,1.
Respon petani terhadap teknologi yang di demonstrasikan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain (1) sosial ekonomi; (2) tingkat pengetahuan dan
wawasan;serta(3) kemampuan teknis dalam hal ini keterampilan yang
dimiliki petani
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung. Departemen Pertanian.
Jakarta.
BPS Kabupaten Bone. 2008. Kabupaten Bone Dalam Angka. Kerjasama BPS
dengan Bappeda dan Statistik Kabupaten Bone.
Ditjen Tanaman Pangan. 2006. Program Peningkatan Produksi Jagung Nasional.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Ekspose Inovasi
Teknologi. Makassar-pangkep, 15 – 16 September 2006.
Las, I. 2002. Pengembangan Intensifikasi Padi Sawah Irigasi Berdasarkan PTT.
Makalah Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Usahatani
Terpadu Berwawasan Agribisnis Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya
Pertanian Jawa Barat. Lembang 16 April 2002. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Barat.
1021
Makarim, A.K., D. Pasaribu, Z. Zaini, dan I. Las. 2003. Analisis dan Sintesis Hasil
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Trpadu (PTT) dalam Program
P3T. IAARD Dept of Agriculture.
Suryana, A., Suyatmo, Zubachtirodin, Pabbage, S. Saenong. 2008. Pengelolaan
Tanaman Terpadu Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Widyarti. 2009. Penggunaan Pupuk Organik Untuk Meningkatkan Produksi
Tanaman Jagung Manis. Penerbit Kanisius, Jogjakarta.
1022
PENGARUH KONDISI SIMPAN DAN PERLAKUAN PRIMING TERHADAP
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH JAGUNG
Patta Sija dan Aisyah Ahmad
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jln. Kopi No. 270 Kec. Tilong Kabila Kab. Bone Bolango Gorontalo
Email: pattasija@ymail.com
ABSTRAK
Penyimpanan jagung yang tepat merupakan bagian integral dalam menjamin pasokan
pangan domestik dan mempertahankan kualitas, viabilitas, dan vigor benih. Perlakuan
invigorasi benih seed priming dilakukan untuk meningkatkan performa benih selama
perkecambahan dan pertumbuhan awal benih. Viabilitas benih jagung (tergolong benih
ortodoks) dipengaruhi oleh kondisi simpan, yang meliputi suhu, kelembaban (RH),
periode simpan, bahan kemasan, dan kadar air benih. Perlakuan priming sangat
bervariasi dalam mempengaruhi vigor dan viabilitas benih jagung serta beberapa
karakteristik perkecambahan bergantung pada beberapa faktor yaitu larutan priming,
potensi air dari agen priming, durasi priming, suhu, vigor benih dan dehidrasi, serta
kondisi penyimpanan benih yang telah diberi perlakuan priming. Makalah ini merupakan
suatu tinjauan (review) hasil-hasil penelitian tentang pengaruh kondisi simpan dan
perlakuan priming terhadap viabilitas dan vigor benih jagung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi penyimpanan pada suhu 20°C+45-50%RH aman untuk
penyimpanan benih jagung selama satu tahun dengan kadar air kesetimbangan benih
masih berada di bawah 11,5% dan viabilitas serta vigor benih masih tinggi. Daya
berkecambah benih jagung tetap tinggi selama 15 bulan penyimpanan dalam plastik
bening (clear polythene) dengan kadar air 8% lingkungan penyimpanan dengan suhu
rata-rata 23,3/15,3°C (siang/malam) dan kelembaban relatif 77%. Penyimpanan benih
jagung selama 12 bulan dalam wadah kontainer 1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih
menghasilkan nilai tertinggi pada daya berkecambah, laju perkecambahan dan indeks
vigor benih jagung. Priming benih jagung menggunakan polietilen glikol atau garam
kalium (K2HPO4 atau KNO3) mempercepat perkecambahan dalam germinator dingin
(10°C).Presowingseed treatment dengan IAA pada 10 ppm meningkatkan panjang akar,
laju perkecambahan, dan vigor benih. Priming dengan air selama 36 jam lebih baik untuk
vigor tinggi dan mempercepat perkecambahan. Benih yang direndam dalam GA3 20 ppm
selama 30 menit meningkatkan beberapa sifat perkecambahan, tetapi tidak
mempengaruhi hasil biji.
Kata kunci : Kondisi simpan, priming, viabilitas, vigor, benih jagung
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) merupakan sumber energi dan protein yang
penting dalam diet manusia di seluruh dunia. Penyimpanan tanaman jagung
yang tepat memainkan bagian yang integral dalam menjamin pasokan pangan
domestik dan juga mempertahankan kualitas dan vigor benih. Faktor-faktor
penting yang berpengaruh dalam penyimpanan adalah suhu, kelembaban,
Karbon Dioksida (CO2), Oksigen (O2), karakteristik benih, mikroorganisme,
serangga, tikus, burung, lokasi geografis dan kondisi ruang simpan (Govender et
al., 2008). Dalam kondisi kering, benih jagung dapat disimpan untuk waktu yang
1023
lama asalkan tidak ada investasi serangga atau aktivitas mikroba. Dalam kondisi
penyimpanan yang lembab, benih akan cepat mengalami deteriorasi yang
dipercepat pada suhu yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan kerugian
kuantitatif dan kualitatif. Kerugian kualitatif antara lain perubahan penampilan
benih dan hilangnya daya berkecambah (loss of germination) (Rehman, 2006).
Di
negara-negara
subtropis,
teknologi
yang
meningkatkan
perkecambahan benih akan memungkinkan tanaman induk menangkap lebih
banyak kelembaban tanah, nutrisi, radiasi matahari, dan membantu mencapai
sinkronisasi tahap reproduksi yang tinggi dari setiap induk dan matang sebelum
terjadinya stress dingin di musim gugur (Subedi dan Ma, 2005). Oleh karena itu,
perlakuan invigorasi benih telah dikembangkan untuk meningkatkan performa
benih selama perkecambahan dan pertumbuhan awal benih, salah satunya
adalah seed priming (Dezfuli et al., 2008).
Heydecker et al. dalam Subedi dan Ma (2005) mendefinisikan seed
priming sebagai perlakuan pra-semai (pre-sowing treatment) dalam larutan
osmotik yang memungkinkan benih menyerap air untuk melanjutkan ke tahap
pertama perkecambahan tetapi mencegah tonjolan radikula melalui kulit benih.
Sedangkan Taylor et al. dalam Subedi dan Ma (2005) menggunakan istilah yang
lebih luas, “seed enhancement”, meliputi presoaking hydration (priming), coating
technologies, dan seed conditioning. Oleh karena itu, seed priming dapat dicapai
melalui berbagai metode, seperti hydro priming (perendaman di dalam air), osmo
priming (perendaman dalam larutan osmotik seperti polietilen glikol, garam
kalium, misalnya, KCl, K2SO4), solid matrix priming, dan menggunakan pengatur
pertumbuhan tanaman (plant growth regulators/PGRs) (Chiu et al., 2002).
Tujuan umum seed priming adalah untuk hidrat sebagian benih ke titik
proses perkecambahan dimulai, tetapi belum sempurna. Kebanyakan perlakuan
priming melibatkan penyerapan benih dalam jumlah air terbatas, memungkinkan
hidrasi yang cukup dan mempercepat proses metabolisme, tetapi mencegah
penonjolan radikula. Perlakuan benih biasanya menunjukkan perkecambahan
cepat ketika menyerap air pada kondisi lapangan (Ashraf dan Foolad, 2005).
Pengaruh Kondisi Simpan terhadap Viabilitas Benih Jagung
Kondisi ruang simpan mempengaruhi viabilitas benih yang disimpan,
terutama suhu dan kelembaban (RH) ruang simpan merupakan faktor utama
yang harus diperhatikan dalam mempertahankan daya simpan benih. Cara
penyimpanan dalam kamar dingin, penyimpanan dalam ruang simpan yang
dihumidifikasi, atau penyimpanan dalam wadah kedap uap air atau wadah yang
resisten terhadap kelembaban dapat mempertahankan daya berkecambah dan
vigor benih.
Hasil penelitian Joao Abba dan Lovato (1999), menggunakan dua sub lot
benih jagung masing-masing tanpa perlakuan dan perlakuan dengan fungisida
(carbendazim + maneb) yang disimpan pada suhu 20°C+ 5-50% RH, 25°C+ 6570% RH dan 30°C+90-95% RH selama 420 hari. Uji kelembaban (moisture test)
, uji standar perkecambahan (standard germination/SG), uji dingin (cold test/CT)
dan uji pengusangan cepat (accelerated ageing test/AA) dilakukan pada nol hari
penyimpanan dan setiap 42 hari. Indeks vigor benih diukur sebagai panjang
tanaman sedang (medium plant length/MPL), juga ditetapkan untuk semua tes.
1024
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kondisi penyimpanan
pada suhu 30°C+90-95%RH terbukti mematikan viabilitas benih jagung setelah
42 hari penyimpanan di mana kadar air kesetimbangan benih naik dari 10,5%
hingga 17%. Kondisi penyimpanan pada suhu 20°C+45-50%RH terbukti aman
untuk setidaknya satu tahun penyimpanan, di mana kadar air kesetimbangan
benih masih berada di bawah 11,5% dan viabilitas serta vigor hampir tidak
terpengaruh seperti yang ditunjukkan oleh SG dan CT. Sebaliknya, kondisi
penyimpanan pada suhu 25°C+65-70%RH terbukti kurang menguntungkan (less
favourable). Kadar air keseimbangan benih sekitar 12% untuk benih yang diberi
perlakuan dan 13,5% untuk benih tanpa perlakuan, dan vigor benih di CT mulai
berkurang masing-masing setelah empat dan tiga bulan. Penurunan viabilitas
benih selama periode penyimpanan yang ditunjukkan oleh standar
perkecambahan (SG) adalah lebih rendah dari yang ditunjukkan oleh dua tes
vigor (CT dan AA). Uji pengusangan cepat (AA) adalah metode yang lebih parah
dari uji dingin (CT), tapi lebih mampu membedakan perbedaan-perbedaan
dalam vigor benih. MPL juga merupakan indeks vigor yang menarik, mampu
membedakan dengan jelas beragam derajat kemunduran pada benih dari
lingkungan yang berbeda dan waktu penyimpanan. Perlakuan fungisida
menurunkan kadar air keseimbangan benih dalam kedua kondisi penyimpanan
yang dipelajari dan meningkatkan perkecambahan vigor. Di wilayah yang
ditandai dengan periode suhu udara dan kelembaban relatif lebih tinggi masingmasing 25°C dan 65-70%, seperti di daerah tropis lembab, penyimpanan lebih
dari 3-4 bulan dapat membahayakan vigor dan viabilitas benih jagung kecuali
benih dikemas dalam bahan yang cukup tahan air.
Penggunaan jenis kemasan merupakan faktor lingkungan simpan yang
juga mempengaruhi viabilitas benih. Hasil penelitian Mettananda et al. (2001)
mengenai pengaruh bahan kemasan dan lingkungan penyimpanan terhadap
viabilitas benih disajikan dalam Gambar 1 sampai 4. Mettananda et al. (2001)
mengemukakan bahwa daya simpan benih jagung sangat tergantung pada
bahan kemasan dan lingkungan penyimpanan. Daya simpan terendah dicatat
dari benih yang disimpan dalam karung polipropilen (polypropylene sacks/polysacks) dengan kelembaban 12% sedangkan daya simpan tertinggi pada biji
dikemas dalam plastik bening (clear polythene) dengan kadar air 8%. Ini nyata
di semua lingkungan kecuali di ruang dingin (18-20°C & 55-60% RH) dimana
bahan kemasan tidak memiliki pengaruh dan perkecambahan benih tetap tinggi
bahkan hingga 15 bulan penyimpanan (Gambar 1 sampai 4).
1025
Gambar 1. Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang
disimpan di ruang dingin (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture).
Gambar 2. Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang
disimpan di Rahangala (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture).
Daya simpan terbaik kedua dicatat dari benih yang disimpan di Rahangala
di mana rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban relatif adalah masing-masing
23,3/15,3°C (siang/malam) dan 77% selama periode penyimpanan (Tabel 1).
Namun, viabilitas benih yang dikemas dalam poly-sacks dengan kelembaban
12% turun di bawah 80% selama 6 bulan meskipun disimpan di Rahangala
(Gambar 2).
1026
Gambar 3. Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang
disimpan di Kundasale (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture)
Gambar 4.
Pengaruh bahan kemasan terhadap daya simpan benih jagung yang
disimpan di Peradeniya (PS - Poly-sack, WP –White polythene, CP Clear polythene, M – Moisture
Lingkungan di Peradeniya adalah yang terburuk untuk penyimpanan
benih (Gambar 4). Benih yang dikemas dalam poly-sacks gagal selama 6 bulan
dan dalam white dan clear polythene dengan kelembaban 12% selama 8-10
bulan di lingkungan ini. Namun, benih yang dikemas dalam clearpolythene
dengan kelembaban hanya 8% air cukup terkendali untuk tetap viable sampai 13
bulan meskipun disimpan di Peradeniya (Gambar 1 sampai 4).
Tabel 1. Data rata-rata temperatur dan RH pada semua lingkungan selama
periode penelitian
Sumber: Mettananda et al. 2001
1027
Perkecambahan di lapang (field germination) selalu lebih rendah
dibandingkan dengan standar perkecambahan di laboratorium (standard
laboratory germination). Perbedaan bervariasi antara 4 – 28 % antara perlakuan
berbeda (Tabel 2). Selisih tertinggi pada benih dikemas dalam poly-sacks di
lokasi Peradeniya sedangkan di ruang dingin perbedaannya minimal. Mettananda
et al. (2001), mengamati bahwa penyimpanan selama beberapa bulan pertama
tidak banyak perbedaan tetapi telah mencapai maksimum sekitar 10 bulan
setelah penyimpanan dan kembali menurun sampai periode 15 bulan (Tabel 2).
Tabel 2. Perbedaan antara persentase standar germination dan field germination
pada perlakuan yang berbeda di 5, 10, dan 15 bulan setelah memulai
percobaan
Sumber: Daniel at al., 2009
Keterangan : M = month, WP = Whitepolythene, CP = Clear polythene
Hasil penelitian Daniel et al. (2009) menunjukkan bahwa pada percobaan
tahun 2005, pengaruh perlakuan penyimpanan dalam kontainer berbeda nyata
terhadap perkecambahan, laju perkecambahan (P<0,01) dan indeks vigor
kecambah (P<0,05), namun tidak signifikan pada panjang kecambah dan laju
pertumbuhan kecambah (P>0,05) (Tabel 3).
Tabel 3.
Pengaruh perlakuan penyimpanan kering dalam kontainer terhadap
perkecambahan benih dan karakteristik vigor kecambah, 2005
Sumber: Daniel et al., 2009
1028
Tren serupa diamati pada percobaan tahun 2006, bahwa hanya terdapat
perbedaan signifikan pada laju pertumbuhan kecambah dari
benih yang
disimpan dalam kontainer dengan lebih banyak silika gel, lot benih terbuka dan
lot benih yang disimpan dalam kontainer tanpa silika gel (Tabel 4).
Tabel 4.
Pengaruh perlakuan penyimpanan kering dalam kontainer terhadap
perkecambahan benih dan karakteristik vigor kecambah (2006)
Sumber: Achigan et al., 2004
Achigan et al. (2004) juga melaporkan pengaruh perlakuan pengeringan
tidak signifikan terhadap panjang kecambah dan berat kering. Namun, diamati
bahwa perkecambahan benih, laju perkecambahan benih dan indeks vigor
kecambah lot benih yang disimpan pada 1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih adalah
yang tertinggi dalam dua percobaan (Tabel 3 dan 4). Pada percobaan tahun
2005, laju perkecambahan benih dan indeks vigor kecambah meningkat dengan
meningkatnya gel/rasio benih. Perkecambahan dan semua karakteristik vigor
tidak berbeda nyata antara benih yang disimpan secara terbuka dan benih yang
disimpan dalam kontainer pada 1:20 dan 0 gel/rasio benih. Pada percobaaan
tahun 2006, semua lot benih yang disimpan dalam kontainer dengan silika gel
mempunyai nilai variabel viabilitas dan vigor secara signifikan jauh lebih tinggi
dari pada lot benih kontrol, tetapi lot benih yang disimpan dalam container
pada1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih secara konsisten memiliki nilai vigor tertinggi.
Pengaruh Perlakuan Priming terhadap Viabilitas Benih Jagung
Beberapa studi tentang efek seed priming pada tingkat perkecambahan
dan pertumbuhan jagung telah dilakukan. Basra et al. dalam Subedi dan Ma
(2005) menemukan bahwa priming benih jagung menggunakan polietilen glikol
atau garam kalium (K2HPO4 atau KNO3) mengakibatkan perkecambahan
dipercepat di germinator dingin (10°C) dan juga dilaporkan bahwa peningkatan
yang nyata dalam perkecambahan ketika benih jagung diberi pra-perlakuan
dengan phthalimide diganti, GA3, dan asam absisi (ABA) telah berkecambah di
bawah rezim temperatur sub dan supraoptimal. Di lapangan tempat jagung
ditumbuhkan, Kulkarni dan Eshanna dalam Subedi dan Ma (2005) menemukan
bahwa presowing seed treatment dengan IAA pada 10 ppm meningkatkan
1029
panjang akar, laju perkecambahan, dan vigor benih, khususnya untuk benih dari
lot benih berkualitas rendah. Hartz dan Caprile dalam Subedi dan Ma (2005)
menggunakan solid matrix priming pada jagung manis dan menemukan bahwa
terdapat peningkatan panjang akar, laju perkecambahan, dan vigor benih dalam
kondisi stress dingin, tapi hasilnya tidak konsisten dalam kondisi lapangan.
Demikian pula, Chiu et al. (2002) mengamati percepatan perkecambahan pada
jagung manis saat priming menggunakan polietilen glikol.
Namun demikian, beberapa laporan menunjukkan bahwa tidak ada atau
terbatas manfaat dari seed priming. Sebagai contoh, Giri dan Schillinger dalam
Subedi dan Ma (2005) mencatat bahwa tidak ada media seed priming yang
digunakan (misalnya, air, KCl, dan polietilen glikol) meningkatkan pemunculan
hasil biji gandum dan hasil berikutnya yang ditanam sepanjang musim dingin.
Demikian pula, Murungu et al. (2004) dalam lingkungan semi kering di Zimbabwe
menemukan sedikit atau tidak ada pengaruh seed priming pada jagung.
Parera dan Cant-liffedalam Subedi dan Ma (2005) menyatakan bahwa
keberhasilan seed priming dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks dari
beberapa faktor termasuk jenis tanaman, potensi air dari agen priming, durasi
priming, suhu, vigor benih dan dehidrasi, dan kondisi penyimpanan benih yang
telah diberi perlakuan priming.
Hasil penelitian Chiu et al. (2002) menunjukkan, perlakuan priming nyata
terhadap vigor perkecambahan kedua galur inbrida (cv.MO17 dan cv.B73).
Respon kedua genotipe untuk teknik priming yang berbeda, kurang lebih sama.
Perkecambahan awal dicatat untuk benih yang diberi perlakuan hydropriming
ditunjukkan oleh nilai T50 dan MGT (Mean Germination Time) lebih rendah atau
nilai GI (Germination Index) lebih tinggi (Tabel 5 dan 6). Benih yang diberi
perlakuan hydropriming selama 36 jam memiliki nilai terendah (T50 dan MGT),
diikuti oleh 24 jam dan 48 jam perlakuan benih, sedangkan laju perkecambahan
terendah yang ditunjukkan oleh nilai T50 dan MGT lebih tinggi dan diamati pada
benih yang diberi perlakuan osmopriming dengan larutan PEG-6000.
Tabel 5. Pengaruh perlakuan priming pada vigor perkecambahan galur jagung
inbrida MO17
Sumber: chiu et al., 2002
1030
Tabel 6. Pengaruh perlakuan priming pada vigor perkecambahan galur jagung
inbrida B73
Panjang radikula maksimum cv. MO 17 juga dicatat untuk benih yang
diberi perlakuan hydropriming selama 36 jamnamun untuk cv. B73 radikula
terpanjang diperoleh dari benih yang diberiperlakuan hydroprimingselama 24 jam
diikuti oleh perlakuan 36 jam (Tabel 5 dan 6). Pengaruh seed priming
signifikan (P <0,05) diamati pada persentase perkecambahan akhir (final
germination) di kedua genotipe. Maksimum perkecambahan akhir terlihat pada
benih yang diberi perlakuan hydropriming selama 36 jam, yang secara statistik
sama dengan benih cv. MO17 yang di-hydropriming selama 48 jam dan benih cv.
B73 yang di-hyropriming selama 24 jam (Tabel 5 dan 6). Panjang maksimum
koleoptil yang dicatat pada benih yang diberi perlakuan osmopriming dalam
larutan urea selama 96 jam yang diikuti dengan benih yang diberi perlakuan
hydropriming selama 36 jam.Perlakuan priming berpengaruh terhadap berat
kering benih hanya pada cv. MO17. Namun benih yang lebih berat dicapai oleh
hydropriming masing-masing selama 48, 36 dan 12 jam, sedangkan berat kering
minimum dicatat untuk benih yang diberi perlakuan osmopriming.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik priming yang berbeda dapat
memiliki berbagai efek terhadap perkecambahan benih jagung, dan bagi
sebagian besar parameter perkecambahan yang dievaluasi, hydropriming lebih
efektif daripada perlakuan osmopriming (PEG dan urea). Secara umum, performa
benih yang direndam PEG kurang untuk sebagian besar parameter, mungkin
karena potensial osmotik rendah atau periode priming yang panjang
Keunggulan
hydropriming
terhadap
perkecambahan
mungkin
menunjukkan bahwa penerapan perlakuan hydropriming tidak merusak struktur
benih atau aktivitas metabolisme, di sisi lain penerapan potensial osmotik untuk
perlakuan osmopriming lebih rendah dari potensial kritis yang dibutuhkan dalam
rangka untuk menyelesaikan tahap perkecambahan pertama dan kedua tanpa
penonjolan radikula. Oleh karena itu dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
priming dengan air selama 36 jam lebih baik daripada menguji media priming
lain untuk vigor tinggi dan perkecambahan benih yang cepat.
1031
Hasil penelitian Subedi dan Ma (2005) menunjukkan bahwa perlakuan
perendaman benih (seed soaking treatment) tidak berpengaruh terhadap waktu
untuk munculnya koleoptil, jumlah antar nodul yang tampak dan daun, serta
berat kering daun pada fase 7 daun. Namun, ada efek yang signifikan pada
beberapa parameter lainnya (Tabel 7).
Tabel 7.
Pengaruh seed priming dengan air ledeng, larutan osmo, dan berbagai
pengatur pertumbuhan pada parameter yang berbeda diukur dalam
rumah kaca-rata-rata jagung yang ditanam lebih dari dua hibrida.
Sumber: Subedi dan ma, 2005
Perbedaan ditunjukkan dalam perlakuan benih terutama di antara
beberapa perlakuan perendaman, tapi tidak konsisten berbeda dengan perlakuan
kontrol tanpa perendaman. Perendaman benih (seed soaking) dengan GA3 20
ppm selama 16 jam secara signifikan mengurangi panjang radikula dan koleoptil,
klorofil daun, berat kering batang, dan berat kering seluruh tanaman di fase 7
daun. Sebaliknya, kasus ketika durasi perendaman hanya selama 30 menit, ada
beberapa parameter secara signifikan lebih besar dari atau sama dengan
kebanyakan perlakuan lainnya (Tabel 7). Seed soaking dengan 2,5% KCl juga
secara signifikan mengurangi panjang radikula dan koleoptil, tinggi benih yang
muncul, dan panjang batang di fase 7 daun dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Di sisi lain, seed soaking dengan sitokinin dan IAA selama 16 jam
meningkatkan tinggi tanaman dan panjang batang dibandingkan dengan
perendaman dengan air. Secara umum, performa perendaman air adalah rendah
1032
untuk sebagian besar parameter. Hal ini terbukti dari pot percobaan bahwa
meskipun ada perbedaan perlakuan secara signifikan,tetapi tidak ada perlakuan
yang dihasilkan berpengaruh lebih besar secara berkelanjutan dalam hal vigor
benih dan pertumbuhan dibandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa
perendaman (Tabel 7).
Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa benih jagung yang direndam
dengan KCl 2,5% selama 16 jam mengurangi panjang radikula dan koleoptil,
sedangkan yang direndam dalam GA3 20 ppm selama 30 menit meningkatkan
beberapa sifat perkecambahan, tetapi tidak dapat mempengaruhi hasil biji.
KESIMPULAN
Kondisi penyimpanan pada suhu 20°C+45-50%RH aman untuk
penyimpanan benih jagung selama satu tahun dengan kadar air kesetimbangan
benih masih berada di bawah 11,5% dan viabilitas serta vigor benih masih tinggi.
Daya berkecambah benih jagung tetap tinggi selama 15 bulan penyimpanan
dalam plastik bening (clear polythene) dengan kadar air 8%lingkungan
penyimpanan dengan suhu rata-rata 23,3/15,3°C (siang/malam) dan
kelembaban relatif 77%. Penyimpanan benih jagung selama 12 bulan dalam
wadah kontainer 1:1 dan 1:2,5 gel/rasio benih menghasilkan nilai tertinggi pada
daya berkecambah, laju perkecambahan dan indeks vigor benih jagung. Priming
benih jagung menggunakan polietilen glikol atau garam kalium (K2HPO4 atau
KNO3)
mempercepat
perkecambahan
dalam
germinator
dingin
(10°C).Presowingseed treatment dengan IAA pada 10 ppm meningkatkan
panjang akar, laju perkecambahan, dan vigor benih. Priming dengan air selama
36 jam lebih baik untuk vigor tinggi dan mempercepat perkecambahan. Benih
yang direndam dalam GA3 20 ppm selama 30 menit meningkatkan beberapa
sifat perkecambahan, tetapi tidak dapat mempengaruhi hasil biji.
DAFTAR PUSTAKA
Achigan, D.E., Dullo, E.M., Sognon ,V., and Engelmann F. 2004. Investigating the
Effects of Low Input Drying Procedures on Maize (Zea mays L.),
Cowpea
(Vigna
unguiculata L.) and Bambara Groundnut
(Vignasubterranea (L.) Verdc.) Seed Quality in Benin. Plant Gen.
Res.Newsletl. 140: 1-8.
Ashraf M., and M.R. Foolad. 2005. Pre-sowing Seed Treatment-A Shotgun
Approach to Improve Germination Growth and Crop Yield Under Saline
and None-Saline Conditions. Advan.Agron. 88: 223-271.
Chiu, K.Y., C.L. Chen, and J.M. Sung. 2002. Effect of Priming Temperature on
Storability of Primed Sh-2 Sweet Corn Seed. Crop Science 42: 1996–
2003.
Daniel, I.O., Oyekale, K.O., Ajala, M.O., Sanni, L.O., and Okelana, M.O. 2009.
Physiological Quality of Hybrid Maize Seeds During Containerized-Dry
1033
Storage With Silica Gel.African Journal of Biotechnology Vol. 8 (2), pp.
181-186.
Dezfuli, P.M., Zadeh, F.S., and M. Janmohammadi, M. 2008. Influence of Priming
Techniques on Seed Germination Behavior of Maize Inbred Lines (Zea
mays L.). ARPN Journal of Agricultural and Biological Science 3 (3): 2225.
Govender, V., Avelinga, T.A.S., and. Kritzingera, Q. 2008.The effect of Traditional
Storage Methods on Germination and Vigour of Maize (Zea Mays L.)
From Northern Kwazulu-Natal and Southern Mozambique. South African
Journal of Botany74:194-196.
Joao Abba, E. and A. Lovato. 1999. Effect of Seed Storage Temperature and
Relative Humidity on Maize (Zea mays L.) Seed Viability and Vigour.
Seed Sci. & Technol. 27: 101-114.
Mettananda, K.A., Weerasena S.L, and Liyanage, Y. 2001.Effect of Storage
Environment, Packing Materialand Seed Moisture Content on
Storabilityof Maize (Zea mays L.) Seeds. Annals of the Sri Lanka
Department of Agriculture 3: 131-142.
Murungu, F.S., Chiduza, C., Nyamugafata, P., Clark, L.J., Whalley,W.R., and
Finch-Savage, W.E. 2004. Effect of On-Farm Seed Priming On
Consecutive Daily Sowing Occasions on The Emergence and Growth of
Maize in a Semi-Arid Zimbabwe. Field Crops Research 89: 49–57.
Rehman, Z.U. 2006. Storage Effects on Nutritional Quality of Commonly
Consumed Cereals. Food Chemistry 95: 53-57.
Subedi K.D., and B.L. Ma. 2005. Seed Priming Does Not Improve Corn Yield in a
Humid Temperate Environment. Agronomy Journal 97: 211-218.
1034
PENGELOMPOKAN TOLERANSI KEDELAI TERHADAP KEKERINGAN
PADA STADIA PERKECAMBAHAN
Ayda Krisnawati dan M. Muchlish Adie
Jl. Raya Kendalpayak km 8, PO Box 66 Malang 65101
Email: balitkabi@litbang.deptan.go.id
ABSTRAK
Cekaman kekeringan merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan hasil pada
kedelai. Cara cepat untuk mengidentifikasi genotipe toleran kekeringan adalah
menggunakan Polyethylene glycol 6000 (PEG 6000). Penelitian dilaksanakan di
laboratorium Pemuliaan Kedelai, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian (Balitkabi) di Malang pada bulan April hingga Agustus 2010 menggunakan98
galur kedelai homosigot, beserta dua pembanding (varietas Detam-1 dan Mallika).
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan dua lingkungan. Lingkungan
pertama adalah benih dikecambahkan dengan menggunakan larutan PEG 6000 yang
setara dengan tekanan osmotik -0.6 mPA; sedangkan lingkungan kedua merupakan
lingkungan optimal dengan menggunakan air suling. Perlakuan terdiri dari 100 galur
kedelai homosigot; dengan dua ulangan. Evaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan
menggunakan indeks toleransi cekaman (ITC). Hasil penelitian menunjukkan cekaman
pemberian PEG, sebagai stimulasi kekeringan, menekan pertumbuhan hipokotil dan
panjang akar. Dengan menggunakan kriteria seleksi moderat (toleran) yang diperoleh
dengan nilai tengah ditambah dengan satu simpangan, maka didapatkan batas seleksi
ITC sebesar 0.24,dan diperoleh sebanyak 14 galur homosigot berkriteria toleran
kekeringan pada stadia kecambah.
Kata kunci: Kedelai, kekeringan, stadia perkecambahan, PEG
PENDAHULUAN
Kekeringan menyebabkan perubahan signifikan baik dalam morfologi,
fisiologi tanaman maupun biokimia tanaman. Beberapa tanaman memiliki satu
set adaptasi fisiologis yang memungkinkan mereka untuk mentolerir kondisi stres
air. Tingkat adaptasi terhadap penurunan potensial air yang disebabkan oleh
kekeringan dapat bervariasi di antara spesies (Simpan et al., 1995 dalam
Almeselmani et al. 2010).
PEG banyak digunakan untuk melakukan simulasi kekeringan sejak lama
karena senyawa ini bersifat stabil, polimer panjang, non ionic dan larut dalam air
(Lawyer 1970; Krizek1985; Santoz-Diaz dan Ochoa-Alejo 1994). Sifat senyawa
PEG yang larut dalam air ini dapat menyebabkan penurunan potensial air yang
homogen, dimana besar penurunan potensial air bergantung pada konsentrasi
dan berat MOLekul PEG. Kondis iseperti ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan
simulasi penurunan potensial air. Potensial air dalam media yang mengandung
PEG dapat digunakan untuk dapat meniru besarnya potensial air tanah (Michel
dan Kaufmann 1973). PEG Sebagai faktor penyebab kekeringan melalui
mekanisme pengurangan potensial air yang menyebabkan penurunan
pertumbuhan benih berkecambah dan menghambat pertumbuhan bibit
(Khahehet al. 2000; Zhu 2006), atau bahkan dapat menghambat perkecambahan
1035
seluruhnya (Hegarty, 1977). Selanjutnya, Dodd dan Donavon (1999) menyatakan
bahwa berkurangnya presentase perkecambahan merupakan akibat dari
perlakuan PEG yang dapat menurunkan gradient potensial air benih dengan
lingkungan/media sekitarnya. Respon yang berbeda antar genotype kedelai
terhadap cekaman osmotik PEG menunjukkan adanya variasi genetik yang dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan varietas kedelai yang toleran terhadap
cekaman kekeringan.
Dalam kegiatan pemuliaan ketahanan tanaman kedelai terhadap
kekeringan, seleksi terbaik dapat dilakukan melalui pemilihan hasil biji di lapang,
namun prosedur seperti ini membutuhkan data dari satu musim pertanaman.Hal
ini tidak selalu merupakan pendekatan yang efisien. Salah satu alternatif adalah
dengan melakukan skrining dilaboratorium atau rumah kaca menggunakan bibit
sebagai bahan uji. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa PEG 6000 dapat
menginduksi stress air dan berkorelasi positif dengan yang terjadi dilapang atau
rumah kaca (Short et al. 1987). Selanjutnya, kedelai pada cekaman 0,75 MPa
memperlihatkan korelasi antara hasil biji/tanaman dengan panjang akar
kecambah, indeks vigor, dan daya kecambah (Oemar et al. 1997). Uji toleransi
kekeringan yang dilakukan oleh Kpoghomou et al. (1990) terhadap 17 galur
kedelai pada stadia perkecambahan menunjukkan bahwa terdapat variabilitas
genetic diantara galur yang diuji. Galur kedelai yang mampu tumbuh lebih tinggi
memiliki akumulasi bahan kering dan indeks stress perkecambahan yang tinggi.
Tujuan penelitian adalah mengevaluasi toleransi galur-galur homosigot
kedelai terhadap cekaman kekeringan menggunakan larutan PEG 6000
(Polyethylene glycol 6000) pada stadia perkecambahan.
METODOLOGI
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah98 galur kedelai
homosigot, beserta dua pembanding yaitu varietas Detam-1 dan Mallika.
Penelitian dilakukan di laboratorium Pemuliaan Kedelai, Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) di Malang pada bulan April
hingga Agustus 2010.
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui tingkat cekaman
potensial osmotik dan karakter yang berperan dalam toleransi terhadap
kekeringan. Penelitian pendahuluan dirancang dengan menggunakan lima
varietas kedelai yang berindikasi peka dan tahan kekeringan. Dari hasil penelitian
pendahuluan diketahui bahwa dosis PEG yang paling efektif digunakan sebagai
larutan untuk menskrining toleransi kedelai terhadap kekeringan adalah 141.9
gram/1000 cc air suling atau setara dengan 6 bar. Peubah yang efektif sebagai
pengukur toleransi terhadap kekeringan adalah kecepatan tumbuh dan panjang
akar.
Toleransi 100 genotipe kedelai terhadap kekeringan pada stadia
perkecambahan dinilai dengan menggunakan larutan osmotikum Polyethylene
glycol 6000 (PEG 6000)dengan menggunakan rancangan acak kelompok, dengan
dua lingkungan. Lingkungan pertama adalah benih dikecambahkan dengan
menggunakan larutan PEG, sebagai simulasi kekeringan pada stadia kecambah
menggunakan larutan PEG 6000 yang setara dengan tekanan osmotik -0.6 mPA;
sedangkan lingkungan kedua merupakan lingkungan optimal dengan
1036
menggunakan air suling. Perlakuan terdiri dari 100 galur kedelai homosigot;
dengan dua ulangan.
Setiap perlakuan menggunakan 25 benih dan dikecambahkan pada kotak
plastik berukuran 10 cm x 20 cm x 10 cm yang telah diisi larutan osmotikum
sesuai taraf perlakuan. Sebelum dilakukan penelitian dilakukan uji daya tumbuh
benih untuk mengetahui potensi daya tumbuh sebelum dilakukan penelitian,
demikian juga kadar air benih diposisikan sama yakni sekitar 10% basis kering.
Penambahan air dilakukan jika terjadi pengurangan air dalam petridish akibat
terserap benih, dengan menggunakan aquades sampai batas yang telah
ditentukan.
Konsentrasi larutan PEG 6000 pada penelitian ini dibuat berdasarkan
rumus yang dikemukakan oleh Michel (1973) yaitu :
 = - (1,18 x 10 -2) C – (1,18 x 10 -4) C
C2T
Di mana :
2
+ (2,67 x 10 -4)CT – (8,39 x 10-7)
 = Potensial osmotik
C = Konsentrasi larutan (g/Kg H20)
T = Temperature (OC)
Evaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan digunakan indeks
toleransi cekaman (ITC) yang disarankan oleh Fernandez (1993) yaitu:
Indeks toleransi cekaman (ITC) =
HPxHC
;
hp 2
Dimana HP adalah tanaman pada kondisi optimal (potensial), HC adalah
tanaman pada kondisi cekaman (kekeringan), dan hp adalah rata-rata tanaman
pada kondisi optimal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkecambahan merupakan tahap kritis kehidupan tanaman, dimana
ketahanan terhadap kekeringan selama perkecambahan akan menentukan
kestabilan pertumbuhan tanaman selanjutnya. Polyethylen glycol merupakan
salah satu jenis osmotikum yang biasa digunakan untuk mensimulasi kondisi
kekeringan, karena sifatnya yang dapat menghambat penyerapan air oleh sel
atau jaringan tanaman. Selainitu, bobot MOLekulnya juga sangat besar (≥4000)
sehingga tidak bersifat toksik karena tidak bias diserap oleh jaringan tanaman
(Dami dan Hughes, 1997).Hasil pengujian pendahuluan menunjukkan bahwa
larutan PEG 6 bar diketahui optimum untuk menentukan tanggap genotype
kedelai terhadap kekeringan pada stadia perkecambahan.
Paparan data sebagaimana tertera pada Tabel 1, terlihat bahwa cekaman
pemberian PEG, sebagai stimulasi kekeringan, menekan pertumbuhan hipokotil
dan panjang akar. Panjang hipokotil pada kondisi normal adalah 5,06 cm dan
jika ditumbuhkan pada larutan PEG, panjangnya hanya 1,18 cm. Demikian juga
pada panjang akar, media PEG menekan pertumbuhan akar menjadi 0,01 cm
dibandingkan dengan jika ditumbuhkan pada kondisi normal yang memiliki
panjang akar hingga 2,70 cm pada umur 7 hari setelah dikecambahkan.
1037
Terhambatnya pertumbuhan hipokotil maupun akar dalam media PEG diduga
terjadi akibat terhambatnya pembelahan sel, pemanjangan sel, ataupun
keduanya akibat cekaman kekeringan yang disimulasikan dengan PEG. Hasil
yang serupa juga dipaparkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kosturkova et
al. (2008), yaitu adanya penurunan yang linear dan signifikan dalam
perkecambahan, panjang tunas dan akar, danberat segar dan beratkering,seiring
dengan meningkatnya konsentrasi PEG.
Tabel 1. Panjang hipokotil dan panjang akar kecambah pada umur 7 hari dan
nilai ITC. Malang, 2010
Galur
homosigot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
1038
Ln
Panjang
Hipokotil (cm)
Ls
ITC
2.16
3.28
3.04
2.33
3.94
3.66
9.34
4.85
7.72
3.00
4.25
5.54
2.26
1.90
3.30
6.14
1.64
1.30
1.60
1.40
1.48
1.75
2.20
1.98
1.30
1.80
5.25
4.12
11.92
0.67
1.08
1.22
0.67
1.34
1.04
1.58
1.00
2.24
1.60
0.30
0.30
0.87
1.14
1.00
0.70
0.90
1.20
1.30
1.30
0.74
0.50
0.20
1.00
0.50
1.66
1.40
0.90
1.96
0.32
0.20
0.20
0.31
0.17
0.20
0.09
0.16
0.09
0.16
0.22
0.17
0.27
0.21
0.21
0.14
0.28
0.06
0.12
0.05
0.34
0.41
0.41
0.25
0.47
0.04
0.14
0.19
0.07
Lo
Panjang
Akar (cm)
Ls
ITC
1.38
1.72
1.36
0.83
1.82
1.60
3.64
2.18
2.92
1.50
1.40
3.04
1.12
1.78
1.56
2.96
1.28
1.38
1.30
0.83
1.50
0.80
0.85
1.53
0.83
1.70
2.30
1.26
5.10
1.30
0.76
0.60
0.67
0.94
0.72
1.20
0.90
2.12
0.86
0.67
0.90
0.80
0.84
0.74
0.13
0.85
1.30
0.96
0.78
0.76
0.60
0.60
0.53
0.76
1.20
1.06
0.82
1.78
0.04
0.32
0.41
0.23
0.27
0.34
0.18
0.27
0.09
0.28
0.37
0.23
0.26
0.30
0.34
0.32
0.26
0.04
0.20
0.07
0.33
0.31
0.35
0.43
0.10
0.17
0.23
0.28
0.13
Lanjutan...
Galur
Homozigot
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
Ln
Panjang
Hipokotil (cm)
Ls
ITC
1.54
10.18
9.84
7.80
1.60
7.32
3.48
1.94
5.00
8.30
5.90
6.40
7.40
7.00
10.30
2.90
6.20
3.90
10.20
4.50
2.50
9.20
5.90
8.22
2.20
1.90
10.86
11.78
8.46
4.78
9.92
5.92
9.74
1.60
1.18
3.33
6.50
2.23
6.10
1.13
1.10
1.10
1.05
1.33
1.00
1.00
0.88
1.20
1.34
1.20
1.00
1.14
2.13
2.44
0.60
0.90
1.24
1.40
0.50
0.97
0.83
0.30
0.60
0.50
1.35
1.50
1.40
1.40
1.80
1.30
1.00
1.38
1.16
1.05
1.43
1.00
1.40
2.20
0.17
0.09
0.09
0.11
0.11
0.12
0.20
0.28
0.15
0.10
0.14
0.13
0.11
0.10
0.07
0.27
0.14
0.17
0.08
0.20
0.24
0.10
0.16
0.11
0.35
0.15
0.08
0.07
0.10
0.13
0.09
0.14
0.09
0.17
0.09
0.17
0.13
0.17
0.10
Lo
Panjang
Akar (cm)
Ls
ITC
0.84
4.76
3.98
4.74
1.52
3.50
3.00
0.92
1.38
3.40
2.30
2.74
3.14
2.60
4.20
2.06
1.96
2.22
4.50
2.67
1.68
4.10
2.14
4.88
1.75
1.57
5.02
5.28
4.50
2.68
4.66
3.08
4.16
1.68
5.94
3.40
2.15
2.30
4.42
0.70
1.04
0.80
0.90
1.42
1.04
0.90
0.70
0.70
0.90
1.34
1.30
1.04
1.84
2.34
0.84
0.98
1.24
1.24
0.60
0.84
0.90
0.66
1.18
0.58
1.40
1.54
1.88
1.24
1.80
1.50
0.68
1.24
1.20
1.00
1.60
0.90
1.60
2.16
0.20
0.16
0.20
0.17
0.04
0.20
0.23
0.26
0.36
0.22
0.18
0.19
0.21
0.11
0.11
0.29
0.26
0.20
0.16
0.29
0.30
0.19
0.32
0.16
0.38
0.07
0.14
0.12
0.16
0.12
0.15
0.25
0.17
0.17
0.14
0.16
0.27
0.13
0.12
1039
Lanjutan...
Galur
Homozigot
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99 (Detam1)
100 (Mallika)
Ln
3.86
5.00
9.70
7.22
1.25
1.30
9.38
7.96
4.88
8.86
5.46
2.90
7.94
8.36
8.84
4.84
2.02
3.74
1.16
7.34
4.90
1.78
5.30
7.84
3.67
5.02
2.25
4.30
1.43
2.26
9.68
7.42
Rata2
Simp.baku
Terendah
Tertinggi
5.06
3.00
1.16
11.92
Panjang
Hipokotil (cm)
Ls
ITC
1.60
0.15
2.04
0.12
3.06
0.07
1.46
0.11
1.00
0.16
0.80
0.30
1.50
0.09
1.50
0.10
1.30
0.15
1.40
0.10
0.75
0.16
1.04
0.22
1.26
0.11
1.74
0.09
1.33
0.10
0.75
0.17
1.00
0.25
1.35
0.17
1.10
0.04
1.13
0.12
1.17
0.16
1.18
0.19
1.10
0.15
1.70
0.10
1.33
0.17
2.04
0.12
1.80
0.09
1.15
0.17
0.50
0.45
0.80
0.29
1.00
0.09
1.00
0.12
1.18
0.47
0.20
3.06
0.16
0.08
0.04
0.47
Lo
2.64
3.32
5.76
4.76
2.83
2.00
3.58
3.88
3.23
3.70
2.92
2.18
4.66
4.60
4.42
2.52
2.36
3.82
1.78
4.12
2.98
3.34
2.50
2.98
2.60
1.90
1.84
1.70
1.25
1.38
3.10
2.50
Panjang
Akar (cm)
Ls
1.88
3.20
3.28
2.74
2.70
1.70
1.26
1.08
0.78
0.80
0.50
1.10
1.16
1.80
0.96
1.13
0.66
1.50
0.96
0.88
1.24
1.30
1.50
1.20
1.28
1.60
1.17
1.48
1.07
0.90
1.24
1.36
ITC
0.11
0.01
0.07
0.09
0.02
0.08
0.18
0.19
0.23
0.21
0.28
0.23
0.16
0.13
0.18
0.22
0.31
0.16
0.26
0.19
0.20
0.18
0.16
0.20
0.20
0.08
0.20
0.08
0.12
0.25
0.19
0.18
2.70
1.28
0.80
5.94
1.17
0.54
0.130
3.28
0.20
0.08
0.01
0.42
Sumber: Analisis data pengujian, 2010
Indeks toleransi cekaman merupakan tolok ukur yang dinilai efektif
menilai toleransi suatu sifat terhadap cekaman tertentu, termasuk cekaman
kekeringan. Penelitian pada enamgenotipe kedelai di Thailand menunjukkan
bahwa Stress Tolerance Index (STI/ITC) lebih tepat untuk memilih kultivar
toleran kekeringan karena STI memiliki korelasi yang sangat signifikan dengan
hasil biji (r =0,66) dan mampu membedakan genotipe yang berpenampilan baik
pada kondisi tercekam kekeringan (Tint et al. 2011).
1040
Rentang nilai ITC untuk peubah panjang hipokotil adalah 0.04 hingga
0.47, dengan rata-rata 0.16. Semakin tinggi nilai ITC menunjukkan semakin
toleran terhadap kekeringan. Dengan menggunakan kriteria seleksi moderat
(toleran) yang diperoleh dengan nilai tengah ditambah dengan satu simpangan,
maka didapatkan batas seleksi sebesar ITC sebesar 0.24. Apabila dibandingkan
dengan jika menggunakan seleksi ketat (sangat toleran) yang diperoleh dengan
nilai tengah ditambah dengan dua kali simpangan baku, maka akan diperoleh
batas seleksi sebesar ITC 0.32. Dengan batas seleksi ITC sebesar 0.24 diperoleh
sebanyak 14 galur homosigot berkriteria toleran kekeringan pada stadia
kecambah. Nilai ITC varietas pembanding Detam 1 adalah sebesar 0.09 dan nilai
ITC untuk varietas Mallika adalah sebesar 1.12, menunjukkan bahwa Mallika
berindikasi lebih toleran terhadap kekeringan dibandingkan Detam 1, namun
kedua varietas kedelai hitam tersebut, nilai ITCnya masih dibawah rata-rata nilai
ITC seluruh galur yang diuji yakni 0.16.
KESIMPULAN
1. Penggunaan polyethylene glycol 6000 sebagai larutan osmotikum
adalah efektif untuk menguji galur kedelai toleran kekeringan pada
stadia perkecambahan.
2. Batas seleksi ITC sebesar 0.24 diperoleh sebanyak 14 galur homosigot
berkriteria toleran kekeringan pada stadia kecambah.
DAFTAR PUSTAKA
Almeselmani, M., A.A. Saud, K. Al-Zubi, F. Hareri, M. Al-Nassan, M.A. Ammar, O.
Z. Kanbar, H. Al-Naseef, A. Al-Nator, A. Al-Gazawy and H.A. Al-Sael.
2012. Physiological Attributes Associated to Water Deficit Tolerance of
Syrian Durum Wheat Varieties. Experimental of Agriculture and
Horticulture. Article ID:1929-0861-2012-08. Academic Research Center
of Canada.
Dami, I. and H. Hughes. 1997. Effects of PEG-Indicated Water Stress on in Vitro
Hardening of “Valiant” Grope. Plant Cell, Tissue, and Organ Culture
47:97-101.
Dodd, G.L. and Donovan, L.A., 1999. Water Potential and Ionic Effects on
Germination and Seedling Growth of Two Cold Desert Shrubs. Am. J.
Bot., 86:1146-1153.
Hegarty, T.W., 1977. Seed Activation and Seed Germination Under Moisture
Stress. New Phytol., 78:349-359.
Khaheh, H., Bingham, M. and Powel, A., 2000. The Effects of Reduced Water
Availability and Salinity on The Early Seedling Growth of Soybean.
Proceeding of The Third International Crop Science Congress, Humbarg,
Germany.
1041
Kosturkova, G., R. Todorova, G. Sakthivelu, M. K. A. Devi,P. Giridhar, T.
Rajasekaran, G. A. Ravishankar. 2008. Response of Bulgarian and
Indiansoybean Genotypes To Drought Andwater Deficiency In Field And
Laboratoryconditions. Gen. Appl. Plant Phsyol. Special Issue 34 (3-4):
239-250.
Kpoghomou, B. K., Sapra, V. T. and Beyl, C. A. 1990. Screening for Drought
Tolerance: Soybean Germination and its Relationship to Seedling
Responses. Journal of Agronomy and Crop Science 164: 153–159.
Krizek, D.T. 1985. Methods of inducing water stress in plant. Hort. Sci. 20:10281038.
Lawyer, D.W. 1970. Absorption of polyethylene glycol by plant effect on plant
growth. New Fisiol. 69: 501-513.
Michel, B.E and M.R. Kaufmann. 1973. The osmotic potential of polyethylene
glycol 6000. Plant Physiol. 57: 914-916.
Santoz-Diaz, M.S. and N. Ocha-Alejo. 1994. PEG tolerant cell clones of chilli
pepper: Growth osmotic potentials and solute accumulation. Plant Cell,
Tissue, and Organ Culture 37:1-8.
Short, K.C., I. Warburton, and A.V. Roberts. 1987. In-vitrohardening of Cultures
Cauliflower and Chrysanthemum Plantlets to Humidity. Acta Hor.
2120:324-329.
Tint, A.M.M., E. Sarobol, S. Nakasathein and W. Chai-aree. 2011. Differential
Responses of Selected Soybean Cultivars to Drought Stress and Their
Drought Tolerant Attributions. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 45 : 571 – 582.
Zhu, J., 2006. Effects of drought stresses induced by polyethylene glycol on
germination of Pinussylvestris var. mongolica seeds from pollination
forests on sandy land. Natural and Polination Forests on sandy Land
Journal of Forest Research, 11(5);319-328.
1042
PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN MELALUI PEMANFATAN LAHAN
PEKARANGAN DI KABUPATEN TORAJA UTARA
Nely Lade. S
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar
Email: bptp_sulsel@yahoo.com
ABSTRAK
Luas wilayah kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2 yang meliputi 21 kecamatan.
Lahan pekarangan jika dimanfaatkan secara optimal dan intensif melalui pengelolaan
sumberdaya alam lokal secara bijaksana, guna menjamin kesinambungan ketersediaan
pangan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai, dan keanekaragaman
yang ditata dengan rapi yang dapat memberikan letak kesesuaian dengan pemilihan
komoditas yang dapat menjadi sumber dari berbagai jenis bahan pangan yang bernilai
gizi tinggi dan dapat memberikan kontribusi bagi rumah tangga secara kontinyu
khususnya pemenuhan pola pangan harapan yang efektif, berkualitas. Penelitian ini
dilaksanakan di Kelurahan Balusu, Kecamatan Balusu, dan Lembang Tallang Sura,
Kecamatan Buntao, Kabupaten Toraja Utara, pada bulan Februari sampai Desember
tahun 2012. Metode pelaksanaan kegiatan adalah survey dan kegiatan on farm.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan pekarangan secara intensif melalui
pengelolaan berbagai sumber daya alam dengan mernanam berbagai jenis sayuran,
peternakan, perikanan yang dapat memberikan kontribusi dalam memenuhi kebutuhan
pangan keluarga. Pola Pangan Harapan sebelum dan setelah kegiatan MKRPLmemberikan skoor PPh sebelum 65,12 setelah kegiatan, terjadi peningkatan hingga
84,46. Biaya konsumsi pangan harian rumah tangga tani sebelum dan setelah kegiatan
M-KRPL terdapat penghematan biaya konsumsi sebesar Rp 2.165.
Kata kunci: Pekarangan, ketahanan pangan
PENDAHULUAN
Ketahanan pangan (food security) menjadi fokus perhatian pemerintah
saat ini. Ketersediaan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci, yaitu
ketersediaan pangan (food availability) dan akses pangan (food access).
Tantangan utama dalam peyediaan pangan dihadapkan pada ketersediaan
sumber daya lahan yang semakin langka (lack of resources), baik luas maupun
kualitas, serta konflik kepentingan (conflict of interest). Kelangkaan tersebut
disebabkan semakin meningkatnya penggunaan lahan pertanian ke non
pertanian yang bersifat permanen (irreversible) dan multiplikasi. Pemanfaatan
lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah
satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga, dengan
prinsif pemanfaatan pekarangan ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
disebutkan bahwa “ Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga yang tercermin pada tersedianya pangan yang cukup, baik
1043
jumlah, mutu serta aman, merata dan terjangkau”, Atas dasar tersebut, maka
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus
sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia (Saliem,2011). Salah satu
upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan dilaksanakan melalui
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan, Perpres
No. 22, 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal, dan Permentan No. 43, 2009 tentang
Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya
Lokal, yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang
dari waktu ke waktu melalui: (a) Pengembangan sistem produksi pangan yang
bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal; (b)
Pengembangan efisiensi sistem usaha pangan; (c) Pengembangan teknologi
produksi pangan; (d) Pengembangan sarana dan prasarana produksi pangan;
dan (e) Mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif (Badan Litbang
Pertanian). Pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan bulan Oktober 2010 di
Jakarta, Presiden RI mengemukakan bahwa ketahanan dan kemadirian pangan
nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait hal tersebut, maka
pemanfaatan lahan pekarangan guna pengembangan pangan rumah tangga
merupakan salah satu alternatif perwujudan kemandirian pangan rumah tangga.
Alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan pedesaan, yaitu :
(a) Masih adanya masyarakat yang memiliki kemampuan yang rendah dalam
mengakses pangan yang disebabkan oleh keterbatasan penguasaan sumberdaya
alam, sehingga kurang mempunyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian;
(b) Masih adanya kemiskinan struktural, sehingga meskipun telah berusaha
tetapi pendapatan yang diperoleh belum memenuhi kebutuhan keluarga; (c)
Masih minimnya sarana dan prasrana ( pengairan, jalan desa, sarana usahatani,
air bersih, listrik dan pasar ) yang dimiliki; (d) Masih terbatasnya pengetahuan
tentang pangan pangan beragam, bergizi dan berimbang; (e) Belum optimalnya
fungsi kelembagaan aparat dan masyarakat/kelompok tani; (f) Masih terbatasnya
akses masyarakat terhadap lembaga permodalan; (g) Masih rendahnya akses
masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran; (h) Masih terbatasnya
masyarakat terhadap informasi dan teknologi; (i) Rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat; (j) Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan (J) Masih tingginya
tingkat perilaku atau kebiasaan masyarakat dalam hal adat istiadat (pesta
kematian, naik rumah dll) yang sering dilaksanakan. Hal tersebut mendorong
terjadinya kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan. Salah satu upaya
mengatasi masalah kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan adalah
melalui program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL).
Pelaksanaan Perpres No. 22 tahun 2009 dan Permentan No. 43 tahun
2009, hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan
kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif mewujudkan
penyediaan, distribusi, dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu dengan
memanfaatkan kelembagaan sosial ekonomi yang ada dan dapat dikembangkan
di tingkat pedesaan dengan fokus utama adalah rumah tangga pedesaan.
Berdasarkan UU. No. 28 Tahun 2008, bagian Utara wilayah kabupaten
Tana Toraja dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara.
Kebanyakan
masyarakat Toraja hidup sebagai petani. Letak Astronomis berada pada 20 – 30
1044
LS dan 119o – 120o BT Ketinggian dari permukaan Laut = 150 – 3.083 M terdiri
dari : 18.425 Ha pada ketinggian 150 - 500 M = 5,80 % 143.314 Ha pada
ketinggian 501 - 1000 M = 44,70 % 118.330 Ha pada ketinggian 1000 - 2000 M
= 36,90 % 40.508 ha ketinggian lebih dari 2000 M = 12,60 %. Curah Hujan
1500 mm/tahun s.d >3500 mm/tahun. Jenis Batuan, Sedimen Batuan Gunung
BatuanTerobosan. Jenis Tanah, Alluvial Kelabu Brown Forest Mediteran Podsolit
Merah Kuning Rupa Bumi : Bergelombang dan bergunung (Anonim, 2013).
Kepemilikan lahan pekarangan pada pemukiman di perkotaan berbeda
dengan pedesaan. Pemukiman perkotaan cenderung memiliki lahan pekarangan
terbuka yang sempit dibandingkan lahan pekarangan yang ada di pedesaan
(Nurcahyati, 2012).
Ketersediaan lahan pekarangan di pedesaan dapat
diklasifikasikan menjadi empat klaster. Klaster pertama yakni lahan pekarangan
sangat sempit yaitu rumah tangga tempat tinggal yang tidak mempunyai
halaman, karena lahannya yang cukup untuk pembangunan rumah yang luasnya
120m², klaster kedua merupakan lahan pekarangan berklasifikasi sempit yang
luasnya ≤ 120 m², klaster ketiga adalah rumah dengan luas lahan berkisar
antara 120 – 400 m² hal tersebut merupakan klasifikasi pekarangan sedang, dan
klaster keempat merupakan lahan pekarangan dengan luas >400 m² (Nurhayati,
2012). Potensi lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal melalui
budidaya pertanian sebagai penyedia pangan, sehingga mampu mendukung
ketersediaan pangan rumah tangga tani di pedesaan (Ririn,2012).
Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2 yang terbagi
dalam 151 Desa/Kelurahan, dan 21 Kecamatan. Kabupaten Toraja secara
geografis terletak pada 2o40' LS sampai 3o25' LS dan 119o30' BT sampai 120o25'
BT. Kabupaten Toraja Utara beribukota di Rantepao, dengan batas wilayah
Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Kurra, Kecamatan Bittuang
Kabupaten Tana Toraja. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lamasi,
Kecamatan Walenrang, Kecamatan Wara Barat dan Kecamatan Bastem
Kabupaten Luwu, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat, Kelurahan Limbongan, Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu
Utara, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sangalla Selatan,
Kecamatan Sangalla Utara, Kecamatan Makale Utara, dan Kecamatan Rantetayo,
Kabupaten Tana Toraja (BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2013). Kebijakan
percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal,
merupakan upaya pemerintah guna meningkatkan Pola Pangan Harapan (PPH)
dan mengomptimalisasikan pemanfaatan lahan pekarangan sebagai sumber
pangan lokal. Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Pertanian telah
menyusun suatu Program Pemerintah yang disebut dengan “Model Kawasan
Rumah Pangan Lestari” (M-KRPL), yang dirancang dan didominasi oleh rumah
tangga dengan prinsip pemanfaatan lahan pekarangan yang ramah lingkungan
guna pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, dan dapat menghemat
pengeluaran dan meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan marsyarakat pada umumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Pola Pangan Harapan dan
pemanfaatan lahan pekarangan serta pengembangan kegiatan ekonomi produktif
keluarga dengan menciptakan lingkungan hijau, bersih, sehat secara mandiri
yang pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan
masyarakat secara lestari dalam suatu kawasan.
1045
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Balusu, Kecamatan Balusu
dengan titik koordinat 2057’46” LS dan 119059’9” BT.dan Lembang Tallang Sura’.,
Kecamatan Buntao’ dengan titik koordinat
302’7” LS dan 119056’56”
BT.Kabupaten Toraja Utara, berlangsung bulan Pebruari hingga Desember 2012.
Tahapan kegiatan meliputi : a). Persiapan yang meliputi koordinasi dan
konsultasi dengan Dinas Pertanian Tingkat II, Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluh Pertanian Tingkat II serta Dinas Terkait lainnya, guna memperoleh
dukungan dalam pelaksanaan kegiatan, mencari kesepakatan dalam penentuan
lokasi kegiatan, Pengumpulan informasi awal tentang potensi kelompok sasaran
dan memilih pendamping yang menguasai teknik pemberdayaan masyarakat
sesuai kriteria-kriteria yang telah ditentukan; b). Sosialisasi untuk menyampaikan
maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut kepada calon rumah tangga/kelompok
wanita tani kooperatif untuk menyamakan pemahaman dan kesepakatan awal
rencana tindak lanjut kegiatan yang akan dilaksanakan; c). Pembuatan Kebun
Bibit Desa (KBD); d). Introduksi teknologi pemanfaatan pekarangan; e).Survei
Pola Pangan Harapan petani kooperator.Data dan informasi yang diperoleh
disajikan secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2 yang meliputi
21 kecamatan. Kabupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao terletak
antara 2° - 3o LS dan 119° - 120° BT, yang berbatasan dengan Kabupaten Luwu
dan Sulawesi Barat di sebelah utara dan Kabupaten Tana Toraja di sebelah
selatan, serta pada sebelah Timur dan Barat masing-masing berbatasan dengan
Kabupaten Luwu dan Provinsi Sulawesi Barat.
Karakteristik Petani Pelaksana
Kelompok tani pelaksana M-KRPL adalah merupakan Kelompok Wanita
Tani Larisya dan Kelompok Wanita Tani Pamisa Penaa’ yang beranggotakan
sebanyak 25 kelompok keluarga/rumah tangga, terbentuk sejak tahun 2009.
Tabel 1. Karakteristik petani pelaksana kegiatan M-KRPL Kabupaten Toraja Utara
No.
1.
2.
3.
1046
Uraian
Umur (thn)
15 – 40
˃ 40
Pendidikan
SD
SMP
SLTA
Sarjana
Pekerjaan
PNS
Petani
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
18
7
72
28
3
7
12
3
12
28
48
12
1
24
4
96
Lanjutan…
No.
4.
Uraian
Luas Lahan Pekarangan
Sempit atau 120 m2
Sedang atau 120 – 400 m2
Luas atau 400 m2
Sumber data :Analisis data primer, 2012
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
2
23
0
8
92
0
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa anggota KWT pelaksana M-KRPL
menunjukkan bahwa rata-rata anggotanya berumur antara 15 – 50 tahun.
Sedang tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA yang mencapai 48 %,
kemudian SLTA mencapai 12 atau 48 %. Sementara luas lahan pekarangan
rata-rata tergolong sedang antar 120 – 400 m2.
Pemanfaatan Lahan Pekarangan
Lahan pekarangan petani kooperator rata-rata tergolong sedang, luasnya
antara 120 - 400 m2. Lahan pekarangan petani tersebut sebagian besar belum
dimanfaatkan sebagai areal pertanaman dengan beraneka ragam komoditi
pertanian, khususnya sayuran dan buah-buahan yang dapat memberikan
pemenuhan gizi keluarga, namun ada pula sebagain yang telah memanfaatkan
lahan pekarangan petani dengan menanam berbagai jenis tanaman hias dan
buah-buahan tetapi belum ditata dengan baik sehingga belum memberikan nilai
estetika. Lahan pekarangan merupakan suatu sumber bahan pangan keluarga
jika dimanfaatkan dengan menanam berbagai jenis sayuran, buah-buahan, ikan
dan peternakan juga berbagai jenis keperluan bahan pangan keluarga lainnya.
Sebagian dari anggota KWT ini, telah mempunyai aktifitas kegiatan PKK dalam
pengelolaan hasil seperti : pembuatan keripik pisang, keripik talas, keripik ubi
jalar dan ubi kayu, serta pembuatan dampo durian, yang sebagian bahan
mentahnya masih diperoleh dari luar. Pemasarannya masih tergantung dari pada
pesanan. Kegiatan ini merupakan pembinaan dari Badan ketahananan pangan
Kabupaten Toraja Utara. Untuk memperkuat kelembagaan tersebut, dalam
kegiatan penelitian ini dirancang sistem guna pemenuhan gizi keluarga yang
berbasis sumberdaya lokal berkelanjutan spesifik lokasi. Adapun tahapan
kegiatan penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pembuatan Kebun Bibit Desa
Luas lahan KBD 120 m2, diolah dan diberi pupuk organik. Dibuat berupa
bedengan berukuran 8 m x 12 m dan 4 m x 5 m. Jenis tanaman yang
disemaikan/dibibitkan pada KBD antara lain : Sawi hijau, cabe besar, paprika,
cabe kecil, tomat, caisin, bayam, paria, dan kangkung. Bibit yang disemai di
KBD kemudian didistribusikan ke anggota KWT unutk ditanam pada masingmasing lahan pekarangan. Pengelolaan dan pemeliharaan bibit di KBD
dilakukan secara gotong royong yang dikoordinir olah ketua KWT.
b. Budidaya Tanaman

Penanaman pada lahan pekarangan kelompok wanita tani terdiri dari
beberapa media diantaranya : menanam benih/bibit pada media pot-pot
dan polybang, ember ataupun wadah lainnya yang disusun/ditempatkan
1047
pada rak-rak tanaman yang dibuat, adapun komposisi media tanamnya
adalah tanah : pupuk organik dengan perbandingan 2 : 1.

Penanaman benih/bibit secara Vertikultur pada pipa paralon dengan
ukuran lebar 15 cm, panjang 1,2 m yang disuusn secara bertingkat
berselang, pada rak kayu dengan perbandingan media tanamannya tanah
dan pupuk organik antara 2 : 1.
c. Teknologi Budidaya

Penyiapan bibit/benih
Benih sayuran yang berukuran kecil disemaikan dalam wadah
tray/nampan pesemaian/bak pesemaian dengan media campuran tanah
dan pupuk organic 2 : 1, sedangkan benih/bibit yang berukuran stek
langsung ditanam di bedengan yang telah di beri pupuk kandang dengan
dosis 2 ton/ha pada halaman pekarangan.

Penanaman
Benih/bibit yang berasal dari KBD ditanam pada media campuran tanah
dan pupuk organik dengan perbandingan 2 : 1 pada pot, polybag, dan
sebagainya, kemudian ditata sedemikian rupa. Selanjutnya benih
berukuran besar seperti talas dan stek langsung ditanam di bedengan
yang telah diberi pupuk organik dengan dosis 2 ton/ha.

Pemupukan
Pemberian pupuk organik pada saat pengolahan lahan/bedengan atau
pengisian media tanam pada pot, polybag dan media vertikultur.
Sementara pemberian pupuk NPK disesuaikan dengan kondisi
pertanaman.

Pengendalian Hama Penyakit
Dilakukan dengan cara mekanis apabila masih dibawah ambang, yakni
mengamati tanaman secara berkala dan yang terserang H/P maka
tanaman dapat dicabut dan dimusnahkan; selanjutnya jika serangan H/P
tingkat serangannya tinggi dapat diberantas dengan menggunakan
insektisida/fungisida.

Panen
Cara panen dilakukan sesuai komoditi dan kebutuhan konsumsi rumah
tangga petani tersebut ataupun dijual pada pasar setempat/lokal.

Pemanfaatan Hasil Panen
Pemanfaatan hasil panen dari kegiatan M-KRPL masih sebagai konsumsi
kebutuhan pangan rumah tangga peserta M-KRPL, namun sebagian
dijual ke pasar lokal atau pasar setempat.
d. Pola Pangan Harapan (PPH) Kelompok Binaan masing-masing rumah tangga
sebelum dan sesudah kegiatan M-KRPL di Kabupaten Toraja Utara.
1048
Tabel 2. Pola pangan harapan rumah tangga di KRPL perdesaan Kab. Toraja
Utara, Tahun 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kelompok Pangan
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan Hewani
Sayur dan Buah
Kacang-kacangan
Minyak dan Lemak
Buah/biji berminyak
Gula
Lain-lain
Jumlah
Pola Pangan Harapan M-KRPL
Sebelum
Sesudah
24,76
25,00
1,25
1,79
4,46
22,70
24,16
26,84
3,00
5,27
3,50
3,30
0,31
0,13
1,00
2,11
0,00
0,00
65,12
84,46
Selisih
0,24
0,54
18,24
2,68
2,27
˗0,20
˗0,18
1,11
0,00
19,34
Sumber: Analisis data primer, 2012
Dalam pelaksanaan M-KRPL di Kabupaten Toraja Utara, khususnya di
Kelurahan Balusu dan Kelurahan Tallang Sura, pola konsumsi pangan harian
rumah tangga yang terdiri dari padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, sayur
dan buah, kacang-kacangan, serta gula, terjadi peningkatan skor PPH dari 65,12
sebelum kegiatan M-KRPL meningkat menjadi 84,46 dibandingkan dengan
kelompok pangan lainnya, sehingga terjadi selisih peningkatan skor sebesar
19,34. Hal tersebut disebabkan oleh karena tersediannya pangan di pekarangan
serta peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya akan
kebutuhan gizi, maka dengan melalui kegiatan M-KRPL, kebutuhan gizi
masyarakat dapat terpenuhi.
Tabel 3. Biaya pengeluaran pangan harian rumah tangga M-KRPL pedesaan di
Kabupaten Toraja Utara
Pangan konsumsi
Beras
Ikan
Telur ayam ras
Susu
Sayur
Buah
Minyak Goreng
Gula pasir/merah
Kopi/teh
Bumbu
Jumlah
Biaya Harian Rumah Tangga (Rp)
Sebelum
Setelah
Selisih
5.650
5.800
150
21.100
21.950
850
1.850
1.850
2.255
2.315
60
2.375
3.880
1.505
3.150
3.650
500
2.400
1.815
-585
2.300
2.300
720
720
875
560
-315
42.675
44.840
2.165
1049
KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.
Berdasarkan data dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
Dengan pemanfaatan lahan pekarangan rumah tangga petani dengan
menanamberbagai macam sayuran dan buah guna memenuhi kebutuhan gizi
dan konsumsi pangan harian yang berdampak pada penghematan biaya
konsumsi harian sebesar Rp. 2.165,Lahan pekarangan rumah tangga petani di Kabupaten Toraja Utara,
khususnya di kelurahan Balusu dan kelurahan Tallang Sura, belum di
manfaatkan secara optimal yang dapat mendukung ketersediaan pangan
rumah tangga.
Dengan adanya peningkatan PPH dan biaya penghematan pengeluaran
harian rumah tangga
pada kegiatan M-KRPL tersebut, maka dalam
pengembangan kegiatan M-KRPL dianggap perlu dikembangkan.
Kelembagaan kelompok wanita tani kooperator masih perlu pembinaan dan
bimbingan baik dalam bentuk penguatan kelembagaan maupun pemasaran
hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2013.
Gambaran
Umum
Kabupaten
Tana
Toraja.
http://www.pnpmkabtanatoraja.blogspot.com. [diakses 29 mei 2013).
Badan Litbang Pertanian. 2006. Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun
Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan. Prosiding.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan Dalam
Angka. 2010. http://www.bps.sulsel.go.id. [diakses 29 Mei 2013].
Nurcahyati, E. 2012. Membasngun Kemandirian Pangan Melalui Pemanfaatan
Lahan Pekarangan. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Banten.
Ririn. 2012. Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Kelomspok Wanita Tani Desa
Mirigambar Dusun Miridudo Kecamatan Sumbergempol. Balai
Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sumbergempol.
Saliem H.P 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Sebagai Solusi
Pemantapan Ketahanan Pangan.
1050
PENINGKATAN KUALITAS GIZI JAMUR TIRAM PUTIH MELALUI
FORMULASI SUBSTRAT MEDIA TANAM
Abdul Wahab
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl.Prof.Muh.Yamin No.89 Puuwatu Kendari
Email: sultra.litbang.deptan.go.id
ABSTRAK
Manfaat penting konsumsi jamur tiram putih bagi tubuh manusia sangat bergantung
pada kualitas nutrisi yang dikandungnya. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh
beberapa jenis substrat media tumbuh terhadap kandungan gizi jamur tiram. Percobaan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok terdiri atas empat perlakuan substrat media
tumbuh yaitu dedak, ampas tahu, ampas sagu, dan serbuk gergaji sebagai kontrol.
Setiap percobaan diulang 4 kali, dan setiap unit perlakuan menggunakan 20 baglog. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga substrat lokal yang diuji dapat
dimanfaatkan sebagai campuran serbuk gergaji dalam produksi jamur tiram dengan
komposisi 10 % substrat dari berat baglog, namun demikian substrat dedak lebih mampu
meningkatkan kandungan gizi jamur tiram dibandingkan dengan ampas tahu dan ampas
sagu. Berdasarkan analisis kandungan hara substrat media tumbuh, dedak lebih mampu
menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang untuk pertumbuhan dan
perkembangan jamur tiram dibandingkan dengan substrat lainnya.
Kata kunci: Dedak, ampas tahu, ampas sagu, jamur tiram, kualitas gizi
PENDAHULUAN
Jamur tiram merupakan jenis jamur konsumsi yang bernilai ekonomis
cukup tinggi. Salah satu spesies jamur tiram yang banyak dibudidayakan adalah
Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus), karena di samping lebih mudah
budidayanya, jenis ini juga lebih banyak diminati oleh konsumen. Sesuai
namanya, Jamur Tiram Putih memiliki tudung berwarna putih, berbentuk bulat
dengan diameter tudung berkisar 3 – 15 cm dan tangkai tidak bercabang.
Mengkonsumsi jamur tiram dapat memberikan banyak manfaat bagi
tubuh, selain berfungsi sebagai bahan makanan, jamur tiram juga merupakan
sumber senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat. Jamur tiram dapat
memperlancar pencernaan di dalam usus karena memiliki serat tinggi, di
samping itu juga bersifat antiviral dan anti kanker. Jamur tiram juga dapat
menurunkan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes dan mampu
mengontrol kolesterol dalam darah (Lindequies et al., 2005; Sumiati, 2005).
Berbagai manfaat positif jamur tiram tersebut tidak terlepas dari
nutrisi/gizi yang dikandungnya. Kadar dan komposisi protein jamur tiram sangat
lengkap dan lebih tinggi dibandingkan dengan sayuran lainnya seperti asparagus
dan kubis, namun kadar lemaknya lebih rendah daripada daging. Jamur tiram
juga mengandung sembilan asam amino yang sangat baik bagi kesehatan tubuh
seperti metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin, dan
fenilalanin. Jamur tiram juga merupakan sumber berbagai vitamin terutama
Vitamin B dengan kandungan Thiamin (B1), Riboflavin (B2), Niasin yang sangat
1051
tinggi, Vitamin C, dan Provitamin D yang dapat diubah menjadi Vitamin D
dengan bantuan sinar matahari. Selain itu, kandungan gizi jamur tiram juga
memiliki berbagai macam mineral yang sangat bermanfaat bagi tubuh kita, yaitu
Kalium, Fosfor, Natrium, Kalsium, Magnesium, Besi, Seng, Mangan, dan
Tembaga (Isnawan et al., 2003).
Mengingat demikian besar manfaat jamur tiram tersebut, maka perlu
dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kandungan gizinya. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah melalui formulasi media tumbuhnya. Media
tumbuh merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan jamur tiram hingga menghasilkan tubuh buah yang memiliki
kandungan gizi yang tinggi. Untuk meningkatkan kualitas kandungan gizi jamur
tiram, salah satu cara yaitu memperbaiki kualitas substrat dengan inovasi aplikasi
bahan suplemen berbahan baku lokal untuk substrat. Substrat harus
mengandung selulosa, hemisellulose, lignin, karbohidrat terlarut (glukosa dan
sakarin), serta makro elemen penting (N,P,K, dan Ca), mikro elemen esensial
(Fe, Mn, Zn, B, Co, Mo, Mg, Cu, dan Ni), dan air 65-70%, serta pH 6 – 7
(Senyah et al., 1989; Shim, 2001).
Penelitian bertujuan untuk memperoleh jenis bahan substrat dari
suplemen lokal yag dapat meningkatkan kualitas kandungan gizi jamur tiram
putih di Sulawesi Tenggara. Dengan aplikasi suplemen yang sesuai, diharapkan
kualitas kandungan gizi jamur tiram meningkat.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di Kabupaten Konawe Selatan mulai Januari sampai
Desember 2009. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 4 ulangan, dan masing-masing ulangan menggunakan 20 baglog.
Perlakuan yang diuji adalah media tumbuh menggunakan 3 substrat lokal yaitu
dedak, ampas tahu, dan ampas sagu, serta kontrol sebagai perlakuan standar.
Biakan murni strain jamur tiram ditumbuhkan pada media Potato
Dextrose Agar (PDA). Biakan murni jamur tiram diperbanyak dengan cara
memperbanyak koloni bibit jamur. Selanjutnya bibit jamur dari biakan murni
ditumbuhkan ke dalam media induk (mother spawn) berupa bekatul yang
dikemas dalam botol. Botol media bibit induk disterilkan menggunakan autoclave
pada tekanan (P) 1,5 lb, temperatur 121oC selama 2 jam. Media bibit ini disebut
bibit induk Generasi ke-1.
Bibit induk yang telah diperoleh, kemudian diperbanyak sekali lagi ke
dalam media bibit sebar (spawn substrate) steril (generasi ketiga). Bibit sebar
selanjutnya digunakan untuk memproduksi tubuh buah jamur tiram. Caranya
yaitu setiap 10 gram bibit sebar diinokulasi ke dalam media tumbuh.
Sebelum diinokulasi dengan bibit sebar jamur tiram, media tumbuh
untuk produksi jamur tiram yang telah diberi substrat lokal dengan perbandingan
10 dari berat media, dan bahan campuran lainnya kemudian dikemas dalam
kantong plastik transparan tahan panas kapasitas 1 kg substrat, dan ujung
baglog diikat dengan karet gelang. Substrat dipasteurisasi selama 8 jam pada
temperatur 90 oC. Substart yang dikemas dalam kantong plastik disebut baglog.
Setelah pasteurisasi, substrat didinginkan sampai mencapai temperatur kamar.
1052
Selanjutnya media tumbuh yang telah disterilkan diinokulasi dengan 10 g
bibit sebar, pada bagian ujung baglog disumbat kapas steril dan kemudian diberi
cincin paralon penahan kapas dan bagian ujung sisa plastik baglog diikat dengan
karet gelang. Pemberian leher baglog yang disumbat kapas bertujuan untuk
mengalirkan udara segar dari luar ke bagian dalam substrat secara steril pada
saat pertumbuhan selanjutnya. Substrat selanjutnya diinkubasi pada ruangan
inkubasi temperatur 24 – 28 oC tanpa cahaya, sampai miselium bibit jamur tiram
tumbuh 50 – 60 % pada baglog substrat (3 – 4 minggu setelah inokulasi bibit
sebar).
Baglog yang telah ditumbuhi miselium, selanjutnya dipindahkan ke dalam
rumah jamur. Baglog ditempatkan pada rak-rak bambu dalam rumah jamur
dengan posisi berbaring dan ditumpuk sebanyak 3 lapisan baglog per satu
lapisan rak. Selanjutnya pada 2-3 minggu setelah baglog diletakkan di dalam
rumah jamur, tumbuh bakal tubuh buah jamur tiram berupa butiran kelompok
jamur tiram berukuran kecil dan berwarna putih kecoklatan. Baglog dipelihara
sampai selesai panen dengan cara menyiram lantai ruang rumah jamur dan
baglog dengan air bersih langsung secara basah kuyup menggunakan selang
plastik dan melakukan penyemprotan ke ruangan dengan cara menyetel mata
sprayer untuk menhasilkan semprotan kabut, dengan tujuan untuk mencapai
kelembaban (RH) rumah jamur 98%. Ruang rumah jamur bercahaya remangremang dan berventilasi cukup.
Pada budidaya jamur tiram, tubuh buah mulai tumbuh setelah miselium
bibit tumbuh memenuhi seluruh media tumbuh pada baglog atau munculnya
tubuh buah kecil bersamaan dan berwarna putih kecoklatan dengan
pertumbuhan lanjut dari miselium bibit jamur tiram putih.
Jamur tiram dipanen setelah tubuh buah yang pertama tumbuh
membesar maksimum. Hasil panen yang diperoleh berupa tubuh buah dan media
tanam yang digunakan dianalisa kandungan gizi dan kandungan media tanam di
Laboratorium Analisis Uniersitas Haluoleo. Parameter yang diamati pada kualitas
kandungan gizi meliputi protein, lemak, serat kasar, kadar abu dan kadar air,
sedangkan pada media tanam meliputi unsure P, K, Ca, dan Mg.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Nutrisi Jamur Tiram
Hasil analisis kimia terhadap kualitas kandungan nutrisi tubuh buah jamur
tiram menunjukkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan nilai nutrisi dari
masing-masing tubuh buah jamur tiram yang ditumbuhkan pada media tumbuh
dengan substrat yang berbeda pada hampir semua komponen yang diuji. Pada
komponen uji protein, terdapat kecenderungan media dedak yang memberikan
nilai lebih tinggi kandungan protein pada tubuh buah jamur tiram, diikuti media
ampas tahu, ampas sagu, dan kontrol memiliki nilai terendah (Gambar 1). Hasil
uji protein ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Chang dan Miles
(1989) yaitu 10,5%.
1053
Gambar 1. Pengaruh substrat media tumbuh terhadap kandungan protein jamur
tiram
Demikian pula pada komponen uji lemak, kecenderungan nilai yang lebih
tinggi kandungan lemak pada tubuh buah jamur tiram yang perlakukan pada
media dedak, diikuti media ampas sagu, ampas tahu, dan nilai terendah kontrol.
Berbeda dengan 2 komponen sebelumnya, pada komponen serat kasar,
kecenderungan nilai tertinggi kandungannya pada tubuh buah terdapat pada
media ampas sagu, sedangkan media lainnya memiliki nilai hampir sama.
Sementara itu pada komponen abu, ternyata nilai pada perlakuan media kontrol
cenderung lebih tinggi pada tubuh buah jamur, diikuti ampas sagu, dedak dan
terendah ampas tahu (Gambar 2).
Gambar 2. Pengaruh substrat media tumbuh terhadap kandungan lemak jamur
tiram
Pada komponen kadar air, media ampas tahu memiliki kecenderungan
mengandung kadar air pada tubuh buah jamur tiram yang lebih tinggi, diikuti
kontrol, ampas sagu, dan terendah adalah dedak (Tabel 1). Rendahnya kadar
air pada tubuh buah jamur tiram pada media tumbuh dedak diduga disebabkan
tingginya kapasitas menyerap air pada media tersebut, sehingga air sulit diserap
oleh jamur. Pernyataan ini senada yang diungkapkan oleh Widiastuti dan Tri
Panji (2008) bahwa kadar air tubuh buah yang dihasilkan dari media serbuk
gergaji dengan penambahan substrat nyata lebih rendah dibandingkan dengan
tanpa penambahan substrat. Anonim (2006) melaporkan bahwa jamur tiram
segar umumnya mengandung kadar air sebesar 90,7 %. Kadar air tubuh buah
yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan yang telah dilaporkan.
1054
Gambar 3. Pengaruh substrat media tumbuh terhadap kadar air jamur tiram
Kandungan Unsur Hara Substrat Media Tumbuh Jamur Tiram
Hasil analisis kimia terhadap kandungan unsur hara substrat media
tumbuh jamur tiram menunjukkan adanya variasi kandungan unsur-unsur yang
diuji dari masing-masing media tumbuh yang digunakan. Media ampas tahu dan
ampas sagu menyumbang Fosfor (P) dengan tingkat konsentrasi yang sama
namun cenderung lebih tinggi dibandingkan media dedak dan kontrol (Tabel 1).
Unsur fosfor merupakan bahan utama pembangunan MOLekul Adenosine Tri
Phosphate (ATP) dan Adenosine Diphosphat (ADP) yang menghasilkan energi
kimia tinggi P (Woodrow dan Rowan 1979 dalam Sumiati, 2009). Selanjutnya P
berfungsi mengontrol reaksi berbagai enzim penting pada proses metabolisme
dan biokimia tumbuhan, fosforilasi, degradasi phytate, dan transfer energi yang
pada akhirnya meningkatkan level P pada DNA dan RNA yang menghasilkan
pembelahan dan pembesaran sel.
Tidak demikian halnya dengan sumbangan media terhadap unsur Kalium
(K), media dedak cenderung menyumbang lebih banyak (1.61%) dibandingkan
media-media lainnya, dan sumbangan terendah diberikan oleh ampas tahu
(Tabel 1). Yang mana unsur kalium merupakan kation univalent yang berfungsi
mengaktifkan berbagai kerja enzim dengan cara menginduksi perubahan protein
enzim (Suelter 1970 dalam Sumiati, 2004), sehingga sintesis protein meningkat.
Kandungan Unsur P dan K pada media tumbuh mempunyai berbagai fungsi
dalam proses metabolism sel tersebut pada akhirnya meningkatkan
pertumbuhan, perkembangan dan bobot serta kualitas jamur tiram.
Kalsium dan Magnesium merupakan unsur hara makroelemen sekunder.
Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa unsur Kalsium (Ca), kecenderungan
nilai tertinggi terdapat pada kontrol, diikuti ampas tahu, dan ampas sagu,
sedangkan sumbangan terendah diberikan oleh dedak (Tabel 1). Dalam
metabolisme sel, kalsium berfungsi dalam perpanjangan serta pembelahan sel
(Burstom, 1968; Konno et al., 1984), mengatur permeabilitas dan stabilitas
membran, integritas sel (Reiss dan Herth, 1978), dan memperkuat dinding sel
(Marme, 1983). Pada unsur Magnesium (Mg), media ampas sagu cenderung
menyumbang lebih banyak, diikuti kontrol dan ampas tahu, sedangkan
sumbangan terendah diberikan oleh dedak (Tabel 1). Magnesium berperan
dalam sintesis protein, mendorong aktivitas enzim, dan memperbaiki kualitas
1055
nutrisi (Sperrazza dan Spremulli 1983) yang pada akhirnya menghasilkan
pertumbuhan dan kualitas optimal jamur tiram.
Peranan unsur Kalium (K) dalam memperkuat pertumbuhan batang,
sangat selaras dengan pernyataan para petani kooperator sebelumnya, bahwa
jamur tiram yang dipanen dari media dedak (kandungan K tertinggi) memiliki
tekstur tubuh buah yang lebih padat, tidak mudah hancur dan lebih tahan
disimpan lama, sedangkan tekstur tubuh buah jamur dari ampas tahu
(kandungan K terendah) relatif lebih lembut, mudah hancur dan tidak dapat
disimpan lama.
Tabel 1. Hasil analisis kimia kandungan unsur hara media tumbuh jamur tiram
Media Tumbuh
Kontrol
Dedak
Ampas Tahu
Ampas Sagu
P (%)
K (%)
0.03
0.03
0.04
0.04
0.39
1.61
0.13
0.71
Ca
(%)
5.08
2.23
4.62
3.11
Mg (mg/100g)
4.03
2.57
3.79
4.47
KESIMPULAN
Secara umum ketiga substrat lokal yang diuji dapat dimanfaatkan sebagai
campuran serbuk gergaji dalam produksi jamur tiram dengan komposisi 10 %
substrat dari berat baglog, namun demikian substrat dedak lebih mampu
meningkatkan kandungan gizi jamur tiram dibandingkan dengan ampas tahu dan
ampas sagu. Berdasarkan analisis kandungan hara substrat media tumbuh,
dedak lebih mampu menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang untuk
pertumbuhan dan perkembangan jamur tiram dibandingkan dengan substrat
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Profil Jamur. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan
Biofarmaka. Jakarta.
Bustrom, H. 1968. Calcium and Plant Growth. Biol. Rev. Cambridge. Philos.Soc.
43:287-316.
Chang, S.T. and P.G. Miles. 1989. Edible Mushroom and Their Cultivation.
Florida, CRC Press Inc.
Isnawan, H.H., N. Widyastuti, Donowati, Jamil, Uswindraningsih. 2003. Teknologi
Bioproses Pembibitan dan Produksi Jamur Tiram untuk Peningkatan
Nilai Tambah Pertanian. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri
2003, Vol. II, hal. 123-126.
Konno, H., T. Yamaya, Y. Yamasaki, and H. Matsuko. 1984. Pectic Polysaccharide
Break-down of Cell Wall in Cucumber Roots Grown with Calcium
Starvation. Plant Physiol, 49:265-270.
1056
Lindequies, U., T.H.J. Niedermeyer dan W.D. Julich. 2005. The Pharmacological
Potential of Mushroom. Evid. Based complement Alternat. Med.,
2(3):285-299.
Marme, D. 1983. Calcium Transfort and Function. In: Encyclopedia Of Plant
Physiology. New series. Vol. 15 B.Springer-Verlag, Berlin and New
York. P:599-625.
Reiss, H.D., and W. Herth. 1978. Visualitation Of The Ca2+ Gradient In Growing
Pollen Tubers of Lilium longiflorum With Chlorotetracycline
Fluorescence. Protoplasma 97:373-378.
Senyah, J., R. Robinson, and J. Smith. 1989. The effect of Phosphate on The
Development of Phytase in The Wheat Embryo. Physiol. Plant. 20:
1066-1075.
Shim, M.S. 2001. Phisiology of Substrate Fermentation and Substrate Making.
Mushrooms. 5(2):53-77.
Sperrazza, J.M., and L.L. Spremulli. 1983. Quantitation of Cation Binding To
Wheat Germ Ribosome: Influence On Sub Unit Association Equilibria
and Ribosome Activity Nucleic Acid Res. 11:2665-2679.
Sumiati, E. 2005. Teknologi budidaya Jamur Edibel. Leaflet. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran Lembang. 2 Hlm.
Sumiati, E., S. Sastrosiswojo, dan A.W. Hadisuganda. 2004. Identifikasi
Permasalahan Budidaya Jamur Edible Komersial. Laporan Survey P.
Jawa, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. In Press. 17 Hlm.
Widiastuti, H dan T. Panji. 2008. Produksi dan Kualitas Jamur Tiram (Pleurotus
ostreatus) pada Beberapa Konsentrasi Limbah Sludge Pabrik Kertas.
Menara Perkebunan, 2008 76(2): 104-116.
1057
PENYEBARAN PENANGKARAN DAN KETERSEDIAN BENIH PADI
DI SULAWESI SELATAN
Sahardi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan km. 17,5 Sudiang, Makassar
Email: hsmulia@yahoo.co.id
ABSTRAK
Kajian penyebaran penangkaran dan ketersediaan benih padi di Sulawesi Selatan,
bertujuan untuk mengetahui peta penyebaran penangkaran dan ketersediaan benih padi
untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Benih sering
menjadi masalah utama dalam usahatani padi. Penyebabnya antara lain terbatasnya
ketersediaan benih sumber, yang disebabkan; 1) Kurangnya produsen atau penangkar
benih secara lokal, 2) Tingginya resiko dan minimalnya keuntungan usaha perbenihan,
dan 3) Kecenderungan petani untuk menggunakan benih seadanya. Karena itu salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan benih bermutu adalah
melalui penyediaan benih sumber dan pengembangan penangkaran benih. Kegiatan ini
dilaksanakan dari Bulan Mei sampai September 2012 di Wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan, dengan menggunakan Metode Survey. Data yang dikumpulkan adalah data
primer melalui wawancara kelompok penangkar dan petugas pengawas perbenihan dari
BPSB, sedangkan data sekunder dari BPSB dan UPTD perbenihan Provinsi Sulawesi
Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Tahun 2012 terdapat 301 penangkar
benih padi yang tersebar di 16 kabupaten, dengan tolal produksi gabah calon benih
sebesar 32.697,32 ton. Terdapat 82 penyalur/pedagang benih, yang tersebar di 19
kabupaten/kota, dengan jumlah benih yang disalurkan adalah 4.785,36 ton.
Kata kunci: Penyebaran, penangkar, benih, padi
PENDAHULUAN
Ketersediaan Varietas Unggul Baru (VUB) tanaman padi yang berdaya
hasil tinggi telah dirilis cukup banyak, namun upaya penangkarannya untuk
mendukung ketersediaan benih masih sangat terbatas, terutama pada sentrasentra produksi padi. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah dengan mengetahui penyebaran penangkar dan
kemampuannya memprodukasi benih, serta dengan mengetahui ketersedian
benih dilapangan. Informasi ini dapat mendukung pengambilan kebijakan
pengaturan ketersediaan benih sesuai kebutuhan
dalam mensukseskan
Program Peningkatan 2 juta ton Beras Nasiaonal (P2BN) dan swasembada
pangan berkelanjutan.
Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian di Sulawesi
Selatan mencapai 4,2 juta ha atau 68 % dari luas wilayah, diantaranya untuk
pengembangan lahan sawah mencapai 587.328 ha. Produktivitas padi di Sulsel
baru rata-rata 4,6 t/ha (Dinas Pertanian Sulsel, 2007).
Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas tanaman padi di
Sulsel adalah karena penerapan teknologi usahatani (budi daya) yang belum
memadai, selain itu juga faktor sosial dan kondisi lahan pertanaman. Salah satu
1058
komponen teknologi budidaya yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas
tanaman padi adalah benih bermutu.
Beberapa keuntungan dari penggunaan benih bermutu, antara lain : a)
Menghemat penggunaan benih per satuan luas; b) Respon terhadap pemupukan
dan pengaruh perlakuan agronomis lainnya; c) Produktivitas tinggi karena
potensi hasil yang tinggi; d) Mutu hasil akan terjamin baik melalui pasca panen
yang baik; e) Memiliki daya tahan terhadap hama dan penyakit, umur dan sifatsifat lainnya jelas; dan f) Waktu panennya lebih mudah ditentukan karena
masaknya serentak (BPSBTPH IV, 1998).
Benih merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
budidaya tanaman dan perannya tidak dapat digantikan oleh faktor lain, karena
benih sebagai bahan tanaman dan sebagai pembawa potensi genetik terutama
untuk varietas-varietas unggul. Keunggulan varietas dapat dinikmati oleh
konsumen bila benih yang ditanam bermutu (Padminingsih, 2006). Keunggulan
varietas dan mutu benih merupakan justifikasi utama untuk membangun suatu
sistem produksi benih bersertifikat (Tripp, 1995). Menurut Sutopo (2004), mutu
suatu benih dapat dilihat dari faktor-faktor antara lain kebenaran varietas,
kemurnian benih, daya hidup (daya kecambah dan kekuatan tumbuh), bebas dari
hama dan penyakit.
Sering petani mengalami kerugian yang tidak sedikit, baik dari segi biaya
maupun waktu, akibat penggunaan benih yang bermutu rendah. Oleh karena
itu, meskipun pertumbuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh
keadaan iklim dan cara bercocok tanam, tetapi harus diingat pentingnya
pemilihan mutu benih yang akan digunakan (Sutopo, 2004).
Perbanyakan benih padi dimulai dari penyediaan benih penjenis (BS) oleh
Balai Penelitian bidang komoditas, sebagai sumber bagi perbanyakan benih dasar
(BD), kemudian benih pokok (BP), dan benih sebar (BR). Kesinambungan alur
perbanyakan benih tersebut sangat berpengaruh terhadap ketersediaan benih
sumber sesuai dengan kebutuhan produsen/penangkar benih dan menentukan
proses produksi benih sebar. Kelancaran alur perbanyakan benih juga sangat
menentukan kecepatan penyebaran VUB kepada petani (Badan Litbang, 2007)
Pemenuhan permintaan benih padi bersertifikat secara nasional baru
mencapai 35 % (BPSPTPH III, 2000), sehingga masih memerlukan usaha
perbenihan padi untuk memenuhi permintaan benih tersebut. Secara umum
pengetahuan petani dalam teknologi budidaya padi untuk menghasilkan benih
dan non-benih tidak dibedakan. Perbedaan tersebut terletak pada prinsip
genetisnya, dimana aspek kemurnian genetik menentukan kelulusan dalam
sertifikasi (Wirawan dan Wahyuni, 2002).
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi adalah penggunaan benih
bermutu yaitu varietas unggul yang ciri-cirinya antara lain berdaya hasil tinggi,
tanaman pendek, daun tegak, jumlah anakan produktif sedang – banyak,
tanaman tahan rebah, tahan terhadap hama dan penyakit, tanggap terhadap
pemupukan, umur tanaman genjah, rasa nasi sedang-enak (Zaini, dkk., 2004).
Sementara sifat-sifat varietas lokal diantaranya adalah berumur panjang (150 –
180 hari), tanaman tinggi (> 150 cm), anakan sedikit (< 8 batang), malai
sedang, daun panjang terkulai, berwarna hijau muda, kurang respon terhadap
pemupukan terutama nitrogen, dan indeks panen sekitar 0,3 (Donald, 1968
dalam Widyantoro et al., 2004).
1059
Menurut Reano (2001), penggunaan benih yang sehat, berkualitas dan
murni dapat meningkatkan hasil sampai 25 %. Sedangkan Shenoy et al. (1988),
benih yang kurang sehat memiliki vigor dan daya kecambah yang kurang optimal
sehingga dapat menyebabkan penurunan hasil hingga 20 %. Kemurnian suatu
varietas merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas benih dan
berpengaruh nyata terhadap hasil tanaman (Seshu and Dadlani, 1989; Reano,
2001). Partisipasi petani dalam produksi benih bersertifikat dapat dibina dalam
bentuk kerjasama saling menguntungkan dengan produsen/ perusahaan benih
(Nugraha, 1996).
Penyediaan benih bermutu bagi petani dengan harga terjangkau masih
mengalami hambatan. Produsen benih yang pusat produksinya tersebar di
berbagai wilayah serta luasnya penyebaran areal tanam petani merupakan
kendala dalam pengawasan produksi dan distribusi benih (Pasek Pertanian,
2008). Penyediaan benih dalam jumlah besar secara kontinyu tentu tidak
mudah, dibutuhkan dukungan/keterlibatan berbagai pihak. Beberapa
permasalahan perbenihan tanaman padi yang ada pada saat ini adalah: (1)
Belum semua varietas unggul yang dilepas dapat diadopsi oleh petani/pengguna
benih; (2) Ketersediaan benih sumber dan benih sebar secara 6 (enam) tepat
belum dapat dipenuhi; (3) Belum optimalnya lembaga produksi dan pengawasan
mutu benih; dan (4) Belum semua petani menggunakan benih unggul
bermutu/bersertifikat. Oleh karena itu, dengan mengetahui penebaran
penangkaran dan kemampuan produksinya, serta mengetahui ketersediaan benih
diharapkan pengambil kebijakan dapat mengambil kebijakan yang dapat
mengatasi permasalahn tersebut. Olah karenanya, pengkajian tentang
penyebaran penangkaran dan ketersedian benih padi di Sulsel perlu dilakukan.
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peta penyebaran penangkaran dan
ketersediaan benih padi untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan
di Sulsel.
METODOLOGI
Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai September 2012 di 16
Kabupaten Lingkup Propinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data menggunakan
metode survey. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan kelompok
penangkar dan petugas pengawas perbenihan dari Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih (BPSB), sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait
seperti BPSB, IKB, dan UPTD perbenihan provinsi Sulawesi Selatan. Analisis data
dengan tabulasi secara sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebaran Penangkaran
Penangkaran benih padi yang terdaftar secara resmi pada Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tahun 2012 adalah sejumlah 301 yang
tersebar di 16 Kabuten. Penangkar terbanyak terdapat di Kabupaten Sidrap,
sebanyak 42, dengan kapasitas produksi 11.062,14 ton/tahun. Kemampuan
produksinya rata-rata 9.218,45 t/tahun, dan produksi gabah calon benih tahun
1060
2012 mencapai 7.374,76 ton. Kabupaten Pinrang dengan 41 penangkar memiliki
kapasitas produksi 10.190,88 ton/tahun, kemampuan produksinya mencapai
8.492,40 ton/tahun dan produksi calon benih tahun 2012 mencapai 6.793,92 ton.
Kabuaten Maros memiliki 39 penangkar dengan kapasitas produksi 5.620,35
ton/tahun, kemampuan produksinya mencapai 4.683,00 ton/tahun, dan produksi
calon benih tahun 2012 mencapai 3.746,40 ton.
Sedangkan Kabupaten
Bulukumba sebanyak 34 penangkar dengan kapasitas produksi 2.522,95
ton/tahun, kemampuan produksinya mencapai 2.096,28 ton/tahun dan produksi
calon benih tahun 2012 mencapai 1.633,02 ton. Terdapat 5 kabupaten yang
memiliki penangkar kurang dari 10 yaitu Kabupaten Luwu Utara 2 penangkar,
Luwu Timur dan Sinjai masing 6 pengakar, Bone 7 penangkar, dan Luwu 9
penangkar benih padi. Penyebaran penangkaran benih, kapasitas produksi per
tahun, kemampuan produksi per tahun dan produksi calon benih tahun 2012
pada setiap Kabupaten di Sulawesi Selatan, secara rinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyebaran Penangkar, kapasitas produksi, kemampuan produksi dan
produksi calon benih T.A. 2012
No
Kabupaten
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Bantaeng
Barru
Bulukumba
Gowa
Luwu
Luwu Utara
Luwu Timur
Maros
Pangkep
Pinrang
Sidrap
Sinjai
Soppeng
Bone
Takalar
Wajo
Jumlah
Jumlah
Penangkar
11
19
34
22
9
2
6
39
10
41
42
6
14
7
22
17
301
Kapasitas Prod.
(kg/th)
762.220
2.939.340
2.522.950
2.388.600
548.420
173.100
1.138.800
5.620.350
553.700
10.190.880
11.062,15
542.000
1.741,08
1.171.200
3.173.330
5.272.580
48.697.560
Sumber: BPSB Sulsel. Data Diolah, 2012
Kemampuan
Prod. (kg/th)
630.700
2.845.700
2.096.280
1.988.000
456.600
144.250
949.000
4.683.000
461.000
8.492.400
9.218.450
452.000
1.450.900
976,00
2.607.250
4.097.150
40.631.080
Prod. Calon
benih (ton)
505.560
1.954.310
1.633.020
1.590.400
364.780
115.400
789.200
3.746.400
368.300
6.793.920
7.374.760
361.600
1.160.720
740.800
2.085.550
3.507.720
32.359.360
Ketersediaan Benih
Data stok benih pada penangkar benih kabupaten se-Sulawesi Selatan
pada bulan Mei 2012 berjumlah 206.895 kg yang terdiri atas kelas FS/BD 4.232,5
kg, kelas SS/BP 21.162,5 kg, dan kelas ES/BR 181.500 kg. Terdapat 11 varietas,
5 varietas dominan yaitu Ciliwung, Cigeulis, Ciherang, Memberamo, dan Inpari 1.
Stok benih masing-masing varietas dan kelas benihnya disajikan pada Tabel 2.
1061
Tabel 2. Rekapitulasi stok benih penangkar lainnya bulan Mei 2012
No.
Varitas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Ciliwung
Cigeulis
Ciherang
Memberamo
Inpari 1
Inpari 9
Situ Bagendit
Inpago 4
Cisantana
Inpari 7
Situ Patenggang
Jumlah
Stock Berdasarkan Kelas Benih (kg)
FS/BD
SS/BP
ES/BR
3.032,25
63.000
200
32,50
51.000
100
39.000
32,5
2.000
25.000
400
12.267
3.500
3.000
1.500
1.330,75
1.000
500
4.232,5
21.162,5
181.500
Sumber: UPTD Benih Prov. Sulsel. Data diolah, 2012
Jumlah (kg)
66.032,25
51.232,50
39.000
27.032,5
12.667
3.500
3.000
1.500
1.330,75
1.000
500
206.895
Stok benih yang tersedia di PT. SHS pada bulan Mei 2012 berjumlah
2.559.695 kg, yang terdiri atas benih kelas FS/BD 6.800 kg, kelas SS/BP 54.150
kg dan kelas ES/BR 2.498.745 kg. Lima varietas dominanan yaitu Mekongga,
Inpari 7, Ciliwung, Inpari 6, dan Inpari 4, produksi masing-masing varietas
seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi stok opname benih PT. SHS bulan Mei 2012
N0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Varitas
Mekongga
Inpari 7
Ciliwung
Inpari 6
Inpari 4
Inpari 13
Situ Bagendit
Ciherang
Inpari 8
Cigeulis
Inpari 9
Way Apo Buru
Jumlah
Stock Berdasarkan Kelas Benih (kg)
FS/BD
SS/BP
ES/BR
500
468.230
3.000
314.215
800
48.500
265.720
275.860
252.450
225.225
189.450
2.500
178.870
2.650
160.400
142.100
3.000
20.000
6.225
6.800
54.150
2.498.745
Sumber: PT. SHS. Data diolah, 2012
Jumlah (kg)
468.730
317.215
315.020
275.860
252.450
225.225
182.450
181.220
163.050
142.100
23.000
6.225
2.559.695
Bila stock opname benih penagkar dan PT. SHS digabungkan, maka
jumlah stock opname benih di Sulawesi Selatan pada bulan Mei 2012 berjumlah
2.766.540,5 kg terdiri atas benih kelas FS/BD 11.032,5 kg, kelas SS/BP 75.263 kg
dan kelas ES/BR 2.680.245 kg, dengan 17 varietas (Tabel 4). Sepuluh varietas
dominan berturut-turut adalah; Mekongga, Ciliwung, Inpari 7, Inpari 6, Inpari 4,
Inpari 13, Ciherang, Cigeulis, Situ Bagendit, dan Inpari 8. Stok masing-masing
varietas tersebut tersaji pada Tabel 4.
1062
Tabel 4. Rekapitulasi Stok opname Benih di luar UPBS pada bulan Mei 2012
No
Varitas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Mekongga
Ciliwung
Inpari 7
Inpari 6
Inpari 4
Inpari 13
Ciherang
Cigeulis
Situ Bagendit
Inpari 8
Memberamo
Inpari 9
Inpari 1
Way Apo Buru
Inpago 4
Cisantana
Situ Patenggang
Jumlah
Stock Berdasarkan Kelas Benih (kg)
FS/BD
SS/BP
ES/BR
500
468230
800
51.532,25
328.720
3.000
1.000
315.215
275.860
252.450
225.225
100
2.500
217.870
200
32,5
193.100
300
189.750
2.650
160.400
32,5
2.000
25.000
3.000
23.500
400
12.267
6.225
1.500
1.330,75
500
11.032,5
75.263
2.680.245
Jumlah (kg)
468.730
381.052,25
318.215
275.860
252.450
225.225
220.220
193.332,5
189.750
163.050
27.032,5
26.500
12.667
6.225
1.500
1.330,75
500
2.766.540,5
Penyaluran Benih Tahun 2012
Penyalur/pedagang benih di Sulawesi Selatan selain PT. SHS dan PT.
Pertani, juga terdapat sejumlah 82 penyalur/pedagang benih yang secara resmi
terdaftar di BPSB pada Tahun 2013. Penyalur/pedagan tersebut tersebar di 19
Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan. Jumlah benih yang disalurkan pada tahun
2012 adalah 4.785,36 ton (Tabel 5).
Tabel 5. Penyebaran penyalur/pedagang benih yang terdaftar pada BPSB TPH
diluar PT.SHS dan PT. Pertani TA.2012
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kabupaten
Bantaeng
Barru
Bulukumba
Gowa
Luwu
Luwu Utara
Luwu Timur
Maros
Pangkep
Pinrang
Sidrap
Sinjai
Soppeng
Bone
Enrekang
Wajo
Jml. Penyalur/Pedagang
1
2
4
7
2
3
1
2
6
17
2
4
2
11
1
2
Benih yg disalurkan (kg)
33.920
266.970
184.270
118.380
33.000
184.270
80.030
55.000
57.600
296.010
154.270
567.150
329,000
894.02
15.120
129.750
1063
Lanjutan…
No.
17
18
19
Kabupaten
Jeneponto
Palopo
Makassar
Jumlah
Jml. Penyalur/Pedagang
2
3
10
82
Sumber: BPSB Sulsel. Data Diolah, 2012
Benih yg disalurkan (kg)
33.000
850.000
35.000
4.785.360
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa penyalur/pedagang benih terbanyak
di Kabupaten Pinrang yaitu 17, jumlah benih yang disalurkan pada Tahun 2012
adalah 296 ton. Di Kabupaten Bone jumlah penyalur/pedagang benih adalah 11,
dengan penyaluran benih tertinggi pada tahun 2012 yaitu sejumlah 894,02 kg,
menyusul Kota Palopo memilik 3 penyalur/pedangan dengan jumlah benih yang
salurkan 850 ton pada Tahun 2012.
KESIMPULAN
1. Tahun 2012 terdapat 301 penakar benih padi yang terdaftara di BPSB,
tersebar di 16 Kabupaten dengan tolal produksi gabah calon benih 32.697,32
ton.
2. Jumlah Stok opname benih padi yang terdapat pada PT. SHS dan Penangkar
benih lainnya pada bulan Mei 2012 adalah
3. Terdapat 82 penyalur/pedagang benih, yang tersebar di 19 Kabupaten/Kota,
dengan jumlah benih yang disalurkan adalah 4.785,36 ton.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
BPSBTPH VI, 2000, Inventarisasi Realisasi Luas Penyebaran Varietas Musim
Tanam 2000 di Sulsel, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan VI Maros.
---------------,1998, Benih Bermutu Tanaman Pangan ,
Sertifikasi Benih Tanaman Pangan VI Maros.
Balai Pengawasan dan
Distan Sulsel, , 2007. Perkembangan Statistik Tanaman Pangan Tahun 2006.
Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar.
----------------, 2008. Perkembangan Statistik Tanaman Pangan Tahun 2007. Dinas
Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar.
Nugraha, Udin.S, 1996. Produksi Benih Kedelai Bermutu melalui system Jabal dan
Partisipasi Petani. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol XV
Nomor 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Padmaningsih, S. P. 2006, Metode pengambilan Sample dan Pengujian Vibilitas.
Pasek Pertanian, 2008. Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di tingkat
Petani.
1064
Reano, R,A,, 2001, How to Grow a Good Rice Seed Crop Paper Presented at “Rice
Seed Health Training Centre, Hield at IRRI”, July – August 31, 2001.
Seshu, D,U,, and M, Dadlani, 1998, Role of Women in Seed Management with
Special Reference of Rice, International Rice Testing Program, Technical
Bulletin No, 5 IRRI, P,O Box 933, Manila, Philippines.
Shenoy, Saudhya N, T,R Paris and B, Duff, 1988, Farm Level Harvest and
Postharvest Seed Management Practicesof Farm Women in Rice Farmyng
System Network Orientation and Planning Workshop, Hield at the IRRI
Los Banos, Lagua, Philippines, May 2-11,1988.
Sutopo, Lita, 2004. Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tripp, R. 1995. Seed Regulator Frameworks and Resource-Poor Farmers: A
Literatur Review. Oversease Development Institute. London. UK.
Widyantoro, Suprapto, Firdausil, M. Sabki, Martono, Suranto, M.M. Amin dan
Ismail. 2004. Pemuliaan Padi Partisipatif dan Uji Multilokasi Galur-galur
Harapan Padi Gogo, Padi Sawah dan Padi Rawa. Laporan Akhir. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung.
Wirawan, B. dan S. Wahyuni. 2002. Memproduksi benih bersertifikat; padi, jagung,
kedelai, kacang tanah, kacang hijau. Penebar Swadaya, Jakarta, 120 hal.
Zaini, Z., Diah W.S., dan M. Syam. 2004. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah. Meningkatkan Hasil dan Pendapatan, Menjaga Kelestarian
Lingkungan. Petunjuk Lapang. BP2TP, BPTP Sumut, BPTP Nusa Tenggara
Barat.Balitpa, International Rice Research Institute.57 hal.
1065
KAJIAN EFISIENSI PEMUPUKAN DAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH
PADA LAHAN IRIGASI DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT
PROVINSI MALUKU
M. P. Sirappa dan Edwen D. Waas
Staf Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku
Jl. Chr. Soplanit Rumah Tiga, Ambon 97231
E-mail: mpsirappa_64@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian dilaksanakan di Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku dari
bulan Juni sampai September 2010. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efisiensi
pemupukan dan produktivitas padi pada lahan sawah irigasi dengan pemberian kompos
jerami. Luas areal 2 ha dengan melibatkan 4 petani kooperator. Perlakuan pemupukan
yang dikaji, yaitu A : Pemupukan N, P, dan K berdasarkan analisis tanah dengan PUTS,
B: Pemupukan 100% N, 50% P dan 50% K dari dosis perlakuan A, dan C: Sama dengan
perlakuan B + 2 t/ha kompos jerami. Perlakuan disusun dalam rancangan kelompok yang
diulang 4 kali (petani sebagai ulangan). Teknologi budidaya padi dilakukan dengan
pendekatan PTT. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas yang diperoleh
4,66 t GKP dengan kisaran hasil 4,52 – 4,78 t GKP/ha. Rata-rata produktivitas yang
diperoleh lebih rendah dari potensi hasil varietas Inpari 1, tetapi lebih tinggi dari hasil
petani di sekitar lokasi kajian (2,60 – 3,00 t GKP/ha). Produktivitas yang rendah diduga
karena tingginya curah hujan saat penelitian berlangsung sehingga penggunaan pupuk
tidak efektif, disamping adanya serangan hama penggerek batang. Perlakuan C
memberikan hasil yang lebih tinggi (4,78 t/ha) dibandingkan dengan perlakuan A (4,67
t/ha) dan perlakuan B (4,52 t/ha). Perlakuan B dan C dapat menghemat biaya
pemupukan masing-masing sebesar 38% dan 32% dibandingkan dengan perlakuan A
dengan biaya produksi gabah sebesar Rp 285/kg dan
Rp. 295/kg, jauh lebih
rendah dibandingkan dengan biaya produksi pada perlakuan A (Rp. 444/kg).
Pengurangan 50% pupuk P dan K dari dosis berdasarkan analisis tanah dengan PUTS,
dan penambahan kompos jerami 2 t/ha (Perlakuan C) dapat menghemat biaya pupuk
tanpa menurunkan produktivitas padi.
Kata kunci: Efisinesi pemupukan, kompos jerami padi, produktivitas, lahan sawah irigasi
PENDAHULUAN
Beras merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia,
sehingga produksi padi ke depan harus terus ditingkatkan seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020 dibutuhkan
sekitar 35,95 juta ton beras dengan asumsi konsumsi 135 kg/kapita (Irianto et
al., 2009). Dalam upaya menjaga keamanan pangan khususnya beras, maka
peningkatan produksi padi di wilayah-wilayah lainnya di luar pulau Jawa perlu
didorong.
Menurut Kementerian Pertanian (2013) dan Dirjen Tanaman Pangan
(2013), target produksi padi tahun 2014 sekitar 76,57 juta ton GKG dan surplus
beras 10 juta ton merupakan tantangan yang memerlukan upaya khusus dan
strategi dalam pencapaian target tersebut, antara lain peningkatan produktivitas
1066
melalui penerapan SL-PTT dengan pendekatan kawasan skala luas, terintegrasi
dengan dukungan pendampingan dan pengawalan. Irianto (2009) juga
mengemukakan bahwa adanya tekanan terhadap sistem produksi padi yang
makin berat dan kompleks, menuntut perlu upaya terobosan spektakuler non
konvensional untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas sistem
produksi padi nasional sampai dengan tahun 2020.
Maluku meskipun tidak termasuk sentra produksi padi nasional, namun
saat ini telah menunjukkan peranannya dalam pengembangan padi. Luas areal
panen padi sawah di Maluku pada tahun 2008 sekitar 16.240 ha dan produksi
69.773 ton dengan produktivitas rata-rata 4,29 t/ha (Dinas Pertanian Prov.
Maluku, 2009), dan pada tahun 2012 luas panen meningkat menjadi 21.769 ha
dengan produksi sebesar 90.240 ton dan produktivitas 4,15 t/ha (Dirjen
Tanaman Pangan, 2013). Hasil yang dicapai ini masih rendah jika dibandingkan
dengan potensi hasil padi sawah varietas unggul baru atau hibrida yang dapat
mencapai 10 t/ha dengan penerapan inovasi teknologi (Badan Litbang Pertanian,
2007; 2008).
Peningkatkan produktivitas tanaman dan lahan dapat dilakukan melalui
penggunaan pupuk anorganik dan organik secara bijak dan rasional dengan
memanfaatkan limbah tanaman serta penggunaan varietas unggul baru yang
mempunyai potensi hasil tinggi, umur genjah dan adaptif dengan lingkungan.
Penerapan teknologi inovasi PTT berdasarkan hasil penelitian selama ini telah
mampu meningkatkan produktivitas padi sekitar 38% dengan hasil antara 7 - 8,9
t/ha, dan pendapatan petani sebesar 15% (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Beberapa dekomposer yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian
dapat digunakan dalam mempercepat pelapukan limbah jerami 2-4 minggu,
diantaranya Promi. Pemanfaatan kembali limbah jerami diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, terutama pupuk kalium.
Menurut Fairhurst dan Witt (2002) dan Makarim et al. (2003) pengembalian
kembali 100% jerami padi dapat menghemat penggunaan pupuk kalium sebesar
15-33%.
Kim dan Dale dalam Isroi (2009) mengemukakan bahwa potensi jerami
padi setara dengan 1,4 kali hasil panennya (GKG) dengan rendemen kompos
jerami sekitar 60%. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompos jerami memiliki
kandungan hara setara dengan 41,3 kg urea, 5,8 kg SP-36 dan 89,17 kg KCl
untuk setiap ton kompos atau sekitar 136,27 kg NPK untuk setiap ton kompos.
Berdasarkan data luas panen padi nasional tahun 2012 sebesar 13.500.000 ha
dan produktivitas rata-rata 5 ton/ha, maka untuk 1 ha sawah dapat
menghasilkan sekitar 4,2 ton kompos, sehingga total kompos sekitar 56,70 juta
ton. Dengan demikian, potensi hara dari kompos jerami nasional tahun 2012
setara dengan 2,34 juta ton urea, 0,33 juta ton SP-36, dan 5,06 juta ton KCl atau
sekitar 7,73 juta ton NPK. Dengan demikian, pengembalian jerami padi ke lahan
sawah dalam bentuk kompos secara rutin dapat menghemat biaya dan
penggunaan pupuk anorganik dalam jumlah yang cukup besar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi pemupukan dan
produktivitas produktivitas padi sawah dengan penambahan kompos jerami pada
lahan irigasi di Kairatu, kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
1067
METODOLOGI
Kajian dilakukan di lahan sawah irigasi di Kairatu, kabupaten Seram
Bagian Barat. Kegiatan berlangsung dari bulan Juni sampai September 2010.
Teknologi budidaya padi dilakukan dengan pendekatan PTT dengan melibatkan
petani secara langsung.
Luas lahan kajian seluruhnya 2 ha dengan melibatkan 4 petani kooperator
dengan luas lahan masing-masing 0,5 ha. Kegiatan disusun berdasarkan
rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan (petani sebagai ulangan). Jumlah
perlakuan pemupukan yang dikaji sebanyak 3 perlakuan yang dilakukan oleh
petani. Ketiga perlakuan pemupukan yang dikaji adalah A= Pemupukan N, P, K
berdasarkan analisis tanah dengan PUTS, B = Pemupukan 100% N, 50% P, 50%
K dari dosis perlakuan A, dan C= Sama dengan perlakuan B + kompos jerami 2
t/ha.
Varietas yang digunakan dalam kajian ini adalah Inpari-1. Jumlah bibit
yang ditanam 1 - 3 bibit per lubang dengan umur bibit muda (< 21 hari). Dosis
pemupukan didasarkan atas hasil pengukuran PUTS. Dosis pupuk N, P, K
berdasarkan analisis tanah dengan PUTS adalah 250 kg urea, 150 kg SP-36 dan
150 kg KCl/ha. Pemupukan dasar dilakukan pada umur 10 hst dengan
memberikan 50 kg urea, seluruh pupuk SP-36 dan setengah dosis KCl, dan
pupuk urea susulan diberikan berdasarkan skala warna daun yang diukur dengan
alat BWD pada fase anakan aktif (21-28 hst) dan primordia (35-40 hst),
sedangkan setengah bagian pupuk susulan KCl diberikan pada fase primordia.
Jika nilai pembacaan BWD < 4 maka takaran urea yang diberikan sekitar 75-100
kg dan 100-125 kg/ha, masing-masing untuk fase anakan aktif dan primordia.
Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan menganut prinsip
PHT (Departemen Pertanian, 2007; Anonim, 2008), yakni berdasarkan
monitoring. Pengomposan limbah jerami padi dilakukan dengan menggunakan
dekomposer Promi.
Peubah yang diamati dari pertanaman adalah :
 Tinggi tanaman, yaitu rata-rata tinggi tanaman dari 10 rumpun contoh tiap
perlakuan, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai tertinggi (saat
panen).
 Jumlah malai per rumpun, yaitu rata-rata jumlah malai dari 10 rumpun
contoh tiap perlakuan.
 Jumlah gabah isi dan gabah hampa, yaitu rata-rata jumlah gabah isi dan
hampa dari 10 rumpun contoh tiap perlakuan.
 Bobot 1000 biji gabah
 Hasil gabah bersih per petak dan per hektar.
Analisa data dilakukan dengan metode statistik, menggunakan System SAS
versi 6.12 dan perbedaan antar perlakuan dengan uji Duncan.
Efisiensi biaya pupuk dihitung dengan mengurangkan total biaya pemupukan
pada perlakuan pemupukan rekomendasi dikurangi dengan total biaya pada
perlakuan pemupukan yang dikaji dibagi dengan total biaya pemupukan
rekomendasi dikalikan dengan 100 persen, atau efisiensi biaya pupuk = (
biaya pemupukan A – biaya pemupukan B atau C) / biaya pemupukan A) x
100%. Demikian juga efisiensi biaya produksi gabah dihitung dengan
mengurangkan biaya produksi gabah pada perlakuan pemupukan
1068
rekomendasi dikurangi dengan biaya produksi gabah pada perlakuan yang
dikaji dibagi dengan biaya produksi gabah perlakuan pemupukan rekomendasi
dikalikan dengan 100 persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Iklim dan Pola Tanam
Iklim di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah iklim laut tropis dan iklim
musim, karena letak wilayah Seram Bagian Barat di dekat daerah katulistiwa dan
dikelilingi oleh laut luas. Oleh karena itu iklim disini sangat dipengaruhi oleh
lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim yaitu musim Barat atau
Utara dan Musim Timur atau Tenggara. Pergantian musim selalu diselingi oleh
musim pancaroba. Musim pancaroba merupakan transisi dari kedua musim
tersebut.
Musim Barat umumnya berlangsung pada bulan Desember sampai
dengan bulan Maret, sedangkan pada bulan April merupakan masa transisi ke
musim Timur. Musim Timur berlangsung pada bulan Mei sampai dengan bulan
Oktober disusul oleh masa pancaroba pada bulan Nopember yang merupakan
transisi ke musim Barat. Curah hujan dan hari hujan di kabupaten SBB disajikan
pada Tabel 1.
Hasil wawancara dengan ketua Gapoktan, PPL desa Waimital dan
beberapa ketua kelompok tani bahwa MT-1 biasanya pada bulan Januari dan MT2 pada bulan Juni selanjutnya setelah panen pada MT-2 lahan dalam keadaan
bero, seperti pada Gambar 1. Pengolahan tanah umumnya menggunakan hand
traktor, sistem pengairan bergilir, varietas yang digunakan ada beberapa jenis
seperti, Cisantana, Ciherang, Mekongga, dan Cigeulis. Dalam musim tanam
pertama tahun 2010, varietas yang ditanam adalah Cisantana dan pada MT 2,
adalah varietas Inpari-1. Cara tanam menggunakan sistem tabela dimana
penggunaan benih dapat mencapai 60-70 kg/ha, pupuk yang digunakan
kombinasi NPK Phonska 100 kg/ha dengan urea 150 kg/ha, pengendalian gulma
dengan menggunakan herbisida Ally yang dikombinasikan dengan cara manual,
pengendalian ulat grayak dengan menggunakan Dursban dan Bassa, walang
sangit dengan Decis, pengendalian penyakit HDB (Hawar Daun Bakteri/kresek)
dengan Score. Produktivitas padi masih rendah berkisar antara 3 - 5 t/ha GKP
tergantung verietas yang digunakan.
Tabel 1. Curah Hujan dan hari Hujan di Kabupaten Seram Bagian Barat (2005 –
2010)
Bulan
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
2005
CH
HH
(mm) (hari)
86
48
364
188
103
267
508
82
13
3
14
20
21
20
22
8
2006
CH
HH
(mm)
(hari)
147
209
77
107
147
946
174
32
20
16
14
19
15
30
18
14
2007
CH
HH
(mm)
(hari)
50
153
79
171
153
631
109
156
12
15
13
20
15
24
23
20
2008
CH
HH
(mm)
(hari)
153
127
219
229
227
553
650
1.070
20
15
26
19
22
21
30
30
2009
CH
HH
(mm)
(hari)
237
133
136
214
98
208
191
91
20
14
11
20
17
14
26
10
2010
CH
HH
(mm) (hari)
172
13
126
97
300
525
506
573
1069
13
5
14
9
28
27
27
26
Lanjutan...
Bulan
September
Oktober
Nopember
Desember
Rerata
Sumber
Keterangan
2005
CH
HH
(mm) (hari)
87
303
108
229
198
8
24
11
7
14
2006
CH
HH
(mm)
(hari)
105
5
77
91
176
15
4
12
14
16
2007
CH
HH
(mm)
(hari)
324
222
74
182
192
19
19
17
10
17
2008
CH
HH
(mm)
(hari)
219
317
83
217
339
25
26
16
21
23
2009
CH
HH
(mm)
(hari)
18
72
118
93
134
10
8
9
6
14
2010
CH
HH
(mm)
(hari)
325
92
110
290
262
: Stasiun Klimatologi Kairatu (2010); BPS Kab. SBB (2011)
: CH = Curah Hujan
HH = Hari Hujan
Pola tanam :
Padi Sawah
Padi Sawah
Bero
Gambar 1. Grafik curah hujan dan pola tanam yang umum di Kab. Seram Bagian
Barat
Status Hara Tanah
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) adalah suatu alat untuk analisis kadar
hara tanah secara langsung di lapangan dengan relatif cepat, mudah, dan
murah. Prinsip kerja PUTS adalah mengukur kadar hara N, P, dan K tanah dalam
bentuk tersedia, yaitu hara yang larut dan atau terikat lemah dalam kompleks
jerapan koloid tanah. Kadar atau status hara N, P, dan K dalam tanah ditentukan
dengan cara mengekstrak dan mengukur hara tersedia di dalam tanah. Oleh
karena itu, pereaksi atau bahan kimia yang digunakan dalam alat uji tanah ini
terdiri atas larutan pengekstrak dan pembangkit warna. Bentuk hara yang
diekstrak dengan PUTS untuk nitrogen adalah NO3-N dan NH4-N, untuk fosfat
adalah orthophosphate (PO43-, HPO4=, dan H2PO4-) dan kalium adalah K+.
Pengukuran kadar hara dilakukan secara semi kuantitatif dengan metode
kolorimetri (pewarnaan). Hasil analisis N, P, dan K tanah selanjutnya digunakan
sebagai kriteria penentuan rekomendasi pemupukan N, P, dan K spesifik lokasi
untuk tanaman padi sawah.
Fosfor (P) dalam tanah terdiri dari P-anorganik dan P-organik yang
berasal dari bahan organik dan mineral yang mengandung P (apatit). Unsur P
dalam tanah tidak bergerak (immobile), P terikat oleh liat, bahan organik, serta
oksida Fe dan Al pada tanah yang pHnya rendah (tanah masam dengan pH 45,5) dan oleh Ca pada tanah yang pH-nya tinggi (tanah netral dan alkalin dengan
pH 7-8). Tanah mineral yang disawahkan pada umumnya mempunyai pH netral
1070
29
23
23
20
20
antara 5,5-6,5 kecuali untuk tanah sawah bukaan baru, sehingga ketersediaan P
tidak menjadi masalah.
Akibat pemupukan fosfat (P) dalam jumlah besar dan kontinyu di tanah
sawah intensifikasi selama bertahun-tahun, telah terjadi penimbunan (akumulasi)
fosfat di dalam tanah. P tanah yang terakumulasi ini dapat digunakan kembali
oleh tanaman apabila reaksi tanah mencapai kondisi optimal pelepasan P
tersebut. Fosfor berperan penting dalam sintesa protein, pembentukkan bunga,
buah dan biji serta mempercepat pemasakan. Kekurangan P dapat menyebabkan
pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, anakan sedikit, lambat pemasakan dan
produksi tanaman rendah. Kebutuhan tanaman akan hara P dapat dipenuhi dari
berbagai sumber antara lain TSP, SP-36, DAP, P-alam, NPK yang pada umumnya
diberikan sekaligus pada awal tanam.
Kalium (K) dalam tanah bersumber dari mineral primer tanah (feldspar,
mika, vermikulit, biotit, dll), dan bahan organik sisa tanaman. K dalam tanah
mempunyai sifat yang mobile (mudah bergerak) sehingga mudah hilang melalui
proses pencucian atau terbawa arus pergerakan air. Berdasarkan sifat tersebut,
efisiensi pupuk K biasanya rendah, namun dapat ditingkatkan dengan cara
pemberian 2-3 kali dalam satu musim tanam.
Kalium dalam tanaman berfungsi mengendalikan proses fisiologis dan
metabolisme sel, meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Kekurangan hara
kalium menyebabkan tanaman kerdil, lemah (tidak tegak), proses pengangkutan
hara, pernafasan, dan fotosintesis terganggu, yang pada akhirnya mengurangi
produksi. Pada tanaman padi, sebagian hara K dapat digantikan oleh jerami padi
yang dikembalikan sebagai pupuk organik. Kadar K dalam jerami umumnya 1 %
sehingga dalam 5 ton jerami terdapat sekitar 50 kg K setara dengan pemupukan
95 kg KCl/ha. Pengembalian jerami dalam bentuk segar maupun dikomposkan di
lahan sawah harus digalakkan, karena selain mengandung unsur K juga
mengandung unsur hara lain seperti N, P, Ca, Mg dan unsur mikro, hormon
pengatur tumbuh serta asam-asam organik yang sangat berguna bagi tanaman.
Penambahan jerami dan bahan organik lain dapat meningkatkan kadar bahan
organik tanah dan keragaman hayati/biologi tanah yang secara tidak langsung
dapat meningkatkan dan mengefisienkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman.
Hasil pengukuran status hara tanah pada lokasi pengkajian menunjukkan
bahwa N tergolong tinggi, P dan K tergolong rendah. Rekomendasi pupuk SP-36
(kg/ha) untuk padi sawah yang mempunyai potensi hasil 5 - 7 t GKG/ha pada
status P tanah rendah adalah 100 kg SP-36/ha. Karena yang ditanam adalah
padi VUTB dengan potensi hasil sebesar
> 7 t GKG/ha, maka rekomendasi
pupuk SP-36 harus dikalikan dengan faktor koreksi sebesar 1,2 (dengan asumsi
potensi hasil padi VUB 20% lebih tinggi dari VUB biasa), sehingga dosis pupuk
SP-36 yang digunakan harus 150 kg/ha. Demikian juga rekomendasi pupuk KCl
(kg/ha) untuk padi sawah yang mempunyai potensi hasil 5 - 7 t GKG/ha pada
status K tanah rendah adalah 100 kg KCl/ha (jika tanpa pengembalian jerami)
atau sekitar 75 kg KCl/ha (pengembalian jerami). Karena varietas yang ditanam
adalah padi VUB dengan potensi hasil sebesar > 7 t GKG/ha, maka rekomendasi
pupuk KCl harus dikalikan dengan faktor koreksi sebesar 1,2 (dengan asumsi
potensi hasil padi VUB 20% lebih tinggi dari VUB biasa), sehingga dosis pupuk
KCl adalah 150 kg/ha (tanpa pengembalian jerami) atau sekitar 50-100 kg KCl/ha
(pengembalian jerami).
1071
Pengomposan Jerami Padi dengan Promi
Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan atau yang masih
segar berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta
sebagai sumber hara tanaman. Secara umum kandungan hara dalam pupuk
organik tergolong rendah dan agak lambat tersedia, sehingga diperlukan dalam
jumlah cukup banyak.
Bahan pupuk organik yang segar selama pengomposan akan terjadi
proses dekomposisi yang dilakukan oleh beberapa mikroba, baik dalam kondisi
aerob maupun anaerob. Sumber bahan kompos antara lain berasal dari limbah
organik sisa tanaman, seperti jerami padi. Tingkat kematangan dan kestabilan
kompos menentukan kualitas kompos yang dihasilkan, dengan rasio C/N < 25.
Untuk mempercepat proses pengomposan, beberapa dekomposer yang
dapat digunakan antara lain promi. Mikroba yang terkandung dalam promi
adalah Trichoderma harzianum DT38, T. Pseudokoningii DT39, Aspesgillus sp.
dan fungi pelapuk putih, yang bermanfaat dalam mempercepat pengomposan,
sebagai biofertilizer dalam memacu pertumbuhan dan meningkatkan hasil
tanaman serta melarutkan P yang terikat, dan sebagai biofungisida dalam
mengendalikan penyakit tanaman.
Beberapa kelebihan dari dekomposer promi selain mudah dan murah,
antara lain adalah: (a) dapat langsung diaplikasikan ke tanah sebagai pupuk, (b)
memperkaya kompos dengan mikroba, dan (c) mempercepat proses
pengomposan limbah tanpa perlu pencacahan limbah terlebih dahulu dan tanpa
pembalikan (kompos siap panen dalam 2-4 minggu). Hasil pengomposan limbah
jerami dengan menggunakan Promi dalam kajian ini berjalan cepat, dan dalam
waktu 3 minggu bahan pengomposan sudah matang dan siap digunakan. Dalam
pengomposan limbah jerami dengan menggunakan Promi sebagai bioaktifator,
faktor kelembaban memegang peranan penting.
Aplikasi kompos dilakukan pada saat atau sebelum pengolahan tanah,
diperlukan terutama untuk tanah-tanah dengan kandungan bahan organik
rendah. Takaran kompos yang digunakan minimal 2 t/ha. Kandungan hara dari
kompos jerami padi adalah 0,5 – 0,8% N, 0,15 - 0,26% P2O5, dan 1,2 - 1,7%
K2O.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Secara visual terlihat bahwa warna daun tanaman yang diberi pupuk
kompos jerami lebih hijau dibandingkan warna daun tanaman yang tidak diberi
bahan organik. Kondisi tanaman padi cukup baik bila dibandingkan dengan
tanaman yang ada disekitarnya, walaupun terdapat serangan hama terutama
penggerek batang (sundep dan beluk). Hasil pengamatan petugas hama dan
penyakit di lapang menunjukkan bahwa terdapat beberapa hama penting yang
menyerang pertanaman padi di Kairatu (Tabel 2), termasuk pada lokasi kajian
efisiensi pupuk.
1072
Tabel 2. Keadaan serangan OPT di Kairatu, Seram Bagian Barat, TA. 2010
Jenis
OPT*
01
04
05
06
07
11
21
Juli
Minggu
Minggu
I – II
III – IV
Luas Inten- Luas Inten(ha) sitas (ha)
sitas
(%)
(%)
10,5 3,71
150,5 9,15
3,5 0,05
5,0 0,21
0
0
0
0
17,5 0,12
Agustus
Minggu
Minggu
I – II
III - IV
Luas
Inten- Luas Inten(ha)
sitas
(ha)
sitas
(%)
(%)
160,5
5,48 486,0 26,31
185,5 12,44 242,5 18,80
13,5
1,78
28,5
3,03
250,5
5,34 365,5 11,27
0
0
0
0
0
0
10,5
0,73
76,50
3,66
87,0
7,61
September
Minggu
Minggu
I – II
III – IV
Luas Inten- Luas Inten(ha)
sitas
(ha) sitas
(%)
(%)
594,5 14,36
247,5 13,36
0
0
375,5
7,20
150,5
3,25
83,5
3,20
0
0
-
Sumber: Pengamat hama dan penyakit Kab. SBB
Keterangan: * 01: penggerek batang; 04: tikus; 05: ulat grayak; 06: hama putih palsu;
07: walang sangit; 11: blas, 21 lainnya
Penggerek batang merupakan hama dominan dan endemik, menyusul
tikus dan hama putih palsu. Upaya yang dilakukan petani terhadap pengendalian
hama penggerek batang adalah pemberian Furadan dan penyemprotan
insektisida Montaf dan Rudal. Melalui pengendalian yang intensif, serangan hama
penggerek batang dapat ditekan, sehingga pertumbuhan tanaman dapat pulih
kembali.
Hasil diskusi dengan petani peserta dan petugas lapang bahwa kondisi
curah hujan yang tinggi menyebabkan aplikasi insektisida yang dilakukan kurang
efektif. Kondisi cuaca saat ini sulit diprediksi, yang biasanya di bulan Agustus
sudah memasuki musim kemarau, namun pada tahun ini curah hujan masih
tinggi, seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik curah hujan saat kajian berlangsung tahun 2010
Hasil pengukuran terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan
produktif/rumpun pada fase masak fisiologis (umur 80 hst) menunjukkan bahwa
perlakuan D dan C, yaitu penggunaan bahan organik dari kompos jerami setara
dengan dosis 2 t/ha yang dikombinasikan dengan seluruh N dan setengah dosis
rekomendasi P dan K, rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan
1073
produktif/rumpun lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (pemupukan N,
P, dan K dosis rekomendasi) atau perlakuan B (pemupukan N sesuai
rekomendasi, P dan K setengah dosis rekoemndasi) dan tanpa pemberian bahan
organik.
Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif/rumpun
tertinggi diperoleh pada perlakuan C adalah 97,09 cm dan 16,41 anakan,
sedangkan terendah pada perlakuan B (91,94 cm dan 14,63 anakan), seperti
pada Tabel 3.
Panjang malai, jumlah gabah/malai (gabah isi dan gabah hampa/malai),
dan bobot 1000 butir gabah disajikan pada Tabel 3. Perlakuan C (penggunaan
pupuk P dan K setengah berdasarkan analisis tanah dengan PUTS dan pemberian
kompos jerami 2 t/ha) memberikan rata-rata panjang malai tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun tidak berbeda nyata. Demikian
juga terhadap jumlah gabah/malai (jumlah gabah isi dan gabah hampa/malai).
Rata-rata jumlah gabah/malai dan jumlah gabah isi/malai terbanyak diperoleh
pada perlakuan C dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, namun jumlah
gabah hampa dan bobot 1000 butir tidak berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya.
Tabel 3. Rata-rata komponen pertumbuhan dan hasil tanaman pada perlakuan
pemupukan, TA. 2010
Parameter
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Anakan Produktif/Rumpun
Panjang Malai (cm)
Jumlah Gabah/Malai
Jumlah Gabah Isi/Malai
Jumlah Gabah Hampa/Malai
Bobot 1000 Butir Gabah (gram)
Hasil Ubinan 5 m x 5 m (kg)
Hasil (t/ha *)
Keterangan :
A
96,44 a
15,38 a
23,76 a
108,00 b
100,00 b
8,00 b
28,00 a
11,68 ab
4,67 ab
Perlakuan
B
91,94 b
14,63 a
23,73 a
106,00 b
96,00 b
10,00 ab
27,00 a
11,29 b
4,52 ba
C
97,09 a
16,41 a
24,35 a
116,00 b
105,00 a
11,00 a
28,00 a
11,96 a
4,78 a
Rataan
Umum
95,16
15,47
23,95
110,00
101,33
9,67
27,67
11,64
4,66
Rata-rata dari 4 petani kooperator
A = 250 kg urea + 150 kg SP36 + 150 kg KCl (PUTS)
B = 250 kg urea + 50% SP36 + 50% KCl
C = B + 2 ton kompos jerami
- Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata pada 5% uji Duncan
* Konversi dari hasil ubinan
Hasil ubinan 5 m x 5 m dan hasil per hektar dari perlakuan pemupukan
disajikan pada Tabel 3. Rata-rata hasil gabah yang diperoleh keempat petani
dari 3 perlakuan adalah 4,52 – 4,78 t GKP/ha, lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil rata-rata yang diperoleh petani di luar kajian, yaitu 2,60 – 3,00 t GKP/ha.
Namun jika dibandingkan dengan rata-rata hasil Inpari 1 berdasarkan deskripsi
(7,30 t/ha), maka rata-rata hasil yang diperoleh petani pada kajian ini lebih
rendah (4,66 t/ha). Hal ini diduga selain karena adanya serangan hama
penggerek batang, juga karena tingginya curah hujan selama kegiatan
berlangsung sehingga pupuk yang diberikan tidak efektif diserap oleh tanaman.
Hasil gabah yang diperoleh pada setiap perlakuan dan petani disajikan pada
Gambar 3.
1074
Pada Gambar 3 terlihat bahwa hasil gabah tertinggi (4,78 t/ha) diperoleh
perlakuan C yaitu pemupukan 250 kg urea + 75 kg SP-36 dan 75 KCl/ha
ditambah dengan kompos jerami 2 t/ha meskipun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan A (dosis pemupukan berdasarkan analisis tanah dengan PUTS), tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan B (4,52 t/ha), yaitu pemupukan P dan K
setengah dosis tanpa kompos jerami. Pada perlakuan C, penambahan pupuk
organik yang bersumber dari kompos jerami diduga cukup untuk memenuhi
kebutuhan hara tanaman, meskipun hasil yang diperoleh masih di bawah potensi
hasil padi Inpari-1. Bahan organik pada umumnya tidak berpengaruh langsung
terhadap hasil tanaman, tetapi lebih pada perbaikan hara tanah. Menurut
Sisworo (2006), pengembalian jerami padi, baik dalam bentuk segar maupun
yang telah dikomposkan nyata meningkatkan serapan N, meskipun tehadap hasil
gabah belum tentu berpengaruh nyata.
Gambar 3. Rata-rata hasil gabah petani kooperator (Perlakuan A, B, dan C) vs
petani non kooperator
Las et al. (1999) menyatakan bahwa dalam meningkatkan produksi padi,
perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan
kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan jerami padi.
Penambahan bahan organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan
tumbuh tanaman antara lain dapat meningkatkan efisiensi pemupukan
(Adiningsih dan Rochayati, 1988). Hasil penelitian penggunaan bahan organik
seperti kompos, dapat meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi
pemupukan serta mengurangi kebutuhan pupuk, terutama pupuk kalium.
Thamrin (2000); Arafah dan Sirappa (2003) melaporkan bahwa penggunaan
bahan organik, seperti kompos jerami, dapat meningkatkan hasil gabah secara
nyata dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik. Menurut Adiningsih
(1984), pengembalian jerami ke lahan sawah sebanyak 5 t/ha selama 4 musim
tanam, dapat meningkatkan hasil gabah dan dapat menyumbang hara Kalium
sekitar 170 kg K.
Efisiensi biaya pemupukan pada padi sawah irigasi di Kairatu, kabupaten
Seram Bagian Barat sebesar 32 – 38 %. Perlakuan B, yaitu pengurangan 50%
dosis pupuk P dan K dapat menghemat biaya pupuk sebesar Rp. 787.500 atau
sekitar 38 % dengan produktivitas yang tidak berbeda nyata dibandingkan
dengan pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah dengan PUTS (Perlakuan A).
1075
Demikian juga pada perlakuan C, yaitu pengurangan 50% dosis pupuk P dan K
dan penambahan kompos jerami 2 t/ha dapat menghemat biaya pemupukan
sebesar Rp. 667.500 (32%) dengan produktivitas tertinggi (4,78 t/ha), tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan A, namun berbeda nyata dengan
perlakuan B (Tabel 4).
Biaya produksi gabah tertinggi (hanya memperhitungkan biaya pupuk)
diperoleh pada perlakuan A (Rp. 444/kg), menyusul pada perlakuan C (Rp.
294/kg), dan biaya produksi gabah terendah pada perlakuan B (Rp. 285/kg).
Efisiensi biaya produksi gabah pada perlakuan B dan C, masing-masin sebesar
36% dan 34% dibandingkan dengan perlakuan A (Tabel 4).
Tabel 4.
Biaya produksi dan efisiensi pemupukan pada kajian pemupukan di
Kairatu, TA. 2010
Uraian
Urea
SP-36
KCl
Dekomposer Promi
Total biaya pemupukan
Efisiensi biaya pupuk (%)
Hasil (t/ha)
Biaya produksi gabah/kg
Efisiensi biaya produksi
gabah (%)
A
Volume
(kg)
250
150
150
0
4,67
-
Nilai (Rp)
500.000
675.000
900.000
0
2.075.000
444
-
Perlakuan
B
Volume
Nilai (Rp)
(kg)
250
500.000
75
337.500
75
450.000
0
0
1.287.500
37,95
4,52
285
35,81
C
Volume
(kg)
250
75
75
2
4,78
-
Nilai (Rp)
500.000
337.500
450.000
120.000
1.407.500
32,17
294
33,78
Keterangan: A, B dan C (lihat Tabel 3)
KESIMPULAN
1. Kisaran hasil yang diperoleh pada penelitian ini 4,52 – 4,78 t GKP/ha (ratarata 4,66 t GKP/ha), lebih rendah dari potensi hasil varietas Inpari 1, tetapi
lebih tinggi dari rata-rata hasil petani di sekitar lokasi kajian (2,60 – 3,00 t
GKP/ha).
2. Efisiensi biaya pemupukan dari perlakuan B sebesar 38 % dan perlakuan C
sebesar 32% dibandingkan dengan perlakuan A, sedangkan biaya produksi
gabah masing-masing sebesar Rp 444/kg untuk perlakuan A, Rp. 285/kg
untuk perlakuan B, dan
Rp. 295/kg untuk perlakuan C.
3. Pengurangan 50 % dosis pupuk P dan K dari dosis berdasarkan analisis tanah
dengan PUTS dan penamabahan kompos jerami 2 t/ha (Perlakuan C)
memberikan produktivitas tertinggi (4,78 t/ha) dengan efisiensi biaya
pemupukan sebesar 32 % dan biaya produksi gabah sebesar Rp 295/kg.
4. Penggunaan kompos jerami padi dengan activator promi dapat menghemat
pemakaian pupuk P dan K sebesar 50% dari dosis rekomendasi tanpa
menurunkan produktivitas padi.
1076
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Sri J. 1984. Pengaruh Beberapa Faktor terhadap Penyediaan Kalium
Tanah Sawah Daerah Sukamandi dan Bogor. Disertasi Pascasarjana
IPB Bogor.
Adiningsih, Sri J. dan Sri Rochayati. 1988. Peranan Bahan Organik dalam
Meningkatkan Efisiensi Pupuk dan Produktivitas Tanah. Hal. 161-181.
Dalam M. Sudjadi et al. (eds). Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi
Pupuk. Puslittan. Bogor.
Anonim.
2008.
Implementasi Pengendalian Hama-Penyakit-Gulma Terpadu.
DalamI Modul Pelatihan TOT SL-PTT Padi Nasional, Sukamandi, 24-29
Maret 2008. Kerjasama Direktorat Budidaya Serealia-Dirjen Tanaman
Pangan, Pusat Pengembangan Pelatihan Pertanian-Badan SDM
Pertanian, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi-Badan Penelitian dan
Pengambangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Arafah dan M.P. Sirappa. 2003. Kajian Penggunan Jerami dan Pupuk N, P, dan K
pada Lahan Sawah Irigasi. BPTP Sulawesi Selatan. J. Ilmu Tanah dan
Lingkungan 4 (1):15-24. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 37 Hal.
Badan Litbang Pertanian. 2008. Teknologi Padi dan Pemanasan Global.
Kerjasama Indonesia-IRRI. Badan Litbang Pertanian. IRRI. 26 Hal.
BPS Kab. Seram Bagian Barat. 2011. Kabupaten Seram Bagian Barat Dalam
Angka 2010. Badan Pusat Statiktik Kabupaten Seram Bagian Barat.
Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian.40 hal.
Dinas Pertanian Provinsi Maluku. 2009. Program dan Anggaran Pembangunan
Pertanian Provinsi Maluku Tahun 2009. Bahan Presentasi pada Rapat
Teknis Evaluasi TA.2008 dan Perencanaan TA. 2009 Dinas Pertanian
Provinsi Maluku, 10-13 Maret 2009.
Dirjen Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.
Kementerian Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan. 134 hal.
Fairhurst, T.H. & C. Witt. 2002. Rice : A Practical Guide to Nutrient
management.
Potash & Potash Institute, Potash & Potash
Institute of Canada, and IRRI.
Irianto, S. Gatot. 2009. Genjot Produksi dengan IP Padi 400. Sinar Tani Edisi 410 Pebruari 2009 No.3289 Tahun XXXIX.
Irianto, S. G. Abdulrachman, H. Sembiring, Hendarsih, M. Yamin Samaullah, dan
P. Sasmita. 2009. Peningkatan Produksi Padi Melalui Pelaksanaan IP
Padi 400. Pedum IP Padi 400. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Badan Litbang Pertanian. 47 hal.
1077
Isroi.
2009.
Hasil
Analisa
Kompos
Jerami
dan
Nilai Haranya.
http://www.isroi.wordpress.com/2009/05/13/hasil-analisa-komposjerami-dan-nilai-haranya. [diakses 13 Mei 2013].
Kementerian Pertanian. 2013. Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton pada Tahun 2014.
Kementerian Pertanian.
76 hal.
Las,
I.,
A.K. Makarim, Sumarno, S. Purba, M. Mardiharini, dan S.
Kartaatmadja.1999. Pola IP Padi 300: Konsepsi dan Prospek
Implementasi, Sistem Usaha Pertanian Berbasis Sumber Daya. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Makarim, A.K., I N. Widiarta, Hendarsih S. & S. Abdulrachman. 2003. Panduan
Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman
Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian.
Sisworo, W.H. 2006.
Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan
Tantangan Abad Dua Satu: Pendekatan Ilmu Tanah Tanaman dan
Pemanfaatan Iptek Nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta.
Thamrin. 2000. Perbaikan Beberapa Sifat Fisik dan Typic Kanhapludults dengan
Pemberian Bahan Organik pada Tanaman Padi Sawah. Skripsi, Faperta,
Universitas Padjajaran Bandung (Tidak Dipublikasikan).
1078
PERANAN DAN NILAI ANTHESIS SILKING INTERVAL (ASI) TERHADAP
PRODUKTIVITAS JAGUNG
Maintang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar
ABSTRAK
Di Indonesia jagung (zea mays L) merupakan sumber karbohidrat kedua setelah padi.
Jagung merupakan tanaman yang menyerbuk silang secara alami, namun demikian
penyerbukan buatan baik penyerbukan sendiri maupun penyerbukan silang sering
dilakukan dalam rangkaian kegiatan untuk penciptaan varietas unggul. Keberhasilan
penyerbukan buatan sangat terkait dengan nilai ASI (anthesis Silking Interval). ASI
adalah selisih antara keluarnya rambut dan masaknya serbuksari pada malai. Nilai ASI
mencerminkan sinkronitas antara bunga jantan (serbuk sari) dan bunga betina (putik).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara waktu penyerbukan
terhadap hasil adalah berkorelasi negatif, artinya jika penyerbukan terjadi pada saat nilai
ASI 0-5 hari hasil yang dicapai lebih tinggi dan hasil akan semakin menurun dengan
semakin besarnya nilai ASI. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti
cekaman air, lahan tidak subur, tanah masam dapat berpengaruh terhadap nilai ASI.
Kata kunci: Anthesis Silking Interval (ASI), produktivitas jagung
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas palawija utama di Indonesia dengan luas
antara 42-50 % dari luas panen palawija dan merupakan tanaman kedua setelah
padi. Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan bertumbuhnya berbagai industri makanan berbahan baku jagung
serta industri pakan ternak.
Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode eksploitasi potensi genetik
tanaman untuk mendapatkan kultivar atau varietas unggul baru yang berdaya
hasil dan berkualitas tinggi pada kondisi lingkungan tertentu. Proses pemuliaan
tanaman jagung erat kaitannya dengan penyerbukan buatan baik penyerbukan
sendiri (persilangan dalam) atau penyerbukan silang. Hal ini karena Jagung
merupakan tanaman yang menyerbuk silang secara alami.
Tanaman jagung bersifat protandrus yaitu tepung sari terlepas dari malai
sebelum periode rambut-rambut putik pada tongkol siap untuk diserbuki. Hal ini
yang sering menjadi kendala dalam melakukan kegiatan penyerbukan buatan
pada tanaman jagung, terutama untuk mendapatkan serbuksari yang masih
viabel pada saat penyerbukan.Umumnya jagung yang tumbuh pada lingkungan
optimal selang waktu keluarnya serbuksari dan terbentuknya rambut adalah 2- 4
hari dan pada kondisi yang demikian hasil yang dicapai sangat
maksimal.Sebaliknya pada kondisi lingkungan yang tidak optimal dijumpai
periode yang lebih panjang antara terbentuknya serbuksari dan keluarnya
rambut. Praktis kondisi demikian akan menurunkan hasil.
1079
ASI (Anthesis Silking Interval)adalah selisish antara umur saat tanaman
jagung berbunga betina (berambut) dengan berbunga jantan (pollen shed). ASI
merupakan salah satu kriteria utama disamping hasil dalam seleksi famili jagung
dan dalam perakitan varietas, nilai ASI yang rendah atau kurang dari empat hari
adalah kriteria yang ideal untuk memperoleh famili terbaik.Semakin rendah nilai
ASI semakin superior tanaman dan tinggi produktivitasnya.ASI yang kecil
menunjukkan terdapat sinkronisasi pembungaan, yang berarti peluang terjadinya
penyerbukan sempurna sangat besar.Semakin besar nilai ASI semakin kecil
sinkronisasi pembungaan dan penyerbukan terhambat sehingga menurunkan
hasil.Cekaman abiotis umumnya mempengaruhi nilai ASI, seperti pada cekaman
kekeringan dan temperatur tinggi.Nilai 1 sampai 3 hari merupakan nilai terbaik
untuk varietas unggul dan memberikan hasil maksimal pada jagung.Sejumlah
hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ASI yang lebih dari tujuh atau delapan
hari tidak diperoleh hasil.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara waktu
penyerbukan terhadap hasil adalah berkorelasi negative artinya jika penyerbukan
terjadi 0 – 5 hari setelah serbuksari terlepas dari anther, hasil yang dapat dicapai
3,5 ton/ha dan penyerbukan setelah 5 hari hasil akan menurun sampai 1,5
ton/ha (Beck et al,1956). Jugensheimer (1985) mengemukakan bahwa nilai ASI
(Anthesis Silking Interval) dari setiap famili dalam suatu populasi mempunyai
korelasi positif terhadap parameter umur panen, tinggi tanaman, tinggi tongkol
dan hasil. Selanjutnya vassal et al,1991 mengemukakan bahwa nilai ASI pada
galur murni 0- 2 hari dapat diperoleh hasil 3,8 -4,5 ton/ha.
Makalah ini memuat informasi tentang karakteristik bunga tanaman
jagung, hubungannya dengan nilai anthesis silking inerval (ASI) terhadap
keberhasilan proses penyerbukan dan produksi pada tanaman jagung.
KARAKTERISTIK BUNGA JAGUNG
Jagung disebut juga tanaman berumah satu (monoeciuos) karena bunga
jantan dan betinanya terdapat dalam satu tanaman.Bunga betina, tongkol,
muncul dari axillary apices tajuk.Bunga jantan (tassel) berkembang dari titik
tumbuh apikal di ujung tanaman.Pada tahap awal, kedua bunga memiliki
primordia bunga biseksual. Selama proses perkembangan, primordia stamen
pada axillary bunga tidak berkembang dan menjadi bunga betina.Demikian pula
halnya primordia ginaecium pada apikal bunga, tidak berkembang dan menjadi
bunga jantan.
Anther dan Serbuksari
Bunga jantan pada malai berada di puncak batang yang umumnya
disebut tassel.Ketika bunga jantan masak, anther dikeluarkan dari bulir dan
serbuksari dikeluarkan melalui lubang pada ujung anther. Masing-masing
kuntum/bulir mempunyai dua bunga dan anther mekar dari bunga yang pertama
kemudian diikuti dari bunga yang kedua pada hari yang sama atau hari
berikutnya. Ketika lubang anther terbuka serbuksari boleh jadi dihamburkan
seluruhnya hanya dalam beberapa menit atau pada periode yang lebih lama
yang ditentukan oleh suhu, kelembaban, pergerakan udara dan
1080
genotype.Terlepasnya serbuksari satu malai dapat berubah-ubah dari 1 – 2 hari
atau lebih dari 2 hari dalam satu minggu (Russel dan Hallauer, 1980). Umumnya
sebuah tassel dapat menghasilkan 60 juta serbuksari (Lovelles, 1989).
Serbuksari biasanya terlepas 1-3 hari sebelum rambut telah keluar dari
tongkol pada tanaman yang sama dan biasanya berlanjut selama periode 3- 4
hari setelah rambut pada tanaman siap untuk diserbuki. Suhu tinggi dan
cekaman kekeringan selama periode penyerbukan dapat sangat mengurangi
pembuahan (Poelman, 1987).Anther mekar dan mengeluarkan sekitar 3 jam
setelah matahari terbit dan berlanjut 1 sampai 3 jam, suhu dingin dan
kelembaban yang tinggi menyebabkan penyebaran serbuksari terlambat sampai
tengah hari dan berlanjut sampai sore (Russel dan Hallauer, 1980).
Di bawah kondisi yang mengutungkan serbuksari dapat hidup selama 1218 jam, tetapi dapat mati dalam beberapa jam karena kepanasan. Panas, angin
kering dapat merugikan malai oleh karena serbuksari tidak dapat terlepas atau
dapat mengurangi kelembaban rambut sehingga serbuksari tidak dapat
berkecambah atau jika dapat berkecambah gagal untuk mempertahankan
pertumbuhan tabung sari.Serbuksari dapat dipelihara agar tetap hidup selama 710 hari dengan mengoleksi malai yang sebelumnya baru melepaskan serbuksari
dan menyimpannya di pendinginan (Poehlman, 1987). Serbuksari yang berada
dalam kantong persilangan di lapangan sampai 30 jam (Moentono,1988).
Silk/Rambut
Bunga betina tumbuh dibagian bawah dari tanaman dalam bentuk bulir
majemuk atau disebut tongkol yang tertutup rapat oleh upih daun yang disebut
kulit ari.Muncul dari ujung tongkol dijumpai sejumlah besar rambut putik.
Sewaktu reseptif rambut sutera ini lengket, sehingga serbuksari dari arah
manapun yang tertiup kearah rambut ini melekat (Lovelles, 1989)
Rambut yang keluar dari ujung tongkol adalah kepala putik yang
fungsional.Rambut yang pertama muncul biasanya dari dasar tongkol.Laju
keluarnya rambut dikontrol oleh suhu, pH tanah dan kesuburan tanah.Keluarnya
rambut secara sempurna dapat terjadi 2-3 hari dibawah kondisi lingkungan yang
memungkinkan atau dapat mencapai 5-7 hari pada suhu dingin. Di bawah
cekaman kondisi lingkungan pertumbuhan rambut dapat berhenti sama sekali
(Russel dan Hallauer, 1980).
Putik menjadi reseptif segera setelah muncul dari pucuk tongkol. Lama
masa reseptifnya untuk setiap putik ditentukan oleh waktu yang dibutuhkan
untuk semua rambut keluar dari pucuk dan waktu untuk tetap reseptif setelah
muncul. Everest (1958) dalam Russel dan Hallauer (1980) melaporkan bahwa
dibutuhkan waktu 5-6 hari untuk semua rambut keluar dari tongkol. Masa
reseptif putik sampai 10 hari telah dilaporkan oleh Walden dan Everet (1961),
tetapi turun dengan cepat setelah 10 hari. Suhu tinggi dan kelembaban rendah
dapat menurunkan masa subur putik. Pembentukan set biji yang terbaik terjadi
saat penyerbukan 3-5 hari setelah munculnya rambut yang pertama keluar
(Hallauer dan Sears dalam Russel dan Hallauer, 1980).
Dasar buah (kuntum) tersusun pada tongkol yang muncul berpasangan
masing-masing terdiri dari satu fertile dan satu steril, hal ini yang akan
menentukan jumlah baris pada tongkol. Kedua ovule dapat berkembang pada
1081
varietas tertentu.Pembuahan ovule
penyerbukan (Poelman, 1987).
biasanya
terjadi
12-28
jam
setelah
ANTHESIS SILKING INTERVAL (ASI)
Anthesis Silking Interval (ASI) merupakan salah satu kinerja seleksi dalam
memilih famili/populasi. ASI adalah selisih antara periode keluarnya bunga
betina (silking) terhadap bunga jantan (pollen shed). Semakin tinggi nilai ASI
makin tidak sinkron pembungaan, praktis tidak aka nada hasil karena tidak
terjadi sinkronisasi penyerbukan.Sebagian besar galur murni dan hibrida bersifat
protandrus artinya menyebarkan serbuksari satu atau dua hari sebelum keluar
rambut tongkol.
Periode keluarnya malai adalah periode kritis sampai rambut (putik) siap
untuk diserbuki. Beberapa faktor lingkungan yang kurang mengutungkan seperti
cekaman air, lahan tidak subur, atau cahaya yang kurang dapat menunda
keluarnya rambut dua atau tiga minggu dan dapat mengurangi set biji sebab
ketidakcukupan pollen yang hidup (viabel) pada waktu keluarnya rambut
(silking).
Pada kondisi cekaman yang hebat tongkol tidak menghasilkan
biji.Faktor- faktor yang menyebabkan tenggang waktu antara pelepasan
tepungsari dan keluarnya kepala putik dapat berpengaruh jelek terhadap
penyerbukan dan berpengaruh pada pembentukan biji dan berdampak pada
berkurangnya hasil.Demikian pula defisiensi hara dapat memperlambat
pertumbuhan tongkol, sehingga berpengaruh terhadap anthesis silking interval
(ASI) se-hingga perbedaan ASI bertambah besar).Bertambah besarnya
perbedaan “anthesis silking interval” (ASI) dapat berpengaruh terhadap
pembentukan biji. Kurangnya tepung sari, dan menurunnya viabilitas tepung sari
merupakan penyebab utama penurunan hasil biji.
Karagaman Nilai ASI
ASI adalah salah satu komponen atau parameter yang dilihat dalam
setiap perakitan varietas atau dalam setiap kegiatan penelitian jagung. Nilai ASI
terkait dengan keberhasilan proses penyerbukan dan pembuahan pada jagung
yang berimplikasi pada hasil dan produktivitas jagung. Dari beberapa kegiatan
penelitian yang dilakukan memperlihatkan nilai ASI yang berbeda-beda, baik
pada kondisi normal maupun pada kondisi tercekam biotik dan abiotik.
Salah satu populasi POOL-2.C7 yang mempunyai nilai ASI kurang dari 6
hari maka kultivar hanya memberikan hasil 1,0 t/ha, dan setelah 8 hari kultivar
tersebut tidak dapat memberikan hasil. Famili S1 dari populasi Tuxpeno segnia
C6 menunjukkan hasil tertinggi pada saat terbentuknya serbuksari yang disertai
dengan keluarnya rambut (ASI=0) sampai selang ASI 1 hari. Hasil semakin
rendah dengan pertambahan nilai ASI dan saat ≥ 6,0 diduga tidak akan terjadi
proses pembuahan (Yasinet al, 1997).
Penelitian pengaruh waktu penyerbukan terhadap keberhasilan
pembuahan jagung pada populasi SATP-2(S2)C6 telah dilakukan, dengan
interval waktu penyerbukan pada saat nilai ASI = 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Dari hasil
penelitian terlihat bahwa populasi SATP-2(S2)C6 memberikan rata-rata jumlah
biji, bobot biji pipilan kering, panjang tongkol dan bobot tongkol kupasan basah
1082
yang lebih tinggi pada penyerbukan yang dilakukan pada saat selisih waktu 1
hari antara malai berserbuksari dan rambut siap untuk diserbuki (ASI=1),
dibandingkan dengan penyerbukan yang dilakukan pada saat nilai ASI=2, 3, 4,5
dan 6. Berdasarkan model regresi non linear diduga bahwa bobot biji pipilan
kering tertinggi pada saat nilai ASI=1 dan bobot semakin berkurang pada saat
nilai ASI= 2, 3, 4, 5 dan pada saat nilai ASI> dari 6 hari diduga sudah tidak ada
hasil.
Penelitian telah dilakukan untuk megetahui model exponensial Asi family
S1 pada lingkungan tercekam abiotik (Yasin et al, 2007).
Hasil penelitian
tersebut diperoleh data umurberbunga betina, berbunga jantan serta hasil bobot
biji (kw/ha)pada kadar air 15% untuk seleksi dilahantercekam kekeringan, dan
seleksi pada lahan kahat hara diPMK.Sesuai formula untuk menghitung koefisien
ASI (x) terhadaphasil y (kw/ha) diperoleh : y = 31,912e-0,295x untuk
lahankekeringan, dan dilahan kahat hara PMK : y = 129,412e-0,450x, dengan
nilai masing-masing R2 = 75,52% dan 79,14%.Berdasarkan model ini terlihat
bahwa pada lahan tercekam kahathara PMK, potensi hasil famili S1 dari
AMATL(S1)C2 lebih tinggidari famili S1 Pool-2(S1)C8, atau jika terjadi
prosespenyerbukan yang bersamaan antara keluarnya rambut danserbuksari
(x=0) maka hasil bobot biji AMATL(S1)C2 lebih tinggidari Pool-2(S1)C8. Hal ini
dibuktikan dengan memberi nilai asi(x)=0 diperoleh nilai dugaan α pada model
untuk populasiAMATL(S1)C2 di lahan RYP lebih tinggi nilainya dibanding Pool2)S1)C8 dilahan kering (129,41 dan 31,912). Selanjutnya dapatdiketahui bahwa
pada kondisi yang sangat tercekam (ASI=6hari) dugaan hasil bobot biji (ў)
dilingkungan kahat hara PMKlebih tinggi 3,21 kw/ha dibanding pada lingkungan
kekeringanatau terdapat selisih hasil 59,0%. Westgate, (1996) bahwa
nilaimaksimum dari hasil bobot biji diperoleh saat ASI pada kisaran0-4 hari.
Selanjutnya Bolanos dan Edmeades, (1996) bahwakoefisien determinasi
diperoleh R2=70,0% dengan hasilmaksimal 4,0 t/ha pada famili S1-S3 jika
ASI=0. Hasil analisisdari Claure, (1996) bahwa galur S3 dapat dicapai 6,2-6,4
t/ha jikakisaran nilai ASI = 2,0-3,0 hari. Berdasarkan penelitian ini dapatdiketahui
bahwa untuk setiap pertambahan nilai ASI perharimaka dugaan hasil bobot biji
(ў) selalu lebih tinggi pada family yang tercekam kahat hara PMK dibanding
cekaman kekeringan,dan jika ASI >6,0 hari diduga sudah tidak ada hasil.
Edmeadeset al., (1996) menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif
ASIterhadap hasil pada lingkungan tercekam kekeringan dengannilai R2=0,60.
Hal ini dapat diartikan bahwa cekaman kekeringanlebih banyak menurunkan hasil
bobot biji jagung dibanding cekaman pada kahat hara PMK.
Penelitian lain pada Jagung berbiji putih Anoman-1 diseleksi untuk
adaptifdi lahan kering beriklim kering.diperoleh nilai ASI (anthesis silking
interval) lebihrendah dari 5 hari(Anonim, 2012). Penelitian seleksi anthesis silking
interval pada beberapa populasi lini inbred jagung untuk mempertahankan
kelestarian mereka diperoleh hasil antara lain Anthesis-Silking Interval (ASI)
terbaik antara 4 – 7 h. ASI >7 h akan menghasilkan tongkol yang Iebih kecil dan
tidak sempurna pembentukan bijinya (Saiful Hakim, 2004).
ASI merupakan kriteria seleksi dalam merakit varietas untuk sifat toleran
kekeringan.Semakin tinggi nilai ASI semakin rendah hasil karena tidak terjadi
sinkronisasi berbunga. Beck at al, (1956) dalam Musdalifah Isnaeniet al, (2008)
mengemukakan bahwa nilai ASI -1,0 sampai +3,0 hari memberikan hasil
1083
maksimal pada jagung. ASi negatif diartikan bahwa rambut terlebih dahulu siap
diserbuki sebelum tersedia bunga jantan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
berdasarkan hasil penelitian pada pendugaan nilai daya gabung jagung hibrida
toleran kekeringan diperoleh nilai ASI berkisar antara 4- 8 hari.
KESIMPULAN
ASI adalah selisih antara keluarnya rambut dan masaknya serbuksari
pada malai.Nilai ASI mencerminkan sinkronitas antara bunga jantan (serbuksari)
dan bunga betina (putik). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
hubungan antara waktu penyerbukan terhadap hasil adalah berkorelasi negatif,
artinya jika penyerbukan terjadi pada saat nilai ASI 0-5 hari hasil yang dicapai
lebih tinggi dan hasil akan semakin menurun dengan semakin besarnya nilai ASI.
Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti cekaman air, lahan tidak
subur, tanah masam dapat berpengaruh terhadap nilai ASI.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012.Varietas Jagung
Adaptif pada
Lahan Kering
Beriklim
Kering.Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia,
2010. http:pustaka.litbang,deptan.go.id. Diakses tanggal 20 Januari
2012.
Beck.D., J. Betran., M. Banziger., G. Edmeades., J. M. Ribaut., M. Willcox., S. K.
Vasal., and A. Ortega. 1956. Progressin Developing Drought and Low Soil
Nitrogen Tolerance in Maize., 51st Annual Corn & Sorghum Research
Conference. CIMMYT El Batan. Mexico. p. 85.
Bolanos.J., and G. O. Edmeades. 1996. The Importance of the Anthesis Silking
Interval in Breeding for DroughtTolerance in Tropical Maize. Proceedings
of a Symposium.Developing Drought and Low N Tolerant Maize.March 2529, 1996.CIMMYT El Batan. Mexico. p.355
Claure, T. 1996.Mejoramiento de Maiz Para Tolerancia Sequia en el Chaco de
Bolivia.Proceedings of a Symposium.Developing Drought and Low N
Tolerant Maize. March 25-29, 1996. CIMMYT El Batan. Mexico. p.447
Jugenheimer R.W., 1985. Corn Improvement Seed Production and Uses.
Evaluating Inbred Lines. Rober E.Kringer Publisher Company. Malabar
Florida. P.142.
Lovelles A.R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik (2)
Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta.
Moentono M.D. 1988.Pembentukan dan produksi Varietas Hibrida.
Subandi dkk (eds) Jagung.Puslitbangtan, Bogor.
Dalam
Musdalifah Isnaeni, S. Sujiprihati, F. Kasim, 2008. Pendugaan Daya Gabung
Jagung Hibrida Toleran Kekeringan.
Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan p.27.Vol.03.
1084
Poehlman M.1987. Breeding Field Crops.Third Edition.An Avi Book.
Nostrand Reinhold. New York. P.45.
Van
Russel W.A. A.R. Hallauer. 1980. Corn. Edited By W.R.Fehr and H.H.Hadley
Publisher Madison, Wisconsin, USA.
Saiful Hakim. 2004.Seleksi Anthesis Silking Interval pada Beberapa Populasi Lini
Inbred Jagung Untuk Mempertahankan Kelestarian Mereka. Laporan
Penelitian Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas
Lampung. http:repository.unila.ac.id. Diakses 19/12/2011.
Yasin HG., Roy Efendi, Made J. Mejaya. 2007. Model Exponensial ASI Famili S1
Jagung pada Lingkungan Tercekam Abiotik.www.Litbang.deptan.go.id.
Diakses 20/1/2012. Informatika Pertanian. Vol 16, 2007.
Yasin H.G. M.A.Barata, A.Marpe dan F.Kasim. 1997. Karakter Genotype Jagung
Untuk Ketahanan Terhadap Kekeringan.Prosiding Jagung Maros 11-17
Nopember 1997.
Westgate. M. E. 1996. Physiology of Flowering in Maize:Identifying Avenues to
Improve Kernel Set During Drought.Proceedings of a Symposium.
Developing Drought andLow N Tolerant Maize. March 25-29, 1996. USDAARS.North Central Soil Conservation Research Lab. Morris.MN. USA.
CIMMYT El Batan. Mexico. p.137.
1085
STRATEGI PERCEPATAN DISTRIBUSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI
MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER DI SULAWESI TENGAH
Muh. Afif Juradi, Soeharsono dan Asni Ardjanhar
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jln. Lasoso No. 62 Biromaru
email: afif_sultra@yahoo.com
ABSTRAK
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam
peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian.Kontribusi varietas unggul terhadap
peningkatan produksi padi telah terbukti nyata melalui keberhasilan pencapaian
swasembada beras pada tahun 1984. BPTP Sulawesi Tengah melalui Unit Pengelola
Benih Sumber sudah berjalan sejak tahun 2006-2009 dan 2011-2012, selama 6 tahun
Unit Pengelola Benih Sumber sudah memproduksi benih sumber dan benih sebar dengan
total 57.337 kg, dengan rincian kelas FS 22.843 (39,83 %), SS 18.175 kg (31,70 %) dan
ES 16.319 kg (28,46 %). Varietas unggul baru yang dihasilkan selama ini didasarkan
pada spesifik lokasi namun petani lebih menyukai varietas Mekongga, Ciliwung, Cisantana
dan Cigeulis.Penyebaran varietas unggul baru (VUB) mencakup semua Kabupaten di
Sulawesi Tengah, melalui kegiatan SL-PTT, diseminasi, kerjasama dengan penangkar,
bantuan dan penjualan.
Melalui kegiatan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS)
diharapkan dapat membantu Pemerintah daerah Sulawesi Tengah mensosialisasikan
varietas unggul baru hasil rakitan Badan Litbang Pertanian di daerah dan pengembangan
UPBS ke depan perlu dukungan pihak terkait, kelancaran benih BS dan FS dari BB Padi
dan menjalin hubungan kerjasama dengan BBI maupun BBU di daerah, penangkar baik
pemula maupun penangkar yang sudah maju.
Kata kunci: Penangkaran benih, varietas unggul padi, percepatan
PENDAHULUAN
Benih merupakan salah satu komponen produksi yang mempunyai
kontribusi cukup besar dalam peningkatan produktivitas padi. Beberapa manfaat
penggunaan benih bermutu yaitu kemurnian genetik terjamin, pertumbuhan
benih seragam, menghasilkan bibit yang seragam, menghasilkan bibit yang sehat
dengan akar yang banyak, masak dan panen serempak, produktivitas tinggi
sehingga meningkatkan pendapatan petani (BPTP Jateng, 2008).
Varietas unggul berperan memberikan manfaat teknis dan ekonomis yang
banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya pertumbuhan
tanaman menjadi seragam sehingga panen menjadi serempak, rendemen lebih
tinggi, mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen, dan tanaman
akan mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit
dan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan sehingga dapat memperkecil
penggunaan input seperti pupuk dan pestisida.
Dalam suatu sistem produksi benih pertanian baik yang ditujukan untuk
memenuhi konsumsi sendiri maupun yang berorientasi komersial diperlukan
adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu
yang baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya
1086
terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan
dirasakan oleh petani atau konsumen apabila benih tersedia dalam jumlah yang
cukup dengan harga yang sesuai. Dalam pertanian modern, benih berperan
sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada
petani dan konsumen lainnya. Salah satu yang berpengaruh dalam peningkatan
produktivitas dan produksi tanaman pangan adalah penggunaan benih varietas
unggul bermutu yang didukung oleh penerapan teknologi sesuai dengan anjuran.
Oleh karena itu, ketersediaan benih bermutu terus diupayakan mengingat
manfaat dari penggunaan benih tersebut.
Sejak tahun 2006, Badan Litbang Pertanian, melalui BPTP sebagai unit
Pelaksana Teknis (UPTD) terdepan di daerah, melakukan pengembangan dan
pembinaan penangkaran benih padi untuk mendukung industri benih padi
melalui pembentukan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) disetiap BPTP.
Selanjutnya UPBS diharapkan mampu menyediakan benih bermutu sesuai
kebutuhan daerah, mensosialisasikan varietas unggul baru (VUB) yang dihasilkan
Badan Litbang Pertanian dan mendapatkan umpan balik mengenai preferensi
pengguna.
BPTP Sulawesi Tengah tahun 2006-2009 dan 2011-2012 melalui kegiatan
Unit Pengelola benih Sumber (UPBS) sudah memproduksi benih di Kebun
Percobaan Sidondo (kebun percobaan milik BPTP) yang sekaligus dijadikan lokasi
UPBS, selain itu di lahan petani/mitra/ penangkar, petani yang dibina merupakan
petani/penangkar pemula maupun penangkar yang sudah berpengalaman
memproduksi benih sumber. Untuk menjamin ketersediaan benih kelas BS dan
FS diharapkan BB Padi sedapat mungkin menyediakan benih kelas BS dan FS
untuk digunakan di tiap-tiap BPTP.Alur pendistribusian benih sesuai dengan
pengklasifikasian kelas benih (Tabel 1). Tujuan penulisan makalah ini adalah
Untuk mengetahui tingkat distribusi varietas unggul baru (VUB) di tingkat petani
dan mengetahui tingkat produktivitas varietas Unggul baru.
Sedangkan
keluarannya adalah diketahuinya tingkat distribusi varietas unggul baru (VUB) di
tingkat petani dan diketahuinya tingkat produktivitas varietas unggul baru.
METODOLOGI
Ruang Lingkup
Lingkup dan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan pada penelitian
bersifat survei. Kegiatan ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap desk studi dan
tahap penelitian lapangan.
a. Tahap Desk Studi
Pada kegiatan ini dilakukan studi pengumpulan dan analisis data
sekunder dari beberapa sumber yang berkaitan dengan kegiatan perbenihan
padi sawah. Adapun data sekunder meliputi: kondisi kelembagaan petani
penangkar dan ketersediaan sarana dan prasarana.
b. Tahap Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan metode survei berupa pengamatan
kondisi perbenihan dan kapasitas produksi
1087
c. Pengumpulan Data
Data di kumpulkan terdiri atas 2 jenis yaitu : sekunder dan data primer.
Data sekunder di peroleh melalui instansi terkait dan data primer diperoleh
melalui pengamatan langsung dilapangan dan wawancara petani yang terpilih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
BB Padi-Sukamandi
KP
Sidondo/BPTP
Sulawesi Tengah
NS/Benih Inti
BS/Benih penjenis
BBI/BBU
Provinsi/Kabupaten
FS/Benih Dasar
Penangkar Benih
SS/Benih Pokok
Petani
ES/Benih Sebar
Gambar 1. Alur pendistribusian benih sesuai dengan pengklasifikasian kelas benih
Selama ini alur kelas benih sering terputus dikarenakan sebagian besar
petani memperbanyak label kelas tinggi namun setelah di prosesing benihnya
langsung digiling, seharusnya benih tersebut masih diperbanyak. Alasan petani
dengan memproduksi benih kelas tinggi pertumbuhan tanaman seragam
dibanding kelas benih yang rendah pertumbuhan tanaman tidak seragam,
olehnya itu petani menyukai label yang tinggi seperti kelas BS dan FS untuk
diperbanyak. Untuk menjamin kelancaran penyediaan benih di suatu daerah
harus ada aturan baku, terkait produsen benih di daerah seperti Balai-Balai Benih
(BBI) dan Balai Benih Utama (BBU), penangkar, BUMN sampai ke petani agar
tugas pkok dan fungsi masing-masing produsen tidak tumpang tindih. Selama ini
di Balai-balai Benih memproduksi label FS yang seharusnya BBI/BBU
memproduksi label SS, sedangkan UPBS memproduksi label FS, selain itu petani
juga memproduksi benih kelas FS yang benih sumbernya mereka datangkan dari
Balai Besar Padi Sukamandi.
1088
Benih Penjenis/Breeder seed
Benih Dasar/Foundation seed
Benih Pokok/Stock seed
Benih Sebar/Extantion seed
Petani
Gambar 2. Alur perbanyakan benih System Monogeneration Flow
(Olivia C.R, 2005)
Dalam memproduksi benih sumber maupun benih sebar BPTP Sulawesi
Tengah bekerjasama dengan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Sulawesi
Tengah dalam melakukan pendampingan dan pengawasan benih mulai dari
penentuan lokasi, pengawasan dilapangan sampai uji benih di laboratorium.
Perbanyakan benih sumber menitikberatkan pada seleksi tanaman (rouging),
tujuannya adalah menyeleksi tanaman dengan cara membuang tanaman tipe
simpang (off type) agar tidak tercampur dengan varietas yang lain (CVL), yang
memiliki ciri-ciri menyimpang dari varietas yang diperbanyak. Salah satu syarat
dari benih bermutu adalah memiliki tingkat kemurnian genetik yang tinggi
(Juknis UPBS, 2013).Oleh karena itu rouging perlu dilakukan dengan benar dan
dimulai fase vegetatif sampai akhir pertanaman.
Tabel 1. Benih Sumber yang Dihasilkan
Sidondotahun 2006-2012.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Oleh
Varietas
Kelas FS
Mekongga
Ciapus
IR 70
Cisantana
Ciherang
Ciliwung
Cibogo
Cigeulis
Gilirang
Membramo
Cimelati
Celebes
Pepe
2006
2007
2008
756
1151
1200
756
1204
646
720
800
-
300
-
425
900
230
-
Kebun
Percobaan
Produksi (kg)
2009
2011
2025
1550
1400
1825
-
(KP)
2012
-
1089
Lanjutan ...
No.
14.
15.
16.
17.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
Varietas
Way Apo Buru
Inpari 13
Inpari 14
Inpari 15
Total
Kelas SS
Cibogo
Gilirang
Ciapus
Inpari 9
Inpari 7
Cigeulis
Inpari 14
Inpari 15
Total
Kelas ES
Inpari 10
Inpari 4
Total
2006
7.233
2007
300
Produksi (kg)
2008
2009
2550
1.555
9.350
120
1200
550
1.870
-
-
-
-
-
2011
1880
1.880
2012
1850
675
2.525
-
1330
2175
625
4.130
4425
1500
5.925
-
1102
1.102
5819
5.819
Tabel 2. Produksi Benih Sumber yang Dihasilkan Oleh Penangkar Binaan UPBS
Sulawesi Tengah Tahun 2011-2012
Musim/
Varietas
Tahun 2011
Inpari 7
Inpari 10
Cigeulis
Jumlah
Tahun 2012
Inpari 4
Inpari 20
Jumlah
Kab. Sigi1
Produksi benih (kg)
Kab. Donggala2
Kab. Parigi3
1.075
1.075
1.100
1.102
625
625
7.725
7.725
Sumber : BPTP Sulteng, 2011-2012
1
sistem bagi hasil 70:30
2
sistem bagi hasil 50:50
3
sistem bagi hasil 50:50
Total
2.202
2.175
1.102
625
3.902
2.775
5.950
8.725
10.500
5.950
16.450
Pola Kerjasama Antara Petani/Mitra Dengan UPBS BPTP Sulawesi
Tengah
Pembinaan penangkaran benih tidak hanya terbatas pada penangkar
pemula tetapi kerja sama dilakukan pada penangkar yang telah eksis. Dalam
membina penangkar BPTP membuat aturan main yang disepakati oleh
penangkar yang dituangkan dalam surat perjanjian kerja sama, yaitu penangkar
yang dibina diberikan bantuan saprodi (benih, pupuk, insektisida, herbisida dan
upah). Setelah panen penangkar mengembalikan berupa benih sesuai perjanjian
sebelumnya,
yakni bagi hasil 70:30 atau 50:50.
Benih tersebut dijual
diperuntukkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak oleh BPTP dan benih
1090
berbantuan kepada petani untuk memperkenalkan varietas unggul baru (VUB)
hasil rakitan Badan Litbang Pertanian.
Tabel 3. Lokasi Pembinaan Penangkar Benih Padi Sawah Berbasis Komunitas di
Sulawesi Tengah Tahun, 2007.
No.
Petani penangkar
Varietas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Klota Desa Baya
Ruslan
Cisantana
Mekongga
Ciapus
Cisantana
Mekongga
Ciapus
Ciherang
Luas
(ha)
2
2
1
2
2
1
3
8.
Ruslan
Cisantana
2
9.
Eka wardana
Ciherang
4
10.
Eka wardana
Ciapus
4
11.
Ketut
Ciapus
0,5
12.
Klota sukses
Cisantana
0,5
13.
Klota sukses
Ciapus
0,5
14.
15.
16.
Klota Pasanggani
Klota ingin maju
Klota ingin maju
Ciapus
Cisantana
Ciapus
1
0,5
0,5
Rasyid
Lokasi
Kerjasama
Desa Baya
Desa Baya
Desa Baya
Tonggolobibi
Tonggolobibi
Tonggolobibi
Desa
Lantapan
Desa
Lantapan
Parigi
Moutong
Parigi
Moutong
Desa Torue
Primatani
Primatani
Primatani
Primatani
Primatani
Primatani
Primatani
Desa
Tolongano
Desa
Tolongano
Limboro
Desa Sirenja
Desa Sirenja
Banggai
Banggai
Banggai
Donggala
Donggala
Donggala
Toli-Toli
Primatani Toli-Toli
Primatani
Moutong
Primatani
Moutong
Primatani
Moutong
P4M1
Parigi
Parigi
Parigi
P4M1
P4M1
Klintan
Klintan
Temu lapang
Salah satu tujuan UPBS adalah memperkenalkan VUB yang dihasilkan
oleh Badan Litbang Pertanian ke pengguna melalui kegiatan temu lapang
bersama kelompok tani, petani kooperator, pengawas BPSB, penyuluh, gapoktan,
Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian Kabupaten, penyebaran VUB di tingkat
petani di lakukan dengan memberikan benih secara gratis, secara tidak langsung
BPTP sudah memperkenalkan varietas hasil Litbang Pertanian kepada pengguna.
Di samping itu BPTP melakukan pemberian benih secara gratis juga benih
tersebut dijual ke Dinas-dinas pertanian kabupaten, kelompok tani, maupun
penangkar yang membutuhkan hasil dari penjualan tersebut di setor ke kas
Negara (PNBP).
Dalam kurun waktu 2006-2012 UPBS BPTP Sulawesi Tengah sudah
memproduksi benih sumber dari berbagai macam varietas. Tahun 2007 BPTP
telah melakukan perbanyakan benih sumber diantaranya : Cibogo, Mekongga,
Cigeulis, Gilirang, Ciapus, Tahun 2008 adapun varietas yang diperbanyak adalah:
Cisanatana, Ciapus dan gilirang. Tahun 2009 varietas yang diperbanyak adalah :
Membramo, Cimelati, Celebes, Pepe dan Way Apo Buru, Tahun 2010 tidak
melakukan kegiatan perbanyakan benih sumber, Tahun 2011 varietas yang
1091
diperbanyak adalah : Inpari 9, Inpari 13, Inpari 10, Inpari 6, Inpari 7 dan
Cigeulis, Tahun 2012 ada 4 varietas yang diperbanyak seperti : Inpari 4, Inpari
14, Inpari 15 dan Inpari 20.
Masalah Pendistribusian Perbenihan di Lapangan
Masalah dalam pendistribusian benih padi bervariasi menurut komponen
perbenihannya. Pra penangkar menilai bahwa harga calon benih terlalu rendah
dan disamakan dengan gabah yang akan dikonsumsi, disamping tidak ada
penggolongan status mutu calon benih mereka oleh pedagang yang mengolah
dan membeli calon benihnya. Pengadaan calon benih padi juga terbatas karena
ketersediaan benih sumber yang terbatas pula. Pedagang yang mengolah benih
dan penangkar benih mempermasalahkan keterlambatan label yang kadangkadang terjadi oleh BPSB sehingga memperlambat pendistribusian benih,
disamping sulitnya memperoleh sumber benih sehingga sulit pula untuk
memenuhi permintaan pasar akan benih. Pendistribusian benih dalam hal ini KUD
juga menghadapi masalah berupa keterbatasan kemampuan professional dalam
pemasaran benih (Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Menurut Roesmiyanto et al
(2000), bahwa masalah yang dihadapi kelompok tani penangkar benih adalah :
(a) keterbatasan modal kelompok untuk membeli hasil panen petani anggotanya
dan fasilitas pengolahan benih; dan (b) kondisi sosial ekonomi anggota kelompok
yang sangat beragam. Dengan demikian, sebagian anggota menunda penjualan
hasil menunggu pengolahan benih dan sebagian lainnya menjual langsung
setelah panen untuk padi konsumsi. Kendala yang lain yang dihadapi adalah
petani enggan menjadi penangkar benih karena tidak memiliki lantai jemur,
gudang serta keterbatasan modal untuk prosesing. Untuk itu, diperlukan suatu
cara atau kebijakan dalam pengembangan teknologi perbenihan mulai dari pra
produksi, produksi, pengolahan hingga pemasaran yang disertai dengan
pengawasan dan pembinaan secara kontinu dan berkelanjutan. Solusi lain
ditawarkan adalah untuk meningkatkan kapasitas produksi benih pemerintah
harus memberikan bantuan berupa alat prosesing, lantai jemur, dan gudang
minimal tiap kecamatan harus ada untuk mempermudah akses bagi penangkar
sehingga keuntungan yang diperoleh dapat meningkat, di sisi lain jarak yang
jauh akan meningkat biaya transportasi sehingga memperkecil keuntungan yang
diperoleh (Juradi et al, 2011).
KESIMPULAN
Perbanyakan benih sumber padi berdasarkan pemilihan lahan spesifik
lokasi dan berdasarkan preferensi konsumen, seperti Inpari 6 (Memberamo) dan
Inpari 13 namun dari sekian varietas yang diperbanyak, petani masih menyukai
varietas eksisting seperti Ciliwung, Cintanur, Cisantana, Ciherang dan Cigeulis.
Produksi tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, rendemen tinggi, alasan
petani menyukai varietas eksisting, disisi lain varietas Inpari memiliki
produktivitas tinggi namun rentan terhadap hama penyakit dan rendemen
rendah. Peran UPBS di daerah sangat diharapkan mensosialisasikan varietas
unggul baru hasil rakitan Badan Litbang Pertanian.
1092
DAFTAR PUSTAKA
Olivia Costavina R. 2005. Analisis Usahatani Padi Sawah. Universitas Kristen
Indonesia Paulus Makassar, Makassar.
Mugnisjah dan Setiawan. 1995. Produksi Benih. Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat. Bogor, 129 hal.
Juradi, M. A. Sukarjo dan Syafruddin. 2011. Kapasitas Produksi Benih Padi
Sawah Dan Permasalahannya Di Sulawesi Tengah. Unpublish.
Petunjuk Teknis. 2013. Unit Pengelola Benih Sumber. Lingkup Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Roesmiyanto, S. Yuniastuti, Suyamto, F. Kasijadi, Suhardjo,B. Siswanto, G.
Effendi, Suwarno dan B. Suwandi. 2000. Pengkajian Sistem Usahatani
Perbenihan Kedelai di Lahan Sawah Jawa Timur. Laporan akhir Tahun
2000. BPTP Karangploso. 28 hal.
1093
POTENSI SUMBERDAYA DAN PILIHAN KOMODITAS PERTANIAN
DI KABUPATEN JENEPONTO
(Hasil PRA M-P3MI di Kab.Jeneponto)
M.Basir Nappu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km.17,5 Sudiang, Makassar
Tlp. : (0411) 556449, Fax. : (0411) 554522
ABSTRAK
Badan Litbang Pertanian mulai tahun 2011 mencanangkan Model Pengembangan
Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI) sebagai program pembangunan pertanian
melalui spectrum diseminasi multi chanel (SDMC). M-P3MI dilaksanakan pada lokasi
pengembangan, diawali dengan pelaksanaan PRA (Participatory Rural Appraisal) atau
Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif. Dengan pelaksanaan PRA diperoleh informasi
yang akurat dan lengkap, baik data bio-fisik desa, sosial ekonomi, preperensi petani dan
pemerintah setempat, sehingga dapat dipahami masalah yang dihadapi masyarakat desa
khususnya pembangunan pertanian. Luas wilayah kelurahan Tolo Utara 7,59 km2 yang
dimanfaatkan untuk : lahan sawah 57,57 ha, tegalan/kebun 650,0 ha, dan pemukiman
51,47 ha. Potensi sumber daya air yang dimiliki yaitu air permukaan dan air tanah.
Komoditas utama yang diusahakan petani adalah jagung, komoditas pendukung ubi
kayu, cabai dan ternak. Pendapatan yang diperoleh petani dari usahatani jagung
sebanyak Rp. 14.710.000,- per musim tanam dan pendapatan dari usahatani ubi kayu
Rp. 8.375.000,- Inovasi yang dapat dilakukan adalah teknologi budidaya jagung dan ubi
kayu, pengolahan hasil jagung dan ubi kayu, teknologi budi daya pakan, pengolahan
pakan, dan pengolahan pupuk organik. Dampak dari inovasi yang dilakukan adalah
peningkatan produktivitas jagung dan ubikayu, aktivitas kelembagaan dan kegiatan
agribisnis meningkat,serta pendapatan rumah tangga petani meningkat dari 100%
menjadi 175 %.
Kata kunci : M-P3MI, PRA, inovasi teknologi, inovasi kelembagaan
PENDAHULUAN
Pembangunan sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan
pembangunan perdesaan karena merupakan prasyarat bagi upaya peningkatan
pendapatan masyarakat petani melalui optimalisasi penggunaan sumberdaya
pertanian (Syam, 2006). Dari hasil ini diharapkan tercapai kondisi sosial ekonomi
yang lebih baik, peningkatan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi di
perdesaan untuk tercapainya kesejahteraan petani.
Dukungan teknologi pertanian dalam arti luas untuk pengembangan
pertanian di perdesaan telah tersedia melalui jasa penelitian maupun pengkajian
yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Sebagian teknologi tersebut telah
tersebar di tingkat pengguna dan stakeholder, namun pengembangannya ke
target area yang lebih luas perlu dilakukan upaya percepatan (Ruslan, 2006).
Badan Litbang pertanian sejak tahun 2005, telah mengembangkan
program rintisan dan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian
melalui PRIMA TANI, yang sekaligus berperan menampung umpan balik guna
1094
perbaikan program penelitian kedepan.Program tersebut sebagai implementasi
paradigma baru Badan Litbang Pertanian yaitu, penelitian untuk pembangunan
(research for development). Pada tahap implementasi program, Badan Litbang
Pertanian memposisikan diri sebagai the driving force karena terintegrasi
langsung sebagai elemen esensial dari system percepatan inovasi (Anonim,
2006a).
Sampai saat ini, program tersebut telah mampu menyebarkan inovasi
teknologi ke tingkat pengguna dan pengambil kebijakan di daerah. Sejumlah
inovasi diantaranya telah digunakan sebagai tenaga pendorong utama
pertumbuhan dan pengembangan usaha agribisnis di perdesaan.
Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI)
dilaksanakan pada lokasi pengembangan komoditas, diawali dengan pelaksanaan
PRA (Participatory Rural Appraisal) atau pemahaman pedesaan secara
partisipatif. PRA pada dasarnya ditujukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis
inovasi tehnologi dan inovasi kelembagaan agribisnis yang perlu dilaksanakan.
Inovasi teknik dan inovasi kelembagaan agribisnis disesuaikan dengan potensi
sumber daya yang tersedia dan permasalahan yang dihadapi praktisi agribisnis
terutama petani (Anonim, 2006).
Inovasi yang dimaksud meliputi beberapa bidang, yaitu: (1) Bidang
produksi, pengadaan sarana produksi, penanganan pasca panen, pengolahan
dan pemasaran komoditas terpilih yang akan dikembangkan; (2) Bidang
pemanfaatan limbah pertanian untuk pembuatan pupuk organik dan pakan
ternak; (3) Bidang pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara optimal; dan
(4) Bidang konservasi tanah dan air. Melalui PRA diperoleh informasi yang akurat
dan lengkap, baik data bio-fisik desa, sosial ekonomi, preperensi petani dan
pemerintah setempat sehingga dapat dipahami masalah yang dihadapi
masyarakat desa, khususnya pembangunan pertanian.
Hasil PRA yang diperoleh yakni informasi tentang potensi yang tersedia
dan masalah yang dihadapi masyarakat desa di lokasi M-P3MI, mengidentifikasi
permasalahan serta alternatif pemecahannya melalui pemilihan inovasi teknologi
dan inovasi kelembangaan agribisnis yang sesuai dengan potensi sumberdaya
yang dimiliki.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan PRA dilaksanakan di kelurahan Tolo Utara, kecamatan Kelara,
kabupaten Jeneponto,
berlangsung mulai bulan April sampai Juni 2011.
Pemilihan lokasi berdasarkan data sekunder yang diperoleh dan kesepakatan
dengan Dinas Pertanian Kabupaten Jeneponto. Lokasi tersebut berada pada
zona Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Kering.
Informasi yang dikumpulkan
Jenis informasi
sebagai berikut:
dan sumber data yang dikumpulkan, diklasifikasikan
1095
(a) Jenis tanaman dan ternak yang diusahakan petani beserta peranannnya
terhadap pendapatan rumah tangga, potensi pasar, pemanfaatan limbah
yang dihasilkan, kesesuaian agroklimat. Di kabupaten dan kecamatan data
sekunder diperoleh pada Biro Pusat Statistik dan Bappeda. Data Program
pembangunan pertanian diperoleh pada Dinas Pertanian kabupaten, untuk
mengetahui kebijakan pembangunan pertanian.
(b) Potensi sumberdaya lahan, air, manusia, dan infrastruktur menurut blok
hamparan lahan; data ini diperoleh dari Bappeda kabupaten Jeneponto.
Tujuannya adalah untuk mengetahui pemanfaatan lahan, ketersediaan air,
dan potensi sumber daya manusia.
(c) Kinerja teknologi dan kinerja hasil kegiatan agribisnis di bidang
usahatani/produksi, input usahatani, pasca panen, pengolahan dan
pemasaran hasil. Data ini dapat diperoleh pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan serta Dinas Pertanian.
(d) Kinerja kelembagaan agribisnis dalam rangka mengkaji peluang inovasi
kelembagaan. Kelembagaan agribisnis meliputi seluruh elemen lembaga
agribisnis mulai dari pengadaan sarana input usahatani, hingga pemasaran
hasil, dan lembaga pendukung agribisnis.
POTENSI SUMBERDAYA
Karakteristik Bio-Fisik
Kabupaten Jeneponto memiliki potensi sumber daya lahan yang cukup
luas. Berdasarkan jenis penggunaan tanah (land use), terluas adalah
tegalan/kebun tercatat 34.154,14 ha atau 45,56 %, kemudian persawahan
20.014,08 ha atau 26,69 %, hutan negara 9.842,65 ha atau 13,12 %,
pemukiman 4.892,27 ha atau 6,52 %, tambak 1.624,95 atau 2,16 %,
kolam/empang 748 ha atau 0,99 %, perkebunan 534,42 ha atau 0,71 %,
ladang/huma 313,63 ha atau 0,42 %, dan penggunaan lainnya tercatat 2,854,85
ha atau 3,81 % (BPS, 2010).
Luas wilayah kelurahan Tolo Utara mencapai 759,65ha, atau 7,59 km2
merupakan kelurahan terluas ketiga setelah kelurahan Tolo Timur, dan desa
Samataring atau 13 % dari luas wilayah kecamatan Kelara 43,95 km2. Terletak
3 km dari ibukota kecamatan Kelara dan 17 km dari ibukota kabupaten
Jeneponto, sedangkan jarak dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan kurang lebih
110 km.
Waktu tempuh ke ibukota kabupaten kurang lebih 15 menit, dan
ibukota Propinsi 140 menit. Kelurahan ini terdiri dari 7 dusun dengan batasbatas, sebagai berikut : sebelah Utara desa Rumbia kecamatan Rumbia, sebelah
Selatan kelurahan Tolo kecamatan Kelara, sebelah Barat desa Garing, kabupaten
Gowa dan sebelah Timur kelurahan Tolo Timur kecamatan Kelara.
Sumber Daya Lahan dan Air
Potensi sumber daya lahan berdasarkan penggunaannya yaitu : (1) lahan
sawah 57,57 ha; (2) lahan kebun/tegalan 650,61 ha; dan (3) lahan pemukiman
51,47 ha.
Sumber daya air di kelurahan Tolo Utara berasal dari air permukaan dan
air tanah, tetapi belum dikelola secara optimal sehingga ketersediaan air pada
1096
musim kemarau belum sesuai dengan kebutuhan. Lingkungan Bolombonga
terdapat sumber air tanah sebanyak 22 buah, lingkungan Tompo Kelara terdapat
1 buah sumur dengan sistem pompanisasi, dan lingkungan Parang Labbua’ ada
1 buah sumur. Bendungan sungai Kelara yang terdapat di lingkungan Tompo
Kelara tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat kelurahan. Hal ini disebabkan
sungai tersebut berada pada kondisi yang sangat curam dan sulit dijangkau.
Sedangkan sungai Canda hanya tersedia air pada musim hujan. Saluran air yang
tersedia hanya kebutuhan untuk mengairi sawah pada musim hujan.
Luas pekarangan tercatat rata-rata 10 x 25 m2 dan 15 x 30 m2, dalam
pencatatan profil kelurahan luas pekarangan seluruhnya berjumlah 12,50 ha.
Dalam blok pekarangan penduduk mengusahakan industri rumah tangga seperti
usaha kerajinan 11 orang dan industri rumah tangga 14 orang, selain itu
masyarakat memelihara ternak, juga ada beberapa komoditas yang menonjol
seperti jambu air, pisang, jeruk, mangga dan pepaya. Sedangkan ternak yang
dipelihara di blok pekarangan adalah kuda, kambing, itik, dan ayam buras. Blok
kebun merupakan hamparan luas, batas-batas pemilikan kebun adalah batu
gunung yang disusun. Status lahan pada umumnya lahan milik yang digarap
sendiri dengan status pemilikan belum bersertifikat.
Karakteristik Sosial Ekonomi
Jumlah penduduk kelurahan Tolo Utara sebanyak 3.923 jiwa (BPS,
2010). Total rumah tangga yang ada di kelurahan Tolo Utara 891 KK, dengan
jumlah rumah tangga petani 510 KK, rata-rata setiap rumah tangga berjumlah 4
jiwa. Tingkat kepadatan penduduk mencapai 615 jiwa/km, merupakan kelurahan
terpadat ketiga setelah kelurahan Tolo dan kelurahan Tolo Timur dari 10
desa/kelurahan yang ada di kecamatan Kelara.
Sumber mata pencaharian penduduk tersebar pada sub sektor pertanian
tanaman pangan 920 orang, sub sektor peternakan 988 orang, sub sektor
pertambangan galian 28 orang, sub sektor industri kecil/kerajinan 55 orang dan
sektor jasa perdagangan 36 orang. Penduduk dengan usia kerja berjumlah
2.324 orang, yang sudah bekerja 2.131 orang dan yang belum bekerja 302
orang. Persentase jumlah penduduk menurut mata pencaharian adalah pertanian
90 %, pegawai negeri 2 % dan lain – lain 8 %.
PENGEMBANGAN KOMODITAS
Beberapa komoditas yang dominan dan mempunyai peluang untuk
dikembangkan melalui inovasi teknologi antara lain : padi, jagung, ubi kayu,
kedelai, kelapa dalam, jambu mete, tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan,
serta pada sub sektor peternakan, yaitu kuda, kambing, ayam ras, ayam
kampung dan itik. Hasil penelitian Unhas, (2006) menunjukkan bahwa dari 16
komoditas yang dikembangkan petani, ada lima komoditas yang memiliki areal
pengembangan di atas 2000 ha, yaitu padi, jagung, ubi kayu, kedelai, dan
mangga. Dari lima komoditas jagung memiliki areal terluas (27.342 ha),
kemudian padi (14.232 ha), mangga (12.148 ha), dan ubi kayu (5.508 ha).
Uraian masing – masing komoditas, sebagai berikut:
1097
1.
Jagung termasuk komoditas andalan tanaman pangan kabupaten
Jeneponto. Areal pengembangannya tersebar pada 11 kecamatan. Luas
areal pengembangan jagung termasuk varietas Srikandi Kuning mencapai
di atas 3000 ha berada pada lima kecamatan, yaitu kecamatan Bonto
Ramba (3.910 ha), Bangkala (3.654 ha), Batang (3.339 ha), Bangkala
Barat (3.306 ha), dan Kelara (3.115 ha). Sedangkan di bawah 3000 ha
terletak di kecamatan Tamalatea (2.299 ha), Rumbia (2.689 ha),
Arungkeke (1.084 ha), Turatea (1.995 ha), dan kecamatan Binamu (1.951
ha). Dari 10 kecamatan terdapat 113 desa/kelurahan
yang
mengembangkan jagung berkisar 23 – 1.434 ha atau rata-rata 242 ha per
desa/kelurahan. Dari total luas pertanaman jagung tersebut, produksi yang
dicapai 93.372.538 kg. Produksi tertinggi kecamatan adalah Turatea
(16.567.684 kg), Bangkala Barat (15.976.000 kg), dan Kelara (15.569.072
kg). Rata-rata produksi yang dicapai per kecamatan 826.306 kg, dengan
produktivitas rata-rata 3,4 t/ha (Kanro, Taufik dan Rajab, 2006).
2. Padi merupakan komoditas kedua setelah jagung yang banyak diusahakan
petani. Kecamatan Turatea paling luas mengusahakan padi yaitu 3.213 ha,
sementara kecamatan lainnya hanya berkisar 513 – 1.848 ha atau rata-rata
125 ha per desa/kelurahan. Total produksi padi yang dicapai 60.812.244
kg, dengan produksi tertinggi kecamatan Turatea 15.673.755 kg dan
produktivitas rata-rata 3,5 t/ha.
3. Ubi kayu termasuk jenis komoditas potensial dan andalan kabupaten
Jeneponto. Tiap kecamatan terdapat areal pengembangan ubi kayu,
dengan luas rata-rata 48,7 ha/desa/kelurahan. Tanaman ini banyak
diusahakan di kecamatan Bangkala dan Binamu yakni di atas 1000 ha,
kecamatan lainnya hanya berkisar 100 – 900 ha. Produksi ubi kayu yang
dicapai 51.266.622 kg, tersebar pada 10 kecamatan. Produksi tertinggi di
kecamatan Bangkala Barat (11.935.000 kg) dan terendah di kecamatan
Arungkeke (317.103 kg) dengan produktivitas rata-rata 5,6 t/ha.
4. Populasi ternak di kabupaten Jeneponto selama 5 tahun terakhir (20052010) mengalami peningkatan, masing-masing sapi 1,17 %, kuda 2,749
%, dan kambing 1,17 %.
Di kelurahan Tolo Utara, sektor pertanian sebagai sumber mata
pencaharian diklasifikasikan menurut sub-sektor, antara lain : (1) tanaman
pangan/palawija, padi, jagung, ubikayu dan kacang hijau. Luas tanam padi 10
ha dengan produksi 39,20 t (produktivitas pada tingkat kecamatan Kelara 3,9
t/ha). Luas tanam jagung 502 ha, dengan total produksi 1.623 t (produktivitas
3,5 t/ha); ubi kayu 175 ha dengan produksi 1.211 t (produktivitas rata-rata 6,9
t/ha); kacang hijau 75 ha dengan produksi 54 t (produktivitas 0,7 t/ha).
Tanaman hortikultura yang ada di kelurahan Tolo Utara, antara lain
cabe, sawi dan bawang merah. Luas tanam cabe 16 ha dengan produksi 9,6 t
(produktivitas 0,6 t/ha);sawi 3 ha dengan produksi 1,35 t (produktivitas
0,45 t/ha); bawang merah 8 ha dengan produksi 5,60 t (produktivitas 0,70
t/ha). Sedangkan, tanaman buah-buahan yakni mangga dan sirsak, tanaman ini
tersebar di kebun-kebun petani tetapi pada umumnya belum produktif. Data
statistik pada tingkat kecamatan menunjukkan bahwa jumlah tanaman mangga
mencapai 120.736 pohon, yang berproduksi baru 63.211 pohon dengan produksi
1098
sekitar 650 t. Selanjutnya, tanaman sirsak tercatat 13.468 pohon, namun data
produksinya belum tercatat.
Komoditas sub sektor peternakan yang ada, yakni ayam buras 6.586
ekor, itik 424 ekor, kambing 461 ekor, kuda 399 ekor, sapi 436 ekor. Komoditas
peternakan tersebut tersebar di rumah tangga petani, bukan dalam bentuk skala
usaha. Pemilikan ternak kuda dan sapi dimanfaatkan sebagai ternak kerja. Ratarata pemilikan ternak kuda dan sapi per rumah tangga masing -masing 0,76
ekor dan 0,85 ekor. Jumlah pemilik ternak : ayam buras 426 orang, itik 19 orang,
kambing, 189 orang, kuda 212 orang, dan sapi 123 orang. Pada musim hujan
daya dukung pakan ternak kambing, sapi dan kuda masih tersedia dan
mencukupi kebutuhan ternak. Memasuki musim kemarau pakan ternak sangat
terbatas, dan tidak tersedia pakan hijaun. Kebutuhan pakan untuk ternak
tersebut diperoleh dari kabupaten terdekat (kabupaten Bantaeng dan Takalar).
Ketersediaan pakan dari limbah tanaman pertanian di kelurahan Tolo Utara
sebenarnya bisa mencukupi pada saat musim kemarau
jika dilakukan
pengolahan limbah tanaman, seperti pembuatan pakan dari jerami padi, jagung,
dan kacang-kacangan lainnya.
POLA PEMANFAATAN LAHAN
Penggunaan lahan sebagian besar untuk kegiatan pertanian yaitu
tegalan/kebun,
persawahan, dan lahan pekarangan.
Usahatani tanaman
pangan/palawija merupakan andalan sumber pendapatan keluarga. Sistem
pertanaman monokultur jagung dengan tanaman sisipan ubi kayu dan kacangkacangan. Pola tanam yang berlaku yaitu jagung1-ubikayu, dan jagung jagung/kapas. Jagung1-ubikayu ditanam bulan Desember dan jagung2 atau
kapas ditanam pada akhir bulan April. Petani mempunyai alternatif memilih
komoditas yang akan ditanam pada bulan April yaitu jagung2 atau kapas. Pada
lahan yang miring ditanam jambu mente atau kemiri. Kalender musim yang
dilakukan petani biasanya sangat terkait dengan pola curah hujan (Sub Dinas
Pengairan Kab. Jeneponto, 2006). Pola curah hujan dan kelender musim dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Pola curah hujan, kalender musim, dan kegiatan usahatani
Variabel
Bulan
09
10
11
12
01
02
03
04
05
06
07
Pola Curah Hujan
Kalender Musim
 Musim hujan
 Musim kemarau
1099
08
Lanjutan...
Bulan
Variabel
09
10
11
12
01
02
03
04
05
06
08
07
Pola Tanam
 Jagung
Jagung/Ubikayu
Jagung/Kapas, Kc.
Hijau
Kegiatan
pada
Lahan Usahatani :
 Suami
x
x
 Istri
 Anak
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Kegiatan
Lain:
x
x
x
Produktif
 Suami
x
x
x
x
x
x
 Istri
x
x
x
 Anak
Keterangan : xx menunjukkan tingkat kesibukan pada bulan tertentu
ANALISIS USAHATANI
Petani umumnya menjual hasil di desa kepada pedagang pengumpul yang
ada di desa tersebut. Sebagian besar petani menjual dengan cara tunai,
walaupun ada sebagian kecil yang dibayar kemudian. Ada sebagian petani yang
mendapat pinjaman modal kepada pedagang desa dan membayarnya dengan
hasil panen (yarnen) pada tingkat harga yang berlaku saat itu dengan tingkat
keuntungan 10-15 % (Taufik, 2003).
Jagung sebagai komoditas utama di kelurahan Tolo Utara, ditanam pada
bulan Desember dan panen pada awal bulan April. Komponen biaya usahatani
jagung yang dikeluarkan petani yaknibiaya tenaga kerja Rp 1.150.000, dan biaya
sarana produksi Rp 2.340.000,- sehingga total biaya yang dikeluarkan
Rp 3.490.000,-. Penerimaan usahatani mencapai Rp 18.200.000,- dengan
perhitungan produktivitas 7 t/ha dan harga yang berlaku pada saat panen
Rp 2.600,-/kg. Dengan demikian petani hanya memperoleh keuntungan
Rp 14.710.000,- (sebelum Prima Tani, tingkat keuntungan yang diperoleh petani
hanya Rp 500.000,-.
1100
x
x
x
Ubi kayu ditanam pada saat tanaman jagung berumur 20 hari atau awal
bulan Nopember, sehingga pertanaman ubikayu tersebut kelihatan saat jagung
telah dipanen. Panen ubikayu dilakukan pada bulan Juli. Setelah dipanen,
ubikayu diolah menjadi gaplek. Biaya usahatani yang dikeluarkan adalah biaya
cabut, kupas dan biaya angkut, sehingga total biaya yang dikeluarkan oleh
petani Rp 1.625.000,- Produktivitas ubikayu mencapai 10 t/ha. Harga gaplek
yang berlaku ditingkat petani Rp 1.000/kg. Total penerimaan petani dari hasil ubi
kayu mencapai Rp 10.000.000, sehingga keuntungan yang diperoleh Rp
8.375.000,-.
Komoditas cabai merupakan tanaman alternatif, jika petani tidak menanam
jagung maka pilihannya adalah menanam cabai besar atu cabai kecil (rawit).
Komponen biaya usahatani cabai
terdiri atas biaya sarana produksi
Rp 1.183.000,- dan biaya tenaga kerja Rp 1.680.000,-, sehingga total biaya
pengeluaran petani sebanayak Rp 2.863.000,-. Tingkat produktitas rata- rata
yang dicapai petani cabai adalah sekitar 700 – 1.000 kg/ha. Pada analisis ini
kalkulasi produktivitas 700 kg, dengan harga yang berlaku pada saat panen
adalah Rp 20.000,- berarti dalam 1 hektar diperoleh penerimaan sebanyak
Rp 14.000.000,- sehingga tingkat keuntungan petani adalah Rp 11.137.000,-.
Usaha penggemukan ternak kambing, termasuk salah satu aktivitas yang
umum dilakukan masyarakat di keluarahan Tolo Utara. Usaha ini berlangsung
secara turun- temurun oleh keluarga tani. Dalam satu keluarga rata-rata memiliki
3-5 ekor. Kegiatan usaha penggemukan ternak kambing sebanyak 5 ekor bibit
betina dengan harga Rp 500.000,-/ekor, pejantan Rp 700.000,-/ekor ditambah
biaya-biaya lainnya (pakan, obat-obatan, dan kandang) sehingga total
pengeluaran kurang lebih Rp 4.015.000,-. Melalui pemeliharaan selama sembilan
bulan mampu menghasilkan 10 ekor anak, masing-masing 2 ekor jantan dan
8 ekor betina, dan dalam jangka tiga bulan anaknya sudah bisa dijual sesuai
harga di atas dengan total penerimaan Rp 5.400.000,-. Dengan demikian
keuntungan yang dapat diperoleh petani selama tiga bulan sebanyak
Rp 1.385.000,-.
PILIHAN KOMODITAS DAN ANALISIS MASALAH
Ada dua komoditas utama yang berkembang di kelurahan Tolo Utara, yaitu
jagung dan ubi kayu. Pendapatan yang diterima petani dari hasil usahatani kedua
komoditas tersebut masih rendah, hal ini disebabkan rendahnya produktivitas,
ternak kerja kurang, banyak lahan bero, dan tanaman sela belum produktif.
Produktivitas jagung baru sekitar 3,5-3,8 t/ha, sedangkan ubi kayu hanya 16,2
t/ha. Masalah ini secara teknis erat kaitannya dengan penerapan teknik
budidaya yang belum memadai, antara lain belum berkembangnya penggunaan
varietas unggul baik yang bersari bebas maupun hibrida, petani belum
melakukan pemupukan sesuai rekomendasi dan teknologi pemupukan anjuran.
Ubi kayu dibudidayakan hanya sebagai tanaman sampingan, pertanaman yang
dilakukan petani hanya untuk konsumsi sendiri, pengolahan hasil belum
dilakukan, serta masalah harga yang berlaku di tingkat petani sangat rendah.
Akar permasalahannya adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap petani yang
masih kurang. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi teknologi yang dapat
menambah pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani terkait dengan
1101
pengembangan komoditas jagung dan ubi kayu serta komoditas penunjang
lainnya. Kebutuhan inovasi teknologi pengembangan komoditas jagung dan ubi
kayu serta komoditas penunjang lainnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.
Kebutuhan inovasi teknologi komoditas utama dan penunjang di
Kelurahan ToloUtara, Kec. Kelara, Kab. Jeneponto, 2006.
Komoditas
Jagung
Paket
Teknologi
yang Ditawarkan
1. Varietas Unggul
2. Pengolahan tanah
3. Penanaman
4. Pemupukan:
 Pemupukan I
 Pemupukan II
5. Penyiangan :
 Penyiangan I
 Penyiangan II
 Alat penyiangan
6. Panen
Mangga
dan Sirsak
Ternak
1102
Sumber
Teknologi
 Hibrida /komposit atau
jagung bersari bebas
 Ternak kerja (kuda)
 Jarak tanam : 75 x 20 cm,
1 tanaman/lubang
BPTP SulSel,
Balitserial
Maros
 75 Urea + 100 SP36+ 50 KCl
+ 50 ZA kg/ha diberikan
pada saat tanaman berumur
0-14 HST.
 175 Urea kg/ha 30 HST
 umur 14 HST
 umur 45 HST
 Bajak oleh ternak kerja
8. Pemasaran
 Dilakukan secara serentak
setelah klobot berwarna
coklat
 Pengupasan,pemipilan,
Pengeringan, dan
Pengolahan hasil
 Kelembagaan
1.Pola tanam
2.Pengolahan hasil
 4 baris jagung 1 ubikayu
 Gaplek
BPTP Sul-Sel
 Juice/pure
BPTP Sul-Sel,
Balit Pasca
Panen Bgr
BPTP Sul-Sel,
Balitnak
Ciawi, Bogor
7. Pasca panen
Ubi kayu
Implementasi
Teknologi/Kelembagaan
Pengolahan buah
1. Introduksi ternak
2. Budidaya pakan
3. Pengolahan pakan
4. Pengolahan pupuk
organic
 Kuda
 Gamal dan rumput gajah
 Pengeringan limbah
tanaman
 Limbah ternak
KESIMPULAN
1. Luas wilayah kelurahan Tolo Utara 7,59 km2 yang dimanfaatkan untuk lahan
sawah 57,57 ha, tegalan/kebun 650,0 ha, dan pemukiman51,47 ha. Potensi
sumber daya air yang dimiliki yaitu air permukaan dan air tanah.
2. Komoditas utama yang diusahakan petani adalah jagung, komoditas
pendukung ubi kayu, cabai dan ternak. Pendapatan yang diperoleh dari
usahatani jagung sebanyak Rp. 14.710.000,- per musim tanam dan
pendapatan dari ubi kayu Rp. 8.375.000,-. Ternak kuda yang dipelihara
hanya untuk ternak kerja dan transportasi.
3. Inovasi yang akan dilakukan adalah teknologi budaya jagung dan ubi kayu,
pengolahan hasil jagung dan ubi kayu, teknologi budi daya pakan,
pengolahan pakan, dan pengolahan pupuk organik.
4. Dampak dari inovasi yang dilakukan adalah peningkatan produktivitas
jagung dan ubikayu, peningkatan aktivitas kelembagaan, kegiatan agribisnis
meningkat, dan pendapatan rumah tangga petani meningkat dari 100 %
menjadi 175 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Petunjuk Teknis Participatory Rural Appraisal (PRA). Program
Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian
(PrimaTani). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Anonim. 2006a. Pedoman Umum Primatani. Depatemen Pertanian Republik
Indonesia, Jakarta, September 2006.
BPS. 2010. Jeneponto dalam Angka. Kerjasama BAPPEDA-BPS.
Kanro, MZ., M. Taufik, A. Rajab. 2006. Srikandi Kuning Varietas Jagung Bersari
Bebas Berpotensi Unggul di Kabupaten Jeneponto.Laporan Hasil
Pengkajian BPTP Sulawesi Selatan.
Ruslan HS. 2006. Dukungan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Revitalisasi
Pertanian.Makalah Seminar Nasional. Bappeda Prop. Sul-Sel.
Syam, A. 2006. Sambutan Gubernur pada Acara Pembukaan Seminar Nasional di
Singgasana Hotel, Makassar.
Sub Dinas Pengairan Kabupaten Jeneponto,2006. Stasion E & P Curah Hujan di
Kelurahan Tolo dan Sekitarnya.
Taufik, M. 2003. Kinerja Pembiayaan Agribisnis di Indonesia. Prosiding
Penerapan Teknologi Spesifik Lokasi dalam Mendukung Pengembangan
Sumber daya Pertanian, BPTP Kalimantan Timur.
Unhas. 2006. Laporan Analisis Komoditas Unggulan Berbagai Sektor Ekonomi di
Kabupaten Jeneponto. Kerjasama Bappeda Kabupaten Jeneponto dengan
Lembaga Penelitian UNHAS.
1103
PREFERENSI PETANI TERHADAP BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU
PADI RAWA DI KECAMATAN MENGGALA TIMUR
KABUPATEN TULANG BAWANG PROVINSI LAMPUNG
Kiswanto dan Fauziah Yulia Adriyani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung
Jl. ZA Pagar Alam No. 1A Rajabasa Bandar Lampung
ABSTRAK
Penggunaan varietas unggul baru (VUB) padi spesifik lokasi lahan rawa sebagai salah
satu cara untuk meningkatkan produktivitas tanaman terkendala karena tidak semua VUB
dapat diterima oleh masyarakat setempat. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
VUB yang sesuai dengan pilihan petani untuk dikembangkan di lahan rawa lebak di
Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. Penelitian
menggunakan metode wawancara terstruktur dan survei.Data primer yang diperoleh dari
pengamatan lapangan serta wawancara terstruktur dengan responden menggunakan
daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan, data ditabulasi dan dianalisis secara
deskriptif. Responden berjumlah30 orang yaitu petani kooperator dan non kooperator
disekitar lokasi pengkajian introduksi VUB di Desa Cempaka Dalam, Kecamatan Manggala
Timur, Kabupaten Tulang Bawang. Wawancara dilakukan setelah selesai pengkajian yaitu
bulan November 2012, untuk mendukung hasil wawancara dilakukan pengamatan/survei
pertumbuhan VUB oleh responden.Data yang diamati meliputi preferensi petani terhadap
17 atribut dari penampilan pertumbuhan, hasil, rasa, tekstur, warna dan aroma nasi VUB
yang diuji (Banyuasin, Inpara 2 dan Inpara 5).Hasil penelitian menunjukkan bahwa
petani memilki preferensi sangat suka terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin
mencapai 42,75 %, suka 55,69 % dan kurang suka 1,57 %. Atribut yang berpengaruh
cukup besar terhadap preferensi petani adalah tinggi tanaman, jumlah anakan,
produktivitas, rasa nasi, tekstur nasi, dan ketahanan hama penyakit.
Kata kunci : Preferensi, padi rawa, VUB
PENDAHULUAN
Sektor pertanian di Indonesia mempunyai kontribusi yang cukup besar
terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Kebutuhan
rakyat Indonesia akan beras sangat besar karena beras merupakan bahan
pangan pokok rakyat Indonesia.
Meningkatnya kebutuhan beras tersebut membuat pemerintah berupaya
untuk meningkatkan produktivitas melalui ekstensifikasi dan intensifikasi
tanaman. Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi tidak terlepas dari penggunaan
teknologi unggulan. Diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian,
varietas unggul sangat menonjol peranannya baik dalam usaha ekstensifikasi
maupun intensifikasi. Pada usaha ekstensifikasi yaitu dengan perluasan areal
pertanaman, varietas unggul diutamakan pada varietas yang sudah beradaptasi
dengan baik. Sedangkan pada usaha intensifikasi penggunaan varietas unggul
diutamakan pada varietas yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap hama
dan penyakit. Beberapa varietas unggul baru (VUB) dengan potensi hasil tinggi
dan memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit utama yang dihasilkan oleh
1104
Badan Litbang Pertanian adalah Inpara 2, Inpara 5, Banyuasin. Penggunaan
kultivar padi unggul merupakan teknologi yang handal dalam meningkatkan
produksi pangan, karena teknologi tersebut lebih aman dan lebih ramah
terhadap lingkungan serta murah harganya bagi petani.
Permasalahan dalam pengembangan varietas unggul baru adalah tidak
semua varietas unggul baru tersebut disukai oleh petani. Berdasarkan hal
tersebut perlu dilakukan pengkajian terhadap beberapa hal dari VUB baru yang
disukai petani terutama di daerah pengembangan atau sentra produksi.
Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui varietas unggul baru yang
dapat diterima oleh petani dan dapat dikembangkan di lahan rawa lebak di
Tulang Bawang Provinsi Lampung serta mengetahui tingkat kesukaan petani
terhadap varietas unggul yang diintroduksikan dan sejauh mana tingkat kinerja
atribut dapat memenuhi kebutuhan dari responden.
METODOLOGI
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif dengan menggunakan
metode survei. Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli s/d November 2012 di
Desa Cempaka Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Provinsi
Lampung yang merupakan lokasi pengkajian optimalisasi lahan rawa dan
adaptasi beberapa VUB Padi. Data primer yang diperoleh dari pengamatan
lapangan serta wawancara terstruktur dengan responden menggunakan daftar
pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan. Data yang diamati meliputi
karakteristik responden dan tingkat kesukaan petani terhadap VUB yang diuji
(Inpara2, Inpari 5 dan Banyuasin).Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis
dengan menggunakan analisis deskriptif. Untuk mengetahui preferensi petani
terhadap beberapa VUB padi rawa yang diadaptasikan telah dilakukan survey
kepada 30 responden yaitu petani kooperator pengkajian optimalisasi lahan rawa
yang menanam beberapa VUB dan petani non kooperator disekitar lokasi
pengkajian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani
Rogers (2003), mendefinisikan difusi sebagai proses yang melibatkan
(1) inovasi, (2) komunikasi, (3) waktu, (4) anggota sistem sosial. Keberhasilan
difusi suatu inovasi tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri
yaitu (keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat dicoba/diterapkan dan
dapat diamati) tetapi juga oleh anggota sistem sosial yang dalam pembangunan
pertanian adalah petani. Karakteristik petani pelaksana demfarm memiliki
pengaruh yang penting dalam penerapan suatu inovasi teknologi. Karakteristik
responden dalam penelitian ini meliputi umur, jumlah anggota keluarga,
pendidikan dan penguasaan lahan.
1105
Tabel 1. Karakteristik responden
No
1
2
3
4
Uraian
Umur Petani (th)
Jumlah
Anggota
Keluarga (org)
Pendidikan
Penguasaan Lahan
(ha)
Analisis deskriptif
Rata-rata
45,1
2,7
Nilai max
70
4
Nilai min
28
1
variance
151,679
1,113
sd
12,3
1,1
6,7
0,475
9
1
4
0,25
2,148
0,023
1,5
0,152
Sumber: Data primer, 2012
Umur
Pengukuran umur dengan menghitung usia petani sejak lahir hingga saat
pengumpulan data. Kematangan seseorang (fisik, biologis, dan psikologis) dapat
dilihat dari beberapa kriteria Salah satunya adalah dengan melihat umur.Umur
sangat mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mencoba,
menilai dan menerapkan suatu inovasi teknologi.
Umur petani selain dapat mempengaruhi kemampuan fisik dalam
melaksanakan usahataninya, juga dapat berpengaruh terhadap penerapan
teknologi yang dianjurkan. Semakin tinggi umur petani sampai batas tertentu,
maka kemampuan untuk bekerja akan meningkat sehinggga produktivitasnya
meningkat, dan selanjutnya semakin tua umur maka kekuatan fisik menurun dan
produktivitasnya juga menurun. Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa umur
petani rata-rata 45,1 tahun dan sebagian besar berada pada kisaran 32,8-57,4
tahun (45,1±12,3). Pada umur tersebut dapat dikatakan bahwa petani
kooperator masih dalam kisaran usiamuda dan produktif, sehingga memiliki
kemampuan fisik yang cukup baik untuk melaksanakan kegiatan usahatani.
Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dalam suatu keluarga merupakan beban
keluarga untuk penyediaan segala kebutuhan hidup, tetapi di sisi lain merupakan
sumber tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan usahatani. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa rata-rata tanggungan keluarga petani kooperator adalah 2,7
jiwadengan kisaran 1,6-3,8 jiwa (2,7±1,1). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
tanggungan keluarga relative sedang dan berpotensi dalam penyediaan tenaga
kerja untuk mengelola usahataninya dengan baik sesuai dengan luasan lahan
yang dikuasainya. Dari sisi lain dengan jumlah tanggungan keluarga yang relative
sedang tersebut erat kaitannya dengan faktor umur, dimana umur petani
sebagian besar relatif muda.
Pendidikan Formal
Pendidikan formal merupakan usaha dalam mengembangkan potensi diri
menuju sumberdaya manusia yang lebih baik dari segi ilmu pengetahuan,
penguasaan teknologi serta pembentukan karakter yang baik.Tingkat pendidikan
formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumber daya
manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional
1106
pola berfikir dan daya nalarnya.Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar
responden petani memiliki pendidikan selama 5,2-8,1 tahun (6,7±1,5) atau
Sekolah Dasar (SD)-Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pendidikan responden
terendah adalah 4 SD dan tertinggi adalah tamat SMP.Berdasarkan kondisi
tersebut maka peningkatan kapasitas petani dalam menerima inovasi baru
melalui pendidikan non formal seperti pelatihan perlu mendapat prioritas agar
menunjang dalam meningkatkan pengelolaan usahatani padi. Menurut Slamet
(2003), pemberdayaan anggota kelompoktani dan keluarganya haruslah
menggunakan landasan falsafah kerja meningkatkan potensi dan kemampuan
sehingga mampu mandiri dalam mengelola usahataninya.
Penguasaan Lahan
Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi
petani. Pada umunya petani memiliki lahan usahatani baik untuk tanaman pokok
maupun tanaman lainnya, selain mengelola tanaman pokok mereka juga
mengusahakan tanaman lain seperti tanaman sayuran. Berdasarkan tabel 1,
menunjukkan bahwa luas rata-rata pemilikan lahan usahatani 0,475 ha/kk,
dengan kisaran 0,323-0,627 ha/kk (0,475±0,152). Hal ini berkaitan dengan ratarata jumlah anggota keluarga yang relatif kecil sehingga ketersediaan tenaga
untuk mengelola lahan cukup tersedia.
Penampilan Fisik VUB Padi Rawa dan Preferensi Petani
Penampilan luar (fenotipe) suatu varietas pada kenyataannya tidak semua
menunjukkan kesamaan saat ditanam di wilayah yang berbeda, beberapa
fenotipe memiliki keragaan.Menurut Ghafoor dan Siddiqui (1977), interaksi
antara genotip dan lingkungan merupakan masalah utama bagi pemulia tanaman
dalam usaha mengembangkan kultivar hasil seleksinya, karena ada beberapa
genotip
yang
menunjukkan
reaksi
spesifik
terhadap
lingkungan
tertentu.Beberapa kultivar atau galur yang diuji di berbagai lokasi ternyata
kemampuan daya produksinya berbeda pada setiap lokasi pengujian.
1107
Tabel 2. Penampilan fisik beberapa VUB padi rawa di lokasi pengkajian.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Penampilan fisik
Persentase pertumbuhan bibit
dipersemaian (%)
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan
(anakan/rumpun)
Ketahanan terhadap hama
dan penyakit
Toleransi terhadap cekaman
banjir dan kekeringan
Bentuk tanaman
Tingkat kerontokan
Bentuk gabah
Panjang malai (cm)
Jumlah gabah per malai
Jumlah gabah hampa
Produktivitas (t/ha)
Tekstur nasi
Warna nasi
Aroma nasi
Sumber: Data primer, 2012
Inpara 2
95
Varietas Unggul Baru
Inpara 5
Banyuasin
95
95
90-100
16-17
55-70
15
90-100
17-18
Tahan
terhadap HDB
Toleran
Tidak tahan
terhadap HDB
Tidak toleran
Tahan
terhadap HDB
Toleran
tegak
Sedang
lonjong
24,82
167,10
tegak
Sedang
lonjong
-
Tegak
Sedang
Lonjong
17,33
138,67
5,82
pulen
putih
wangi
5,74
Pulen
Putih
Wangi
Pertumbuhan bibit di persemaian untuk semua VUB termasuk baik karena
95% benih mampu tumbuh dengan baik di persemaian.Hal ini disukai oleh petani
karena dengan tingginya daya tumbuh benih menyebabkan jumlah benih dapat
ditekan.Selain faktor genetik, pertumbuhan benih juga dipengaruhi oleh
lingkungan.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa VUB Inpara 2 memiliki
tinggi tanaman dengan kisaran 90-100 cm dengan 15-17 anakan per rumpun;
Inpara 5 memiliki tinggi tanaman dengan kisaran 55-70 cm dengan 15 anakan
per rumpun; Banyuasin memiliki tinggi tanaman dengan kisaran 90-100 cm
dengan 17-18 anakan per rumpun. Tingginya keragaman jumlah anakan per
rumpun antar menunjukkan adanya pengaruh lingkungan yang cukup
besar.Berdasarkan kisaran tinggi tanaman masing-masing VUB, responden lebih
banyak yang menyukai VUB Inpara 2 dan Banyuasin yang terlihat lebih seragam
dibandingkan dengan Inpara 5. Berdasarkan kisaran jumlah anakan yang dimiliki
masing-masing VUB, responden lebih menyukai VUB Banyuasin dan Inpara
2yang memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan Inpara 5.
Serangan patogen yang menyebabkan hawar daun bakteridi lokasi
pengkajian menyebabkan VUB Inpara 5 paling terkena dampak serangan bahkan
gagal panen sedangkan VUB Inpara 2 dan Banyuasin lebih tahan. Tingginya
tingkat serangan HDB pada VUB Inpara 5 menyebabkan petani kurang menyukai
varietas ini dibandingkan dengan VUB Inpara 2 dan banyuasin. Oleh karena itu,
preferensi hanya dilakukan untuk VUB Inpara 2 dan Banyuasin.
1108
Gambar 1. Kondisi serangan HDB pada VUB Inpara 5
Kerontokan gabah merupakan salah satu pertimbangan petani dalam
memilih suatu varietas padi. Gabah yang sulit dirontok kurang disukai oleh petani
karena akan menimbulkan masalah dalam merontokkan baik dengan threser
maupun secara manual (gebod). Sedangkan gabah yang mudah rontok juga
kurang disukai oleh petani karena akan menimbulkan masalah apabila tanaman
telat dipanen yaitu banyaknya gabah yang rontok sebelum dipanen atau dengan
kata lain meningkatkan potensi kehilangan hasil.
Bentuk gabah semua VUB relatif seragam yaitu berbentuk lonjong.Bentuk
gabah lonjong disukai oleh petani karena bentuk ini menunjukkan rasa nasi yang
pulen (tidak pera).Berdasarkan deskripsi beberapa varietas dalam Deskripsi
Varietas Padi (2010), diketahui bahwa sebagian besar VUB yang dihasilkan
memiliki tekstur nasi yang pulen.Hal ini menunjukkan bahwa pemuliaan padi
diarahkan pada pembentukan varietas yang memiliki rasa nasi yang pulen
sehingga lebih mudah diterima oleh petani sebagai salah satu keuntungan relatif
dari varietas tersebut.
Untuk mengetahui preferensi petani terhadap varietas unggul Inpara 2 dan
Banyuasin telah dilakukan survey kepada responden 30 orang yaitu petani
kooperator dan non kooperator (petani) disekitar lokasi pengkajian. Jumlah
atribut yang akan dibahas ada tujuhbelas atribut yang dijadikan pertimbangan
para petani, sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
1109
Tabel 3. Preferensi petani terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin di lahan
rawa Kabupaten Tulang Bawang, Tahun 2012 .
Preferensi Petani (%)
No
Uraian
1.
6.
Pertumbuhan bibit di
persemaian
Tinggi tanaman
Jumlah anakan produktif
Ketahanan terhadap hama
penyakit
Ketahanan
thd
cekaman
banjir atau kekeringan
Bentuk tanaman
7.
8.
Umur tanaman
Tingkat kerontokan
9.
10
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Bentuk gabah
Panjang malai
Jumlah gabah per malai
Jumlah gabah hampa
Produktivitas
Rasa nasi
Tekstur nasi
Warna nasi
Aroma nasi
2.
3.
4.
5.
Rat-rata
Sangat
suka
Suka
Kurang
suka
Tidak
suka
Sangat
tidak
suka
53,33
100,00
100,00
60,00
46,67
0,00
0,00
40,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
100,00
0,00
0,00
0,00
66,67
33,33
0,00
0,00
0,00
26,67
0,00
73,33
100,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
46,67
20,00
66,67
40,00
100,00
0,00
0,00
46,67
0,00
53,33
80,00
33,33
46,67
0,00
93,33
93,33
53,33
100,00
0,00
0,00
0,00
13,33
0,00
6,67
6,67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
42,75
55,69
1,57
0,00
0,00
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa petani memilki preferensi
sangat suka terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin mencapai 42,75 %, suka
55,69 % dan kurang suka 1,57 %. Sedangkan petani yang berpreferensi tidak
suka dan sangat tidak suka terhadap varietas Inpara 2 dan Banyuasin tidak ada
(0 %). Atribut yang berpengaruh cukup besar terhadap preferensi petani adalah
tinggi tanaman, jumlah anakan, produktivitas, rasa nasi, tekstur nasi, dan
ketahanan hama penyakit. Akan tetapi atribut yang sangat disukai dan dianggap
sangat penting oleh petani adalah tinggi tanaman cukup dan berpotensi tidak
roboh jika ditanam pada musim rendeng, jumlah anakan produktif cukup banyak
dan produktivitasnya tinggi.
1110
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis preferensi petani terhadap VUB padi rawa,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Petani memilki preferensi sangat suka terhadap varietas Inpara 2 dan
Banyuasin mencapai 42,75 %, suka 55,69 % dan kurang suka 1,57 %.
Atribut yang berpengaruh cukup besar terhadap preferensi petani adalah
tinggi tanaman, jumlah anakan, produktivitas, rasa nasi, tekstur nasi, dan
ketahanan hama penyakit.
2. VUB padi rawa Inpara 5 memiliki tingkat ketahanan HPT yang rendah serta
tidak toleran terhadap kondisi kekeringan pada lahan rawa sehingga tidak
sesuai untuk dikembangkan di lahan rawa lebak yang memiliki kondisi
lingkungan yang sama dengan di kecamatan Menggala Timur Kabupaten
Tulang Bawang Provinsi Lampung.
3. VUB padi rawa yang diterima oleh petani berdasarkan atribut yang
berpengaruh cukup besar adalah Inpara 2 dan Banyuasin.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2010. Deskripsi Varietas Padi.
Ghafoor, A.A., and K.A. Siddiqui. 1977. Stability parameters of wheat mutants.
Envi.and Exp. Botany 17: 13–18.
Puslitbangtan. 2009. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara pada Padi.
Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan.
1111
RESPON TIGA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH TERHADAP
SERANGAN TIKUS Rattus argentiventer PADA DISPLEY SLPTT
DI SULAWESI TENGAH
Abdi Negara, Asni Ardjanhar dan Saidah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jalan Lasoso. 62 Biromaru Palu
email: onisip_abdi_allianz@yahoo.com
ABSTRAK
Tikus (Rattus argentiventer Rob) merupakan hama utama penyebab kerusakan padi di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon tiga varietas padi Unggul
baru yang disenangi tikus agar ke depan bisa digunakan tanaman sebagai tanaman
perangkap. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2012 di sentra
produksi padi lahan sawah sering terserang hama tikus di Desa Dolago, Kecamatan Parigi
Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Di lahan petani dengan luasan 1 ha, dengan
menanam padi vareietas unggul baru yakni Inpari 13, inpari 15 dan Inpari 20.
Pengamatan meliputi Persentase Serangan, Serta pengamatan komponen hasil yaitu,
hasil panen ubinan. Hasil penelitian. Persentase serangan tikus pada tiga varietas
unggul baru bervariasi.
Varietas Inpari 13 Persentase serangan 30 % lebih rendah
jika dibanding pada Inpari 15 yaitu 35 % dan Inpari 20 persentase serangannya 45 %.
Hasil panen ubinan pada tiga varietas unggul baru bervariasi yaitu Inpari 13
menghasilkan 8,20 ton/ha GKP, varietas Inpari 15 menghasilkan 7,30 ton/ha GKP dan
varietas Inpari 20 menghasilkan 6,64 ton/ha GKP
Kata kunci : Respon, varietas unggul baru, hama tikus.
PENDAHULUAN
Tikus (Rattus argentiventer Rob) merupakan hama utama penyebab
kerusakan padi di Indonesia. Pada lima tahun terakhir ini, kerusakan yang
ditimbulkan selalu menempati urutan pertama dibanding hama padi lainnya (BPS,
2007). Pada usaha tani kecil, tikus sawah dilaporkan menyebabkan kehilangan
hasil sekitar 5 - 10% pertahun. Khususnya Sulawesi Tengah serangan hama
tikus 2 tahun terakhir menempati urutan pertama yakni luas serangan 742 ha
setelah hama penggerek batang padi dan di banding hama padi lainnya, dengan
intensitas serangan dalam kategori ringan, berat dan puso (Gambar 1).
1112
Gambar 1.
Luas serangan OPT padi tiga bulan terakhir pada MT. 2011 (ha)
Provinsi Sulawesi Tengah
Sumber: Balai Proteksi Sulteng, 2012
Data yang diperoleh serangan hama tikus di Kabupaten Parigi Moutong
226 ha MT 2010 termasuk urutan keempat dibanding kabupaten lainnya di
Sulawesi Tengah (Gambar 2).
Pada Lokasi penelitian ini hampir dikategorikan serangan tikus termasuk
endemik karena setiap musim tanam, hama ini selalu ada, disebabkan habitat
yang mendukung perkembangan tikus tersebut dan waktu tanam yang tidak
teratur.
Gambar. 2. Luas serangan OPT tikus Kabupaten Parigi Moutong
pada MT. 2010 (ha) Provinsi Sulawesi Tengah
Sumber: Balai Proteksi Sulteng, 2012
Menurut Sudarmadji et al (1997), salah satu faktor yang mempengaruhi
perkembangan biakan tikus adalah ketersediaan pakan. Tikus sawah ini memilih
pakan yang berkualitas dan bernilai gizi yang tinggi untuk tumbuh dan
berkembang biak memenuhi kebutuhan hidupnya, dari berbagi hasil penelitian
menunjukkan bahwa tikus jenis Rattus argitiventer pakan utama yang paling
1113
disukai adalah padi, terutama pada saat tanaman fase bunting dibanding fase
vegetativ lainnya karena fase ini pakan yang tersedia dapat memenuhi
kebutuhan gizi tikus tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon tiga varietas unggul baru
padi sawah yang disenangi tikus agar ke depan bisa digunakan sebagai tanaman
perangkap.
METODOLOGI
Kegiatan dimulai dengan inventarisasi hamparan lahan sawah yang
intesitas serangan hama tikus tinggi. Kegiatan dilakukan pada MT 2012 bulan
Mei sampai Oktober 2012 dilahan petani dengan luasan 1 ha, dengan menanam
padi varietas padi unggul baru yakni Inpari 13, Inpari 15 dan Inpari 20. Ketiga
varietas tersebut ditanam bersamaan. Kegiatan dilaksanakan di sentra produksi
padi lahan sawah sering terserang hama tikus di Desa Dolago, Kecamatan Parigi
Selatan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah.
Pengamatan meliputi, komponen hasil yaitu; hasil panen ubinan
(kg/ha/GKP) serta Pengamatan Persentase Serangan dilakukan terhadap tingkat
kerusakan tanaman padi didalam plot tanaman dihitung dengan rumus.
Jumlah anakan terserang tikus
Persentase Serangan (%) =------------------------------------------------- X 100%
Jumlah semua anakan/rumpun sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini untuk tahap awal berdasarkan pertemuan dengan kelompok
tani di Desa Dolago berdasarkan kesepakatan jadwal tanaman dilaksanakan
pada bulan Mei 2012 .
Tabel.1
Persentase serangan tikus (%) pada tanaman padi vareitas
unggul baru, Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi
Moutong MT. 2012
Varietas
Inpara 13
Inpari 15
Inpari 20
Intensitas (%)
30
35
45
Persentase serangan tikus pada 3 varietas bervariasi. Varietas Inpari 13
Persentase serangan 30 % lebih rendah jika dibanding pada Inpari 15 yaitu 35
% dan Inpari 20 persentase searangan 45 %. Hasil tinjauan lapangan yang
menyebabkan bervariasi persentase serangan pada varietas
mungkin
disebabkan karena lokasi penanaman vareietas-varietas ini berdekatan dengan
hutan semak belukar, sehingga tikus yang bersarang disekitar semak belukar
tersebut lebih dekat tikus mendapat makanan. Diduga varietas varietas-varietas
ini mengeluarkan aroma sehingga tikus tertarik untuk datang cari makan karena
1114
tikus ini koperatif sesuai nalurinya mencari makan yang bergizi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, dimungkinkan pula mencium aroma padi yang dikeluarkan
pada tanaman padi yang mulai bunting.
Menurut Brooks and Rowe (1979) melaporkan bahwa aktivitas tikus
setiap hari meliputi mencari makan, minum dan kawin hunting untuk pengenalan
kawasan, dia sangat mengenali lingkungannya, terutama pada habitat yang
tesedia air, pakan dan sarang untuk tempat berlindung dan istirahat. Hasil
penelitian Suripto et al (2002), menunjukkan bahwa habitat tikus pada spesies
Rattus argentiventer sangat spesifik ditemukan pada habitat padi sawah dan padi
rawa. Sejalan dengan hasil kajian Abdi Negara (2009), bahwa tikus
spesies
Rattus argentiventer pada habitat padi ditemukan 100 % spesies Rattus
argentiventer tanpa ada spesies lainnya walaupun habitatnya perdekatan dengan
perkebunan kakao. Ruang gerak atau habitat tikus menunjukkan bahwa setiap
spesies mempunyai habitat yang spesifik, jika habitatnya tidak tersedia pakan
yang memadai, sangat memungkinkan untuk bermigrasi ketempat lain dengan
habitat yang sama untuk mencari pakan untuk kelangsungan hidupnya.
Tingkat kerusakan serangan tikus pada varietas Inpari 13 adalah 30 %,
Inpari 15 persentase serangan 35 % dan varietas Inpari 20 persentase serangan
45 %. Hal ini mungkin disebabkan tikus yang sudah menyerang varietas Inpari
20 tikus tersebut bermigrasi ke hamparan lainnya Semakin tinggi tingkat
kepadatan populasi pada suatu hamparan, semakin tinggi pula tingkat
serangannya karena terjadi kompetisi untuk memperebutkan makanan untuk
kelangsungan hidupnya. Disamping itu rendahnya populasi berkaitan dengan
rendahnya intensitas serangan, hal ini mungkin disebabkan semakin beragamnya
aktifitas pengendalian tikus oleh petani dari saat sebelum pertanaman hingga
panen, menyebabkan populasi tikus tertekan. Hal ini akan mengurangi tingkat
populasi tikus pada masa selanjutnya, dan secara langsung dapat mengurangi
tingkat serangan tikus.
Tabel 2. Hasil panen (kg/ha) pada tanaman padi sawah Kabupaten Parigi
Moutong MT. 2012
Varietas
Inpara 13
Inpari 15
Inpari 20
Hasil Panen
Ubinan
(ton/ha)
8,20
7,30
6,64
Rerata
Hasil
(ton/ha GKG)
6,60
6,10
6,40
Potensi
Hasil
(ton/ha GKG)
8,00
7,50
8,80
Hasil panen ubinan pada 3 varietas
bervariasi yaitu Inpari 13
menghasilkan 8,20 ton, varietas Inpari 15 menghasilkan 7,30 ton dan varietas
Inpari 20 menghasilkan 6,64 ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa varietasvarietas tersebut walaupun terserang hama tikus dengan kisaran 30-45%,
namun hasil ubinannya lebih baik dan diatas hasil rerata dan potensi hasil.
1115
Tabel 3. Komponen teknologi yang diterapkan pada kegiatan display di
Kabupaten Parigi Moutong, 2012.
Kecamatan
Desa
Parigi Selatan
Dolago
Kelompok
Tani
Mega Buana
Display
Komoditas
Padi sawah
-
Sumber: SK Dinas Pertanian Kab. Parigi Moutong, 2012
-
Komponen Teknologi
yang Diterapkan
Penggunaan VUB
Benih Bermutudan berlabel
PembuatanPesemaian
Pengolahan Tanah
Tanam Umur Muda
(17-21 hari)
Jajar Legowo 2:1
Pemupukan
Pengendalian OPT
Pengendalian Gulma
Panen dan Pasca Panen
Melihat potensi hasil masing-masing varietas yakni Inpari 13, Inpari 15 dan
Inpari 20 yakni rerata 8,00 ton/ha, 7,50 ton/ha dan 8,80 ton/ha GKP jika
keadaan tanaman optimal, sehingga penerapan komponen teknologi SLPTT yang
diterapkan pada lokasi tersebut tertera pada Tabel 3.
Menurut Rusdi Lape (2012), masalah/kendala yang dihadapi petani untuk
menerapkan (adopsi) teknologi cukup beragam pada setiap wilayah Kabupaten
Parigi Moutong, berdasarkan hasil survey dilapangan dengan metode PRA telah
ditemukan beberapa permasalahan/kendala sebagai berikut.
Berdasarkan hasil PRA bahwa permasalahan/kendala yang ditemui di
lapangan cukup variatif, antara lain: (1). Rendahnya produktivitas di tingkat
petani, tingginya tingkat serangan hama, masih banyak petani menggunakan
varietas lokal/tidak berlabel, petani belum menerapkan teknologi PTT secara
penuh, debet air masih sangat kurang dan rusak, tenaga Penyuluh masih sangat
terbatas dan peran dan fungsi kelompok tani belum maksimal. (2). Terjadi
ledakan beragam hama yang menyerang tanaman padi yang ditanam pada
bulan Pebruari-Maret 2012 pada kegiatan SL-PTT dan Non SL-PTT. Akibat
serangan hama dapat menyebabkan beberapa lahan mengalami kegagalan
panen (60-70%). Jenis varietas padi yang ditanam antara lain: varietas Ciherang,
Cigeulius, Mekongga dan Shinta Nur.
KESIMPULAN
1.
2.
Persentase serangan tikus pada tiga varietas unggul baru bervariasi. Varietas
Inpari 13 Persentase serangan 30 % lebih rendah jika dibanding pada
Inpari 15 yaitu 35 % dan Inpari 20 persentase searangan 45 %.
Hasil panen ubinan pada tiga varietas unggul baru bervariasi yaitu Inpari 13
menghasilkan 8,20 ton/ha GKP, varietas Inpari 15 menghasilkan 7,30 ton/ha
GKP dan varietas Inpari 20 menghasilkan 6,64 ton/ha GKP
1116
DAFTAR PUSTAKA
Abdi Negara. 2009. Tingkat Serangan Hama Tikus Dengan Menggunakan TBS
Kabupaten Parigi Moutong. Seminar Nasional 2004. BPTP Bali.
Brook, J. E; and F.P. Rowe. 1979. Commensal Rodent Control. WHO/
VBC/79:726.
Rusdi Lape. 2012. Laporan SLPTT Padi Sawah Kabupten Parigi Moutong. BPTP
Sulawesi Tengah.
Sudarmadji dan Rochman. 1997. Populasi Tikus Sawah Rattus argentiventer di
Berbagai Tipe Habitat Ekosistem Padi Sawah. Prosiding III. Seminar
Nasional Biologi XV.
Suripto. B.A., A. Seno, dan Sudarmaji. 2002. Jenis-Jenis Tikus (Rodentia:
Muridae) dan Pakan Alaminya di Daerah Penelitian Sekitar Hutan di
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Journal Perlindungan Tanaman
Indonesia. 8:1. p.63-74.
1117
ANALISIS POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DAN PENGHEMATAN
BELANJA PANGAN MELALUI PEMANFAATAN PEKARANGAN
(Studi Kasus KWT Flamboyan Kabupaten Gowa Sulsel)
Arini Putri Hanifa dan Fadjry Djufry
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan KM.17,5 Makassar
ABSTRAK
Berdasarkan data Susenas, masih terdapat ketimpangan pada pola konsumsi pangan
penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan ketergantungan pada beras sebagai makanan
pokok. Perbaikan pola konsumsi pangan dan gizi melalui peningkatan keragaman pangan
salah satunya dapat diwujudkan melalui pendekatan dimensi fisik. Perwujudan dimensi
fisik berupa optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara terpadu yang mengarah pada
pemenuhan gizi dan penghematan belanja pangan keluarga. Pelaksanaan Model
Kawasan Rumah Pangan Lestari KWT Flamboyan secara umum diterima dan diakui
manfaatnya oleh anggota. Tingkat keragaman konsumsi pangan berubah melalui
peningkatan konsumsi buah/sayur dan pangan hewani. Skor PPH meningkat sebesar
7,5% menjadi 82,6% pasca implementasi MKRPL. Selain itu, terjadi penghematan
belanja pangan dari pemanfaatan pekarangan, yang berkisar Rp.60.000-Rp.300.00 per
bulan.
Kata kunci : Pola pangan harapan, tingkat keragaman pangan, pemanfaatan pekarangan
PENDAHULUAN
Pola konsumsi pangan penduduk Indonesia menurut Susenas 2010 masih
terdapat ketimpangan, karena (1) tingginya konsumsi padi-padian (2) kurangnya
konsumsi pangan hewani, (3) rendahnya konsumsi umbi, sayur dan buah serat
aneka kacang. Hasil Susenas 2011 menunjukkan bahwa karakteristik pola
konsumsi pangan di Indonesia antara lain konsumsi kacang-kacangan 54%,
umbi-umbian 35,8%,sayur/buah 63,3% dan pangan hewani 62% sementara
kontribusi pangan olahan makin meningkat. Ketergantungan terhadap beras
sebagai makanan pokok masih tinggi, sementara pemanfaatan pangan lokal
sumber karbohidrat seperti umbi-umbian, sagu, sukun, masih rendah. Bahkan
yang mengkhawatirkan adalah pergeseran pola konsumsi ke pangan olahan
berbahan baku terigu, sementara gandum tidak dibudidayakan di Indonesia.
Upaya perbaikan konsumsi pangan dan gizi perlu segera dilakukan
melalui 3 pendekatan, yaitu (1) dimensi fiisk berupa penyediaan pangan sumber
karbohidrat non beras/non terigu, protein, vitamin, mineral, lemak (2) dimensi
ekonomi berupa peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan
(3) dimensi kesadaran gizi berupa aspek edukasi/promosi gizi.
Perwujudan dimensi fisik dapat dilakukan melalui optimalisasi
pemanfaatan pekarangan sesuai lima fungsi pokok pekarangan yaitu sebagai (1)
lumbung hidup (2) warung hidup (3) bank hidup (4) apotek hidup (5) estetika.
Pengembangan pekarangan secara terpadu akan mengarah pada pemenuhan
gizi dan pendapatan keluarga. Luas lahan pekarangan di Indonesia mencapai
1118
10,3 juta ha. Apabila pekarangan tersebut dimanfaatkan secara optimal, maka
permasalahan pemenuhan pangan kemungkinan besar dapat dikurangi (Sastro,
2011).
Optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui pemberdayaan
wanita. Hal ini dapat ditempuh dengan pendekatan dimensi kesadaran gizi yang
berupa edukasi/promosi gizi pada kelompok PKK, wanita tani dan sebagainya.
Mengingat total rumah tangga di Indonesia mencapai 40 juta, peran wanita
sangat berarti dalam menyediakan makanan bergizi dan pengaturan belanja
pangan. Pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui budidaya beragam tanaman
seperti umbi, sayur, buah, serta ternak untuk menyediakan pangan bergizi
keluarga. Jika tiap rumah tangga memanfaatkan pekarangannya dalam suatu
kawasan diharapkan akan terbentuk sebuah kawasan mandiri pangan.
Pendekatan dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan antara
lain dengan membangun kebun bibit dengan memperhatikan tanaman spesifik
lokasi dan pengelolaan yang berprinsip pada kearifan lokal setempat.
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari adalah salah satu program
Kementerian Pertanian untuk mendukung program diversifikasi pangan dan
menyokong ketahanan pangan nasional melalui ketahanan pangan rumah
tangga. Sulawesi Selatan menginisiasi MKRPL sejak 2012 di 15 kabupaten dan
diperluas menjadi 24 kabupaten di tahun 2013. Satu dari 24 kabupaten tersebut
adalah Kabupaten Gowa. Percontohan model optimalisasi pemanfaatan
pekarangan diharapkan dapat diduplikasi dan diadopsi sehingga program ini
makin meluas dan membudaya di masyarakat.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa. Lokasi
pengkajian ditentukan secara sengaja yakni di Dusun Sugitanga II yang
merupakan lokasi MKRPL BPTP Sulawesi Selatan. Waktu pengkajian adalah bulan
Maret-Desember 2013. Percontohan terfokus pada satu kelompok wanita tani
yang terdiri dari 30 KK.
Tahapan kegiatan mengikuti petunjuk pelaksanaan MKRPL (Mardiharini,
2013). Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara
langsung terhadap semua tahap pelaksanaan KRPL. Penghitungan skor PPH serta
penghematan belanja dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan kuisioner.
Data kemudian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kelompok Wanita Tani
Diketuai oleh Suharni Dg. Ngani, KWT Flamboyan dibentuk pada 12 Maret
2013 berlokasi di Dusun Sugitanga II Desa Pa’bentengan Kecamatan Bajeng
Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Sebagai KWT bentukan baru, masih
memerlukan pembinaan dan penguatan kelembagaan maupun kualitas sumber
daya manusia. Secara umum karakteristik individu KWT Flamboyan dapat dilihat
pada Tabel 1.
1119
Tabel 1.
Karakteristik individu kelompok wanita tani Flamboyan
Sugitanga II
Uraian
Umur
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
dusun
Jenis
Jumlah (orang)
Persentase (%)
20-30
31-40
41-50
>60
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA/K
Petani
Ibu Rumah Tangga
3
8
17
2
1
17
4
8
1
29
10,0
26,7
56,7
6,6
3,3
56,7
13,3
26,7
3,3
96,7
Sumber : Data primer yang diolah
Tabel 1 menunjukkan bahwa anggota KWT Flamboyan separuhnya
(56,7%) berusia 41-50 tahun. Usia tersebut tergolong usia yang tidak muda, hal
ini akan berkaitan dengan pola pikir dan produktivitas kerja mereka. Usia
termuda adalah 28 tahun, dan yang tertua 72 tahun. Dari segi pendidikan 56,7%
merupakan lulusan SD, dan pendidikan tertinggi adalah SMA/K (8%). Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan para anggota tidak cukup
tinggi, yang menggambarkan tingkat adopsi mereka terhadap teknologi, terlebih
kisaran umur yang tidak lagi dikategorikan muda. Sipahutar dan Istina (2010)
juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi
sikap dan kemampuannya dalam menyerap inovasi.
Berlatar belakang usia dan pendidikan tersebut, perlu pendekatan pola
diseminasi visual yang konkrit berupa praktek langsung. Meski hampir seluruh
anggota berprofesi sebagai ibu rumah tangga (96,7%) namun selama kegiatan
berjalan masih menemui kesulitan dalam pengumpulan anggota dengan alasan
kesibukan di sawah/ladang karena kepala keluarga berprofesi sebagai petani.
Kendala dalam pengumpulan massa turut menghambat berjalannya kegiatan
sesuai jadwal program. Kegiatan gotong royong untuk Kebun Bibit Desa (KBD)
juga terkendala dengan kesibukan masing-masing anggota.
Implementasi MKRPL KWT Flamboyan
Pada pertanaman musim pertama, yakni bulan Maret 2013, tanaman
yang disemai di KBD berasal dari pengadaan bibit hibrida yang dibeli di toko
pertanian. Benih terdiri dari: bayam, sawi, kangkung, seledri, tomat, mentimun,
parai, cabai keriting, cabai rawit, labu, kacang panjang. Musim tanam
selanjutnya benih diperoleh dari Kebun Bibit Induk (KBI). Benih terdiri dari
jagung pulut, kacang tanah, kedelai, rosela, bunga matahari, cabai keriting, cabai
hijau, cabai rawit, cabai toraja, terung hijau, papaya merah delima, bayam,
kangkung. Preferensi anggota terhadap benih terutama pada benih cabai, tomat,
dan terong ungu. Selain dari benih yang telah disediakan, beberapa anggota
menanam tanaman lain atas inisiatif sendiri misalnya kemangi, sereh, kelor,
singkong, ubi jalar, rambutan, markisa, wijen, bawang merah.
Luasan pekarangan yang dimiliki anggota tergolong menengah dan luas,
mengingat lokasi di perdesaan yang umumnya masih memiliki pekarangan yang
1120
lapang. Pekarangan yang lapang ini umumnya dimanfaatkan sebagai lantai
jemur, tempat berkumpul (saung/bale), tempat parkir, dan tempat melepas
ternak untuk mencari makan. Pasca sosialisasi MKRPL mulai adanya penataan
pekarangan. Tiap anggota menyisihkan luasan pekarangan sekitar 3x4 m atau
lebih untuk selanjutnya dipagari dan ditanami. Pemagaran merupakan upaya
menghindarkan kerusakan pertanaman dari ternak yang berkeliaran.
Pengandangan ternak jarang dilakukan masyarakat setempat karena membatasi
ruang gerak ternak untuk mendapatkan makanan. Meski beberapa daerah telah
mengeluarkan peraturan daerah tentang pengandangan ternak dan unggas,
namun penegakan aturan masih
lemah. Pola budidaya yang dilakukan
menggunakan teknik vertikultur (talang), polybag, pot serta ditanam langsung di
tanah dengan membuat bedengan. Sebagian anggota belum menerapkan pola
tanam khusus untuk pekarangannya, tanaman bercampur di pekarangan tanpa
pertimbangan agronomis. Sedikit dari anggota KWT yang sudah menerapkan
pola tanam tumpang sari dengan baik dengan bedengan terawat.
Untuk mewujudkan kemandirian pangan kawasan, perlu pengaturan pola
tanam dan rotasi tanaman. Aspek diversifikasi tanaman termasuk integrasi
tanaman-ternak juga perlu diperhatikan. Dengan upaya tersebut diharapkan
dapat memberikan kontribusi kesejahteraan keluarga, minimal melakukan
penghematan belanja pangan.
Pola Pangan Harapan
Salah satu parameter sederhana yang dipakai untuk menilai tingkat
keragaman pangan dan mutu gizi, ketersediaan dan konsumsi pangan di suatu
wilayah adalah Pola Pangan Harapan (PPH) (Baliwati, 2009). Peningkatan
kualitas gizi dan keragaman pangan melalui PPH telah dicanangkan sebagai salah
satu substansi utama dalam program ketahanan pangan 2010-2014, dan
ditargetkan skor PPH nasional tahun 2014 adalah 93,3 (Anonim, 2010).
Dalam struktur perhitungan skor PPH yang ditetapkan Departemen
Pertanian, komponen bahan sayuran dan buah mempunyai bobot/ rating
tertinggi, dengan sumbangan skor PPH maksimal 25 (Baliwati, 2009). Meski
belum mampu mencapai PPH ideal ataupun skor PPH nasional tahun 2013
(91,5), kegiatan MKRPL di lokasi ini mampu meningkatkan skor PPH dan
merubah tingkat keragaman konsumsi pangan (Tabel 2).
Tabel 2. Tingkat keragaman konsumsi pangan KWT Flamboyan
Kelompok pangan
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan hewani
Minyak/lemak
Buah/biji berminyak
Kacang-kacangan
Gula
Sayur/buah
Total
PPH sebelum
MKRPL
24.14
0.80
17.56
4.20
1.00
6.50
1.54
19.36
75.10
Sumber : Data primer yang diolah
PPH sesudah
PPH ideal
24.71
1.50
19.10
4.32
1.00
7.14
1.63
23.24
82.60
25
2.5
24
5
1
10
2.5
30
100
1121
Skor PPH sebelum implementasi MKRPL 75,10 meningkat menjadi 82,60
sesudah pelaksanaan kegiatan. Implementasi MKRPL mengubah beberapa skor
kelompok pangan yang diuraikan di Tabel 2. Perubahan skor terbesar ada pada
kelompok sayur/buah yang meningkat hampir 4%. Selain sayur/buah, kelompok
umbi-umbian, kacang-kacangan, dan pangan hewani juga meningkat.
Peningkatan konsumsi buah/sayur dimungkinkan karena akses yang mudah dari
segi jarak maupun biaya. Sayur/buah diperoleh dari pekarangan sendiri, demikan
halnya dengan pangan hewani (bagi yang memiliki kolam/unggas). Meski bukan
pencapaian tinggi, namun perubahan skor ke arah yang lebih baik merupakan
sinyal positif dari manfaat MKRPL. Harapan pengurangan konsumsi padi masih
jauh dari perkiraan, karena peran umbi-umbian sebagai alternatif karbohidrat
belum digiatkan.
Untuk mencapai kualitas konsumsi pangan yang lebih baik, perlu
dtingkatkan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, buah/biji
berminyak, gula serta sayur dan buah, atau dikenal dengan penganekaragaman
konsumsi secara horizontal. Selain itu, peningkatan kualitas konsumsi pangan
juga dapat dicapai melalui penganekaragaman vertikal, yaitu konsumsi aneka
pangan sumber karbohidrat dan olahannya (jagung dan olahannya, sorgum, dan
jenis serealia lainnya), aneka sumber protein dan olahannya (aneka pangan
hewani dan kacang-kacangan), serta aneka sumber vitamin dan olahannya
(beragam sayur dan buah). Dengan demikian, peningkatan konsumsi kelompok
pangan sumber tenaga, pembangun, dan pengatur perlu diiringi penurunan
konsumsi beras (BKP, 2012).
Penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik itu faktor internal seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya
dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun faktor eksternal seperti agro-ekologi,
produksi, ketersediaan, dan distribusi, keanekaragaman pangan, serta
promosi/iklan (Baliwati, 2009; Suryana, 2009). Hal ini berarti bahwa kinerja skor
PPH yang mencerminkan keanekaragaman konsumsi pangan, keseimbangan dan
mutu gizi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Penghematan Belanja Pangan
Implementasi MKRPL diakui nilai manfaatnya oleh anggota KWT yang
telah melaksanakan kegiatan ini. Manfaat yang dirasakan salah satunya adalah
pengehamatan belanja pangan bulanan. Sayuran yang biasanya dibeli di tukang
sayur atau pasar dapat diperoleh sejangkauan tangan. Bagi pemilik kolam atau
unggas mendapatkan nilai tambah karena penghematan menjadi lebih besar.
Pengelompokan penghematan yang dilakukan anggota KWT Flamboyan dapat
dilihat di Gambar 1.
15
10
5
Penghematan per bulan
0
<100,000
100,000- 150,001- >200,000
150,000 200,000
Gambar 1. Grafik penghematan belanja pangan KWT Flamboyan pasca MKRPL
1122
Dari grafik tersebut, tercatat 10 responden (33,3%) mampu berhemat
< Rp.100,000 per bulan, dengan asumsi penghematan per hari sebesar
Rp.2,000-3,000 (harga seikat sayur). Selanjutnya, 12 responden (40%)
berhemat sebesar Rp. 100,000-150,000 per bulan, 5 responden (16,7%)
berhemat Rp. 150,001-200,000 per bulan, dan sisanya (10%) berhemat lebih
dari Rp. 200,000. Penghematan tertinggi mencapai Rp.300,000 ditemui pada
responden yang melakukan budidaya ikan di pekarangannya, dengan asumsi
alokasi belanja ikan Rp.10,000 dapat dihemat.
Dengan adanya penghitungan belanja pangan bulanan, responden yang
merupakan anggota KWT semakin tersadar akan manfaat penerapan rumah
pangan lestari. Hal ini menyebabkan beberapa anggota tergerak untuk
melakukan diverfisikasi komoditas yang ditanam, dan berencana membuat kolam
ikan. Kultur masyarakat lokal Sulawesi selatan umumnya menyertakan ikan
dalam menu pangan harian. Ikan lebih sering dikonsumsi sehari-hari
dibandingkan pangan hewani lain. Oleh karenanya, keberadaan kolam di tiap
rumah tangga akan berdampak signifikan pada penghematan belanja pangan
sekaligus meningkatkan kualitas konsumsi pangan.
Upaya memasyarakatkan KRPL melalui penyuluhan kepada warga, yang
difokuskan kepada para wanita melalui PKK atau wanita tani. Kesadaran gizi dan
promosi diverfisikasi pangan dapat dimulai sejak dini melalui edukasi di sekolah,
salah satunya dengan pembuatan kebun sekolah. Dukungan, komitmen dan
fasilitasi dari tokoh masyarakat dan pengambil kebijakan, terutama pemerintah
daerah diperlukan untuk mendorong implementasi model inovasi. Melalui
gerakan massif di semua wilayah dengan komoditas sesuai potensi lokal, bukan
tidak mungkin bahwa pengembangan MKRPL menjadi suatu solusi untuk
mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga di Indonesia.
KESIMPULAN
1. Implementasi MKRPL oleh KWT Flamboyan merubah tingkat keragaman
pangan melalui peningkatan konsumsi sayur.buah sebesar 3,88%.
2. Skor PPH awal 75,1% meningkat menjadi 82,6% pasca implementasi MKRPL,
skor ini 90,27% dari target skor PPH nasional tahun 2013 (91,5%).
3. Pemanfaatan pekarangan dapat menghemat pengeluaran belanja pangan
mulai Rp. 60,000 hingga Rp. 300,000 per bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan 2011-2015.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Baliwati, Yayuk F. 2009. Pola Pangan Harapan (PPH) : Indikator Situasi Konsumsi
Dan Ketersediaan Pangan Wilayah. Hlm. MIII1-12. Dalam : Modul Pelatihan
Analisis Situasi dan Perencanaan Ketersediaan Pangan Wilayah (Tingkat I).
KERJASAMA Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jatim dengan Dept. Gizi
Mayarakat Fak. Ekologi Manusia IPB.
1123
Mardiharini, M, K. Kariyasa, Zakiah, Dalmadi dan Agung Susakti. 2011. Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor
Nugrayasa, Oktavio. 2013. Pola Pangan Harapan Sebagai Pengganti
Ketergenatungan Pada Beras. http://www.setkab.go.id/artikel-7199-polapangan-harapan-sebagai-pengganti-ketergnatungan-pada-beras.html
Diakses tanggal 7 Februari 2013.
Sastro, Y. 2011. Budidaya Sayuran di Pekarangan Sempit. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta
Sipahutar, D dan I. N Istina. 2010. Motivasi Petani Terhadap Agribisnis Pertanian
di Kabupaten Kampar (Studi Kasus Primatani Kabupaten Kampar) hlm.698704. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Perdesaan.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
1124
TINGKAT SERANGAN PENGGEREK BATANG PADI PADA SISTEM TANAM
PINDAH DAN TANAM BENIH LANGSUNG DI SULAWESI TENGGARA
Cipto Nugroho, Idris dan Didik Raharjo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof. M. Yamin No.89 Puuwatu, Kendari
Email : ciptonugroho@gmail.com
ABSTRAK
Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama di Sulawesi Tenggara. Luas
serangannya dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan angka yang cukup tinggi. Di
Sulawesi Tenggara, sistem tanam padi yang umum dilakukan adalah sistem tanam
pindah (tapin) dan sistem tanam benih langsung (tabela). Bahkan penggunaan sistem
tabela semakin meningkat terutama pada daerah dengan kepemilikan lahan yang luas
dan jumlah tenaga kerja yang terbatas. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui tingkat
serangan penggerek batang padi pada sistem tapin dan tabela di Sulawesi Tenggara.
Pengkajian dilaksanakan secara partisipatif dengan petani pada MT II (musim kemarau)
tahun 2009 di lahan sawah petani, Kabupaten Konawe. Petak pengamatan pada sistem
tanam pindah dan tanam benih langsung masing-masing berjumlah 8 petak (16 petani
kooperator). Tingkat serangan diamati pada fase vegetatif (45 HSS) dan fase generatif
(95 HSS). Pada sistem tapin, sampel berjumlah 20 rumpun per petak pengamatan yang
dipilih secara acak dengan pola W. Pada sistem tabela, sampel dipilih secara acak dengan
ukuran 1 m x 1 m. Parameter yang diamati yaitu jumlah anakan, anakan terserang,
anakan produktif, dan anakan produktif terserang. Hasil panen diubin dengan ukuran 3 x
4 m. Dinamika populasi penggerek batang selama satu musim diamati melalui tangkapan
pada perangkap feromon seks. Hasil kajian menunjukkan intensitas serangan penggerek
batang padi pada sistem tabela (4,01%) lebih tinggi daripada sistem tapin (3,44 %) pada
saat fase vegetatif namun tidak berbeda nyata, sedangkan pada fase generatif intensitas
serangan pada sistem tapin (1,94%) lebih tinggi dari pada sistem tabela (0,97%) namun
juga tidak berbeda nyata diantaranya. Kehilangan hasil pada sistem tapin (2,16%) lebih
tinggi dibandingkan sistem tabela (1%) namun tidak berbeda nyata. Populasi penggerek
batang padi dapat ditekan dengan penanaman secara serempak.
Kata kunci : Penggerek batang padi, tingkat serangan, tapin, tabela
PENDAHULUAN
Penggerek batang padi merupakan hama utama kedua setelah tikus di
Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data Balai Proteksi Tanaman Pangan dan
Hortikuktura Sulawesi Tenggara diketahui luas serangan pada tahun 2009 dan
2010 mencapai 12.743 ha dengan luas serangan terbesar di tiga sentra produksi
padi yaitu Kabupaten Konawe (6.749 ha), Kolaka (3.552 ha), dan Konawe
Selatan (1.409 ha). Menurut Chen (2008), bahwa kehilangan hasil panen akibat
serangan penggerek batang padi kuning di Asia berkisar antara 2 – 5%. Oleh
karena itu serangan penggerek batang di Sulawesi Tenggara mengakibatkan
kerugian kurang lebih Rp. 5,2 milyar/tahun dengan asumsi kehilangan hasil
sebesar 3,5% dan harga gabah kering panen Rp. 3000,-/kg.
1125
Penggerek batang padi menyerang tanaman dari persemaian hingga fase
pengisian gabah. Empat spesies penggerek batang padi yang paling dominan di
Indonesia adalah penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas),
penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata), penggerek batang padi
bergaris (Chilo suppressalis), dan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia
inferens) (Hendarsih dan Usyati, 2008). Gejala serangan keempat jenis
penggerek batang padi tersebut sama pada tanaman padi. Serangan pada fase
vegetatif yaitu larva batang anakan sehingga aliran hara ke bagian atas tanaman
akan terhambat sehingga tanaman akan mati. Sedangkan pada saat fase
generatif, larva memotong batang anakan yang akan bermalai sehingga aliran
hasil asimilasi terhambat dan mengakibatkan gabah tidak terisi (hampa).
Tanaman padi dengan anakan yang banyak lebih toleran terhadap serangan
penggerek batang padi, namun demikian hingga kini belum ada varietas yang
tahan dan masih dalam tahap penelitian (Hendarsih dan Usyati, 2008).
Di Sulawesi Tenggara, sistem tanam padi yang umum dilakukan adalah
sistem tanam pindah (tapin) dan sistem tanam benih langsung (tabela). Bahkan
penggunaan sistem tabela dengan pipa paralon berjarak tanam semakin
meningkat terutama pada daerah dengan kepemilikan lahan yang luas dan
jumlah tenaga kerja yang terbatas. Penggunaan sistem tabela berjarak tersebut
mendukung salah satu komponen pengendalian penggerek batang padi yaitu
waktu tanam yang serempak. Pada luasan ± 300 ha, penanamam padi dapat
diselesaikan dalam jangka waktu 14 – 21 hari dengan menggunakan sistem
tabela. Penanaman serempak akan mengkondisikan ketersediaan sumber
makanan penggerek batang padi dalam waktu yang terbatas. Selain itu dengan
sistem tabela, waktu tanam akan lebih tepat berdasarkan monitoring populasi
dengan menggunakan perangkap lampu atau feromon sex (Hendarsih dan
Usyati, 1999).
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi dan tingkat
serangan penggerek batang padi pada sistem tapin dan tabela di Sulawesi
Tenggara.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan pada agroekosistem sawah irigasi di Desa Karandu
dan Bendewuta, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Penelitian dilaksanakan
secara partisipatif dengan petani pada MT II (musim kemarau) tahun 2009 di
lahan sawah petani. Petak pengamatan pada sistem tanam pindah dan tanam
benih langsung masing-masing berjumlah 8 petak (16 petani kooperator).
Tingkat serangan diamati pada fase vegetatif (35 HSS) dan fase generatif
(95 HSS). Pada sistem tanam pindah, sampel berjumlah 20 rumpun per petak
pengamatan yang dipilih secara acak dengan pola W. Pada sistem tanam benih
langsung, sampel dipilih secara acak dengan ukuran 1 m x 1 m. Parameter yang
diamati yaitu jumlah anakan, anakan terserang, anakan produktif, dan anakan
produktif terserang. Hasil panen diubin dengan ukuran 3 x 4 m. Tingkat
serangan dan kehilangan hasil dihitung dengan rumus.
Tingkat serangan = (jumlah anakan yang rusak / jumlah anakan 20 rumpun) x 100
% Kehilangan hasil = (jumlah anakan produktif rusak / jumlah anakan produktif 20 rumpun) x
100
1126
Untuk mengetahui dinamika populasi penggerek batang selama satu musim
pengamatan maka dipasang tiga perangkap feromon seks. Perangkap dibuat dari
ember plastik tertutup dan dilobangi di kedua sisi dengan diameter 10
cm. Feromon seks digantung menggunakan tali nilon pada ketinggian 20 cm dari
atas penutup perangkap. Bagian bawah ember diisi dengan air sabun dengan
kedalaman 10 cm. Perangkap dipasang menggunakan penyangga kayu. Feromon
seks diganti setiap 2 minggu dan air sabun dalam perangkap diganti setiap
minggu setelah dilakukan pengamatan. Tangkapan mingguan penggerek batang
jantan dipantau selama musim dan dikelompokkan ke dalam dua fase
pertumbuhan padi (vegetatif dan generatif).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Populasi
Dinamika populasi penggerek batang padi pada saat pengkajian selama
bulan November 2008 sampai dengan bulan Maret 2009 tersaji pada gambar 1.
Sesuai dengan jadwal tanam kelompok tani, penanaman padi mulai dilaksanakan
pada bulan Januari 2009 baik pada sistem tanam pindah (tapin) dan sistem
tanam benih langsung (tabela). Umur bibit pada sistem tapin rata-rata 21 hari
setelah semai (HSS). Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa puncak penerbangan
pertama ngengat penggerek batang padi pada lokasi tapin telah ada pada
minggu ke-2 bulan Desember 2008, sedangkan pada lokasi tabela, puncak
penerbangan pertama ngengat penggerek batang padi pada minggu ke-3 bulan
Desember 2008.
Gambar 1. Pola tangkapan Penggerek Batang Padi (Scirphopaga innotata)
dengan menggunakan feromon sex pada sistem tanam pindah dan
tanam benih langsung di Kabupaten Konawe, MK 2008 – 2009.
Pada sistem tapin, penanaman pertama memasuki 35 HSS atau minggu ke2 bulan Januari 2009 terjadi puncak populasi kedua. Hingga pertanaman
memasuki akhir fase vegetatif atau kurang lebih 50 HST (minggu ke-2 bulan
Februari 2009), populasi ngengat penggerek batang padi menunjukkan trend
penurunan. Populasi ngengat penggerek batang padi menunjukkan trend
kenaikan pada saat pertanaman padi mulai memasuki fase generatif (minggu ke-
1127
3 bulan Februari 2009). Kenaikan populasi penggerek batang padi pada fase
generatif dan hingga akhir pertanaman tersebut diduga disebabkan waktu tanam
yang tidak serempak dalam satu hamparan. Selisih waktu tanam antara
pertanaman pertama sampai pertanaman terakhir mencapai 2 bulan sehingga
sumber makanan bagi populasi penggerek batang padi pada puncak
penerbangan pertama selalu tersedia. Pada saat fase generatif terjadi akumulasi
perkembangbiakan penggerek batang padi sehingga populasi meningkat.
Pada sistem tabela, puncak penerbangan ngengat penggerek batang padi
terjadi 2 kali pada fase vegetatif yaitu pada minggu pertama bulan Februari 2009
(±35 HSS) dan minggu ke-4 bulan Februari 2009 (±56 HSS). Pada saat
pertanaman padi memasuki fase generatif, populasi penggerek batang padi
menunjukkan trend menurun. Fenomena ini diduga karena waktu tanam dalam
satu hamparan serempak sehingga ketersediaan sumber pakan terbatas. Kondisi
ini memungkinkan populasi ngengat penggerek batang pada puncak
penerbangan pertama hanya berkembang pada fase vegetatif sehingga terjadi
penurunan populasi pada saat memasuki fase generatif.
Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi
Hasil kajian menunjukkan intensitas serangan penggerek batang padi pada
sistem tabela (4,01%) relatif lebih tinggi daripada sistem tapin (3,44 %) pada
saat fase vegetatif, namun demikian tidak terdapat beda nyata diantara
keduanya. Hal ini disebabkan populasi penggerek batang padi tertangkap
perangkap feromon sex lebih tinggi pada sistem tanam tabela dibandingkan
sistem tanam tapin (Gambar 1). Kerusakan yang ditimbulkan pada saat fase
vegetatif masih dapat dikompensasi dengan pembentukan anakan baru. Menurut
Hendarsih dan Usyati (2008), kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang
padi pada fase vegetatif tidak terlalu besar karena padi masih dapat membentuk
anakan baru. Rubia et al (1990), menyebutkan bahwa kompensasi kehilangan
hasil akibat penggerek batang padi bisa mencapai 30%.
Tabel 1 . Tingkat serangan penggerek batang padi, kehilangan hasil dan
produktivitas padi varietas Cisantana dengan sistem tanam pindah
dan tanam benih langsung, Kabupaten Konawe MK 2009.
Sistem Tanam
Tapin
Tabela
Intensitas serangan
35 HSS (%)
95 HSS (%)
3,44 a
1,94 a
4,01 a
0,97 a
Kehilangan
hasil (%)
2,16 a
1,00 a
Produktivitas
(kg/ha) GKG
2452 a
3448 b
Angka pada lajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
BNT 0,5%
Pada fase generatif, intensitas serangan pada sistem tapin (1,94%) relatif
lebih tinggi dari pada sistem tabela (0,97%) namun juga tidak berbeda nyata
diantaranya. Penurunan intensitas serangan pada sistem tabela diduga
disebabkan puncak populasi terjadi pada fase vegetatif dan kemudian terjadi
trend penurunan populasi pada saat memasuki fase generatif. Kondisi tersebut
didukung dengan waktu tanam yang cukup serempak dengan selisih waktu
penanaman pertama sampai penanaman terakhir ±1 bulan. Sedangkan pada
1128
sistem tapin, intensitas serangan penggerek batang padi yang relatif lebh tinggi
diduga disebabkan pertanaman yang tidak serempak. Hal ini terlihat adanya
trend kenaikan populasi penggerek batang padi pada saat pertanaman memasuki
fase generatif (Gambar 1). Kerusakan pada fase generatif termasuk kerusakan
mutlak karena dapat mengurangi jumlah malai.
Pada saat fase generatif, larva menggerek batang padi sehingga hasil
asimilasi tidak dapat didistribusikan ke malai sehingga malai menjadi hampa.
Menurut Pathak dan Khan (1994), kehilangan hasil akibat serangan penggerek
batang pada fase generatif sebesar 1 – 3%. Berdasarkan kajian diketahui
kehilangan hasil pada sistem tapin (2,16%) lebih tinggi dibandingkan sistem
tabela (1%) namun tidak berbeda nyata. Kehilangan hasil tersebut berbanding
lurus dengan intensitas serangan dan populasi penggerek batang padi pada saat
fase generatif. Produktivitas yang dicapai sistem tapin lebih rendah dibandingkan
dengan sistem tabela. Faktor yang turut berkontribusi terhadap produktivitas
tersebut adalah kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang padi.
KESIMPULAN
Sistem tanam tabela memungkinkan waktu tanam dilaksanakan secara
serempak dan disesuaikan dengan puncak penerbangan pertama ngengat
penggerek batang pada wilayah dengan keterbatasan tenaga kerja dan
kepemilikan lahan yang luas. Keserempakan tanam pada sistem tabela
menyebabkan penurunan populasi penggerek batang padi pada fase generatif
sehingga intensitas serangannya relatif lebih rendah dibandingkan sistem tapin.
Oleh karena itu kehilangan hasil panen akibat serangan penggerek batang padi
dapat diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Y. 2008. The Unsung Heroes of the Rice Field. Rice Today January–March.
IRRI. p.30–31.
Hendarsih, N. dan N. Usyati. 1999. The Stemborer Infestation on Rice Cultivars
at Three Planting Times. Indonesian Journal of Agricultural Science. Vol
6(2). pp : 39 – 45.
Hendarsih, N. dan N. Usyati. 2008. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi.
Padi : Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Editor : Aan A. Daradjat,
Agus Setyono, A. Karim Makarim, Andi Hasnuddin. LIPI Press. Jakarta.
Hal : 327 – 349.
Pathak M.D. and Z.R. Khan . 1994. Insect Pests of Rice. IRRN. ICIPE. p.1–12.
Rubia E.G. et al. 1990. Simulation of Rice Yield Reduction Caused by Stemborer.
IRRN, 15(1):34.
1129
UJI ADAPTASI DAN DAYA HASIL GALUR HARAPAN PADI SAWAH
DI KABUPATEN BARRU SULAWESIS SELATAN
Sahardi1 dan Iswari S. Dewi2
Peneliti dan Teknisi BPTP Sulawesi Selatan,
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 17,5 Makassar. Telp. 0411-556449, Fax. 0411 554522
2
Peneliti BB Biogen Bogor.
Jl. Tentara Pelajar No. 3 A Bogor 16111. Telp. 0251-8337975, Fax. 0251-8338820
1
ABSTRAK
Penelitian Uji Adaptasi dan Daya Hasil Galur Harapan Padi Sawah Tipe Baru di Kabupaten
Baru Sulawesi Selatan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi dan daya hasil
galur harapan padi sawah tipe baru di Kabupaten barru Sulawesi Selatan. Kegiatan ini
berlansung dari bulan April sampai bulan Agustus 2012. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok, dimana setiap perlakuan di ulang 4 kali. Terdapat 7 galur
harapan padi sawah tipe baru yang di uji dan 3 varietas pembanding. Galur-Galur
tersebut ditanam pada petak percobaan berukuran 4 m X 5 m. Jarak tanam 25 cm X 25
cm. Galur harapan yang di uji yaitu; BIO-MF115, BIO-MF116, BIO-MF125, BIO-MF
130, BIO-MF 133, BIO-MF 151, dan BIO-MF 153, sedangkan varietas pembanding
adalah Fatmawati, Ciherang dan Inpari 13. Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur
harapan padi sawah tipe baru BIO-MF115 memberikan daya adaptasi dan daya hasil
yang tertinggi. Hasil yang diperoleh mencapai 7,4 GKG/ha, sama dengan hasil Inpari13
sebagai pembanding. Produksi yang terendah dihasilkan oleh galur BIO-MF 151, yaitu 6,0
t/ha
Kata kunci: Adaptasi, galur, padi, tipe baru
PENDAHULUAN
Komoditas padi merupakan komoditas strategis yang memiliki sensivitas
politik, ekonomi dan kerawanan social yang tinggi. Peran strategis beras dalam
perekonomian nasional adalah : (1) usahatani padi menyediakan kesempatan
kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumahtangga petani; (2)
merupakan bahan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia yang jumlahnya
sekitar 225 juta jiwa, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal
dari beras diatas 55 persen; dan (3) sekitar 30 persen dari totral pengeluaran
rumahtangga miskin dialokasikan untuk beras (Sudaryanto dan Adang, 2003).
Pelandaian produktivitas padi di lahan sawah irigasi dapat disebabkan
oleh banyak faktor, antara lain, penurunan kandungan bahan organik,
penurunan penambatan N2 udara pada lahan sawah, penurunan kapasitas
penyediaan hara, N, P dan K dalam tanah, penimbunan senyawa toksik bagi
tanaman (H2S), asam-asam organik, ketidak seimbangan penyediaan hara,
kahat hara mikro (Cu, Zn, Fe dan S), penyimpangan iklim, tekanan biotik dan
kemampuan genetik varietas terbatas (Puslitbangtan, 2000).
Lahan sawah di Sulawesi Sulawesi Selatan cukup luas untuk
pengembangan padi berdasarkan AEZ sawah irigas dan tadah hujan adalah
kurang lebih seluas 586.000 ha. Produktivitas padi sawah di Sulawesi Selatan
rata-rata 4,9 t/ha gkg (BPS, 2010). Sementara hasil kegiatan PTT padi di
1130
Sulawesi Selatan diperoleh berkisar antara 6,5 – 8,3 t/ha (Arafah et al., 2003).
Dengan demikian cukup banyak peluang untuk meningkatkan produktivitas
melalui perbaikan teknik budidaya termasuk penggunaan varietas unggul baru
agar sesuai untuk agroekologi spesifik. Pembentukan ataupun perakitan varietas
unggul spesifik lokasi akan terwujud apabila tersedia galur-galur harapan hasil
persilangan ataupun galur harapan hasil introduksi (Drajat, 2001).
Banyak varietas unggul yang telah dihasilkan Badan Litbang, namun
kurang berkembang dan kurang dimanfaatkan petani, Secara teknis hal tersebut
disebabkan Karena banyak Kelemahan dari varietas unggul yang ada saat ini di
petani, antara lain, kurang tahan terhadap hama seperti wereng coklat, tungro,
kesenjangan hasil pada musim hujan dan kemarau relatif tinggi. (Simanulang et
al., 1995). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi dan daya hasil
galur harapan mutan padi tipe baru di khususnya di Kabupaten Barru Sulawesi
Selatan.
METODOLOGI
Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Barru, berlansung dari bulan April
sampai bulan Agustus 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok, dimana setiap perlakuan di ulang 4 kali. Terdapat 7 galur harapan
padi sawah tipe baru (PTB) yang di uji dan 3 varietas pembanding. Pengolahan
tanah dilakukan secara sempurna. Galur-Galur tersebut ditanam pada petak
percobaan berukuran 4 m X 5 m. Umur bibit 21 hari setelah semai, Jumlah bibit
2 batang/rumpun, Jarak tanam 25 cm X 25 cm. Takaran pupuk 200 kg Urea, 300
kg NPK. Pemukan urea dilakukan 3 kali. Aplikasi pertama (pupuk dasar) saat
tanam 20% diberikan bersamaan dengan keseluruhan NPK, pemupukan Urea ke
dua 40% pada saat 4 minggu setelah tanam (MST) dan pemupukan ke tiga 40%
pada saat 7 MST. Galur harapan yang di uji yaitu; BIO-MF115, BIO-MF116,
BIO-MF125, BIO-MF 130, BIO-MF 133, BIO-MF 151, dan BIO-MF 153,
sedangkan varietas pembanding adalah Fatmawati, Ciherang dan Inpari 13.
Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh
perlakuan dengan uji Berganda Duncan pada taraf 5 %. Analisis adaptabilitas
galur yang diuji menggunakan metode Ebrhart dan Russell (1966).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap umur taman berbunga 50% menunjukkan
bahwa varietas pembanding Inpari 13 dan Ciherang palaing cepat dan
berbedanyata dengan galur lainnya, kecuali galur BIO-MF-115 yang berbuga
pada umur rata-rata52,5 hari setelah semai. Galur BIO-MF-115 yang paling cepat
dipanen yaitu 96,3 hari, diikutu varietas Inpari 13, namun hanya berbeda nyata
dengan galur BIO-MF-153 dan varietas Fatmawati.
Untuk tinggi tanaman varietas ciherang yang palinggi yaitu 108,8 cm,
secara statistic berbeda nyata dengan galur lainnya, kecuali galur BIO-MF-115,
BIO-MF-116 dan BIO-MF-125, sedangkan galur yang paling pendek adalah BIOMF-153 yaitu tingginya rata-rata 101 cm, secara rinci tersaji pada Tabel 1.
1131
Tabel 1. Rata-rata umur berbunga 50%, umur panen dan tinggi tanaman galur
harapan mutan padi tipe baru di Kab. Barru 2012
No
Galur/varietas
Umur Berbunga 50%
Umur Panen
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
BIO-MF 115
BIO-MF 116
BIO-MF 125
BIO-MF130
BIO-MF 133
BIO-MF 151
BIO-MF 153
FATMAWATI
CIHERANG
INPARI 13
CV (%)
52,5 bc
60,5 a
58,0 a
59,5 a
57,0 ab
59,0 a
60,7 a
58,0 a
51,0 c
49,0 c
6,0
96,3 b
103,8 ab
106,2 ab
108,2 ab
107,8 ab
112,3 a
112,0 a
110,3 ab
110,0 ab
102,5 b
15,4
Tinggi Tanaman
(cm)
105,5 ab
106,2 ab
106,5 ab
103,8 bc
103,5 bc
103 bc
101 c
107,5 ab
108,8 a
107,0 ab
3,0
Hasil analisi terhadap pengamatan jumlah anakan produktif menunjukkan
bahwa varietas pembanding Ciherang memberikan jumlah anakan terbanyak
yaitu rata-rata 17,7 anakan per rumpun, hasil tersebut berbeda nyata dengan
seluruh galur yang diuji. Galur mutan yang diuji menghasilkan anakan produktif
berkisar 11,7 – 13,7 anakan per rumpun, hasil tersebut menurut B. Suprihatno
dkk 2011 sesuai dengan jumlah rata-rata anakan peroduktif pdi tipe baru yaitu
berkisar 8-14 batang per rumpun.
Hasil pengamatan terhadap panjang malai munujukkan bahwa seluruh
galur yang yang diuji menghasilkan malai yang panjang dan berbeda nyata
dengan varietas pembanding Chireang dan Inpari 13, kecualai varietas
Fatmawati. Panjang malai galur yang diuji berkisar 29,5 Cm – 30,0 Cm,
sedangkan Inpari 13 hanya 25,3 Cm. Demikian pulah dengan jumlah gabah per
malai seluruh galur yang di uji menghasikah jumlah gabah yang banyak dan
berbeda nyata dengan jumlah gabah yang dihasilkan oleh varietas pembanding
Inpari 13 dan Ciherang. Galur-galur yang di uji menghasilkan jumlah gabar
berkisar 286,3 -319,2 per malalai, sedangkan varietas Inpari 13 dan Ciherang
menghasilkan gabah permalia masing-masing 165,7 dan 149,7 (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah gabah
per malai galur harapan mutan padi tipe baru di Kab. Barru 2012.
No
Galur/Varietas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
CV (%)
BIO-MF 115
BIO-MF 116
BIO-MF 125
BIO-MF130
BIO-MF 133
BIO-MF 151
BIO-MF 153
FATMAWATI
CIHERANG
INPARI 13
13,5
1132
Jumalah Anakan
Produktif
13,7 bc
11,7 c
11,7 c
13,4 bc
13,9 bc
12,6 c
12,8 c
12,3 c
17,7 a
16,1 ab
4,2
Panjang Malai
(Cm)
30,0 a
29,8 a
29,7 a
29,8 a
29,9 a
29,5 a
29,6 a
30,1 a
26,8 b
25,3 b
9,0
Jumlah
Gabah/Malai
297,7 a
319,2 a
297,9 a
293,1 a
286,3 a
302,7 a
299,2 a
300,8 a
149,7 b
165,7 b
Persentase gabah hampa pada Galur yang di uji sangat tinggi yaitu
berkisar 40,4% – 53,5%. Hasil analisis statistic menunjukkan bahwa galur BIOMF 125 dan BIO-MF 133 memberikan gabah hampai sampai 53,5% dan berbeda
nyata dengan varietas Ciherang yang kehampaannya hanya rata-rata 32,2%,
sedangkan varietas Fatmawati juga kehampaannya cukup tinggi yaitu rata-rata
48,2%. Untuk bobot gabah 1000 butir galur BIO-MF 133 yang tertinggi yaitu
rata-rata 22 gr, namun hanya berbeda nyata dengan varietas Ciherang (Tabel 3).
Produksi gabah kering giling tertinggi di peroleh pada galur BIO-MF 115
yaitu 7,4 t/ha, hasil tersebut sama dengan produksi Inpari 13 sebagai varietas
pembanding yaitu 7,4/ha. Hasil dari varietas dan galur tersebut secara statistik
berbedanyata dengan galur dan varietas lainnya. Galur lain yang memberikan
produksi cukup tinggi adalah BIO-MF 116 dengan produksi 6,6 ton GKG/ha.
Secara rinbci hasil pengamatan terhadap persentase gabah hampa, bobot gabah
100 butir dan Produksi gabah kering giling disajikan pada Tabel 3.
Dilihat dari produksi GKG, maka ada 2 galur harapan padi tipe baru yang
dinilai cukup adaptif diwilayah Kabupaten barru yaitu galur BIO-MF 115 dan
BIO-MF 116. Ke dua galur harapan tersebut berpotensi untuk diuji lebih lanjut
untuk melihat potensi hasilnya pada beberapa lokasi. Menurut Las et al (2004),
varietas unggul berdaya hasil tinggi merupakan salah satu titik tumpu
peningkatan produksi padi nasional. Hingga saat ini diakui bahwa varietas
unggul mampu meningkatkan produktivitas paling spektakuler dibandingkan
komponen produksi lainnya (Anwari dan Rudy Suhendy, 1993).
Umur tanaman berpengaruh terhadap produktivitas. Umur optimum suatu
varietas untuk dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120 hari di daerah tropis.
Menurut Yoshida (1976) umur varietas yang lebih pendek potensi hasilnya
rendah karena tidak mempunyai cukup waktu untuk tanaman menggunakan
sinar matahari dan hara di dalam tanah, tidak cukup waktu pertumbuhan
vegetatifnya untuk hasil yang maksimum. Namun Menurut Buang Abdullah
(2004), umur varietas padi 100-130 hari diharapkan sudah dapat memberikan
hasil seperti yang diharapkan.
Tabel 3.
Rata-rata Gabah Hampa (%), Bobot 1000 butir dan Produksi (t/ha)
Gabah per Malai Galur Harapan Mutan Padi Tipe Baru di Kab. Barru
2012
No
Galur/Varietas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
BIO-MF 115
BIO-MF 116
BIO-MF 125
BIO-MF130
BIO-MF 133
BIO-MF 151
BIO-MF 153
FATMAWATI
CIHERANG
INPARI 13
CV (%)
Gabah Hampa
(%)
45,2 b
40,4 bc
53,5 a
48,7 ab
53,5 a
47,9 ab
47,2 ab
48,2 ab
32,2 d
35,1 cd
10,1
Bobot 1000 Butir
Gabah (g)
21,5 ab
21,5 ab
21,3 ab
21,0 ab
22,0 a
21,0 ab
21,3 ab
21,8 ab
20,8 b
21,0 ab
3,4
Produksi GKG
(t/ha)
7,4 a
6,6 b
6,3 bc
6,6 b
6,1 bc
6,0 c
6,3 b
6,4 bc
6,4 bc
7,4 a
5,7
1133
KESIMPULAN
1. Galur-galur matan yang di uji rata-rata menghasilkan malai yang panjang
dengan jumlah yang banyak permalai yailu berkisar 286,3 – 319,2, namun
persentase gabah hampa yang cukup tinggi yaitu berkisar 40-4% - 53,5%
2. Terdapat 2 galur harapan padi tipe baru yang beradaptasi baik dengan daya
hasil yang cukup tinggi di Kabupaten Barru yaitu Galur BIO-MF 115 dan BIOMF 116
DAFTAR PUSTAKA
Anwari dan R. Suhendi. 1993. Uji Multilkasi Galur Harapan Padi Gogo. BPTP Nura
Tenggara Barat. Laporan Hasil Kegiatan
Arafah, Muslimin, Nasruddin, Amin, Syamsul Bahri dan St. Najmah. 2003. Kajian
Teknologi Bercocok Tanam Padi lahan Sawah. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Selatan.Laporan Akhir Kegiatan
BPS. 2010. Sulawesi Selatan dalam Angka.
Selatan.
Badan Pusat Statistik Sulawesi
Buang Abdullah. 2004.
Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB Lainnya.
Panduan Pelatihan. Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas
Unggul Tipe Baru. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Drajat, A.A. 2001. Program pemuliaan partisipatif (suttle breeding dan uji
multilokasi). Bahan Lokakarya Pernyelarasan Perakitan Varietas Unggul
Komoditas HortikulturaMelalui Penerapan Suttle Breeding. Puslitbanghort,
Jakarta, 19-20 April 2001.
Eberhart, S. A., and W. A. Russel. 1966. Stability parameters for comparing
varieties. Crop Sci. 6 : 36 – 40.
Las, I., I.N. Widiarta, dan B. Suprihatno. 2004. Perkembangan varietas dalam
perpadian nasional. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Inovasi
Pertanian
Tanaman
Pangan.
Pusat
Penelitian
dan
PengembanganTanaman Pangan Bogor: 1-26 hlm.
Pusat Penelitian Tanaman Pangan. 2000. Antisipasi Penerapan Perlindungan
Varietas Tanaman (PVT) dalam Penyelenggaraan Pemuliaan Partisipatif
Puslittan, Bogor.
Simanulang, ZA., Tjubaryat dan E. Suamadi. 1995. pemanduan beberapa sifat
baik IR64. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balitpa,
Sukamandi.
Sudaryanto T., dan A. Agustina. 2003. Peningkatan Daya Saing usahatani
Padi: Aspek Kelembagaan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1 No. 3.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian, Bogor.
Yoshida and Parao, F.T. 1976. Climate Influence on Yield and Yield Component
of Lowland Rice in Tropics. Proc. Of Symposium on Climate and Rice.
IRRI, Los Banos, Philippines.
1134
UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO TAHAN
KERACUNANAN ALUMINIUM (Al) DENGAN PRODUKTIVITAS
DI ATAS 5 TON/HA GABAH KERING GILING
Suriany
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar
ABSTRAK
Uji adaptasi varietas unggul baru padi gogo tahan keracunan Al untuk mendapatkan
produktivitas di atas 5 t/ha gabah kering giling (GKG) dilaksanakan di lahan kering
podsolik merah kuning (PMK) di Kabupaten Wajo, Kecamatan Gilireng, Desa Passalloreng
di Kelompok Tani Mulamenre dan Kelompok Tani MaccolliloloE pada pertanaman musim
kemarau Oktober – Maret 2010. Sebanyak 8 varietas yang diuji yaitu Cigeulis, Limboto,
Towuti, Situ Patenggang, Inpari 1, Danau Gaung, IR 42 dan Situ Bagendit sebagai
control. Metode penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) diulang tiga kali.
Data agronomi dianalisis dengan uji BNT. Ukuran plot 4 m x 5 m. Jarak tanam 20 cm x
20 cm. Benih ditanam dengan tugal sebanyak 5 – 6 biji tanaman per rumpun. Serangan
hama, penyakit, dan pertumbuhan gulma dikendalikan secara kimiawi dan mekanis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Lokasi 1 pada Kelompok Tani Mulamenre varietas
yang menghasilkan gabah kering giling di atas 5 t/ha yaitu Danau Gaung dan Towuti,
sedangkan untuk lokasi 2 di Kelompok tani MaccolliloloE tidak ada varietas yang
menghasilkan gabah kering giling diatas 5 t/ha.
Kata kunci : Padi gogo, keracunan Al, produktvitas, podsolik merah kuning
PENDAHULUAN
Sulawesi Selatan mempunyai lahan kering (pekarangan kebun + lading +
penggembalaan) seluas 913,972 ha (Distan Sulawesi Selatan, 2008). Lahan
tersebut berpotensi cukup besar untuk dikelola menjadi lahan pengembangan
usahatani padi gogo yang dapat meningkatkan kemampuan dan volume produksi
padi tiap tahun di Sulawesi Selatan.
Salah satu jenis tanah di lahan kering di Sulawesi Selatan adalah podsolik
merah kuning (Distan Sulawesi Selatan, 2004) yang mempunyai kemasaman
tanah yang tinggi (pH rendah), kadar Al dan Fe tinggi (Hardjowigeno, 1987).
Tanaman yang keracunan Al akan mengalami kekahatan unsure hara N, P, K, Ca,
dan Mg sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan tidak menghasilkan
organ tanaman yang bernilai ekonomis. Tanaman toleran keracunan Al akan
mampu mengubah pH tanah disekitar daerah perakaran sehingga unsure-unsur
hara P dan K yang diperlukan dapat dipenuhi (Lubis et al., 2008). Lahan kering
di kawasan beriklim basah seperti Indonesia umumnya didominasi jenis tanah
ultisol dan oxisol (podsolik merah kuning) yang bereaksi masam (pH rendah)
sehingga efesiensi pemupukan menjadi rendah karena N dan K dari pupuk
mudah tercuci, sedangkan P akan terfiksasi oleh Fe dan Al (Mulyani et al., 2001).
Pada tahun 2005 realisasi tanam padi gogo baru mencapai luas 4.802 ha
dengan produktivitas rendah rata-rata 3,0 t/ha gabah kering giling (Distan
Sulawesi Selatan, 2008). Pusat pengembangan padi gogo di Sulawesi Selatan
1135
antara lain di Kabupaten Jeneponto, Takalar, Gowa, Bone, Enrekang, Wajo,
Luwu, Palopo dan Luwu Utara. Pengembangan padi gogo di lahan kering hanya
dilakukan satu kali tanam per tahun.
Varietas unggul padi gogo yang dikembangkan selama ini berpotensi hasil
6 – 7 t/ha GKG (BBLITPA, 2009 dan Departemen RI., 2008). Sesuai potensi
yang ada maka daerah ini dapat menghasilkan gabah kering sebanyak 2. 741.
916 t per tahun untuk tanaman padi gogo di lahan kering sehingga sangat
mendukung suksesnya program pemerintah daerah Sulawesi Selatan untuk
surplus beras sebanyak 2 juta ton mulai tahun 2009. Proporsi pengembangan
padi gogo yang baru mencapai areal 1% tersebut sangat rendah dibandingkan
dengan areal padi sawah, menunjukkan masih kurangnya perhatian pemerintah
daerah mengembangkan padi gogo sebagai salah satu program pemanfaatan
lahan kering yang tersebar luas di daerah ini untuk produksi bahan makanan
pokok.
Ada beberapa faktor penyebab sehingga masyarakat belum banyak
tertarik dalam mengelola lahan kering untuk padi gogo antara lain adalah 1).
ketersediaan inovasi teknologi budidaya dan varietas unggul baru padi gogo yang
relative masih terbatas dibandingkan dengan padi sawah 2).
Sosialisasi
teknologi pengembangan padi gogo belum intensif 3). Daya tarik kinerja dan
produktivitas usahatani padi sawah sudah sangat baik sehingga menarik hampir
seluruh perhatian petani dan pemerintah untuk ikut mengembangkan usahatani
padi sawah tersebut dan melupakan pengelolaan lahan kering yang sangat
potensial untuk padi gogo 4). Organisasi kelembagaan kelompok tani padi gogo
belum berkembang dan 5) Adanya kendala abiotik pengelolaan lahan kering
untuk padi gogo seperti kekurangan air, tingkat kesuburan tanah yang rendah,
kemasaman yang tinggi (pH rendah), dan seringnya ditemukan unsur-unsur
beracun seperti Aluminim (Al) dan besi (Fe) dengan kadar yang tinggi dalam
tanah sehingga menghambat pertumbuhan dan tingkat produktivitas tanaman.
Toha (2007) mengemukakan bahwa lahan kering umumnya memiliki
produktivitas rendah, ketersediaan hara dalam tanah rendah, dicerminkan oleh
komposisi mineral pasir yang umumnya miskin cadangan mineral, kecuali mineral
resisten seperti kuarsa.
Faktor karakter tanah yang mengandung unsur beracun seperti Al dan Fe
yang tinggi serta pH masam yang sulit diperbaiki dapat dikelola dengan
menggunakan varietas toleran dan kondisi tanahnya seperti uraian diatas.
Kementerian Pertanian sudah melepas banyak varietas unggul baru padi
gogo yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap keracunan Al dan
Fe pada lahan-lahan kering bereaksi masam sebagaimana halnya padi gogo
toleran terhadap penyakit tertentu pada agroekosistem lahan kering seperti
penyakit blas daun dan leher malai, hama wereng coklat, hama lalat bibit, serta
toleran kekeringan. Untuk itu diteliti adaptasi varietas unggul baru padi gogo
tahan keracunan Aluminium (Al) di Sulawesi Selatan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi keragaan
daya adaptasi dan tingkat produktivitas 1 - 2 varietas unggul baru padi gogo
toleran keracunan Al di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan dan sosialisasi
varietas unggul baru untuk mendukung pengembangan usahatani padi gogo
spesifik lokasi. Sedangkan keluaran yang diharapkan yaitu keragaan varietas
unggul baru padi gogo toleran keracunan Al dengan tingkat produktivitas > 5
1136
t/ha gkg mendukung pelepasan dan pengembangan varietas unggul baru padi
spesifik lokasi dan teridentifikasinya minimal 1-2 varietas unggul baru padi gogo
toleran keracunan Al yang mempunyai produktivitas >5 t/ha gkg.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Wajo, Kecamatan Gilireng, Desa
Pasalloreng.
Penetapan lokasi tersebut dilakukan berdasarkan hasil analisis
tanah di laboratorium sebelum tanam untuk mengetahui kadar Al (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis laboratorium tanah untuk kadar Aluminium (Al) pada uji
adaptasi varietas unggul baru padi gogo tahan Al di Desa Passalloreng,
Kecamatan Gilireng, Kabupaten, Sulawesi Selatan, 2010.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Unsur yang dinalisis
Kejenuhan Al (%)
Kejenuhan Basa (%)
KTK Efektif (me/100 g)
Ca
Mg
K
Na
Desa Passalloreng
22 sedang
40 Sedang
9.86
7 Sedang
2 Sedang
0,2 Rendah
0.65 sedang
Keriteria penilaian sifat fisik dan kimia tanah didasarkan pada buku petunjuk teknis
evaluasi lahan, Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 1993, dan Ilmu Tanah karangan
Sarwono Hardjowigeno, 1987.
Kegiatan dilaksanakan pada pertanaman musim kering (MK) September Januari
2010.
Lahan lokasi penelitian sebelum tanam terlebih dahulu
dibersihkan dari berbagai rumput dan semak. Tidak ada pengolahan tanah
(TOT). Penanaman dilakukan dengan tanpa olah tanah (TOT) pada tanggal 27
Septemberr 2010 di kelompok tani Mula Menre, dan tanggal 3 Oktober 2010 di
kelompok tani MaccolliloloE.
Benih padi ditanam dengan cara tugal. Jarak
tanam seluas 20 cm x 20 cm, menggunakan benih sebanyak 5 biji per lubang
tugal dengan kedalaman 3 cm. Penyulaman dilakukan paling lama 15 hari
setelah tumbuh (HSTb).
Jumlah varietas unggul baru padi gogo tahan Al yang diuji sebanyak 8
varietas yaitu 1). Situ Bagendit (Pembanding), 2). Situ Patenggang, 3). Limboto,
4). Danau Gaung, 5). Towuti, 6). IR42, 7). Inpari 1, dan 8). Cigeulis. Varietas
tersebut mempunyai potensi hasil 5,5 sampai 10 t/ha gkg dan berumur 105
sampai 135 hari setelah semai (BBLITPA, 2009 dan Departemen RI, 2008).
Tanaman dipupuk dengan dosis 150 kg Urea + 50 kg SP18 + 200 kg
Phonska 15-15-15 per hektar. Cara pemupukan dilakukan dengan larikan
diantara dua baris tanaman. Pengendalian hama/penyakit dilakukan berdasarkan
prinsip pengelolaan hama terpadu (PHT). Pengedalian gulma dilakukan setiap
saat dengan cara manual.
Kegiatan ini bertepatan pada musim kemarau
sehingga curah hujan sangat sedikit. Kebutuhan air selama pertumbuhan
tanaman dipenuhi dengan cara penyiraman secara manual setelah air dari sungai
1137
ditampung dalam sebuah embun plastik. Panen dilakukan setelah gabah matang
90% dengan kulit gabah berwarna kuning.
Metode penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan diulang 3
(tiga) kali. Luas plot penelitian 4 m x 5 m. Jarak antar plot perlakuan 50 cm dan
jarak antar ulangan 75 cm. Data dianalisis dengan uji BNT.
Parameter yang diamati meliputi gejala keracunan Al berdasarkan buku
standard evaluation system for rice (SES) dan buku panduan pengelolaan hara
tanaman padi. Tingkat keracunan Al dibagi dalam 5 skor/tingkatan masingmasing skor 1 toleran , skor 3 agak toleran, skor 5 sedang, skor 7 agak rentan,
skor 9 rentan (IRRI and IRTP., 1988 dan CC., 2007). Data agronomi yang
diamati meliputi tinggi tanaman (cm , jumlah malai/rumpun , jumlah gabah
isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, bobot 1000 butir gabah kering kadar air
14% (g), dan hasil gabah kering giling (gkg) kadar air 14 % (t/ha). Dilakukan
pula pengamatan terhadap serangan hama/penyakit, curah hujan dan suhu
selama penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan vegetatif tanaman pada semua lokasi kurang optimal/lambat
karena tidak ada curah hujan yang cukup mengairi tanaman selama
pertumbuhan dari sejak tanam sampai panen. Selama pertumbuhannya tanaman
mendapatkan air dengan cara menyiram 2 kali seminggu. Pemberian air dengan
cara menyiram dilakukan sepanjang pertumbuhan tanaman sampai panen.
Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau (MK) Oktober - Maret.
Musim hujan berlangsung pada periode April – September setiap tahun.
Menanam padi gogo diluar musim hujan sangat berisiko karena tanaman
kekurangan air. Meskipun demikian, dengan cara menyiram tanaman tetap dapat
tumbuh dan setiap varietas menampilkan karakter masing-masing. Beberapa
varietas yang menampilkan morfologi yang bagus dan disukai petani karena
yakin akan berkembang dengan baik pada musim hujan. Di lokasi kelompok tani
Mula Menre, tinggi tanaman berkisar 72 – 128 cm, jumlah malai per rumpun
10-19 batang, jumlah gabah isi per malai 51 – 92 biji, jumlah gabah hampa per
malai 27- 46%, bobot gabah kering 1000 butir 20 g – 25 g, dan hasil gabah
kering kadar air 14% sebanyak 2,4 t – 5,1 t/ha. Di kelompok tani Maccolli loloE,
tinggi tanaman berkisar 58 – 102 cm, jumlah malai per rumpun 7-15 batang,
jumlah gabah isi per malai 45-77 biji, jumlah gabah hampa per malai 23-44%,
bobot gabah kering 1000 butir 19 g – 22 g, dan hasil gabah kering kadar air 14%
sebanyak 1,5 t – 3,7 t/ha (Tabel 2-7).
Tinggi Tanaman (cm)
Kecuali varietas Limboto dan IR 42 yang lebih pendek, tinggi tanaman
untuk semua varietas lainnya relatif normal masih berada pada kisaran minimal
dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh dengan kondisi air yang cukup
tersedia (BBLITPA, 2009).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa di
kelompok tani Mula Menre tinggi tanaman varietas towuti 103 cm, situ
patenggang 115 cm, dan danau gaung 128 cm adalah nyata lebih tinggi
1138
dibandingkan dengan varietas Situ Bagendit sebagai pembanding dengan tinggi
91 cm. Tinggi tanaman 72 cm pada IR 42 nyata paling rendah.
Di kelompok tani Maccolliloe, tinggi tanaman varietas Cigeulis 95 cm,
Towuti 97 cm, Situ Patenggang 102 cm, dan Danau Gaung 110 cm adalah nyata
lebih tinggi dibandingkan dengan 85 cm pada varietas Situ Bagendit (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil rata-rata tinggi tanaman (cm) pada uji adaptasi varietas unggul
baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan
Maccolliloloe,
Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten
Wajo, MK. April - September 2010.
No
Varietas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Cigeulis
Limboto
Towuti
Situ Patenggang
Inpari 1
Danau Gaung
IR 42
Situ Bagendit (Pembanding)
KK (%)
x)
xx)
tn)
Kel.
Tani
Menre
100
91
103
115
92
128
72
91
11
Mula
tn
tn
*
**
tn
**
**
-
Kel. Tani MaccolliloloE
95 *
88 tn
97 **
102 **
87 tn
110 **
58 **
85 14
Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95% uji BNT
Berbeda sangat
nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat
kepercayaan 99% uji BNT
Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95 % uji BNT
Kedua lokasi menggunakan varietas Situ Bagendit sebagai pembanding
karena varietas tersebut sering ditanam setiap musim tanam di kedua kelompok
tani lokasi peneltian. Pertumbuhan varietas Situ Bagendit pada kedua lokasi
kurang optimal dan tinggi tanaman yang ditampilkan lebih pendek dibandingkan
dengan pertumbuhan normal dengan tinggi 99 – 105 cm (BBLITPA, 2009). Ini
menunjukkan bahwa varietas Situ Bagendit kurang toleran kekeringan
dibandingkan dengan beberapa varietas lainnya yang tanamannya lebih tinggi.
Jumlah Malai Per Rumpun (batang)
Varietas di kelompok tani Mula Menre yang menghasilkan jumlah malai
paling banyak adalah Situ Bagendit sebanyak 19 batang dan paling sedikit adalah
Danau Gaung dan IR 42 sebanyak 10 batang per rumpun. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa kecuali varietas Danau Gaung dan IR42 yang jumlah
malainya jauh lebih rendah sebanyak 10 batang, semua varietas lainnya
mempunyai jumlah malai sebanyak 12 – 18 batang yang tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan varietas Situ Bagendit dengan jumlah malai sebanyak 18
batang. Di kelompok tani MaccolliloloE varietas Danau Gaung dan IR42 juga
menghasilkan jumlah malai sedikit sebanyak 7 - 8 batang per rumpun,
sedangkan seluruh varietas lainnya menghasilkan malai sebanyak 11 – 15 batang
yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan jumlah malai 14 batang pada
varietas Situ Bagendit (Tabel 3).
1139
Tabel 3. Hasil rata-rata jumlah malai per rumpun (batang) pada uji adaptasi
varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre
dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten
Wajo, MK. April - September 2012.
No
Varietas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Cigeulis
Limboto
Towuti
Situ Patenggang
Inpari 1
Danau Gaung
IR 42
Situ Bagendit (Pembanding)
KK (%)
x)
xx)
tn)
Kel.
Tani
Menre
15
15
18
12
16
10
10
19
15
Mula
tn
tn
tn
tn
tn
**
**
-
Kel. Tani MaccolliloloE
13 tn
12 tn
15 tn
10 tn
11 tn
7 **
8 **
14 10
Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95% uji BNT
Berbeda sangat
nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat
kepercayaan 99% uji BNT
Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95 % uji BNT
Sebagian besar varietas yang diuji pada kedua lokasi penelitian
mempunyai jumlah malai yang normal kecuali Danau Gaung dan IR42 yang
jumlahnya sangat sedikit (BBLITPA, 2009). Varietas Danau Gaung dan IR 42
tidak toleran dengan kekeringan. IR42 menghasilkan jumlah malai yang jauh
lebih rendah dibandingkan potensinya yang dapat mencapai sebanyak 20 - 25
batang per rumpun (BBLITPA, 2009). Varietas IR42 hanya direkomendasikan
untuk pengembangan padi sawah bukan padi gogo. Motivasi penggunaan IR42
dalam penelitian adalah karena potensi hasilnya yang tinggi sebanyak 7 t/ha dan
sejarah masa lalu sebelum menjadi peka penyakit tungro
yang selalu
menghasilkan gabah paling tinggi dan dikembangkan luas oleh petani dalam
setiap musim tanam serta dalam periode waktu bertahun-tahun.
Jumlah Gabah Isi Per Malai (biji)
Jumlah gabah isi per malai paling banyak di Kelompok Tani Mula Menre
adalah 92 biji per malai pada varietas Danau Gaung, disusul 83 biji pada
varietas Situ Patenggang, dan 79 biji pada Limboto. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa ketiga varietas tersebut memberikan jumlah gabah isi per
malai yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah gabah isi per malai
sebanyak 59 biji pada varietas Situ Bagendit. Di Kelompok Tani Maccolliloloe
seperti pada Kelompok Tani Mula Menre, varietas Danau Gaung menghasilkan
jumlah gabah isi per malai terbanyak 77 biji, disusul Limboto dan Situ
Patenggang 66 biji yang kesemuanya berbeda nyata dibandingkan dengan
varietas Situ Bagendit dengan jumlah gabah isi sebanyak 57 biji per malai
(Tabel 4).
1140
Tabel 4.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
x)
xx)
tn)
Hasil rata-rata jumlah gabah isi per malai (biji) pada uji adaptasi
varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre
dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten
Wajo, MK. April - September 2010.
Varietas
Cigeulis
Limboto
Towuti
Situ Patenggang
Inpari 1
Danau Gaung
IR 42
Situ Bagendit (Pembanding)
KK (%)
Kel. Tani Mula
Menre
54 tn
79 **
51 *
83 **
59 tn
92 **
52 *
59 19
Kel. Tani MaccolliloloE
49 *
66 *
45 **
66 *
50 *
77 **
46 **
57 14
Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95% uji BNT
Berbeda sangat
nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat
kepercayaan 99% uji BNT
Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95 % uji BNT
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa jumlah gabah isi per malai varietas
Danau Gaung, Limboto dan Situ Patenggang tersebut sudah cukup potensial
untuk menghasilkan produktivitas lebih kurang 5 t/ha gabah kering giling
dengan menyesuaikan jarak tanam rapat. Sutaryo dan Samaullah (2008),
melaporkan hasil penelitiannya bahwa varietas Memberamo di lahan sawah
mempunyai jumlah gabah isi per malai sebanyak 97 biji, malai 16 batang, dan
bobot 1000 butir gabah 28,3 g dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm memberikan
hasil gabah kering giling sebanyak 5,3 t/ha.
Jumlah Gabah Hampa Per Malai (%)
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas yang mempunyai
jumlah gabah hampa per malai yang paling rendah di Kelompok Tani Mula Menre
adalah varietas Situ Bagendit dan Inpari 1 sebanyak 27 % yang tidak berbeda
nyata dengan varietas IR 42 sebanyak 29 %. Jumlah gabah hampa sebanyak 33
- 46 % pada varietas lainnya nyata lebih tinggi. Sama halnya Di kelompok
MaccolliloloE, varietas yang gabah hampanya nyata paling rendah sebanyak 23
% adalah Situ Bagendit dibandingkan dengan gabah hampa sebanyak 32 – 44
% pada varietas lainnya (Tabel 5).
1141
Tabel 5. Hasil rata-rata jumlah gabah hampa per malai (%) pada uji adaptasi
varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre
dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten
Wajo, MK. April - September 2010
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
x)
xx)
tn)
Varietas
Cigeulis
Limboto
Towuti
Situ Patenggang
Inpari 1
Danau Gaung
IR 42
Situ Bagendit (Pembanding)
KK (%)
Kel. Tani Mula
Menre
36 **
33 **
41 **
43 **
27 tn
46 **
29 tn
27 17
Kel. Tani Maccolliloloe
42
32
42
44
34
34
33
23
25
*
*
*
*
*
*
*
-
Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95% uji BNT
Berbeda sangat nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat
kepercayaan 99% uji BNT
Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat
kepercayaan 95 % uji BNT
Tingkat kehampaan gabah per malai sangat berpengaruh terhadap
penilaian atau kesukaan petani terhadap
suatu varietas. Varietas yang
dianggap bagus antara lain jika dalam satu malai sedikit atau tidak ditemukan
gabah hampa dipangkal malai meskipun terlihat bahwa panjang malai varietas
tersebut mungkin pendek. Komponen ini akan menentukan penilaian terhadap
komponen-komponen lainnya, atau dengan kata lain varietas yang sedikit atau
tidak ada gabah hampa dalam satu malai mengindikasikan varietas tersebut
kemungkinan mempunyai komponen-komponen hasil lainnya yang bagus dan
dapat mendukung dihasilkannnya
potensi hasil gabah yang tinggi dan
berkualitas. Jumlah gabah hampa sekitar 20% adalah ideal dan cukup potensial
untuk mendukung dihasilkannya produktivitas tanaman yang tinggi, asalkan
komponen-komponen hasil lainnya optimal seperti jumlah rumpun minimal 160
ribu per hektar, jumlah gabah isi per malai dan malai per rumpun yang tinggi,
serta bobot 1.000 butir gabah diatas 20 g. Salah satu tujuan pemupukan
berimbang dan pengairan yang cukup adalah mendukung inisiasi malai secara
maksimal.
Bobot 1000 Butir Gabah Kering Kadar Air 14% (g)
Varietas yang mempunyai bobot gabah 1000 butir paling tinggi di kelompok
tani Mula Menre adalah Towuti dan Danau Gaung dengan bobot 25 g, menyusul
Limboto dan Situ Patenggang 24 g yang kesemuanya berbeda nyata
dibandingkan dengan Situ Bagendit dengan bobot 20 g. Di Kelompok Tani
MaccolliloloE varietas Towuti dan Danau Gaung yang mempunyai bobot 1000
butir paling tinggi sebanyak 22 g dan berbeda nyata dibandingkan dengan
varietas Situ Bagendit dengan bobot 19 g. Seluruh varietas lainnya dengan
bobot 20-21 g tidak berbeda nyata (Tabel 6).
1142
Tabel 6. Hasil rata-rata bobot gabah kering 1000 butir (biji) pada uji adaptasi
varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre
dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten
Wajo, MK. April - September 2010.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
x)
xx)
tn)
Varietas
Cigeulis
Limboto
Towuti
Situ Patenggang
Inpari 1
Danau Gaung
IR 42
Situ Bagendit (Pembanding)
KK (%)
Kel. Tani Mula
Menre
22 tn
24 **
25 **
24 **
22 tn
25 **
22 tn
20 8
Kel. Tani Maccolliloloe
20
21
22
20
20
22
20
19
tn
tn
*
tn
tn
*
tn
12
Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95% uji BNT
Berbeda sangat
nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat
kepercayaan 99% uji BNT
Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95 % uji BNT
Varietas Towuti dan Danau Gaung selalu unggul pada semua lokasi yang
berarti beradaptasi dengan baik sehingga bobot gabahnya lebih tinggi
dibandingkan dengan yang lain. Meskipun demikian sesungguhnya semua
varietas mempunyai potensi bobot gabah yang lebih tinggi 23-28 g (BBLITPA,
2009) dibandingkan dengan hasil penelitian yang lebih rendah 2-28%. Faktor
kekeringan selama penelitian yang menyebabkan inisiasi gabah tidak optimal
atau tidak sempurna sehingga banyak menimbulkan gabah menjadi hampa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penanaman pada musim hujan dengan curah
hujan yang cukup beberapa diantara varietas tersebut terindikasi dapat
menampilkan pertumbuhan dan bobot gabah yang tinggi untuk menunjang
produktivitas tanaman yang tinggi.
Hasil Gabah Kering Giling Kadar Air 14% (t/ha)
Varietas yang mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi di Kelompok
Tani Mula Menre adalah Towuti dan Danau Gaung sebanyak 5,1 t/ha gabah
kering giling (gkg), disusul Situ Patenggang dan Inpari 1 masing-masing 4,6 dan
4,5 t/ha gkg. Varietas lainnya mempunyai hasil 3,6 – 3,7 t/ha gkg yang
kesemuanya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hasil sebanyak 4,2 t/ha
gkg pada pembanding varietas Situ Bagendit, kecuali varietas IR42 yang
mempunyai hasil nyata paling rendah sebanyak 2,4 t/ha gkg. Di kelompok tani
MaccolliloloE varietas Limboto mempunyai produktivitas tertinggi sebanyak 3,7
t/ha gkg disusul Towuti sebanyak 3,4 t/ha gkg kemudian varietas lainnya
sebanyak 2,5 – 2,7 t/ha gkg yang semuanya tidak berbeda nyata dibandingkan
dengan hasil 3,2 t/ha gkg pada varietas Situ Bagendit sebagai pembanding.
Hanya varietas IR42 yang mempunyai hasil nyata lebih rendah sebanyak 1,5 t/ha
gkg. (Tabel 7).
1143
Tabel 7. Hasil rata-rata gabah kering giling (gkg) kadar air 14% (t/ha) pada uji
adaptasi varietas unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani
Mula Menre dan Maccolliloloe, Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng,
Kabupaten Wajo, MK. April - September 2010.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
x)
xx)
tn)
Varietas
Kel.
Tani
Mula Kel. Tani MaccolliloloE
Menre
Cigeulis
3.7 tn
2.7 tn
Limboto
3.6 tn
3.7 tn
Towuti
5.1 tn
3.4 tn
Situ Patenggang
4.6 tn
2.6 tn
Inpari 1
4.5 tn
2.3 tn
Danau Gaung
5.1 tn
2.7 tn
IR 42
2.4 **
1.5 **
Situ Bagendit (Pembanding)
4.2 3.2 KK (%)
14
15
Berbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95% uji BNT
Berbeda sangat
nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat
kepercayaan 99% uji BNT
Tidak brbeda nyata dibandingkan varietas Situ Bagendit pada tingkat kepercayaan
95 % uji BNT
Semua varietas hanya mampu memberikan produktivitas 20 - 70% dari
potensi hasil . Varietas Towuti dan Danau Gaung di Kelompok Tani Mula Menre
dan Limboto serta Towuti di Kelompok Tani Maccolliloloe terindikasi beradaptasi
dengan baik di kedua lokasi penelitian. Penanaman pada musim hujan dengan
curah hujan tinggi dan mencukupi kebutuhan optimum tanaman akan dapat
menghasilkan produktivitas tanaman yang tinggi sesuai potensi varietas masingmasing.
Keracunan Aluminium (Al)
Tingkat keracunan Al terlihat pada beberapa varietas (Tabel 8).
Tabel 8. Skor tingkat keracunan Al beberapa varietas, pada uji adaptasi varietas
unggul baru padi Gogo tahan Al di kelompok tani Mula Menre dan
Maccolliloloe,
Desa Pasalloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten
Wajo, MK. April - September 2010
No
Varietas
Kel. Tani Mula Menre
Kel. Tani Maccolliloloe
1.
2.
3.
Cigeulis
Limboto
Towuti
3
3
3
3
4.
5.
6.
7.
8.
Situ Patenggang
Inpari 1
Danau Gaung
IR 42
Situ Bagendit (Pembanding)
3
7
3
3
7
3
Gejala keracunan Al pada beberapa varietas yang terserang dicirikan
dengan klorosis antar tulang daun, warna daun berwarna kuning kemerahmerahan, pertumbuhan akar lambat, tanaman kerdil (CC, 2007). Uji coba
1144
pemberian larutan Al pada beberapa galur-galur padi menunjukkan pertumbuhan
akar yang pendek bagi galur rentan keracunan Al (Lubis et al., 2008).
Hasil
penelitian yang dilakukan pada kedua lokasi memperlihatkan ada gejala
keracunan Al tetapi tidak berat sehingga tanaman masih dapat menghasilhan
buah atau gabah. Keracunan Al menyebabkan tanaman mengalami penurunan
kualitas dan kuantitas pertumbuhan dan produktivitasnya karena kekurangan
unsur hara esensial N, P, K, Ca, dan Mg dalam larutan tanah (Lubis et al., 2008).
KESIMPULAN
1. Varietas unggul baru padi yang menghasilkan produktivitas di atas 5 t/ha
gabah kering giling (gkg) di kelompok tani Mula Menre adalah Towuti dan
Danau Gaung sebanyak 5,1 t/ha gkg. Di kelompok tani MaccolliloloE, semua
varietas mempunyai produktivitas dibawah 5 t/ha gkg.
2. Gejala keracunan Al terlihat pada varietas Cigeulis, Inpari 1, IR42 dan Situ
Bagendit.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBLITPA). 2009. Deskripsi Varietas Unggul
Baru Padi.
Creative Commons (CC). 2007. International Rice Research Institute (IRRI),
International Plant Nutrition Institute (IPNI), and International Potash
Institute (IPUI). Panduan Praktis Pengelolaan Hara Padi.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan. 2008.
Statistik Pertanian 2007. Laporan Tahunan.
Lubis, E., R. Hermanasari, Sunaryo, A. Santika, dan E. Suparman. 2008.
Toleransi Galur Padi Gogo Terhadap Cekaman Abiotik. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian
Padi Menunjang P2BN.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Buku 2.
Mulyani, et al. 2001.Internatioanl Rice Research Institute (IRRI) and
International Rice Testing Program (IRTP), 1988. Stándar Evaluatin
System for Rice.
Sutaryo, B., Dan M.Y. Samaullah. 2008. Penampilan Hasil dan Komponen Hasil
Beberapa Galur Padi Hibrida Japonica. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Prosisiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2bn. Buku 2. 961 halaman.
1145
UJI PEMANFAATAN BEBERAPA SUBSTRAT LOKAL SEBAGAI
MEDIA TUMBUH JAMUR TIRAM
Abdul Wahab1 dan Gusti Ayu Kade Sutariadi2
Balai Pengkaian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
2
Pengajar Jurusan Agroteknolog, Faperta Universitas Haluoleo
1
ABSTRAK
Salah satu jenis jamur edible yang banyak berkembang di masyarakat adalah jamur
tiram. Media tanam merupakan salah satu masalah yang muncul dalam budidaya jamur
tiram. Tujuan kajian ini adalah menguji beberapa substrak lokal sebagai media tumbuh
jamur tiram. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4
ulangan masing-masing ulangan menggunakan 20 baglog. Dengan perlakuan 3 substrat
lokal yaitu dedak, ampas tahu, dan ampas sagu, serta kontrol sebagai perlakuan standar.
Hasil yang diperoleh dari kajian ini adalah substart lokal dedak berpengaruh nyata
terhadap percepatan waktu panen tubuh buah jamur tiram yang terjadi 85 hari setelah
inokulasi, dan produksi jamur tiram segar yang tertinggi yang ditumbuhkan juga pada
substrat pemberian dedak yaitu rata-rata 250 gram /kg substrat dengan jumlah tudung
sebanyak 35 buah.
Kata kunci : Jamur tiram, media tanam, substrak lokal.
PENDAHULUAN
Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu dari puluhan
jamur edible yang dibudidayakan petani/pengusaha, bernilai ekonomi, potensi,
dan prospek sebagai sumber pendapatan. Pasar masih terbuka lebar baik untuk
tujuan domestik maupun ekspor. Jamur tiram dipasaran dalam bentuk segar
dengan harga jual relative stabil Rp 9000 sampai Rp 10.000. Dibandingkan
dengan harga jual jenis sayuran lainnya, seperti cabai, tomat, kubis, dan lain-lain
yang selalu mengalami fluktuasi harga yang tajam setiap waktu, serta sulit untuk
memprediksi harga jual yang stabil,maka harga jual jamur ini stabil setiap waktu.
Jamur tiram juga berfungsi sebagai sumber senyawa bioaktif yang dapat
digunakan sebagai obat (Lindequies at el ,2005; Sumiati, 2005) . Jamur tiram
selain sebagai bahan makanan yang memiliki gizi tinggi dan bioaktif untuk obat,
biasa juga digunakan sebagai penghasil enzim ligninolitik yang penggunaannya
digunakan pada industry pulp dan kertas, remediasi daerah bekas tambang,
penjernihan air (water clean up), dan biodeguming serat rami (Jeffries dan
Viikari, 1996), biosensor untuk senyawa fenol dan oksigen, reaksi katoda dalam
sel biofuel (Bulter et al ,2003), dan degradasi hidrokarbon aromatic polisiklik
(Baldrian et al, 2000).
Masalah yang terungkap pada budidaya jamur tiram yaitu produktiiatas
rendah. Penyebabnya antara lain (1) substrak media produksi tidak diperbaiki,
(2) bibit yang diperoleh dari sumber yang sama dengan strain yang sama tidak
unggul, (3) bibit kadaluarsa, (4) tidak melakukan pembaharuan bibit, (5) tempat
budidaya jamur kurang higienis, karena itu terjadi kontaminasi pada substrat
berkisar antara 5-20% (Sumiati et al ,2004).
1146
Media tumbuh jamur merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan jamur tiram hingga menghasilkan tubuh buah
yang bernilai ekonomis. Untuk meningkatkan produktivitas jamur tiram, salah
satu cara yaitu memperbaiki kualitas substrat dengan inovasi aplkasi bahan
suplemen yang berbahan baku lokal untuk substrat, maka substrat harus
mengandung selulosa, hemisellulose, lignin, karbohidrat terlarut (glukosa dan
sakarin), serta makro lemen penting (N,P,K, DAN Ca), mikroelemen essensial
(Fe, Mn, Zn, B, Co, Mo, Mg, Cu, dan Ni), dan iar 65-70% seta pH 6-7 (Senyah et
al, 1989; Shim, 2001).
Pada umumnya substrat yang digunakan sebagai bahan baku media
tumbuh jamur tiram adalah dedak. Sebagai konsekuensi akan timbul masalah
jika suatu saat terjadi kekurangan stok dedak, oleh karena itu perlu dikaji
berbagai substrat alternatif. Untuk mengantisipasi semakin langkanya bahan
suplemen berupa bekatul, kegiatan penelitian ini diuji/dikembangkan beberapa
substrat lokal sebagai bahan baku alternatif pembuatan media tumbuh jamur
tiram.
Penelitian bertujuan untuk memperoleh jenis bahan suplemen lokal
alternative yang sesuai untuk substrak jamur tiram, murah, dan mudah
mendapatkannya. Dengan aplikasi suplemen yang sesuai, diharapkan hasil bobot
jamur tiram meningkat.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di lahan petani di Kabupaten Konawe Selatan dari
Bulan Januari sampai Desember 2009. Percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) dengan 4 ulangan masing-masing ulangan menggunakan 20
baglog. Dengan perlakuan 3 substrat lokal yaitu dedak, ampas tahu, dan ampas
sagu, serta kontrol sebagai perlakuan standar.
Biakan murni strain jamur tiram (Pleurotus ostreatus) ditumbuhkan pada
media potato dextrose agar (PDA). Biakan murni jamur tiram diperbanyak
dengan cara memperbanyak koloni bibit jamur. Selanjutnya bibit jamur dari
biakan murni ditumbuhkan ke dalam media induk (mother spawn) berupa
bekatul yang dikemas dalam botol. Botol media bibit induk distrilkan
menggunakan autoklaf pada tekanan (P) 1,5 lb, temperature 121oC selama 2
jam. Media bibit yang telah ditumbuhi miselium jamur tiram disebut bibit induk
generasi ke-1.
Bibit induk yang telah diperoleh, kemudian diperbanyak sekali lagi ke
dalam media bibit sebar (spawn substrate) steril (generasi ketiga). Bibit sebar
selanjutnya digunakan untuk memproduksi tubuh buah jamur tiram. Caranya
yaitu setiap 10 gram bibit sebar diinokulasi ke dalam substart.
Sebelum diinokulasi dengan bibit sebar jamur tiram, substrat untuk
produksi jamur tiram yang telah diberi suplemen, dan bahan campuran lainnya
kemudian dikemas dalam kantong plastik transparan tahan panas kapasitas 1 kg
substrat, dan ujung baglog diikat dengan karet gelang. Substrat dipasteurisasi
selama 8 jam pada temperature 90oC. Substart yang dikemas dalam kantong
plastik disebut baglog. Setelah selesai pasteurisasi, substrat didinginkan sampai
mencapai temperature kamar.
1147
Selanjutnya substrat diinokulasi dengan 10 g bibit sebar, pada bagian
ujung baglog disumbat kapas steril dan kemudian diberi cincin paralon penahan
kapas dan bagian ujung sisa plastik baglog diikat dengan karet gelang.
Pemberian leher baglog yang disumbat kapas bertujuan untuk mengalirkan udara
segar dari luar ke bagian dalam substrat secara steril pada saat pertumbuhan
selanjutnya. Substrat selanjutnya diinkubasi pada ruangan inkubasi temperatur
24-28 oC tanpa cahaya, sampai miselium bibit jamur tiram tumbuh 50-60% pada
baglog substrat (3-4 minggu setelah inokulasi bibit sebar).
Baglog yang telah ditumbuhi miselium, selanjutnya dipindahkan ke dalam
rumah jamur, Baglog ditempatkan pada rak-rak bambu dalam rumah jamur
dengan posisi berbaring dan ditumpuk sebanyak 3 lapisan baglog per satu
lapisan rak. Selanjutnya pada 2-3 minggu setelah baglog diletakkan di dalam
rumah jamur, tumbuh bakal tubuh buah jamur tiram berupa butiran kelompok
jamur tiram berukuran kecil dan berwarna putih kecoklatan. Baglog dipelihara
sampai selesai panen dengan cara menyiram lantai ruang rumah jamur dan
baglog dengan air bersih langsung secara basah kuyup menggunakan selang
plastik dan melakukan penyemprotan ke ruangan dengan cara menyetel mata
sprayer untuk menhasilkan semprotan kabut, dengan tujuan untuk mencapai
kelembaban (RH) rumah jamur 98%. Ruang rumah jamur bercahaya remangremang dan berventilasi cukup.
Pada budidaya jamur tiram, tubuh buah mulai tumbuh setelah miselium
bibit tumbuh memenuhi seluruh substrat pada baglog atau munculnya tubuh
buah kecil bersamaan dan berwarna putih kecoklatan dengan pertumbuhan
lanjut dari miselium bibit jamur tiram putih.
Jamur tiram dipanen setelah tubuh buah yang pertama tumbuh membesar
maksimum. Panen dilakukan dengan cara mencabut tubuh buah sampai akarnya.
Parameter yang diamati meliputi waktu panen, tinggi batang, diameter batang,
diameter tudung, jumlah tudung, dan rata –rata bobot panen per baglog.
Data uji pemanfaatan beberapa subtrat lokal sebagai media tumbuh jamur
tiram terhadap pertumbuhan dan hasil jamur tiram dianalisis secara statistik
menggunakan software Program SAS (Statistical Analysis System). Parameter
yang dipengaruhi nyata oleh perlakuan, diuji lebih lanjut dengan DMRT (Duncan
Multiplication Range Test) taraf uji 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Waktu Panen Jamur
Hasil DMRT pengaruh perlakuan media tumbuh terhadap waktu panen
jamur disajikan pada Tabel 2. Uji coba pemanfaatan beberapa substrat lokal
sebagai media tumbuh ternyata memberikan pengaruh yang sangat signifikan
terhadap waktu panen jamur tiram. Dibandingkan dengan kontrol sebagai
perlakuan standar, penggunaan media ampas tahu lebih mampu mempercepat
pertumbuhan dan perkembangan miselium jamur sehingga lebih awal
menghasilkan tubuh buah. Pengaruh media ampas tahu tidak berbeda nyata
secara statistik dengan media dedak, yang juga mampu mempercepat waktu
panen jamur tiram (Tabel 2). Hal ini senada yang dilaporkan oleh Suprapti
1148
(1988), bahwa penambahan substrat dedak dapat meningkatkan pertumbuhan
miselium jamur dan mendorong pembentukan tubuh buah.
Tinggi Batang dan Diameter Batang
Selain mempercepat waktu panen, penggunaan media ampas tahu juga
lebih mampu memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan tubuh buah jamur
tiram. Hal ini nampak dari kedua peubah yang digunakan yaitu tinggi dan
diameter batang, namun pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan penggunaan
media dedak (Tabel 2). Sementara itu tinggi dan diameter batang terendah
terdapat pada media ampas sagu yang pengaruhnya tidak berbeda dengan
kontrol.
Tabel 2. Rata-rata waktu panen, tinggi batang dan diameter batang jamur tiram
pada beberapa perlakuan media tumbuh
Media
Tumbuh
Waktu Panen (hari)
Kontrol
106.79 a
Tinggi Batang (cm)
Diameter
Batang (cm)
1.86 b
0.70 b
Dedak
85.71 bc
2.83 a
0.91 ab
Ampas Tahu
74.48 c
2.59 a
1.17 a
Ampas Sagu
98.02 ab
2.15 b
0.83 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada taraf uji DMRT =0.05
Diameter Tudung
Penggunaan media ampas tahu juga lebih mampu menampilkan performa
tubuh buah yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol, namun efeknya tidak
berbeda secara signifikan dengan penggunaan dedak. Peningkatan diameter
tudung pada perlakuan tersebut mencapai 55% dibandingkan dengan kontrol.
Sementara itu diameter tudung terendah terdapat pada kontrol yang efeknya
berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (Tabel 3).
Jumlah Tudung dan Bobot Panen per Baglog
Berbeda dengan peubah sebelumnya, pada peubah jumlah tudung,
ternyata penggunaan media dedak memberikan hasil yang lebih baik dan
berbeda nyata dengan kontrol dan media ampas sagu, namun tidak berbeda
dengan media ampas tahu. Peningkatan jumlah tudung pada perlakuan tersebut
mencapai 150% dibandingkan dengan kontrol. (Tabel 3). Demikian pula pada
peubah bobot panen, media dedak lebih mampu menampilkan hasil yang lebih
baik dan berbeda nyata dengan kontrol dan media ampas sagu, namun tidak
berbeda dengan media ampas tahu. Peningkatan bobot panen per baglog pada
perlakuan tersebut mencapai 390% dibandingkan dengan kontrol. (Tabel 3). Hal
ini disebabkan karena kandungan nutrisi yang ada pada substark dedak lebih
kaya dibandingkan dengan substrak yang lainnya. Happy Widiastuti et al (2007),
mengungkap bahwa dedak merupakan sumber vitamin B kompleks yang umum
digunakan dalam budidaya jamur tiram. Vitamin B kompleks sangat diperlukan
1149
dalam pembentukan miselium dan tubuh buah jamur. Selain itu Ikasari dan
Mitcchell (1994), menambahkan bahwa dedak padi dikenal kaya akan protein,
karbohidrat, dan lemak, sumber vitamin B1,B2, B3, biotin, asam pantotenat, dan
besi.
Tabel 3. Rata-rata diameter tudung, jumlah tudung dan bobot panen jamur tiram
pada beberapa perlakuan media tumbuh
Media
Tumbuh
Diameter Tudung
(cm)
Jumlah Tudung
(buah)
Rata-rata Bobot
Panen (g)
Kontrol
4.89 c
14 b
51 b
Dedak
6.63 ab
35 a
250 a
Ampas Tahu
7.59 a
22 ab
167 a
Ampas Sagu
6.48 b
13 b
90 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada taraf uji DMRT =0.05
Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata antara
penggunaan dedak dan ampas tahu terhadap bobot panen jamur, namun secara
ekonomis penggunaan dedak lebih menguntungkan. Menurut petani kooperator
(berdasarkan hasil wawancara tim peneliti secara pribadi), jamur tiram yang
dipanen dari media dedak memiliki tekstur tubuh buah yang lebih padat, tidak
mudah hancur dan lebih tahan disimpan lama, sedangkan tekstur tubuh buah
jamur dari ampas tahu relatif lebih lembut, mudah hancur dan tidak dapat
disimpan lama. Di samping itu, menurut mereka, dedak lebih mudah didapatkan
dibandingkan dengan ampas tahu. Oleh karena itu dalam kegiatan lanjutan
(usaha budidaya jamur tiram secara mandiri) petani kooperator lebih memilih
menggunakan dedak sebagai bahan media tumbuh jamur tiram.
KESIMPULAN
Ketiga substrat lokal yang diuji dapat dimanfaatkan sebagai substrat
pada medium produksi jamur tiram. Substart lokal dedak berpengaruh nyata
terhadap percepatan waktu panen tubuh buah jamur tiram yang terjadi 85 hari
setelah inokulasi, dan produksi jamur tiram segar yang tertinggi yang
ditumbuhkan juga pada substrat pemberian dedak yaitu rata-rata 250 gram /kg
substrat dengan jumlah tudung sebanyak 35 buah.
DAFTAR PUSTAKA
Baldrian, p., C. Wiesche, J. Gabriel, F. Nerud dan F. Zadrazil. 2000. Influence of
cadmium and mercury on activities of ligninolytic enzymes and
degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons by Pleurotus ostreatus
in soil. Appl. Environ. Microbiol., 66. 2471-2478.
1150
Bulter, T., M. Alcalde, V. sieber, P. Meinhold. 2003. Fungtional expression of a
fungal laccase in Saccharomyces cerevisiae by directed evolution. Appl.
Environ. Microbiol., 69, 987-995
Happy Widiastuti, Siswanto dan Suharyanto. 2007. Optimalisasi pertumbuhan
dan aktivitas enzim ligninolitik omphalina sp dan Pleurotus ostreatus
pada fermentasi padat. Menara perkebunan , 2007, 75(2), 93-105
Ikasari, L. dan D.A. Mitchell. 1994. Protease production by Rhizopus oligosporus
in solidstate fermentation. World J. Microbiol Biotechnol., 19, 171-175.
Jeffries, T.W. dan L, Viikari. 1996. Enzymes for pulp and paper processing.
Washington American chemical society, 326p.
Lindequies, U., T H J Niedermeyer dan Wolf Dieter Julich. 2005. The
Pharmacological potential of mushroom. Evid. Based complement
Alternat. Med., 2(3):285-299.
Senyah, J., R. Robinson, and J. Smith. 1989.The effect of Phosphate on the
development of Phytase in the Wheat Embryo. Physiol.Plant. 20: 10661075.
Shim, M.S. 2001. Phisiology of substrate fermentation and substrate making.
Mushrooms 5(2):53-77.
Sumiati, E. 2005. Teknologi budidaya Jamur Edibel. Leaflet. Balai Penelitian
Tanaman sayuran Lembang. 2 Hlm
Sumiati.,
S.Sastrosiswojo,
dan
A.W.Hadisuganda.
2004.
Identifikasi
Permasalahan Budidaya Jamur Edible Komersial. Laporan Survey P.
Jawa, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. In Press. 17 Hlm.
Suprapti, S. 1988. Budidaya Jamur Perusak Kayu I. Pengaruh Penambahan
Dedak Terhadap Produksi Jamur Tiram . J. Penelit. Hasil Hutan, 5 (6),
337-339.
1151
VARIABILITAS HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADA VARIETAS PADI
MEMBERAMO DI PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN
Baso Aliem Lologau
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar
Email: ba.lologau@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian Variabilitas Hama dan Penyakit Tanaman pada Varietas Padi Memberamo di
Pantai Barat Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengetahui spesies hama dan penyakit
yang dominan pada pertanaman padi di musim hujan dan di musim kering. Penelitian
dilaksanakan di Kelurahan Lamalaka, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng pada
pertanaman musim hujan (MH) yaitu mulai bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 dan
pada pertanaman musim kering (MK) yaitu April sampai September 2011. Pengamatan
hama dan penyakit dilakukan dalam tiga petak pengamatan. Petak pengamatan seluas
0,25 ha dipilih secara purposive dalam satu hamparan lahan. Dalam tiap petak
pengamatan diambil 3 unit contoh pengamatan secara acak sistematik yang masingmasing terletak di garis diagonal petak pengamatan. Pada setiap unit contoh
pengamatan diamati 10 rumpun tanaman padi yang ditentukan secara acak sistematik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi spesies hama dan penyakit yang
menyerang di pertanaman musim hujan adalah hama Penggerek batang (Scirpophaga
innotata) dengan tingkat populasi 3,33-4,33 larva/10 rumpun, Wereng hijau (Nephotettix
virescens Distant) dengan kepadatan populasi 3,33 ekor/10 rumpun, dan Kepinding
tanah (Scotinophara coarctata), dengan kepadatan populasi 2,67 ekor/10 rumpun, serta
penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas campestris) dengan intensitas serangan 9,0 11,25%, sedangkan pada pertanaman padi di musim kering ditemukan Penggerek
batang (kepadatan populasi 2,37 – 3,33 ekor/10 rumpun), Wereng hijau (kepadatan
populasi 5,33 ekor/10 rumpun), dan penyakit Hawar daun bakteri (intensitas serangan
8,0 – 15,0%). Komposisi spesies predator Coccinella (Cirtorhinus sp), Laba-laba Lycosa,
Capung ditemukan di musim hujan dan musim kering. Pada musim kering ditemukan
juga Paedorus fuscifes. Produksi gabah kering panen di musim hujan dan di musim
kering masing-masing 6,39 dan 7,50 t/ha.
Kata kunci: Kelimpahan, hama, penyakit, padi
PENDAHULUAN
Sulawesi Selatan termasuk daerah penghasil utama padi di Indonesia
yang mempunyai lahan sawah seluas 576.964 ha dengan rata-rata produksi
sekitar 5,03 t/ha (Anonim, 2010). Produksi tersebut masih lebih rendah
dibanding produksi yang dicapai hasil penelitian Badan Litbang Pertanian sekitar
6,0-9,0 t/ha (Badan Litbang Pertanian, 2008). Adanya kesenjangan hasil tersebut
antara lain disebabkan oleh serangan hama dan penyakit pada varietas padi
yang mungkin telah patah sifat ketahanannya. Setiap varietas yang dilepas telah
diuji sifat ketahanannya terhadap hama dan penyakit tertentu. Apabila varietas
tersebut ditanam terus menerus makan sifat ketahanannya dapat terpatahkan
oleh hama da penyakit. Varietas memberamo tahan terhadap serangan wereng
coklat biotipe 1 dan 2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3, tahan hawar daun
1152
bakteri strain III dan agak tahan tungro dengan potensi hasil 7,5 t/ha
(Suprihatno, 2009). Sedangkan tingkat produktivitas rata-rata ditingkat petani
hanya berkisar 4 – 5,5 t/ha. Pencapaian tingkat produktivitas ini dipengaruhi
antara lain oleh serangan hama dan penyakit tanaman.
Dalam agroekosistem tanaman padi terdapat berbagai habitat serangga
fitofaga (hama) dan habitat serangga carnivora (musuh alami), serta habitat
fitopatogen. Serangga hama yang sering ditemukan pada pertanaman padi di
Sulawesi Selatan antara lain adalah penggerek batang, wereng coklat,
wereng hijau, walang sangit, lalat padi, kepinding tanah, dan ulat grayak.
Sedangkan jenis penyakit padi adalah hawar daun bakteri, blas, tungro,
bercak daun Cercospora, dan hawar pelepah.
Kelimpahan serangga fitofaga pada tanaman padi dipengaruhi oleh
kualitas nutrisi tanaman itu sendiri, seperti kandungan nitrogen jaringan dan
metabolit sekunder (Awmack dan Leather, 2002), serta aktivitas memangsa dan
memarasit dari musuh alaminya. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas,
maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui spesies hama dan
penyakit yang dominan pada pertanaman padi di musim hujan dan di musim
kering.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di lahan petani di Kelurahan Lamalaka, Kecamatan
Bantaeng, Kabupaten Bantaeng pada pertanaman musim hujan (MH) yaitu mulai
bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 dan pada pertanaman musim kering
(MK) yaitu April sampai September 2011. Pengamatan hama dan penyakit
dilakukan dalam petak pengamatan. Dalam satu hamparan pertanaman padi
Varietas Memberamo dipilih 3 petak pengamatan secara purposive yang luasnya
masing-masing 0,25 ha.
Dalam tiap petak pengamatan diambil 3 unit contoh pengamatan (a, b,
dan c) secara acak sistematik yang masing-masing terletak di garis diagonal
petak pengamatan (Gambar 1). Pada setiap unit contoh pengamatan diamati 10
rumpun tanaman padi yang ditentukan secara acak sistematik. Pengamatan
dimulai pada rumpun tanaman yang pertama ditentukan secara acak, kemudian
untuk pengamatan rumpun tanaman ke-2 sampai ke-10 ditentukan dengan
menggunakan masing-masing interval 5 langkah dari rumpun tanaman
sebelumnya.
1153
a
b
c
Gambar 1. Penyebaran unit contoh pengamatan dalam petak pengamatan.
Pengamatan populasi hama, intensitas serangan hama dan penyakit,
serta populasi musuh alami dilakukan setiap 10 hari yang dimulai pada umur
tanaman 10 hari setelah tanam (hst). Selain itu diamati pula hasil panen gabah
kering panen pada setiap petak pengamatan.
Perhitungan intensitas serangan hama penggerek batang dan tikus (yang
merusak tunas dan malai), dan walang sangit (gabah), dan penyakit blas dan
busuk leher (leher malai dan batang), tungro, kerdil rumput (rumpun), bercak
coklat (gabah), kerdil hampa (malai) yang menyebabkan kerusakan mutlak pada
tanaman menggunakan rumus:
dimana I = intensitas serangan (%), a = jumlah tanaman atau bagian tanaman
yang terserang, dan b = jumlah tanaman atau bagian tanaman yang tidak
terserang.
Perhitungan intensitas serangan hama seperti hama wereng batang
coklat (rumpun) dan walang sangit (malai), dan penyakit blas, bakteri hawar
daun, bakteri daun bergaris, bercak coklat, bercak daun coklat bergaris (daun),
dan bakteri hawar pelepah daun (pelepah daun) yang menyebabkan kerusakan
tidak mutlak pada tanaman menggunakan rumus:
I=
x 100%
dimana I = intensitas serangan (%), n = jumlah tanaman atau bagian tanaman
yang diamati dari tiap kategori serangan, v = nilai skala pada tiap kategori
serangan, Z = skala kategori serangan tertinggi, dan N = Jumlah tanaman atau
bagian tanaman yang diamati.
Nilai kategori serangan oleh hama dan penyakit menggunakan skala
kerusakan yaitu: skala 0 = tidak ada serangan (sehat), skala 1 = 0 - 25% luas
bagian tanaman yang rusak, skala 2 = >25 - 50% luas bagian tanaman yang
rusak, skala 3 = >50 - 75% luas bagian tanaman yang rusak, dan skala 4 =
>75 - 100% luas bagian tanaman yang rusak. Data-data yang dikumpulkan
dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif.
1154
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Hama dan Penyaki Tanaman
Variasi spesies hama dan penyakit tanaman pada pertanaman musim
hujan mirip dengan pertanaman musim kering. Spesies hama dan yang
menyerang di pertanaman musim hujan adalah hama Penggerek batang
(Scirpophaga innotata), Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant), dan
Kepinding tanah (Scotinophara coarctata), serta penyakit Hawar daun bakteri
(Xanthomonas campestris), sedangkan pada pertanaman padi di musim kering
ditemukan Penggerek batang, Wereng hijau, dan penyakit Hawar daun bakteri
(Tabel 1). Pada tabel tersebut tampak bahwa hama dan penyakit yang dominan
menyerang tanaman padi pada musim tanam hujan (MH) dan musim tanam
kering (MK) adalah hama pengerek batang dan penyakit hawar daun bakteri.
Tabel 1. Keragaan serangga hama dan penyakit tanaman padi pada pertanaman
musim hujan dan pertanaman musim kering.
Pertanaman pada Musim Hujan (MH)
Umur
(hst)
10
20
30
40
50
60
70
Jenis
Penggerek batang
Penggerek batang
Wereng hijau
Kepinding tanah
Penggerek batang
-
Populasi
Intensitas
serangan
...Ekor/10
rumpun...
%
3,33
3,67
3,33
2,67
4,33
-
7,50
10,00
9,00
-
Pertanaman pada Musim Kering (MK)
Jenis
Populasi
Intensitas
serangan
...Ekor/10
rumpun...
%
Penggerek batang
2,37
7,50
Penggerek batang
Wereng hijau
Penggerek batang
Hawar daun
bakteri
5,67
5,33
3,33
-
10,00
8,20
8,00
80
Hawar daun
bakteri
-
9,00
Hawar daun
bakteri
-
10,64
90
Hawar daun
bakteri
-
11,25
Hawar daun
bakteri
-
14,27
Hawar daun
bakteri
-
15,00
100
-
-
-
Hal ini menunjukkan bahwa hama dan penyakit tersebut diatas berpotensi
menyebabkan kerusakan tanaman padi baik di musim hujan maupun di musim
kering, sehingga dapat direncanakan strategi pengendaliannya secara preemptif
dan secara responsif.
Fonemena ini sesuai yang dilaporkan oleh Baco (1992) bahwa penggerek
batang padi putih merupakan spesies dominan dan termasuk hama terpenting
kedua sesudah hama tikus di Sulawesi Selatan. Di sektor Barat Sulawesi Selatan,
1155
penggerek batang lebih dominan pada fase vegetatif di musim kemarau, sedang
di sektor Timur lebih dominan di musim hujan (Baco, 1992; Baco et al., 1995;
Misnaheti et al., 2010). Namun demikian, terdapat perbedaan dominasi
penggerek batang dengan lokasi penelitian di Kabupaten Bantaeng. Serangan
penggerek batang di Kabupaten Bantaeng dominan terjadi pada fase vegetatif
tanaman di musim hujan dan di musim kemarau yang disebabkan karena wilayah
ini beriklim peralihan antara sektor barat dengan sektor timur.
Pada awal fase pertumbuhan vegetatif, tanaman padi telah mulai
terserang hama penggerek batang pada umur 20 hst di pertanaman musim
hujan dengan tingkat populasi 3,33 larva/10 rumpun dan intensitas serangan
7,50%. Sedangkan di pertanaman musin kering, penggerek batang mulai
ditemukan pada umur 30 hst dengan tingkat populasi 2,37 larva/10 rumpun dan
intensitas serangannya mencapai 7,50%. Serangan hama penggerek batang
berlangsung sampai umur 70 hst.
Kehadiran wereng hijau dan kepinding tanah hanya melakukan serangan
insedentil (hama kadang-kadang) dan bahkan wereng hijau ini tidak menularkan
virus tungro karena tidak ditemukan adanya gejala tungro pada tanaman padi.
Serangan penyakit hawar daun bakteri terjadi pada fase generatif
tanaman baik di musim hujan maupun di musim kering. Bahkan intensitas
serangan penyakit ini pada musim kering (8,0 - 15,0%) lebih tinggi dari musim
hujan (9,0 – 11,0%). Hal ini disebabkan pada musim kering di daerah ini
mempunyai kelembaban yang tinggi karena masih mendapat hujan peralihan
dari sektor timur dan lahan sawah yang selalu digenangi air karena khawatir
terjadi kekurangan air.
Komposisi Musuh Alami
Spesies predator yang ditemukan pada tanaman padi mulai umur 20
sampai 70 hst pada pertanaman musim hujan adalah Coccinella (Cirtorhinus sp),
Laba-laba Lycosa, Capung. Sedangkan di musim kering terdapat predator yang
sama pada musim hujan dan juga ditemukan Paedorus fuscifes. Tingkat populasi
gabungan dari predator yang bersifat polifag ini bervariasi antara 2,33 – 6,33
ekor/10 rumpun tanaman padi pada setiap pertambahan umur tanaman 10
harian (Tabel 2).
Tabel 2. Keragaan musuh alami pada pada pertanaman musim hujan dan
pertanaman musim kering.
Umur
tanaman
(hst)
10
20
30
40
50
1156
Pertanaman pada Musim Hujan (MH)
Jenis
Populasi
...Ekor/10 rumpun...
Laba-laba, Capung
4,33
Coccinella, Laba5,67
laba, Capung
Laba-laba
2,33
Pertanaman pada Musim Kering
(MK)
Jenis
Populasi
...Ekor/10 rumpun...
Coccinella, Laba2,67
laba, Capung
Laba-laba, Capung
6,33
-
Lanjutan…
Umur
tanaman
(hst)
60
70
Pertanaman pada Musim Hujan (MH)
Jenis
Populasi
...Ekor/10 rumpun...
Laba-laba, Capung
6,33
-
-
Pertanaman pada Musim Kering
(MK)
Jenis
Populasi
...Ekor/10 rumpun...
Coccinella, Laba-laba,
3,67
Paedorus
Laba-laba, capung
4,67
Hubungan antara populasi hama dengan populasi predatornya pada
pertanaman musim hujan dan musim kering menunjukkan pola regresi kuadratik
dengan koefisien determinasi masing-masing R2 = 0,94 dan R² = 0,92
(Gambar 1).
Pertanaman Musim Hujan
Pertanaman Musim Kering
Gambar 1. Hubungan antara populasi hama dan predator pada pertanaman padi
musim hujan dan musim kering.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi predator sangat
dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi hama. Peningkatan populasi hama akan
diikuti dengan peningkatan populasi predator sampai pada tingkat kelimpahan
populasi optimum, selanjutnya populasi hama dan predator menurun karena
terjadinya persaingan untuk memperoleh makanan didalam spesies predator
yang sama maupun dengan spesies predator lainnya. Keragaman dan komposisi
arthopoda seperti predator pada Tabel 2 ditentukan oleh banyak faktor, salah
satunya adalah ketersediaan nutrisi (Forkner dan Hunter, 2000). Matson (1980)
melaporkan bahwa kandungan nutrisi dalam serangga mangsa berpengaruh
terhadap pertumbuhan serangga predator yaitu merangsang bertambahnya
ketahanan tubuh, pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan hidupnya.
1157
Produksi Gabah
Pengamatan produksi padi menunjukkan bahwa produksi Gabah Kering
Panen (GKP) pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan (Tabel 3).
Hal ini disebabkan karena pada musim kering terjadi lama dan intensitas
penyinaran matahari yang lebih baik sehingga proses fotosintesis berlangsung
lebih optimal bila di bandingkan pertanaman padi di musim hujan.
Tabel 3. Produksi gabah kering panen di musim hujan dan di musim kering.
Produksi GKP
....t/ha...
6,39
6,50
Musim Tanam
Musim Hujan
Musim Kemarau
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Hama pengerek batang padi dan penyakit hawar daun bakteri yang dominan
menyerang pertanaman padi di musim hujan sama dengan di musim kering.
2. Komposisi spesies predator pada musim hujan dan musim kering adalah
Laba-laba Lycosa, Capung dan Coccinella (Cirtorhinus sp), tetapi pada musim
kering terdapat pula predator Paedorus fuscifes. Kelimpahan populasi
predator sangat dipengaruhi oleh kelimpahan populasi mangsanya dengan R2
= 0,94 di musim hujan dan R² = 0,92 di musim kering.
3. Produksi gabah kering panen di musim kering lebih tinggi daripada musim
hujan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada saudara Supardi dan Sadorra,
masing-masing sebagai teknisi pada BPTP Sulswesi Selatan atas partisipasinya
selama pelaksanaan kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Sulawesi Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Selatan.
Awmack, C. S. dan S. R. Leather. 2002. Host Plant Quality and Fecundity In
Herbivorous Insects. Annual Review of EntoMOLogy 47:817-44.
Baco D., M. Yasin, dan Surtikanti. 1995. Penggerek batang padi dan strategi
pengendaliannya di Sulawesi Selatan. Dalam Kinerja Pen. Tan. Pangan.
p: 528-540.
Baco, D. 1992. Komposisi spesies penggerek batang padi di Sulawesi Selatan.
Makalah disampaikan pada Kongres IV PEI Yogyakarta 26-30 Januari
1992: 8p.
1158
Badan Litbang Pertanian. 2008. Varietas unggul baru padi. Laporan Tahunan.
Forkner, R. R. E., and Hunter, M. D. 2000. What goes up must come down.
Nutrient addition and predation ressure on oak herbivores. Ecology 81:
1588-1600.
Matson, J.W. 1980. Herbivory in relation to plant nitrogen content. Annual
Review of Ecological System 11 : 119 – 161.
Misnaheti, Baco, D. dan Aisyah. 2010. Tren Perkembangan Penggerek Batang
Pada Tanaman Di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan
Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan,
27 Mei 2010
Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki S.E., I. N. Widiarta, A. Setyono,
S. Dewi Indrasari, Ooy S. Lesmana, dan H. Sembiring. 2009. Deskripsi
Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
1159
INVENTARISASI, IDENTIFIKASI, DAN TINGKAT SERANGAN HAMA
PENYAKIT TANAMAN SAYURAN DAN BUAH DALAM KEGIATAN M-KRPL
DI KABUPATEN LUWU SULAWESI SELATAN
Asriyanti Ilyas dan Sahardi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Sudiang, Makassar
Telp: 081354687497. E-mail: ilyas_m4@yahoo.com
ABSTRAK
Salah satu OPT penting pada tanaman tomat ialah kutu kebul, Bemisia tabaci Genn.
(Ordo Hemiptera: Famili Aleyrodidae), yang merupakan vektor penyakit virus kuning
Begomovirus (bean golden mosaic virus). Di Indonesia, beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa serangan begomovirus pada tanaman tomat di daerah Bogor dan
sekitarnya dapat mencapai kurang lebih 50 - 70%. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui jenis hama atau penyakit dengan tingkat serangan tertinggi dan mengetahui
intensitas gejala penyakit Virus Kuning pada tanaman tomat. Kegiatan dilaksanakan di
Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi
Selatan, mulai Januari hingga Desember 2012. Bahan-bahan yang digunakan yaitu
tanaman hortikultura yang terdiri dari 3 kelompok, yaitu Kelompok Buah 8 jenis tanaman
(tomat, cabe besar, cabe kecil, terong, paria, gambas, timun, dan pepaya), Kelompok
Daun 5 jenis tanaman (bayam, sawi, kangkung, seledri, dan daun bawang) dan
Kelompok Polong-Polongan 1 jenis tanaman (kacang panjang). Setiap jenis tanaman
terdiri dari 25 ulangan, sehingga total terdapat 350 unit pengamatan. Pengamatan jenis
hama dan penyakit, gejala serangan, dan tingkat serangan dilakukan secara visual pada
setiap tanaman pada umur empat minggu dan delapan minggu, dikumpulkan, dicatat,
didokumentasikan dalam bentuk foto, dan diidentifikasi. Pengamatan intensitas gejala
serangan penyakit virus kuning pada tanaman tomat dihitung menggunakan rumus
intensitas gejala virus (Green et al. 2005). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di
antara 14 jenis tanaman sayuran dan buah yang ditanam pada program M-KRPL di
Kabupaten Luwu, intensitas serangan tertinggi adalah penyakit Virus Kuning yang dibawa
oleh hamaB. tabaci pada tanaman tomat, dengan tingkat serangan 75 %.
Kata kunci: Tomat, Bemisia tabaci, Begomovirus, Virus Kuning
PENDAHULUAN
Tanaman hortikultura mendapat banyak gangguan hama dan penyakit.
Pada peningkatan budidaya tanaman hortikultura, masalah penyakit tumbuhan
akan semakin menonjol, baik pada tanaman yang tumbuh di lapang, maupun
pada hasil yang disimpan maupun diangkut. Perkembangbiakan hama penyakit
umumnya sangat bergantung pada kondisi iklim mikro (iklim sekitar), seperti
temperatur, kelembaban, intensitas cahaya, peredaran udara, dan faktor musuh
alami (Masmawati, 2007).
Tomat (Lycopersicum esculentum L.)merupakan salah satu komoditi
hortikultura sayuran unggulan di Indonesiakarena nilai ekonomi dan kandungan
gizinya(Hasanudin 2006).Permintaan tomat di beberapa negara terus meningkat
dari waktu kewaktu sejalan dengan meningkatnya rata-rata konsumsi tomat
1160
danmeningkatnya jumlah penduduk.Pada tahun 2004 luas pertanaman tomat
diIndonesia mencapai 52.719ha dengan produktivitas 118,9 ku/ha dan produksi
626.872 ton. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan produksi pada
tahun2003 yaitu sebesar 657.459 ton dan produktivitas 173,3 ku/ha, sedangkan
luaspertanaman tomat hanya 47.884 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Holtikultura 2005).
Tanaman tomat sebagai salah satu tanaman hortikultura, tidak luput dari
masalah hama dan penyakit. Salah satu OPT penting pada tanaman tomat ialah
kutu kebul, Bemisia tabaciGenn. (Ordo Hemiptera: Famili Aleyrodidae). Bemisia
tabaci dapat menimbulkan kerusakan secara langsung dan tidak langsung.Secara
tidak langsung, B. tabaci merupakan vektor penyakit virus kuning (Bellows et al.
1994; Setiawati et al. 2011). Setiawati et al. (2011) melaporkan bahwa
berdasarkan hasil wawancara degan petani tomat, kehilangan hasil akibat
serangan B. tabaci dan penyakit virus kuning berkisar antara 20 – 100 persen.
Begomovirus (bean golden mosaic virus) penyebab penyakit virus kuning
dilaporkan sebagai salah satu virus yang berperanmenyebabkan penurunan
produksi yang sangat besar di banyak daerah tropis dan subtropis. Di
Indonesia,beberapa
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
seranganbegomoviruspadatanaman tomat di daerah Bogor dan sekitarnyadapat
mencapai kurang lebih 50-70% (Sudionoet al.2004; Aidawati dan Hidayat, 2002).
Hasil penelitian Mehtaet al. (1994) dan Aidawati (2006) menunjukkan
bahwapersentaseseranganbegomovirusmeningkat dengan meningkatnya jumlah
serangga vektornya, yaitu B.tabaciatau di Indonesia dikenal dengan nama
kutukebul.
Luas panen tanaman tomat di Kabupaten Luwu pada tahun 2010 adalah
316 ha, dengan produksi mencapai 791 ton atau rata-rata 2,50 ton/ha (BPS
Provinsi Sulsel, 2011). Produksi tomat yang dihasilkan juga sangat dipengaruhi
oleh faktor iklim setempat. Adapun kondisi iklim di Kabupaten Luwu adalah
secara umum Kabupaten Luwu beriklim tropis basah, terbagi atas 2 musim yaitu
musim penghujan dan musim kemarau. Intensitas curah hujan termasuk
sedang.Curah hujan berkisar antara 2000 – 4000 mm/tahun. Suhu udara ratarata berkisar antara 30,60oC – 31,60oC pada musim kemarau dan antara 25 oC –
28oC pada musim penghujan (Portal Resmi Kabupaten Luwu, 2013).
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama atau penyakit
dengan tingkat serangan tertinggi dan mengetahui intensitas gejala penyakit
Virus Kuning pada tanaman tomat. Kegiatan dilaksanakan di Desa Salu Paremang
Selatan, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, mulai
Januari hingga Desember 2012.
METODOLOGI
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Salu Paremang Selatan, Kecamatan
Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, yang berada pada titik
koordinat 120o 36’ 59” Bujur Timur dan 3o 30’76” Lintang Selatan. Kegiatan ini
dilaksanakan mulai Januari hingga Desember 2012.
Bahan-bahan yang digunakan yaitu tanaman sayuran hortikultura yang
terdiri dari 3 kelompok tanaman sayuran hortikultura, yaitu Kelompok Buah 8
jenis tanaman (tomat, cabe besar, cabe kecil, terong, paria, gambas, timun, dan
1161
pepaya), Kelompok Daun 5 jenis tanaman (bayam, sawi, kangkung, seledri, dan
daun bawang) dan Kelompok Polong-Polongan 1 jenis tanaman (kacang
panjang). Setiap jenis tanaman terdiri dari 25 ulangan, sehingga total terdapat
350 unit pengamatan.
Pengamatan jenis hama dan penyakit, gejala serangan, dan tingkat
serangan dilakukan dengan pengamatan secara visual pada setiap tanaman pada
umur empat minggu dan delapan minggu, dikumpulkan, dicatat,
didokumentasikan dalam bentuk foto, dan diidentifikasi.
Pengamatan intensitas gejala serangan penyakit virus kuning pada
tanaman tomat dihitung menggunakan rumus intensitas gejala virus (Green et al.
2005):
Σ (n x v)
I=
x 100 %
NxV
Dimana: I = Intensitas gejala serangan
n = Jumlah tanaman yang termasuk ke dalam skala gejala tertentu
v = Nilai skala gejala tertentu
N = Jumlah tanaman yang diamati
V = Nilai skala keparahan yang diamati
Adapun skala keparahan gejala diklasifikasikan sebagai berikut:
0 = Tanaman sehat tidak menuinjukkan gejala serangan
1 = Tanaman menunjukkan gejala kuning dan mosaik ringan
2 = Tanaman bergejala kuning dan mosaik sedang
3 = Tanaman bergejala kuning dan mosaik berat
4 = Tanaman bergejala kuning, malformasi, tanaman kerdil
Kategori serangan OPT pada suatu areal pertanaman berdasarkan ketentuan
BIMAS dapat digolongkan sebagai berikut:
Ringan : < 15 %
Sedang :>15 %- 25 %
Berat : > 25 %- 50 %
Sangat Berat: 50%- 75 %
Puso : > 75 % (gagal)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Inventarisasi hama/penyakit pada tanan sayuran dan buah yang
ditanam pada kegiatan M-KRPL di Luwu tahun 2012 diketahui bahwa dari 14
tanaman sayur dan buah yang ditanam terdapat 9 jenis tanaman yang terserang
hama dan penyakit dan 5 jenis tanaman yang bebas. Tanaman yang terserang
penyakit yaitu: Tomat, Cabe besar Cabe Rawit/kecil, Terung, Paria, Kangkung,
Gambas, Kacang panjang dan Pepaya. Tingkat serangan berpariasi dari ringan
sampai berat.Secara rinci intensitas serangan hama/penyakit masing-masing
jenis tanaman seperti tersaji pada Tabel 1.Juga dapat 5 jenis tanaman bebas dari
serangan hama dan penyakit yaitu taman Sawi, Bayam, Daun Bawang, Seledri
dan Timun.
1162
Tabel 1. Hasil inventarisasi hama dan penyakit tanaman hortikultura pada
program M-KRPL di Dusun Toangkajang Desa Saluparemang Selatan
Kecamatan Kamanre Kabupaten Luwu Tahun 2012.
No
1.
Tanaman
Tomat
2.
Cabai
Besar
3.
Cabai
Kecil
4.
Terung
5.
6.
Sawi
Paria
7.
8.
Bayam
Kangkung
9.
Gambas
10.
11.
Seledri
Daun
bawang
Kacang
panjang
12.
13.
14.
Timun
Pepaya
Gejala Serangan
Hama/Penyakit
Daun mosaik kuning-hijau, kecilkecil dan keriting, buah sedikit
dan kecil.
Bercak daun coklat tua sampai
hitam dengan lingkaran sepusat
seperti papan sasaran
Bercak kuning pada daun dengan
batas kurang jelas. Bercak sisi
bawah daun berlapis beledu ungu
kehijauan.
Gejala mosaik dan berkerut pada
daun, tanaman kerdil, buah
sedikit dan kecil.
Gejala mosaik dan berkerut pada
daun, tanaman kerdil, buah
sedikit dan kecil.
Sisa-sisa epidermis daun bagian
atas, transparan dan tinggal
tulang-tulang daun saja.
Virus Kuning
oleh Vektor B.
tabaci.
Cendawan
Alternaria
Daun
mengkerut,
pucuk
mengeriting
dan
melingkar,
pertumbuhan tanaman terhambat
atau kerdil.
Sisa-sisa epidermis daun bagian
atas, transparan dan tinggal
tulang-tulang daun.
Bekas
gorokan
pada
daun
memanjang, berkelok-kelok dan
transparan.
Kutu daun berkelompok di bawah
permukaan daun, menghisap
cairan daun muda
(pucuk).
Eksudat yang dikeluarkan kutu
mendorong tumbuhnya cendawan
embun jelaga pada daun dan
menghambat proses fotosintesa.
Bintik-bintik kuning yang jelas
pada daun pepaya menyebabkan
daun menjadi belang.
Tgkt. Sera
ngan (%)
75
Kategori
10
Ringan
Cendawan
15
RinganSedang
Virus
kuning
oleh vector B.
20
Sedang
Virus
kuning
oleh vector B.
5
Ringan
Ulat
grayak
(Spodoptera
litura)
10
Ringan
Kutu
daun
(Aphis gossypii
Glover)
5
Ringan
Ulat
grayak
(Spodoptera
litura)
Hama
ulat
penggorok
daun
(Liriomyza sp.)
-
5
Ringan
48
Berat
-
-
Kutu Daun
5
Ringan
Bercak
cincin
(Papaya
ringspot virus)
3
Ringan
Fulvia fulva
tabaci
tabaci
Sangat
Berat
1163
Gejala penyakit dengan tingkat serangan tertinggi terjadi pada tanaman
tomat, yaitu sebesar 75 % dengan kategori serangan sangat berat, yang
meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Berdasarkan hasil
identifikasi gejala serangan, diperoleh data bahwa penyakit yang menyerang
adalah penyakit Virus Kuning yang ditularkan oleh vektor serangga Bemisia
tabaci Genn.Virus ditularkan oleh kutu putih atau kutu kebul (Bemisia tabaci)
secara persisten, yang berarti selama hidupnya virus terkandung di dalam tubuh
kutu tersebut.Virus tidak ditularkan lewat biji dan juga tidak ditularkan lewat
kontak langsung antar tanaman.
Setiawati et al. (2011) menyatakan bahwa insiden gejala dan serangan
penyakit virus kuning meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman
dan berkorelasi positif dengan populasi B. tabaci. Aidawati (2006) menyatakan
bahwa spesies dan keanekaragaman Begomovirus yang menginfeksi tanaman
tomat sangat tinggi dan penyebarannya di lapangan sangat ditentukan oleh
aktivitas serangga vektor kutukebul, B. tabaci.
Gejala serangan virus kuning pada tanaman tomat yang diamati
adalahpada daun terjadi bercak-bercak hijau muda atau kuning yang tidak
teratur.Bagian yang berwarna lebih muda tidak dapat berkembang secepat
bagian hijau yang biasa sehingga daun menjadi berkerut atau terpuntir, buahnya
sedikit dan kecil, dan tanaman menjadi kerdil.Hal ini sejalan dengan pernyataan
Aidawati (2011), bahwa pengamatan dilakukan berdasarkan pada gejala infeksi
Begomovirusyang berupa daun mengecil, menguning,cupping, keriting daun,
dantanaman menjadi kerdil.
Salah satu faktor penentu tingginya tingkat gejala serangan virus kuning
yang dibawa oleh B. tabaci adalah kondisi iklim lokal.Kabupaten Luwu beriklim
tropis basah, terbagi atas 2 musim yaitu musim penghujan dan musim
kemarau.Intensitas curah hujan termasuk sedang.Curah hujan berkisar antara
2000 – 4000 mm/tahun. Masmawati (2007) menyatakan bahwa faktor iklim
sangat berperan terhadap perkembangbiakan hama, diantaranya adalah
temperatur, kelembaban, kadar air, cahaya, dan aerasi. Beberapa faktor
laintingginya persentaseinfeksi begomoviruspada tanaman tomat mungkin
disebabkan sumber inokulum dan vektor penyakit tersebut selalu ada di areal
pertanaman. Menurut Nakhla dan Maxwell (1998)dalam Aidawati (2011),
beberapa faktor yang mendukung penyebaran penyakit yang disebabkan oleh
Begomovirusadalah populasi vektor yang tinggi, kultivar tomat yang rentan,
penanaman tomat yang secara terus menerus, migrasi vektor dari tanaman yang
ada didekatnya daninfeksi tomat dipersemaian yang tidak dilindungi.
Pemerintah telah menetapkan Pengendalian Hama Terpadu sebagai
kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman.Pasal 20 ayat 1,
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang
berdasar pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Dalam
pelaksanaannya, PHT merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat
(petani) dan pemerintah (pasal 20 ayat 2).
Pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah dengan menerapkan
Manajemen Kesehatan Tanaman, artinya tanaman harus dikelola agar selalu
tetap sehat, karena tanaman yang sehat akan lebih tahan terhadap infeksi virus.
Beberapa rekomendasi pengendalian yang ramah lingkungan disajikan pada
Tabel 2 sebagai berikut (Untung, 1993).
1164
Tabel 2. Beberapa rekomendasi pengendalian virus ramah lingkungan
No.
1.
2.
3.
Obyek
Tanah
Bibit
Pesemaian
4.
5.
Pestisida
Lingkungan sekitar
tanaman.
6.
Penanaman
Pengendalian
Pemupukan berimbang, pembalikan tanah.
Penggunaan bibit sehat
Pengerudungan dengan kain kasa; tempat pesemaian
jauh dari sumber penyakit.
Penggunaan pestisida nabati
Sanitasi lingkungan di sekitar pertanaman termasuk
menghilangkan gulma dan eradikasi tanaman sakit
sejak awal pertumbuhan
Mengatur waktu tanam agar tidak bersamaan dengan
tingginya populasi serangga penular, jarak tanam yang
tidak terlalu rapat, dan pergiliran tanaman dengan
tanaman yang bukan inang dari virus maupun
serangga.
KESIMPULAN
1. Terdapat 14 jenis tanaman yang diusahakan pada kegiatan M-KRPL di
Kabupaten Luwu, 9 diantaranya terserang hama/penyakit dengan intesitas
rendah sampai tinggi
2. Tanaman Tomat mendapat intensitas serangan penyakit tertinggi yaitu
penyakit Virus Kuning yang mencapai tingkat serangan 75%.
DAFTAR PUSTAKA
Aidawati, N. dan Hidayat S.H., 2002. Deteksi Dan Identifikasi
GeminivirusPadaTanaman Tomat Menggunakan TeknikPolimerase Chains
Reaction[makalah
khusus].
Bogor:Program
Pascasarjana,Institut
Pertanian Bogor.
Aidawati N, 2006. Keanekaragaman Begomovirus pada Tomat dan Serangga
Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae), serta
Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat terhadap Strain Begomovirus.
Repository of Bogor Agriculture University.http://repository.ipb.ac.id. (7
Juni 2013).
Bellows, JR. T.S, Perring T.M., Gill R.J., and Headrick DH. 1994. Description of
ASpecies ofBemisia(Homoptera: Aleyrodidae). Ann. EntoMOLogy Society
Am. 87: 195 – 206.
BPS
(Badan
Pusat
Statistik)
Provinsi
Sulawesi
http://www.bps.sulsel.go.id. (8 Juni 2013).
Selatan,
2011.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Holtikultura. 2005. Luas Panen, Rata-Rata Hasil
dan Produksi Tanaman Hortikultura di Indonesia. Jakarta: Departemen
Pertanian.http://database.deptan.go.id (8 Juni 2013).
Green, S.K., W.S. Tsai, S.L. Shih, Y.C. Huang, and L.M. Lee., 2005. Diversity of
Begomoviruses of Tomato and Weeds in Asia, InYeh Ku, Wang, and
Chang (Eds.) Proceeding of The International Seminar on Whitley
1165
Management and Control Strategy. Taichung, Taiwan. Oct. 3 – 8, 2005.
P. 19 – 66.
Hasanudin A. 2006. Inovasi Teknologi Unggulan Pertanian Mendukung
PrimaTani.Workshop Pemantapan Pelaksanaan Prima Tani 2006.Bogor, 510 Maret 2006.http://www.litbang.deptan.go.id/varietas. (7Juni 2013).
Masmawati, 2007.Infestasi Serangga Hama Pada Perbedaan Struktur Fisik dan
Komposisi Bahan Kimia.Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan
PEI dan PFI XVIII Komda Sulawesi Selatan.Hal. 54 – 63.
Mehta PJ, Wayman JA, Nakhla MK, Maxwell DP. 1994. Transmission of tomato
yellow leaf curl Gemini virusbyBemisia tabaci(Homoptera ;
Aleyrodidae).Journal Econ.EntoMOLogy.87: 1291-1297.
Portal Resmi Kabupaten Luwu, 2013.http://www.kabupaten_luwu.go.id.8 Juni
2013.
Sudiono, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2004. Penggunaan Teknik PCR
dan RFLP untuk Deteksi dan Analisis Virus Gemini pada Tanaman Tomat
yang Berasal dari Berbagai Daerah di Jawa Barat dan Lampung. Jurnal
Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika4(2): 89-93.
Setiawati, W., N. Gunaeni, Subhan, dan A. Muharram, 2011.Pengaruh
Pemupukan dan Tumpangsari Antara Tomat dan Kubis Terhadap
Popoulasi Bemisia tabaci dan Insiden Penyakit Virus Kuning pada
Tanaman Tomat. Jurnal Hortikultura. 21(2): 135-144.
Untung, K., 1993. Pengantar Pengelolaan Terpadu. Gadjah Mada University
Press. Jogjakarta.
1166
SURVEI INTENSITAS SERANGAN Fusarium oxysporum Schlecht f.sp.
cubense) PENYEBAB PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA BEBERAPA
VARIETAS PISANG (Musa spp.) DI KABUPATEN BONE,
SULAWESI SELATAN
Astiani Asady1 dan Idaryani2
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Bone
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
1
ABSTRAK
Salah satu kendala yang mengancam produksi pisang di dalam negeri adalah serangan
penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht
f.sp. cubense (E.F.Smith) Snyd dan Hans. (Foc).Cendawan ini merupakan patogen tulartanah yang paling ganas menyerang tanaman pisang di dunia, baik perkebunan pisang
tradisional maupun komersil. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui intensitas
serangan penyakit layu Fusarium pada beberapa sentra pertanaman pisang di Kabupaten
Bone; (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya intensitas
serangan penyakit layu Fusarium pada beberapa sentra pertanaman pisang di Kabupaten
Bone. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Desember 2009. Metode penelitian
adalah survei dan pengamatan lapangan untuk mengumpulkan data mengenai kondisi
pertanaman dan praktik budidaya yang dilakukan oleh petani serta mengitung intensitas
serangan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan tertinggi
pada jenis tanaman pisang kepok di Kecamatan Amali (66,67%), sedangkan intensitas
serangan terendah dari jenis tanaman pisang barangan di Kecamatan Ulaweng (3,33%).
Perbedaan intensitas serangan penyakit layu Fusarium diduga dipengaruhi oleh kondisi
pertanaman maupun praktek budidaya yang dilakukan oleh petani.
Kata kunci : Fusarium, pisang, Kabupaten Bone
PENDAHULUAN
Pisang (Musa spp.) adalah salah satu komoditas buah paling penting di
dunia dan dikonsumsi oleh penduduk dari 125 negara. Total produksi pisang
dunia setiap tahun mencapai 80 juta ton dengan nilai lebih dari US$ 8 milyar.
Kurang lebih 90% dari total produksi tersebut dikonsumsi dan diperdagangkan
secara lokal oleh masing-masing negara penghasilnya, serta 11% dari 80 juta
ton tersebut diperdagangkan secara ekspor (Nasir, 2007).
Di Indonesia luas lahan kebun pisang yang ada sampai pada tahun 2001
mencapai luasan 760.923 ha dengan produksi sebesar 4.300.422 ton. Sebaran
daerah produksi berada di hampir seluruh wilayah di Indonesia, dan daerah
sentra produksi yang tertinggi berada di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur
dan Jawa Tengah) yaitu sebesar 57%. Daerah lainnya berada di pulau Sumatera
(antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan
Lampung) sebesar 17 %, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 12%, dan Sulawesi
(Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara) sebesar 8%. Sampai tahun 2004 luas
panen pertanaman pisang di Indonesia mencapai 300.000 ha dengan produksi
sebesar 4.400.000 ton. Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi
pisang di Indonesia dengan potensi luas lahan sebesar 35.035 ha (Anonim,
1167
2005). Total dari produksi pisang yang dihasilkan Indonesia, kurang lebih 90%
digunakan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, sedangkan sisanya
ditujukan untuk memenuhi permintaan pisang luar negeri (Anonim, 2002).
Khusus di Kabupaten Bone, komoditas pisang memanfaatkan lahan seluas
7.783 ha dengan produksi sebesar 99.979 kuintal. Adapun wilayah
pengembangan komoditas pisang pada tahun 2006 di Kabupaten Bone adalah:
Kecamatan Lamuru, Ulaweng, Lappariaja, Amali, Tellu SiattingE dan Dua BoccoE
dengan jumlah petani sebanyak 617 kepala keluarga. Jangkauan wilayah
pemasaran untuk komoditas pisang adalah pasar lokal, antar kecamatan dan
antar desa dalam kabupaten. Beberapa jenis pisang yang banyak dibudidayakan
dan dikembangkan di Kabupaten Bone adalah pisang kepok, pisang barangan,
pisang susu, dan pisang raja.
Kendala utama yang kini dihadapi di beberapa sentra produksi pisang
dalam 10 tahun terakhir adalah serangan layu Fusarium yang mengakibatkan
kerusakan cukup luas dan sulit ditanggulangi.
Kemampuan untuk
mengendalikan layu pisang relatif masih terbatas, baik dari segi pengetahuan,
keterampilan, maupun kemampuan finansial. Apabila kita asumsikan bahwa
tanaman yang terserang tersebut akan rusak dan mengakibatkan kegagalan
panen, maka secara finansial/ perhitungan ekonomi, petani akan menderita
kerugian sebesar ± 18 milyar rupiah (estimasi harga pisang Rp. 10.000,- per
tandan) (Anonim, 2002).
Layu Fusarium atau penyakit layu Panama atau penyakit Panama yang
disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) adalah
salah satu penyakit utama pisang yang menghancurkan pertanaman pisang
bukan hanya di Indonesia, dan di beberapa negara penghasil pisang dunia
seperti India, Cina dan Philipina. Penyakit ini menyerang semua kultivar pisang
komersial di dunia. Menurut beberapa laporan, kerusakan pertanaman pisang di
Taiwan, Malaysia, Indonesia, Vietnam dan Cina disebabkan oleh ras 4. Penyakit
layu tersebut telah dilaporkan menyebar luas di benua Asia, Amerika (Latin) dan
Australia. Itulah sebabnya, layu Fusarium pada tanaman pisang yang sangat
merugikan secara ekonomis berada pada skala paling atas di antara kerugian
yang ditimbulkan oleh penyakit pisang berbahaya lainnya (Hermanto et al.,
2007).
Di Sulawesi Selatan, menurut laporan BPTPH (2005), berdasarkan data
historis selama kurun waktu 5 tahun (2000-2004), kumulatif jumlah rumpun
pisang yang terserang penyakit layu Fusarium mengalami fluktuasi dari tahun ke
tahun, namun jumlah kabupaten/kotamadya yang melaporkan keberadaan
penyakit tersebut mengalami peningkatan, dan pada tahun 2004 sudah 23
kabupaten (82%) dari 28 kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan sudah
melaporkan keberadaan penyakit layu di beberapa lokasi pertanaman pisang. Di
Kabupaten Bone sendiri, berdasarkan data dari Koordinator PHP Kabupaten
Bone, dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Bone, 16 kecamatan sudah
melaporkan keberadaan penyakit layu Fusarium dengan intensitas serangan yang
cukup tinggi bahkan sampai mengalami puso.
Tujuan Penelitian adalah mengetahui intensitas serangan penyakit layu
Fusarium dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya
intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada beberapa sentra pertanaman
pisang di Kabupaten Bone.
1168
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember 2009 di
Kecamatan Amali, Ulaweng, Tanete Riattang Barat, Barebbo, dan Tellusiattinge,
yang merupakan daerah sentra pertanaman pisang di Kabupaten Bone.
Metode
a. Penentuan Lokasi Survei dan Pengamatan
Penentuan lokasi survei dan pengamatan dilakukan berdasarkan pada
daerah endemik penyakit layu Fusarium pada sentra pertanaman pisang di
Kabupaten Bone (informasi dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten Bone). Dari tiap lokasi (hamparan) ditentukan satu plot wilayah
pengamatan (menggunakan teknik pengambilan sampel secara Purposive
Sampling). Dari plot tersebut dilakukan penghitungan intensitas serangan
penyakit (IP), serta pengambilan sampel tanaman pisang yang bergejala
penyakit layu Fusarium.
b. Penghitungan Intensitas Serangan Penyakit
Penentuan intensitas serangan dihitung dengan mengamati pertanaman
pisang yang bergejala penyakit layu Fusarium (rumpun) pada plot
pengamatan yang telah ditentukan, kemudian dihitung dengan menggunakan
rumus :
a
IP =
x 100 %
a + b
Keterangan :
IP
= intensitas serangan penyakit
a
= jumlah rumpun yang diamati yang bergejala layu Fusarium
b
= jumlah rumpun yang diamati
c. Survei dan Pengamatan di Lapangan
Survei dan pengamatan di lapangan dilakukan untuk mendapatkan data
primer dan data sekunder. Metode yang digunakan adalah observasi
langsung untuk mencatat hasil pengamatan terhadap kondisi fisik lapangan
(kondisi pertanaman dan praktik budidaya).
Juga digunakan teknik
wawancara langsung kepada petani pemilik/penggarap lahan maupun
informasi kunci lainnya (aparat desa, pengurus kelompoktani, PPL, PHP, dan
staf instansi terkait). Data sekunder juga dibutuhkan untuk kelengkapan
data yang akan diperoleh melalui penelusuran berbagai informasi dari
berbagai sumber yang relevan, berupa hasil studi terdahulu (jika ada),
maupun laporan yang terkait, serta data-data yang tersedia pada instansiinstansi terkait, seperti : curah hujan, kelembaban, suhu, kondisi lokasi
(topografi, jenis tanah, posisi lokasi, dan sebagainya).
1169
Analisa Data
Data hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabulasi. Selanjutnya
data-data tersebut dianalisis melalui tahapan penjabaran (deskriptif) dan
penjelasan (eksplanatori) terkait dengan intensitas serangan penyakit layu
Fusarium dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit (sistem
budidaya dan kondisi pertanaman).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Intensitas Serangan Layu Fusarium
Survei dan pengamatan dilakukan di 5 kecamatan di Kabupaten Bone,
yaitu Kecamatan Amali (Desa Wellulang), Kecamatan Ulaweng (Desa Jompi’e
dan Desa Pallawa Rukka), Kecamatan Tanete Riattang Barat (Kelurahan
Watang Palakka), Kecamatan Barebbo (Desa Congko), dan Kecamatan Tellu
Siattinge (Desa Patangnga), dengan 4 jenis tanaman pisang, yaitu pisang
kepok, pisang raja, pisang susu, dan pisang barangan. Hasil survei dan
pengamatan dilanjutkan dengan penghitungan intensitas serangan penyakit
(IP) sehingga diperoleh data seperti berikut ini :
Tabel 1. Intensitas serangan penyakit layu fusarium (IP) pada beberapa
jenis pisang di lokasi Survei dan Pengamatan
Kode Lokasi
A
B
C
D
E
F
G
Nama Lokasi (Kecamatan/Desa)
Kec.
Tellu
Siattinge/Desa
Patangnga
Kec. Amali / Desa Wellulang
Kec. T.R. Barat / Kel. Wt. Palakka
Kec. Ulaweng / Desa Jompi’e
Kec. Ulaweng / Desa Pallawa
Rukka
Kec. Amali / Desa Wellulang
Kec. Barebbo / Desa Congko
Jenis Pisang
Kepok
IP (%)
46,67
Kepok
Kepok
Barangan
Barangan
66,67
60
6,67
3,33
Susu
Raja
33,33
10
Hasil survei dan pengamatan yang dilakukan pada lokasi
pertanaman beberapa jenis pisang di Kabupaten Bone menunjukkan
adanya intensitas serangan penyakit layu Fusarium yang berbeda-beda
pada setiap lokasi survei tersebut (Tabel 1). Hal ini dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan yang juga berbeda dari tiap lokasi pengamatan.
Pada lokasi pengamatan B dan C menunjukkan IP yang cukup tinggi
(lebih dari 60%). Hal ini diduga disebabkan karena pada lokasi tersebut
ditanami jenis pisang kepok yang rentan terhadap penyakit layu Fusarium.
Selain itu juga didukung oleh faktor ekologi yang hampir sama pada kedua
lokasi tersebut yang sesuai dengan perkembangan pathogen dengan kondisi
lahan yang tidak terpelihara yang banyak ditumbuhi gulma, pertanaman yang
rapat dan tidak teratur, tanaman yang tidak terawat tanpa pemeliharaan
secara teratur, terutama dalam hal pemupukan dan pengendalian OPT. Juga
didukung dengan penggunaan bibit yang berasal dari kebun sendiri yang
kemungkinan besar sudah terinfeksi penyakit layu Fusarium.
1170
Ketiga lokasi pengamatan lainnya menunjukkan IP yang cukup rendah
(kurang dari 10%) meskipun kondisi pertanaman kurang bersih sampai
bersemak.
Hal ini diduga karena pada lokasi pengamatan D dan E
merupakan lokasi pertanaman yang masih baru sehingga perkembangan
penyakit belum meluas, juga dengan pengaturan jarak tanam yang cukup
baik.
Menurut Agrios (1996), epidemi suatu penyakit tumbuhan berkembang
akibat kombinasi antara tumbuhan inang yang rentan, patogen yang virulen,
dan kondisi lingkungan yang menguntungkan seperti suhu, kelembaban,
angin, cahaya, pH tanah, hara tanah dan berbagai faktor lingkungan lainnya.
Tingkat ketahanan tanaman sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya
intensitas serangan suatu penyakit. Suhardiman (2002) mengemukakan
bahwa pisang raja merupakan klon yang penyebarannya meluas dari
Malaysia, Indonesia, sampai Pasifik, dan resisten terhadap penyakit layu
Fusarium (panama).
Sedangkan menurut Sobir (2006), pisang kepok
merupakan salah satu jenis pisang yang rentan terhadap penyakit layu
Fusarium dan penyakit darah.
2. Kondisi Pertanaman Pisang
Hasil survei dan pengamatan di lapangan tentang kondisi pertanaman
pisang disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2. Kondisi lahan pertanaman pisang pada lokasi survei
Kode
Lokasi
Status tanaman
Pisang
A
Tan.
Sampingan
B
Tan.
Sampingan
Tan.
Sampingan
Tan.
Sampingan
E
Kondisi
lahan
Semi bersih
Kondisi Pertanaman
Topografi
Draenase
Datar
Tidak ada
Semak
Datar
Tidak ada
Semak
Datar
Tidak ada
Berumput
Datar
Tidak ada
Tan.
Sampingan
Bersih
Datar
Tidak ada
F
Tan.
Sampingan
Berumput
Datar
Tidak ada
G
Tan.
Sampingan
Semak
Datar
Tidak ada
C
D
Kerapatan
tanaman
Tidak rapat,
tidak
teratur
Rapat, tidak
teratur
Rapat, tidak
teratur
Agak rapat,
tidak
teratur
Tidak rapat,
tidak
teratur
Agak rapat,
tidak
teratur
Agak rapat,
tidak
teratur
Kondisi pertanaman yang rata-rata tidak terpelihara sehingga banyak
ditumbuhi gulma yang dapat menjadi sumber inokulum pada pertanaman
pisang berikutnya atau tanaman pisang lainnya. Diketahui bahwa banyak
gulma yang dapat terserang oleh penyakit layu Fusarium sehingga
1171
kemungkinan dapat menjadi sumber inokulum pada pertanaman pisang. Foc
dapat hidup pada akar rumput-rumputan dan gulma tanpa menyebabkan
tanaman tersebut menjadi layu. Sifat ini disebut sebagai host intermediate
(inang sementara). Menurut Gonsalves dan Ferreira (1993), inang sementara
Foc antara lain Paspalum fasciculatum, Panicum purpurascens, Ixophorus
unisetus, Asparagus spp., dan Commeli sp.
3. Praktek Budidaya
Hasil survei dan pengamatan praktek budidaya pertanaman pisang
pada beberapa lokasi pengamatan disajikan pada tabel berikut :
Tabel 3.
Kode
Lokasi
Hasil survei dan pengamatan praktek budidaya tanaman pisang
pada beberapa lokasi pengamatan
A
Pola
Tanam
Polikultur
B
Polikultur
C
Polikultur
D
Polikultur
Tan.
Lain
Kakao,
kelapa
Kakao,
kelapa
Kakao,
kelapa
Jagung
E
Polikultur
Jagung
F
Polikultur
Kakao
G
Polikultur
Kakao,
ubi jalar
Asal
Bibit
Kebun
sendiri
Kebun
sendiri
Kebun
sendiri
Luar
daerah
Luar
daerah
Kebun
sendiri
Kebun
sendiri
Praktek Budidaya
Pemupu
Penyia
kan
ngan
Tidak ada ada
Peng.
OPT
Tidak ada
Penjarang
an
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak
ada
Tidak
ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak
ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Hal yang sangat mempengaruhi perkembangan serta intensitas
serangan penyakit layu Fusarium pada lokasi survei dan pengamatan adalah
praktek budidaya petani.
Dimana pada umumnya hampir tidak ada
pemeliharaan, terutama penyiangan, pemupukan, dan pengendalian OPT.
Hal ini disebabkan karena tanaman pisang umumnya diusahakan sebagai
tanaman sampingan sehingga pemeliharaannya kurang diperhatikan.
Pemilihan bibit tanaman pisang yang akan ditanam juga sangat
menentukan perkembangan penyakit layu Fusarium pada beberapa lokasi
pengamatan. Hampir semua bibit yang digunakan pada pertanaman pisang
tersebut berasal dari lahan sendiri, atau dari daerah lain tanpa
memperhatikan kualitas bibit tersebut.
Bibit yang digunakan hanya
memperhatikan penampakan luarnya, tetapi tidak memperhatikan induk asal
bibit, apakah bebas penyakit atau tidak, terutama penyakit layu Fusarium
dan penyakit darah. Penampakan yang sehat secara visual, bukan berarti
bibit tersebut bebas dari kedua jenis penyakit tersebut.
Faktor kerapatan tanaman juga sangat mempengaruhi intensitas
serangan penyakit. Diketahui bahwa penyakit layu Fusarium merupakan
pathogen tular tanah, dimana salah satu cara perpindahan patogen dari
tanaman sakit ke tanaman lain yang sehat adalah akibat persentuhan akar
1172
antara tanaman didalam tanah akibat jarak antar rumpun yang tidak teratur
dan terlalu rapat. Pada lokasi pengamatan menunjukkan jarak antar rumpun
yang sangat rapat dan tidak teratur sehingga sangat membantu
perkembangan penyakit. Menurut Nasir (2007), jarak tanam untuk tanaman
pisang yaitu 3 m x 3 m sehingga dalam satu hektar dapat ditanami 1.111
batang tanaman pisang. Selanjutnya Nasir (2002) menyatakan bahwa dalam
kebun, sebaran penyakit antara lain akan terjadi karena sentuhan sesama
akar dalam tanah. Sebaran ini akan meluas secara radial, dengan tanaman
sakit berada di pusat lingkarannya. Sebaran ini akan semakin cepat bila
tanah miskin dan kondisi tanaman lemah. Sedangkan menurut Sinaga
(2002), penularan tanaman terjadi melalui akar lateral yang berkembang dari
bagian akar yang dewasa. Infeksi terjadi melalui luka segar dari akar utama.
Anakan bisa terinfeksi melalui akar induknya. Sekali patogen berada dalam
xylem akar, dia akan berkolonisasi pada xylem dan mencapai parenkim.
Pengamatan dilakukan pada awal musim kemarau. Kondisi demikian
sangat mempengaruhi perkembangan penyakit layu Fusarium sehingga
gejala penyakit lebih nampak. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh
keberadaan mikroorganisme non patogen didalam tanah sekitar perakaran
tanaman (rizosfer) menjadi lebih berkurang karena beberapa diantaranya
tidak dapat bertahan pada kondisi panas akibat kemarau.
Pada lokasi pengamatan A, meskipun ditanami dengan jenis pisang
yang sama, yaitu pisang kepok, tetapi menunjukkan IP (lebih dari 40%) yang
lebih rendah dibanding dengan lokasi pengamatan B dan C. Begitu juga
dengan lokasi pengamatan F (lebih dari 30%) yang memiliki IP lebih rendah,
meskipun ditanami dengan jenis pisang yang berbeda yaitu pisang susu,
tetapi jenis pisang ini juga cukup rentan terhadap penyakit layu Fusarium.
Hal ini diduga karena kondisi pertanaman yang cukup bersih, juga
pertanaman yang tidak terlalu rapat.
Ketiga lokasi pengamatan lainnya menunjukkan IP yang cukup rendah
(kurang dari 10%) meskipun kondisi pertanaman kurang bersih sampai
bersemak.
Hal ini diduga karena pada lokasi pengamatan D dan E
merupakan lokasi pertanaman yang masih baru sehingga perkembangan
penyakit belum meluas, juga dengan pengaturan jarak tanam yang cukup
baik.
Dari hasil pengamatan pada beberapa lokasi tersebut menunjukkan
bahwa perkembangan penyakit layu Fusarium selain dipengaruhi oleh
tanaman yang rentan serta faktor lingkungan yang mendukung, juga sangat
dipengaruhi oleh kondisi pertanaman dan praktik budidaya yang dilakukan
oleh petani, terutama dalam hal pemeliharaan tanaman dan penggunaan
bibit.
1173
Gambar 1.
Pertanaman Pisang Susu di Kecamatan Amali dan Pisang Raja di
Kecamatan Barebbo
Gambar 2.
Pertanaman Pisang Barangan di Kecamatan Ulaweng dan Pisang
Kepok di Kecamatan Tellusiattinge
Usaha pengendalian yang telah dilakukan sampai saat ini adalah dengan
membongkar dan memusnahkan tanaman yang terserang, kemudian lahan
dibebaskan dari tanaman pisang selama tiga tahun, namun cara ini sangat
merugikan. Pengendalian dengan kimia juga telah diuji. Hasil penelitian Nasir,
Jumjunidang, dan Harlion (1992) dalam Karsinah et al. (1999) menunjukkan
pemberian fungisida Benomyl dan Mencozeb melalui tanah yang dikombinasikan
dengan pengapuran dan pemupukan sebelum tanam, tidak dapat mengendalikan
penyakit layu Fusarium.
Pengendalian dengan penanaman varietas resisten terhadap penyakit
layu Fusarium merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dianjurkan,
namun belum diperoleh kultivar yang tahan terhadap penyakit ini (Karsinah et
al.,1999). Usaha pengendalian preventif dapat dilakukan dengan perbaikan
drainase, sanitasi lahan, penanaman varietas resisten, dan desinfeksi terhadap
bibit (Suhardiman, 2002).
Menurut Sinaga (2002) dalam Riyadi (2007), strategi pengendalian yang
paling memungkinkan untuk mengatasi masalah layu Fusarium adalah melalui
pendekatan berbasis ekologi dengan pengendalian hayati secara langsung atau
tidak langsung. Selanjutnya dikatakan bahwa, tiga pendekatan umum dalam
pengendalian hayati patogen tanaman yaitu : mengendalikan populasi inokulum
patogen, melakukan proteksi terhadap infeksi, dan melakukan proteksi silang
atau induksi resisten. Metode pengendalian yang dapat dilakukan untuk penyakit
yang sistemik dan monosiklik terutama dengan menekan inokulasi awal, misalnya
dengan penggunaan bibit sehat, karantina, dan menggunakan tanaman tahan.
1174
Cara pengendalian lain yang mungkin diupayakan adalah dengan
mengendalikan nematoda penyebab luka, atau dengan pengendalian hayati
melalui agens antagonis atau modifikasi lingkungan untuk mengaktifkan agens
antagonis yang ada. Penelitian in vitro menunjukkan kemungkinan penggunaan
agens antagonis (Gliocladium sp., Trichoderma sp., Chaetomium sp., dan
Pseudomonas sp.). Hal ini menjanjikan karena agens antagonis yang dianjurkan
ini dapat bersifat hiperparasit, berkompetisi, lisis, dan antibiosis terhadap Foc
(Susana dan Sinaga, 2000 dalam Riyadi, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil survei dan pengamatan pada 5 kecamatan sentra tanaman
pisang di Kabupaten Bone menunjukkan intensitas serangan penyakit
layu Fusarium yang berbeda, dimana intensitas serangan tertinggi
pada jenis tanaman pisang kepok di Kecamatan Amali (66,67%),
sedangkan intensitas serangan terendah dari jenis tanaman pisang
barangan di Kecamatan Ulaweng (3,33%)
2. Perbedaan intensitas serangan penyakit layu Fusarium diduga
dipengaruhi oleh kondisi pertanaman maupun praktek budidaya yang
dilakukan oleh petani
Saran
Teknologi sistem budidaya tanaman pisang yang lebih baik perlu diberikan untuk
menunjang program pengendalian penyakit layu Fusarium khususnya di
Kabupaten Bone.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Plant Pathology. Penerjemah : Munzir Busnia dalam Ilmu
Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 713 Hal
Anonim, 2002. Apresiasi Penerapan Pengolahan Tanaman Terpadu / Teknologi
Maju Pisang. Download dari www.google.com pada tanggal 10 Maret
2011.
Anonim, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Pisang. Download
dari www.litbangdeptan.go.id. Pada tanggal 20 Mei 2010.
Anonim, 2007. Efektivitas Formulasi Bacillus Subtilis dan Pseudomas Fluorescens.
Download dari www.hdl.handle.net.123456789.13949. Pada tanggal 07
Desember 2010.
BPTPH Prop. Sulawesi Selatan. 2005. Laporan Tahunan BPTPH Prop. Sulawesi
Selatan 2004.
Gonsalves A.K., dan Stephen K. Ferreira, 1993.
Fusarium oxysporum.
Department of Plant Pathology, CTAHR. University of Hawaii at Manoa.
1175
Hermanto C, Sutanto A, Jumjunidang, Edison HS, Danniels JW, O’Neil W, Sinohin
VG, MOLina AB, dan Taylor AB., 2007. Incidence and Distribution of
Fusarium Wild Disease in India, in Van Den Bergh Proceeding
International ISHS. Promusa Synposium on Global Perspektive on Asian
Challenges. ISHS Act Hortikulture. 829 p
Karsinah, Widaranti, A.W. Djajati, L. Sulistyowati, 1999. Patogenetas Beberapa
Isolad Jamur Fusarium Oxysporum f.sp cubense pada beberapa Varietas
Tanaman Pisang. Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI. Mataram
27-29 September 1999.
Nasir, 2002. Strategi Jangka Pendek Menahan Laju Perluasan Serangan Penyakit
Layu Pisang. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Pengembangan Penyakit Layu Pisang di Padang.
Nasir, 2007. Karakterisasi Ras Fusarium Oxysporum f.sp. cubense dengan
Metode Vegetative Compatibility Group Test dan Identifikasi Kultivar
Pisang yang Terserang. Jurnal Hortikultura. Volume 13, nomor 4,
halaman 267-284.
Ryadi, 2007. Pola Sebaran dan Perkembangan Penyakit Layu Fusarium pada
Pisang Tanduk, Rajasere, Kepok, dan Barangan. J. Hort. 12(1) : 64-70
Sinaga M. S., 2002. Biokontrol sebagai Salah Satu Penyakit Secara Terpadu.
Bogor. Makalah disampaikan dalam Seminar Perhimpunan Mikrobiologi
Indonesia Cabang Bogor. Faperta-IPB.
Sobir, 2006. Teknik Pengujian In Vitro Ketahanan Pisang terhadap Penyakit Layu
Fusarium menggunakan Filtrate Toksin di Kultur Fusarium oxysporum
f.sp. cubense. Jurnal Hortikultura 15(2). P : 135-139.
Suhardiman, 2002. Kultivar Pisang Komersial yang Diserang oleh Fusarium
oxysporum f.sp. cubense Ras 4 di Sumatera dan Jawa Barat. Makalah
dalam Kongres Nasional XVII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan
Fitopatologi Indonesia. Bandung, 6-8 Agustus 2002.
1176
PENGARUH KONSENTRASI DAN INTERVAL WAKTU PEMBERIAN
LARUTAN HARA HYPONEX TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI PAPRIKA (Capsicum annum var. grossum)
1
2
Herman1 dan Andi Satna2
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan. Berlangsung mulai Januari sampai April 2010. Tujuan penelitian ialah
untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan hara dan interval waktu pemberian
pupuk Hyponex terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman paprika. Penelitian ini
dilakukan dalam bentuk percobaan faktorial dua faktor yang disusun menurut Rancangan
Acak Kelompok (RAK). Faktor pertama adalah Konsentrasi larutan hara Hyponex (K)
terdiri dari 1 g/ liter air, 2 g/ liter air dan 3 g/ liter air, sedangkan faktor kedua adalah
Interval waktu pemberian larutan hara (I) yang terdiri dari interval 5 hari, interval 10
hari dan interval 15 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk
hiponex 2 g/liter air memberikan hasil terbaik pada tinggi tanaman (18,74 cm), jumlah
daun (59,56 helai), jumlah cabang vegetatif (6,06), jumlah cabang generatif (3,39),
waktu berbunga (67,08 hari), jumlah buah per tanaman (3,67 buah), berat per 10 buah
tanaman (705,33 g), persentase buah jadi (35,53%), berat buah per hektar (82, 98 kg).
Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari memberikan hasil terbaik pada tinggi
tanaman (21,23 cm), jumlah daun (63,17 helai), jumlah cabang vegetatif (6,83), jumlah
cabang generatif (3,56), waktu berbunga (63,75 hari), jumlah buah per tanaman (5,00
buah), berat per 10 buah tanaman (754,26 g), persentase buah jadi (40,33%), berat
buah per hektar (88,74 kg).Tidak terdapat interaksi antara konsentrasi pupuk dengan
interval pemberian pupuk Hyponex.
Kata kunci : Paprika, pupuk Hyponex, konsentrasi, interval.
PENDAHULUAN
Paprika (Capsicum annum var. grossum) merupakan jenis cabai yang
bentuknya sedikit berbeda dan buahnya besar. Paprika masih digolongkan ke
dalam jenis cabai Eropa (Sweet pepper) yang berasal dari Amerika yang dikenal
sejak masa Colombus. Perkembangannya menyebar ke Eropa dan ditanam
secara komersial dilakukan sesudah perang dunia II. Di Indonesia benihnya
masih didatangkan dari Taiwan dan Jepang (Setiadi, 2005).
Tanaman paprika merupakan salah satu jenis atau spesies dari tanaman
cabai, dimana sebagian besar masyarakat di dunia hampir dapat dipastikan telah
mengenal cabai. Paprika merupakan jenis cabai yang rasanya manis dan kurang
pedas yang lazimnya disebut sweet pepper (Pracaya, 2005). Cabai paprika
merupakan salah satu komoditi sayuran yang mempunyai nilai gizi cukup tinggi.
Saat ini belum menjadi kebutuhan rutin sehari-hari seperti halnya cabai merah.
Konsumennya terbatas pada hotel, restoran, pasar swalayan dan juga
perusahaan-perusahaan catering, meski demikian paprika masih merupakan jenis
tanaman yang dicari dan mempunyai peluang pasar yang bagus.
1177
Menurut Harjono (1995), kandungan gizi paprika perseratus gram buah
hijau segar terdiri atas : 0,9 g protein; 0,3 g lemak; 4,4 karbohidrat; 7,0 mg
kalsium; 23,0 mg fosfor; 0,4 mg besi; 540 SI vitamin A; 22,0 mg vitamin B1;
0,02 mg vitamin B2; 160 mg vitamin C.
Paprika seperti halnya jenis cabai lainnya digunakan untuk berbagai
keperluan. Jenis cabai besar ini tergolong masih asing di Indonesia dan dapat
dipastikan bahwa masyarakat mengetahui seluk beluk tanaman ini masih
termasuk cara budidayanya memerlukan perhatian intensif.
Untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang baik, perlu
adanya keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan tanaman akan unsur
hara. Pemupukan yang cukup seimbang salah satu usaha yang diharapkan dapat
menunjang pertumbuhan vegetatif dan generative, (Lingga dan Marsono, 2004).
Tanaman secara umum membutuhkan hara dalam jumlah yang cukup dan
seimbang untuk tumbuh normal. Pemupukan merupakan salah satu usaha yang
dimaksudkan untuk mensuplai unsur hara sehingga tetap tersedia bagi
pertumbuhan tanaman. Dengan pemupukan kadar hara dalam tanah dapat
ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan hara tanaman, sehingga tanaman dapat
tumbuh baik dan berproduksi tinggi Ada beberapa jenis larutan hara yang biasa
digunakan dan telah dikembangkan yaitu berupa pupuk majemuk yang
mengandung unsur hara makro maupun mikro, beberapa contoh nutrient jadi
antara lain megaflor, hyponex, vitablom, Gandasil, dan supergrow (Prihmantoro
dan Indriani, 1996).
Pemupukan secara tepat dan teratur merupakan salah satu tindakan untuk
memperoleh pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Oleh karena itu pemberian
pupuk dapat menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang.
Respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan meningkat bila menggunakan
jenis pupuk, dosis, waktu dan cara pemberian yang tepat (Sosrosoedirdjo, Rifai,
Iskandar, 1990).
Hyponex (20 – 20 – 20) mengandung unsur-unsur N 20%, P 20% dan
K 20%, Unsur lainnya yaitu B, Fe, Zn, Ca, Co, Cu, Mg,Mn, Mo, dan S
(Setyamidjaja, 1986).
Pemberian unsur hara harus sesuai dengan jumlah dan interval waktu
pemberian hara yang tepat. Pemberian unsur hara yang tepat dapat
mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produksi. Berdasarkan uraian
yang telah dikemukakan maka dilakukan percobaan mengenai pengaruh
konsentrasi dan interval waktu pemberian larutan hara hyponex terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman paprika (Capsicum annum var. grossum).
1178
METODOLOGI
Penelitian ini di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan berlangsung mulai Januari sampai April 2010. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah benih Paprika, Hyponex, air, tanah, pupuk
kandang dan fungisida Dithane M-45, sedangkan alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah polybag ukuran 17 × 25 cm, hand sprayer, label, gembor,
tali, mistar, gunting, dan alat tulis menulis. Dilaksanakan dalam bentuk
percobaan faktorial dua faktor yang disusun menurut Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Faktor pertama adalah konsentrasi larutan hara Hyponex (K) dan faktor
kedua adalah Interval waktu pemberian larutan hara (I). Perlakuan terdiri dari :
1. Konsentrasi Hyponex (K)
K1 = 1 g/l air
K2 = 2 g/l air
K3 = 3 g/l air
2. Interval waktu pemberian (I)
I1 = interval 5 hari
I2 = interval 10 hari
I3 = interval 15 hari
Kombinasi perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut :
K1I2
K2I1
K3I1
K1I2
K2I2
K3I2
K1I3
K2I3
K3I3
Setiap perlakuan diulang tiga kali dalam kelompok dan setiap ulangan
terdiri dari dua unit, sehingga keseluruhan terdapat 54 tanaman.
Pembuatan Persemaian
Tanaman paprika diperbanyak dengan benih. Benih yang digunakan adalah
benih unggul yang telah diperjualbelikan dipasaran. Sebelum benih disemai,
terlebih dahulu benih direndam dalam air selama 30 menit, agar perkecambahan
benih lebih cepat. Benih disemaikan dalam wadah persemaian dengan media
yang terdiri atas tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan volume
1 : 1 : 1.
Persiapan Pembibitan
Bibit yang digunakan berasal dari benih yang telah disemaikan. Dua
minggu setelah penebaran, benih sudah tumbuh. Bibit tersebut dipilih
berdasarkan keragaman tumbuhnya, antara lain berbatang tegak dan kuat serta
terhindar dari serangan hama dan penyakit. Setelah berumur kurang lebih tiga
minggu dipersemaian dan telah berdaun 3 – 4 helai, selanjutnya tanaman muda
tersebut dipindahkan pada polybag.
Penanaman
Media yang digunakan terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan 1 : 1. Sebelum melakukan penanaman, bibit yang akan
digunakan diseleksi terlebih dahulu yang mana baik tumbunya akan dipindahkan
ke tempat penanaman atau polybag Bibit yang dipilih kemudian dipindahkan
kedalam wadah yang telah disiapkan dan setiap wadah ditanami satu bibit.
1179
Sebelum diberikan perlakuan tanaman dibiarkan beradaptasi selama
seminggu dan selama ini tanaman hanya disiram dengan air. Setelah proses
adaptasi maka pemberian hyponex sesuai perlakuan dilaksanakan.
Pemberian Hara
Setelah tanaman berumur tujuh hari, aplikasi pemberian larutan hara
dilakukan. Pemberian Hyponex dilakukan dengan interval waktu lima hari,
sepuluh hari dan lima belas hari. Dengan cara menyemprot permukaan tanaman
serta permukaan media tumbuh dengan konsentrasi sesuai perlakuan yaitu 1
g/liter air, 2 g/liter air dan 3 g/liter air.
Pemeliharaan
Penyiraman dengan air dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore setiap
hari pada awal pertumbuhan, untuk mencuci sisa-sisa garam-garam mineral yang
mengendap pada media. Penyiangan dilakukan jika ada gulma yang tumbuh.
Untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman paprika digunakan
pestisida.
Panen
Panen paprika dilakukan dengan memetik buah yang masih hijau tetapi
telah berukuran maksimal. Kriteria buah yang siap panen adalah buahnya yang
berukuran besar, saat memetik buah paprika dilakukan secara hati-hati dengan
menggunakan pisau yang tajam agar tangkai buah tidak rusak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran
1a dan 1b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan
interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan
interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman
paprika
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman (cm) paprika
Konsentrasi
Hyponex
1g/liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1)
10 hari (i2)
15 hari (i3)
12,10
17,00
Rata-rata
NP BNT0,05
13,73
14,28c
1,89
a
2g/liter air (k2)
14,67
25,49
16,07
18,74
3g/liter air (k3)
13,13
21,20
15,27
16,53b
21,23a
15,02b
Rata-rata
13,30b
NP BNT0,05
1,89
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
1180
Tabel 1 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter (k2)
menghasilkan rata-rata tanaman tertinggi (18,74 cm) dan berbeda nyata
dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan 3 g liter air (k3).
Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata tanaman tertinggi (21,23 cm) dan berbeda nyata dibandingkan dengan
interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
Jumlah Daun
Jumlah daun tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran
2a dan 2b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval
pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun tanaman paprika.
Tabel 2. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman paprika
Konsentrasi
Hyponex
1g/ liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1) 10 hari (i2)
15 hari (i3)
52,33
61,83
Rata-rata
NP BNT0,05
55,83
56,67c
1,18
a
2g/liter air (k2)
54,17
65,17
59,33
59,56
3g/liter air (k3)
52,83
62,50
59,17
58,17b
53,11c
63,17a
58,11b
Rata-rata
NP BNT0,05
1,18
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata jumlah daun tanaman terbanyak (59,56 helai) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan 3 g/liter air
(k3).
Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata jumlah daun tanaman terbanyak (63,17 helai) dan berbeda nyata
dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
Jumlah Cabang Vegetatif
Jumlah cabang vegetatif tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel
Lampiran 3a dan 3b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan
interval pemupukan Hyponex sangat berpengaruh nyata, sedangkan interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang vegetatif tanaman
paprika.
1181
Tabel 3. Rata-rata jumlah cabang vegetatif tanaman paprika
Konsentrasi
Hyponex
1g/liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1)
10 hari (i2)
15 hari (i3)
3,17
5,67
Rata-rata
NP BNT0,05
4,67
4,50c
0,42
a
2g/liter air (k2)
4,33
7,83
6,00
6,06
3g/ liter air (k3)
3,33
7,00
5,67
5,33b
Rata-rata
3,61c
6,83a
5,44b
NP BNT0,05
0,42
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata jumlah cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,06) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan 3 g/liter air
(k3).
Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata jumlah cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,83) dan berbeda nyata
dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
Jumlah Cabang Generatif
Jumlah cabang generatif tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel
Lampiran 4a dan 4b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan
interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi
keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah cabang generatif tanaman
paprika.
Tabel 4. Rata-rata jumlah cabang generatif tanaman paprika
Konsentrasi
Hyponex
1g/liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1)
10 hari (i2)
15 hari (i3)
2,00
2,67
Rata-rata
NP BNT0,05
2,67
2,44b
0,55
a
2g/ liter air (k2)
2,33
4,67
3,17
3,39
3g/liter air (k3)
2,33
3,33
2,67
2,78b
Rata-rata
2,22c
3,56a
2,83b
NP BNT0,05
0,55
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata jumlah cabang generatif tanaman terbanyak (3,39) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/ liter air (k1) dan 3 g/liter
air (k3).
Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata jumlah cabang generatif tanaman terbanyak (3,56) dan berbeda nyata
dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
1182
Waktu Berbunga
Waktu berbunga tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel
Lampiran 5a dan 5b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan
interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi
keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap waktu berbunga tanaman paprika.
Tabel 5. Rata-rata waktu berbunga (hari) tanaman paprika
Konsentrasi
Hyponex
1g/liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1)
10 hari (i2)
15 hari (i3)
78,73
67,00
Rata-rata
NP BNT0,05
71,83
72,52b
3,09
a
2 g/liter air (k2)
74,33
59,00
67,92
67,08
3 g/ liter air (k3)
74,50
65,25
70,17
69,97ab
Rata-rata
75,85a
63,75b
69,97c
NP BNT0,05
3,09
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata waktu berbunga tanaman tercepat (67,08 hari) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak
berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/ liter air (k3).
Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata waktu berbunga tanaman tercepat (63,75 hari) dan berbeda nyata
dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
Jumlah Buah
Jumlah buah per tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel
Lampiran 6a dan 6b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan
interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi
keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah buah pertanaman.
Tabel 6. Rata-rata jumlah buah per tanaman paprika
Konsentrasi
Hyponex
1g/liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1)
10 hari (i2)
15 hari (i3)
1,67
4,33
Rata-rata
NP BNT0,05
2,67
2,89c
0,53
a
2 g/liter air (k2)
2,33
5,33
3,33
3,67
3 g/liter air (k3)
2,50
5,33
5,00
4,28b
Rata-rata
2,17a
5,00b
3,67c
NP BNT0,05
0,53
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 6 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata jumlah buah per tanaman terbanyak (3,67 buah) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1) dan konsentrasi
3 g/liter air (k3). Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2)
1183
menghasilkan rata-rata jumlah buah per tanaman terbanyak (5,00 buah) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
Berat Per 10 Buah
Berat per 10 buah dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 7a
dan 7b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval
pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata terhadap berat per 10 buah tanaman.
Tabel 7. Rata-rata berat per 10 buah (g) tanaman paprika
Konsentrasi
Hyponex
1 g/liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1)
10 hari (i2)
15 hari (i3)
548,10
711,67
Rata-rata
NP BNT0,05
605,43
621,73b
47,33
a
2 g/liter air (k2)
637,67
808,33
670,00
705,33
3 g/liter air (k3)
621,30
742,77
633,33
665,80ab
Rata-rata
602,36b
754,26a
636,26b
NP BNT0,05
47,33
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 7 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata berat per 10 buah tanaman terberat (705,33 g) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak
berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/ liter air (k3).
Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata berat per 10 buah tanaman terberat (754,26 g) dan berbeda nyata
dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2)Persentase Buah Jadi
Persentase buah jadi tanaman dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel
Lampiran 8a dan 8b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan
interval pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi
keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap persentase buah jadi tanaman.
Tabel 8. Rata-rata persentase buah jadi (%) tanaman paprika
Konsentrasi
Hyponex
1 g/liter air (k1)
Interval Pemupukan
5 hari (i1)
10 hari (i2)
15 hari (i3)
19,83
36,17
Rata-rata
NP BNT0,05
25,50
27,17b
4,65
a
2 g/liter air (k2)
28,77
45,83
32,00
35,53
3 g/liter air (k3)
27,08
39,00
28,33
31,47ab
Rata-rata
25,23b
40,33a
28,61b
NP BNT0,05
4,65
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 8 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata persentase buah jadi tanaman tertinggi (35,53%) dan
1184
berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak
berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g/ liter air (k3).
Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata persentase buah jadi tanaman tertinggi (40,33%) dan berbeda nyata
dibandingkan dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
Berat Buah Per Hektar
Berat buah per hektar dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran
9a dan 9b. Sidik ragam menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi dan interval
pemupukan Hyponex berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata terhadap berat buah per hektar.
Tabel 9. Rata-rata berat buah (kg) tanaman paprika per hektar
Konsentrasi
Hyponex
1 g/liter air (k1)
5 hari (i1)
64,48
Interval Pemupukan
10 hari (i2)
15 hari (i3)
83,73
Rata-rata
NP BNT0,05
71,23
73,15b
5,57
a
2 g/liter air (k2)
75,02
95,10
78,82
82,98
3 g/liter air (k3)
73,09
87,38
74,51
78,33ab
Rata-rata
70,87b
88,74a
74,85b
NP BNT0,05
5,57
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
taraf uji BNT=0,05
Tabel 9 menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2)
menghasilkan rata-rata berat buah per hektar terberat (82, 98 kg) dan berbeda
nyata dibandingkan dengan konsentrasi 1 g/liter air (k1), tetapi tidak berbeda
nyata dengan konsentrasi 3 g/liter air (k3).
Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan ratarata berat buah per hektar terberat (88,74 kg) dan berbeda nyata dibandingkan
dengan interval 5 hari (i1) dan 15 hari (i2).
Konsentrasi Pupuk
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pupuk Hyponex 2 g/liter air air
memberikan hasil yang lebih baik pada komponen pengamatan tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah cabang vegetatif, jumlah cabang generatif, jumlah buah,
berat per 10 buah, persentase buah jadi dan berat buah per hektar dibandingkan
penggunaan dosis 1 dan 3 g/liter air. Hal ini diduga konsentrasi pupuk Hyponex
2 g/liter air air merupakan konsentrasi optimal untuk memberikan pengaruh
terbaik pada pertumbuhan vegetatif maupun generatif tanaman.
Konsentrasi optimal berarti konsentrasi dimana kebutuhan tanaman sesuai
dengan yang diberikan sehingga tanaman memberikan respon yang lebih baik
dibandingkan dengan pemberian konsentrasi yang lebih rendah dari
kebutuhannya atau konsentrasi yang melewati kebutuhannya. Sebagai pupuk
majemuk, pemberian Hyponex dengan konsentrasi sesuai akan menyebabkan
unsur-unsur hara yang terkandung di dalam pupuk dapat diserap dengan jumlah
atau kadar yang lebih optimal dibandingkan konsentrasi lainnya sehingga dapat
menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman lebih baik, hal ini dapat dilihat
dari tinggi tanaman, jumlah daun, serta jumlah cabang vegetatif. Menurut
1185
Harjadi (1993), dengan tersedianya unsur hara yang lengkap dengan jumlah
masing-masing unsur hara sesuai dengan kebutuhan tanaman akan dapat
merangsang pertumbuhan dan perkembangan bagian-bagian vegetatif tanaman.
Tersedianya unsur-unsur hara dalam jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan menyebabkan proses pembelahan sel berjalan optimal sehingga
jumlah sel meningkat dan selanjutnya disusul aktivitas pemanjangan sel serta
pembesaran sel-sel baru yang menyebabkan laju pemanjangan batang (tinggi
tanaman) menjadi pesat, disusul pembentukan cabang serta daun yang pesat.
Gardner dkk., (1991) meyatakan bahwa pertumbuhan tinggi batang terjadi di
dalam meristem interkalar dari ruas. Ruas itu memanjang sebagai akibat
meningkatnya jumlah sel dan terutama karena adanya pemanjangan sel yang
dapat menyebabkan peningkatan sampai 25 cm atau lebih. Lebih lanjut
dikatakan bahwa bila laju pembelahan dan pembesaran sel serta pembentukan
jaringan berjalan baik maka pembentukan cabang-cabang serta daun akan lebih
cepat pula.
Aktifnya proses pembelahan sel terjadi karena ketersediaan unsur hara
dalam keadaan optimal akibat pemberian konsentrasi yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Harjadi (1993) bahwa
ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang menyebabkan proses
pembelahan sel berlangsung lebih cepat sehingga pertumbuhan tanaman lebih
baik.
Pemberian unsur hara melalui pemupukan dengan konsentrasi optimal
adalah upaya untuk mengefektifkan unsur-unsur hara. Pemberian pupuk dengan
konsentrasi yang tepat akan mampu mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman.
Unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman harus berada dalam kondisi yang
berimbang sehingga penyerapan hara oleh tanaman lebih efektif.
Menurut
Harjadi (1993), penempatan pupuk yang tepat dengan konsentrasi yang tepat
merupakan faktor penting dalam pemupukan. Kemampuan tanaman dalam
menyerap hara akan menambah kekuatan tumbuh bagi tanaman dan apabila
unsur-unsur tersebut bekerja secara optimal maka pertumbuhan tanaman akan
menjadi lebih baik.
Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik selanjutnya akan menyebabkan
tahapan generatif (produksi) lebih baik pula. Tanaman yang lebih tinggi ditandai
dengan pembentukan cabang yang lebih banyak, jumlah cabang yang banyak
akan memungkinkan tempat tumbuh daun lebih banyak pula. Jumlah daun
tanaman berkaitan erat dengan peningkatan laju fotosintesis. Semakin banyak
distibusi daun pada tanaman dan dengan semakin leluasa bidang permukaan
daun tersebut menyerap cahaya berarti semakin banyak bidang permukaan
tanaman yang dapat melangsungkan fotosintesis dengan asumsi daun yang
terdistribusi merata pada batang tanaman bebas dalam menerima cahaya atau
tidak saling menutupi (mutual shading). Dufrene (1990) dalam Subronto dan
Muluk (1991), menyatakan bahwa banyaknya cahaya yang diabsorpsi oleh
tanaman tergantung dari luas daun dan cepat atau lambatnya daun saling
menutupi. Efisiensi pengalihan energi surya menjadi bahan kering banyak pula
tergantung pada bentuk pertajukan tanaman.
Kandungan utama unsur hara makro yakni N, P dan K dalam pupuk
Hyponex akan lebih berfungsi secara optimal jika diberikan dalam konsentrasi
optimal pula, dalam hal ini pemberian dengan 2 g/liter air dianggap sebagai
1186
konsentrasi paling optimal dibandingkan konsentrasi lainnya yang dicobakan,
sehingga pertumbuhan vegetatif dapat berjalan lebih optimal dan lebih cepat
serta stabil memasuki tahap generatif (reproduksi). Hal ini dapat dilihat dengan
waktu berbunga yang lebih cepat (Tabel 5). Peran-peran unsur makro didalam
pupuk dengan konsentrasi 2 g/liter air lebih terlihat dengan banyaknya jumlah
bunga yang dapat menjadi buah (Tabel 8), dimana jumlah bunga yang bertahan
dan tidak gugur lebih banyak, dan berkembang menjadi buah. Unsur yang
dimaksud terutama K. Lingga (1991), menyatakan bahwa kalium sangat erat
kaitannya dengan kualitas tanaman. Jumlah kalium yang terserap oleh tanaman
dalam bentuk ion K+ lebih besar dibandingkan dengan unsur kimia lainnya yang
berbentuk kation. Kalium dalam tubuh tanaman sangat mempengaruhi enzim
yang menentukan fotosintesis, respirasi metabolisme karbohidrat dan translokasi
serta berperan memperkuat tubuh tanaman agar daun, bunga dan buah tidak
mudah gugur.
Semakin meningkat laju fotosintesis, laju penimbunan cadangan makanan
(asimilat) akan meningkatkan hasil dan kualitasnya. Hal ini dapat dilihat dengan
semakin banyaknya jumlah buah (Tabel 6) yang terbentuk disebabkan jumlah
cabang generatif atau cabang-cabang yang menghasilkan bunga (Tabel 4), selain
itu yang juga disebabkan karena tingginya persentase bunga yang berhasil
menjadi buah. Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa kapasitas
fotosintesis meningkat dengan bertambahnya jumlah daun. Gardner dkk.,
(1991) menambahkan bahwa semakin tinggi hasil fotosintesis, semakin besar
pula penimbunan cadangan makanan yang ditranslokasikan ke organ hasil
dengan asumsi bahwa faktor lain seperti cahaya, air suhu dan hara dalam
keadaan optimal.
Selanjutnya buah yang dihasilkan menjadi lebih berat (Tabel 7 dan Tabel
9). Komponen yang bersama-sama menentukan berat bahan kering yang
tertimbun dalam bagian tanaman yang secara ekonomi berguna adalah ukuran
luas permukaan fotosintesis yang menghasilkan berat kering, laju kegiatannya,
pembagian hasil fotosintat kepada organ-organ hasil dan lamanya waktu
penimbunan berlangsung (Goldswothy dan Fisher, 1992).
Tanaman yang diberikan larutan pupuk melebihi konsentrasi 2 g/ liter air
yakni 3 g/liter air nampaknya tidak lagi mendorong pertumbuhan lebih aktif,
tetapi sebaliknya konsentrasi tersebut mulai menekan laju pertumbuhan
tanaman, hal ini dapat dilhat dengan semakin menurunnya tingkat pertumbuhan
tanaman dibandingkan konsentrasi 2 g/liter air. Sebaliknya pada konsentrasi
yang lebih rendah (1 g/liter air) belum cukup untuk mendorong pertumbuhan
secara optimal sehingga pertumbuhan/produksi juga tidak diperoleh secara
optimal. Suseno (1981), menyatakan bahwa untuk pertumbuhan tanaman yang
optimal diperlukan adanya keseimbangan unsur-unsur hara.
Selanjutnya
Setyamidjaja (1986), menambahkan bahwa efesiensi pemupukan yang optimal
dapat dicapai apabila pupuk diberikan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan
tanaman, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Bila pupuk diberikan
banyak, maka larutan tanah akan terlalu pekat sehingga dapat mengakibatkan
tanaman keracunan.
1187
Interval Pemupukan
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa interval pemberian pupuk
hyponex selama 10 hari memberikan hasil yang lebih baik pada komponen
pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang vegetatif, jumlah
cabang generatif, jumlah buah, berat per 10 buah, persentase buah jadi dan
berat buah per hektar dibandingkan interval 5 dan 15 hari. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian unsur hara dengan interval 10 hari selain karena lebih efisien
dalam penggunaan pupuk juga cukup untuk menunjang tersedianya unsur hara
yang dibutuhkan tanaman.
Tanaman cabai paprika memberikan respon
pertumbuhan yang optimum pada interval pemupukan 10 hari sehingga interval
tersebut dianggap merupakan interval yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
unsur hara tanaman. Pemberian unsur hara yang tepat akan mempercepat
pertumbuhan dan meningkatkan produksi dan dengan waktu pemberian pupuk
yang tepat dapat lebih mengefisienkan ketersediaan unsur hara. Disamping itu
pertumbuhan tanaman yang baik juga didukung oleh keadaan tanah yang baik
sehingga tanaman dapat tumbuh optimum. Hubungan antara tanah dan
tanaman merupakan suatu sistem yang dinamis, dimana tanaman memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan pertumbuhannya dengan kondisi unsur hara
dalam tanah. Kondisi unsur hara dalam tubuh tanaman merupakan interaksi dari
pemberian hara dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. Menurut
Sugito dan Maftuchah (1993), menyatakan bahwa hasil analisis tanaman tidak
hanya menggambarkan keadaan unsur hara pada suatu saat, tetapi
menggambarkan juga ketersediaan unsur hara selama periode pertumbuhan
tanaman sampai bagian tanaman yang bersangkutan diambil contohnya.
Interval pemupukan 10 hari sangat membantu tanaman dalam penyerapan
unsur hara khususnya bagi pertumbuhan tanaman cabai paprika pada fase
vegetatif, sebab pada fase ini tanaman membutuhkan unsur hara yang cukup
dan tidak berlebihan untuk pertumbuhan dan perkembangannya, selanjutnya
pertumbuhan pada fase ini akan menentukan hasil tanaman pada fase
berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwidjoseputro (1990), bahwa
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimal dibutuhkan
unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Pemberian unsur hara baik
makro maupun mikro dapat merangsang pertumbuhan tanaman.
Pemberian unsur hara dengan interval 5 hari juga memberikan hasil yang
baik, namun kurang optimum dan penggunaan pupuk pun kurang efisien
dibandingkan dengan interval 10 hari.
Hal ini bisa disebabkan karena
pemberian unsur hara pada tanaman lebih sering sehingga dapat menghambat
pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Lakitan (1995), bahwa
apabila unsur hara tidak seimbang dan berlebihan dapat menyebabkan stress
bagi tanaman yang berakibat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Selanjutnya Sandra (2005), menambahkan bahwa pemupukan yang
terus-menerus dapat berakibat fatal karena tanaman tidak diberi kesempatan
untuk menumbuhkan tunas baru, tetapi yang terjadi justru daun-daun tua
dipaksa untuk berfotosintesis dan akibatnya sel-sel tua pada tanaman akan mati
karena tunas-tunas mudanya tidak kunjung tumbuh. Demikian pula dengan
interval 15 hari.
1188
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air (k2) menghasilkan rata-rata tanaman
tertinggi (18,74 cm), jumlah daun tanaman terbanyak (59,56 helai), jumlah
cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,06),
jumlah cabang generatif
tanaman terbanyak (3,39), waktu berbunga tanaman tercepat (67,08 hari),
jumlah buah per tanaman terbanyak (3,67 buah), berat per 10 buah tanaman
terberat (705,33 g), persentase buah jadi tanaman tertinggi (35,53%), berat
buah per hektar terberat (82, 98 kg).
2. Interval pemberian pupuk Hyponex selama 10 hari (i2) menghasilkan rata-rata
tanaman tertinggi (21,23 cm), jumlah daun tanaman terbanyak (63,17 helai),
jumlah cabang vegetatif tanaman terbanyak (6,83), jumlah cabang generatif
tanaman terbanyak (3,56), waktu berbunga tanaman tercepat (63,75 hari),
jumlah buah per tanaman terbanyak (5,00 buah), berat per 10 buah tanaman
terberat (754,26 g), persentase buah jadi tanaman tertinggi (40,33%), berat
buah per hektar terberat (88,74 kg).
3. Tidak terdapat interaksi antara konsentrasi pupuk dengan interval pemberian
pupuk Hyponex
Pada penelitian ini Sebaiknya Konsentrasi pupuk Hyponex 2 g/liter air serta
Interval pemberian pupuk hyponex selama 10 hari yang digunakan karena
memberikan hasil yang terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman
paprika. Diharapkan penelitian lebih lanjut terus dilakukan untuk mendukung
hasil tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Dwijosaputro, D., 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia, Jakarta.
Gardner, F., RB Pearce., R. L Mitchell. 1991. Physiology Of Crop Plants (Fisiologi
Tanaman Budidaya : Terjemahan Herawati Susilo). Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Goldsworthy, P.R., dan N.M Fisher. 1992. The Physiology Of Tropical Field Crops
(Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik, Terjemahan Tohari). Penerbit
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Harjadi, S, S. 1993. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Harjono, I. 1995. Budidaya Paprika. CV Aneka Surakarta
Lakitan, B., 1995.
Jakarta.
Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan.
Raja Grafindo Persada,
Lingga, P. dan Marsono, 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Pracaya, 2005. Bertanam Lombok. Kanisius. Yogyakarta
1189
Prihmantoro, H., dan Y. H. Indriani, 1996. Memupuk Tanaman Buah. Penebar
Swadaya. Jakarta
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Plant Physiology. (Terjemahan : Diah R.
Lukman dan Sumaryono). ITB, Bandung.
Sandra, E., 2005. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. PT. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Setiadi, 2005. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta
Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. CV. Simplex. Jakarta
Sosrosoedirdjo, S., B. Rifai,, Iskandar S.P., 1990. Ilmu Memupuk. Jilid I. CV.
Yasaguna. Jakarta.
Subronto dan Muluk, H. 1991. Kajian Fisiologis dalam Rangka Mencari Tanaman
Kelapa Sawit Yang Produktif. Bull. PPM Vol. 22, No. 1.
Sugito,Y. dan Maftuchah, 1993 . Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Dan KCl
Terhadap Pertumbuhan, Hasil Dan Kualitas Jahe Muda (Zingiber
officinale Rose). Juirnal AGRIVITA, Vol. 18. No. 2. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya dan Muhammadiyah, Malang.
1190
PENINGKATAN KUALITAS JERUK SIEM MELALUI APLIKASI
TEKNOLOGI PRAPANEN
Muhammad Taufiq Ratule dan Abdul Wahab
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
ABSTRAK
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu penghasil jeruk di Indonesia Timur. Namun
demikian, kualitas jeruk yang dihasilkan masih rendah sehingga harga yang diperoleh
petani rendah, kurang diminati konsumen serta kurang bersaing di pasar domestik.
Kualitas jeruk yang rendah diindikasikan dengan rasa, warna dan aroma tidak menarik.
Penyebab rendahnya kualitas jeruk disebabkan karena aplikasi teknologi penjarangan
buah, pemupukan dan pengendalian hama/penyakit tidak dilakukan dengan sempurna.
Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh penjarangan buah, pemupukan dan
pengendlian hama/penyakit terhadap peningkatan kualitas jeruk siem Konawe Selatan.
Penelitian ini dilakukan di desa Atari Jaya,Kec. Lalembu Kabupaten Konawe Selatan
berlangsung mulai Januari 2010 sampai Desember 2010. Perlakuan yang diuji yaitu 1)
Aplikasi teknologi prapanen penjarangan buah, pemupukan dan pengendalian
hama/penyakit; dan
2) Kontrol. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak
kelompok (RAK), diulang sebanyak tiga kali. Parameter yang diamati adalah rasa, warna,
dan aroma buah serta persentase brix. Hasil uji menunjukkan bahwa aplikasi teknologi
prapanen (penjarangan buah, pemupukan, dan pengendalian hama/penyakit berbedaan
nyata pada persentase brix (7.65%) dengan kontrol (6.41%). Sedangkan parameter rasa
(80%), warna (60%), dan aroma (80%) lebih disukai pada perlakukan yang diaplikasikan
dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa kualitas jeruk siem
dapat diperbaiki melalui aplikasi teknologi prapanen, seperti penjarangan buah,
pemupukan, dan pengendalian hama/penyakit.
Kata kunci: Jeruk Siem, Penjarangan Buah, Pemupukan, Pengendalian Hama/Penyakit,
Kualitas.
PENDAHULUAN
Jeruk merupakan komoditas unggulan daerah strategis di Sulawesi
Tenggara. Jenis jeruk yang umum dibuidayakan di Sulawesi Tenggara adalah
keprok siam dan keprok siompu. Namun demikian, keprok siam merupakan jeruk
yang paling luas diusahakan oleh petani di daerah ini, meskipun keprok siompu
lebih unggul. Kualitas jeruk siem yang dihasilkan sangat rendah sehingga harga
yang diperoleh petani sangat rendah, kurang diminati konsumen serta kurang
bersaing di pasar domestik.
Kualitas jeruk siam yang rendah diindikasikan dengan rasa, warna daging
buah, dan aroma serta persentase brix.. Hal ini disebabkan karena praktek prapanen, khususnya pemangkasan, pemupukan, penjarangan buah, dan
pengendalian hama/penyakit tidak dilakukan secara sempurna. Dilain pihak
sudah ada hasil penelitian yang telah dilakukan dari BPTP Sultra tentang aplikasi
komponen teknologi pra-panen diantaranya pemangkasan dan penjarangan
buah; pemupukan;, pengairan; dan pengendalian hama dan penyakit
1191
menunjukkan peningkatan produksi dan kualitas jeruk keprok siompu (Abdul
Wahab dan Muh. Taufiq Ratule, 2010).
Masalah yang sering muncul dalam agribisnis jeruk di Sulawesi Tenggara
khususnya jeruk siam diantaranya adalah rendahnya kualitas buah jeruk
sehingga harga yang diperoleh petani rendah. Salah satu cara mengatasi hal
tersebut adalah dengan melakukan kegiatan pra panen. Beberapa kegiatan pra
panen yang dapat dilakukan adalah pemupukan, pemangkasan, penjarangan
buah dan pengendalian hama/penyakit.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di desa Atari Jaya Kecamatan Lalembu Kabupaten
Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara berlangsung mulai bulan Januari 2010
sampai Desember 2010.
Bahan dan alat yang digunakan meliputi; pupuk (Urea, SP-36, dan KCl),
gunting pangkas, pacul, ember, kantong panen, hand spayer, refraktometer,
buret, gelas ukur, pisau, timbangan, perlengkapan uji organoleptik, sikat dan alat
tulis.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK),
terdiri dari 2 perlakuan; yaitu 1) Aplikasi Paket Teknologi Pra Panen (pemupukan
berdasarkan analisa tanah (Urea, SP36, dan KCl), pemangkasan, penjarangan
buah dan pengendalian hama/penyakit), dan 2) kontrol (tanpa perlakuan).
Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Parameter yang diamati adalah rasa,
warna, dan aroma buah serta persentase brix.. Data ditabulasi dan dianalisa
secara statistik menggunakan Anova dan uji lanjut menggunakan Uji BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Brix
Hasil analisa statistik pada hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
teknologi pra-panen secara signifikan meningkatkan persentase brix (7,65a)
dibandingkan dengan kontrol (6,41b) (Gambar 1). Pengujian kandungan gula ini
sangat penting dilakukan untuk menjaga kualitas jeruk siem yang berkembang di
Sulawesi Tenggara. Seperti yang dikemukakan oleh Etty Septia Sari (2011)
bahwa pentingnya pengujian kandungan gula pada jeruk sebagai jaminan
kualitas rasa.
7,65
a
6,41
b
Gambar 1. Persentase brix pada perlakuan teknologi pra-panen dan kontrol
1192
Rasa
Dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol), perlakuan teknologi prapanen memperlihatkan bahwa pada parameter rasa 80% panelis menyatakan
suka dan 20% menyatakan netral(Gambar 2).
Gambar 2.
Hasil Uji organolaptik rasa pada perlakuan teknologi pra-panen dan
kontrol
Warna
Perlakuan aplikasi teknologi pra-panen pada hasil uji organolaptik warna
memperlihatkan 60% panelis menyatakan suka dan 40% menyatakan netral
sedangkan control panelis mengungkapkan 60% netral dan 40% tidak suka
(Gambar 3).
Gambar 3.
Hasil uji organoleptik warna pada perlakuan teknologi pra-panen
dan kontrol
Aroma
Hasil uji organoleptik aroma menunjukkan bahwa aplikasi teknologi prapanen 80% disukai panelis dan 20 % dikategorikan panelis netral, sedangkan
perlakuan kontorl 100% panelis menyatakan netral (Gambar 4).
1193
Gambar 4.
Hasil uji organoleptik Aroma pada perlakuan teknologi pra-panen
dan kontrol
Teknologi pra-panen dalam peningkatan kualitas jeruk siem merupakan
suatu paket teknologi yang terdiri atas pemangkasan, penjarangan buah,
pemupukan, dan pengendalian hama penyakit. Penggunaan teknologi pra-panen
yang efektif sebagai pemicu menigkatnya kualitas jeruk. Salah satu komponen
teknologi pra-panen yaitu pemangkasan dan penjarangan buah. Manfaat
pemangkasan dan penjarangan antara lain akan mengurangi persaingan hasil
fotosintesis di antara daun dan buah, dan persaingan antara buah dan buah,
serta mengurangi insiden penyakit. Dalam penelitian ini diduga dengan
pemangkasan dan penjarangan buah meningkatkan persentase brix, dan
mempengaruhi komponen kualitas buah jeruk yang lain (rasa, warna dan
aroma). Hal ini sama yang diungkapkan Ruswandi, et al (2007) bahwa
pemangkasan secara berkala dan penjarangan buah meningkatkan produktivitas
dan kualitas jeruk. Ditambahkan oleh Sumpena (1998) bahwa pemangkasan ruas
batang pada tanaman wortel yang disisakan 5 ruas, dapat menghilangkan
pengaruh dominasi ujung tanaman sehingga memberikan hasil yang lebih baik
pada beberapa komponen hasil.
Pada umumnya fotosintesis bersih maksimum meningkat selama
pengembangan daun dan akan mencapai maksimum tepat setelah
pengembangan daun penuh. Pada fase generatif hampir seluruh hasil fotosintesis
akan digunakan oleh bunga dan buah yang sedang berkembang. Pertumbuhan
dan perkembangan daun yag maksimal akan menyebabkan bunga dan buah
berkembang dengan baik (Sutapradja, 2008).
Selain itu teknik pemangkasan akan mengubah lingkungan mikro serta
mengurangi munculnya persaingan penggunaan fotosintesis antara buah dengan
pucuk (Mangal et al 1981). Apabila pertumbuhan daun yang berlebihan
dipangkas, peredaran udara di sekitar kanopi bertambah baik, kedaan ini akan
mengurangi kelembaban mikro di sekitar tanaman dan seterusnya akan
mengurangi insedin penyakit (Mangal et al 1981).
Komponen lain dari teknologi pra-panen yang mempunyai peran penting
dalam peningkatn produksi yaitu pengaplikasian pemupukan. Wang (2000)
menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh 6 faktor lingkungan,
yaitu : cahaya, bantuan mekanik, suhu, udara, air dan unsur hara. Sedangkan
1194
Mori (1999) mengungkapkan bahwa untuk kelangsungan hidup tanaman
membutuhkan 16 unsur hara. Salah satu unsur penting yang dibutuhkan
tanaman adalah nitrogen, dimana nitrogen merupakan komponen paling besar
penyusun pupuk urea. Nitrogen merupakan komponen dasar dalan sintesis
protein dan penyusun klorofil. Selain itu, nitrogen penting untuk reaksi enzimatik
pada tanaman, karena semua enzim tanama adalah protein. Nitrogen juga
penting sebagai komponen beberapa vitamin, seperti biotin, tiamin, niasin, dan
riboflavin (Dou, 2004).
Seperti halnya nitrogen, fosfor berperan penting dalam proses
metabolism tanaman yang keberadaannya tidak dapat digantikan oleh unsur
hara lain. Fosfor merupakan komponen penting asam nukleat, karena itu menjadi
bagian essensial untuk semua sel hidup. Fosfor sangat penting untuk
perkembangan akar, pertumbuhan awal akar tanaman, luas daun, dan
mempercepat panen (Subhan,et al., 2009).
Selain nitrogen dan fosfor tanaman juga membutuhkan unsur kalium.
Kalium mempunyai peran dalam metabolisme air dalam tanaman, adsorpsi hara,
pengaturan pernapasan, transpirasi, kerja enzim, dan translokasi karbohidrat,
membentuk batang yang lebih kuat, dan sangat berpengaruh terhadap hasil
tanaman baik kuantitas maupun kualitasnya (Silver-Young, 1999).
Pemberian pupuk dalam penelitian ini didasarkan pada hasil analisa tanah.
Keuntungan utama dari penerapan pupuk yang tepat adalah petani dapat
memupuk lebih efisien karena jenis dan dosis pupuk disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman dan kondisi tanah (Sumarno, 2004).
Pengelolaan pupuk yang tepat pelu disesuaikan dengan karakteristik tanah
dan kebutuhan hara tanaman. Pemupukan yang akurat dengan
mempertimbangkan: (1) jumlah unsure hara yang diberikan kepada tanaman
cukup dan berimbang sesuai dengan tingkat kesuburan tanah dan keperluan
tanaman untuk suatu target produksi tertentu, (2) setiap jenis pupuk harus
memiliki kualitas baik dan ramah lingkungan, (3) pemberian nya menurut kaidah
lima tepat, yaitu tepat jenis pupuk, kombinasi hara, dosis, waktu dan cara
aplikasinya (Santoso, 2005).
Selain pemangkasan, dan pemupukan, pemeliharaan (penjarangan,
pengairan, pengendalian hama penyakit dan manajemen kebun), juga sangat
menentukan produksi dan mutu buah (Davtyan et al,2003; Poerwanto et al,
2002; Sumarno, 2004). Aplikasi teknologi pra-panen yang lain diterapkan dalam
peneltian ini adalah pengendalian hama dan penyakit. Buah yang diamati secara
keseluruhan pada perlakuan tidak memperlihat adanya serangan hama dan
penyakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Aplikasi teknologi prapanen (pemangkasan, penjarangan buah, dan
pemupukan serta pengendalian hama penyakit) dapat meningkatkan kualitas
jeruk siem, baik rasa, warna, maupun aroma.
Teknologi pra-panen sangat berpotensi sebagai alternative dalam
peningkatan kualitas jeruk siem, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk
mengevaluasi keefektifan dari setiap komponen teknologi pra-panen.
1195
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, dan Muh.Taufiq Ratule, 2011. Aplikasi Teknologi Pra Panen Untuk
Perbaikan Kualitas Jeruk Siompu. Makalah disampaikan pada workshop.
Davtyan, A.,D. Xuecheng, E. Sembiring, F.Mengistu, I.Vorster, and Y.G.A. Bashir,
2003. Toward a competitive jeruk production. Enhanching production
and institutional factors for quality jeruk production in the North
Sumatra highlands, Indonesia. ICRA-BPTP Sumut.
Dou, Hy., 2004. Effect Of Cutting Application On Tomato To Growth And Yield. 515p.
Etty Septia Sari, 2011. Pentingnya pengujian kandungan gula pada jeruk
Pontianak (Citrus nobilis Var. Microcarpa) sebagai jaminan kualitas rasa.
Unit PSMB Dinas Perindag, Pontianak Kalbar.
Mangal, J., Las Sindhu, and V.C.Pandy, 1981. Effect of Staking and pruning on
growth and yield of tomato varieties Indian. J. Agric. Res. 15(2):122129.
Mori, S. 1999. Tresh Elementh Effect To Growth And Yield Of Tomato. Plant Biol,
J.2:750-3
Poerwanto, R., S. Susanto, dan S.S. Harjadi, 2002. Pengembangan jeruk
unggulan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional
Pengembangan Jeruk dan Pameran Buah Jeruk Unggulan di Bogor, 1011 Juli 2002.
Ruswandi, A., Muharam,A., Ridwan Hilmi, Sabari, Dan Rofik S.B. 2007. Tingkat
Adopsi Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS).
Prosiding Seminar Nasional Jeruk , Yogyakarta. Hlm 75 – 86.
Santoso, J. 2005. Formulasi pupuk dan pengembangan DSS pemupukan jeruk
keprok. Balai Penelitian Tanah Bogor. Badan Litbang Pertanian.
Silver- Young I., 1999. Growth ,Nitrogen, And Potassium Accumulation To Weed
Suspension By Fall Cover Crops Following Early Havest Of Vegetables.
Hort. Sci.33(1):160-163.
Subhan,N., Nurtika, dan Gunadi N., 2009. Respon Tanaman Tomat Terhadap
Penggunaan Pupuk Npk 15-15-15 Pada Tanah Latosol Pada Musim
Kemarau. J.Hort. 19(1):40-48.
Sumarno, 2004. Program peningkatan mutu buah jeruk Indonesia. Makalah
disampaikan pada Semiloka Jeruk Nasional III di Makassar, 6-8 Agustus
2004. Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Direktorat Tanaman
Buah dan Masyarakat Jeruk Indonesia.
Sumpena, 1998. Pengaruh jumlah tandang bunga pada batang dan satu cabang
terhadap hasil dan viabilitas benih. J. Agrotropika. III(1):21-28.
Sutapradja, H. 2008. Pengaruh pemangkasan pucuk terhadap hasil dan kualitas
benih lima kultivar mentimun. J. Hort. 18 (1):16-20.
Wang, C.Y., 2000. Physiological And Biochemical Response Of Plant To Solar
Radiations And Water Strees. Hort. Science J. 17:179-186.
1196
RESPON PETANI TERHADAP PENGGUNAAN PUPUK NPK SUPER DAN
HAYATI ECOFERT PADA TANAMAN KENTANG MELALUI DEMONSTRASI
PLOT (DEMPLOT) DI GOWA SULAWESI SELATAN
Nurjanani dan Sri Sasmita Dahlan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl .PerintisKemerdekaan Km. 17,5 Makassar
ABSTRAK
Pupuk merupakan salah satu penyebab penurunan produksi tanaman kentang (Solanum
tuberosum). Pupuk
organik yang mengandung mikroba (pupuk hayati)
dari
penggunaan pupuk kimia. Pupuk hayati adalah kelompok fungsional mikroba tanah yang
dapat berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi
tanaman. Demplot ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mendemonstrasikan
budidaya kentang menggunakan pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert melalui
penerapan secara langsung di tingkat petani, serta menghimpun respon petani terhadap
demonstrasi plot berkaitan dengan teknologi yang didemonstrasikan. Demplot
dilaksanakan di Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa,
Sulawesi Selatan, pada bulan Juni hingga Oktober 2012. Teknologi yang
didemonstrasikan adalah aplikasi pupuk NPK Super 450 kg/ha dan Ecofert 40 kg/ha, dan
cara petani sebagai pembanding. Hasil demonstrasi plot dapat disimpulkan bahwa (1)
Pemberian pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha pada
tanaman kentang, memberikan hasil 35,38 t/ha dengan pendapatan bersih 245.457.000
atau R/C ratio 4,69. Sedangkan cara petani memberikan hasil 32,09 t/ha dengan
pendapatan bersih 195.450.000 atau R/C ratio 3,64, (2) Pemberian pupuk NPK Super 450
kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha pada tanaman kentang meningkatkan jumlah
produksi sebesar 3.286 kg (9,28%) atau meningkatkan pendapatan sebesar Rp
50.007.000 (20,57%), (3) Respon petani terhadap aplikasi pupuk NPK super dan Pupuk
hayati Ecofert sangat baik, karena secara teknis praktis, mudah diaplikasikan, murah,
kebutuhan per hektar sedikit (efisien), dan kebutuhan tenaga kerja sedikit, serta secara
ekonomi meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Kata kunci : Respon petani, pemupukan, Npk Super, Hayati Ecofert, kentang
PENDAHULUAN
Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan kentang
di Kawasan Timur Indonesia yang tersebar di dataran tinggi wilayah Kabupaten
Bulukumba, Gowa, Bantaeng , Jeneponto, Luwu Utara, Sinjai dan kabupaten
Bone.Produksi kentang di Sulawesi Selatan dari tahun 2008 sampai 2010
mengalami penurunan yang dapat dilihat secara berturut – turut 2008 produksi
kentang mencapai 20.589 ton kemudian mengalami penurunan produksi pada
tahun 2009 menjadi 9.089 ton, dan pada tahun 2010 masih mengalami
penurunan produksi menjadi 7.627 ton (BadanPusatStatistik, 2011).
Penyebab penurunan produksi kentang antara lain karena masalah pupuk.
Pupuk organik yang mengandung mikroba (pupuk hayati) dapat dijadikan
sebagai alternative dari penggunaan pupukkimia. Bahan organic diketahui dapat
memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah. Kandungan bahan organik
1197
yang rendah di dalam tanah merupakan salah satu kendala dalam penyediaan
air, udara, dan unsure hara bagi tanaman sehingga menghambat pertumbuhan
dan mengurangi hasil tanaman. Sebaliknya, kandungan bahan organic dalam
tanah yang cukup tinggi akan membuat kondisi tanah menjadi kondusif untuk
pertumbuhan akar tanaman. Dengan demikian, serapan hara oleh tanaman,
baik yang berasal dari tanah maupun yang berasal dari pupuk, lebih efekif
sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman lebih baik dan penggunaan pupuk
lebih efisien. Hal ini sangat penting terutama untuk tanaman kentang mengingat
tanaman kentang menghasilkan umbi di dalam tanah. Jadi, tanaman kentang
menghendaki tanah yang subur dan gembur untuk pembentukan dan
perkembangan umbinya.
Salah satu usaha untuk memanfaatkan bahan organic sebagai sumber
energy utama bagi pertumbuhan tanaman kentang adalah pemberian pupuk
hayatie cofert. Pupuk hayati merupakan harapan baru pertanian berwawasan
lingkungan. Pupuk hayati adalah kelompok fungsional mikroba tanah yang dapat
berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi
tanaman (Simanungkalit et al., 2006). Pupuk hayati berguna memperbaiki
kesuburan tanah, Tidak meninggalkan residu pada hasil tanaman, dapat
meningkatkan kesehatan tanah, memacu pertumbuhan tanaman dan
meningkatkan produksi tanaman. Ecofert adalah pupuk hayati ramah lingkungan
untuk tanaman non legume. Formula ecofert merupakan kombinasi beberapa
mikroba pilihan (Bacillus subtilis, B. flexus, P. mendocina, dan Aspergillus niger),
bahan pembawa (carier) yang mudah beradaptasi dan bekerja efektif pada
tanah. Ecofert dengan formulasi granula berwarna abu-abu memiliki beberapa
keunggulan yaitu: (1) Meningkatkan tersedianya nutrient N dan P, (2) memacu
pertumbuhan tanaman, dan (3) meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, (4)
meningkatkan efisiensi pemupukan.
Penggunaan pupuk hayati ecofert diharapkan mampu menambah N dan
melarutkan P agar tersedia bagi tanaman, sehingga penggunan pupuk kimia
dapat dikurangi akibat aktivitas mikroba optimal dan fungsi tanah sebagai media
tumbuh tanaman semua optimal.Pengujian pupuk NPK Super dan pupuk hayati
Ecofert telah dilakukan. Nurjanani et. al. (2011) melaporkan bahwa pemberian
pupuk NPK Super 300-450 kg/ha dan penambahan Ecofert 20-40 kg/ha pada
budidaya tanaman kentangdengan keuntungan maksimal dengan nilai R/C ratio
2,68-2,98. Berdasarkan hasil penelitian penggunaan pupuk hayatie cofert
produksi PT. Pupuk Kaltim oleh Balai PengkajianTenologi PertanianTahun 2011,
makaperlumemperkenalkan dan memperagakannya ditingkat petani melalui
kegiatan demonstrasi plot, dengan demikan petani tidak saja melihat dan
melakukan akan tetapi merasakan manfaat langsung sehingga bertambah
keyakinan dan kepercayaannya yang pada akhirnya akan mendorong minat
untuk mencoba dan menerapkannya.
1198
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu
Demplot aplikasi pemupukan NPK Super dan pupuk hayati Ecofert telah
dilaksanakan di lahan petani di wilayah pengembangan kentang yaitu di
Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan, pada ketinggian 1.200 m dpl. Kegiatan dimulai pada bulan Juni hingga
Oktober 2012. Luas lahan yang digunakan adalah 0,5 ha, yang terbagi masingmasing 0,25 ha untuk pemupukan NPK super 450 kg/ha dan Ecofert 40 kg/ha
dan 0,25 ha untuk perlakuan petani (NPK dipasaran 1.000 kg/ha + pupuk
kandang 20 t/ha).
Pelaksanaan Demplot
Tanah diolah sempurna lalu diratakan. Setelah rata dibuat plot sesuai
perlakuan. Aplikasi pupuk hayati Ecofert dilakukan satu minggu sebelum
penanaman kentang. Demikian pula aplikasi pupuk kandang, juga dilakukan satu
minggu sebelum penanaman. Aplikasi NPK Super dengan dosis 450 kg/ha
dilakukan satu kali pada masa tanam.
Benih umbi kentang varietas Granola generasi ke tiga (G3) dengan
volume 70 g per umbi ditanam pada lubang tanam dengan jarak 70 x 30 cm.
Kentang ditanam secara double row satu umbi per lubang. Jarak antar petak 50
cm, panjang petakan sesuai dengan kondisi lahan. Luas lahan untuk demplot
pupuk NPK Super dan Ecofert, dan cara petani masing-masing 0,25 ha. Setiap
petak ditanami 5.400 populasi (400 kg) umbi kentang. Sehingga total luas lahan
yang diperlukan adalah 0,5 hektar.
Tanaman kentang dipelihara secara intensif. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida selektif dan efektif secara
bijaksana (pendekatan PHT). Jenis fungisida yang digunakan berdasarkan urutan
fungisida bersifat sistemik (S) dan bergantian dengan fungisida kontak (K),
dengan urutan S-K-K-K-S-K-K-K-S dst. jika diperlukan. Sedangkan untuk
mengendalikan lalat pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) digunakan
insektisida anjuran yaitu Abamektin. Jika tidak ada hujan, dilakukan penyiraman
menggunakan sprinkle sesuai kebutuhan tanaman.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil Demplot
aplikasi pemupukan NPK Super dan pupuk hayati Ecofert dengan parameter
pengamatan terdiri dari : keragaan pertumbuhan tanaman kentang, hama dan
penyakit, produksi, serta respon petani dalam penerapan teknologi pemupukan
kentang menggunakan pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofer yang
diperolehmelalui wawancara langsung dengan responden menggunakan alat
bantu kuesioner.
Analisis Data
Analisis deskriptif untuk melihat tingkat kepuasan petani terkait
preferensinya dan hasil karakterisasi
teknologi yang didemonstrasikan
sedangkan data keragaan pertumbuhan, produksi dan pendapatan usahatani
dianalisis dengan menggunakan Uji T dan R/C Ratio.
1199
Uji T menggunakan Rumus:
atau
No sampel
(n)
n1
..
..
..
ni
T hitung < T tabel (0.05 ,
T hitung > T tabel (0.05 ,
Ecofert
Cara Petani
Di = Xi-Yi
(X)
(Y)
X1
Y1
..
..
..
..
..
..
Xi
Yi
db(n-1))  Tidak beda nyata
db(n-1))  Beda nyata
(
)2
Hipotesis
H0 = Penambahan pupuk hayati Ecofert, produksinya sama dengan cara
pemupukan petani
H1 = Penambahan pupuk hayati Ecofert meningkatkan produksi 10 – 25%
dibandingkan dengan cara pemupukan petani
R/C = NPT/BT
keterangan:
Dimana:
R/C > 1, usahatani secara ekonomi
R/C = Nisbah penerimaan dan
menguntungkan
biaya
R/C
= 1, Usahatani secara ekonomi
NPT = Nilai produksi total (Rp/ha)
berada pada titik impas (BEP)
BT = Nilai biaya total (Rp/ha)
R/C < 1, Usahatani secara ekonomi tidak
menguntungkan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani Responden
Karakteristik petani perlu menjadi pertimbagan dalam proses transfer
teknologi karena kondisi internal tersebut berperan dalam berbagai proses yang
dilalui
seseorang
dalam
berinteraksi
dengan
hal-hal
inovatif.
Adapunkarakteristikpetanipada pelaksanaan demonstrasi aplikasi pupuk NPK
Super dan pupuk hayati Ecofert pada tanaman kentang menurut umur dan
pendidikan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
1200
Tabel 1. Distribusipetanimenurut umur pada kegiatan demonstrasi aplikasi NPK
Super dan pupuk hayati Ecofert pada tanaman kentang di Desa
Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab.Gowa 2012
No.
1.
2.
3.
4.
Umur (tahun)
Jumlah Petani
Prosentase (%)
< 30
31-40
41-50
51-60
Jumlah
1
27
1
1
30
3,33
90,00
3,34
3,33
100
Sumber : Hasil olahan data primer, 2012
Petani masih tergolong usia produktif, 93% masih muda (< 32 tahun)
dan hanya 7% yang berusia >40 tahun. Secara fisik mereka memiliki
kemampuan untuk mengelola usahatani dengan baik, namun usia tidak
menjamin keterampilan seseorang dalam berusahatani, sehingga perlu intervensi
teknologi yang berdaya guna dan pengambilan keputusan yang tepat.
Tingkat
pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kapasitas
sumber daya manusia. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat
adopsi pertanian berjalan secara tidak langsung, kecuali bagi mereka
yangbelajarsecaraspesifiktentanginovasibarutersebut. Tingkat pendidikan petani
petani pada kegiatan Demplot kentang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi petani menurut tingkat pendidikan pada kegiatan demonstrasi
aplikasi NPK Super dan pupuk hayati Ecofert pada tanaman kentang di
Desa Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab.Gowa 2012
No.
1.
2.
3.
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Jumlah Petani
25
4
1
Prosentase (%)
83,34
13,33
3,33
Jumlah
30
100
Sumber : Hasil olahan data primer, 2012
Pada Tabel 2. terlihat bahwa tingkat pendidikan petani mayoritas masih
rendah yaitu hanya menamatkan pendidikan pada sekolah dasar. Faktor
pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap kapasitas mereka dalam memahami
informasi teknologi yang diterima, terutama dalam hal kemampuan mereka
menginterpretasi informasi teknologi yang diterima. Oleh karena itu, dibutuhkan
pendekatan komunikasi dengan menggunakan bahasa sederhana, sehingga
penyampaian informasi teknologi mudah dipahami oleh petani. Salah satu cara
transfer teknologi yang efektif adalah melalui demonstrasi teknologi yang
dilaksanakan langsung di lahan petani dan oleh petani.
Respon Petani Terhadap Aplikasi NPK Super dan Pupuk Hayati Ecofert
Penerapan suatu teknologi membutuhkan partisipasi kelompok yang
menjadi sasaran, karena indikator keberhasilan penerapan teknologi adalah
respon yang ditunjukkan petani baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Respon
1201
petani ditentukan oleh tingkat manfaat yang dirasakan baik dari aspek teknis
ekonomi dan sosial budaya, maupun berdasarkan sifat inovasinya yang akan
diuraikan sebagai berikut:
Aspek Teknis
Secara teknis aplikasi pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert mudah
dilakukan, praktis, tidak membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk
mengaplikasikannya. Khusus untuk Ecofert jika dibandingkan dengan
penggunaan pupuk kandang, aplikasi ecofert sebanyak 40 kg/ha jauh lebih
ringan dibandingkan pengangkutan dan penebaran pupuk kandang sebanyak 700
karung/ha. Secarateknishasil yang diperoleh pada Demplotaplikasi pupuk NPK
Super dan pupuk hayati Ecofert terhadap pertumbuhan tanaman, hama penyakit
dan produksi jika dibandingkan dengan cara petani sebagaiberikut :
Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tinggi tanaman kentang pada demplot aplikasi pupuk NPK
Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg tidak berbeda nyata dengan
pertumbuhan tinggi tanaman kentang pada demplot tanaman cara petani (NKP
di pasaran 1.000 kg/ha dan pukan 20 t/ha). Namun pertumbuhan lebar kanopi
tanaman kentang pada perlakuan pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati
Ecofert 40 kg/ha berbeda nyata dengan lebar kanopi perlakuan cara petani
(Tabel3). Secara visual tanaman kentang yang dipupuk dengan NPK Super dan
Ecofert memiliki warna daun hijau tua (gelap), lebih lebar, subur, dan anak daun
terbentuk sempurna, serta umur tanaman lebih panjang (± 100 hari), sehingga
umbi berkembang sempurna. Tanaman yang dipupuk sesuai kebiasaan petani
memiliki warna daun hijau muda (pucat), dan anak daun tidak terbentuk, serta
umur tanaman hanya ± 80 hari.
Tabel 3. Rataan tinggi dan lebar kanopi tanaman kentang pada plot Demplot
Ecofert dan Cara Petani
Perlakuan
NPK Super 450 kg/ha + Ecofert 40
kg/ha
Cara Petani (NPK 1.000/ha + pukan
ayam 20 t/ha
T hitung
T table 0,05
Tinggi tanaman (cm)
37 HST
60 HST
Lebar Kanopi (cm)
37 HST
60 HST
30,20 a
39,5 a
49,65 a
61,00 a
26,00 a
36,8 a
41,60 a
49,00 b
0,94
2,31
0,76
2,31
1,71
2,31
2,47
2,31
Keterangan: Angka yang diikutu huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berdeda
nyata menurut hasil uji T pada taraf 0,05 HST = Hari setelah Tanam
Hama dan penyakit
Berdasarkan pengamatan pada umur 45 hari setelah tanam, tanaman
kentang sudah terserang hama pengorok daun (Liriomyzahuidobrensis) dan
penyakit busuk daun (Phytohthora infestans). Serangan P. infestans lebih ringan
pada tanaman yang dipupuk dengan NPK Super dan ecofert dibandingkan
tanaman dengan perlakuan cara petani. Hal ini disebabkan pupuk hayati Ecofert
diduga menghasilkan zat anti patogen tular tanah. Namun karena pada saat
1202
kegiatan berlangsung masih sering hujan, sehingga petani masih melakukan
penyemprotan untuk mencegah perkembangan penyakit.Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan dengan penyemprotan insektisida Abamektin dan fungisida
Mankozeb. Penyemprotan fungisida dilakukan sebanyak 6 - 8 kali selama
kegiatan berlangsung.Di samping mengurangi intensitas penyakit busuk daun,
penambahan ecofert dapat mengurangi persentase tanaman layu karena bakteri.
Layu bakteri pada pertanaman yang menggunakan ecofert hanya ± 2,0%
sedangkan pada pertanaman yang dikelola dengan cara petani, serangan layu
bakteri mencapai 13,46%. Hal ini dapat disebabkan
formula ecofert
mengandung beberapa mikroba (Bacillus subtilis, B. flexus, P. mendocina, dan
Aspergillus niger), yang bersifat antagonis terhadap pathogen tular tanah
sehingga bisa menekan perkembangan P. infestansdan bakteri penyebab layu.
Produksi
Produksimerupakan tujuan akhir dari setiap usahatani. Produksi umbi
kentang disajikan pada Tabel 4. Produksi umbi yang dicapai pada demplot
aplikasi NPK Super dan Ecofert tidak berbeda nyata dengan produksi yang
dicapai pada demplot cara petani. Produksi umbi tersebut diklassifikasikan
kedalam umbi benih dan umbi konsumsi. Umbi kentang yang dihasilkan masih
generasi ke empat (G-4), sehingga masih tergolong kedalam benih sebar.
Berdasarkan rataan presentase umbi konsumsi dan umbi benih pada tanaman
sampel, maka pada demplot NPK Super dan Ecofert tercatat umbi konsumsi
sebanyak 21,864 t/ha (61,80%), sedangkan umbi benih sebanyak 13,516 t/ha
(38,2%).
Tabel 4. Rataan produksi umbi kentang pada demplot Aplikasi NPK Super dan
Ecofert dan cara petani.
Perlakuan
Berat
umbi g/
rumpun
Provitas
(t/ha)
Prosentase umbi
Konsumsi
%
NPK Super 450 kg/ha +
Ecofert 40 kg/ha
Cara Petani
680,40 a
35,38 a
61,80
Jumlah
(t/ha)
1,864
617,20 a
32,09 a
59,40
19,061
T hitung
T tabeL 0,05
1,61
2,31
1,61
2,31
Benih
%
38,20
Jumlah
(t/ha)
13,516
40,60
13,029
Keterangan: Angka yang diikutu huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berdeda
nyata menurut hasil uji T pada taraf 0,05
Pada demplot cara petani,banyaknya umbi konsumsi tercatat 19,061 t/ha
(59,40%), sedangkan umbi benih tercatat 13,029 t/ha (40,60%). Persentase
umbi benih sangat mempengaruhi pendapatan petani, karena harga jual umbi
benih tiga kali lipat dari harga umbi konsumsi.
Aspek Ekonomi
Berdasarkan hasil analisis ekonomi, pendapatan yang diperoleh petani pada
perlakuan aplikasi NPK Super 450 kg/ha dan ecofert 40 kg/ha adalah sebesar Rp.
245.457.000 dengan R/C ratio 4,69 lebih besar dibandingkan cara petani dengan
1203
pendapatan hanya sebesar 195.450.000 dengan R/C ratio 3,64 (Tabel 5).
Besarnya pendapatan yang diterima petani dapat mencapai ratusan juta rupiah
disebabkan produksi umbi kentang masih tergolong klas benih sebar, sehingga
harga jualnya masih tinggi dan sebagian besar produksi memang disimpan untuk
dijual sebagai benih.
Manfaat secara ekonomi yang diperoleh petani kooperator adalah
peningkatan jumlah produksi sebesar 3.286 kg dengan presentase peningkatan
sebesar 9,28%. Demikian pula keuntungan yang diperoleh terdapat selisih
sebesar Rp 50.007.000, dengan prosentase peningkatan 20,57%. Selain itu,
petani kooperator mendapat penghematan biaya dari penggantian NPK di
pasaran dengan NPK Super dan penggunaan pupuk kandang sebanyak 700
karung menjadi ecofert 40 kg dengan nilai penghematan sebesar Rp. 5.690.000.
Tabel 5. Analisis usahatani kentang menggunakan NPK Super + pupuk hayati
Ecofert dan cara Petani (1 ha) di Kelurahan Pattapang, kec. Tinggi
Moncong, Kab. Gowa, Tahun 2012.
No
Uraian
1
I.
1.
2.
2
Biaya Sarana Produksi
Bibit Kentang G-3
Pupuk:
- NPK Super
- NPK Ponska
- Ecofert
- Pupuk Kandang
Pestisida
- Fungisida
3.
II.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
- Insektisida
- Perekat
Jumlah Biaya sarana
Biaya Tenaga kerja
Pengolahan tanah
Perataan Tanah
Penanaman/pemupuka
n
Penyiangan/pembumb
unan I
Penyiangan/pembumb
unan II
Pengendalian
Hama/Penyakit
Pemanenan
Pengangkutan Hasil
Jumlah Biaya TK
1204
Vol
3
NPK Super + Ecofert
Harga
Jumlah (Rp)
Satuan
(Rp.)
4
5
Vol
6
2000kg
18.000
36.000.000
18.000
36.000.000
450kg
0
40 kg
0
2.300
0
6.000
0
1.035.000
0
240.000
0
0
1050 kg
0
700 krg
0
2300
0
6500
0
2.415.000
0
4.550.000
4.128.000
8 l
18 l
65.00080.000
650.000
35.000
34
kg
8 l
18 l
65.00080.000
650.000
35.000
4.128.000
50 OH
30 OH
60 OH
30.000
30.000
30.000
1.500.000
900.000
1.800.000
50 OH
30 OH
60 OH
30.000
30.000
30.000
1.500.000
900.000
1.800.000
30 OH
30.000
900.000
30 OH
30.000
900.000
30 OH
30.000
900.000
30 OH
30.000
900.000
32 OH
30.000
960.000
32 OH
30.000
960.000
30 OH
700 krg
30.000
10.000
900.000
7.000.000
15.760.000
30 OH
640 krg
30.000
10.000
900.000
6.400.000
15.520.000
34 kg
5.200.000
560000
47.163.000
200kg
Cara Petani
Harga
Jumlah
Satuan
(Rp)
(Rp.)
7
8
5.200.000
560000
52.853.000
Lanjutan...
NPK Super + Ecofert
No
Uraian
Vol
1
2
3
III
1.
2.
3.
4.
IV.
1.
2.
V.
VI.
Biaya Lain-Lain
Sewa
Tanah
per
musim
Hand sprayer
Drum Plastik 200 liter
Karung
Jumlah biaya Lain-lain
Total Biaya Produksi
(I+II+III)
Produksi/Penerimaan
Umbi Konsumsi
Umbi Benih
Pendapatan
R/C Ratio
Harga
Satuan
(Rp.)
4
Cara Petani
Jumlah (Rp)
Vol
5
6
Harga
Satuan
(Rp.)
7
2.000.000
2 buah 400.000
3 buah 60.000
700 buah 10.000
21.864
13.516
5.000
15.000
19.064
13.030
Respon petani terhadapsifat inovasi teknologi yang telah didemonstrasikan
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Respon petani terhadap penggunaan pupuk NPK Super dan Ecopert
berdasarkan sifat inovasi pada kegiatan Demplot Aplikasi pemupukan
NPK Super dan Ecofert pada tanaman kentang di Kel. Pattapang,
kec.Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Tahun 2012
-
Persentase banyaknya orang (%)
NPK Super + Ecofert
Mudah diaplikasikan
Mudah diperoleh
Mengurangipenggunaan tenaga kerja
90,00
30,00
90,00
Meningkatkan produksi
Mengurangi penyakit layu dan busuk
daun
Dapat menghemat
Tidak bertentangan kebiasaan
Berminat menggunakan
75,00
Sumber : Hasil Olahan Data Primer
800.000
180.000
640.000
3.580.000
71.993.000
262.174.000
3.500 66.724.000
15.000 195.450.000
195.450.000
3,64
Respon Petani Berdasarkan Sifat Inovasi
Sifat Inovasi
8
2.000.000
800.000
2 buah 400.000
180.000
3 buah 60.000
700.000
640 buah
1.000
3.680.000
66.603.000
312.060.000
109.320.000
202.457.000
245.457.000
4,69
Jumlah
(Rp)
30,00
90,00
70,00
50,00
Berdasarkan data pada Tabel 6, respon petani terhadap aplikasi NPK
Super dan Ecofert cukup baik terutama terhadap sifat inovasi mudah
diaplikasikan, mengurangi penggunaan tenaga kerja, dan dapat menghemat.
Namun baru 50% responden berminat untuk menggunakan dengan alasan
1205
produk belum ada di pasaran. Respon petani paling rendah terhadap mengurangi
penyakit layu dan busuk daun Phytophthota karena petani takut gagal panen,
sehingga petani masih mengandalkan penggunaan fungisida untuk
mengendalikan penyakit tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil demonstrasi plot aplikasi pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk
Hayati Ecofert 40 kg/ha pada tanaman kentang dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemberian pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha
pada tanaman kentang, memberikan hasil 35,38 t/ha dengan pendapatan
bersih 245.457.000 atau R/C ratio 4,69. Sedangkan cara petani memberikan
hasil 32,09 t/ha dengan pendapatan bersih 195.450.000 atau R/C ratio 3,64.
2. Pemberian pupuk NPK Super 450 kg/ha dan pupuk hayati Ecofert 40 kg/ha
pada tanaman kentang meningkatkan jumlah produksi sebesar 3.286 kg
(9,28%) atau meningkatkan pendapatan sebesar Rp50.007.000 (20,57%).
3. Respon petani terhadap aplikasi pupuk NPK super dan Pupuk hayati Ecofert
sangat baik, karena secara teknis praktis, mudah diaplikasikan, murah,
kebutuhan per hektar sedikit (efisien), dan kebutuhan tenaga kerja sedikit,
serta secara ekonomi meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Pupuk NPK Super dan pupuk hayati Ecofert perlu di uji di beberapa sentra
produksi kentang, selain untuk mendapatkan rekomendasi dosis penggunaan
yang tepat untuk masing-masing daerah, juga memperkenalkan produk tersebut
ke petani atau stakeholder lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Humic Acid harapan baru pertanian berwawasan lingkungan. http:
//duniapetani,blogspot,com/2009/07/humic-acid-harapan-baru pertanian.
html (diakses Kamis 31 Maret 2011)
Kusumo, S. 1977. Pengaruh dosis pupuk DAP dan TSP terhadap hasil kubis dan
kentang. Bul. Penel. Hort. 5(1):3-6
Nainggolan, P. 1991. Pengaruh kalium dan busukan ikan terhadap produksi
kentang. J. Hort. 1(4):8-13.
Nurtika dan A. Hekstra. 1975. Pengaruh pemupukan NPK terhadap produksi
kentang, kubis, dan kacang jogo. Bul.Penel. Hort. 3(4):33-45.
Simanungkalit, R.D.M, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, W. Hartatik.
2006. Pupuk organik dan pupuk hayati. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian.
1206
STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JERUK BESAR
DI SULAWESI SELATAN
Nurdiah Husnah dan Nurjanani
Balai Pegkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
ABSTRAK
Pengembangan komoditas hortikultura dapat menciptakan kegiatan ekonomi yang efektif
dan efisien, namun membutuhkan intensitas, kuantitas dan kualitas kegiatan yang
memadai berbasis pada kesamaan kondisi agroekosistem, yang perlu disinergikan melalui
kegiatan pengkajian.
Salah satu tanaman hortikultura yang berpotensi untuk
dikembangkan dan dikaji karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi adalah tanaman
jeruk besar atau jeruk pamelo. Jenis jeruk ini telah menjadi salah satu komoditi
perdagangan Internasional. Tujuan pengkajian yang dilakukan adalah mengidentifikasi
masalah dan merumuskan strategi pengembangan agribisnis jeruk besar di Sulawesi
Selatan. Kajian ini dilakukan di Kabupaten Pangkep sebagai sentra produksi jeruk besar
di Sulawesi Selatan dengan menggunakan metode survey. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan metode purposive sampling sebesar 10% dari populasi, yang terdiri
dari petani, petani penangkar, dan pedagang. Teknik pengumpulan data melalui
wawancara dan pengamatan langsung yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Hasil kajian menunjukkan bahwa strategi yang dapat dikembangkan dalam agribisnis
jeruk besar di Sulawesi Selatan antara lain (1) pengembangan kapasitas sumberdaya;
dan (2) pengembangan kelembagaan pendukung.
Kata kunci : Strategi, agribisnis, jeruk besar
PENDAHULUAN
Pengembangan komoditas hortikultura dapat menciptakan kegiatan
ekonomi yang efektif dan efisien, namun membutuhkan intensitas, kuantitas dan
kualitas kegiatan yang memadai berbasis pada kesamaan kondisi agroekosistem,
yang perlu disinergikan melalui kegiatan pengkajian. Salah satu tanaman
hortikultura yang berpotensi untuk dikembangkan dan dikaji karena mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi adalah tanaman jeruk besar atau jeruk pamelo. Jenis
jeruk ini telah menjadi salah satu komoditi perdagangan Internasional.
Jeruk besar (Citrus maxima. Merr) yang lazim disebut dengan nama Jeruk
Pemelo merupakan salah satu komoditas buah yang sudah dikenal oleh seluruh
lapisan masyarakat, dan umumnya diusahakan di lahan tegalan atau pekarangan
(Dirjen BPH, 2005). Buah Jeruk Besar mempunyai potensi untuk dikembangkan
mengingat iklim yang sesuai untuk komoditas jeruk dan peluang pasar domestik
maupun ekspor. Populasi tanaman Jeruk Besar semakin berkurang dari tahun
ke tahun karena keterbatasan bibit yang bermutu dan budidaya tanaman belum
dilaksanakan secara intensif.
Standar konsumsi buah yang ditetapkan Food and Agriculture
Organization of United Nation (FAO), yakni sebesar 65,75 kg per kapita per
tahun, sementara konsumsi buah masyarakat Indonesia masih rendah yaitu
32,67 kg per kapita per tahun (Kompas, 2010).
Jika 10% saja dari jumlah
1207
standar FAO tersebut adalah buah jeruk, yaitu sebanyak 6 kg per kapita per
tahun, maka dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa akan dibutuhkan 1.422.000
t/tahun. Jika produktivitas jeruk nasional sekitar 20 t/ha, maka dibutuhkan kebun
jeruk seluas 71.110 ha. Kebutuhan 1.422.000 t/tahun sanggup dipenuhi
2.131.768 t. Jadi seharusnya Indonesia masih bisa melakukan ekspor sebesar
709.768 t. Namun pada tahun 2010 lalu, Indonesia masih impor jeruk 160.000 t
dan terus meningkat di tahun 2012 menjadi 179.000 t (Dirjen Hortikultura,
2012).
Berdasarkan fenomena tersebut, kiranya sangat mungkin untuk
memperbaiki sistem agribisnis jeruk besar, karena pada dasarnya pengembangan
sistem agribisnis diharapkan mampu mengatasi segala ancaman, tantangan dan
hambatan yang akan terjadi agar dapat menjadi leading sector, selain itu strategi
pengembangan agribisnis memerlukan pendekatan yang komprehensif mulai dari
sektor hulu sampai ke sektor hilir (Nasution, 2004).
Sejalan dengan Saliem (2002) bahwa pengembangan agribisnis bertujuan
untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan tercapainya pemerataan
dalam mewujudkan stabilitas pembangunan. Oleh karena itu telah dilakukan
kajian sistem agribisnis jeruk besar di Kabupaten Pangkep melalui identifikasi
masalah dalam sistem agribisnis jeruk besar dan strategi pengembangan
agribisnis jeruk besar ke depan.
METODOLOGI
Pengkajian dilakukan di Kabupaten Pangkep, pada bulan April September 2012. Kegiatan ini meliputi beberapa tahapan antara lain (1)
persiapan; (2) pengumpulan data eksisting sistem agribisnis jeruk besar; (3)
focus group discussion (FGD) dengan petani, dan petani penangkar, pedagang
pengumpul dan pedagang antar pulau; (4) identifikasi masalah dalam sistem
agribisnis jeruk besar dan (5) merumuskan strategi pengembangannya. Sampel
ditentukan secara sengaja (purposive sampling) meliputi : petani, petani
penangkar, pedagang pengumpul, pedagang antar pulau, dan pedagang kios.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer, meliputi masalah dan strategi yang
dapat dilakukan dalam pengembangan sistem agribisnis jeruk besar dan
didukung oleh data sekunder, meliputi hasil kajian pustaka, laporan-laporan yang
relevan dengan materi pengkajian.
Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara menggunakan kuesioner, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk
memberikan gambaran sistem agribisnis jeruk besar mulai hulu sampai hilir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Masalah dalam Agribisnis Jeruk Besar
1) Subsistem hulu agribisnis jeruk besar
Sub sistem hulu dalam agribisnis jeruk besar yang meliputi penyediaan
bibit untuk pertanaman jeruk besar, baik yang berskala kecil maupun besar
(berorientasi agribisnis), harus diawali dengan pembibitan. Keberhasilan
pengusahaan tanaman jeruk besar ditentukan oleh tersedianya bibit bermutu,
1208
yaitu bibit yang bebas penyakit, murni, identik dengan induknya, tidak cacat
serta penangkarannya telah dilakukan dengan benar dan tepat melalui program
sertifikasi bibit (Dirjen PHP, 2005). Bibit yang baik adalah bibit yang berasal dari
okulasi dan sambung pucuk. Bibit tersebut merupakan gabungan bibit semai dan
cabang entris dari varietas unggul, yang produksi dan mutu buahnya baik.
Dengan bibit asal okulasi dan sambung pucuk akan diperoleh tanaman yang
berakar kuat, tumbuhnya subur, buahnya banyak dan mutu buahnya tinggi.
Dalam agribisnis jeruk besar di lokasi kajian menunjukkan bahwa usaha
pembibitan yang dikelola belum menggunakan teknologi sesuai SOP pembibitan
jeruk, sementara pasar bibit jeruk besar di lokasi kajian belum menuntut kualitas
yang tinggi namun lebih pada pemenuhan kuantitas dan keberlanjutan produksi
(Syamsinar, 2009). Terdapat beberapa varietas yang diproduksi sebagai bibit
antara lain varietas merah, varietas putih dan varietas gula-gula, permintaan
pasar bibit masih bervariasi. Untuk memenuhi permintaan dinas terkait, produksi
bibit mayoritas varietas merah, namun untuk permintaan petani tingkat lokal
didominasi varietas merah, disusul varietas gula-gula dan varietas putih.
Pada lahan pembibitan digunakan teknologi penyambungan (grafting)
yang merupakan salah satu perbanyakan vegetatif, yang menggabungkan
batang bawah dan batang atas dari tanaman berbeda, sehingga tercapai
persenyawaan dan kombinasi ini akan terus tumbuh membentuk tanaman baru.
Teknik penyambungan ini biasa kita terapkan untuk beberapa keperluan yaitu
membuat bibit tanaman unggul, memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan
juga untuk membantu pertumbuhan tanaman.
Dengan mengadakan
penyambungan kita mengharapkan agar bibit yang kita hasilkan akan lebih
unggul dari tanaman asalnya (Batang bawah dan batang atas). Adapun masalah
yang dihadapi pada sub sistem hulu dalam agribisnis jeruk besar meliputi :
 Kurangnya minat petani dalam melakukan usaha penangkaran
 Kurangnya dukungan teknologi dalam melakukan pembibitan
 Kelangkaan kualitas sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan
memadai dalam menerapkan teknologi serta pengetahuan manajemen mutu.
 Serangan penyakit yang dapat mempengaruhi proses produksi
 Musim yang tidak menentu, yang akan menurunkan tingkat produksi benih.
 Kurangnya kegiatan dan pengetahuan untuk menyiasati pasar (market
intelligence)
2) Subsistem on farm agribisnis jeruk besar
Subsistem produksi/usahatani (on-farm agribusiness), kegiatan ekonomi
yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis
hulu untuk menghasilkan produk pertanian primer. Termasuk ke dalam
subsistem usahatani ini adalah usahatani jeruk besar. Dalam sub sistem on farm
ini petani merupakan pelaku utama memiliki peran yang sangat besar meliputi
kegiatan budidaya mulai dari persiapan lahan sampai pada kegiatan panen. Hasil
survey yang dilakukan dalam agribisnis jeruk besar menunjukkan bahwa petani
dalam mengelola usahataninya sudah mulai menerapkan teknologi yang di
anjurkan meskipun masih belum maksimal. Oleh karena itu masih perlu
dilakukan pendampingan dalam menerapkan teknologi agar bisa mencapai hasil
yang maksimal.
1209
Varietas yang digunakan petani pada umumnya adalah varietas merah
gula-gula dengan karakteristik antara lain : (1) daya simpan yang cukup lama;
(2) kulitnya tipis; (3) rasanya manis; (4) buahnya kecil. Jarak tanam yang
digunakan pada umumnya 7 x 7 m dengan kedalaman lubang tanam 50 x 50 cm
dan aplikasi pupuk kandang. Teknologi pemeliharaan yang dilakukan antara
lain pemupukan urea dan pengendalian hama dan penyakit.
Sementara
teknologi panen cukup maksimal dilaksanakan dengan memperhatikan syaratsyarat panen antara lain buah tidak boleh jatuh dan tidak boleh basah karena
akan mempengaruhi kualitas dan daya simpan buah jeruk besar (Setiawan,
1995). Hasil produksi jeruk besar yang diperoleh petani rata-rata 100 – 150
buah per pohon, sehingga dengan jarak tanam tersebut petani responden
memperoleh produksi 20.000 – 30.000 buah per hektar. Adapun masalah yang
dihadapi responden dalam pengelolaan usahatani jeruk besar adalah sebagai
berikut :
 Kurangnya informasi teknologi yang dapat diakses
 Kurang intensifnya pendampingan dalam penerapan teknologi
 Terbatasnya pengetahuan tentang diversifikasi produk
 Tidak melakukan pengendalian dan pemberantasan hama dan penyakit
 Kualitas produk masih relatif rendah
 Harga jeruk besar yang diterima petani masih relatif rendah
3) Subsistem hilir agribisnis jeruk besar
Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), berupa kegiatan
ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik
produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar
domestik maupun di pasar internasional. Permasalahan utama yang terjadi pada
subsistem ini adalah mengenai pemasaran dan keterbatasan modal (Dirjen PHP,
2005). Dalam memasarkan jeruk besar biasanya kemampuan petani terbatas,
petani memiliki akses yang terbatas terhadap informasi pasar terutama mengenai
permintaan dan harga, hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang terlibat dalam
proses pemasaran, misalnya pedagang pengumpul di hulu lebih banyak jika
dibandingkan dengan pedagang menengah dan besar sehingga kecenderungan
untuk menekan harga sangat tinggi, sehingga pemasaran jeruk besar lebih cocok
dikatakan pasar monopsoni, yaitu pasar yang dikuasai oleh pembeli baik dalam
menentukan harga maupun kualitas jeruk besar, posisi tawar petani dalam hal ini
sangatlah rendah.
Mutu produk yang dihasilkan petani pun di bawah standar pasar dan
jumlah yang dihasilkan sangat berfluktuasi. Petani belum sadar akan spesifikasi
mutu produk dan jarang melakukan pengolahan dan pemilahan hasil untuk
meningkatkan kualitas hasil (Syamsinar, 2009). Sehingga dilapangan sangat sulit
utuk menentukan jenis jeruk besar, standar kualitas dan harga yang layak
sehingga menguntungkan kedua belah pihak yaitu konsumen dan produsen.
Uraian tentang permasalahan dalam sub sistem hilir agribisnis jerukl besar
adalah sebagai berikut :
 Petani berada di posisi yang lemah dalam menentukan harga
 Petani menjual jeruk besar dalam bentuk segar dan tidak melakukan grading
 Petani tidak mengetahui spesifikasi mutu produk yang di minta oleh pasar
 Petani tidak mengetahui standar, kualitas dan harga yang layak
1210
4) Subsistem penunjang agribisnis jeruk besar
Subsistem lembaga penunjang (off-farm), seluruh kegiatan yang
menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian
dan pengembangan, lembaga transportasi, lembaga pendidikan, dan lembaga
pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan internasional, kebijakan
tata-ruang, serta kebijakan lainnya).
Subsistem pendukung dalam hal ini
mencakup kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap jeruk besar
saat ini masih terkait dengan budidaya tanaman secara umum belum dibuat
secara spesifik. Peraturan-peraturan tersebut masih sebatas membahas
ketentuan-ketentuan bagaimana melakukan budidaya dan penjualan skala besar,
tapi belum ada yang mengarahkan kepada skala kecil. Kebijakan terkait jeruk
besar ini harus didukung oleh semua pihak tidak hanya kementrian pertanian
melainkan pihak lain seperti kementrian perkoperasian (terkait kebijakan
perkoperasian), Kementrian Perekonomian terkait dengan pengusahaan dan
perkreditan termasuk didalamnya melibatkan perbankan, Kementerian
Perdagangan dan Pemerintah Daerah penghasil jeruk besar. Beberapa masalah
terkait dengan sub sistem penunjang agribisnis jeruk besar adalah sebagai
berikut :
 Kelembagaan petani yang ada masih sangat lemah secara administratif karena
tidak ada legalitas hukum.
 Kapasitas penyuluh sebagai sumber teknologi dan merupakan sasaran antara
dalam transfer teknologi masih perlu ditingkatkan.
 Dukungan kelembagaan penelitian yang masih kurang dalam pengembangan
agribisnis jeruk besar.
 Dukungan kelembagaan informasi teknologi yang masih kurang dalam
berbagai bentuk media komunikasi.
 Dukungan kelembagaan permodalan yang masih sangat kurang dari
perbankan untuk meningkatkan kinerja usahatani jeruk besar.
 Dukungan kelembagaan pemerintah dalam menyiapkan dan memfasilitasi
prasarana petani penangkar, petani produsen, pedagang pengumpul dan
pedagang besar dalam pengembangan agribisnis jeruk besar.
Strategi Pengembangan Agribisnis Jeruk Besar
1) Pengembangan kapasitas sumberdaya
Pengembangan sumberdaya pelaku utama dilakukan melalui peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan terhadap para pihak terkait antara lain:
 Pelatihan, dapat dilakukan secara swadaya atau mengirimkan peserta ke
lembaga penyelenggara formal.
 Magang yaitu belajar sambil bekerja pada suatu lembaga usaha yang lebih
maju.
 Studi banding yaitu melakukan kunjungan lapangan pada wilayah lain yang
terdapat kegiatan semacam.
 Penyuluhan yaitu upaya merubah perilaku masyarakat agar tahu, mau dan
mampu melaksanakan usaha budidaya sesuai kaidah-kaidah.
 Pendampingan adalah proses belajar bersama antara pendamping dengan
petani untuk memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi.
1211
Sasaran pengembangan sumberdaya petani meliputi berbagai pihak yang
terkait melalui pengembangan kapasitas yang meliputi :
 Untuk meningkatkan kemampuan petani dilakukan melalui peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan dalam hal teknis budidaya dan pasca panen,
manajemen usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan
pelatihan sesuai dengan kebutuhannya.
 Untuk meningkatkan kemampuan penyuluh dilakukan melalui pelatihan, studi
banding, kursus penyegaran, penerbitan buku pedoman-pedoman, sosialiasi
kebijakan dan program dan lain-lain. Upaya tersebut diharapkan dapat
mengubah perilaku penyuluh yang bersifat menggurui dan memberikan
rekomendasi kearah perilaku untuk siap belajar bersama, memfasilitasi dan
memandirikan petani/kelompok tani.
 Para peneliti didorong untuk melakukan penelitian dan ujicoba tentang halhal yang bersifat terapan utamanya dalam rangka pemecahan permasalahan
yang dihadapi oleh para petani.
 Pelaku bisnis/pedagang perlu didorong untuk melakukan kemitraan dengan
kelompoktani dengan prinsip keterkaitan dalam kebutuhan yang saling
memerlukan, saling menguntungkan dan saling ketergantungan. Dalam hal ini
dapat dilakukan sosialisasi kebijakan dan program dan pola-pola kemitraan
yang mungkin diterapkan.
 Birokrasi
perlu melakukan upaya pemberdayaan melalui peningkatan
pembinaan agar bertindak sesuai kewenangannya dalam hal regulasi,
supervisi dan fasilitasi.
 Pemberdayaan LSM sebagai mitra sejajar pemerintah, agar memberikan
masukan yang bersifat membangun dan secara konstruktif dapat bekerjama
dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan untuk kemandirian petani.
2) Pengembangan kelembagaan pendukung
Pengembangan Kelembagaan untuk menjamin keberhasilan dan
keberlanjutan agribisnis jeruk besar mendukung pengembangan kawasan
hortikultura perlu dilakukan pengembangan kelembagaan petani melalui langkahlangkah sebagai berikut :
 Mendorong petani untuk membentuk kelompok. Pembentukan kelompok ini
berdasarkan atas kepentingan dan kebutuhan bersama anggota kelompok
yang saling percaya sehingga petani dapat bekerjasama secara berkelompok
untuk tumbuh menjadi kelompok swadaya.
 Menumbuhkan gabungan kelompok atau asosiasi Kelompok-kelompok yang
sudah tumbuh didorong agar bekerjasama dengan kelompok lain dalam
bentuk organisasi yang lebih besar yang disebut gabungan kelompok atau
asosiasi. Terbentuknya gabungan kelompok/ asosiasi atas dasar kebutuhan
atau kepentingan kelompok itu sendiri. biaya produksi.
 Menumbuhkan lembaga ekonomi formal Gabungan kelompok/asosiasi
didorong agar mau dan mampu menjadi satu lembaga ekonomi yang formal
dan yang paling tepat adalah koperasi. Agar tumbuh keswadayaan petani dan
mampu berusaha dalam sistem pasar maka tabungan kelompok perlu
ditingkatkan.
1212
 Pengembangan kemitraan dalam rangka memperkuat usaha diperlukan
adanya kemitraan antara usaha ekonomi skala usaha kecil dan menengah
dengan usaha besar.
 Peningkatan daya saing dengan memperkuat daya saing produksi harus
dibangun melalui pendekatan sistem agribisnis yang efisien. Ciri usaha
agribisnis yang efisien adalah usaha yang mampu memproduksi barang atau
jasa yang bermutu tinggi, dalam jumlah besar, terjamin kontinuitas produksi
dengan biaya produksi yang relatif rendah.
 Pengembangan pasar dapat dilakukan melalui penyelenggaraan beberapa
kegiatan antara lain pameran, temu usaha, promosi, pembangunan jejaring
kerja antar stakeholders.
KESIMPULAN DAN SARAN


Masalah dalam agribisnis jeruk besar untuk mendukung pengembangan
kawasan hortikultura pada beberapa subsistem hulu, on farm dan hilir dapat
diidentifikasi antara lain : (1) belum maksimalnya dukungan teknologi; (2)
perlu peningkatan keterampilan teknis petani; (3) dukungan informasi
teknologi relatif rendah; (4) pendampingan yang masih kurang intensif; (5)
masih rendahnya bargaining position; (6) belum dilakukan grading; (7)
kelembagaan petani yang belum
memiliki legalitas hukum; dan (8)
kurangnya pengetahuan tentang spesifikasi mutu produk dan (9) market
intelligence rendah.
Strategi
pengembangan
agribisnis
jeruk
besar
yaitu
pertama
pengembangan kapasitas sumberdaya yang meliputi (1) pelatihan; (2)
magang; (3) studi banding; (4) penyuluhan; (5) pendampingan dan kedua
pengembangan kelembagaan pendukung yang meliputi (1) pembentukan
kelompok; (2) menumbuhkan gabungan kelompok atau asosiasi Kelompokkelompok; (3) menumbuhkan lembaga ekonomi formal; (4) pengembangan
kemitraan; (5) peningkatan daya saing; (6) pengembangan pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal
Bina Produksi Hortikultura, 2005., Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Jeruk. Kementerian Pertanian. Jakarta
Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2005.
Road Map
Program Pengembangan Agroindustri Perdesaan Jeruk (Citrus Sp).
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012,. Keterpaduan Program dan Kegiatan
Pengembangan Kawasan Hortikultura Di Kabupaten/Kota Tahun 2013.
Disampaikan pada Musrenbangtan Nasional Jakarta, 23-24 Mei 2012.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kompas,
2010.
Konsumsi
Buah
Masyarakat
Sangat
Rendah.
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/06/27/13245684/Konsumsi.Bu
ah.Masyarakat.Sangat.Rendah. Diakses 23 Juli 2011.
1213
Nasution, 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurjanani, Nurdiah Husnah, Ramlan, Fadjry Djufry,. 2012. Kajian Agribisnis
Jeruk Besar di Kabupaten Pangkep. Laporan Hasil Kegiatan Pengkajian
TA. 2012. BPTP Sulawesi Selatan.
Saliem, dkk. 2002. Efisiensi dan Daya saing Hortikultura. Prosiding Efisiensi dan
Daya saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan
Sawah (Penyunting Handewi P. Saliem, Edi Basuno, Bambang Sayaka,
dan Wahyuning K. Sejati). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Available from URL: http://www.ipard.com/art_perkebun di
akses 12 September 2009
Setiawan, 1995. Usaha Pembudidayaan Jeruk Besar. PT.Penebar Swadaya.
Jakarta.
Syamsinar, 2009,.
Analisa Tingkat Kelayakan Usahatani Jeruk Pamelo Di
Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
Maros.
1214
UJI DAYA HASIL BEBERAPA VARIETAS CABAI PADA LAHAN KERING
DI KABUPATEN JENEPONTO
M. Basir Nappu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl.Perintis Kemerdekaan km 17.5, Makassar
ABSTRAK
Permintaan cabai terus meningkat setiap tahun seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk dan berkembangnya berbagai industri makanan yang membutuhkan bahan
baku cabai. Salah satu komponen penting yang berperan dalam peningkatan produksi
adalah penggunaan varietas unggul. Perakitan varietas dalam negeri diharapkan mampu
menghasilkan varietas unggul baru yang sesuai ditanam di berbagai daerah di Indonesia.
Kajian bertujuan untuk mengetahui daya hasil dan kemampuan adaptasi beberapa
varietas unggul cabai yang ditanam pada lahan kering di kabupaten Jeneponto.
Pengkajian dilaksanakan pada lahan kering di kelurahan Tolo Utara, kecamatan Kelara,
Kabupaten Jeneponto, berlangsung Nopember 2008 - April 2009. Kajian disusun dalam
bentuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan melibatkan 3 orang petani kooperator
sebagai ulangan dan 3 Varietas (Tombak, Lembang-1 dan Tanjung-2) sebagai perlakuan.
Data yang dikumpulkan adalah keragaan tanaman dan analisis usahatani. Data dianalisis
sidik ragamnya, jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan.
Kelayakan usahatani dianalisis dengan R/C ratio. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa
cabai merah varietas Tombak, Tanjung-2 dan Lembang-1 cocok untuk dikembangkan
pada lahan kering di kelurahan Tolo Utara, Kec. Kelara, Kabupaten Jeneponto dengan
capaian hasil masing-masing 6.01 t/ha, 5.72 t/ha dan 5.50 t/ha. Pengembangan ketiga
varietas tersebut layak secara teknis dan ekonomis dengan nilai B/C masing-masing 3.14,
2.94 dan 2.10.
Kata kunci: Daya hasil, cabai, varietas
PENDAHULUAN
Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas sayuran
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Cabai termasuk komoditas unggulan
nasional dan sumber vitamin C (Duriat 1995; Kusandriani dan Muharram 2005;
Wahyudi dan Tan 2010 dalam Taufik (2011). Konsumen Cabai tersebar merata
dari kalangan atas sampai lapisan terbawah. Hingga tidak mengherankan
kebutuhan akan cabai tidak pernah surut, bahkan cenderung meningkat setiap
tahun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya
berbagai industri makanan yang membutuhkan bahan baku cabai (Suwandi, et
al., 1995). Tingginya permintaan cabai tersebut adalah untuk memenuhi
kebutuhan industri (Lukmana, 1994), ekspor ke mancanegara seperti Malaysia
dan Singapura ( Setiadi, 1994; Sembiring, 2009). Cabai dapat dikonsumsi dalam
bentuk segar, kering atau olahan. Hartuti dan Asgar (1994) menyatakan, saat ini
cabai banyak dipergunakan sebagai bahan baku industri dan diperdagangkan
dalam bentuk kering (awetan).
Cabai dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Di
Sulawesi Selatan tanaman ini sudah lama diusahakan, tetapi tingkat produktivitas
yang dicapai masih rendah 4,393 ton/ha jauh dibawah potensi hasil yang
sebenarnya (10,89 – 12,32 ton/ha)(Armiati et al., 1993). Hal ini disebabkan
1215
keterbatasan dalam hal penerapan teknologi budidaya. Pada umumnya petani
masih menggunakan varietas lokal yang ditanam secara terus menerus serta
sehingga kualitas benih cabai yang ditanam masih rendah. Selain itu komponen
teknologi budidaya seperti menggunakan varietas unggul, pemupukan berimbang
serta pemeliharaan secara intensif , penggunaan mulsa, pengendalian
hama/penyakit dan gulma secara terpadu belum sepenuhnya diterapkan oleh
petani.
Kabupaten Jeneponto didominasi oleh lahan kering yang luasnya mencapai
sekitar 40.702 ha atau setara 50,91 % total luas kabupaten. Luas lahan sawah
irigasi dan sawah tadah hujan sekitar 26.272 ha atau sekitar 32,86% dari luas
total Kabupaten Jeneponto.
Pola distribusi dan jumlah curah hujan tahunan
Kabupaten Jeneponto ter-golong kering dihampir semua kecamatan (kecuali
Kecamatan Rumbia, Kelara dan sebagian Bangkala). Dengan demikian
Kabupaten Jeneponto termasuk tipe iklim basah sampai kering. Jenis tanah yang
dominan adalah ustropepts dengan luas sebaran sekitar 43.450 ha yang diikuti
oleh tanah dystropepts dan haplustuls masing-masing dengan luas sekitar 14.475
ha dan 11.495 ha. Tanah ustropepts yang luasnya dominan merupakan tanah
yang tergolong muda dengan tingkat kesuburan tanahnya tergantung dari bahan
induk yang biasa juga disebut tanah alluvial (Nurland, 2011). Topografi
Kabupaten Jeneponto pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi dengan
ketinggian 500 sampai dengan 1400 meter diatas permukaan laut, bagian tengah
dengan ketinggian 100 sampai dengan 500 meter dari permukaan laut, dan pada
bagian Selatan meliputi wilayah dataran rendah dengan ketinggian 0 sampai
dengan 150 di atas permukaan laut.
Tanaman cabai sudah lama dikenal dan diusahakan oleh petani di
Kabupaten Jeneponto, namun luas lahan yang ditanami masih kurang dari 100
ha (Nurland, 2011). Salah satu komponen penting yang berperan dalam
peningkatan produksi adalah penggunaan varietas unggul. Berbagai varietas
unggul beredar dipasaran yang biasanya merupakan varietas unggul dari luar
negeri.
Untuk memenuhi permintaan cabai yang terus meningkat, maka
perakitan varietas dalam negeri diharapkan mampu menghasilkan varietas
unggul baru yang sesuai ditanam di berbagai daerah di Indoneisa. Salah satu
benih unggul cabai merah produksi dalam negeri telah dihasilkan di Balai
Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) adalah varietas Lembang-1 dan Tanjung2. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui daya hasil dan kemampuan adaptasi
beberapa varietas unggul cabai yang ditanam pada lahan kering di kabupaten
Jeneponto.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Kelurahan Tolo Utara, Kecamatan Kelara,
Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Waktu pelaksanaan Nopember 2008 April 2009. Kajian disusun dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan melibatkan 3 orang petani kooperator sebagai ulangan. Kegiatan
menggunakan 3 perlakuan yaitu (1) Varietas Lembang 1, (2) varietas Tanjung 2,
dan (3) Varietas Tanduk. varietas cabai Lembang 1 dan Tanjung 2 diperoleh
dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) di Lembang dan varietas
Tombak diproduksi oleh swasta.
1216
Bedengan dibuat berukuran lebar 1 m. Diantara bedengan dibuat saluran
air dengan lebar 0.5 m. Setiap bedengan terdiri dari 2 baris tanaman. Jarak
tanam 50 x 70 cm. Dosis pupuk yang diberikan 150 kg Urea/ha, 100 kg SP
36/ha, 100 kg KCl/ha dan 10 ton pupuk kandang/ha. Pupuk Urea diberikan dua
kali, yaitu pada umur 14 hari setelah tanam bersamaan dengan pupuk SP 36 dan
KCl, sedangkan Urea kedua pada umur 30 hst. Pupuk kandang diberikan sebelum
penanaman sebanyak 400 gr/lubang. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan
secara terpadu. Panen cabai dilakukan pada saat buah mencapai matang
optimum secara periodik berdasarkan kematangan buah.
Peubah yang diamati adalah keragaan pertumbuhan tanaman dan
komponen hasil meliputi: (1) tinggi tanaman umur 30 dan 60 hst, (2) jumlah
cabang, (3) umur tanaman berbuah (hari), (4) umur tanaman panen (hari), (5)
jumlah buah/tanaman, (6) panjang buah (cm), (7) bobot 10 buah (gr), (8) bobot
buah/tanaman (gr) dan (9) produksi/ha (ton). Data dianalisis sidik ragam
(Anova).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tanaman
Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan antar varietas terhadap
komponen pertumbuhan.
Pengamatan 30 dan 60 HST, varietas Tombak
memperlihatkan tinggi tanaman yang lebih besar dan berbeda nyata dengan
varietas Tanjung 2 dan Lembang 1. Kisaran tinggi tanaman antara 35,23 cm 57,76 cm (Tabel ). Kisaran tinggi tanaman cabai dikelompokkan menjadi lima
kelas, yaitu : sangat pendek, pendek, sedang, tinggi, dan sangat tinggi (IPGRI,
AVDRC dan Catie (1995) dalam Haryati dan Nurawan (2011). Lebih lanjut
dilaporkan bahwa untuk di Indonesia tipe ideal tinggi tanaman cabai merah
diduga antara sedang sampai tinggi.
Tabel 1. Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan cabai merah
(Capsicum annuum L).
Varietas
Tanjung 2
Lembang 1
Tombak
Tinggi tan
30 hst (hr)
35,23 a
44,57 b
57,76 c
Tinggi tan
60 hst (hr)
63,43 a
72,43 b
87,97 c
Jumlah
Cabang
25,43 a
38,53 c
28,47 b
Umur
tan
Berbuah (hr)
43,67 a
51,00 b
64,00 c
Umur
tan
Panen (hr)
68,00 a
76,00 b
85,67 c
Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 %.
Jumlah cabang merupakan salah satu karakter penunjang hasil cabai
merah, karena akan berpengaruh terhadap jumlah buah per tanaman. Jumlah
cabang terbanyak pada varietas Lembang 1 (38,53) berbeda nyata dengan
varietas Tombak (28,47) dan Tanjung 2 (25,43).
Di samping kesesuaian ekologi budidaya, tanaman sayuran berbeda
menurut periode tumbuh dan umur panen. Menurut Hartuti dan Sinaga (2006)
umur panen cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai dan lokasi
penanaman. Cabai dapat dipanen pada umur 60-75 hari setelah tanam untuk
yang ditanam pada dataran rendah dan pada umur 3-4 bulan untuk yang di
1217
dataran tinggi. Cabai dipanen setelah buahnya 75 % berwarna merah. Hasil
pengkajian menunjukkan varietas Tanjung 2 berbuah paling cepat (43,67 hari)
diikuti Lembang 1 (51,00 hari) dan Tombak (64,00 hari) demikian pula umur
panen paling cepat pada varietas Tanjung 2 (68,00 hari) diikuti Lembang 1
(76,00 hari) dan Tombak (85,67 hari). Varietas Tanjung 2 dan Lembang 1
merupakan varietas yang lebih genjah dilihat dari waktu berbuah yang lebih
cepat, sehingga umur tanaman panen kedua varietas tersebut juga lebih awal
dibanding dengan Tombak. Umur panen yang lebih cepat sejalan dengan
karakter umur berbunga yang cepat.
Hilmayanti et al. (2006) Dalam Syukur
dkk, 2010 menyatakan bahwa dalam rangka perbaikan hasil panen, maka
perbaikan karakter umur berbunga melalui program pemuliaan juga perlu
dilakukan. Karakter umur berbunga awal (genjah) merupakan salah satu karakter
unggul dari suatu tanaman. Hal ini sejalan dengan Permadi dan Kusandriani
(2006) yang menyatakan bahwa cabai yang dipanen lebih cepat akan
menguntungkan petani.
Penampilan tanaman tergantung pada genotipe, lingkungan dimana
tanaman tersebut tumbuh dan interaksi antara genotipe dan lingkungan.
Perbedaan pertumbuhan antar varietas menunjukkan adanya perbedaan
kemampuan masing-masing varietas
dalam menyerap setiap unsur yang
diperlukan dalam pertumbuhan seperti unsur hara, sinar matahari dan faktor
lingkungan lainnya. Varietas unggul telah melalui beberapa proses seleksi
sebelum dilepas sehingga secara genetik telah memiliki potensi tumbuh yang
baik demikian pula dengan potensi hasil yang tinggi. Namun demikian faktor
lingkungan sangat mempengaruhi pencapaian potensi genetiknya. Lingkungan
yang mendukung akan memberikan penampilan sifat terbaik, sebaliknya
lingkungan yang kurang menunjang dapat menyebabkan potensi genetik suatu
tanaman tidak dapat dicapai secara optimal.
Cabai merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang luas. Cabai
dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dari tanah berpasir sampai berkilat
asalkan terdapat aerasi dan drainase yang baik tanah yang paling ideal untuk
tanaman cabai adalah tanah yang mengandung cukup bahan organik dan
mempunyai pH sekitar 6.0-6.5. Berdasarkan deskripsinya varietas Lembang-1
dan Tanjung-2 memiliki daya adaptasi yang luas sehingga cocok ditanam pada
dataran rendah maupun dataran tinggi (Puslithorti, 2011).
Curah hujan yang tinggi dan iklim yang basah dapat menyebabkan
tanaman cabai terserang penyakit. Sebaliknya, curah hujan yang rendah dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terhambat dan dapat mempengaruhi
ukuran buah. Intensitas curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman
adalah 600-1250 mm per tahun. Cabai sensitif terhadap sinar matahari yang terik
tetapi menghendaki penyinaran penuh sepanjang hari. Cabai rentan terhadap
hujan yang terlalu deras dan cuaca yang mendung. Namun demikian cabai
toleran terhadap naungan hingga 45 %.
Suhu udara yang optimal bagi
pertumbuhan cabai adalah 16-32 oC. (Wijoyo, 2008).
Komponen Hasil Tanaman
Terdapat perbedaan dari ketiga varietas terhadap komponen hasil
tanaman (Tabel 2). Jumlah buah per tanaman paling banyak pada varietas
Tombak (83,67) berbeda nyata dengan varietas Tanjung 2 (64,33) dan
Lembang 1 (74,00), demikian pula panjang buah, varietas Tombak paling
1218
panjang (15,67 cm) berbeda nyata dengan Tanjung 2 (12,60 cm) dan Lembang
1 (13,07 cm). Sedangkan bobot 10 buah dan bobot buah per tanaman serta
produksi ton/ha tertinggi pada varietas Tombak dan berbeda nyata dengan
Tanjung 2 dan Lembang 1. Produksi Varietas Tombak (6,01 t/ha) diikuti
Tanjung 2 (5,72 t/ha) dan Lembang 1 (4,50 t/ha).
Tabel 2. Pengaruh varietas terhadap komponen hasil cabai
Varietas
Tanjung 2
Lembang 1
Tombak
Jlh buah per
Tanaman
64,33 a
74,00 b
83,67 c
Panjang
buah (cm)
12,60 a
13,07 b
15,67 c
Bobot
10
buah (gr)
127,87 b
37,55 a
153,03 c
Bobot buah
per tan (gr)
655,37 b
244,71 a
763,73 c
Produksi ton
per ha (t/ha)
5,72 b
4,50 a
6,01 c
Keterangan: Angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5 persen menurut DMRT.
Produktivitas cabai varietas Tombak lebih tinggi dibanding dua varietas
lainnya. Berdasarkan deskripsinya, potensi hasil varietas tombak dapat mencapai
20 ton /ha serta tahan terhadap penyakit antraknosa. Varietas ini merupakan
hasil introduksi dari Thailand. Varietas Lembang-1 memiliki potensi hasil 5.6-19
ton/ha dan agak toleran terhadap penghisap daun (trips) dan agak tahan
terhadap penyakit antraknosa. Sedangkan varietas Tanjung-2 memiliki potensi
hasil 18 ton/ha (Puslithorti, 2011).
Varietas yang memberikan hasil yang mendekati atau tidak jauh berbeda
dengan potensi hasil yang dimiliki secara genetik dapat dikategorikan sebagai
varietas yang memiliki adaptasi dan stabilitas hasil yang baik. Stabilitas di
definisikan sebagai kemampuan dari suatu genotipe untuk menghindari
perubahan hasil yang besar dari berbagai lingkungan.
Dengan demikian
stabilitas dan adaptasi suatu varietas sangat ditentukan oleh interaksi antara
genotipe dan lingkungan (curah hujan, tanah, suhu, sinar matahari). Tipe iklim
Kabupaten Jeneponto termasuk tipe iklim basah sampai kering dan jenis tanah
yang dominan adalah tanah alluvial dengan pH tanah 5-7 (Nurland, 2011).
Kecamatan Kelara termasuk salah satu kecamatan yang pola distribusi dan
jumlah curah hujan tergolong basah dan Jenis tanah andosil. Secara umum
agroklimat di kabupaten Jeneponto mendukung pengembangan tanaman cabai.
Melalui penerapan teknologi budidaya secara intensif seperti penggunaan mulsa
dan pengapuran untuk tanah-tanah yang berpH masam-agam masam, peluang
pencapaian produksi sesuai dengan potensi genetiknya dapat tercapai.
Analisis Usahatani Cabai
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang diharapkan dapat
meningkatkan produksi dan memberikan pendapatan yang lebih besar.
Berdasarkan analisis usahatani
(Tabel 3), pendapatan tertinggi diperoleh dari
varietas Tombak yaitu sebesar Rp. 31.919.000 per hektar, diikuti Tanjung 2 Rp.
29.889.000 per hektar dan Lembang 1 Rp. 21.349.000 per hektar dengan R/C
ratio berturut-turut 3,1, 2,9 dan 2,1. Perbedaan keuntungan dari ketiga varietas
tersebut disebabkan oleh tingkat produktivitas, sehingga semakin tinggi
produktivitas yang dicapai semakin besar. Dari hasil analisis ekonomi, R/C ratio
1219
dari ketiga varietas menunjukkan angka lebih dari satu. Hal ini berarti bahwa
semua varietas ungggul cabai yang diuji dapat memberikan keuntungan.
Tabel 3. Analisis pendapatan usahatani cabai
No
1.
2.
3.
4.
5.
Uraian
Total Biaya Produksi (Rp)
Produksi
Pendapatan
Keuntungan
R/C
Tombak
10.151.000
6.01
31.919.000
21.768.000
3.14
Tanjung-2
10.151.000
5.72
29.889.000
19.738.000
2,94
Lembang-1
10.151.000
4.50
21.399.000
11.198.000
2.10
Menurut Brown ( 1983 ), R/C ratio dapat digunakan untuk mengetahui layak atau
tidaknya suatu teknologi untuk diaplikasikan. Semakin tinggi nilai R/C ratio, maka
teknologi semakin layak untuk diaplikasikan dan dianjurkan ke petani. Faktor
yang mempengaruhi pendapatan dan R/C ratio dari suatu usahatani meliputi
tingkat produktivitas hasil, faktor produksi dan harga.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Cabai merah varietas Tombak, Tanjung-2 dan Lembang-1 cocok untuk
dikembangkan pada lahan kering di kelurahan Tolo Utara, Kec. Kelara,
Kabupaten Jeneponto dengan capaian hasil masing-masing 6.01 t/ha, 5.72
t/ha dan 5.50 t/ha.
Pengembangan ketiga varietas tersebut layak secara teknis dan ekonomis
dengan nilai B/C masing-masing 3.14, 2.94 dan 2.10.
Produktivitas ketiga varietas tersebut masih dapat ditingkatkan sesuai
potensi genetiknya melalui penerapan teknik budidaya secara intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Armiati, Agussalim, Cicu, L. Hutagalung dan St. Norma, 1993. Penanaman cabai,
Tomat, Kubis, Kentang dan Kacang Panjang pada Lahan Diantara
Mangga. Laporan Hasil Penelitian T.A 1992/1993 Sub Balithorti
Jeneponto.
Brown, N. L., 1983. Farm Budget From Farm Income Analysis to Agricultural
Project Analysis. The John Hopkin University Press.
Haryati Yati dan Agus Nurawan, 2011. Pengkajian Budidaya Cabai Merah
Varietas Prabu di Kabupaten Cirebon.
Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol 14(3). Hal: 191-196.
Hartuti, N., R.M. Sinaga. 2006. Aspek panen dan pascapanen cabai. hal. 66-81.
Dalam A. Santika (Ed.). Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta
Hartuti, N. Dan Asgar.1994. Kualitas Bahan Baku dan Hasil Olahan Cabai di
tingkat industri komersial dan rumah tangga di Bandung. Buletin
Penelitian Hortikultura 26(2):96-103.
Lukmana, A., 1994. Agroindustri Cabai Selain Untuk Keperluan Pangan. Ibid.
1220
Nurland, Farida. 2011. Studi zonasi Pengembangan Komoditas Unggulan
Kabupaten Jeneponto. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Vol.8 Nomor
1.
Puslithorti, 2011. Unit Produksi Benih Sumber Hortikultura. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura. http:upbs.puslithorti.net. Diakses 9
Nopember 2012.
Permadi, A.H., Y. Kusandriani. 2006. Pemuliaan tanaman cabai. hal. 22-35.
Dalam A. Santika (ed.). Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta.
Setiadi, T., 1994. Pemasaran Cabai. Ibid.
Suwandi, Nani Sumarni, dan Farid A.Bahar. 1995. Aspek Agronomi Cabai. Dalam
Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya, hal 53-65.
Sembiring N.N. 2009. Pengaruh Jenis Bahan Pengemas terhadap Kualitas Produk
Cabai Merah (Capsicum annuum L). Tesis. Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Syukur Muh, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti dan Darmawan Asta Kusumah,
2010. Evaluasi Daya Hasil Cabai Hibrida dan Daya Adaptasinya di
Empat Lokasi dalam Dua Tahun. Jurnal Agronomi Indonesia 38 (1) :
43 - 51 (2010)
Taufik, M., 2011. Analisis Pendapatan Usaha Tani Dan Penanganan Pascapanen
Cabai Merah. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2). Hal: 66-72.
Wijoyo Padmiarso M, 2008. Taktik Jitu Menanam Cabai di Musim Hujan. Bee
Media Indonesia, Jakarta
1221
APLIKASI MANAJEMEN KEBUN DALAM USAHATANI KAKAO
DI KABUPATEN LUWU
Kartika Fauziah, Nurdiah Husnah, Sahardi Mulia Dan Farida Arief
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Telp. 08124223598; email : mba_rik@yahoo.com
ABSTRAK
Paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dikaitkan
dengan terbitnya isu manajemen lingkungan yang menekankan pada pengelolaan
sumber daya alam yang efektif dan efisien dengan meminimalkan dampak negatif
terhadap lingkungan di sekitarnya. Perawatan (pemeliharaan kebun kakao) tersebut
mencakup pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan. Pada kegiatan sanitasi
sekaligus dapat dilakukan pembuatan pupuk organik dikebun sehingga penggunaan
pupuk an organik dapat berkurang dan kebun menjadi bersih. Kebun kakao yang terawat
dengan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula, dan merupakan suatu upaya
melestarikan lingkungan yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu upaya untuk
mensosialisasikan penerapan manajemen pemeliharaan kebun kakao yang benar kepada
petani. Kegiatan ini merupakan kegiatan on farm yang mengintroduksi teknologi
pemeliharaan kebun kakao dengan pendekatan partisipatif. Waktu pelaksanaan kegiatan
pada bulan Januari - Desember 2011 berlokasi di Desa Jambu, Kec. Bajo, Kab. Luwu.
Petani pelaksana adalah FMA Jambu. Ruang lingkup kegiatan meliputi ; sosialisasi, FGD,
aplikasi teknologi, pengamatan, analisis data, temu lapang dan pelaporan. Data
dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan langsung, kemudian data dianalisis
dengan analisis statistik sederhana untuk melihat kelayakan teknis teknologi dan analisis
deskriptif terkait karakterisasi teknologi yang didemonstrasikan. Hasil yang diperoleh
adalah (1) produksi bunga, pentil dan buah meningkat setelah dilakukan aplikasi
teknologi; (2) sebelum aplikasi teknologi ditemukan penyakit
kanker batang dan
helopelthis ± 10%, akan tetapi setelah dilaksanakan aplikasi teknologi penyakit tersebut
tidak ditemukan lagi; (3) komponen teknologi yang diminati petani 100% adalah
teknologi pemangkasan, pemupukan dan cara pemupukan. Sedangkan komponen
teknologi pembuatan pupuk organik (68%), pembuatan lubang/rorak (55%).
Kata kunci : Aplikasi, manajemen kebun, kakao
PENDAHULUAN
Tanaman kakao (Theobroma cacao L) merupakan komoditas perkebunan
yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Luas areal
pertanaman kakao di Sulawesi Selatan hingga tahun 2007 mencapai 250.855 ha,
dengan produksi total 117.119 ton atau rata-rata 0,677 ton/ha (DIRJENBUN,
2009). Kabupaten Luwu merupakan salah satu sentra utama penghasil kakao di
Sulawesi Selatan. Dengan luas lahan mencapai 37.662 ha dengan produksi pada
tahun 2006 mencapai 31.543 ton dan terus menurun hingga pada tahun 2008
hanya mencapai 20.200 ton (Dirjen Perkebunan, 2010). Hal ini disebabkan oleh
tingginya serangan OPT (PBK, Busuk Buah dan VSD) pada kebun petani.
Tingginya serangan ini juga disebabkan oleh kurang terawatnya kebun kakao
petani.
1222
Perawatan (pemeliharaan kebun kakao) tersebut mencakup pemangkasan,
sanitasi, panen sering dan pemupukan. Pada kegiatan sanitasi sekaligus dapat
dilakukan pembuatan pupuk organik dikebun sehingga penggunaan pupuk an
organik dapat berkurang dan kebun menjadi bersih. Kebun kakao yang terawat
dengan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula, dan merupakan suatu
upaya melestarikan lingkungan yang berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi
berikutnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain pembangunan
berkelanjutan memanfaatkan sumberdaya secara bijaksana, sehingga
sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat dinikmati oleh generasi seterusnya
(Santoso, 2009). Dalam era millennium ini, telah berkembang paradigma
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dikaitkan dengan
terbitnya isu manajemen lingkungan yang menekankan pada pengelolaan
sumber daya alam yang efektif dan efisien dengan meminimalkan dampak
negatif terhadap lingkungan disekitarnya.
Paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut memiliki tiga pilar utama,
yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Secara ekonomi, pembangunan agribisnis
/agroindustri harus dapat menciptakan pertumbuhan yang tinggi untuk mrncapai
kesejahteraan, khususnya bagi stakeholder agribisnis/agroindustri. Secara
ekologi, pembangunan tersebut hendaknya menekan seminimal mungkin
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pengelolaan sumber daya
alam. Secara sosial, memberikan kemanfaatan pada masyarakat luas. Paradigma
global di atas juga harus diantisipasi oleh para stakeholder agribisnis dan
agroindustri, mengingat dalam konteks yang lebih luas (Kristanto, 2004). Oleh
karena itu perlu upaya untuk mensosialisasikan penerapan manajemen
pemeliharaan kebun kakao yang benar kepada petani.
METODOLOGI
Kegiatan ini merupakan kegiatan on farm yang mengintroduksi teknologi
pemeliharaan kebun kakao dengan pendekatan partisipatif. Waktu pelaksanaan
kegiatan pada bulan Januari - Desember 2011 berlokasi di Desa Jambu, Kec.
Bajo, Kab. Luwu. Petani pelaksana adalah FMA Jambu. Ruang lingkup kegiatan
meliputi ; sosialisasi, FGD, aplikasi teknologi, pengamatan, analisis data, temu
lapang dan pelaporan. Data dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan
langsung, kemudian data dianalisis dengan analisis statistik sederhana untuk
melihat kelayakan teknis teknologi dan analisis deskriptif terkait karakterisasi
teknologi yang didemonstrasikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Teknis Teknologi Manajemen Kebun Kakao
Teknologi yang akan di introduksi sebelumnya di sosialisasikan dalam
suatu forum pertemuan yang dihadiri oleh petani, penyuluh dan peneliti sebagi
nara sumber. Dalam kegiatan ini dicapai kesepakatan tentang jenis dan macam
1223
teknologi yang akan didemonstrasikan sesuai dengan kondisi spesifik lokasi dan
kemampuan petani untuk menerapkan teknologi. Apabila kita mengharapkan
petani mengadopsi teknologi tersebut, harus diyakini bahwa teknologi tersebut
benar-benar diinginkan oleh petani dan dapat memecahkan masalah yang
dihadapi petani.
Selanjutnya akan diuraikan karakteristik teknologi yang
diintroduksi berdasarkan komponen-komponen aktivitas yang menjadi bagian
dari teknologi tersebut, dalam tabel berikut ini :
Tabel 1.
No
1.
Karakteristik teknologi introduksi pada demonstrasi
pemeliharaan kebun kakao di Kabupaten Luwu, 2011.
Paket/Komponen
Teknologi
Pemangkasan/ Cara
pemangkasan yang
benar



2.
Pembuatan lubang
/ rorak


3.
Pembuatan pupuk
organik
langsung
dikebun



4.
Pemupukan / cara
pemupukan


5.
Pengendalian Hama
dan Penyakit
teknologi
Karakter Teknologi Introduksi
Kelebihan
Kekurangan
Membuang bagian yang tidak
 Membutuhkan
produktif
waktu untuk
memangkas
Mengatur pertunasan, bunga dan
buah
Mempermudah panen dan
perlindungan tanaman
Membuat kebun menjadi bersih
 Membutuhkan
waktu dan
Menjadi tempat pembuatan pupuk
organic
tenaga untuk
membuat
lubang/rorak
Tidak perlu membeli pupuk organik  Butuh biaya
untuk
Dapat langsung dimanfaatkan
tanaman
membeli
decomposer
Membuat tanah menjadi lebih
subur
Pupuk tidak terbuang karena di
 Butuh waktu
timbun
lebih banyak
dalam
Tanaman menjadi lebih baik
memupuk
 Mengendalikan serangan PBK dan
VSD
 Meningkatkan produksi
 Butuh biaya
membeli
pestisida
Sumber : Hasil Olahan Data Primer
Suatu teknologi yang ditawarkan akan memberikan keuntungan yang
relatif lebih besar, dibandingkan teknologi lama, maka adopsi akan berjalan lebih
cepat. Untuk itu dapat dilakukan dengan cara membandingkan kelebihan dan
kekurangan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada, kemudian
identifikasi teknologi dengan biaya rendah atau teknologi yang produksinya
tinggi. Berdasarkan uraian tabel karakterisasi teknologi yang telah dilakukan,
menunjukkan bahwa kelebihan atau keunggulan teknologi yang diintroduksi
relatif lebih besar dibanding dengan kekurangannya, sehingga diyakini bahwa
teknologi tentang manajemen pemeliharaan kebun kakao akan lebih mudah
untuk diadopsi oleh petani karena memiliki lebih banyak keuntungan utamanya
untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki kesuburan tanah.
1224
Efektivitas Teknologi Manajemen Kebun Kakao
Data hasil pengamatan produksi sebelum dan sesudah aplikasi teknologi
disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2. Data produksi sebelum dan sesudah aplikasi teknologi pada
demonstrasi teknologi pemeliharaan kebun kakao di Kab. Luwu, 2011.
Uraian
Bunga
Pentil
Buah
Sebelum aplikasi
21
7
5
Sesudah aplikasi
62
10
8
Sumber : Hasil Olahan Data Primer
Gambar 1. Grafik data produksi sebelum dan sesudah aplikasi teknologi
Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat bahwa produksi bunga, pentil
dan buah meningkat setelah dilakukan aplikasi teknologi. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila petani melakukan teknologi pemeliharaan kebun kakao yang
benar maka produksinya akan meningkat. Untuk data pengamatan intensitas
serangan hama penyakit, untuk hama PBK dan penyakit VSD belum ditemukan
baik sebelum maupun sesudah aplikasi teknologi. Hal ini disebabkan karena
tanaman yang ada di kebun demplot adalah tanaman baru yang berasal dari bibit
sambung pucuk dan berumur 1,5 tahun sehingga serangan hama PBK dan VSD
belum ada. Meskipun begitu sebelum aplikasi teknologi ditemukan penyakit
kanker batang dan helopelthis ± 10%, akan tetapi setelah dilaksanakan aplikasi
teknologi penyakit tersebut tidak ditemukan lagi. Hal ini juga menunjukkan
bahwa serangan hama dan penyakit akan berkurang apabila teknologi
pemeliharaan kebun kakao yang benar dilakukan. Pada tabel berikut akan
disajikan efektivitas daripada teknologi yang telah diberikan
1225
Tabel 2.
No
1.
2.
Persentase efektivitas teknologi pada demonstrasi
pemeliharaan kebun kakao di Kab. Luwu, 2011.
Jenis Teknologi
Pemangkasan
Pembuatan
pupuk
organik
Pembuatan lubang /
rorak
Pemupukan / cara
pemupukan
3.
4.
Tidak
berminat
0
0
teknologi
Efektivitas Teknologi (%)
Berminat tapi belum Berminat dan akan
akan menerapkan
menerapkan
0
100
32
68
0
45
55
0
0
100
Sumber : Hasil Olahan Data Primer
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa 100% petani berminat dan akan
menerapkan teknologi pemangkasan dan pemupukan/cara pemupukan di
kebunnya.
Bagi mereka teknologi ini sudah mereka lakukan di kebun
sebelumnya walaupun caranya belum benar, sehingga dengan teknologi cara
pemangkasan dan pemupukan yang benar mereka akan lebih mudah untuk
menerapkan teknologi ini dikebunnya. Sedangkan untuk teknologi pembuatan
pupuk organik (68%) dan pembuatan lubang/rorak (55%) petani berminat dan
akan menerapkan dikebunnya sedangkan 32% untuk pembuatan pupuk organik
dan 45% untuk pembuatan lubang/rorak menyatakan berminat tapi belum akan
menerapkan dikebunnya. Alasan mereka belum menerapkan dikebunnya adalah
karena teknologi tersebut membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga.
Beberapa harapan yang diinginkan oleh petani setelah kegiatan demplot berakhir
diantaranya adalah :
1. Kegiatan demplot ini hendaknya berlanjut di tahun yang akan datang.
2. Untuk demplot berikutnya disarankan untuk kegiatan pengendalian hama
dan penyakit tanaman kakao.
3. Bimbingan teknologi diharapkan terus berlanjut sehingga produksi kakao
dapat meningkat terus.
4. Kegiatan demplot tidak hanya dilakukan pada satu lokasi tapi pada
beberapa lokasi sehingga teknologi yang diberikan dapat lebih cepat
teradopsi.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Produksi bunga, pentil dan buah meningkat setelah dilakukan aplikasi
teknologi.
Serangan
hama dan penyakit akan berkurang apabila teknologi
pemeliharaan kebun kakao yang benar dilakukan.
Komponen teknologi yang diminati petani 100% adalah
teknologi
pemangkasan, pemupukan dan cara pemupukan. Sedangkan komponen
teknologi pembuatan pupuk organik (68%), pembuatan lubang/rorak (55%)
dan akan menerapkan dikebunnya.
1226
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian,
Pengkajian dan Diseminasi Teknologi Pertanian. Deptan. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
BPS Kabupaten Luwu, 2006. Kabupaten Luwu dalam Angka. Badan Pusat
Statistik. Kabupaten Luwu.
Dinas Perkebunan, 2009. Pemulihan Produksi dan Kualitas Kakao untuk
Mendukung Rencana Pengembangan Industri Pengolahan Kakao.
Pemerintah Sulawesi Selatan.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008. Pedoman Umum Gerakan Peningkatan
Produksi dan Mutu Kakao Nasional 2009-2011. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Statistik
Perkebunan
2008-2010.
http://pertanian-centre.blogspot.com/2008/10/budi-daya-tanaman-kakao.html
http://www.mail-archive.com/agromania@yahoogroups.com/ msg00037. Htm
1227
KAJIAN PEMANFAATAN KOMPOS PUPUK KANDANG
PADA PEMBIBITAN TEBU GENERASI 2 (G2) ASAL KULTUR JARINGAN
Peter Tandisau dan Herniwati
Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan km 17,5 Makassar Tlp : (0411)556449
email : p_tandisau@yahoo.com
ABSTRAK
Kajian Pemanfataan Kompos Pupuk Kandang pada Pembibitan Tebu Generasi 2 (G2) asal
Kultur Jaringan. Tujuan Pengkajian yaitu menghasilkan paket teknologi spesifik lokasi
pemanfaatan kompos pupuk kandang dalam pengelolaan bibit tebu Generasi 2 (G2) asal
kultur jaringan pada pembibitan Kebun Bibit Datar yang mampu meningkatkan jumlah
dan kualitas bibit untuk Kebun Tebu Giling di Sulawesi Selatan Kegiatan ini berifat kajian
yang ruang lingkupnya meliputi pada media pembibitan, dan aplikasi perlakuan kompos
pupuk kandang pada Kebun Bibit Datar. Kajia.n dilaksanakan di Kabupaten Takalar,
merupakan pusat pengembangan tebu (Pabrik Gula), berlangsung April – Oktober 2012.
Perlakuan disusun dalam RAK dengan 5 perlakuan, 5 ulangan. Perlakuan terdiri dari
aplikasi kompos, pupuk kandang, pupuk majemuk NPK, dan kombinasinya. Parameter
yang diamati antara lain komponen pertumbuhan bibit mencakup jumlah batang,
diameter batang, bobot batang, jumlah mata tunas, serta tinggi tanaman. Data diolah
dan dianalisis dengan sidik ragam dan selanjutnya perbedaan perlakuan diuji dengan
DMRT. Selain itu juga dianalisis secara ekonomis. Data lain yang diperlukan adalah data
analisis kadar hara tanah dan kompos sebelum perlakuan. Perlakuan aplikasi pupuk
anorganik tunggal 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kompos pupuk kandang 2 – 5 ton/ha
belum mampu memberikan pengaruh yang efektif terhadap pertumbuhan dan produksi
bibit tebu. Untuk memenuhi kebutuhan hara N, maka disarankan untuk memberikan
kompos pupuk kandang 25 – 30 ton/ha. Akan tetapi jika diterapkan pemupukan
berimbang maka dosis tersebut dapat dikurangi dan diimbangi dengan pemberian pupuk
anorganik sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kebutuhan hara P dan K pada lokasi
penelitian tergolong tinggi sehingga penambahan hara P dan K perlu dipertimbangkan.
Kata kunci : Kompos, pupuk kandang, kultur jaringan, tebu.
PENDAHULUAN
Gula tebu merupakan bahan pangan penting dan merupakan salah satu
komoditas strategi dalam kancah perekonomian Indonesia. Sampai saat ini gula
masih memerlukan perhatian besar pemerintah karena produksi dalam negeri
belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Guna memenuhi kebutuhan gula
dalam negeri diupayakan pemerintah melalui impor. Dengan semakin tingginya
harga gula dunia dan kebutuhan gula yang terus meningkat akan berdampak
negatif terhadap ketahanan devisa. Pada tahun 2007, Indonesia tercatat
mengimpor gula sebanyak 3,03 juta t dengan nilai US $ 1,05 miliar (Candra,
et.al, 2010) untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah terus berupaya keras
meningkatkan produksi gula guna memenuhi kebutuhan tersebut dengan
mecanangkan program swasembada gula pada tahun 2014 (Haryono, 2011).
1228
Salah satu daerah penghasil gula tebu di Indonesia adalah Sulawesi Selatan yang
diharapkan dapat member kontribusi dalam peningkatan produksi gula di
Indonesia.
Tiga hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai swasembada gula
yaitu peningkatan produktivitas, peningkatan rendemen, dan perluasan areal.
Kondisi pertebuan (gula) saat ini adalah sebagai berikut : luas aeal kebun
433.000 ha, produktivitas tanaman 78,2 t/ha, rendemen gula 6,48%, dan
produksi habrur 2,39 juta ton. Kebutuhan gula tahun 2014 diperkirakan sekitar
5,7 juta ton. Jika produktivitas dan rendemen relatif tetap maka untuk
memenuhi kebutuhan gula diperlukan perluasan areal hingga satu juta ha
sehingga butuh perjuangan ekstra keras membuka area (hutan) setara ±
570.000 ha. Cara yang dapat diupayakan dalam rangka mengurangi pembukaan
lahan adalah meningkatkan produktivitas tebu dan rendemen masing-masing
menjadi 87,5 t/ha dan 8,5%. Peluang peningkatan produktivitas dan rendemen
tebu cukup besar. Beberapa varietas unggul tebu telah tersedia dengan potensi
hasil > 100 t/ha dan potensi rendemen > 10% (Haryono, 2011; Purwono, 2011).
Salah satu faktor penting penopang peningkatan produksi dan
produktivitas gula (tebu) adalah penyediaan varietas dan bibit unggul bermutu
(Purwono, 2011). Pengadaan bibit tebu dalam skala besar, cepat dan murah
sangat diperlukan. Pengadaan bibit seperti itu hanya dapat dicapai melalui
Teknik Kultur Jaringan (Mariska dan Rahayu, 2011). Perbanyakan cara kultur
jaringan pada tebu telah banyak diterapkan di manca negara. Badan Litbang
Pertanian juga sudah mulai memperbanyak tanaman tebu asal kultur jaringan
pada berbagai varietas unggul yang direkomendasikan. Sehubungan dengan itu
perlu disiapkan teknologi spesifik lokasi pengelolaan bibit tebu asal kultur
jaringan. Salah satunya adalah pemanfaatan sumberdaya lokal pupuk organik
(pupuk kandang) perlu mendapat perhatian karena berperan penting dalam
perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Hsieh dan hsieh, 1990; Seybol et.al,
1997; Six et al, 2012) dalam rangka mendukung lingkungan tumbuh bibit yang
kondusif sehingga meningkatkan kualitas pertumbuhan bibit tebu di pembibitan.
Gula merupakan kebutuhan pokok masyarakat, sumber kalori yang relatif
murah. Konsumsi gula di Indonesia cenderung meningkat tiap bulan baik untuk
kebutuhan rumah tangga maupun memenuhi konsumsi industry. Dengan
demikian untuk memenuhi pasokan diperoleh diperoleh melalui impor yang
volumenya beberapa tahun terakhir > 1 juta ton pertahun dengan nilai ± AS
$500 juta, suatu nilai yang cukup besar, menguras devisa (Pusat Data dan
Informasi Pertanian, 2010).
Tebu merupakan tanaman sumber bahan baku utama gula. Masalah
utama perkebunan saat ini antara lain adalah produktivitas dan rendemen
rendah, masing-masing 70 – 80 t/ha dan ≤ 7 %, sementara potensi hasil ≥100
t/ha dan ≥10%. Penyebab rendahnya produktivitas dan rendemen diantaranya
adalah kurang optimalnya pengelolaan tanaman di on farm,
utamanya
penggunaan dan ketersediaan bibit yang bermutu belum terjamin. Bibit tebu
bermutu saat ini sudah merupakan kebutuhan dasar karena dirasakan mampu
memberi nilai tambah (peningkatan hasil) sampai 30% bagi petani kebutuhan
bibit tebu bermutu untuk cukup besar. Oleh karena itu bibit tebu bermutu perlu
disiapkan dalam skala besar, cepat dan murah. Kondisi ini dicapai hanya melalui
perbanyakan kultur jaringan. Bibit tebu hasil kultur jangan sifat genetiknya tetap
1229
sama dengan varietas induknya (asli), sehat dan cepat berkembang. Bibit tebu
kultur jaringan perlu pengelolaan yang baik di pembibitan agar mutunya tetap
terjamin sampai ke pertanaman kebun tebu giling.
Pemanfaatan bahan organik (pupuk kandang) dalam pengelolaan kebun
pembibitan tebu diharapkan dapat menjamin mutu bibit tebu generasi
berikutnya. Pupuk kandang banyak tersedia (melimpah) di lapang. Proses
pengomposan pupuk kandang sederhana dan cepat dapat dilakukan dengan
bantuan decomposer (mikroorganisme) yang sudah banyak beredar dan tersedia,
serta mudah dan murah.
Melalui pemanfaatan pupuk kandang dalam pengelolaan bibit tebu
generasi G2 kultur jaringan pada pembibitan Kebun Bibit Datar (KBD) diharapkan
mampu memperbaiki kualitas tanah, selanjutnya akan menopang perbaikan
kualitas bibit untuk kebun Tebu Giling (Seybold, 1997; Tisdale et.al, 1993).
Tujuan pengkajian yaitu menghasilkan paket teknologi spesifik lokasi
pemanfaatan kompos pupuk kandang dalam pengelolaan bibit Generasi 2 (G2)
asal kultur jaringan pada pembibitan Kebun Bibit Datar (KBD) yang mampu
meningkatkan jumlah dan kualitas untuk Kebun Tebu Giling (KTG) di Sulawesi
Selatan.
METODOLOGI
Kajian ini dilaksanakan di Desa Lantang Kecamatan Polongbangkeng
Selatan Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, berlangsung mulai bulan Januari
hingga Desember 2012.
Rancangan Pengkajian
Kegiatan ini bersifat kajian dengan komponen teknologi yang dikaji yaitu
perlakuan pemupukan dan kompos di kebun bibit datar (KBD). Untuk media
tanam : kompos pupuk kandang + tanah dengan perbandingan 2 : 1.
Selanjutnya dilakukan transplanting ke kebun bibit datar dengan kombinasi
perlakuan pupuk anorganik dan kompos sebagai berikut :
1.
Kompos pupuk kandang 5,0 t/ha
2.
Kompos pupuk kandang 2,0 t/ha + 300 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +
50 kg KCl/ha
3.
600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha
4.
NPK (Pupuk Majemuk 20 : 10 : 10) 1200 kg/ha
5.
Kompos pupuk kandang 5,0 t/ha + 200 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha
Kegiatan ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari 4
perlakuan dengan 5 kali ulangan dengan jarak tanam 25 x 35 cm. Prosedur
pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut (Sugiyarta, 2011) :

Persiapan media tanam : tanah, kompos, pupuk dan bahan tanam G2
varietas PS 864

Penanaman bibit di Polybag

Pemeliharaan dederan di Polibag

Transplanting (umur 6 – 8 minggu)

Persiapan kebun bibit

Penanaman
1230

Pemeliharaan tanam di kebun bibit
Panen (umur 6 bulan)

Pengumpulan/Pengolahan dan Analisis Data
Parameter yang akan diamati, meliputi jumlah anakan (batang), diameter
batang, bobot bagian atas tanaman, serta tinggi tanaman. Selain itu juga akan
dianalisis kadar hara tanah dan kompos. Data yang dikumpulkan diolah dan
dianalisis dengan sidik ragam, sedangkan pengaruh perbedaan antar perlakuan
diuji dengan Duncan Multiple Range Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian
Produktivitas tebu sangat dipengaruhi oleh kesuburan lahan.
Permasalahan teknis
yang terjadi pada lahan kering adalah rendahnya
produktivitas yang diakibatkan oleh daya dukung lahan yang kurang mendukung
pertumbuhan tanaman. Karakteristik lahan di lokasi penelitian berdasarkan hasil
analisis tanah menunjukkan bahwa tanah bersifat agak masam, C-Organik dan N
rendah, sementara P, K, Ca dan Mg kadarnya sedang hingga tinggi. Analisis
tanah tersaji secara lengkap pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik tanah lokasi kajian, Takalar 2012.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Parameter
pH, H2O
pH, KCl
C-Organik, %
N-Total, %
C/N
P2O5, HCl 25%; mg/100 g
K2O, HCl 25%
P2O5, Bray I; mg/100 g
K2O, Bray I
Kation – dd (me/100 g)
Ca
Mg
K
Na
KTK;me/100g
KB (%)
Sumber : Hasil analisis laboratorium tanah, 2012
Nilai
5,72
4,99
1,38
0,20
6
58
80
65
255
Keterangan
Masam
8,67
6,51
0,55
0,05
19,05
83
Sedang
Tinggi
Sedang
Sangat Rendah
Sedang
Sangat Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Karakteristik Kompos Pupuk Kandang
Hasil analisis kadar hara kompos pupuk kandang yang dipakai tercantum
dalam Tabel 2. Kualitas kompos yang digunakan dalam kajian sesuai dengan
standart mutu pupuk organik SNI 19-7030-2004.
Nilai Rasio C/N (9)
menunjukkan bahwa kompos tersebut telah matang, telah mengalami proses
pengomposan yang baik, sehingga siap untuk di aplikasikan sebagai pupuk
organik.
1231
Tabel 2. Kadar hara kompos pupuk kandang, Takalar 2012
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Parameter
N- total, %
P2O5,%
K2O, %
C – Organik, %
C/N ratio
Ca, %
Mg, %
Nilai
1,32
1,94
3,05
11,31
9
1,90
0,67
Sumber : Hasil analisis laboratorium tanah, 2012
Keterangan
SNI 19-7030-2004
SNI 19-7030-2004
SNI 19-7030-2004
SNI 19-7030-2004
Siap Pakai
Sesuai SNI 19-7030-2004
Sesuai SNI 19-7030-2004
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Komponen Pertumbuhan dan Produksi
Hasil analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji bergandan
Duncan untuk mengatahui tingkat efisiensi pemupukan terhadap komponen
pertumbuhan dan produksi bibit tebu asal kultur jaringan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengamatan komponen pertumbuhan dan produksi tebu, Takalar
2012
Parameter
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah anakan (btg)
Diameter Batang (cm)
Berat Segar Bagian atas tanaman (kg)
P1
178,0 b
16,5 c
2,45 b
1,88 c
P2
180,0 b
19,5b c
2,50 b
1,99 c
Perlakuan
P3
223,5 a
28,3 a
2,78 a
3,33 a
P4
206,0 a
27,5 a
2,30 b
2,70 b
P5
175,5 b
22,3 b
2,43 b
1,85 c
Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT-0,05.
Tinggi Tanaman
Hasil analisis statisik data tanaman menunjikkan bahwa tinggi tanaman
pada perlakuan yang diberi 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha
(P3) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan
perlakuan NPK (Pupuk Majemuk 20 : 10 : 10) 1200 kg/ha (P4). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik baik pupuk tunggal maupun
pupuk majemuk mampu menyediakan hara pada fase pertumbuhan.
Jumlah Anakan
Hasil analisis statisik data tanaman menunjukkan bahwa jumlah anakan
pada perlakuan 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) berbeda
nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan P4 (NPK (Pupuk Majemuk
20 : 10 : 10) 1200 kg/ha). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk
tunggal dan pupuk NPK majemuk mampu memberikan pengaruh terbaik
terhadap jumlah anakan tebu yang terbentuk.
Diameter Batang
Hasil analisis statisik data tanaman menunjukkan bahwa diameter batang
pada perlakuan 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) memiliki
diameter paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hasil ini
menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik tunggal lebih efektif dalam
mempengaruhi diameter batang tebu.
1232
Berat Segar Tanaman
Hasil analisis statisik data tanaman menunjukkan bahwa berat segar
tanaman pada perlakuan 600 kg urea/ha + 200 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha
(P3) memiliki diameter paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk tunggal lebih efektif
memberikan pengaruh terhadap produksi bibit tebu.
Berdasarkan parameter-parameter tanaman yang diamati menunjukkan
bahwa pemberian kompos pupuk kandang 2 – 5 ton/ha belum mampu
memberikan pengaruh yang efektif terhadap komponen pertumbuhan dan
produksi bibit tebu. Hal ini dikarenakan karena dosis kompos pupuk kandang
tersebut walaupun telah dikombinasikan dengan ¼ dosis rekomendasi pupuk
anorganik belum mampu memenuhi kebutuhan hara tebu utamanya hara N.
Jika dihitung secara detail, untuk hara N, kebutuhan tebu akan hara N
adalah 270 kg/ha atau 600 kg Urea/ha. Sedangkan 5 ton pupuk kandung
mengandung 66 kg N atau sebanding dengan 147 kg Urea sehingga diperlukan
tambahan 20 ton pupuk kandang agar dapat memenuhi kebutuhan N tebu
mengingat N yang terkandung di lokasi penelitian termasuk dalam kategori
rendah.
Untuk hara P, berdasarkan analisis tanah, kandungan hara P di lokasi
penelitian tergolong tinggi. Sehingga penambahan unsur P ke dalam tanah tidak
terlalu diperlukan lagi. Demikian juga dengan status unsur hara K dalam tanah
yang cukup tinggi. Penambahan hara K kedalam tanah perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan.
Selain itu kondisi lingkungan pertanaman utamanya kebutuhan air yang
kurang tersedia saat pertanaman juga memberikan pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu. Lokasi penelitian merupakan
lahan kering dengan sistem pengairan tadah hujan sehingga sumber air sangat
tergantung curah hujan. Selama pertumbuhan tanaman merupakan musim
kemarau yang berkapanjangan sehingga kondisi tanah dan tanaman sangat
kering.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
2.
3.
4.
Perlakuan aplikasi pupuk anorganik tunggal 600 kg urea/ha + 200 kg
SP36/ha + 100 kg KCl/ha (P3) memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan dan produksi bibit tebu.
Pemberian pupuk kompos pupuk kandang 2 – 5 ton/ha belum mampu
memberikan pengaruh yang efektif terhadap pertumbuhan dan produksi
bibit tebu.
Untuk memenuhi kebutuhan hara N, maka disarankan untuk memberikan
kompos pupuk kandang 25 – 30 ton/ha tanpa pupuk anorganik. Akan tetapi
jika diterapkan pemupukan berimbang maka dosis tersebut dapat dikurangi
dan diimbangi dengan pemberian pupuk anorganik sesuai dengan kebutuhan
tanaman.
Kebutuhan hara P dan K pada lokasi penelitian tergolong tinggi sehingga
penambahan hara P dan K perlu dipertimbangkan.
1233
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, I., P. Siswanto, M. Syukur, dan W. Rukmini, 2010. Budidaya dan
Pasca Panen Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Haryono, 2011. Arahan Kepala Badan Litbang Pertanian.
Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25 Mei 2011. Bogor
Materi Bimbingan
Hsieh, S.C. and C.F.Hsieh, 1990. The Use of Organic Matter in Crop Production.
Paper presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers in Crop
Production Suweon, South Korea, 18-24 June 1990.
Mariska, I., dan S. Rahayu, 2011. Pengadaan Bibit Tanaman Tebu melalui Kultur
Jaringan. Materi Bimbingan Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25 Mei
2011. Bogor
Purwono, 2011. Keragaan Varietas dan Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan
Tanaman Tebu. Materi Bimbingan Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25
Mei 2011. Bogor
Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2010.
Perkebunan
Outlook Komoditas Pertanian-
Seybold, C. A., M.J. Mansbach, D.L. Karlen and H.H. Rogers, 1997.
Quantification of Soil Quality. p 387- 404. In R. Lal (Ed.). Soil
Processeses and Carbon
Six, J.C. F., K. Denef, S.M. Ogle, J.C.Sa, and A. Albrech, 2002. Soil Organic
Matter, Biota and aggregation in temperate and tropical soil. Effect of
No Tillage. Agronomie 22: 755-775
Sugiyarta, E., 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kebun Bibit dengan
Sumber Benih Bagal Mikro Generasi 2 (G2) Kultur Jaringan. Materi
Bimbingan Teknis Pembibitan Tebu, 23 – 25 Mei 2011. Bogor
Sutanto,
R., 2002.
Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan &
Pengembangan, Yogyakarta. 219 hal.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J. D. Beaton, and J.L. Halvlin, 1993.Soil Fertility and
Fertilizers. Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada,
Toronto, Singapore, Sidney. p. 462-607
1234
KAJIAN PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LADA DI SULAWESI TENGGARA
Rusdi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof. Muh. Yamin No.89 Puuwatu-Kendari 93114
E-mail : udit507@yahoo.co.id
ABSTRAK
Kajian tentang penerapan komponen teknologi peningkatan produktivitas lada
dilaksanakan di Desa Aopa kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi
Tenggara, berlangsung mulai Januari 2011 sampai Desember 2012. Kajian bertujuan
untuk mengetahui efektifitas penerapan 7 komponen teknologi lada, yaitu : VUB,
pembibitan dengan Screen house, pemupukan dengan kompos Trichoderma, penataan
kanopi tanaman lada, pemangkasan tiang panjat, drainase dan penanggulangan gulma
terhadap pertumbuhan dan produktivitas lada. Hasil kajian secara deskriptif
menunjukkan bahwa, prosentase pertumbuhan stek lada dalam Screen house dari VUB
Natar-1dan jenis lada Lokal lebih tinggi 56% dan 40% dibanding VUB Petalin-1, Petalin2, Chunuk dan LDK hanya 5%. Persentase pertumbuhan dari setiap varietas/jenis lada di
lapangan setelah 2 tahun percobaan sekitar 158 pohon (17%), dengan pertumbuhan
vegetatif (tinggi rata-rata 80 cm), jumlah tanaman mulai berbunga yaitu varietas LDK
(42.8%), Natar-1 (28.6%), Petalin-1 dan Petalin-2 (14.3%), sedangkan Chunuk dan lada
Lokal belum berbunga. Respon petani terhadap penerapan 7 komponen teknologi yang
diintroduksikan rata-rata 89.3% menerima, 7.9% ragu-ragu dan 2.8% menolak untuk
menerapkan.
Kata kunci : Produktivitas, lada , respon, petani.
PENDAHULUAN
Tanaman lada (Piper nigrum L) adalah tanaman perkebunan yang bernilai
ekonomis tinggi. Tanaman ini dapat mulai berbuah pada umur tanaman berkisar
antara 2-3 tahun (Badan Litbang Pertanian, 2008). Seperti halnya di Lampung,
juga di Sulawesi Tenggara komoditas ini banyak diusahakan petani dalam bentuk
perkebunan kecil yang diusahakan secara turun temurun. Areal lada di Sulawesi
Tenggara seluas 12806 ha dengan produksi 2733 ton, atau produktivitas 450
kg/ha (BPS Sultra, 2011). Produksi yang dicapai masih tergolong rendah
dibanding dari potensi produksi dari beberapa varietas lada unggul misalnya
Natar-1 yang dapat mencapai 4,0 t/ha (Kemala, 2006). Dari areal 12806 ha
tersebut, sekitar 89.3 % berada di tiga sentra produksi lada Sulawesi Tenggara,
yaitu Kabupaten Konawe Selatan, Kolaka dan Konawe.
Khusus Kabupaten Konawe Selatan, terdapat tiga sentra produksi yang
tersebar di Kecamatan Landono, Mowila, dan Angata dengan produksi rata-rata
1,8 t/ha (BPS Sultra, 2011). Akibat merebaknya penyakit busuk pangkal batang
sejak tahun 2000 silam, menyebabkan produktivitas lada pada ketiga sentra
tersebut turun hingga 60 – 90 % dari produktivitas sebelumnya.
Jika
dibandingkan dengan data 2011 berarti produktivitas lada di Kabupaten Konawe
1235
Selatan pernah mencapai 2,88 – 3,42 t/ha sebelum merebaknya penyakit busuk
pangkal batang (Anonimous, 2012).
Keinginan petani untuk menanggulangi penyakit busuk pangkal batang
sangat tinggi, namun teknologinya belum sampai ke tingkat petani. Satu-satunya
upaya petani dalam mempertahankan eksistensi lada di kawasan ini adalah
mengganti tanaman yang mati dengan bibit lada baru. Teknik penyadiaan bibit
bermutu untuk mengganti tanaman yang mati di tingkat petani belum ditemukan
secara khusus. Petani memperoleh bibit dari hasil panen sendiri atau dari petani
lain yang tidak terjamin mutunya karena diambil dari tanaman yang lokasinya
endemik phytophthora penyebab penyakit busuk pangkal batang.
Menurut Manohara et al. (2004), upaya yang dapat dilakukan untuk
menekan patogen penyebab penyakit busuk pangkal batang adalah kombinasi
perlakuan teknik budidaya yang sehat dan aplikasi agensia hayati Trichoderma.
Pengendalian dengan cara tersebut relative aman dari sisi ekologi dan hampir
bisa dilakukan oleh semua kelompok tani.
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penerapan 7
komponen inovasi teknologi lada, yaitu : penggunaan varietas unggul,
pembibitan dengan Screen house, pemupukan dengan kompos Trichoderma,
penataan kanopi tanaman lada, pemangkasan tiang panjat, drainase dan
penanggulangan gulma terhadap pertumbuhan dan produktivitas lada.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Desa Aopa Kecamatan Angata Kabupaten
Konawe Selatan, berlangsung dari Januari 2011 hingga Desember 2012 (2
tahun). Varietas lada yang dikaji adalah varietas yang mempunyai referensi
keunggulan, terdiri dari Petaling-1, Petaling-2, Natar-1, Chunuk, LDK diintroduksi
dari BALITRO dan varietas/jenis lada Lokal yang eksis ditanam oleh petani
setempat. Pembibitan/persemaian stek lada dengan media tanam tanah sub
soil yang diinokulasi dengan jamur Trichoderma sp. (Ditjenbun, 2004) dalam
polybag yang ditempatkan dalam Screen house berukuran 60 m2. Sedangkan
untuk penanaman di lahan petani menggunakan lubang tanam berisi kompos
Trichoderma sp.
Untuk mengetahui efektivitas dari penerapan komponen teknologi,
dilakukan pengambilan data agronomis pada sampel tanaman yang dibibitkan
dalam Screen house dan sampel tanaman hasil transplanting setelah 2 tahun
tanam di lapangan, dan pengambilan data respon dari hasil wawancara 30
responden petani pengguna teknologi.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menghubungkan data
kuantitatif dari variabel hasil pengamatan agronomis dan respon petani terhadap
keunggulan dari masing-masing komponen teknologi yang diterapkan.
1236
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Stek lada dalam Pembibitan (Screen House)
Pertumbuhan stek lada dari varietas yang di introduksi dan lokal disajikan
pada Tabel 1 berikut. Pada Tabel 1 nampak bahwa jenis lada Lokal dan varietas
Natar-1 menunjukkan prosentase tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan
varietas lainnya. Hal ini disebabkan karena lada lokal, selain telah lama
beradaptasi pada kondisi iklim dan tanah khususnya di Kecamatan Angata, juga
dapat menyesuaikan dengan kondisi suhu dan media tanam dalam Screen house,
dimana pada siang hari berkisar antara 25-32 oC. Hal yang sama, juga pada
varietas Natar-1 memperlihatkan daya adaptif yang lebih kuat dibanding varietas
lainnya.
Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan stek lada umur 1 bulan semai di desa
Aopa Kecamatan Angata 2011
Varietas
Tanam
daya
Natar -1
Petaling -1
Petaling -2
Cunuk
LDK
Lokal
613
672
418
328
418
576
Jumlah bibit/stek
Tumbuh
343
39
64
28
4
326
Persentase (%)
Tumbuh
56,0
5,80
15,31
8,54
0,96
60,0
Identifikasi Perkembangan Pohon Induk Tanaman Lada
Perkembangan pohon induk lada di Desa Aopa yang ditanam pada akhir
tahun 2011 telah memperlihatkan pertumbuhan yang aktif pada akhir tahun
2012 (Tabel 2). Pada Tabel 2 nampak bahwa pertumbuhan dari varietas Natar-1
lebih aktif dibanding varietas lainnya, baik dari segi populasi yang tumbuh
maupun dari segi pertumbuhan vegetatif dengan tinggi tanaman rata-rata 78,5
cm. Secara keseluruhan, rata-rata tinggi tanaman adalah 80 cm, dan beberapa
diantaranya sudah mulai berbunga.
Pada Tabel 2 mengindikasikan bahwa tanaman yang belum berbunga
namun memperlihatkan pertumbuhan yang aktif, dapat dipangkas pucuk untuk
memacu pembentukan percabangan yang lebih banyak untuk menghasilkan
sulur-sulur panjat yang nantinya dapat dijadikan bibit stek. Hal ini sesuai
menurut Badan Litbang Pertanian (2008), bahwa untuk menghasilkan tanaman
lada yang dapat tumbuh baik, sebaiknya menggunakan bahan tanaman yang
berasal dari sulur panjat. Setek lada dari sulur panjat yang baik diperoleh dari
tanaman lada yang belum berproduksi pada umur fisiologis bahan setek 6-9
bulan, pohon induk dalam keadaan pertumbuhan aktif dan tidak berbunga atau
berbuah.
1237
Tabel 2. Hasil identifikasi pertumbuhan/perkembangan pohon induk lada di
Desa Aopa 2012
Varietas
Jumlah tanaman
(pohon)
Rata-rata tinggi
tanaman (Cm)
Jumlah tanaman mulai
berbunga (pohon)
Petaling-1
Petaling-2
Natar-1
Cunuk
LDK
Unggul Lokal
150
180
220
100
100
200
85
84
87
83
70
73
5
5
10
15
-
Respon Petani Terhadap Penerapan Komponen Teknologi
Respon petani terhadap penerapan komponen teknologi pengendalian
penyakit pada tanaman lada tertera pada Tabel 3 berikut. Pada Tabel 3 nampak
bahwa beberapa teknologi yang diintroduksikan dapat diterima, namun sebagian
masih ragu-ragu dan sebagian kecil masih menolak. Teknologi pembibitan
dengan menggunakan Screen house dapat diterima karena menurut petani
teknologi tersebut merupakan metode baru yang cukup efektif untuk pembibitan,
proses pembuatannya sederhana, bahan bakunya tersedia di Toko-toko Tani dan
harganya terjangkau oleh petani. Varietas introduksi dinilai mempunyai mutu
yang baik karena berasal dari Balitri, dimana lembaga tersebut dinilai mempunyai
kredibilitas yang telah dikenal petani dalam hal penyediaan bibit-bibit unggul
tanaman industri seperti lada.
Tabel 3. Respon petani terhadap komponen teknologi pengendalian penyakit
pada tanaman lada di desa Aopa kecamatan Angata kabupaten
Konawe Selatan
No.
1
2
3
4
5
6
7
Komponen Teknologi
VUB
Pembibitan dengan Screen house
Pemanfaatan kompos Trichoderma
Pemangkasan/penataan
kanopi
tanaman lada
Pemangkasan/penataan
tanaman
pelindung Gamal
Saluran (drainase)
Penanggulangan gulma
Menerima
100
100
100
85
Respon (%)
Ragu-ragu
0
0
0
10
Menolak
0
0
0
5
90
10
0
60
90
25
10
15
0
Respon petani terhadap teknologi pemanfaatan kompos berbahan jamur
Trichoderma dapat diterima karena teknologi tersebut mudah dikerjakan, bahan
baku pencampur seperti dedak atau bekatul, alang-alang dan serbuk gergaji
tersedia di lokasi. Selain itu, sumber bibit/starterTrichoderma ada lembaga
pemerintah yang menyediakan yakni Laboratorium Lapangan Dinas Perkebunan
Sulawesi Tenggara dengan harga yang terjangkau oleh petani. Dengan
dukungan bahan organic dari hasil pangkasan tanaman pelindung, pemakaian
kompos Trichoderma di pertanaman lada lambatlaun akan menyebarkan jamur
1238
Trichoderma
karena bahan organic tersebut akan menjadi inang untuk
berkembang biak jamur Trichoderma, sehingga ke depan tanaman lada petani
akan bebas dari pathogen penyakit busuk pangkal batang. Secara teknis aplikasi
Trichoderma cukup satu kali dalam dua tahun, sehingga petani menilai hal ini
bahwa tingkat keefektifan jamur Trichoderma cukup lama. Dengan demikian
tenggang waktu untuk persiapan pengadaan kembali kompos tersebut secara
ekonomi terjangkau oleh petani.
Pada Tabel 3 nampak bahwa 10% petani ragu-ragu melakukan penataan
kanopi tanaman lada, hal ini karena petani belum terbiasa dengan teknik
pelaksanaannya.
Sementara
5%
petani
menolak
melakukan
pemangksaan/penataan kanopi tanaman karena beranggapan bahwa jika hal itu
dilakukan akan mengurangi produksi karena bagian tanaman yang dipangkas
atau dihilangkan kemungkinannya akan menghasilkan buah.
Rata-rata petani telah melakukan pemangkasan tanaman pelindung karena telah
paham terhadap nilai positif dari hasil intersepsi intensitas cahaya matahari ke
tanaman guna pertumbuhan dan perkembangan organ vegetative dan
reproduktif tanaman.
Terdapat kurang lebih 60% petani menerapkan saluran drainase (parit)
pada lahan usahataninya, terutama pada lahan-lahan yang letaknya lebih
rendah, atau pada lahan dengan topografi yang rata, dimana kerapkali terjadi
genangan air ketika curah hujan tinggi. Sementara itu terdapat 15% petani
menyatakan ragu-ragu membuat parit karena beranggapan akan terjadi
pelukaan pada akar tanaman lada ketika penggalian/pemaculan tanah. Hal ini
tergambar karena dari sebagian lahan petani menerapkan cara tanam dengan
pola segitiga (2 m x 2 m x 2 m) , jarak atau spasi antar barisan tanaman kurang
jelas sehingga menyulitkan didalam mengarahkan parit. Sedangkan 5% petani
yang tidak/menolak membuat parit karena lahannya pada posisi kemiringan.
Penerapan penanggulangan gulma dilakukan secara manual atau tanpa
menggunakan herbisida. Dimana terdapat 90% petani beranggapan bahwa jika
menggunakan herbisida, jamur Trichoderma
yang sudah dilepas dan
berkembang di lahan bisa mati, padahal jamur tersebut yang diinginkan
berkembang. Penanggulangan gulma yang dilakukan secara manual yaitu
menggunakan parang atau mesin pemotong rumput. Pemakaiannya secara hatihati, tidak sampai melukai tanaman. Sementara itu 10% petani masih ragu-ragu
mengendalikan gulma secara manual karena dianggap cukup menyita waktu dan
tenaga kerja.
KESIMPULAN
Penerapan komponen teknologi varietas unggul lada, pembibitan dengan
menggunakan Screen house, pemakaian pupuk organik (kompos) berbahan baku
jamur Trichoderma dan pengelolaan kebun yang sehat dapat meningkatkan
produktivitas lada. Respon petani cukup tinggi terhadap penerapan komponen
teknologi yang berarti bangkitnya kembali pertanian lada di Kabupaten Konawe
Selatan khususnya dan Sulawesi Tenggara umumnya.
1239
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2012. Laporan Akhir Kegiatan Demonstrasi Teknologi Lada
Mendukung Kegiatan FMA
di Kabupaten Konawe Selatan. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008. Teknologi Budidaya Lada.
Seri buku inovasi : BUN/16/2008. ISBN : 978-979-1415-37-8.
BPS Sulawesi Tenggara, 2011. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2010.
Ditjenbun, 2004. Perbanyakan Jamur Trichoderma,sp Skala Petani.
Kemala,S. 2006. Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Lada
Meningkatkan Pendapatan Petani. Prospektif Vol.5 no.1. : 47 – 54
Untuk
Manohara, D., D. Wahyuno dan R. Noverita, 2008. Penyakit Busuk Pangkal
Batang Tanaman Lada dan Strategi Pengendaliannya. Balai Penelitian
Rempah dan Obat, Bogor.
1240
KAJIAN PENYARUNGAN BUAH KAKAO YANG DILAKUKAN PETANI
DALAM PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO
(Conopomorpha cramerella Snellen)
Rahmatia Djamaluddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
ABSTRAK
Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella merupakan hama utama
pada tanaman kakao yang dapat menimbulkan kerusakan yang sangat besar dan dapat
menimbulkan masalah yang sangat serius bagi perkakaoan di Indonesia. Kehilangan hasil
akibat serangan hama PBK dapat mencapai 64,90% hingga 82,20%. Pengkajian
penyarungan buah kakao sebagai suatu metode pengendalian hama PBK (penggerek
buah kakao) yang telah dilaksanakan di desa Bambadaru kecamatan Tobadak kabupaten
Mamuju, pada bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010. Pengkajian ini bertujuan
untuk mengetahui penyarungan buah kakao terhadap tingkat serangan PBK dan
pengaruhnya terhadap busuk buah. Hasil pengkajian menunjukkan, penyarungan buah
kakao yang berukuran panjang 7-10 cm, terhindar dari serangan hama PBK dan apabila
tidak dilakukan penyrungan buah, intensitas serangan mencapai 37,18%. Penyarungan
buah kakao tidak mempengaruhi terjadinya busuk buah selama penyarungan dilakukan.
Kata kunci: Penyarungan buah kakao, tingkat serangan hama PBK.
PENDAHULUAN
Hama Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella
merupakan hama utama pada tanaman kakao yang dapat menimbulkan
kerusakan yang sangat besar dan dapat menimbulkan masalah yang sangat
serius bagi perkakaoan di Indonesia. Wardoyo, 1980 mengemukakan bahwa
kehilangan hasil akibat serangan hama PBK dapat mencapai 64,90% hingga
82,20%.
Berbagai metode pengendalian hama PBK yang pernah diterapkan bagi
petani kakao melalui sekolah lapang antara lain, rampasan buah kakao dan
panen buah kakao saat masak awal yang diikuti dengan pembenaman kulit buah
kakao. Kedua cara tersebut nampaknya kurang berhasil karena tingkat
kedisiplinan petani dalam melakukan metode tersebut tidak optimal dan
melakukan kegiatan lain di luar usahatani kakao.
Sistem Pemangkasan Eradikasi (SPE) pernah disarankan saat munculnya
serangan di Sulawesi Tengah (Sulistyowati dan Prawoto, 1993). Metode ini
Nampaknya masih diragukan efektifitasnya Karena serangan ulang tidak dapat
dihindari, apalagi jika hamparan pertanaman kakao tidak tidak dilakukan SPE
secara menyeluruh.Selain itu buah kakao yang belum terserang akan menjadi
korban dan menunggu masa berbuah berikutnya yang cukup lama sehingga
metode ini tidak disarankan untuk pertanaman kakao rakyat.
Hama PBK termasuk serangga hama yang masih sulit dikendalikan
apabila telah menyerang buah kakao karena setelah telur diletakkan di kulit buah
dan menetas langsung masuk dan berkembang ke dalam buah. Oleh karena itu
1241
pengendalian dengan menggunakan insektisida dan musuh alami tidak akan
efektif (Wardoyo,1980 dan 1981). Dengan demikian maka pengendalian hama
PBK yang dapat diharapkan adalah mencegah terjadinya serangan PBK pada
buah kakao.
Metodepenyarunagan buah kakao dengan menggunakan sarung plastik,
merupakan metode untuk mencegah serangga dewasa PBK meletakkan telurnya
pada buah kakao. Menurut Morsamdono dan Wardoyo (1984) dan Sjafaruddin,
2005 mengemukakan bahwa buah kakao yang telah disarungi bebas dari
serangan hama PBK. Namun demikian metode ini masih mengandalkan
penggunaan insektisida sebagai metode pengendalian yang mampu
mengendalikan OPT (organisme pengganggu tanaman). Selain itu petani juga
masih sulit melakukan penyrungan buah kakao yang letaknya terlalu tinggi.
Anggapan itu sudah terjawab karena ditemukannya alat penyarungan buah
kakao dengan menggunakan pipaparalon yang mudah di buat dan digunakan
oleh petani (Mustafa, 2003 dan Sjafaruddin et al., 2005). Anggapan petani
terhadap buah kakao yang disarungi, menyebabkab buah kakao mudah
terserang oleh penyakit busuk buah serta menghambat perkembangan buah.
Dengan demikian pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
penyarungan buah kakao terhadap tingkat serangan hama PBK dan pengaruhnya
terhadap penyakit busuk buah.
METODOLOGI
Lokasi Pengkajian
Pengkajian dilaksanakan di desa Bambadaru, kecamatan Tobadak,
kabupaten Mamuju Sulawesi Barat pada bulan Maret 2010 hingga Agustus 2010.
Lahan yang digunakan adalah lahan kelompok tan (klp. Gunung Jaya) yang
beranggotakan 25 orang dengan luas lahan sekitar 25 ha.
Sosialisasi dan Diskusi Kelompok Tentang Penyarungan Buah Kakao
Bagi Petani
Sebelum kegiatan dilaukan di lapangan, diperlukan kesepakatan dan
pemahaman tentang penyarungan buah kakao dalam mengatasi kehilangan hasil
akibat serangan hama PBK. Dalam sosialisasi ini dilkukan juga diskusi, selain
untuk menerima umpan balik juga jdiharapkan pemahaman petani dapat lebih
jelas dalam melakukan aplikasi penyarungan buah kakao. Penjelasan yang
disampaikan kepada petani antara lain:

Buah Kakao yang disarungi berukuran panjang 7 cm hingga 10 cm dan
setiap petani melakukan pada masing-masing 10 tanaman.

Plastik berukuran 15 cm x 25 cm yang digunakan untuk menyarungi buah
kakao. Ketebalan plastik yang digunakan adalah 0,02 mm.

Untuk buah kakao yang tidak dijangkau dengan tanaman digunakan alat
penyarungan buah kakao yang terbuat dari pipa paralon yang
berdiameter 2,0 inci. Panjang pipa tersebut adalah 2 meter.

Untuk pembuatan alat penyarungan dan cara memotong plastik roll untuk
sarung buah kakao, dilakukan praktek pembuatan dan cara
menggunakannya.
1242
Kegiatan Lapangan
Setiap petani melakukan penyarungan masing-masing di lahan
pertanaman kakao
miliknya sesuai dengan kesepakatan dalam sosialisasi
sebelumnya. Sesuai kesepakatan sebelumnya, maka setiap petani menggunakan
tanamannya sebanyak 10 tanaman untuk penyarungan buah kakao dan 10
tanaman lainnya dijadikan sebagai pembanding. Sebelum dilakukan penyarungan
diharapkan para petani melakukan sanitasi terhadap buah-buah kakao yang telah
terserang penyakitbusuk buah. Sanitasi dimaksudkan agar tidak terjadi sumber
inokulum bagi buah kakao pada 10 tanaman yang mendapat perlakuan
penyarungan.
Penyarungan buah kakao dilakukan pada buah kakao yang berukuran
panjang 7 cm – 10 cm dengan menggunakan plastik 15 cm x 25 cm. Ketebalan
plastik yang digunakan adalah 0.02 mm. Untuk buah kakao yang tidak dijangkau
dengan tangan digunakan alat penyarungan buah kakao yang terbuat dari pipa
paralon yang berdiameter 2.0 inci. Panjang pipa tersebut adalah 2 meter.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu diskusi kelompok
dan wawancara pada penyuluh pertanian dan ketua kelompok tani,sedang
wawancara anggota kelompok tani dilakukan dirumah masing-masing anggota.
Waktu wawancara diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan
rutin petani dan bersedia memberikan informasi terhadap permasalahan dalam
penyarungan buah kakao. Kemudian untuk memperkuat rumusan hasil diskusi
dan wawancara, dilakukan kunjungan lapang untuk melihat aplikasi penyarungan
buah kakao yang dilakukan petani. Data yang diperlukan adalah buah-buah
kakao yang disarungi dan yang tidak disarungi. Data yang terkumpul dianalisa
secara deskriptif dan perkiraan kerugian apabila tidak dilakukan pengendalian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah petani melakukan penyarungan buah kakao di lahannya masingmasing diperoleh tingkat kesalahan dalam melakukan penyarungan buah kakao
sesuai ketentuan yang aman dan terhindar dari serangan PBK yang disajikan
pada table 1 sebagai berikut.
Tabel 1. Jumlah buah kakao yang disarungi petani
Ukuran buah yang
disarungi (cm)
5–7
7 – 10
10 – 12
Jumlah
Jumlah Petani (org)
Jumlah buah yang disarungi
21
25
18
416
974
548
1.938
Dari table tersebut terlihat bahwa petani melakukan penyarungan buah
kakao mulai dari ukuran panjang buah 5 cm hingga 12 cm. Berdasarkan hasil
wawancara masing-masing petani mengemukakan bahwa semua buah yang
disarungi man dari serangan PBK. Olehnya itu semua buah kakao berukuran 5
1243
cm – 7 cm dan 10 cm – 12 cm yang telah disarungi, diberi tanda atau label untuk
mengetahui dampak hasil penyarungan saat panen mendatang. Hal ini
dimaksudkan agar menjdi pembelajaran dan memberikan pemahaman bagi
petani bagaimana pentingnya penyarungan buah kakao yang berukuran 7 cm –
10 cm.
Tabel 2. Hasil panen buah kakao yang disarungi dan kontrol
Uraian
Kontrol
Jumlah buah yang disarungi
Jumlah buah yang dipanen
Jumlah buah layu/busuk (%)
Intensitas serangan PBK (%)
5–7
416
317
23.80
-
7 - 10
974
974
-
10 - 12
548
548
2.64
2.127
1.598
24.87
37.18
Tabel 2 memperlihatkan bahwa penyarungan buah kakao mampu
mengatasi serangan PBK hingga 2.64% jika dibandingkan dengan tanpa
penyarungan buah sebesar 37,18%. Hal ini berarti pengendalian hama PBK
dengan penyarungan buah kakao berukura 7 cm – 10 cm mampu memperkecil
serangan hama PBK. Buah-buah kakao yang berukuran panjang 10 cm – 12 cm
masih terserang PBK karena diasumsikan telah terinfeksi terlebih dahulu sebelum
penyarungan dilakukan. Dilain pihak pengaruh penyarungan buah kakao tidak
memberikan pengaruh pada busuknya buah, namun terlihat adanya buah kakao
yang disarungi membusuk/layu terutama pada buah kakao berukuran panjang 5
cm – 7 cm. Hal tersebut diasumsikan akibat pengaruh fisiologi tanaman seperti
yang terlihat juga pada buah kakao yang tidak disarungi.
60
50
40
30
Tanpa
Penyarungan
20
Penyarungan
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 1. Intensitas serangan hama PBK pada buah yang disarungi dan kontrol
Berdasarkan hasil pengamatan kerusakan biji akibat serangan PBK
berdasarkan jumlah biji rusak dibagi dengan jumlah biji seluruhnya, diperoleh
intensitas serangan PBK setelah dikalikan dengan 100%. Pada gambar 1
disajikan intensitas serangan PBK pada perlakuan penyarungan dan kontrol
sebagai berikut.
Buah kakao yang disarungi diharapkan tidak terinfeksi dan terserang
hama PBK, namun kenyataannya ditemukan intensitaas serangan walaupun cuku
rendah dibanding buah kakao yang tidak disarungi. Pada table 2 terlihat bahwa
buah kakao yang disarungi terserang oleh hama PBK pada panjang buah kakao
yang disarungi lebih 10 cm. Hal ini diasumsikan bahwa sebelum disarungi sudah
1244
terinfeksi lebih awal oleh hama PBK, sehingga setelah disarungi larva
berkembang terus dalam buah kakao.
Melihat rata-rata intensitas serngan hama PBK pada buah kakao yang
disarungi 2,64% dan pembendingnya (kontrol) mencapai 37,18%. Dilain pihak
produksi yang dicapai pada tahun 2009 sebesar 13.289 ton maka kehilangan
hasil panen apabila tidak dilakukan pengendalian mencapai 4.940,9 ton. Apabila
harga kakao Rp. 10.000 per kg, maka kerugian mencapai Rp. 49 milyar.
KESIMPULAN


Penyarungan buah kakao yang berukuran panjang 7 cm – 10 cm, terhindar
dari serangan hama PBK dan apabila tidak dilakukan penyarungan buah,
intensitas serangan mencapai 37,18%
Penyarungan buah kakao tidak mempengaruhi terjadinya busuk buah
selama penyerungan dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Musamdono dan S. Wardoyo,1984. Kemajuan dalam Percobaan Perlindungan
Buah Cokelat dengan Kantong Plastik dan Serangan Acrocercops
cramerella Sn. Menara Perkebunan. 52 (4): 93 – 96.
Mustafa B. 2003. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dengan
Metode Penyelubungan (kondomisasi) Buah Kakao Muda. Makalah
Seminar “ Sosialisasi Peningkatan Produktivitas, Mutu dan Pengendalian
Hama Penggerek Buah Kakao” Assosiasi Kakao Indonesia. Lampung 6
Mei 2003.
Sulistyowati,E. dan A.A. Prawoto, 1993. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di
Sulawesi Tengah dan Uji Coba Sistem Pemangkasan Eradikasi (SPE)
untuk Penanggulangannya. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Jember. 15 : 20 – 28.
Sjafaruddin, Muhammad, Ramlan, Djafar Baco, Muhammad Zain Kanro,
Rahmatia Djamaluddin, Nurdiah Husnah, Armiati,Nurjanani, Hatta
Muhammad dan Ruchjaniningsih. 2005 Laporan Pengkajian Aplikasi
Teknologi PHT dalam Rangka Meningkatkan Produksi dan Pendapatan
Petani Kakao di Sulawesi Selatan.
Wardoyo S. 1980 The Cocoa Pod Borer. A Mayor Hindrance to Cocoa
Development. Indonesia Agricultural Research Development Journal (2)
1 – 4.
Wardoyo S. 1981. Strategi Penelitian dan Pemberantasan Penggerek Buah
Cokelat. Menara Perkebunan. 49(3) 69 – 74.
1245
PEMANFAATAN TANAMAN SELA DI LOKASI PEREMAJAAN
TANAMAN PERKEBUNAN
M. Basir Nappu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan KM.17,5 Sudiang, Makassar
ABSTRAK
Upaya meningkatkan
produktivitas tanaman kakao dilakukan melalui rehabilitasi
tanaman, baik melalui sambung samping atau penanaman baru. Dalam masa rehabilitasi
tersebut terdapat tenggang waktu ± 3-4 tahun hingga tanaman menghasilkan.
Diharapkan melalui introduksi tanaman sela pada areal tanaman perkebunan yang
diremajakan dapat menjadi sumber pendapatan pengganti bagi petani. Kajian
dilaksanakan pada lahan petani yang telah merehabilitasi perkebunan kakao berumur >
15 tahun melalui peremajaan tanaman yakni penanaman kakao baru. Pertanaman kakao
tersebut telah berumur ± 1 tahun yang pertumbuhannya relatif kurang seragam, dengan
jarak tanam 4 m x 4 m. Kegiatan berlangsung mulai bulan Januari hingga Desember
2008 di desa Kamanre, kecamatan Kamanre, kabupaten Luwu. Perlakuan yang dikaji
terdiri atas 3 jenis tanaman sela di antara kakao yakni jagung : varietas Sukmaraga, dan
varietas Bisi-2, padi gogo : varietas Situ Patenggang, dan varietas Situ Bagendit, dan
kacang hijau varietas Gelatik. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok.
Setiap jenis tanaman sela masing-masing ditanam pada lahan sekitar 0.1 ha atau 0,5 ha
per petani dan diulang pada 4 petani, sehingga luas areal penanaman lebih kurang 2,0
ha. Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman sela dan tanaman pokok kakao,
meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan produksi tanaman sela. Data
yang dikumpulkan dianalisis dengan sidik ragam dan selanjutnya dilakukan uji beda ratarata dengan uji jarak berganda-Duncan.
Berdasarkan hasil kajian diperoleh bahwa
pemanfaatan lahan dengan tanaman sela di antara kakao yang diremajakan umur ± 1
tahun tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao. Pertumbuhan dan hasil
tanaman sela tidak berbeda antar varietas. Namun demikian, tanaman sela mengalami
penurunan hasil akibat rendahnya tingkat kerapatan populasi tanaman. Tanaman sela,
kacang hijau (var. Gelatik) dan jagung var. Bisi-2 dan Sukmaraga sesuai ditanam
bersama kakao selama belum berproduksi atau kanopi tanaman kakao saling menutupi.
Pendapatan dari tanaman sela tertinggi diperoleh dari tanaman kacang hijau var. Gelatik
mencapai Rp. 2.291.780/ha, sedangkan dari jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga
masing-masing Rp. 1.687.040 dan Rp. 1.558.320 per hektar. Nilai pendapatan pengganti
ini mencapai ± 10 % dari pendapatan kakao.
Kata kunci : Tanaman sela, peremajaan, kakao, tanaman perkebunan,
pengganti .
pendapatan
PENDAHULUAN
Potensi lahan perkebunan yang ada saat ini cukup luas, mencapai sekitar
14,4 juta hektar (BPS, 1998) dan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman
pangan sekitar 1,9 juta hektar per tahun. Kakao merupakan salah satu
komoditas unggulan penting di Sulsel. Komoditas ini memainkan peranan besar
terhadap tatanan perekonomian baik regional maupun nasional, sumbangannya
terhadap PDRB, kesempatan kerja, perolehan devisa, dan penggerak roda
1246
perekonomian terhadap sektor-sektor lain (Herman, 2000). Luas pertanaman
kakao di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mencapai ± 290.000 hektar dan
produksi sekitar 250.000 t, pemasukan devisa ± $ 200 juta (Rp. 1,8 T), suatu
jumlah yang cukup besar (Manwan, 2002, Dinas Pertanian Propinsi Sulsel, 2002).
Produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Selatan sejak tahun 2000 terus
menurun dari 1,5 – 2,0 t/ha menjadi 600 – 800 kg/ha. Salah satu penyebabnya
adalah karena tanaman yang ada saat ini sebagian besar sudah berumur > 15
tahun. Upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kembali produktivitas
tanaman kakao adalah dengan rehabilitasi tanaman, baik melalui penanaman
baru atau sambung samping. Dalam masa rehabilitasi tersebut terdapat
tenggang waktu ± 3-4 tahun hingga tanaman menghasilkan. Penanaman
tanaman sela pada waktu tersebut merupakan salah satu cara untuk
mengoptimalkan lahan selama masa rehabilitasi atau peremajaan tanaman.
Komoditas tanaman semusim seperti, jagung, padi gogo, kacang hijau,
dan kedelai dapat diusahakan sebagai tanaman sela. Jagung atau padi gogo
sebagai tanaman sela berpeluang ditanam pada setiap pembukaan kebun baru
atau peremajaan tanaman sampai tahun ke-4 (Sumitro, 1991). Dengan demikian,
sebelum atau setelah tanaman perkebunan menghasilkan, lahan kosong di
antara tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dengan menanam tanaman
semusim. Introduksi tanaman sela dapat memberikan beberapa manfaat yaitu :
(a) pemanfaatan lahan lebih efisien, (b) kebun dan tanamannya lebih terpelihara
dengan baik
(c) tersedianya bahan pangan bagi petani (d) sebagai sumber
pendapatan petani sebelum tanaman utama menghasilkan. Tahir dan Hamadi
(1985) mengemukakan bahwa pemanfaatan lahan di antara tanaman berumur
panjang dengan tanaman semusim dapat menghemat penggunaan pupuk,
mengurangi biaya penyiangan dan meningkatkan pendapatan petani. Beets dan
William (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada pertanaman sistem tumpangsari, di antaranya adalah sifatsifat dari tanaman yang ditumpangsarikan yaitu bukan merupakan inang dari
hama/penyakit yang sama, tidak berkompetisi dalam hal penggunaan hara, air,
dan cahaya matahari, mempunyai sifat perakaran yang berbeda dan saling
menguntungkan. Menurut Newman (1986), penganekaragaman tanaman melalui
tanaman sela harus mempertimbangkan kegunaan bagi petani, produksi,
penggunaan lahan yang berkelanjutan dan efisien.
Hasil pengkajian Silalahi, dkk. (1999) menunjukkan bahwa tumpangsari
kentang, buncis, atau cabai pada tanaman jeruk yang belum menghasilkan tidak
nyata berpengaruh pada tanaman jeruk. Pada tanaman jeruk yang telah
menghasilkan, tumpangsari cabai akan menghasilkan pertumbuhan jeruk yang
lebih baik dibanding dengan kentang atau buncis. Demikian pula pada tanaman
lain, seperti anggur (Yuniatuti dkk., 1986), sirsak (Hutagalung dkk., 1995;
Ramlan dkk., 1998), kelapa (Pusat Penelitian Perkebunan, 2005), penanaman
tanaman sela tidak mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman utama
bahkan menguntungkan.
Berdasarkan hal tersebut dilakukan pengkajian penanaman tanaman
semusim sebagai tanaman sela pada rehabilitasi tanaman perkebunan kakao,
sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi pendapatan pengganti bagi
petani selama tanaman utama belum berproduksi.
1247
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Kajian dilaksanakan pada lahan petani yang telah merehabilitasi
perkebunan kakao berumur tua (> 15 tahun) melalui peremajaan tanaman yakni
penanaman kakao baru. Lokasi kajian di desa Kamanre, kecamatan Kamanre,
kabupaten Luwu, salah satu sentra pengembangan kakao di Sulawesi Selatan,
dengan ketinggian tempat > 100 m dpl. Kegiatan berlangsung mulai bulan
Januari sampai dengan Desember 2008.
Rancangan Pengkajian
Kajian dilakukan pada lahan pertanaman kakao muda umur ± 1 tahun
yang pertumbuhannya relatif kurang seragam, dengan jarak tanam 4 m x 4 m.
Perlakuan yang dikaji terdiri atas 3 jenis tanaman sela di antara kakao yakni
jagung : varietas Sukmaraga (komposit) dan varietas Bisi-2 (hibrida); padi gogo
: varietas Situ Patenggang, dan varietas Situ Bagendit, serta kacang hijau
varietas Gelatik. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok. Setiap jenis tanaman sela masing-masing ditanam pada lahan sekitar
0.1 ha atau 0,5 ha per petani dan diulang pada 4 petani, sehingga luas areal
penanaman lebih kurang 2,0 ha. Perlakuan tanaman sela yang dikaji dan
teknologi budidaya yang diintroduksikan disajikan pada Tabel 1.
Tanaman sela jagung, padi gogo dan kacang hijau masing-masing ditanam
dengan jarak 100 cm dari barisan tanaman kakao muda. Jarak tanam untuk
jagung bersari bebas 75 cm x 40 cm, jagung hibrida 90 cm x 40 cm, pagi gogo
20 cm x 20 cm, dan kacang hijau 40 cm x 15 cm. Sedangkan, jarak tanam
kakao adalah 400 cm x 400 cm, sehingga di antara barisan tanaman kakao
dapat ditanami 3-4 baris untuk tanaman jagung bersari bebas - jagung hibrida,
10 baris padi gogo, dan 5 baris kacang hijau. Pengamatan pertumbuhan
tanaman dilakukan pada sepuluh tanaman untuk kakao dan dua puluh tanaman
untuk tanaman sela jagung, padi gogo, dan kacang hijau.
Teknologi budidaya, khususnya pemupukan selain diaplikasikan pada
tanaman sela juga dilakukan pada tanaman pokok kakao dengan dosis sebanyak
50 g urea, 25 g SP-36, dan 45 g KCL per pohon. Pupuk diberikan ke dalam
lubang yang dibuat secara melingkar mengikuti radius kanopi kakao, kemudian
ditutup tanah. Di samping itu, pemeliharaan tanaman pada kakao meliputi
penyiangan dan pembumbunan, serta pengendalian hama dan penyakit yang
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.
1248
Tabel 1. Jenis tanaman sela dan teknologi yang diintroduksikan
No
1.
2.
3.
4.
Teknologi Introduksi
Benih
Jumlah (kg/ha)
Varietas
Pengolahan tanah
Penanaman
Cara tanam
Jarak tanam
Pemupukan
Jenis/Dosis (kg/ha)
5
6.
Pemeliharaan
Penyulaman
Jenis tanaman sela
Padi Gogo
20
Gelatik
Sempurna
30
Situ Patenggan, Situ Bagendit
Sempurna
Tugal (2 biji/lbg)
75 cm x 40 cm
Tugal (1 tan/lbg)
90 cm x 40cm
Tugal (2 biji/lbg)
40 cm x15 cm
Tugal (2 biji/lbg)
20 cm x 20) cm
Urea 300 (3x)
SP-36 100 (1x)
KCL 100 (2x)
Tugal ditimbun
I
: 7 – 10 hst
II : 25 – 30 hst
III : 40 – 45 hst
Urea 350 (3x)
SP-36 100 (1x)
KCL 100 (2x)
Tugal ditimbun
I : 7 – 10 hst
II : 25 – 30 hst
III : 40 – 45 hst
Urea 50 (3x)
SP-36 75 (1x)
KCL 50 (1x)
Tugal ditimbun
I : 7 – 10 hst
II : 25 – 30 hst
Urea 150 (2x)
SP-36 75 (1x)
KCL 50 (1x)
Tugal ditimbun
I : 7 – 10 hst
II : 25 – 30 hst
III : 40 – 45 hst
-
-
Pengendalian
hama/penyakit
-
1 minggu stlh
tanam
10 hst
Herbisida dan
manual
Insektisida
Waktu Panen
Biji
Masak Fisiologis
(Kadar air 36 – 40 %)
Cara Panen
Petik, pisahkan kelobot
Pasca Panen
Kacang Hijau
20
Bisi-2
Sempurna
Penjaranganan
Penyiangan
Panen
-
Jagung Hibrida
20
Sukmaraga
Sempurna
-
7.
Cara
Waktu
Jagung Bersari Bebas
Jemur dengan tongkol
-
1 minggu stlh
tanam
10 hst
Herbisida dan
manual
Insektisida
Biji
Masak Fisiologis
(Kadar air 36 – 40
%)
Petik, pisahkan
kelobot
Jemur dengan
tongkol
-
1 minggu st lh tanam
-
1 minggu sth tanam
-
10 hst
Herbisida dan manual
-
10 hst
Herbisida dan manual
-
Insektisida
-
Insektisida
Biji
Masak Fisiologis
Butir Padi
Masak kuning
Tebas tan/sabit
Tebas/sabit
Jemur dengan batang
Jemur (gabah)
1249
Pengumpulan Data
Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman sela dan tanaman pokok
kakao, meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan produksi tanaman
sela. Data pengamatan terhadap masing-masing tanaman yakni, Jagung :
tinggi tanaman, panjang tongkol, jumlah biji/tongkol, bobot 1000 biji dan hasil
biji kering; Padi Gogo : tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah
berisi, dan gabah hampa/malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen;
Kacang Hijau: tinggi tanaman, jumlah polong/tanaman dan hasil biji kering;
Kakao : tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah cabang kakao.
Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan sidik ragam dan
selanjutnya dilakukan uji beda rata-rata dengan uji jarak berganda-Duncan dan
Uji –t.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Pertumbuhan Tanaman Kakao
Pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan tanaman kakao dilihat dari
tinggi tanaman dan diameter batang, disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Pertumbuhan tinggi tanaman kakao di lokasi peremajaan yang
ditanami tanaman sela
Tanaman sela
dan kakao
Jagung Var. Bisi-2
Jagung Var. Sukmaraga
Padi gogo var. St.
Patenggang
Padi gogo var. St. Bagendit
Kacang hijau
Kakao monokultur
KK(%)
30
73,50d
101,00b
96,00c
95,00c
144,00a
94,75c
3,90
Tinggi tanaman kakao (cm)
pada umur (hst) tanaman sela
60
90
106,50c
124,25 c
122,00b
135,00b
c
108,00
119,00d
109,00c
149,00a
103,00c
3,10
118,00d
152,00a
119,00d
2,90
120
145,25b
144,50b
145,50b
146,25b
157,75a
142,00b
4,90
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan
Tabel 3. Pertumbuhan diameter batang kakao di lokasi peremajaan yang
ditanami tanaman sela
Tanaman sela dan
Kakao
Jagung var. Bisi-2
Jagung var. Sukmaraga
Padi gogo var. St. Patenggang
Padi gogo var. St. Bagendit
Kacang hijau
Kakao monokultur
KK(%)
Diameter batang kakao (cm)
pada umur (hst) tanaman Sela
60
90
120
1,45c
1,93c
2,38b
1,76b
2,28b
2,30b
ab
c
1,83
2,00
2,20c
ab
c
1,82
1,91
2,25c
a
a
1,96
2,63
2,75a
ab
c
1,85
2,00
2,25c
4,60
3,40
3,20
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan
1250
Berdasarkan data pada Tabel 2 dan 3, tampak bahwa perkembangan
tinggi dan diameter batang tanaman kakao secara statistik terdapat perbedaan
nyata mulai umur 30 hari setelah tanam (hst) hingga umur 120 hst dari
tanaman sela untuk semua jenis. Tinggi tanaman kakao yang dintroduksi
tanaman sela umur 30 hst bervariasi 73,50 – 144,0 cm dan pada umur 120 hst
tinggi tanaman kakao mencapai 142,0 – 157,75 cm. Sedangkan, pertumbuhan
diameter batang kakao juga bervariasi 1,45 – 1,96 cm sejak tanaman sela
berumur 60 hst dan 2,2 – 2,75 cm pada umur 120 hst. Namun demikian, pada
dasarnya perbedaan tersebut diduga terjadi bukan karena perbedaan pengaruh
perlakuan jenis tanaman sela yang diintroduksikan. Pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa sebelum introduksi tanaman sela, individu tanaman kakao
yang berumur ± 1 tahun sudah memperlihatkan pertumbuhan tinggi tanaman
yang bervariasi. Karena itu, keragaman tumbuh antar individu kakao tetap
tampak mulai umur 30 hst hingga 120 hst tanpa pengaruh langsung dari
tanaman sela. Kondisi ini juga tampak sama pada kakao yang tanpa tanaman
sela (monokultur). Hal penting yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3, yakni
adanya pertambahan tinggi dan diameter batang tanaman kakao yang tumbuh
sangat aktif selama ± 3 bulan bersama tanaman sela semua jenis. Hingga umur
120 hst, kakao yang ditanami kacang hijau menunjukkan pertumbuhan tanaman
kakao mencapai 157,75 cm dan diameter batang 2,75 cm tertinggi dibandingkan
pola tanam sela lainnya.
Keragaan pertumbuhan dalam hal pembentukan cabang tanaman kakao,
disajikan pada Tabel 4. Data pada Tabel 4 menggambarkan bahwa introduksi
tanaman sela tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah cabang
yang terbentuk pada tanaman kakao. Jumlah cabang kakao baru sekitar 2,08 –
2,38 pada saat tanaman sela berumur 30 hst dan meningkat menjadi 2,80 – 3,15
pada umur 120 hst. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di antara
pertanaman kakao muda dengan tanaman sela belum mengganggu
pertumbuhan kakao. Kondisi tersebut juga didukung oleh perakaran (akar
lateral) kakao muda yang belum melebar sehingga tindakan pengolahan tanah,
seperti pembumbunan pada tanaman sela tidak merusak akar tanaman kakao.
Tabel 4. Pertumbuhan jumlah cabang kakao di lokasi peremajaan yang
ditanami tanaman sela.
Tanaman sela
dan kakao
Jagung var. Bisi-2
Jagung var. Sukmaraga
Padi gogo Var. St.
Patenggang
Padi gogo var. St.
Bagendit
Kacang hijau
Kakao monokultur
KK(%)
30
2,25a
2,38a
2,10a
Jumlah cabang kakao
pada umur (hst) tanaman sela
60
90
a
2,50
2,75a
a
2,51
2,74a
a
2,30
2,50a
120
2,98b
2,80ab
3,15a
2,30a
2,40a
2,65a
3,10a
2,25a
2,08a
10,00
2,46a
2,2a
11,90
2,64a
2,53a
8,20
2,93ab
3,13a
9,00
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan.
1251
Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sela
Jagung
Pada pertanaman kakao yang diremajakan, tanaman sela jagung yang
dicobakan terdiri atas jagung hibrida varietas Bisi- 2 dan jagung bersari bebas
varietas Sukmaraga. Keragaan pertumbuhan tinggi tanaman, komponen hasil,
meliputi panjang tongkol, jumlah biji per tongkol dan bobot 1000 biji serta hasil
biji kering jagung, disajikan pada Tabel 5.
Tabel
5.
Pertumbuhan dan hasil
tanaman
sela
peremajaan tanaman perkebunan kakao
Tanaman sela
jagung
Var. Bisi-2
Var. Sukmaraga
KK (%)
Tinggi
tanaman
(cm)
245,87a
242,34a
6,57
jagung
di lokasi
Panjang
tongkol
(cm)
Jumlah
biji/tongkol
Bobot
1000 biji
(g)
Hasil biji
kering
(kg/ha)
17.10 a
16.19a
9,28
438,03a
425,11a
7,80
372,67a
314,11a
14,06
3601,7a
3273,60a
16,11
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan.
Berdasarkan analisis statistik terlihat bahwa data komponen
pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman sela jagung tidak berbeda
nyata antara kedua varietas yang dicobakan. Secara visual penampakan tinggi
tanaman (245,87 cm) jagung Bisi-2 lebih tinggi dari jagung Sukmaraga (242,34
cm). Selain itu Bisi-2 memiliki panjang tongkol 17,10 cm, jumlah biji/tongkol
458,03 dan bobot 1000 biji 372,67 g. Sedangkan hasil biji kering jagung Bisi-2
mencapai 3,6 t/ha relatif lebih tinggi dari Sukmaraga 3,3 t/ha. Hasil jagung dari
kedua varietas tersebut masih jauh dari potensinya yang dapat mencapai 8,5
dan > 10 t/ha masing-masing untuk Sukmaraga dan Bisi-2 bila ditanam secara
monokultur.
Rendahnya hasil yang dicapai diduga terkait dengan berkurangnya
kerapatan populasi per satuan luas tanaman jagung sebagai tanaman sela di
antara kakao yang diremajakan. Menurut Harjadi (1979), untuk mendapatkan
hasil yang tinggi harus ada perimbangan antar fase vegetatif dengan fase
reprodutif. Perimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti suhu, panjang hari, serta kepadatan populasi (Arnon, 1972).
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kedua varietas jagung, Bisi-2
dan atau Sukmaraga dapat tumbuh dan berkembang serta memberikan hasil
relatif sama dalam pertanaman kakao yang diremajakan.
Padi Gogo
Padi gogo varietas Situ Bagendit dan Situ Patenggang sesuai deskripsinya
merupakan jenis padi gogo yang memiliki beberapa karakter tumbuh berbeda,
namun keduanya termasuk golongan cere, bentuk tanaman tegak, dan umur
tanaman sama yakni 110 – 120 hari serta sesuai ditanam pada lahan kering,
musim hujan. Ke dua varietas padi gogo tersebut ditanam sebagai tanaman sela
pada pertanaman kakao muda yang diremajakan. Data dan hasil pengamatan
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo disajikan pada Tabel 6.
1252
Tabel 6. Pertumbuhan
dan
hasil
tanaman
peremajaan tanaman perkebunan
sela
padi
gogo
di lokasi
Tanaman
sela
Padi Gogo
Varietas
St.Bagendit
Varietas St.
Patenggang
Tinggi
tanaman
(cm)
Jumlah
anakan
produktif
Gabah
berisi/malai
(%)
Gabah
hampa/malai
(%)
Bobot
1000
biji (g)
Hasil
GKP
(kg/ha)
100,82b
4,12b
61,77a
38,28a
39,44a
634,70a
105,62a
5,11a
65,05a
34,95b
36,73a
797,40a
Uji-t
*
*
ns
*
*
*
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 0,05 Uji-t
Berdasarkan hasil analisis lanjutan terhadap tinggi tanaman dari dua
varietas padi gogo yang ditanam sebagai tanaman sela menunjukkan bahwa
varietas Situ Patenggang lebih tinggi dibandingkan Situ Bagendit. Perbedaan
tinggi tanaman antar varitas tersebut lebih banyak ditentukan oleh perbedaan
faktor genetis masing-masing, mengingat pengaruh lingkungan relatif sama.
Pada Tabel 6 tampak pula jumlah anakan produktif lebih banyak
dihasilkan varietas Situ Patenggang dibandingkan Situ Bagendit. Anakan
produktif berkaitan dengan jumlah malai yang dihasilkan dan sekaligus
berpengaruh terhadap produksi gabah tiap rumpun. Hal lainnya yang turut
menentukan tingkat produktivitas padi gogo adalah komponen hasil seperti,
jumlah gabah berisi per malai dan bobot 1000 biji ternyata tidak berbeda antar
varietas. Namun demikian prosentase gabah hampa per malai nyata lebih tinggi
38,28% pada varietas Situ Bagendit. Prosentase gabah berisi, di samping
dipengaruhi oleh sifat genetis varietas juga sangat ditentukan oleh tingkat
serangan hama, seperti penggerek batang dan walang sangit.
Dalam kajian ini kendala utama yang dihadapi adalah serangan hama
penggerek batang padi dan walang sangit, meskipun pada areal kajian belum
pernah ditanami padi dan jauh dari sawah. Dari kenampakan larva dan pupa
nya, jenis penggerek batang yang menyerang adalah Chilo sp yang hanya
mempunyai tanaman inang padi sawah (Soejitno, 1991). Gejala tanaman yang
diserang adalah mati pucuk (gejala sundep) dan malai kering berwarna putih
sebelum bulir-bulirnya berisi (gejala beluk). Larva hama ini menggerek batang
dari bagian atas ke arah pangkal batang. Kehilangan hasil akibat hama
penggerek batang mempunyai hubungan linier dengan gejala beluk, yaitu tiap
1% beluk akan menurunkan hasil 2 – 3% (Soejitno, 1991). Selanjutnya hama
walang sangit merupakan hama padi yang penting pada tanaman yang telah
berbunga (Suharto dan Siwi, 1991). Serangan sebelum periode matang susu
mengakibatkan gabah hampa. Tanaman inang hama walang sangit antara lain
Panicum crusgalli L. Scop dan Paspelum dilatanum Poir. Selain walang sangit
masih dapat hidup pada Echinoela crusgalli dan E. colonum. Walang sangit lebih
mudah dikendalikan dengan insektisisa dari pada penggerek batang.
Berdasarkan banyaknya pucuk yang mati serta bulir yang hampa akibat
serangan penggerek batang dan walang sangit, kehilangan hasil dalam kegiatan
ini diperkirakan sekitar 50% karena penggerek batang tidak dapat dikendalikan
secara baik. Hasil gabah kering panen (GKP) padi gogo varietas Situ Bagendit
1253
dan Situ Patenggang tidak berbeda nyata,
643,70 dan 797,40 kg/ha (Tabel 6).
masing-masing hanya mencapai
Kacang Hijau
Keragaan pertumbuhan tanaman kacang hijau, disajikan pada Gambar 1
dan Gambar 2. Tampak bahwa kacang hijau yang tumbuh pada berbagai
lingkungan pola tanam belum banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi
tanaman dan jumlah polong per tanaman.
Keterangan :
A
= Kacang
hijau/
kakao
muda
B = Kacang
hijau/ tan.
lain
C = Kacang
hijau
monokultur
Gbr 1. Tinggi tanaman kacang
hijau tanaman pada berbagai pola
tanam.
Gbr 2. Jumlah polong pada
berbagai pola tanam
Pada pola monokultur (C), rata-rata tinggi tanaman kacang hijau
mencapai 45 cm, sedangkan bila kacang hijau sebagai tanaman sela dalam
pertanaman kakao muda (A) atau jagung/tanaman lain (B) masing-masing
sekitar 44,67 dan 49,13 cm (Gbr. 1). Demikian pula dalam hal pembentukan
polong, untuk monokultur kacang hijau jumlah polong rata-rata 10,7
pertanaman, sedangkan pola tanam di antara tanaman kakao muda atau
jagung/tanaman lain berturut-turut 9,45 dan 9,30 per tanaman (Gbr. 2). Kondisi
pertumbuhan tersebut menggambarkan bahwa kacang hijau sebagai tanaman
sela yang ditanam secara teratur dan seimbang di antara tanaman pokok,
pertumbuhannya tidak berbeda dengan kacang hijau monokultur. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penggunaan kacang hijau dan atau jagung sebagai
tanaman sela cukup sesuai selama kakao yang diremajakan belum berproduksi
atau kanopi tanaman kakao saling menutupi, mungkin sampai tanaman
berumur ± 4 tahun.
Menurut Beets dan William (1984), penggunaan jarak tanam teratur
dimaksudkan untuk menghindari kompetisi antar tanaman terutama dalam hal
penggunaan unsur hara, air, dan cahaya matahari. Dalam kajian ini, kacang
hijau ditanam dengan jarak 40 cm X 15 cm dan ditempatkan pada jarak 100 cm
dari barisan tanaman kakao.
Rata-rata hasil biji kacang hijau yang dicapai pada berbagai pola tanam
(sebagai pembanding), disajikan pada Gambar 3. Terlihat bahwa kacang hijau
1254
yang ditanam secara monokultur mampu memberikan hasil rata-rata 1 500 kg/ha
(Sutarman dan Hakim, 1985), kemudian kacang hijau di antara setiap barisan
jagung mencapai sekitar 1 330 kg/ha (Rajit, 1993). Sedangkan, hasil kacang
hijau sebagai sebagai tanaman sela diantara pertanaman kakao muda hanya
sebanyak 678,63 kg/ha. Hasil ini menunjukkan terjadi penurunan sekitar 45 %
dari pola monokultur. Kurangnya hasil tanaman sela dalam pola bersama kakao
muda tersebut diduga berkaitan dengan rendahnya tingkat kerapatan populasi
tanaman kacang hijau. Pada kajian ini populasi kacang hijau yang digunakan
kurang dari 333 333 tanaman per hektar (jarak tanam 40 cm X 15 cm, masingmasing dua tanaman per lobang tugal). Di antara setiap barisan tanaman kakao
muda hanya terdapat lima baris kacang hijau. Sedangkan hasil penelitian
Sutarman dan Hakim (1985) menyebutkan populasi dari pertanaman monokultur
bisa mencapai 666 666 tanaman per hektar atau jarak tanam ganda 50 cm
X (20 cm X 15 cm).
Keterangan :
A = Kacang hijau/kakao
muda
B = Kacang hijau/tan.
lain
C
=
Kacang
hijau
monokultur
Gambar 3. Hasil tanaman kacang hijau pada berbagai pola tanam
Analisis Pendapatan Tanaman Sela
Analisis dilakukan dengan cara membandingkan perolehan pendapatan
dari tiap jenis tanaman sela yang diintroduksikan. Pendapatan merupakan selisih
antara total penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Penerimaan diperoleh
dari nilai harga jual sejumlah hasil masing-masing tanaman sela. Sedangkan,
komponen biaya meliputi harga benih, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja
dan lain-lain.
Besaran nilai hasil, biaya produksi, nilai penerimaan dan
pendapatan disajikan pada Tabel 7.
1255
Tabel 7.
No
Analisis pendapatan tanaman
tanaman perkebunan kakao
Uraian
sela
di lokasi
peremajaan
Tanaman Sela
1
Hasil (kg/ha)
Jagung
Bisi-2
S.maraga
3.601,70
3.273,60
2
B.Prod.(Rp/ha)
500.000
300.000
300.000
300.000
2.00.000
Benih
935.000
870.000
480.000
480.000
350.000
Pupuk
100.000
100.000
100.000
100.000
50.000
1.000.000
1.000.000
1.060.000
1.060.000
1.080.000
100.000
100.000
100.000
100.000
100.000
Jumlah Biaya
2.635.000
2.370.000
2.040.000
2.040.000
1.780.000
3
Penerimaan
(Rp/ha)
4.322.040
3.928.320
1.416.140
1.754.280
4.071.780
4
Pendapatan
(Rp/ha)
1.687.040
1.558.320
- 623.860
-285.720
2.291.780
Pestisida/herbi.
Tenaga kerja
Padi gogo
S.bagendit
S.patenggang
643,70
797,40
K.hijau
678,63
Lain-lain
Catatan :
Harga jual : Jagung
-
Padi (GKP)
Kacang Hijau
Upah tenaga kerja
=
=
=
=
Rp. 1.200/kg
Rp. 2.200/kg
Rp. 6.000/kg
Rp.20.000/hari
Penggunaan berbagai jenis tanaman sela pada perkebunan kakao yang
diremajakan memberikan tingkat pendapatan yang bervariasi. Secara umum,
produktivitas setiap jenis tanaman sela mengalami penurunan per satuan luas,
dibandingkan bila ditanam monokultur. Karena itu, besaran nilai yang dihasilkan
dapat mempengaruhi pendapatan. Pendapatan tertinggi yang dihasilkan dari
tanaman sela adalah kacang hijau disusul jagung. Secara parsial, pendapatan
yang diperoleh dari tanaman kacang hijau mencapai Rp. 2.291.780/ha. Besaran
nilai ini dapat dianggap sebagai pendapatan pengganti dari tanaman kakao yang
diremajakan. Dengan asumsi produktivitas kakao saat ini ≤ 1,0 t/ha dan harga
tertinggi sebesar Rp. 15.000/kg, tingkat pendapatan kakao kurang dari Rp.
15.000.000./ha. Berdasarkan asumsi di atas, maka pendapatan pengganti yang
dihasilkan kacang hijau mencapai >10 % dari pendapatan kakao.
Pendapatan yang diperoleh dari tanaman jagung varietas Bisi-2 dan
Sukmaraga masing-masing sebesar Rp. 1.687.040. dan Rp. 1.558.320. per
hektar. Nilai pendapatan pengganti tersebut juga mencapai ± 10 % dari
pendapatan kakao. Untuk tanaman padi gogo, produktivitas tanaman cukup
rendah akibat adanya serangan hama penggerek batang dan walang sangit.
Karena nilai penerimaan yang dihasilkan lebih kecil dari biaya produksi
mengakibatkan pendapatan tanaman sela padi gogo bernilai negatif.
1256
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pemanfaatan lahan dengan tanaman sela di antara kakao yang diremajakan
umur ± 1 tahun tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao.
2. Pertumbuhan dan hasil tanaman sela tidak berbeda antar varietas. Namun
demikian, tanaman sela mengalami penurunan hasil akibat rendahnya tingkat
kerapatan populasi tanaman
3. Tanaman sela, kacang hijau (var. Gelatik) dan jagung var. Bisi-2 dan var.
Sukmaraga sesuai ditanam bersama kakao selama belum berproduksi atau
kanopi tanaman kakao saling menutupi.
4. Pendapatan tanaman sela tertinggi diperoleh dari tanaman kacang hijau var.
Gelatik mencapai Rp. 2.291.780/ha, sedangkan dari jagung var. Bisi-2 dan
var. Sukmaraga masing-masing Rp. 1.687.040 dan Rp. 1.558.320 per hektar.
Nilai pendapatan pengganti ini ± 10 % dari pendapatan kakao.
Saran
1. Guna meningkatkan pendapatan pengganti dari tanaman sela, pola jagung +
kacang hijau di antara kakao yang diremajakan dapat dikaji lebih lanjut.
2. Agar kakao tumbuh dan berkembang normal penggunaan tanaman penaung
sementara seperti pisang (jarak tanam 6 m x 6 m) setelah kakao berumur 9
– 12 bulan dan selama tanaman kakao belum menghasilkan sangat
dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arnon, 1972. Crop Production in Dry Region. Volume 11. Systematic Treatment
of Princippal Crops. Leonard Hill, London. P. 261-344
Beets, C. dan William. 1984. Multiplecropping and Tropical Farming System.
Gower Publ. Co. Ltd, Engiand.
BPS. 1998. Indonesia dalam Angka 1998. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Dinas Pertanian Sulsel, 2002. Laporan Tahunan 2001. Dinas Pertanian Propinsi
Sulsel.
Harjadi,S.S. 1979. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia, Jakarta. p. 105-109
Herman, 2000. Peranan dan Prospek Pengembangan Komoditas Kakao dalam
Perekonomian Regional Sulsel. Warta Puslit Koka. 16 (1) 21-23.
Hutagalung, L.,M. Thamrin, Armiati dan M. A. Mustaha. 1995. Pengaruh Mulsa
dan Rotasi Tomat dengan Sayuran lain pada Lahan di antara Kombinasi
Mangga, Pisang dan Sirsak. J. Hort. 5 (3) : 57-69.
Manwan, I. 2002. Cocoa pod Borer in South Sulawesi. The Status Control
Measure and its Constrain. Paper Presented at the Third Intern. Cocoa
Conf. And Cocoa Dinner Makassar, October 24-25, 2002.
Newman, S. M. 1986. A pear and vegetable interculture system : Land Equivalent
Ratio, Light, Use Eficiency and Productivity. Expl. Agric. 22 (4) :383-392.
1257
Rajit, B.S., 1993. Uji Paket Teknologi Budidaya Kcang Hijau Padi Daerah
Potensial Untuk Pengembangan.
Buku Teknologi Untuk Menunjang
Peningkatan Produksi Tanaman Pangan.
Badan Litbang Pertanian,
Puslitbang Tanaman Pangan Bogor, Balittan Malang.
Ramlan dan Nurjanani. 1998. Pemanfaatan Llahan Di antara Tanaman Sirsak
Muda dan Tanaman Cabai, Kacang Panjang, Tomat, Kubis dan Bawang
Merah. Dalam: Pros Sem. Holtikultura. IPPTP. Hlm. 229-239.
Silalahi. F.H., R. Sitepu, E. Bangun, dan E. Sembiring. 1999. Pengkajian
Teknologi Tumpangsari Tanaman Hortikultura dan Jeruk Siem Berastagi. J.
Pengkajian dan Peng. Tek. Pert. 2 (1) : 23-28
Soenardi dan M. Romli. 1994. Pola Tanam Wijen dan Palawija untuk Peningkatan
Penerimaan Petani. Pembr. Littri 20 (1-2) : 1-5.
Soejitno, J., 1991. 1991. Bionomi dan Pengendalian Hama Penggerek Padi,
p.713 – 736. In Edi Soenarjo, D.S. Damardjati dan M. Syam (Eds.) Padi
Buku 3. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor
Suharto, H dan S.S. Siwi, 1991. Walang dan Hama Minor Lain, p. 737 – 750. In
Edi Soenarjo, D.S. Damardjati dan M. Syam (Eds) Padi Buku 3. Badan
Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor
Sumitro, A. 1991. Evaluasi Lingkungan Pemukiman Transmigrasi Pola Hutan
Tanaman Industri (Studi kasus di proyek hutan tanaman industri). Bulletin
Ilmiah Instiper 2 (2) : 1-15
Tahir, M. dan Hamadi. 1985. Tumpang hilir. CV. Yasaguna, Jakarta.
Thong, K.C. and W.L. Ng, 19778. Growth
Monocrop
and Nutrients Composition of
Cocoa Plants on Inland Malaysian Soils. 1978 International Conference on
Cocoa and Coconut, Kualalumpur
Valmayor, R.V., T.C. Tabora, J.R. Ramirez, W.A. Herrera and A.B. Asencion,
1974. The Natural Distribution of The Root System of Citrus, Lanzones,
and Cocoa. The
Philippine Agriculture, 58, 244 – 262
Yunuastuti, S., Soegito, dan E. Ismiati. 1986. Usaha penggunaan tanaman sela
pada anggur. Hortikultura 20 : 670-672.
1258
PENGEMBANGAN TEKNIK SAMBUNG PUCUK (BUD GRAFTING) SEBAGAI
ALTERNATIF PILIHAN PERBANYAKAN BIBIT KAKAO SECARA
VEGETATIF DI KORIDOR IV SULAWESI
Jermia Limbongan dan Fadjry Djufry
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan KM17,5 Sudiang Makassar 90242
ABSTRAK
Perbanyakan bibit kakao secara vegetatif bertujuan untuk mendapatkan bibit kakao yang
bermutu tinggi baik kuantitas maupun kualitasnya.Pemilihan teknik perbanyakan bibit
kakao yang sesuai tergantung dari ketersediaan entres, tingkat kemampuan SDM,
tingkat keberhasilan sambungan dan jumlah kebutuhan bibit, serta ketersediaan fasilitas
penunjang. Beberapa alternatif pilihan yang tersedia antara lain, setek,okulasi, sambung
pucuk , sambung samping dan somatik embriogenesis. Teknik perbanyakan vegetatif
yang paling banyak dilakukan para petani kakaodi Koridor IV Sulawesiadalah sambung
pucuk. Teknik ini mudah dilakukan, bahan-bahan yang digunakan mudah didapat dan
harganya murah, serta keuntungan yang diperoleh dari usaha perbenihan sebesar Rp.
26.250.500 per 10.000 bibit dengan tingkat kelayakan (B/C) sebesar 1,4.
Kata kunci : Kakao, vegetatif, sambung pucuk, entres
PENDAHULUAN
Sulawesi merupakan salah satu koridor ekonomi penting untuk pengembangan
perkebunan dan industri kakao di Indonesia. Menurut Menko Perekonomian
Republik Indonesia, daerah ini memiliki area kakao sebesar 58% dari total area
kakao di Indonesia atau sekitar 838.037 ha, dengan rata-rata produksi berkisar
0,4-0,6 ton/ha dari potensi sebesar 1-1,5 ton/ha (Coordinating Ministry For
Economic Affairs Republic of Indonesia, 2011)
Pengembangan kakao didaerah ini didukung oleh sistem pengadaan bibit
melalui dua cara yaitu dengan teknik perbanyakan generatif menggunakan biji
dan teknik perbanyakan vegetatif menggunakan bahan tanam entres. Kelemahan
pengembangan bibit secara generatif menurut hasil penelitian Limbongan (2012)
di beberapa daerah pengembangan kakao di Sulawesi adalah petani sering
membawa biji kakao dari luar pulau Sulawesi
misalnya dari Jawa, dan
Kalimantan sehingga memungkinkan penularan hama penyakit dari kedua pulau
tersebut ke Sulawesi. Kelemahan lain dari teknik perbanyakan bibit secara
generatifialahwaktu yang digunakan lebih lama karena benih kakao harus
dikecambahkan terlebih dahulu, kemudian dibibitkan sekitar enam bulan sebelum
bibit tersebut ditanam. Menurut Winarno,(1995) perbanyakan bibit secara
generatif mempunyai beberapa kelemahan antara lain terjadinya segregasi yang
mengkibatkan keragaman hasil biji.
Petani kakao di beberapa daerah pengembangan semakin menyadari
kondisi tersebut dan untuk menghindarinya mereka melakukan perbanyakan
bibit kakao secara vegetatif antara lain melalui teknik sambung samping, teknik
1259
sambung pucuk, setek, okulasi, bahkan beberapa tahun terakhir mulai
diperkenalkan perbanyakan kakao melalui teknik somatik embriogenesis (SE).
Perbanyakan bibit secara vegetatif biasa disebut klonalisasi karena
menggunakan bahan tanam klonal berupa entres yang berasal dari klon unggul.
Klonalisasi dapat dilakukan misalnya dengan teknik okulasidi pembibitanmaupun
teknik sambung samping tanaman kakao dewasa di lapangan (Rubiyo,
2001).Keuntungan dari teknik klonalisasi di pertanaman yaitu mendapatkan
tanaman baru tanpa melakukan penyulaman sehingga tidak perlu membongkar
tanaman yang sudah ada (Limbongan et al., 2010).
Perbanyakan bibit kakao secara vegetatif memiliki beberapa keuntungan
antara lain tidak terjadinya segregasi sehingga hasilnya tidak mengalami
keragaman yang tinggi, dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam
waktu relatif singkat, dapat memanfaatkan klon unggul lokal sebagai sumber
entres sehingga dapat mencegah penyebaran hama dari satu tempat ke tempat
lainnya, mudah dilakukan oleh petani, dan tingkat keberhasilannya cukup tinggi.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Limbongan, Lologau, Nappu, Gaffar
Thahir, dan N. Lade (2012); Limbongan, dan M. Taufik (2011) di beberapa
lokasi pengembangan kakao di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa
perbanyakan vegetatif menghasilkan tanaman yang secara genetik sama dengan
induknya, dan diperoleh pertanaman kakao yang seragam baik produktivitasnya
maupun mutu hasilnya.
Hal lain yang juga menjadi alasan digunakannya teknik perbanyakan
vegetatif adalah sulitnya untuk mendapatkan pasokan benih.
Salah satu
pengalaman yang dikemukakan oleh Lembaga Riset Perkebunan Indonesia
(2008)bahwa untuk mendukung pengembangan areal kakao di Indonesia seluas
200.000 ha sampai tahun 2010 yang lalu diperlukan bibit kakao sebanyak 75
juta bibit per tahun. Sedangkan pada waktu yang samaIndonesia hanya mampu
menyediakan 57 juta bibit kakao sehingga masih kekurangan 18 juta bibit kakao.
Kalau kondisi ini berlangsung terus diperkirakan Indonesia pada satu saat akan
mengalami krisis kakao yang berakibat pada menurunnya produksi dan tidak lagi
memposisikan negara kita sebagai salah satu dari tiga negara penghasil kakao
terbesar di dunia.
Informasi yang disampaikan dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca untuk memperluas wawasan dan pengetahuan tentang teknologi
perbanyakan bibit kakao secara vegetatif serta bermanfaat sebagai petunjuk bagi
para pengguna teknologi untuk mendapatkan bibit kakao yang berkualitas tinggi
sertadihasilkan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat.
Beberapa Teknik Perbanyakan Vegetatif Tanaman Kakao
Perbanyakan tanaman dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara
generatif (sexual) dan vegetatif (asexual). Perbanyakan vegetatif misalnya
penyambungan (grafting), okulasi (budding), setek (cutting), cangkok
(airlayering) dan dengan berkembangnya teknologi kultur jaringan, telah
ditemukan perbanyakan tanaman secara micropropagationmisalnya teknik
somatik embriogenesis. (Gambar 1)
1260
Perbanyakan Tanaman
Sexual
Biji
Asexual
Cutting
Grafting
Layer/Succer
Micropropagation
Gambar 1. Skema beberapa teknik perbanyakan tanaman
(dikutip dari Limbongan dan Limbongan, 2012)
Hasil penelitian Nappu et al. (2012) mengenai persentase tanaman kakao
yang dihasilkan dari perbanyakan secara vegetatif (somatik embryogenesis,
sambung pucuk, sambung samping, okulasi, dan setek) yang tumbuhdi lahan
sepuluh orang petani di kabupaten Luwu dan sepuluh orang petani di Luwu
Utara dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata hasil pengamatan persentase tanaman kakao yang
tumbuh di pertanaman sampai dengan tahun ke 3
Lokasi dan
Tahun ke
Kab. Luwu
Tahun kesatu
Tahun kedua
Tahun ketiga
Jumlah
Tanaman
Kab.Luwu Utara
Tahun kesatu
Tahun kedua
Tahun ketiga
Jumlah
Tanaman
Persentase Tanaman kakao yang tumbuh di pertanaman
Somatik
Sambung
Sambung
Okulas
Embriogenesi
Samping
Setek
pucuk
i
s
96,2
66,0
51,3
96,4
88,5
80,3
94,5
94,5
94,5
1.060
590
345
100,0
78,1
62,3
96,8
94,2
83,9
80,3
76,1
76,1
633
155
132
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber : Nappu et al. (2012)
Setek
Teknologi setek (cutting) adalah menumbuhkan bagian atau potongan
tanaman kakao dalam media tanah, sehingga menjadi tanaman baru.Pembibitan
secara setek dimulai dengan memilih pohon induk sebagai sumber bahan tanam
(entres). Setelah setek diberi hormon perangsang tumbuh akar ditempatkan
dalam peti pembibitan atau bedengan yang telah diisi pupuk organik dicampur
tanah sambil dijaga tempetatur dan kelembaban lingkungannya, penyinaran
yang cukup. Setelah setek tersebut menghasilkan akar, kemudian dipindahkan
kedalam wadah lain yaitu polybag yang sudah diisi campuran tanahdan pupuk
organik untuk menjalani stadia hardening pertama. Pada stadium ini tanaman
masih perlu mendapat perhatian yang sangat hati-hati terutama dalam hal
1261
pemberian air, cahaya dan temperatur.Setelah berumur 5-6 bulan bibit tersebut
sudah siap dipindahkan ke pertanaman ( Prawoto, 2008).
Pada beberapa negara, produksi biji kakao yang diperoleh melalui setek
tergantung dari keterampilan dan perhatian penuh dari pelaksana perbanyakan
vegetatif. Hasil penelitian Inter American Cacao Center memperlihatkan bahwa
produksi biji kering klon kakao ICS 1 yang diperbanyak melalui benih adalah 458
kg/ha/tahun sedangkan melalui setek sebesar 1.190 kg/ha/tahun. Penelitian
yang sama pada klon ICS 95 diperoleh 526 kg/ha/tahun dari tanaman semaian
dan 1.318 kg/ha/tahun dari tanaman setek (Urquhart, 1956). Petani di Indonesia
jarang menggunakanteknik ini karena memerlukan entres yang lebih banyak dan
juga memerlukan biaya tambahan untuk pembelian zat pengatur tumbuh (ZPT)
untuk merangsang pertumbuhan akar.
Okulasi
Teknologi okulasi (budding) dilakukan dengan mengambil potongan kecil
kulit batang yang mengandung satu tunas vegetatif diambil dari entres dan
ditempelkan pada batang bawah. Biasanya mata tunas yang digunakan untuk
okulasi diambil disekitar pangkal daun, diantara tangkai daun (petiole) pada
batang. Kenyataan menunjukkan bahwa penempelan mata tunas yang benar
akan bertumbuh dengan baik bila ditempatkanpada posisi yang benar pada
batang bawah (Wiesman, 2002).
Perbanyakan tanaman kakao dengan menggunakan teknik okulasi, sebaiknya
dilakukan pada saat tanaman pada stadium pertumbuhan generatif. Dengan
menggunakan teknik ini akan dihasilkan tanaman yang cepat berbunga dan
berbuah.Keuntungan teknik okulasi adalah entres yang digunakan lebih sedikit
karena hanya satu tunas yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu bibit
tanaman.Selain itu, pelaksanaan lebih cepat dan ekonomis apabila tersedia
batang bawah yg banyak. Berbagai variasi dari metode ini adalah modifikasi
Forket, metode T (T-budding), metode T terbalik, metode Jendela (Patch
budding), dan okulasi hijau (Green budding).(Limbongan dan Limbongan., 2012).
Pada Tabel 1 terlihat bahwa tidak ditemukan pertanaman yang berasal dari
bibit okulasi dan setek baik di Luwu maupun di Luwu Utara.Hal ini menunjukkan
bahwa petani lebih tertarik untuk melaksanakan perbanyakan bibit secara
sambung pucuk dibanding okulasi dan setek.
Sambung Pucuk
Teknologi sambung pucuk (bud grafting) adalah penggabungan dua
individu klon tanaman kakao yang berlainan menjadi satu kesatuan yang utuh
dan tumbuh sebagai satu tanaman baru.Teknik ini menggunakaan bibit kakao
sebagai batang bawah disambung dengan entres yang berasal dari kakao unggul
sebagai batang atas. Bibit batang bawah siap disambung pada umur 2,5 – 3
bulan. Dari Tabel 1 dapat pula disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan
sambungan yang dicapai petani kakao menggunakan teknik sambung pucuk bisa
mencapai 85% di kabupaten Luwu dan 88% di kabupaten Luwu Utara.Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Limbongan dan Taufik (2011) di kabupaten Luwu
dan Luwu Utara yang menyimpulkan setiap kelompok penangkar bibit kakao
memiliki rata-rata 70% bibit asal sambung pucuk, 0% asal okulasi, 20% asal
sambung samping dan 10% asal biji dan SE. Keuntungan yang diperoleh petani
1262
dari hasil penjualan bibit sambung pucuk cukup besar misalnya hasil pengamatan
Cocoa Sustainability Partnership (2012) yang menyatakan bahwa biaya yang
diperlukan untuk menghasilkan satu bibit menggunakan tenaga buruh dengan
kapasitas pembibitan 1000 bibit sebesar Rp. 2.050,- Dengan harga lokalRp.
4.500,- per bibit, maka dapat diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.450,- per
bibit.
Sambung Samping
Teknologi sambung samping (side-cleft-grafting) yaitu teknik yang
digunakan untuk merehabilitasi tanaman kakao yang sudah tua dan tidak
produktif lagi. Teknik ini dilakukan dengan cara menyambungkan entres kakao
unggul (sebagai batang atas) pada tanaman kakao dewasa yang tidak produktif
(sebagai batang bawah). Teknik ini hanya digunakan untuk merehabilitasi
tanaman kakao yang sudah tua dan sudah tidak produktif lagi, dan bukan untuk
perbanyakan bibit.
Hasil pengamatan persentase sambung jadi pada beberapa lokasi
pengembangan juga dipengaruhi oleh kemampuan petani melakukan
sambungan.Hasil penelitian yang dilakukan Limbongan et al. (2010) di kabupaten
Soppeng, Sulawesi Selatan menyimpulkan adanya perbedaan tingkat
keberhasilan sambungan yang dicapai oleh petani yang melakukan
sambungan.Persentase sambung jadi yang dicapai petani dengan pengalaman
menyambung selama 1-3 tahun bervariasi antara 53-74 %. Minat petani di
kabupaten Luwu (Tabel 1) untuk melakukan sambung samping cukup besar
dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Sulawesi.
Hasil biji kering yang dihasilkan dari sambung samping pada klon ICS 60
mencapai 2,34 ton/ha/tahun hampir sama dengan hasil penelitian Salim et al.
(2008) yang mencapai 2,5 ton/ha/tahun.
Somatik Embriogenesis
Somatik embriogenesis adalah proses menumbuhkan sel somatik dalam
kondisi terkontrol, yang selanjutnya berkembang menjadi sel embriogenik.
Setelah melewati perubahan morfologi dan biokimia akan terbentuk embrio
somatik (Von Arnold, 2008).Teknik ini juga dapat menyediakan bibit dalam
jumlah besar, sehingga dapat mengatasi masalah dalam penyediaan kecambah.
Dengan demikian, somatik embriogenesis berperan penting dalam perbanyakan
klonal kakao, karena dapat menghasilkan tanaman yang secara genetik sama
dengan induknya dan secara morfologi normal.
Walaupun teknik somatik embriogenesis masih dilakukan dalam bentuk
uji coba namun teknologi ini memiliki prospek jangka panjang ke depan karena
memiliki keunggulan- keunggulan dibanding tanaman asal benih, okulasi
ortotrop, okulasi plagiotrop, dan setek. Tanaman hasil somatik embriogenesis
memiliki tajuk sempurna, berakar tunggang, pertumbuhan tanaman seragam,
vigor sempurnah, masa tanaman belum menghasilkan 4 bulan lebih cepat, relatif
tahan kekeringan, dan mampu berproduksi tinggi (Winarsih et al. 2002).
Menurut Lembaga Riset Perkebunan (2008) panen pertama, dapat
dilakukan pada umur 3 tahun setelah tanam, dengan produksi 500
kg/ha/tahun.Hasil ini lebih tinggi 500% dibandingkan dengan hasil tanaman asal
benih.Dengan demikian, selisih hasil ini sudah dapat menutupi perbedaan harga
1263
bibit asal somatik embriogenesis dan yang berasal dari benih. Hasil akan terus
meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman, mencapai 1.680
kg/ha/tahun pada umur 5 tahun setelah tanam. Dengan demikian, tanaman
kakao asal somatik embriogenesis tidak hanya memiliki sifat yang sama dengan
induknya, tetapi juga lebih unggul dibandingkan dengan bibit konvensional yang
selama ini digunakan di seluruh dunia.
Namun ada beberapa kelemahan dari bibit SE yang masih perlu
disempurnahkan seperti hasil penelitian Limbongan et al. (2011) di kabupaten
Luwu dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan yang menyimpulkan bahwa peremajaan
tanaman dengan menggunakan klon unggul hasil SE (somatik embriogenesis)
70-80% petani menganggap bahwa klon unggul hasil SE kurang beradaptasi di
lapangan. Ditemukan juga beberapa kelemahan misalnya tanaman mudah
tumbang, jorget tinggi (rata-rata 1,5 meter) mudah terserang penyakit VSD,
tingkat kematian tanaman dilapangan cukup tinggi, buah dan biji kecil.
Berbagai Pertimbangan Pemilihan Teknologi Perbanyakan Vegetatif
Tanaman Kakao
Untuk keberhasilan implementasi teknik perbanyakan vegetatif tanaman
kakao, perlu dilakukan pemilihan teknik perbanyakan vegetatif tertentu yang
lebih sesuai dan menguntungkan bila dilakukan pada kondisi tertentu.
Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teknik
perbanyakan vegetatif yang perlu dipertimbangkan pada saat pemilihan teknik
perbanyakan misalnya: tanaman asal setek (cutting) lebih cepat berbunga dan
berbuah, tetapi bentuknya pendek dan percabangannya rendah sehingga
mempersulit pengelolaan kebun. Kelebihannya adalah populasi tanaman yang
dihasilkan betul-betul klonal sehingga sangat bermanfaat untuk bahan penelitian
dan pengembangan kebun benih (Hartman et al. 1997).
Pada kondisi dimana ketersediaan bahan tanam berupa entres kurang
jumlahnya, maka sebaiknya memilih teknik okulasi karena dengan teknik ini
jumlah entres yang digunakan lebih sedikit dibandingkan dengan
teknik
sambung pucuk.
Apabila sasaran rehabilitasi adalah tanaman kakao dewasa yang tidak
produktif karena umur tua atau karena memang berasal dari klon yang tidak
produktif, maka pilihan jatuh pada teknik sambung samping. Kelebihan teknik ini
adalah karena pekebun tidak perlu membuat pesemaian baru atau membongkar
tanaman tua tersebut, tetapi hanya menyambungkan entres kakao unggul
sebagai batang atas pada batang kakao yang tidak produktif sebagai batang
bawah.Dengan teknik ini, tanaman lebih cepat meng