TOPIK UTAMA Di - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat
Transcription
DARI REDAKSI gambar sampul: Ilustrasi oleh Isa Islamawan SUSUNAN REDAKTUR PENASIHAT Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan PENANGGUNG JAWAB Plt. Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan KETUA REDAKSI Kepala Bagian Hukum, Organisasi, Dan Hubungan Masyarakat SEKRETARIS REDAKSI Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat ANGGOTA REDAKSI Dra. Rully Makarawo, Apt Dra. Ardiyani, Apt, M.Si Aji Wicaksono, S.Farm, Apt Isnaeni Diniarti, S.Farm, Apt Wasiyah, S.AP Muhammad Isyak Guridno, S.Si, Apt Radiman, S.E Rudi, Amd. MI ALAMAT REDAKSI Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9 Jakarta Selatan Kementerian Kesehatan RI Setditjen Binfar dan Alkes, Subbagian Humas Lt. 8 R.801 (021) 5214869 / 5201590 Ext. 8009 PENGANTAR Arah kebijakan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan seperti yang tercantum dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015 - 2019 berfokus pada sasaran strategis untuk mencapai tujuan program, yaitu terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas, terwujudnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan, serta terjaminnya alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat di peredaran. Ketiga tujuan ini tidak bisa berdiri sendiri, saling berkaitan. Namun pada kesempatan ini, tujuan yang pertama, yaitu terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tentunya menjadi fokus utama. Ketersediaan obat dan vaksin atau dari sisi negatifnya, kekosongan obat dan vaksin merupakan isu yang selalu mengemuka saat berbicara mengenai pelayanan kesehatan. Apalagi jika dikaitkan dengan sistem pengadaan secara elektronik/e-purchasing yang saat ini telah memasuki implementasi pada tahun ketiga. Untuk itu, Buletin Infarkes edisi kali ini mengangkat program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dalam mendukung ketersediaan obat di era Jaminan Kesehatan Nasional, termasuk mengulas khusus tentang e-katalog dan e-Logistik. Selain itu, terdapat informasi terkait kegiatan yang dilaksanakan oleh Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan seperti Rakonas, Kunjungan Menteri Kesehatan, Pertemuan sosialisasi dan koordinasi Fasilitasi Peralatan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) dan lain-lain. Akhir kata, semoga informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat dan memberikan wawasan bagi para pembaca. DAFTAR ISI Pengadaan Barang/Jasa yang Lebih Efektif, Efisien dan Akuntabel Melalui E-Katalog 03 Implementasi E-Logistik dalam Mendukung Capaian Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin 07 Pemantapan Pelaksanaan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dalam Mendukung Ketersediaan Obat di Era JKN 09 Jaminan Kesehatan dan Ketersediaan Obat -Wawancara Ibu Dirjen dengan Metro TV- 12 15 RAKONAS Gelombang I RAKONAS Gelombang II 17 Kunjungan Kerja Menteri Kesehatan ke Provinsi Kalimantan Utara 20 Pertemuan Sosialisasi dan Koordinasi Fasilitasi Peralatan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) 22 Musyawarah Nasional Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional 24 25 Produksi Bahan Baku Parasetamol Dalam Negeri - Suatu Tinjauan Peran Farmakoekonomi dalam Pelayanan Kesehatan 27 Rukuk, Sujud, dan Menghapal Quran sebagai Profilaksis Alzheimer dan Demensia – Suatu Hipotesis 29 TOPIK UTAMA Pengadaan Barang/Jasa yang Lebih Efektif, Efisien dan Akuntabel Melalui E-Catalogue D i tengah skeptisisme publik atas program pemberantasan korupsi sebuah harapan baru dimunculkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada penghujung 2012, yaitu pengadaan melalui pembelian langsung (e-purchasing) berdasarkan e-catalogue. Apa manfaat e-catalogue? Pertama, e-catalogue menjadikan proses pengadaan barang/jasa di sektor publik lebih efisien. Kedua, e-catalogue juga dapat meningkatkan transparansi. Harga dan penyedia produk dalam e-catalogue dapat diakses semua pihak. Dengan demikian, masalah kebocoran anggaran yang sering terjadi dalam pengadaaan barang/jasa bisa ditekan. Ketiga, e-catalogue yang menyederhanakan proses akan mengundang semakin banyak rekanan untuk berpartisipasi. E-catalogue telah menyederhanakan administrasi dan proses pengadaan barang/jasa yang cenderung rumit. Manfaat seperti ini akan semakin terasa, ketika semakin banyak barang/jasa yang dimasukkan ke dalam e-catalogue. Pembelian secara elektronik (e-purchasing) membawa manfaat besar dalam hal mempercepat proses pengadaan dan memberikan harga lebih efisien. Untuk membangun sistem e-purchasing diperlukan adanya: 1. Electronic Catalog. Untuk katalog memerlukan standarisasi barang/jasa. Penyelenggara e-catalogue dapat mengacu ke standar yang sudah ada. 2. Institusi penyelenggara e-purchasing. 3. Regulasi yang menaungi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Regulasi ini mencakup juga kontrak payung (framework contract) antara pembeli dan penjual. Di pemerintahan, pembeli adalah instansi-instansi pemerintah pusat maupun daerah. Framework contract dapat dilakukan antara supplier dengan salah satu instansi pusat untuk mewakili seluruh pembeli atau pengguna jasa. 4. Database yang besar dan selalu terbaru (up to date) tentang barang/jasa. Database ini sebaiknya terintegrasi dengan sistem di penyedia barang/jasa sehingga dapat diketahui stok dari barang yang dicantumkan di dalam sistem. Hal.03 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 TOPIK UTAMA Sistem katalog elektronik (E-Catalogue) obat yang diluncurkan pertama kali pada tahun 2013, sekurang-kurangnya memuat informasi teknis dan harga Barang/Jasa. Barang/Jasa yang dicantumkan dalam katalog elektronik ditetapkan oleh Kepala LKPP. Dimana LKPP melaksanakan Kontrak Payung dengan Penyedia Barang/Jasa untuk Barang/Jasa tertentu. Kementerian, Lembaga, Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Institusi melakukan E-Purchasing terhadap barang/jasa yang sudah dimuat dalam sistem catalog. Melalui e-catalogue, celah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan alat kesehatan dan obat dapat diminimalisir. Mengapa bisa diminimalisir? Karena harga yang terdaftar di e-catalogue sudah tercantum dengan jelas. Sistem e-catalogue ini memiliki akuntabilitas yang kuat sebagai salah satu sistem pengadaan alat kesehatan & obat. Tujuan akhirnya agar tata kelola pengadaan menjadi lebih tertata dan baik. Efeknya, “kongkalikong” pun dapat dihindarkan karena harga yang sudah pasti. Hal itu didukung dengan Permenkes No 63 tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan e-catalogue yang berbunyi: “Pengaturan pengadaan obat berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue) bertujuan untuk menjamin transparansi/keterbukaan, efektifitas dan efisiensi proses pengadaan obat dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan” Pengadaan obat melalui e-purchasing maupun secara manual berdasarkan e-catalogue telah dilaksanakan sejak tahun 2013 untuk 327 sediaan generik, dan melibatkan kurang lebih 29 industri farmasi. Tahun 2014, Sistem Jaminan Kesehatan Nasional mulai Hal.04 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 diberlakukan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan mengacu pada daftar obat yang tercantum dalam Fornas dan harga obat yang tercantum dalam e-catalogue obat. Oleh karena itu e-catalogue obat terus dikembangkan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem elektronik. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel PENGADAAN OBAT DENGAN PROSEDUR E-PURCHASING (Permenkes No 63 tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik/E-Catalogue) Pengadaan obat yang tersedia dalam daftar di sistem E-Catalogue obat Portal Pengadaan Nasional dilakukan dengan prosedur E-Purchasing. E-Purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem E-Catalogue obat. Adapun pengertian E-Catalogue obat adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga obat dari berbagai penyedia barang/jasa tertentu. menyesuaikan dengan Fornas. Sampai dengan Mei 2015, sejumlah 779 sediaan obat telah ditanyangkan dalam e-catalogue obat yang melibatkan 78 industri farmasi. Di dalam permenkes nomor 63 tahun 2014, Pengadaan barang/jasa secara elektronik atau E-Procurement dapat dilakukan dengan E-Tendering atau E-Purchasing. E-Tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan A. Persiapan Sebelum melakukan E-Purchasing, K/L/D/I sudah melakukan perencanaan kebutuhan obat. Selanjutnya K/L/D/I melakukan persiapan proses pengadaan obat dengan E-Purchasing sebagai berikut: 1. Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau FKRTL menyampaikan rencana kebutuhan obat kepada PPK. 2. PPK melihat Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat dalam Portal Pengadaan Nasional yang memuat nama provinsi, nama obat, nama TOPIK UTAMA penyedia, kemasan, harga satuan terkecil, distributor, dan kontrak payung penyediaan obat. 3. PPK menetapkan Daftar Pengadaan Obat sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran yang terdiri atas: a. Daftar Pengadaan Obat berdasarkan e-catalogue obat yaitu daftar kebutuhan obat yang tercantum dalam sistem e-catalogue obat yang ditayangkan di Portal Pengadaan Nasional. b. Daftar Pengadaan Obat di luar e-catalogue obat, yaitu daftar kebutuhan obat yang tidak terdapat dalam e-catalogue obat. Kedua daftar pengadaan obat tersebut harus ditandatangani oleh PPK. 4. Daftar Pengadaan Obat berdasarkan e-catalogue obat yang sudah ditandatangani selanjutnya diteruskan oleh PPK kepada Pokja ULP/Pejabat Pengadaan untuk diadakan dengan metode E-Purchasing. 5. Daftar Pengadaan Obat di luar e-catalogue obat selanjutnya diteruskan oleh PPK kepada Pokja ULP/Pejabat Pengadaan untuk diadakan dengan metode lainnya sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 . B. Pengadaan Obat dengan Prosedur E-Purchasing Pembelian obat secara E-Purchasing berdasarkan sistem E-Catalogue obat dilaksanakan oleh PPK dan Pokja ULP atau Pejabat Pengadaan melalui aplikasi E-Purchasing pada website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), sesuai Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 17 Tahun 2012 tentang E-Purchasing. Tahapan yang dilakukan dalam E-Purchasing Obat adalah sebagai berikut: 1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi E-Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat. Paket pembelian obat dikelompokkan berdasarkan penyedia 2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian obat kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang terdaftar pada e-catalogue. 3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat dan menunjuk distributor/PBF. Apabila menyetujui, penyedia obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan pembelian kepada distributor/PBF untuk ditindaklanjuti. Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus menyampaikan alasan penolakan. 4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal permintaan pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri Farmasi, maka ULP melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 . 5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang telah disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri Farmasi. 6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat Hal.05 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 TOPIK UTAMA sesuai dengan isi perjanjian/kontrak jual beli. 7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi riwayat pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-Purchasing. 8. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh penyedia obat/Industri Farmasi kepada kepala LKPP c.q. Direktur Pengembangan Sistem Katalog , tembusan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari kerja. Dalam hal terdapat gangguan teknis pada aplikasi E-Purchasing sehingga aplikasi tersebut tidak dapat dipergunakan untuk sementara waktu, maka K/L/D/I dapat melakukan proses pengadaan tanpa melalui prosedur E-Purchasing (secara manual/offline) dengan tetap mengacu pada harga dan penyedia yang dimuat dalam E-Catalogue. Proses pengadaan yang dilakukan secara manual tersebut memerlukan dokumen pengadaan yang meliputi: a) undangan negosiasi; b) berita acara proses negosiasi; c) permintaan pembelian; dan d) perjanjian pembelian. Dalam peraturan kepala LKPP No 14 Tahun 2015 sudah diatur mengenai sanksi terhadap penyedia barang/jasa. Penyedia Barang/Jasa dikenakan sanksi apabila: a. tidak menanggapi pesanan dalam transaksi melalui E-Purchasing; b. tidak dapat memenuhi pesanan sesuai dengan kesepakatan dalam transaksi melalui E-Purchasing tanpa disertai alasan yang dapat diterima; c. harga Barang/Jasa melalui proses Hal.06 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 E-Purchasing lebih mahal dari harga Barang/Jasa yang dijual selain melalui E-Purchasing pada periode penjualan, jumlah, dan tempat serta spesifikasi teknis dan persyaratan yang sama; dan/atau d. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Katalog Elektronik. Penyedia Barang/Jasa dikenakan sanksi berupa: 1. peringatan tertulis; 2. denda; 3. penghentian sementara dalam sistem transaksi E-Purchasing; atau 4. penurunan pencantuman dari katalog elektronik. S alah satu sasaran strategis Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam rencana strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 antara lain meningkatnya akses, kemandirian, dan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan, dimana salah satu target indikator untuk mencapai sasaran tersebut adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas sebesar 90%. Hal ini perlu didukung dengan terselenggaranya manajemen logistik alat kesehatan, obat, dan vaksin dalam rangka pemenuhan tepat waktu baik jumlah dan kualitas. Informasi ketersediaan obat dan TOPIK UTAMA mengembangkan aplikasi ketersediaan obat di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/kota yang dinamakan Sistem E-Logistik yang digunakan dalam manajemen pengelolaan dan pemantauan ketersediaan obat di Instalasi Farmasi. Sistem e-logistik adalah aplikasi pengelolaan obat dan BMHP di Instalasi Farmasi pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung pelaporan, pencatatan, dan pengelolaan obat dan BMHP. Tujuan dari sistem E-logistik yaitu: 1. Memastikan ketersediaan obat • • • Modul E-Logistik terdiri dari : Manajemen Profil Kabupaten/Kota Manajemen Logistik Laporan Rutin Progres E-Logistik Pada akhir tahun 2014, telah dilakukan upaya untuk perbaikan dan pengembangan sistem e-logistik. Progres yang telah dilakukan oleh Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan antara lain: 1. Updating master data obat dan alat kesehatan. Updating master data obat dan perbekalan kesehatan diperlukan untuk menjadi pondasi dalam Manajemen Sistem Informasi Obat dan Perbekalan Kesehatan di era JKN Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) merupakan aspek yang penting dalam pengelolaan obat baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Informasi yang tersedia hendaknya merupakan informasi yang akurat, tepat dan cepat sehingga dapat digunakan untuk semua pihak yang membutuhkan. Berkaitan dengan hal tersebut, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan telah dan BMHP di setiap jenjang instalasi farmasi 2. Meningkatkan efektifitas pemantauan ketersedian obat dan BMHP 3. Mempermudah relokasi obat dari daerah yang berlebih ke daerah yang kekurangan obat sehingga obat dan perbekes dapat diserap dengan optimal pengembangan E-Logistik. Sumber data obat dan perbekalan kesehatan dapat berasal dari beberapa sumber dengan variasi yang berbeda. 2. Penguatan tim pengelola E-logistik pusat Dalam tim pengelola E-Logistik di pusat, dibutuhkan tim yang solid. Oleh karena itu penguatan level di pusat harus diutamakan terlebih dahulu agar sosialisasi di Hal.07 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 TOPIK UTAMA daerah dapat berjalan dengan baik. Selain itu, dibutuhkan administrator E-logistik yang mempunyai tugas untuk memantau data yang masuk ke bank data, serta help desk untuk membantu keluhan dan permasalahan yang terjadi di daerah. 3. Uji coba software baru E-Logistik Sistem di beberapa provinsi Pada tahun 2015 ini telah dilakukan uji coba Sistem E-Logistik di beberapa Provinsi (13 provinsi). Selain itu pada acara Rapat Kordinasi Nasional Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan di Padang dan Palu serta pada pertemuan pembekalan, penerapan sistem e-logistik untuk Dinas Kesehatan profinsi, software ini telah diujicobakan serta mendapatkan beberapa masukan terkait fungsi, manfaat, dan kemudahan penggunaan aplikasi ini. Pada tahun 2015 ini, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekes terus melakukan penyempurnaan dan pengembangan terhadap Sistem E-Logistik, upaya-upaya yang akan dilakukan antara lain: 1. Standardisasi integrasi data di Pusat Standar data obat sudah menjadi salah satu prioritas kegiatan yang harus dikelola oleh Ditjen Binfar dan Alkes secara tersentralisasi (1 pintu), sehingga dapat digunakan Hal.08 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 oleh semua unit utama Kemenkes dan juga untuk pihak eksternal. 2. Memperbarui master data obat dan perbekalan kesehatan sistem E-Logistik yang telah ada agar dapat mengakomodasi kebutuhan manajemen logistik di daerah, memiliki standar data obat yang baku, pemetaan terhadap formularium nasional yang telah ditetapkan. 3. Mengembangkan fungsi dashboard dan visualisasi informasi indikator melalui Bank Data E-Logistik, sehingga dapat digunakan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi. ‘’Keberhasilan penerapan sistem e-logistik memerlukan partisipasi/peran aktif dari semua Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia sehingga memudahkan pusat untuk melihat data ketersediaan obat dan vaksin.’’ Pemantapan Pelaksanaan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dalam Mendukung Ketersediaan Obat di Era JKN P ada tanggal 20-23 Mei 2015 telah dilaksanakan Rapat Konsultasi Teknis Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Solo. Acara ini diikuti oleh perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi seluruh Indonesia dan peserta lintas program serta menghadirkan berbagai narasumber antara lain Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK), Kementerian Dalam Negeri, Sesditjen Bina Gizi dan KIA serta Guardian Y. Sanjaya dari SIMKES Fakultas Kedokteran UGM. Rapat Konsultasi Teknis tersebut mengangkat tema Pemantapan Pelaksanaan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dalam mendukung ketersediaan obat di era JKN yang sejalan dengan tema Rapat Konsultasi Nasional yang telah diadakan Ditjen Binfar beberapa waktu lalu. Materi yang diangkat pada TOPIK UTAMA pertemuan ini antara lain mengenai Petunjuk Teknis Indikator Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekes, pemanfaatan dana kapitasi di puskesmas di era JKN, peran pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) dalam penyediaan obat, dukungan obat dan perbekes dalam rangka penurunan AKI, AKB dan prevalensi gizi buruk di 9 provinsi prioritas, penggunaan e-logistik dalam manajemen informasi obat dan perbekalan kesehatan di era JKN serta tindak lanjut rakontek dalam menjamin ketersediaan dan terwujudnya manajemen pengelolaan obat sesuai standar. “Kewajiban dalam menjamin ketersediaan obat dan vaksin tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah Pusat, akan tetapi merupakan kewajiban semua tingkat Pemerintahan sesuai dengan kewenangannya. Obat dan vaksin Program Kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah Pusat melalui APBN tidak akan berarti apabila tidak tersedia pada fasilitas kesehatan pada waktu dibutuhkan. Peningkatan koordinasi yang lebih baik antara kita semua sangat dibutuhkan untuk menjamin obat dan vaksin tersedia pada fasilitas kesehatan dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang dibutuhkan”, demikian disampaikan Dirjen Binfar dan Alkes, Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, dalam arahannya pada saat Pembukaan acara. Dipaparkan oleh ibu Dirjen bahwa arah kebijakan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah: 1). Penguatan pelayanan kefarmasian sebagai salah satu pilar pelayanan kesehatan, 2) Pendekatan rantai suplai untuk menjamin aksesibilitas, 3) Regulasi dan pembinaan berbasis risiko. Arah kebijakan tersebut selanjutnya dituangkan dalam berbagai kegiatan, dengan berfokus pada sasaran strategis untuk mencapai tujuan program, yaitu: terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas, terwujudnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan, serta terjaminnya alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat di peredaran. Ketiga tujuan ini tidak bisa berdiri sendiri, saling berkaitan. Namun pada kesempatan ini tujuan yang pertama, yaitu terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tentunya menjadi fokus utama. Ketersediaan obat dan vaksin atau dari sisi negatifnya, kekosongan obat dan vaksin merupakan issue yang selalu mengemuka saat berbicara mengenai pelayanan Hal.09 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 TOPIK UTAMA kesehatan. Apalagi jika dikaitkan dengan sistem pengadaan secara elektronik/e-purchasing yang saat ini telah memasuki implementasi pada tahun ketiga. Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Dra.Engko Sosialine, Apt, menyampaikan bahwa fokus program antara lain menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, standarisasi harga obat, persiapan dan implementasi one gate policy dalam manajemen tata kelola obat serta implementasi e-monev katalog dan e-logistik obat. Dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa tugas Pusat adalah menyediakan obat, vaksin, alkes dan suplemen kesehatan program nasional. Sementara melalui Dana DAK sub bidang pelayanan kefarmasian salah satu yang dapat dibiayai adalah penyediaan obat dan perbekkes di daerah. Walaupun penyediaan obat dapat didanai oleh DAK, namun yang penting adalah bagaimana Daerah dapat menganggarkan sendiri Dana penyediaan obat pelayanan kesehatan dasar di daerah. Mengenai pemantapan penerapan e-logistik, SIMKES Fakultas Kedokteran UGM dr. Guadian Y. Sanjaya mengatakan, monitoring Obat dan Perbekalan Kesehatan Nasional terdiri dari beberapa aspek yaitu Ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan baik secara Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Fasilitas Kesehatan; Persediaan obat di Fasilitas Kesehatan (indikator obat puskesmas); dan Ketersediaan obat program. Sedangkan tantangan implementasi e-logistik nasional ialah Implementasi e-logistik skala lokal ; pengelolaan obat di level Faskes (regulasi penggunaan dana kapitasi); pemeliharaan standar data; perubahan indikator monitoring dan evaluasi; serta pengembangan lanjutan dan pemanfaatan standar data. Permasalahan dalam implementasi e-logistik terbagi menjadi dua, yang pertama adalah pada tata kelola informasi di mana terjadi entri data yang terlalu banyak, kekurangan SDM, dan dukungan teknis instalasi software. Kedua ada pada infrastruktur Hal.10 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 sistem informasi antara lain tidak adanya komputer dan tidak tersedianya jaringan internet. Disela-sela kegiatan Rakontek, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra Maura Linda Sitanggang, Ph.D melakukan kunjungan ke Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Dalam kunjungan tersebut, Ibu Dirjen memaparkan tentang penerapan e-katalog dalam melakukan pengadaan barang dan jasa. “Banyaknya pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi, kebanyakan ialah sektor pengadaan barang dan jasa. Untuk itulah pemerintah saat ini sedang mengupayakan pengadaan barang dan jasa dengan sistem e-purchasing” kata Ibu Dirjen. Dulu, lanjut beliau pemesanan obat dilakukan melalui tender dengan distributor. Saat ini dengan adanya e-katalog, pemesanan obat dilakukan oleh pemerintah pusat kepada industri farmasi. Distributor hanya kepanjangan tangan industri farmasi. Karena obat merupakan kebutuhan vital yang harus disediakan oleh pemerintah karena berpengaruh terhadap ketahanan suatu negara. Ada 8 Faktor yang mempengaruhi Manajemen Suplai Obat: 1). Seleksi produk melalui Fornas; 2). Forecasting dan kuantifikasi, 3). Pengadaan yang meliputi perencanaan pengadaan, pengadaan, pertanggungjawaban; 4). SDM dan kapasitas; 5). Sistem Informasi Manajemen Obat; 6). Penyimpanan, 7). Distribusi; dan 8). Sumber pembiayaan. “Anggaran Obat untuk JKN nilainya sebesar 6 Trilyun. Mulai dari pembelian, tes bahan baku dan lain-lain butuh waktu 3-6 bulan. Sehingga daerah diharapkan membuat Rencana Kebutuhan Obat 1 tahun sebelumnya agar Industri Farmasi bisa melakukan persiapan dengan matang dan harga obat menjadi lebih murah. Dengan adanya e-katalog, harga obat turun 30% - 40%” ujar Ibu Dirjen”. Di dalam e-katalog Obat, sudah tersedia 699 obat yang terdapat di dalam Formularium Nasional dari 75 industri farmasi dan telah ada 4.013 paket e-purchasing obat senilai Rp. 804.803.766.528,-. Sedangkan di dalam e-katalog Alkes sudah tersedia 2.098 item Alkes dan BMHP dari 27 Penyedia Alkes dan telah ada 1.040 paket e-purchasing senilai Rp. 375.000.000.000,-. “e-katalog sebagai dasar meningkatkan pengadaan yang efisien, transparan dan akuntabel bertujuan meningkatkan ketersediaan obat serta meningkatkan akses dan mutu pelayanan obat” tambah Ibu Dirjen Diskusi kelompok dalam rakontek menyimpulkan hal-hal sebagai berikut”: 1. Pusat dalam hal ini Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekes segera membuat surat edaran mengenai pemantauan dan pengumpulan data indikator dan dikirimkan ke Provinsi sebagai dasar bagi provinsi untuk membuat surat senada ke Kabupaten/Kota. 2. Pusat memberikan feedback laporan hasil pemantauan indikator ke Provinsi yang kemudian akan diteruskan ke kabupaten/kota sehingga masing-masing pihak dapat menerima manfaatnya. 3. Diusulkan penambahan tenaga sebagai operator aplikasi e-logistik dengan lata belakang pendidikan farmasi. Selain itu perlu dilakukan pelatihan software e-logistik mengingat di daerah sering terjadi mutasi pegawai sehingga perlu ada kaderisasi dan advokasi kepada pimpinan. Untuk meningkatkan motivasi diusulkan ada insentif dan pembinaan dari pusat. 4. Item obat untuk e-logistik perlu disempurnakan dan perlu ada keseragaman nama obat mengikuti aturan baku. 5. Perlu ada SK Tim Perencana Obat Terpadu di tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi/Pusat dan melaksanakan rapat koordinasi secara rutin minimal 3 bulan sekali dan monitoring terpadu dengan pengelola program agar komunikasi terjalin dengan baik dan efektif. TOPIK UTAMA S emua orang memiliki impian yang sama tentang pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang secara resmi mulai dijalankan pemerintah pada 1 Januari 2014, seakan telah membuka harapan masyarakat tentang penyediaan layanan kesehatan yang lebih baik di Indonesia. Wajar apabila masyarakat menyambut kehadiran JKN dengan antusiasme yang tinggi. Program ini bertujuan untuk menyediakan akses layanan kesehatan termasuk obat-obatan yang aman dan efisien kepada para pasien di seluruh Indonesia. Apalagi, sudah bukan rahasia lagi bahwa pada masa-masa sebelum penyelenggaraan JKN itu masyarakat tidak memperoleh kepastian pelayanan kesehatan. Rakyat tidak tahu berapa biaya yang harus dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat. Bahkan sampai ada anggapan sistem kesehatan di Indonesia sangat tidak memihak rakyat, meskipun pelayanan tersebut disediakan di rumah sakit pemerintah. “Kesehatan merupakan hak asasi manusia”. Kalimat itu secara langsung menuntut tanggung jawab pemerintah untuk selalu menjamin hak warga negaranya dalam hal kesehatan. Karena hak adalah sifatnya apa yang seharusnya diperoleh, maka dari itu keberadaannya harus benar-benar terjaga. Dalam aspek hak pemenuhan kesehatan masyarakat, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa pemerintah wajib mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh. Dari mulai tingkat pemerintah daerah sampai pusat, semuanya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan adil dan merata. Hal.12 l Buletin INFARKES Edisi I - Maret 2015 Jaminan Kesehatan dan Ketersediaan Obat Wawancara Ibu Dirjen dengan Metro TV. Mengacu amanat UU tersebut, maka ketersediaan obat bagi masyarakat menjadi salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah. Kewajiban pemenuhan obat ini sebagaimana tertuang di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 Tahun 2006 tentang Kebijakan Obat Nasional, tidak bisa diabaikan apalagi dipandang sebelah mata. Karena kita tahu, kerentanan tubuh terhadap penyakit adalah hal yang mutlak dialami manusia semenjak dilahirkan. Bawasannya, segala macam penyakit dapat hinggap kepada siapa saja, tanpa terkecuali. Obat merupakan salah satu komponen yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Semua sepakat, manfaat obat telah diakui sebagai medium penyembuhan dan peningkatan kesehatan. Maka dari itu, akses terhadap obat terutama yang sifatnya esensial merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak asasi manusia. Penyediaan obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan lembaga pelayanan kesehatan, baik publik maupun swasta. Maka dari itu, pemerintah merasa perlu mengatur tata kelola penyediaan obat esensial itu berdasarkan Formularium Nasional atau Fornas. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, menjelaskan bahwa Fornas merupakan daftar obat yang disusun berdasarkan bukti ilmiah mutakhir. Obat-obat yang masuk ke dalam daftar Fornas dijamin berkhasiat, aman, dan harga terjangkau. Fornas disediakan sebagai acuan untuk penulisan resep obat dalam mendukung pelaksanaan sistem JKN. Penerapan otonomi daerah mengakibatkan beberapa peran pemerintah pusat dialihkan kepada pemerintah daerah, salah satunya bidang pelayanan kesehatan. Dengan demikian, penyediaan dan pengelolaan anggaran pengadaan obat esensial bagi masyarakat yang sebelumnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat pun beralih ke pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat masih mempunyai kewajiban untuk penyediaan obat program kesehatan dan persediaan penyangga (buffer stock) serta menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat. “Berdasarkan data pelaporan, persentase ketersediaan obat rata-rata di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota secara nasional pada akhir Februari 2015 mencapai TOPIK UTAMA 101,54 persen,” ujar Linda kepada Metrotvnews.com, Jumat (22/5/2015). Menurut Linda, pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan mendasar yang perlu dicermati agar ketersediaan obat esensial bagi masyarakat tetap terjamin. Obat yang tertera di dalam Fornas dibagi ke dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah obat yang dipergunakan dan didistribusikan untuk pelayanan kesehatan primer di Kabupaten atau Kota. Tingkat kedua, adalah untuk pelayanan kesehatan di tingkat provinsi. Tingkat ketiga, untuk pelayanan yang lebih tersier. Dan ketika tingkatan tersebut memiliki daftar obat esensial masing-masing. Oleh karena itu, kata Linda, pengelolaan obat esensial ini tidak bisa dilepaskan kepada mekanisme pasar bebas. "Karena, kalau dilepaskan ke pasar, itu artinya obat yang begitu strategisnya belum tentu dapat memenuhi kebutuhan dasar yang paling hakiki untuk rakyat,” kata Linda. Sistem lelang dan e-katalog Sekarang, pengadaan kebutuhan obat di tiap-tiap Puskesmas sudah dapat dilakukan melalui sistem lelang secara mandiri dengan e-katalog alias katalog elektronik. E-katalog adalah daftar obat yang bisa dibeli oleh badan layanan kesehatan dan dapat di akses secara online di internet. Melalui sistem ini, unit pelayanan kesehatan mulai dari puskesmas, rumah sakit tingkat kabupaten, provinsi dan pusat dapat mempersiapkan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) untuk melakukan pengadaan obat esensial yang diinginkan. Selanjutnya, pemerintah pusat tinggal memonitor pengadaan, serta menunggu inisiatif daerah dalam menggunakan APBD-nya untuk belanja obat ini. Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk, Rusdi Rosman, menyebut, distribusi obat generik di daerah-daerah tergantung dari permintaan Dinas Kesehatan (Dinkes) terkait. Permintaan dari Dinkes inilah yang nantinya akan dilelang melalui e-katalog oleh pemerintah pusat. Rusdi menjelaskan, pihak yang merencanakan pengadaan obat generik di daerah adalah Dinkes atau Puskesmas melalui RKO. Selanjutnya, permintaan obat generik ini dilelang dengan sistem e-katalog. Saat pelelangan tersebut, semua industri farmasi akan diminta memasukkan harga. Industri farmasi yang memenangkan lelang, selanjutnya akan mendistribusikan obat tersebut ke Dinkes atau Puskesmas terkait. Rusdi menambahkan, ada sekitar 200 lebih industri farmasi yang ikut lelang dan berhak mendistribusikan obat generik itu ke seluruh Indonesia. “Kalau yang dijual oleh Kimia Farma hasil lelang itu, itu sudah pasti didistribusikan ke semua daerah, kalau tidak didenda,” ujar Rusdi saat dihubungi Metrotvnews.com, Kamis (21/5/2015). Pada kesempatan yang sama, Rusdi juga memaparkan bahwa obat generik dari perusahaan farmasi memang dibeli oleh Kementerian Kesehatan untuk mendukung program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). Sedangkan yang menjual dan mendistribusikan obat generik tersebut bukan hanya Kimia Farma, melainkan banyak industri farmasi yang berhasil memenangkan lelang. Peranan Obat Generik Secara biaya, harga-harga obat e-katalog memang jauh lebih murah. Namun, harga murah bukan berarti kualitasnya rendah. Itulah yang ingin ditegaskan pemerintah melalui program JKN yang dikelola oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kenapa harga obat yang terdaftar dalam e-katalog itu murah? Karena pabrik yang diberi proyek untuk memproduksi obat dalam e-katalog ini mendapat kepastian pembeli dalam jumlah besar. Harga yang murah dari e-katalog ini bagi pemerintah sangat bermanfaat untuk menekan biaya kesehatan yang amat tinggi. Selain itu, harga murah di e-katalog karena pemerintah menggencarkan penggunaan obat generik. Ada tiga jenis obat yang di kenal di Indonesia: obat generik, obat generik bermerek, dan obat paten. Obat paten adalah obat-obat penemuan baru yang masih dilindungi paten dan hanya diproduksi oleh perusahaan farmasi pemilik paten. Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya sehingga dapat diproduksi oleh perusahaan farmasi mana pun tanpa perlu membayar royalti kepada perusahaan farmasi yang menemukannya. Obat generik ini dinamai sesuai dengan zat berkhasiat yang dikandungnya. Umumnya, obat paten diberikan waktu sekitar 10-15 tahun sebelum diperbolehkan menjadi obat generik. Dengan kata lain, mutu obat generik tidak berbeda dengan obat paten, karena bahan bakunya sama. Ada dua macam obat generik, yakni yang bermerek dagang dan obat generik berlogo (OGB). Dalam rangka meningkatkan akses obat bagi masyarakat, pemerintah menyediakan obat generik ini di setiap pusat pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Ketersediaan obat generik di pelayanan dasar kesehatan merupakan kebijakan yang sudah ditetapkan, dan tidak hanya berlaku di Indonesia. "Obat generik ini adalah salah satu Hal.13 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 TOPIK UTAMA kebijakan untuk meningkatkan akses obat, itu terbukti di seluruh dunia," kata Linda. Masyarakat, ia melanjutkan, tidak perlu khawatir akan kualitas obat generik. Sebab, ada kekeliruan pandangan yang telah terlanjur terbentuk mengenai obat generik sebagai obat kelas dua lantaran harganya murah dan tidak bermutu. Padahal, tidak ada perbedaan antara obat generik dan obat bermerek dalam kandungan zat aktif, mutu, khasiat, dan keamanan. Perlu diketahui, obat bermerek alias obat paten dipromosikan oleh produsennya, sehingga harganya jauh lebih mahal. Sementara obat generik hanya menjual zat aktifnya dan ditentukan pemerintah, jadi harganya lebih murah. Perbedaan harga obat generik dan obat bermerek terbilang cukup jauh, selisihnya bisa mencapai 50 hingga 200 persen. Pemerintah pun berupaya untuk menghilangkan stigma itu dengan melakukan revitalisasi dan reposisi obat generik. “Revitalisasi obat generik dilakukan dengan berbagai intervensi, dari hulu sampai ke hilir,” kata Linda. Dari sisi penyediaan atau hulu, pemerintah mendorong industri farmasi di Indonesia untuk memproduksi obat generik melalui empat hal. Pertama, penetapan harga obat generik yang lebih akomodatif dan kompetitif. Kedua, penetapan kemudahan registrasi obat generik. Ketiga, mendorong agar kemasan obat generik lebih menarik. Keempat, menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Sedangkan di sektor hilir, pemerintah terus mendorong peningkatan implementasi Keputusan Menteri Kesehatan tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan diperkenankan untuk dilakukan generic subtitution. Selain itu juga melakukan advokasi dan promosi dalam penggunaan obat generik Hal.14 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 kepada masyarakat melalui media massa. Penggunaan obat generik ini mempunyai fungsi efektivitas biaya kesehatan. Linda mencontohkan pada tahun 2011, dari Rp 44 triliun nilai pangsa pasar sektor privat maupun publik, terdapat 8-10 persen konstribusi dari obat generik. “Walaupun nilai pasar obat generik hanya 8-10 persen, namun dari sisi volume mencapai 40 persen, ini menandakan penggunaan obat generik yang cost effective,” imbuh Linda. Beliau pun berharap, setelah diberlakukannya JKN sejak awal tahun lalu, pemakaian obat generik bisa kian meningkat hingga mencapai 60-70 persen pada fasilitas-fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Di pelosok daerah terpencil, obat generik ini dipastikan tersedia di setiap apotik atau puskemas yang ada. Jadi masyarakatkan diharapkan mencari puskesmas atau apotik untuk mendapatkan akses obat itu. Penetapan harga obat generik yang tersebar di seluruh Indonesia juga telah diatur oleh pemerintah supaya tidak melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET). Dengan adanya HET ini, paling tidak perbedaan harga obat antara satu daerah dengan yang lain tidak begitu jauh. Akan lebih baik lagi kalau warga masyarakat itu sudah terdaftar sebagai peserta BPJS. Karena biaya administrasi, pelayanan, bahkan menebus obat yang diresepkan dokter akan digratiskan. "Kalau dia punya kartu JKN atau KIS (Kartu Indonesia Sehat), dia kan tinggal pergi ke Puskesmas dan segala sesuatu sudah di-cover,” kata Linda. Persebaran obat-obat generik di pasaran pun tetap harus ditangani secara profesional. Ia mengharapkan obat-obat generik itu tidak dijual terlalu bebas seperti di warung warung selain apotek. Karena akan sangat berbahaya apabila obat itu dikelola oleh orang yang bukan berkecimpung dalam bidang medis. LIPUTAN 3. Edukasi masyarakat, melalui program edukasi mengenai penggunaan obat yang efektif dan aman 4. Melaksanakan Kebijakan Obat Nasional, termasuk penetapan ketersediaan obat esensial 5. Riset dan Training terutama di bidang keamanan penggunaan obat, farmakoekonomi, farmakoepidemiologi, kualitas hidup pasien dan penggunaan obat berbasis bukti. RAKONAS GELOMBANG I “D alam rencana pembangunan kesehatan 2015 - 2019, penguatan pelayanan kesehatan dasar sangat ditekankan untuk mengoptimalkan kesiapan fasilitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama maupun rujukan. Pemerintah sendiri telah mencanangkan Program Indonesia Sehat sebagai solusi dalam menghadapi berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia” ungkap Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt, Ph.D saat membuka Rapat Konsultasi Nasional Ditjen Binfar Alkes Gelombang I yang diselenggarakan pada 16 - 18 Maret 2015 di Hotel Pangeran Beach, Padang Sumatera Barat. Rapat Konsultasi Nasional (Rakonas) Gelombang I ini mengusung tema “Pemantapan Pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam Mendukung Ketersediaan Obat dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan”. Rakonas ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan sinergisme antara pusat dan daerah dalam rangka peningkatan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2015 guna mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dan pencapaian MDGs. Ibu Dirjen dalam paparannya juga menekankan pentingnya seluruh jajaran kefarmasian untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan dalam Program Indonesia Sehat dari sisi Pilar Paradigma Sehat yang terkait Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Tantangan tersebut adalah meningkatkan peran tenaga kefarmasian dalam upaya promotif-preventif yang meliputi: 1. Tinjauan terapi berbasis bukti ; membantu menghilangkan disparitas dalam pelayanan kesehatan 2. Pencegahan Penyakit dan Peningkatan keamanan penggunaan obat melalui program rekonsiliasi obat, pengkajian resep Untuk menghadapi tantangan tersebut, telah disiapkan Strategi Kemandirian, Aksesibilitas dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, dimana ada 3 tujuan yang ingin dicapai. Ketiga tujuan tersebut meliputi: 1. Terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas; Strategi yang disusun untuk mencapai tujuan ini adalah: a. Menyusun regulasi perusahaan farmasi memproduksi bahan baku obat dan obat tradisional dan menggunakannya dalam produksi obat dan obat tradisional dalam negeri, serta bentuk insentif bagi percepatan kemandirian nasional b. Mengembangkan Pokja ABGC dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri c. Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan d. Menjadikan tenaga kefarmasian sebagai tenaga kesehatan strategis e. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional melalui penguatan manajerial, regulasi, edukasi serta sistem monev 2. Terwujudnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan; Strategi yang disusun untuk mencapai tujuan ini adalah: a. Menyusun regulasi perusahaan farmasi memproduksi bahan baku obat dan obat tradisional dan Hal.15 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 LIPUTAN b. c. d. e. menggunakannya dalam produksi obat dan obat tradisional dalam negeri, serta bentuk insentif bagi percepatan kemandirian nasional Mengembangkan Pokja ABGC dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan tenaga kesehatan tentang pentingnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan dalam negeri yang berkualitas dan terjangkau Percepatan tersedianya produk generik bagi obat-obat yang baru habis masa patennya 3. Terjaminnya produk alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat diperedaran. Strategi yang disusun untuk mencapai tujuan ini adalah: a. Menyusun regulasi penguatan kelembagaan dan sistem pengawasan pre dan post market alat kesehatan serta PKRT b. Menyusun regulasi penguatan penggunaan dan pembinaan industri alat kesehatan dalam negeri c. Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan Sementara itu dinas kesehatan sendiri diharapkan untuk ikut berperan serta dengan cara: Menjadi perwakilan pusat dalam pelaksanaan program kefarmasian dan alat kesehatan di daerah, terutama dalam kerja sama lintas program dan lintas sektor perlunya pemahaman komprehensif tentang program dan sinergi dengan program kesehatan di daerah Menjadi fasilitator pengumpulan dan validasi data capaian program, terutama yang bersumber dari puskesmas/sarana pelayanan kesehatan perlunya kompetensi, perangkat pendukung, serta Hal.16 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 komitmen pelaporan Menjadi sumber ide dan mitra diskusi pengembangan program perlunya pengembangan karakteristik daerah dan akomodasinya dalam pelaksanaan program (mis. dtpk) Menjadi kontributor dalam upaya pencapaian tata kelola pemerintahan dan keuangan negara yang baik dan benar di lingkup program kefarmasian dan alat kesehatan perlunya pengetahuan serta pemahaman tata kelola pemerintahan dan keuangan negara Melaksanakan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan kinerja baik. Kesimpulan Rakonas Ditjen Binfar dan Alkes Gelombang I 1. Untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan vaksin sampai ketingkat puskesmas, diperlukan revitalisasi manajemen pengelolaan obat dan vaksin di setiap tingkat pemerintahan dan fasilitas kesehatan, melalui peningkatan kapasitas institusi. 2. Untuk mewujudkan bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan diperlukan pembinaan produksi dan distribusi kefarmasian serta alat kesehatan yang dilakukan secara berjenjang sesuai pedoman pembinaan, dan mendorong pemanfaatan sistem perizinan dan pelaporan secara online, akuntabel sesuai janji layanan, serta selaras dengan koridor pembagian urusan pemerintahan yang berlaku. 3. Upaya mewujudkan jaminan keamanan, mutu, dan manfaat alat kesehatan serta perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) membutuhkan pengawasan pra dan pasca pemasaran secara berjenjang dan komprehensif. Pengawasan harus dilakukan selaras dengan pembinaan industri alat kesehatan dan PKRT, terutama untuk meningkatkan kemandirian nasional di bidang alat kesehatan yang dilakukan bersama antara Pemerintah Pusat dan Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai fungsinya. 4. Dalam rangka peningkatan akses dan mutu pelayanan kefarmasian serta penggunaan obat rasional, untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal dan keselamatan pasien, perlu dilakukan peningkatan POR melalui Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Obat (GNMPO), peningkatan kapasitas SDM kefarmasian, Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dan penyusunan FORNAS melalui e-fornas dan revitalisasi pelayanan kefarmasian, dengan fokus orientasi pasien, pelayanan kesehatan berbasis tim dan komunitas. 5. Pelaksanaan dekonsentrasi Program LIPUTAN Kefarmasian dan Alat Kesehatan serta DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian merupakan bentuk sinergisitas Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Hal ini perlu dimanfaatkan secara maksimal, dipantau,dan hasil evaluasi ditindaklanjuti untuk meningkatkan akuntabilitasnya bagi pencapaian tujuan program. Penguatan dan pemantauan tersebut dilakukan oleh Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, sesuai lingkup wilayah tugasnya. 6. Pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan perlu mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam mencegah dan mewaspadai terjadinya gratifikasi. Langkah-langkah mewaspadai dan pencegahan gratifikasi telah dituangkan dalam Permenkes No. 14 tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan dan SK Menkes No. HK. 02.02 / Menkes / 306 / 2014 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Gratifikasi Rencana Tindak Lanjut 1. Meningkatkan kapasitas institusi dalam manajemen pengelolaan obat dan vaksin, terutama perencanaan kebutuhan, pemanfaatan e-catalogue, dan penerapan sistem e-logistic, oleh Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 2. Melaksanakan pembinaan sarana produksi distribusi kefarmasian dan alat kesehatan sesuai pedoman yang telah ditetapkan, termasuk sosialisasi dan pemanfaatan sistem perizinan dan pelaporan secara online alat kesehatan, serta mendorong penggunaan alat kesehatan dan bahan baku obat produksi dalam negeri. 3. Menyelenggarakan tahapan perizinan sarana produksi distribusi kefarmasian dan alat kesehatan PKRT, berdasarkan janji layanan dan prosedur operasional standar yang telah ditetapkan dan harus dipenuhi, baik oleh pusat maupun daerah. Tindak lanjut pengawasan diarahkan pada pemenuhan persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat/khasiat. 4. Melakukan inisiatif serta upaya peningkatan pelayanan kefarmasian dan penggunaan oba tradisional. Upaya – upaya tersebut adalah, namun tidak terbatas pada : perluasan metode CBIA, GNMPO, evaluasi penggunaan obat, peningkatan SDM kefarmasian, serta pemanfaatan Program Nusantara Sehat untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. 5. Pelaksana Program di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota akan terus meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan dekonsentrasi dan DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian. Setiap pelaksana tersebut akan mengupayakan pengawasan yang lebih terstruktur, terkoordinir, dan bersumber data terkini di lapangan. 6. Setiap pelaksana Program di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota akan meningkatkan komitmen pencegahan dan pengendalian gratifikasi, terutama yang terkait dalam pengadaan obat serta pemberian izin di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. RAKONAS GELOMBANG II R apat Konsultasi Nasional (Rakonas) Tahap II yang dilaksanakan di Palu pada 31 Maret – 2 April 2015 dengan tema “Pemantapan Pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam Mendukung Ketersediaan Obat dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan” bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan sinergisme antara pusat dan daerah dalam rangka peningkatan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2015 guna mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dan pencapaian MDGs. Rapat Konsultasi Nasional kali ini merupakan forum yang strategis untuk mengawali pelaksanaan pembangunan kefarmasian dan alat kesehatan di periode 2015 - 2019, atau periode RPJMN ke-III dalam pembangunan jangka panjang (2004 - 2025). Sebelumnya, telah dilaksanakan Rakerkesnas di tiga regional pada awal tahun 2015 ini. Rakerkesnas tersebut telah menghasilkan rekomendasi kepada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk melanjutkan dan meningkatkan upaya mewujudkan aksesibilitas, mutu, dan kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan, terutama dalam rangka mensukseskan program-program prioritas Kemenkes seperti Program Indonesia Sehat dan Program Nusantara Sehat. Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melakukan upaya upaya strategis dan inovatif pada periode pembangunan kesehatan 2010 - 2014 kemarin. Upaya - upaya tersebut dilaksanakan dengan terstruktur untuk Hal.17 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 LIPUTAN mengatasi tantangan dan mencapai target program yang telah diamanahkan dalam RPJMN maupun Renstra Kementerian Kesehatan. Pada periode 2010 - 2014, Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah dapat meningkatkan produksi bahan baku obat dan obat dalam negeri, mutu sarana produksi distribusi obat dan alkes, serta keamanan - mutu - manfaat alkes dan PKRT yang beredar. Hal ini ditunjukkan dengan tercapainya target jumlah BBO/OT produksi di dalam negeri sebanyak 80 jenis di tahun 2014, meningkatnya sarana distribusi alkes yang memenuhi persyaratan distribusi sampai 75% (dari semula 50%), dan bertambahnya persentase produk alkes PKRT yang beredar memenuhi persyaratan menjadi 95,86% (dari semula 70%). Seiring pelaksanaan program, terdapat tantangan - tantangan baru yang akan menjadi perhatian di periode 2015 - 2019. Produksi obat, alkes, dan PKRT masih didominasi oleh impor, sehingga mengurangi kemandirian, ketahanan nasional, serta keleluasaan pengambilan kebijakan di aspek ini. Peran industri alkes domestik hanya 15% dari seluruh produk yg ada di e-catalogue. Sejalan dengan Nawa Cita Presiden, pemerintah perlu memperbaiki hal ini untuk mendorong terwujudnya kemandirian di sektor produksi obat, alkes, dan PKRT. Selain itu, diperlukan penguatan kelembagaan pengawasan alkes dan PKRT, mengingat dinamika regulasi yang terjadi, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Instrumen pengawasan pra dan pasca pemasaran harus segera diperkuat, sehingga upaya menjamin keamanan mutu - manfaat alkes PKRT tidak terhambat. Dari sisi produksi obat, regulasi pemerintah mengenai pelayanan kefarmasian di skema JKN dapat mendorong peningkatan produksi obat generik. Prinsip cost-effective yang dianut dalam regulasi tersebut mendorong pengutamaan obat generik sebagai manfaat pelayanan yang ditanggung oleh BPJS, sehingga mendorong tumbuhnya produksi obat generik, dan pemakaiannya di pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan capaian positif program, Hal.18 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 dalam memasyarakatkan penggunaan obat generik. Tantangan berikutnya adalah, intervensi untuk meningkatan citra/penilaian masyarakat terhadap obat generik. Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan juga telah meraih kemajuan dalam manajemen logistik obat dan perbekkes. Ketersediaan obat dan vaksin telah mencapai 100% di tahun 2014 (dari semula 82% di tahun 2010). Instalasi Farmasi Kab/Kota yang memenuhi standar juga telah meningkat menjadi 87,5% (dari semula 32,8%). Hal ini menjadi pendukung bagi pelayanan kesehatan, untuk menjamin tersedianya obat, vaksin, dan perbekkes dalam jumlah dan jenis sesuai kebutuhan. Tantangan yang harus diantisipasi Program dalam periode 2015 - 2019 adalah disparitas ketersediaan obat antar region, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah belum optimalnya pemanfaatan sistem informasi terkait manajemen logistik, misal e-logistic, pemantauan e-purchasing, sampai dengan pengendalian harga obat. Ketersediaan obat dan vaksin akan dipantau sampai ke tingkat Puskesmas. Selain itu, kualitas manajemen logistik obat dan perbekkes juga menjadi perhatian, mengingat semakin banyak pihak yang menyadari arti penting pengelolaan obat satu pintu (terpadu). Dengan demikian, menjadi hal yang prioritas bagi kita untuk meningkatkan manajemen logistik obat dan perbekkes, terutama di sektor publik. Kesimpulan 1. Pemanfaatan e-katalog obat dan alat kesehatan, adalah wajib dalam menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat dan alat kesehatan. 2. Untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan vaksin sampai ke tingkat puskesmas, diperlukan penguatan manajemen pengelolaan obat dan vaksin (one gate policy) di setiap tingkat pemerintahan dan fasilitas kesehatan, melalui peningkatan kapasitas institusi. 3. Untuk mewujudkan bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan diperlukan pembinaan produksi dan distribusi kefarmasian serta alat kesehatan yang dilakukan secara berjenjang sesuai peraturan, pedoman pembinaan, akuntabel sesuai janji layanan, serta selaras dengan koridor pembagian urusan pemerintahan yang berlaku. 4. Upaya mewujudkan jaminan keamanan, mutu, dan manfaat alat kesehatan serta perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) membutuhkan pengawasan pra dan pasca pemasaran secara berjenjang dan komprehensif. Pengawasan harus dilakukan selaras dengan LIPUTAN pembinaan industri alat kesehatan dan PKRT, terutama untuk meningkatkan kemandirian nasional di bidang alat kesehatan yang dilakukan bersama antara Pemerintah Pusat dan Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai fungsinya. 5. Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional, untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal dan keselamatan pasien, perlu dilakukan pemenuhan kebutuhan SDM tenaga kefarmasian, peningkatan POR melalui Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Obat (GNMPO), peningkatan kapasitas SDM kefarmasian, Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dan peningkatan keterlibatan Daerah/Dinkes dalam penyusunan FORNAS. 6. Pelaksanaan dekonsentrasi Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan serta DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian merupakan bentuk sinergisitas Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Hal ini perlu dimanfaatkan secara maksimal, dipantau,dan hasil evaluasi ditindaklanjuti untuk meningkatkan akuntabilitasnya bagi pencapaian tujuan program. Penguatan dan pemantauan tersebut dilakukan oleh Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, sesuai lingkup wilayah tugasnya. 7. Pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan perlu mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam mencegah dan mewaspadai terjadinya gratifikasi. Langkah langkah mewaspadai dan pencegahan gratifikasi telah dituangkan dalam Permenkes No. 14 tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan dan SK Menkes No. HK.02.02/Menkes/306/2014 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Gratifikasi. 2. 3. 4. 5. 6. perencanaan kebutuhan, pemanfaatan e-catalogue, dan penerapan sistem e-logistic, oleh Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Kesamaan pemahaman antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kab/Kota tentang pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan kesehatan yang konkuren utamanya program kefarmasian dan alat kesehatan dalam rangka implementasi Undang - Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Mendorong penyempurnaan komponen harga pada e-catalogue alat kesehatan untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pengadaan alat kesehatan. Mendorong penyedia obat dalam e-catalogue agar melakukan pemerataan distributor di setiap ibukota provinsi, sehingga memperlancar proses administrasi, distribusi, dan pembayaran. Melaksanakan pembinaan sarana produksi distribusi kefarmasian dan alat kesehatan sesuai pedoman yang telah ditetapkan, termasuk sosialisasi dan pemanfaatan sistem perizinan dan pelaporan secara online, serta mendorong penggunaan alat kesehatan dan bahan baku obat produksi dalam negeri. Menyelenggarakan tahapan perizinan sarana produksi distribusi kefarmasian dan alat kesehatan PKRT, berdasarkan janji layanan dan prosedur operasional standar yang telah ditetapkan, baik oleh pusat maupun daerah. Dinkes akan lebih proaktif melakukan analisis perizinan sarana produksi distribusi kefarmasian dan alat kesehatan, terutama dalam implementasi Pasal 19 Permenkes 34/2014. 7. Melakukan inisiatif dalam upaya peningkatan pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Upaya – upaya tersebut adalah, namun tidak terbatas pada : perluasan metode CBIA, GNMPO, evaluasi penggunaan obat, peningkatan SDM kefarmasian, serta pemanfaatan Program Nusantara Sehat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. 8. Pelaksana Program di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota akan terus meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan dekonsentrasi dan DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian. Setiap pelaksana tersebut akan mengupayakan pengawasan yang lebih terstruktur, terkoordinir, dan bersumber data terkini di lapangan. 9. Setiap pelaksana Program di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota akan meningkatkan komitmen pencegahan dan pengendalian gratifikasi, terutama yang terkait dalam pengadaan obat serta pemberian izin di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Rencana Tindak Lanjut 1. Meningkatkan kapasitas institusi dalam manajemen pengelolaan obat dan vaksin, terutama Hal.19 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 LIPUTAN M Kunjungan Kerja Menteri Kesehatan ke Provinsi Kalimantan Utara enteri Kesehatan Prof.Dr.dr. Nila Djuwita F.Moeloek SpM (K) didampingi Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D melakukan kunjungan kerja ke wilayah Propinsi Kalimantan Utara, tepatnya di kabupaten Nunukan (16/4). Nunukan menjadi salah satu dari 149 Kabupaten/Kota terpilih yang akan menjadi fokus penguatan pelayanan kesehatan dasar, adapun fokus penguatan ditekankan pada Kab/Kota yang masuk kategori DTPK, prioritas MDGs, dan Kab/Kota dengan IPKM rendah. Kegiatan ini juga merupakan langkah lanjutan dari hasil Rapat Kerja Kesehatan Nasional yang telah digelar di tiga regional pada awal tahun 2015 yang mengusung tema “Pembangunan Kesehatan dari Pinggir ke Tengah”. “Target penguatan pelayanan kesehatan tingkat primer terutama ditujukan pada pembangunan baru dan peningkatan puskesmas di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan”. Tantangan dari segi pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) dan pasca 2015 adalah: menurunkan angka kematian ibu dan bayi; menurunkan angka kesakitan akibat penyakit infeksi; dan menurunkan angka kemiskinan. Sedangkan tantangan dari segi implementasi Hal.20 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 Jaminan Kesehatan Nasional meliputi: meningkatkan akses pelayanan, melakukan restrukturisasi pelayanan melalui penataan sistem rujukan, dan meningkatkan pelayanan agar lebih efisien dan efektif. Kalimantan Utara menjadi salah satu wilayah binaan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, yang mengawali pelaksanaan pembangunan kefarmasian dan alat kesehatan di periode 2015 - 2019, atau periode RPJMN ke - III dalam pembangunan jangka panjang (2004 - 2025). Kunjungan sebelumnya di era kepemimpinan Menkes Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH pada bulan Juni dan Agustus 2014. Agenda Kunjungan Menkes ke Provinsi Kalimantan Utara antara lain Peninjauan dan temu kader kesehatan di Puskesmas Karang Balik di Tarakan di damping Wakil Wailkota Tarakan, Arief Hidayat; Meninjau RSUD Nunukan sebagai RS Type C di daerah perbatasan dan pelayanan kesehatan calon TKI, dialog terbuka dengan mahasiswa yang mengikuti proses Pembelajaran Jarak Jauh melalui Unit Sumber Belajar Jarak Jauh (USBJJ) Kabupaten Nunukan, dan menggelar acara #generAKSISEHATIndonesia yang bekerja sama dengan PT. Astra Internasional antara lain peninjauan kegiatan penyuluhan dan pemeriksaan Mata, Screening Gigi, Screening THT dan Kegiatan PHBS (Sikat Gigi dan Cuci Tangan) serta penyerahan bantuan tiga unit sepeda motor untuk Puskesmas dan bantuan kacamata gratis. Dalam kunjungan tersebut, diadakan dialog antara Menteri Kesehatan dengan tenaga kesehatan FKTP milik Pemerintah sekota Tarakan. Dalam dialog tersebut, para tenaga kesehatan mengungkapkan permohonan fasilitasi untuk mendapatkan tunjangan profesi setelah lulus uji kompetensi. Untuk sektor Pelayanan Kesehatan Dasar, kota Tarakan mempunyai 7 Puskesmas yang sudah siap untuk melakukan akreditasi tahun 2015 dan sudah ada tim Pendamping Provinsi Kalimantan Utara. Untuk itu, Kementerian Kesehatan melalui APBN sedang mengupayakan anggaran untuk TOT Pelatihan Tim Pendamping Provinsi. Apabila belum tersedia Tim Pendampng Provinsi, maka akreditasi Puskesmas dilakukan oleh tim Penilai Pusat (Tim Pendamping dan Tim Surveyor). Sementara dalam dialog dengan tenaga kesehatan RSUD Nunukan, Menkes mengungkapkan bahwa Pemerintah akan melakukan penguatan pelayanan kesehatan primer diantaranya dengan pelaksanaan promotif preventif seperti PHBS dan menjaga kebersihan lingkungan. LIPUTAN “Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan masalah kesehatan golongan miskin dan tidak mampu yang tidak mempunyai KTP dengan domisili di Nunukan seharusnya tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai indikasi medis dan kepesertaannya diatur oleh Kementerian Sosial” ujar Menkes. Dalam kesempan berdialog dengan Menteri Kesehatan, Ariyani Arsyad, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bulungan mengungkapkan beberapa hal: 1). Berdasarkan analisa kebutuhan, Kabupaten Bulungan membutuhkan 4 Rumah Sakit pratama dan saat ini baru terdapat 1 rumah sakit pratama oleh karena itu membutuhkan fasilitasi dan pendampingan. 2). Pemerintah Daerah kabupaten Bulungan telah melakukan persiapan dalam pemenuhan SDM diantaranya menyekolahkan dokter untuk spesialis dasar. 3). Permohonan fasilitasi pelatihan dari kemenkes atau dinkes provinsi untuk pelatihan tenaga kesehatan (dokter dan perawat) di FKTP dalam menangani kasus kejiwaan yang terdapat dalam 155 kompetensi dasar bagi dokter di FKTP. Sedangkan Dr. John, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malinau juga mengungkapkan 3 hal, yaitu; Pertama, permohonan fasilitasi penyediaan dokter umum pada puskesmas karena masih terdapat kekurangan dokter umum di puskesmas meskipun insentif yang diberikan Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau sebesar Rp 12 juta sudah lebih besar dari Standar Tim Nusantara Sehat (Rp 7,85 juta). Kedua, permohonan fasilitasi permohonan dokter spesialis baik pada rumah sakit bergerak atau penempatan residen senior untuk rumah sakit pratama yang direncanakan beroperasi tahun 2016. Ketiga, Dinas Kesehatan dan jajaran kesehatan telah siap dalam rangka pelatihan pendamping dokter internship di Kabupaten Malinau. Lain lagi dengan Bapak Armad, Camat Sebatik Tengah. Beliau mengatakan bahwa Penduduk di Kabupaten Nunukan yang bertempat tinggal di Sebatik Tengah lebih memilih untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Malaysia dibandingan dengan di Puskesmas karena jarak tempuh yang lebih pendek dan persepsi pelayanan keseahatan yang akan didapatkan. Oleh karena itu, Bapak Armad memohon agar dilakukan fasilitasi dari Kementerian Kesehatan agar tenaga kesehatan Indonesia mempunyai peluang untuk bekerja sebagai TKI Profesional dalam rangka pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) baik dalam bentuk peningkatan kompetensi maupun akses terhadap informasi persyaratan perekrutan. Masih dalam rangka kunjungan di Provinsi Kalimantan Utara, Menteri Kesehatan juga meninjau Proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan berdialog dengan peserta didik dan tenaga pengajar di Unit Sumber Belajar Jarak jauh (USBJJ) Kabupaten Nunukan. Program PJJ bertujuan meningkatkan kualifikasi tenaga keperawatan dan kebidanan dari Jenjang Pendidikan Menengah dan Jenjang Pendidikan Tinggi Diploma 1 (JPT-D1) ke Jenjang Pendidikan Tinggi Diploma 3. Pembelajaran dilaksanakan melalui dua metode yakni belajar mandiri dan belajar terbimbing/tatap muka (praktek maupun tutorial). Pembelajaran Mandiri dilakukan melalui Learning Management System (LMS), penggunaan bahan ajar cetak dan bahan ajar non cetak. Pembelajaran tatap muka/terbimbing dilaksanakan melalui video conference, tutorial tatap muka, maupun bimbingan praktek di lahan praktek. Menurut Ibu Menteri Kesehatan, saat ini Pemerintah sedang melakukan penguatan pelayanan kesehatan. Ada 5 cara yang akan dilakukan Pemerintah dalam rangka penguatan pelayanan kesehatan. Pertama, peningkatan akses yang meliputi pemenuhan tenaga kesehatan melalui Program Nusantara Sehat. Peningkatan sarana pelayanan kesehatan primer, pemenuhan prasarana pendukung, serta inovasi pelayanan di daerah terpencil dan sangat terpencil. Kedua, peningkatan mutu layanan yang meliputi penyediaan NSPK/SOP, peningkaan kemampuan tenaga kesehatan, program dokter layanan primer, dan program akreditasi FTKP. Ketiga, regionalisasi rujukan yang meliputi sistem rujukan regional dan provinsi serta sistem rujukan nasional. Keempat, penguatan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi melalui sosialisasi, advokasi, dan capacity building. Dan yang kelima dukungan lintas sektor yang meliputi dukungan regulasi dan dukungan infrastruktur. Dalam kesempatan tersebut, Menteri Kesehatan menjelaskan Program Indonesia Sehat. Program Indonesia Sehat tersebut terdiri dari: 1). Paradigma Sehat yang meliputi: pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, promotif-prefentif sebagai pilar utama upaya kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. 2). Penguatan Pelayanan Kesehatan yang meliputi: Peningkatan akses terutama terhadap FKTP, optimalisasi sistem rujukan, peningkatan mutu, penerapan pendekatan continuum of care, dan intervensi resiko berbasis kesehatan. 3). Jaminan Kesehatan Nasional yang meliputi: manfaat/benefit program JKN, sistem pembiayaan, berdasarkan mutu dan kendali biaya. Menkes juga menjelaskan 4 Sasaran Perubahan Paradigma Sehat. Pertama, Penentu Kebijakan. Dampak yang diharapkan dari Penentu Kebijakan ialah Menjadikan kesehatan sebagai arus utama pembangunan dan meningkatkan peran lintas sektor dalam pembangunan kesehatan. Kedua, Tenaga Kesehatan. Dampak yang diharapkan ialah: promotif prefentif merupakan aspek utama dalam setiap upaya kesehatan dan meningkatnya kemampuan tenaga kesehatan dalam hal promotif prefenitf. Ketiga, Institusi Kesehatan. Dampak yang dhiarapkan dari hal tersebut ialah peningkatan mutu pelayanan kesehatan, serta agar berkompetisi lebih fair dalam hal mutu dan tarif di dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Keempat, Masyarakat. Dampak perubahan yang diharapkan meliputi terlaksananya PHBS di keluarga dan masyarakat, dan masyarakat yang aktif sebagai kader dan terlaksananya kegiatan pemberdayaan masyaakat (Posyandu, Posdekes, Posbindu, Desa Siaga, dll). Hal.21 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 LIPUTAN P engembangan obat tradisional di Indonesia telah diatur oleh Kementerian Kesehatan melalui Permenkes No. 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Kebijakan ini telah mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan, ketersediaan obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya serta menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul yang memiliki multi manfaat. Hal itu diungkapkan oleh Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D dalam sambutannya pada acara Soalisasi dan Koordinasi Dalam Rangka Fasilitasi Peralatan Pusat Pengolahan pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) pada 21 - 23 April 2015 di Cheers Residential Graha RSPP, Komplek RS Pusat Pertamina, Jakarta. Lebih lanjut Ibu Dirjen menjelaskan, pemanfaatan tanaman obat untuk kesehatan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang diturunkan dari generasi ke generasi. Saat ini, pemanfaatan tanaman obat sudah sangat berkembang seiring dengan peningkatan trend konsumsi masyarakat back to nature. Hal.22 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 Selanjutnya, adanya program pemerintah Saintifikasi Jamu juga telah meningkatkan penggunaan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal. Saintifikasi Jamu sebagaimana tercantum dalam Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010 bertujuan memberikan bukti ilmiah (evidence based) terkait mutu, keamanan dan manfaat penggunaan jamu melalui penelitian berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan. Mengenai pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT), Dr.rer.nat. Chaidir, Apt. dari Pusat Teknologi Farmasi dan Medika – BPPT mengemukakan bahwa 10 aspek penting dalam pemanfaatan tanaman obat. Pertama Inventarisasi dan dokumentasi tanaman obat beserta sistem pengetahuan tradisionalnya. Kedua, Konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Ketiga, Bioprospeksi berdasarkan pengetahuan tradisional (entnofarmakologi), bioprospeksi berdasarkan sistem evaluasi/uji aktifitas biologi in vitro, dan bioinformatik metabolomik. Keempat Domestikasi dan kultivasi tanaman obat. Kelima Pengembangan protokol teknik budidaya dan pascapanen. Keenam Pengembangan PERTEMUAN SOSIALISASI DAN KOORDINASI FASILITASI PERALATAN PUSAT PENGOLAHAN PASCA PANEN TANAMAN OBAT (P4TO) bahan baku ekstrak (produk antara). Ketujuh, Standardisasi bahan baku simplisia, produk intermediat (ekstrak) dan produk akhir. Kedelapan, Evaluasi/uji keamanan dan manfaat. Kesembilan, Pengembangan produk. Kesepuluh, Evaluasi aspek ekonomi produk berbasis tanaman obat Lebih lanjut Dr. Chaidir mengatakan, ada beberapa tantangan dalam pengembangan obat herbal. Diantara tantangan yang ada ialah Kualitas bahan baku simplisia bervariasi, Kontrol kualitas produk obat herbal sangat sulit, Ketersediaan teknologi ekstraksi untuk ketersediaan bahan baku ekstrak yang unik dan konsisten, dan Teknik evaluasi keamanan dan manfaat obat herbal perlu ditetapkan. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan memiliki Kebijakan Program pengembangan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat Untuk mendukung kemandirian bahan baku obat yang diungkapkan oleh Dra. Dettie Yuliati Apt, M.Si. Berdasarkan Permenkes No 1144 tahun 2010, tugas Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian ialah melaksanakan penyiapan, LIPUTAN perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. “Di dalam Kepmenkes No. 381/MENKES/SK/III/2007 mengenai Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KOTRANAS), ada 4 hal yang harus di perhatikan yakni; Pertama, mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan. Kedua, menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor agar memiliki daya saing. Ketiga, tersedianya obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya. Dan yang keempat menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul yang memeberikan multi manfaat” begitu yang dipaparkan oleh Ibu Dettie. Tantangan yang dihadapi dalam Industri bahan Baku Obat Tradionional Indonesia ialah; Pertama, potensi yang besar, pemanfaatan belum optimal. Kedua, rendahnya budidaya tanaman obat, terdapat tanaman yang tidak dapat dibudidayakan. Ketiga, kurangnya fasilitas pengolahan pasca panen tanaman obat yang memadai dan dapat menjamin konsistensi mutu dan standar dengan kuantitas yang cukup dan konsisten. Serta keempat, kurangnya penelitian saintifik untuk mendukung klaim khasiat Salah satu hal yang dapat membantu terwujudnya kemandirian bahan baku obat tradisional di Indonesia ialah dengan dikembangkannya Fasilitasi Peralatan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) dan Fasilitasi Peralatan Laboratorium Pada P4TO. P4TO didirikan di provinsi dan atau kab/kota. Manfaat adanya P4TO diantaranya ialah membantu petani untuk menyiapkan simplisia yang memenuhi standar dan persyaratan, membantu UMOT dan UKOT untuk mendapatkan simplisia yang memenuhi standar dan persyaratan, dan Menyiapkan bahan baku pembuatan ekstrak yang terstandar. Terkait fasilitasi peralatan P4TO, Kementerian Kesehatan telah memfasilitasi Pemda Kota Pekalongan, Pemda Provinsi Sumatera Utara, dan Pemda Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2012; Pemda Kab. Bangli, Pemda Kab. Kaur, Pemda Kab. Sukoharjo, dan Pemda Kab Tegal pada tahun 2013 serta Pemda Kab. Maros, Pemda Kab. Tulang Bawang Barat dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) pada tahun 2014. Sedangkan terkait fasilitasi peralatan PED, Kementerian Kesehatan telah memfasilitasi Pemda Kota Pekalongan pada tahun 2013 dan B2P2TOOT dan Pemda Kab. Kaur pada tahun 2014. Selanjutnya pada tahun ini Ditjen Binfar dan Alkes merencanakan akan memfasilitasi 5 (lima) P4TO bagi pemerintah daerah/ instansi yang berminat dan memiliki potensi dalam pemanfaatan tanaman obat sebagai bahan baku obat tradisional. Dalam proses pembuatan Fasilitasi Peralatan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO), ada 2 jenis persyaratan yang dibutuhkan, yakni persyaratan teknis dan persyaratan administrasi. Persyaratan Teknis meliputi: 1). Lokasi dan Bangunan yang layak. 2). Luas bangunan minimal 300 m2. 3). Kapasitas beban listrik min 25 KVA. 4). Instalasi Air yang memadai 5). Tata Ruang sesuai spesifikasi alat P4TO dan 6). Dukungan UKOT & UMOT. Sedangkan persyaratan administrasinya meliputi: 1). SK Tim Pelaksana P4TO, 2). Denah Lokasi dan Bangunan, 3). Roadmap Pengembangan BBOT dan OT, 4). Pernyataan sanggup menanggung biaya operasional, 5). Pernyataan kesiapan penyediaan SDM Pengelola, 6). Komitmen yg kuat dari Pemda. Oleh karena itu Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan akan mengupayakan melakukan pembinaan pembinaan pada P4TO yang meliputi Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi P4TO ke daerah/institusi penerima fasilitas, pelatihan produksi dan advokasi CPOTB pada P4TO, Pembinaan dan peningkatan kapasitas SDM P4TO serta Penyusunan Juknis Pelatihan dan Pengembangan P4TO Dengan adanya P4TO diharapkan Penyediaan bahan baku obat tradisional (BBOT) berupa simplisia yang memenuhi standar sebagai bahan baku obat tradisional. Kemudian penyediaan simplisia yang terstandar dan memenuhi persyaratan untuk digunakan pada program pemerintah seperti Saintifikasi Jamu atau kepentingan masyarakat. serta terwujudnya penguatan kelembagaan di daerah agar mampu membangun, menyediakan dan membentuk jejaring kerjasama dalam pengembangan obat tradisional. Hal.23 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 LIPUTAN Musyawarah Nasional J amu merupakan warisan budaya bangsa yang sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Oleh karena itu, budaya minum jamu harus terus dilestarikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pada 25 Mei 2015, bertempat di Istana Presiden, Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) menyelenggarakan Musyawarah Nasional ke VII GP Jamu. Hadir memberikan sambutan ialah Ketua GP Jamu Charles Saerang dan Presiden RI Joko Widodo. Dalam sambutannya, Charles Saerang mengatakan Jamu merupakan aset nasional yang berpotensi besar, namun saat ini semakin ditinggalkan. Untuk itu, jamu sebagai peninggalan leluhur harus dilestarikan dan dipromosikan. Diperkirakan industri jamu nasional tahun 2015 akan mendapatkan omzet hingga Rp15 triliun. “Ada beberapa persoalan yang menjadi kendala pelaku industri mulai dari tingginya harga bahan baku, Hal.24 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional kebijakan ekspor negara tujuan sampai dengan serbuan citra produk jamu. Kami mengharapkan pemerintah melindungi kesetiaan serta meningkatkan nilai tambah melalui kebutuhan tata niaga mendukung paket intelijen serta promosi produk orisinil melalui atase-atase perdagangan luar negeri” kata Charles. Sementara Presiden Jokowi menjelaskan bahwa pemerintah juga memiliki tugas untuk melakukan pembinaan, pengawasan serta proteksi untuk memperbaiki industri jamu. Untuk memajukan industri jamu Tanah Air, diharapkan pemerintah bisa mendapatkan informasi segala rintangan yang menahan berkembangnya industri jamu, dengan mengkoordinasikan sejumlah kementeriam yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pariwisata. “Jamu merupakan warisan budaya kita. Saya kira kita harus secara serius mengembangkan jamu ini sebagai produk yang memberikan citra bahwa jamu adalah Indonesia dan Indonesia adalah jamu” ujar Presiden Jokowi. Presiden menambahkan Selama ini penjualan jamu ke luar negeri masih terhambat. Penyebabnya karena ketatnya sistem proteksi untuk produk makanan dan minuman. Namun jika produk ekspor jamu berupa aroma terapi masih bisa lebih mudah masuk ke pasar luar negeri. Selain itu, ke depannya menurut Presiden, pemerintah harus menciptakan sebuah iklim usaha yang baik dan kondusif bagi industri jamu dan obat tradisional. Demikian pula dengan regulasi-regulasi yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan industri jamu dan obat tradisional yang harus mendukung pada pengembangan sektor usaha tersebut. ARTIKEL Produksi Bahan Baku Parasetamol Dalam Negeri – Suatu Tinjauan Oleh: Muhammad Zulfikar Biruni, Apt. Kemandirian /ke•man•di•ri•an/ (n) hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Secara farmakoterapi, parasetamol merupakan obat analgesik antipiretik yang umum digunakan dalam penanganan demam, nyeri sendi dan otot, meredakan gejala flu, dan mengobati sakit kepala. Efek analgesik parasetamol melingkupi pengaruh sistem nyeri tepi dan pusat. Parasetamol merupakan analgesik antipiretik sentral yang baik namun memiliki efek antiinflamasi perifer yang rendah. Secara umum parasetamol tersedia dalam bentuk sediaan padat (tablet), cair (sirup), semisolid (supositoria), dan injeksi. Parasetamol terkategori “B” pada indeks keamanan kehamilan1 sehingga dapat digunakan oleh wanita hamil atau ibu menyusui tanpa efek samping signifikan pada ibu atau bayi. Efek hepatotoksik ditemukan pada beberapa kasus dengan penggunaan dosis melebihi 4 gram per hari 2 . Pasar Analgesik Dunia dan Indonesia Obat - obatan analgesik termasuk parasetamol merupakan obat yang sangat tinggi pangsa pasarnya di dunia. Pasar obat analgesik dunia bergerak dari US$ 5.5 milyar pada 20023 dan diperkirakan mencapai 4 US$ 34.6 milyar pada 2015 . Berdasarkan beberapa analisis, faktor utama yang menyebabkan tingginya kebutuhan ini ialah perubahan demografi, peningkatan jumlah prosedur bedah, peningkatan jumlah pasien kanker dan HIV/AIDS, serta peningkatan efektifitas pengobatan nyeri pada penyakit kronis seperti osteoarthritis, low back pain, dan nyeri neuropatik 5 . Pada tahun 2013, pasar obat analgesik di Indonesia mencapai 2.4 trilyun rupiah dengan pertumbuhan 8.4% 6 . Perusahaan farmasi Tempo Scan Pacific menguasai posisi pertama pasar analgesik dengan penguasaan 22% pangsa pasar, disusul Sterling/GlaxoSmithKline dan Kalbe Farma 7 . Melihat dari kebutuhan obat dan pangsa pasar tersebut diatas, dalam beberapa waktu ke depan bahan baku obat analgesik masih berpotensi tinggi untuk diproduksi di dalam negeri. Asumsi Nilai Pasar Parasetamol dan Ketergantungan Bahan Baku Impor Bercermin pada beberapa global report, rata - rata market share obat analgesik terbagi atas parasetamol 46%, aspirin 24%, ibuprofen 22%, dan analgesik lain 8%. Tingginya persentase parasetamol dimungkinkan karena parasetamol sering dibuat dalam komposisi campuran beberapa zat aktif dan diformulasikan dalam berbagai jenis sediaan. Dengan asumsi kebutuhan bahan baku parasetamol untuk industri farmasi di Indonesia sekitar 6,505 Ton/tahun atau setara US$ 24,990,532 atau setara 312.38 milyar rupiah (kurs 1 US$ ~ Rp 12,500) di tahun 20148. Bila impor seluruh bahan baku farmasi mencapai 21 trilyun rupiah pada 20148 (setara 96% bahan baku obat yang diimpor 10 ), maka dengan produksi parasetamol dalam negeri maka bahan baku yang diimpor akan berkurang 1.48% dihitung sebagai value rupiah, sehingga bahan baku obat yang diimpor berkurang menjadi 94.51%. Asumsi nilai persentase tersebut memang terlihat belum signifikan, namun persentase tersebut didapat hanya dari satu bahan baku obat saja yang diproduksi di dalam negeri yaitu parasetamol. Bisa dibayangkan bilamana bahan baku obat lain sudah dapat diproduksi dalam negeri mengingat selain pasar dalam negeri sangat besar, peluang ekspor masih terbuka lebar. Hambatan Produksi Dalam Negeri dan Alternatif Solusi Bila diuraikan akan banyak sekali hambatan dalam produksi bahan baku obat dalam negeri, dan walaupun dihitung melalui feasibility study, kemungkinan investasi produksi bahan baku obat dalam negeri tidak akan layak dilaksanakan. Namun, bila kita berpegangan pada prinsip bahwa kemandirian obat dan bahan baku obat merupakan salah Hal.25 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 ARTIKEL satu bentuk ketahanan nasional, maka produksi bahan baku obat dalam negeri akan menjadi suatu keniscayaan. Berikut beberapa hambatan produksi bahan baku obat dalam negeri dan usulan alternatif solusinya: 1. Skala produksi tidak ekonomis karena pangsa pasar dalam negeri yang kecil bila dibandingkan pangsa pasar dunia11 . Alternatif solusinya ialah dibuat feasibility study (FS) untuk melihat nilai keekonomisan dengan menerapkan beberapa skenario yaitu (1) bila bahan baku dijual hanya dalam negeri tanpa subsidi; (2) bila bahan baku dijual hanya dalam negeri dengan subsidi; (3) bila bahan baku dijual dalam negeri dan untuk ekspor. Asumsi FS dapat dibuat bilamana (A) seluruh industri farmasi dalam negeri menggunakan bahan baku; (B) hanya industri farmasi BUMN yang menggunakan; (C) industri farmasi BUMN menggunakan hanya untuk obat pengadaan pemerintah; atau (D) konsorsium industri farmasi. Sebagai perbandingan, India telah membuat FS parasetamol ini pada 2002. 2. Belum ada bahan kimia dasar yang diproduksi dalam negeri. Alternatif solusinya ialah revitalisasi infrastruktur produksi basic chemical seperti kilang minyak yang memproduksi fraksi BTX (benzene, toluene, xylene), industri petrokimia, dan industri kimia dasar. Alternatif solusi ini harus didukung aliansi ABG yang sangat kuat tanpa konflik kepentingan, dengan tujuan dan koridor yang jelas, dan checkpoint yang terukur. 3. Produsen parasetamol dalam negeri belum memenuhi cGMP untuk active pharmaceutical ingredient (API). Alternatif solusinya ialah Kemkes, Kemenperin, dan Badan POM bersinergi untuk pemenuhan infrastruktur dan sistem cGMP-API produsen tersebut. Hambatan Hal.26 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 bahwa produsen ialah industri swasta dapat diselesaikan melalui sistem buyback oleh KemenBUMN. Perlu disusun skenario tersendiri untuk alternatif solusi ini karena sangat terkait skema pendanaan, pajak, teknologi, perizinan, kebijakan waiver di Badan POM, dan regulasi lainnya. 4. Kurangnya promosi peluang investasi bidang produksi bahan baku di Indonesia 9 . Alternatif solusinya dibentuk suatu badan/instansi/lembaga/unit kerja/konsil tersendiri yang mempunyai tupoksi untuk promosi produksi bahan baku di Indonesia. Mari belajar dari India yang telah membentuk Phamaceutical Export Promotion Council of India (Pharmexcil) pada Mei 2004 dimana salah satu tupoksi Pharmexcil ini ialah melaksanakan kegiatan promosi perdagangan eksternal (ekspor) dengan mengorganisir delegasi perdagangan luar negeri, mengatur pertemuan buyer-seller, seminar internasional, dan lainnya12 . Terkait produksi bahan baku obat dalam negeri sebagai suatu tujuan, mari kita lihat beberapa kata mutiara berikut: “Nilai sesungguhnya dari seorang manusia ditentukan oleh tujuan yang dikejarnya (Marcus Aurelius)”. Bila Indonesia ingin benar-benar menjadi bangsa yang besar, maka harus mengejar tujuan yang besar. “Seorang menusia tanpa tujuan besar yang pasti, tak berdaya ibarat sebuah kapal tanpa kemudi (Napoleon Hill)”. Produksi bahan baku dalam negeri merupakan tujuan yang besar karena akan menumbuhkan kemandirian obat dalam negeri sebagai bentuk ketahanan nasional. “Setiap kehidupan akan menjadi luar biasa jika individunya menentukan suatu tujuan atau beberapa tujuan yang benar-benar diyakini, dimana mereka dapat memberikan komitmen penuh, dimana mereka dapat memberikan seluruh hati dan jiwa mereka (Brian tracy)”. Oleh karena itu, motivasi harus didukung keyakinan. Harus yakin bisa memproduksi bahan baku obat dalam negeri, maka akan tumbuh komitmen penuh pada upaya yang dilakukan. Referensi 1. www.mims.com. Indeks Keamanan Penggunaan Obat dalam Kehamilan. 2. Acetaminophen: Background and Overview. FDA Evaluation and Research 2009. 3. Broad Outline of Manufacturing Process of Acetaminophen. Central Drug Research Institute, Lucknow, Uttar Pradesh, India. 2002. 4. Global Analgesics Market to Reach US$34.6 Billion by 2015, According to a New Report by Global Industry Analysts, Inc. (published 2010) 5. Decision Resources Inc, Novel Approaches to Pain Therapy August 2008. 6. Indonesia Pharma Executive Review 3Q2013. 7. Euromonitor International (2013). Analgesics In Indonesia (Country Report Review). 8. Data Biro Pusat Statistik Indonesia: Impor Parasetamol berdasarkan HS Code (HS Code 2924299010). www.bps.go.id 9. http://www.kemendag.go.id/id/economicprofile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral 10. Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat. Permenkes Nomor 87 Tahun 2013. 11. Ini Alasan 90% Bahan Baku Obat Indonesia Masih Impor. http://health.detik.com 12. Pharmaceutical Export Promotion Council of India (Pharmexcil). http://en.wikipedia.org ARTIKEL Peran Farmakoekonomi dalam Pelayanan Kesehatan Oleh : Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt, MKM T erbatasnya anggaran kesehatan menyebabkan dibutuhkannya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan yang digunakan, terutama obat. Alokasi sumberdaya yang tersedia harus dimanfaatkan seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif. Penggunaan obat yang sebanding antara efektifitas dengan biaya yang dikeluarkan merupakan salah satu prinsip penggunaan obat secara rasional. Terkait hal tersebut, WHO telah mendorong dilakukannya evaluasi ekonomi terhadap teknologi kesehatan terutama obat, dalam mendukung responsible use of medicines. Evaluasi ekonomi dalam kajian obat akan sangat dibutuhkan dan bermanfaat bila disampaikan bersama dengan 3 jenis evaluasi, masing-masing memiliki pertanyaan: 1. Can it work? Apakah prosedur, pelayanan atau program kesehatan memberikan lebih memberikan manfaat dibandingkan dengan bahayanya bagi masyarakat (do more good than harm). Evaluasi jenis ini ingin membuktikan Efficacy; 2. Does it work in reality? Apakah prosedur, pelayanan atau program kesehatan do more good than harm kepada masyarakat yang ditawari pelayanan/ prosedur tsb? Evaluasi yang mempertimbangkan efficacy serta penerimaan (acceptance) oleh masyarakat tersebut, merupakan evaluasi efektifitas atau manfaat obat . Evaluasi ini menjawab aspek Effectiveness; 3. Apakah mencapai sasaran mereka yang membutuhkan dan accessible? Evaluasi jenis ini memperhatikan aspek ketersediaan (availability). Pertanyaan dalam evaluasi ekonomi untuk obat dan alat kesehatan kemudian menjawab pertanyaan “Is it worth doing it, compared to other things we could do with the same money?“ Pertanyaan ini berkaitan dengan Cost-effectiveness = Efficiency. Artinya, tidak cukup dengan hanya mempertimbangkan efficacy, safety, quality. Bahkan efektifitas saja tanpa membandingkan dengan sumberdaya yang dikorbankan juga dianggap belum cukup. Kemudian farmakoekonomi melengkapi kebutuhan akan jawaban apakah “worth it” (sepadan pengorbanan dengan hasil) melalui kajian Cost-Effectiveness Analysis. Farmakoekonomi didefinisikan sebagai ilmu yang menggambarkan perbandingan antara biaya (cost) dari suatu obat dengan luaran (outcome) yang dihasilkan. Farmakoekonomi juga dapat digambarkan sebagai bidang studi yang melakukan evaluasi perilaku atau kesejahteraan individu, perusahaan dan pasar, yang relevan dengan penggunaan produk farmasi, pelayanan, dan program. Fokusnya terutama pada biaya (input) dan konsekuensi (outcome) dari penggunaannya. Farmakoekonomi juga terkait dengan aspek klinis, ekonomi, dan kemanusiaan pada intervensi pelayanan kesehatan, sering digambarkan sebagai model ECHO, dalam pencegahan, diagnosa, pengobatan dan manajemen penyakit. Metode dalam analisis farmakoekonomi adalah cost-minimization, cost-effectiveness, cost-utility, cost-benefit, cost of illness, cost-consequence dan teknik analisis ekonomi lainnya yang memberikan informasi berharga kepada para pengambil keputusan pelayanan kesehatan untuk alokasi sumber daya yang terbatas. Cost Minimization Analysis (CMA) digunakan ketika efek dari dua atau lebih intervensi (atau obat) yang dibandingkan adalah sama atau hampir sama (completely/ or almost identical), dengan demikian yang dipilih adalah opsi dengan biaya terendah (the least cost option). Sebagai contoh yaitu Hal.27 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 ARTIKEL digunakannya obat generik, yang dianggap memiliki efektifitas yang setara, namun biaya lebih rendah daripada obat bermerk. Untuk membandingkan biaya dan outcome dari dua atau lebih intervensi yang memiliki tujuan pengobatan yang sama, namun efektifitas (hasil akhir pengobatan) dan biaya yang berbeda, dilakukan Cost-effectiveness analysis (CEA). Suatu opsi yang biayanya lebih tinggi mungkin saja dipilih jika hasil pencapaian tujuan pengobatan juga tinggi, sehingga biaya per satuan outcomenya lebih rendah atau disebut cost-effective. Dalam kondisi ini, bila outcome yang dianalisis adalah dari perspektif konsumen (utility) maka dikenal sebagai Cost Utility Analysis (CUA). Dalam evaluasi ekonomi tersebut, biaya yang dihitung bisa dari sisi penyedia layanan (provider), dari sisi konsumen (pasien) atau keduanya. Atau bisa juga dari sisi pemerintah atau publik (societal). Hal ini disebut dengan perspektif dari biaya, yang akan mempengaruhi perhitungan dalam analisis. Ilmu farmakoekonomi telah berkembang dengan pesat di berbagai negara termasuk di Asia-Pasifik. Data farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, seperti Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan, terutama sebagai bukti pendukung dalam pengambilan keputusan obat apa saja yang akan digunakan dalam jaminan, dimasukkan dalam formularium/daftar obat esensial atau untuk persetujuan obat baru. Sedangkan di Indonesia, ilmu ini masih baru berkembang, sehingga penerapannya belum banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan penggunaan obat. Kajian farmakoekonomi di tingkat lokal Indonesia saat ini mulai sangat dibutuhkan untuk menyediakan data pendukung dalam proses seleksi obat Formularium. Dalam pemilihan obat, faktor efikasi dan keamanan (safety dan efficacy) Hal.28 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 merupakan salah satu pertimbangan yang utama, namun pertimbangan ekonomi menjadi sangat penting dalam hal keterbatasan anggaran. Diterapkannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia sejak tahun 2014, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat, menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Untuk itu Kementerian Kesehatan telah menetapkan Formularium Nasional sebagai acuan penggunaan obat, yang mempertimbangkan semua aspek tersebut (safety, efficacy, economy), dengan berbasis bukti (evidence based medicines) dalam proses seleksi obat. Dengan demikian, Farmakoekonomi menjadi sangat penting dalam upaya pengendalian mutu dan biaya obat, terutama dalam sistem jaminan kesehatan, serta dalam proses pemilihan dan penggunaan obat di fasilitas kesehatan. Aspek ekonomi khususnya jaminan cost-effectiveness menjadi bagian dari proses jaminan (reimbursement) suatu teknologi kesehatan. Hal ini telah dilakukan di berbagai Negara yang telah menerapkan Health Technology Assesment (HTA) dalam proses pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan. Oleh karena itu, data analisis Farmakoekonomi merupakan bagian penting dalam proses HTA di berbagai negara. Data ini merupakan informasi yang sangat berguna untuk menentukan teknologi kesehatan terutama obat yang mana yang akan diberikan, atau masuk ke dalam paket manfaat (Formularium) dalam sistem jaminan kesehatan. Dengan demikian, dalam era pelayanan kesehatan berbasis jaminan sosial, saat ini Indonesia membutuhkan banyak hasil analisis farmakoekonomi dengan data lokal. Mengingat terbatasnya studi atau analisis bidang ini di Indonesia, akan menyebabkan pengambilan keputusan didasarkan pada hasil analisis dari Negara lain. Hal ini tidak selamanya dapat dilakukan, terutama jika hasil studi dari luar negeri tersebut tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan banyak studi farmakoekomi dan HTA untuk memenuhi kebutuhan data dalam negeri, yang sesuai dengan populasi dan pembiayaan di Indonesia. Sebagai tahap awal dalam penerapan farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah menerbitkan buku Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi pada tahun 2013. Pedoman ini merupakan acuan mendasar yang dapat dimanfaatkan dalam melakukan kajian farmakoekonomi. Diharapkan pedoman ini dapat menjadi referensi tentang penerapan farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan dan penggunaan obat atau menjadi literatur yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu farmakoekonomi di Indonesia. Sedangkan referensi yang lebih lengkap sudah tersedia banyak pedoman dari International Society for Pharmacoeconomic and Outcome Research (ISPOR) yang dapat diunduh melalui website : www.ispor.org. ISPOR merupakan organisasi internasional yang menaungi para peneliti, pengambil kebijakan, akademisi, mahasiswa, praktisi kesehatan, juga sektor industri yang mendalami ilmu farmakoekonomi dan riset outcome lainnya. (egn) Sumber : 1. Bootman J.L, et al, 2005, Principles of Pharmacoeconomics, 3rd ed, Harvey Whitney Books Company : USA 2. Drummond, M.F., M.J. Sculpher, G.W. Torrance, B.J. O’Brien, and G.L. Stoddard, 2005. Methods for the Economic Evaluation of Health Care Programmes, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford. 3. FKM UI, 2012. Laporan Akhir Kajian Telaah Kepustakaan dan Studi Kualitatif mengenai HTA, Kemenkes RI, Jakarta. 4. Kementerian Kesehatan RI, 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, Kemenkes RI, Jakarta. ARTIKEL Rukuk, Sujud, dan Menghapal Quran sebagai Profilaksis Alzheimer dan Demensia – Suatu Hipotesis Oleh: Muhammad Zulfikar Biruni, Apt. patofisiologi, Alzheimer berkorelasi dengan menyusutnya secara drastis lokus linguistik, lokus memori, ventricle, sulcus, dan gyrus pada otak4. hipotesis /hi·po·te·sis/ /hipotésis/ n sesuatu yg dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat (teori, proposisi, dsb) meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan; anggapan dasar; Penyakit Alzheimer, menyumbang 60% sampai 70% kasus demensia. Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif kronis yang biasanya dimulai perlahan namun semakin memburuk dari waktu ke waktu. Gejala awal yang paling umum adalah kesulitan dalam mengingat peristiwa yang baru terjadi (kehilangan memori jangka pendek). Bila penyakit berlanjut, gejala dapat mencakup kesulitan linguistik, disorientasi ruang, mood swings, kehilangan motivasi, acuh terhadap perawatan diri, dan masalah perilaku. Penyebab penyakit masih kurang dipahami, namun sekitar 70% resiko diturunkan secara genetik dengan keterlibatan banyak gen dan hereditas. Faktor resiko lain melingkupi riwayat cedera kepala, depresi, dan hipertensi1. Pada 2008, Alzheimer merupakan penyebab kematian nomor 6 di Amerika Serikat2. Pada 2010 jumlah pasien Alzheimer ialah 1 juta jiwa di Indonesia, 4.7 juta jiwa di Amerika Serikat dan 44 juta jiwa di seluruh dunia3. Jumlah ini diperkirakan akan berlipat empat pada 2025. Secara Dampak Ekonomi Penyakit Alzheimer Pada tahun 2010, diperkirakan biaya kesehatan akibat penyakit Alzheimer di seluruh dunia mencapai US$ 600 milyar. Angka tersebut termasuk biaya perawatan informal yang biayanya dibebankan kepada keluarga, biaya langsung perawatan sosial yang disediakan community care profesional dan biaya perawatan in-home, serta biaya langsung pengobatan (biaya pengobatan terkait demensia dan kondisi perawatan primer dan sekunder lainnya). Sebagai perbandingan, bilamana Alzheimer merupakan sebuah negara, Alzheimer akan menjadi negara dengan ekonomi ke-10 terbesar di dunia (India adalah negara ekonomi ke-10 terbesar dunia dan Indonesia adalah negara ekonomi ke-16 berdasarkan World Bank Report tahun 2012)5. Patofisiologi Alzheimer Bila dirunut dari patofisiologisnya, Alzheimer merupakan penyakit polyetiology diantaranya: 1. Akumulasi intraneuronal pasangan filamen heliks (paired helical filaments, PHF), pembentukan neurofibrillary tangle (kekusutan neurofibril), benang neuropil threads dan distrofi neurit di sekitar plak beta-amyloid7. Plak beta-amyloid merupakan protein fibril yang terbentuk dari monomer Abeta (metabolit sel neuron). Intraneuronal PHF sendiri terdiri atas microtubule-associated protein tau. Pada otak Alzheimer, PHF menjadi abnormal karena mengalami hiperfosforilasi dan glikosilasi yang tahap akhirnya ialah disfungsi neural, inflamasi, dan kematian sel otak7. 2. Penelitian Alzheimer terkini telah membawa 3 ilmuwan mendapatkan Nobel Prize bidang kedokteran pada 2014. Ilmuwan Inggris John O’Keefe dan pasangan suami-istri Norwegia Edvard Moser dan May-Britt Moser menemukan bahwa terdapat suatu sel yang menyusun sistem arah dalam otak. Sel-sel ini disebut grid-cells, dan sel-sel ini kemudian terintegrasi menjadi “inner-GPS” otak. Grid-cells yang terletak di hippocampus dan ethorhinal cortex pada otak ini membentuk suatu sistem koordinat navigasi spasial yang menentukan reaksi otak terhadap arah dan batasan ruang9. Pada stadium awal Alzheimer, ethorhinal cortex yang merupakan lokasi grid-cells ini mulai mengalami kerusakan10. 3. Selain itu, penelitian di Stanford University di California pada 2014 menemukan bahwa pada otak Alzheimer terdapat suatu sel dalam otak yang disebut microglia yang berfungsi dalam sistem pertahanan (self-defence) sel, berhenti bekerja. Microglia ini pada dasarnya berfungsi untuk membersihkan otak dari bakteri, virus, dan substansi deposit berbahaya. Pada otak manusia lansia, suatu protein yang disebut EP2 menyebabkan microglia bekerja dengan tidak efektif, sehingga pembersihan deposit plak beta-amyloid tidak efisien11. Hal.29 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 ARTIKEL Pengobatan Alzheimer Sampai hari ini pun tidak ada pengobatan Alzheimer. Terapi Alzheimer berfokus hanya pada manajemen pasien baik menggunakan obat-obatan simptomatik maupun perawatan oleh caregiver. Di Amerika, FDA menyetujui beberapa terapi obat yang digunakan untuk pengobatan demensia dan gejala terkait seperti donepezil, galantamine, rivastigmine, dan memantine diberikan pada pasien dalam pengawasan dokter walaupun sampai ini tidak ada laporan keberhasilan obat-obatan tersebut untuk mencegah atau mengurangi kecepatan progres Alzheimer. Obat-obatan inhibitor asetilkolinesterase memberikan manfaat pada pasien sebatas meningkatkan kadar neurotrasmitter asetilkolin di otak6. Berdasarkan beberapa pustaka, saat ini fokus riset pengobatan Alzheimer ialah pada penghambatan Abeta dan pembentukan plak beta-amyloid serta regenerasi sel di lokus yang rusak. Riset stemsel untuk pengobatan Alzheimer untuk mengatasi patofisiologi tersebut mulai memberikan harapan yang baik. Penggunaan masenchymal stem cell (MSC) intravena dan neural stem cell (NSC) intravena dan intracerebral memberikan hasil yang baik pada hewan uji (pengurangan plak beta-amyloid dan neuroinflammation) dan mulai digunakan pada uji klinik terapi Alzheimer. Hasil penggunaan terapi stemsel ini pun didapat berkat teknologi imaging otak terkini yaitu teknologi Extended focus Fourier domain optical coherence microscopy (xfOCM)8. Rukuk dan Sujud Sebagai Profilaksis Alzheimer Rukuk dan sujud ialah salah satu gerakan yang sangat ditekankan dalam shalat. Perintah rukuk dan sujud banyak terdapat dalam Quran maupun hadits Rasulullah Saw. Dalam banyak hadits shahih disebutkan perintah untuk melaksanakan rukuk dan sujud Hal.30 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015 dengan sempurna dan tumaninah (tenang). Penulis percaya bahwa suatu perintah yang disebutkan secara spesifik dalam Quran dan Hadits shahih, pasti berimplikasi besar terhadap kehidupan manusia. Hipotesis bahwa rukuk dapat berperan dalam profilaksis Alzheimer mengacu pada: 1. Beberapa referensi menyatakan bahwa rukuk yang dilakukan dengan sempurna akan menjaga kesempurnaan posisi dan fungsi tulang belakang (corpus vertebratae) sebagai penyangga tubuh dan pusat saraf cerebrospinal. Beberapa penelitian menemukan bahwa rukuk sempurna ketika shalat memposisikan anatomi tulang rusuk akan tegak terhadap tulang belakang sehingga dapat melenturkan saraf dan aliran darah ke otak. Posisi rukuk sempurna akan membuat tekanan darah ke otak sedikit lebih tinggi sehingga memaksa aliran darah ke otak sedikit lebih cepat dengan membawa suplai oksigen lebih banyak. 2. Gabungan gerakan dan bacaan rukuk ada kemungkinan dapat bersinergis mempercepat impuls di sinaps-sinaps neuron karena otak distimulasi. Ada kemungkinan aliran darah di otak yang juga mengikuti prinsip fluida dinamis mengalami pola aliran turbulensi dan membentuk flow friction sehingga memaksa substansi berbahaya (seperti plak beta-amyloid) pada kapiler otak dan sekitarnya dikeluarkan melalui siklus darah. Posisi rukuk memungkinkan kapiler darah di otak dipersiapkan untuk menerima tekanan lebih tinggi pada saat posisi sujud. Selanjutnya, hipotesis bahwa sujud dapat berperan dalam profilaksis Alzheimer mengacu pada: 1. Posisi kepala yang lebih rendah dan retensi pembuluh darah balik menyebabkan tekanan darah lebih banyak dialirkan kembali ke jantung dan dipompa ke kepala dengan membawa lebih banyak oksigen dan pembentukan flow friction untuk membawa substansi berbahaya dari otak untuk dieliminasi dari tubuh. 2. Sifat alami manusia sebagai bioelectric sangat terpengaruh keseimbangan ion negatif (ion baik) dan ion positif (ion jahat). Sama seperti mekanisme pembentukan petir pada awan yang menyambar ke arah bumi, pada saat sujud ion positif pada tubuh akan disalurkan ke tanah melalui tujuh titik tubuh yaitu wajah, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua jari-jari kaki dengan diakselerasi medan magnet bumi yang mengarah ke kiblat. Surplus ion negatif dalam otak akan memberikan kondisi negative electrostatic charge sehingga menurunkan radikal bebas dan tentunya mengurangi inflamasi sebagai salah satu penyebab Alzheimer. Ada kemungkinan ketika tubuh surplus ion negatif ini, sistem imun tubuh juga meningkat. Surplus ion negatif ini ditandai dengan perasaan hati yang lebih rileks ketika sujud karena terjadi normalisasi serotonin yang secara mekanisme terjadi akibat percepatan oksidasi serotonin oksidase12. 3. Saat sujud, ketika kepala manusia mengarah ke kiblat sebagai pusat magnet bumi, dimungkinkan terjadinya resonansi gelombang otak (brain wave) dengan medan magnet bumi mirip prinsip nuclear magnetic resonance (NMR) sehingga terjadi re-alignment (re-kalibrasi) dan re-synchronization atas place-cells dan grid-cells (sebagai inner-GPS system). Bukankah GPS yang kita gunakan sehari-hari pun harus di re-triangulate untuk re-kalibrasi nya? Ada kemungkinan place-cells dan grid-cells di otak pun seperti itu. ARTIKEL Menghapal Quran Sebagai Profilaksis Alzheimer Dalam perspektif psikologikognitif, sistem memori jangka pendek (short term memory) salah satunya terdapat sistem memori kerja (working memory). Working memory adalah sistem memori yang menyimpan dan memproses informasi baru atau informasi yang baru disimpan sebagai suatu proses penting bagi kemampuan penalaran, pemahaman, pembelajaran, dan pembaharuan memori manusia. Beberapa penelitian membuktikan bahwa working memory system sangat mempengaruhi kemampuan kognitif manusia. Berdasarkan penelitian Fransen (2005)13, entorhinal cortex dan hippocampus sangat mempengaruhi pemrosesan working memory. Selanjutnya, suatu aktivitas stimulasi yang berkelanjutan (misal proses menghapal) di entorhinal cortex menjadi sangat penting dalam proses encoding representasi ingatan jangka panjang (long term memory) melalui modifikasi sinapsis dalam formasi hippocampal dan neocortex. Dilihat dari perspektif klinis, menghapal Quran sebagai profilaksis Alzheimer dimungkinkan karena sistem hippocampal-entorhinal sebagai pemroses working memory terus distimulasi sehingga meningkatkan synaptic connection strength sel-sel neuron setempat. Proses menghapal Quran juga kemungkinan membentuk neuronal algorithm atau neuronal firing pattern spesifik yang mengakibatkan sistem hippocampal-entorhinal sebagai pusat navigasi dan memori terus terstimulasi dan terpelihara. Selain itu, proses menghapal dimana terjadi stimulan visual dan auditori menyebabkan tubuh terpapar bacaan Al Quran yang penuh hikmah dan kebaikan. Buku Masaru Emoto berjudul Message from Water membuktikan bahwa partikel air yang diberikan doa akan memiliki bentuk kristal yang indah. Penulis yakin tubuh manusia terutama otak yang terdiri 74.5% atas air juga akan terpengaruh positif dan terpelihara dengan senantiasa didengarkan bacaan Al Quran. Dengan ini, kemampuan self-defence otak melalui microglia akan meningkat sehingga proteksi hippocampal-entorhinal cortex menjadi kuat. menghapal Quran yang sesuain dengan tuntunan Rasulullah Saw inshaAllah adalah solusi holistik dan komprehensif untuk kehidupan seluruh manusia. Siap untuk mengamalkan? Penutup Alzheimer adalah penyakit terminal karena berakhir di kematian. Manusia akan menjadi tua dan tidak ada yang tahu siapa yang akan mendapat penyakit Alzheimer ini. Selain itu, bagi seorang muslim yang mengucap kalimat Syahadat pada saat akhir hayat akan Allah Swt hadiahi surga yang luasnya 10 kali dunia. Namun, Alzheimer dan demensia bisa jadi penghambat proses khusnul khatimah ini. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa profilaksis (pencegahan) Alzheimer sangatlah penting untuk dilakukan. Shalat yang termasuk didalamnya rukuk dan sujud ialah ibadah yang luar biasa dan saking luar biasanya, bahkan Allah Swt memerintahkan langsung kepada Rasulullah Saw perihal shalat ini. Shalat diperintahkan sepenuhnya untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Shalat serta membaca dan Referensi: 1. Alzheimer's disease. http://en.wikipe dia.org/wiki/Alzheimer%27s_disease 2. International Classification of Diseases. CDC/NCHS, National Vital Statistic System, Mortality. USA. 2008. (Publisher by Stemica International) 3. WHO Report 2013. Priority Medicines for Europe and the World “A Public Health Approach to Innovation”. Background Paper 6.11 – Alzheimer Disease and Other Dementia. 4. 2014 Alzheimer’s Disease Facts and Figures. (Publisher by Stemica International) 5. World Bank Report. World DataBank – World Development Indicators y.2012. http://data bank.worldbank.org/data/views/reports/ 6. Dr. Ananya Mandal, MD. Alzheimer’s Disease Treatment. 2014. www.news-medical.net 7. Iqbal K, Alonso AC, Gong CX, Khatoon S, Pei JJ, Wang JZ, Grundke-Iqbal I., Mechanisms of neurofibrillary degeneration and the formation of neurofibrillary tangles.1998. http://www.nc bi.nlm.nih.gov/pubmed/9700655 8. Bolmont, Bouwens et al, J Neurosci, 2012 9. http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/medi cine/laureates/2014/press.html 10. http://cen.acs.org/articles/92/web/2014/10/ John-OKeefeBritt-Moser-Edvard-Moser.html 11. www.telegraph.co.uk 12. Positive Ions versus Negative Ions. EMR Labs, LCC. 2011 13. Erik Fransen. Functional role of entorhinal cortex in working memory processing. Elsevier – Neural Network Journal 18 (2005). Hal.31 l Buletin INFARKES Edisi II - Maret 2015
Similar documents
Untitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Generik, sehingga terjadi perbedaan harga untuk produk dengan zat berkhasiat sejenis. Dalam hal pengawasan harga obat generik bermerk di pasaran Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Ma...
More informationUntitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kesehatan dan lainnya dengan kerja sama yang baik, agar penyuluhan dan informasi setiap program kesehatan dapat terlaksanan dan mencapai sasaran seperti yang diharapkan.
More informationsosialisasi peraturan alat kesehatan
barang/jasa dengan mengacu katalog elektronik, yang d i s e l e n g ga ra ka n o l e h L K P P. Kementerian Kesehatan mendukung dan menyambut baik kebijakan yang diamanatkan Perpres Nomor 70 Tahun ...
More informationUntitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Adityo Nugroho, S.IK Radiman, S.E ALAMAT REDAKSI Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9, Jakarta Selatan Kementerian Kesehatan RI Setditjen Kefarmasian dan Alkes, Subbagian Advokasi Hukum & Humas...
More informationtopik utama - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kemenkes RI dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes; Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt, Ph.D; Direktur Bina Prodis Kefarmasian Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si d...
More information2015 - Kementerian Kesehatan RI
1. Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia S 18 tahun. lndikator ini baru dapat diketahui capaiannya melalui pelaksanaan survey nasional kesehatan yang direncanakan dilaksanakan pada tahu...
More information2013 - Kementerian Kesehatan
IKHTISAR EKSEKUTIF Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Kesehatan Tahun 2013, merupakan sarana untuk menyampaikan pertanggungjawaban kinerja Menteri Kesehatan beser...
More information