topik utama - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Transcription
topik utama - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
DARI REDAKSI Gambar Sampul: Google.com SUSUNAN REDAKTUR PENASIHAT Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan PENANGGUNG JAWAB Plt. Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan KETUA REDAKSI Kepala Bagian Hukum, Organisasi, Dan Hubungan Masyarakat SEKRETARIS REDAKSI Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat ANGGOTA REDAKSI Dra. Rully Makarawo, Apt Dra. Ardiyani, Apt, M.Si Aji Wicaksono, S.Farm, Apt Isnaeni Diniarti, S.Farm, Apt Wasiyah, S.AP Muhammad Isyak Guridno, S.Si, Apt Radiman, S.E Rudi, Amd. MI ALAMAT REDAKSI Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9 Jakarta Selatan Kementerian Kesehatan RI Setditjen Binfar dan Alkes, Subbagian Humas Lt. 8 R.801 (021) 5214869 / 5201590 Ext. 8009 PENGANTAR Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Terkait hal tersebut, Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien sekaligus melaksanakan pelayanan kefarmasian yang bermutu. Infarkes edisi kali ini mengupas banyak hal yang terkait dengan pelayanan kefarmasian. Pada tanggal 9 -11 Juni 2015, Ditjen Binfar dan Alkes telah menyenggarakan The 30th Meeting of ASEAN Working Group on Pharmaceutical Development (AWGPD). Acara ini dibuka secara langsung oleh Ibu Dirjen Binfar dan Alkes dan dihadiri oleh negaranegara anggota ASEAN. Keterlibatan pembuat kebijakan diperlukan untuk meningkatkan perkembangan kefarmasian di wilayah ASEAN. Integrasi pelayanan kefarmasian dalam sistem kesehatan diperlukan untuk mendukung kualitas pelayanan kesehatan pada semua tingkatan. Dalam topik utama kami sajikan artikel melawan resistensi antimikroba dengan penggunaan antimikroba secara bijak, peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit, pentingnya informasi obat bagi masyarakat, kendali mutu dan kendali biaya obat melalui Formularium Nasional. Tak ketinggalan pula liputan kunjungan Menteri Kesehatan pada Baksos Operasi Katarak di Kepulauan Riau dan Pertemuan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama dan Kontrak Kerja Swakelola dalam rangka Pelaksanaan Penelitian/Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I dan sejumlah berita lain yang menarik untuk disimak. Semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita. Salam Sehat! DAFTAR ISI The 30th Meeting of ASEANWorking Group on Pharmaceutical Development 03 Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit 05 06 09 11 Pentingnya Informasi Obat Bagi Masyarakat Waspada Resistensi Antimikroba Dengan Penggunaan Secara Bijak Kendali Mutu dan Kendali Biaya Obat Melalui Formularium Nasional Lomba Desain Logo Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) Tahun 2015 14 Penandatanganan Perjanjian Kerjasama dan Kontrak 16 Apresiasi Kementerian Kesehatan pada Baksos Operasi Katarak di Kepulauan Riau Lindungi Masyarakat dari Kontak Lens Ilegal 18 21 Operasi Pangean VIII 2015 Pemusnahan Obat, Kosmetik, dan Alat Kesehatan Ilegal 22 24 26 29 Pertemuan Pembinaan Perbendaharaan Tahun 2015 Manfaat ISPOR dalam Peningkatan Kapasitas Bidang Farmakoekonomi Seberapa Seingkah Kita Tertipu Klaim (Khasiat)? TOPIK UTAMA The 30th Meeting of ASEAN Working Group on Pharmaceutical Development K ementerian Kesehatan, khususnya Ditjen Binfar dan Alkes, patut merasa berbangga karena telah sukses menyelenggarakan The 30th Meeting of ASEAN Working Group on Pharmaceutical Development (AWGPD) pada tanggal 9-11 Juni 2015. Acara yang dilaksanakan setiap tahun ini diadakan di Hyatt Hotel Yogyakarta dan dihadiri oleh negara anggota ASEAN dari Indonesia, Brunei chair. Sedangkan co-chair adalah perwakilan dari Laos PDR. “Kami menyadari bahwa tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk menjamin akses ke pelayanan kesehatan, obat dan alat kesehatan yang terjangkau dan untuk mempromosikan gaya hidup sehat ke rakyat ASEAN. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa program telah dilaksanakan. Keterlibatan pembuat kebijakan diperlukan untuk masyarakat dan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan sektor non kesehatan dan harus didukung oleh lembaga kemasyarakatan, pihak swasta dan masyarakat itu sendiri” demikian disampaikan oleh Dirjen Binfar dan Alkes, Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D pada pembukaan The 30th Meeting of ASEAN Working Group on Pharmaceutical Development. “Indonesia telah mengembangkan Formularium Nasional pada tahun Foto bersama Dirjen Binfar dan Alkes dengan seluruh delegasi AWGPD Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Flipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Pertemuan juga dihadiri oleh ASEAN Secretariat dan WHO. Pertemuan AWGPD ke-30 ini dipimpin oleh Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, Drs. Bayu Tedja Muliawan, Apt, M.Pharm., sebagai meningkatkan perkembangan kefarmasian. Integrasi pelayanan kefarmasian dalam sistem kesehatan diperlukan untuk mendukung kualitas pelayanan kesehatan pada semua tingkatan. Pembangunan bidang kefarmasian harus memiliki dampak yang baik pada kesehatan 2013 sebagai referensi untuk pemakaian obat dalam rangka implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Indonesia juga meningkatkan kerangka regulasi sebagai pedoman untuk reformasi kefarmasian dalam era Jaminan Kesehatan Nasional. Hal. 03 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 TOPIK UTAMA Masih banyak tantangan ke depan, seperti Antimicrobial Agent Resistance, masalah obat palsu dan peningkatan kapasitas. Namun dengan memperkuat kerjasama dan sinergi antara negara-negara ASEAN, tantangan akan lebih mudah dihadapi”, lanjut Dirjen Binfar dan Alkes. Agenda yang dibahas antara lain mengenai implementasi dari ASEAN Work Plan on Pharmaceutical Development antara lain The 3rd Standard of ASEAN Herbal Medicine, Program pengembangan untuk meningkatkan Jaminan Mutu dan Metode Pemeriksaan Non Farmakope, peningkatan kapasitas Farmakovigilans, Penggunaan Obat Rasional, Studi kolaborasi Resistensi Antimikroba serta ASEAN Forum on Pharmaceutical Care. Indonesia usulkan Assesment Tools Pelayanan Kefarmasian Dalam kesempatan ini Indonesia berkesempatan untuk memaparkan mengenai ASEAN Forum on Pharmaceutical Care and its Effective in ASEAN. Indonesia telah sukses mengadakan ASEAN Forum on Pharmaceutical Care and it’s Effective Implementation in ASEAN pada 6-9 November 2013 di Jakarta, Indonesia. Rekomendasi dari kegiatan tersebut telah dipresentasikan pada 29th AWGPD Meeting in Siem Reap Cambodia pada tahun 2014, dan dalam pertemuan tersebut telah menyetujui persyaratan minimal untuk pelaksanaan pelayanan kefarmasian di ASEAN. Karena belum tersedia informasi awal mengenai situasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian, forum menyetujui untuk mengadakan assessment tentang situasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Negara ASEAN. Dalam 9th SOMHD Meeting di bulan Juni 2014 mencatat draft rekomendasi tentang pelayanan kefarmasian untuk difinalkan pada saat AWGPD. Sementara assessment pelayanan kefarmasian akan disirkulasikan dan diharapkan ada masukan dari Negara Hal. 04 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 ASEAN lainnya sebelum 1 Agustus 2015. Dalam draft ASEAN Forum on Pharmaceutical Care and its Effective Implementation in ASEAN, disebutkan bahwa Standard pelayanan kefarmasian minimal terdiri dari pelayanan informasi obat, manajemen terapi pengobatan (review pengobatan dan ward round), farmakovigilans dan evaluasi penggunaan obat. Farmasi klinis merupakan kegiatan dan pelayanan yang dilaksanakan oleh farmasis klinis untuk mengembangkan dan mempromosikan penggunaan obat dan alat kesehatan yang benar. Pelayanan farmasi klinis bertujuan untuk meningkatkan efek klinis obat, contohnya dengan menggunakan pengobatan yang paling efektif untuk setiap tipe pasien, meminimalkan risiko efek samping penggunaan obat dan meminimalkan biaya pengobatan. Penggunaan Obat yang Rasional studi terkait ASEAN RUM Study untuk negara-negara ASEAN dimana studi ini merupakan sub komponen rencana kerja AWGPD untuk mengevaluasi dampak pelayanan kefarmasian untuk masyarakat dan meningkatkan akses terhadap obatobatan berkualitas dan pelayanan kefarmasian. Dalam studi ini, diketahui bahwa negara-negara ASEAN telah konsisten mengeluarkan Daftar Obat Esensial dimana pemilihan obat esensial dilaksanakan melalui komite formal. Negaranegara ASEAN juga telah membuat dasar legal dalam perizinan tenaga kefarmasian serta telah mewajibkan penggunaan obat dengan nama generic pada pelayanan kesehatan. Pada pertemuan ini Filipina telah mendistribusikan laporan ASEAN RUM Study untuk dimintakan feedback dari Negara Negara ASEAN sehingga bisa secepatnya difinalisasikan Secara keseluruhan, pelaksanaan AWGPD ini berjalan sukses dan lancar. Di hari ketiga, delegasi diajak untuk melakukan field trip ke Candi Prambanan untuk mengenal lebih dekat objek wisata Indonesia. Sesuai kesepakatan, pertemuan AWGPD ke-31 tahun 2016 akan dilaksanakan di Laos. Rational Use of Medicines (RUM) atau penggunaan obat yang rasional merupakan agenda prioritas dalam ASEAN Work Plan on Pharmaceutical Development tahun 2011-2015. Pelaksanaan RUM semakin dituntut ketika negara ASEAN menghadapi tantangan yang meningkat untuk pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatnya penyakit menular dan tidak menular, meningkatnya populasi dan permintaan yang tinggi untuk obatobat baru serta adanya kemajuan teknologi kesehatan. Filipina Dirjen Binfar Alkes bersama Perwakilan Sekretariat ASEAN memimpin TOPIK UTAMA Kegiatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT Oleh : Venny Vernissa, Apt, M.Farm U ntuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman SDM (tenaga farmasi) di Instalasi Farmasi Rumah Sakit, secara rutin setiap tahun Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan pertemuan Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (SDM IFRS) dalam rangka Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian sesuai Standar. Tahun ini kegiatan ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 28 – 29 April 2015. Melalui pertemuan ini diharapkan pelayanan kefarmasian di rumah sakit dapat dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Fasilitas kesehatan semakin dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien, termasuk pelayanan kefarmasian. Untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, telah ditetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 tahun 2014. Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit, harus bekerja profesional untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua masyarakat. Untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang berkualitas, apoteker harus mengubah paradigma yang tadinya berorientasi pada komoditi menjadi berorientasi kepada pasien, yang dikenal dengan konsep Pharmaceutical Care untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Saat ini masih banyak rumah sakit yang belum melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar, dimana apoteker sering terjebak pada padatnya tugas manajemen pengelolaan obat, yang menyebabkan apoteker kurang fokus kepada pelayanan kefarmasian sehingga sulit berkomunikasi dengan dokter secara profesional. Kegiatan Peningkatan Kemampuan SDM IFRS dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian sesuai Standar merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian secara profesional sehingga kompetensi seorang apoteker dapat sejajar dengan tenaga kesehatan lain. Peserta pertemuan yang berjumlah 15 (lima belas) orang, berasal dari IFRS di lingkungan Hal. 05 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 TOPIK UTAMA Propinsi Sumatera Barat yaitu RSUP M. Djamil Padang, RS Reksodiwiryo Padang, RS Polda Sumbar, RSUD dr. Rasidin Kota Padang, RSUD Adnan WD Payakumbuh, RSUD Dr. Ahmad Darwis Suliki, RSUD Kabupaten Sijunjung, RSUD Kabupaten Padang Pariaman, RSUD Pasaman Barat, RSUD Kota Padang Panjang, RSUD Kota Solok, RSUD Lubuk Sikaping, RS Stroke Nasional, RS Rem 032 Bukittinggi dan RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk paparan dan diskusi dengan narasumber dan dilanjutkan dengan praktek kerja lapangan. Narasumber yang hadir berasal dari Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dengan topik Kebijakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, dan Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan menyampaikan materi tentang Akreditasi Rumah Sakit. Target dari Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan diharapkan terdapat satu Rumah Sakit terakreditasi di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia. Selain itu narasumber dari Tim Instalasi Farmasi Rumah Sakit RSUD Dr. Soetomo menyampaikan materi tentang pelayanan farmasi klinik meliputi Manajemen Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Pelayanan dan Pengkajian Resep, Visite dan Pemantauan Terapi obat, Konseling dan PIO serta Interpretasi Data Klinik. Setelah itu dilaksanakan Praktik Kerja Lapangan agar peserta dapat lebih mudah menerapkan pelayanan farmasi klinik di tempat kerja masing-masing. Peserta langsung melakukan interaksi dan pelayanan kefarmasian kepada pasien rawat inap di RSUD Achmad Mochtar. Dari kegiatan ini diharapkan peserta dapat meningkat kompetensinya dan mempraktekkan pelayanan kefarmasian kepada pasien di rumah sakit tempat kerja masingmasing sesuai Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Sehingga pelayanan kefarmasian di rumah sakit menjadi berkualitas sesuai standar dan dapat mendukung pelayanan kesehatan secara terpadu yang terbaik bagi pasien dan masyarakat. Hal. 06 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 Pentingnya Informasi Obat bagi Masyarakat B Oleh : Erie Gusnellyanti, Apt, MKM eberapa waktu yang lalu, Saya menerima telepon dari Paman yang berada di sebuah Ibukota Kabupaten di Sumatera. Dari suaranya terdengar kepanikan dan kegelisahan. Intinya, Paman menyampaikan bahwa ia sedang menderita penyakit saluran cerna yang salah satu obatnya tidak dijual di manapun di kota tempat tinggalnya, termasuk di Ibukota Propinsi. Ketika disebutkan nama obat tersebut, Saya sendiri tidak mengenalinya. Setelah ditelusuri, ternyata obat tersebut adalah enzim pencernaan yang banyak tersedia di pasaran dengan nama lain dan sudah banyak digunakan. Dari kasus ini terlihat bahwa Paman sebagai masyarakat awam tidak paham bahwa sebetulnya obat yang susah payah dicarinya, dapat diperoleh dengan mudah karena tersedia dalam nama dagang lain dari pabrik yang berbeda. Kisah lainnya yaitu adik dari tetangga Saya yang meninggal dunia bulan lalu. Menurut dokter, penyebab utamanya adalah infeksi lambung yang sangat parah. Tetangga Saya tersebut bercerita, almarhum adiknya, sebut saja Anto (bukan nama sebenarnya) sering mengkonsumsi obat sakit kepala merk terkenal. Karena sakit kepala yang sangat berat dirasakannya, Anto biasa meminum 2 – 4 tablet sekaligus. Ia tidak menyadari, ternyata bukan kesembuhan yang didapat, tetapi justru risiko. Obat bebas yang dipikirnya aman, mengandung parasetamol dan kofein yang berbahaya jika digunakan tidak sesuai petunjuk. Lama kelamaan TOPIK UTAMA dinding lambungnya terluka (iritasi) akibat kofein yang dikonsumsi secara terus menerus. Selain itu, parasetamol yang dianggap aman, sesungguhnya dapat menyebabkan sirosis hati jika diminum terlalu sering dan dalam jumlah besar. Dua kasus di atas adalah contoh nyata yang sering terjadi di tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat awam merupakan korban “ketidakseimbangan informasi” (asymetri information) dalam pelayanan kesehatan. Pada kasus pertama, pasien yang cenderung “pasrah” pada nama obat yang diresepkan oleh dokter, berupaya keras mencari obat dengan nama yang persis sama. Dari dokter dan tenaga farmasi tidak ada informasi yang memadai tentang obat tersebut. Sebelumnya tidak ada upaya untuk bertanya atau mencari informasi apakah ada obat lain dengan kandungan zat aktif atau fungsi yang sama. Akhirnya bertanya pada keluarga yang berada di tempat jauh, padahal sebenarnya bisa bertanya pada apoteker di apotek terdekat. Selain itu pasien memang tidak paham bahwa nama dagang dapat berbeda untuk setiap pabrik yang memproduksi, walaupun kandungan zat berkhasiatnya sama. Kasus kedua lebih berbahaya, pasien tidak menyadari bahwa obat bebas dan obat bebas terbatas dapat memiliki efek samping yang berakibat fatal bagi kesehatan. Informasi lengkap sebenarnya sudah tercantum pada kemasan obat. Pemerintah telah mewajibkan pada produsen obat untuk mencantumkan komposisi, indikasi, cara pakai, efek samping, kontra indikasi, dan lain-lain pada kemasan. Namun seringkali masyarakat tidak membaca dan mempelajari dengan cermat informasi tersebut, sehingga hanya nama obat dan cara pakainya yang diketahui (Suryawati, 1992). Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan farmasi diikuti dengan semakin meningkatnya kecerdasan masyarakat, semakin gencarnya promosi/iklan obat melalui media massa dan tingginya biaya pelayanan kesehatan, memicu dilakukannya swamedikasi oleh masyarakat. Pengobatan sendiri/ swamedikasi merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit, sebelum mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan atau tenaga kesehatan terdekat. Swamedikasi oleh masyarakat bukan hanya menggunakan obat bebas dan bebas terbatas (over the counter/ OTC), tetapi juga dilakukan secara tidak tepat pada obat keras yang seharusnya digunakan melalui resep dokter (ethical). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa lebih dari 60 % masyarakat melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi). Sedangkan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa 35,2 % masyarakat Indonesia menyimpan obat di rumah tangga, baik diperoleh dari resep dokter maupun dibeli sendiri secara bebas. Proporsi masyarakat yang menyimpan obat keras tanpa resep mencapai 81,9 %, di antaranya termasuk antibiotik (Kementerian Kesehatan, 2013). Data ini membuktikan bahwa sejumlah besar masyarakat melakukan swamedikasi. Untuk itu harus diimbangi dengan informasi yang memadai, sehingga tidak terjadi kesalahan seperti contoh kasus di atas. Swamedikasi secara tidak tepat oleh masyarakat merupakan salah satu contoh penggunaan obat yang tidak rasional. Contoh lainnya yaitu penggunaan antibiotik/antimikroba secara tidak bijak yang dapat mengakibatkan resistensi. Menurut WHO, lebih dari 50 % obat di dunia diresepkan dan digunakan secara tidak tepat. Ketidakrasionalan penggunaan obat dapat berupa penggunaan obat secara berlebihan (overuse), penggunaan obat yang kurang (underuse) dan penggunaan obat tidak tepat indikasi, dosis, cara dan lama pemakaian, dan lain-lain (misuse). Swamedikasi yang dilakukan secara tidak tepat dan tidak disertai informasi yang memadai, dapat menyebabkan tujuan pengobatan tidak tercapai. Namun jika swamedikasi dilakukan dengan benar, dapat mendukung upaya pembangunan kesehatan oleh pemerintah. Untuk itu swamedikasi sebaiknya didampingi oleh tenaga kesehatan terutama apoteker, dan hanya dapat dilakukan untuk obat tertentu yang diperbolehkan tanpa resep dokter, yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas. Untuk melakukan swamedikasi secara benar, masyarakat memerlukan informasi yang jelas, benar dan dapat dipercaya, sehingga penentuan jenis dan jumlah obat yang diperlukan harus berdasarkan kerasionalan penggunaan obat. Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling terjangkau untuk pasien dan masyarakat (WHO, 1985). Oleh karena itu, masyarakat sebagai konsumen sudah selayaknya mendapatkan informasi yang akurat dan memadai mengenai obat yang digunakan. Pengetahuan yang benar tentang obat, sangat kurang dikuasai oleh masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat agar mengetahui dan melakukan penggunaan obat yang benar. Informasi ini harus didapatkan dari tenaga kesehatan dan sumber informasi yang terpercaya. Hal ini juga menjadi tanggung jawab Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan yang bertanggungjawab dalam pelayanan kefarmasian. Peran apoteker terutama di apotek dan komunitas perlu ditingkatkan dalam memberikan pelayanan informasi obat. Hal. 07 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 TOPIK UTAMA Dalam rangka meningkatkan penggunaan obat rasional, selain melakukan berbagai upaya pada tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan antara lain penyebaran informasi melalui media cetak dan elektronik. Kegiatan lainnya adalah berupa edukasi masyarakat melalui kader kesehatan dengan metode CBIA (Cara Belajar Insan Aktif). Metode ini diciptakan oleh Prof. dr. Sri Suryawati, seorang guru besar Farmakologi yang merupakan Ketua Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada. Sejak tahun 2007, metode CBIA telah diterapkan sebagai bagian dari program pemberdayaan masyarakat Kementerian Kesehatan. Program ini juga telah dilaksanakan di beberapa propinsi dan kabupaten/kota. Dalam metode CBIA, peserta dibagi per kelompok, lalu diminta untuk aktif mencari dan memahami informasi yang tertera pada kemasan obat bebas dan obat bebas terbatas yang digunakan sebagai alat peraga. Informasi tersebut antara lain mengenai kandungan zat aktif (komposisi), indikasi (kegunaan), dosis dan cara pakai, efek samping, kontra indikasi. Peserta berdiskusi secara aktif dan mandiri, dipandu tutor/ fasilitator. Di akhir kegiatan, peserta mempresentasikan temuan selama diskusi kelompok. Jika ada halhal yang belum dipahami, akan dijelaskan oleh narasumber. CBIA terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat dalam memilih dan menggunakan obat (Suryawati, 1992). Hal ini antara lain dikarenakan metode ini dilakukan secara visual menggunakan alat peraga obat dan diskusi interaktif dari peserta, sehingga peserta Hal. 08 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 lebih mudah memahami dan mengingat informasi baru yang diperoleh. Hampir seluruh peserta memperoleh kepuasan setelah diedukasi dengan metode CBIA, dan terjadi peningkatan pengetahuan yang signifikan (Kementerian Kesehatan). Sebagaimana telah dijelaskan di atas, penggunaan obat secara tidak tepat oleh masyarakat bukan hanya pada obat bebas dan obat bebas terbatas melalui swamedikasi. Penggunaan obat keras tanpa resep dokter terutama antibiotik yang berakibat resistensi bakteri juga menjadi perhatian pemerintah. Masalah resistensi telah menjadi sorotan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Masyarakat harus memahami bahwa resistensi atau kekebalan bakteri ini dapat berbahaya, karena antibiotik baru sudah tidak ditemukan sejak tahun 2002. Jika bakteri telah resisten terhadap semua antibiotik, maka tidak ada lagi antibiotik yang dapat menyembuhkan penyakit infeksi (WHO, 2005). Penggunaan obat dengan resep dokter juga harus dilakukan secara tepat oleh pasien. Jika cara penggunaan tidak diinformasikan dengan baik oleh tenaga kesehatan, pasien dapat melakukan kesalahan. Misalnya jika antibiotik tidak diminum sampai habis dapat mengakibatkan pengobatan tidak efektif dan terjadi resistensi. Selain itu, obat yang diminum tiga kali sehari seharusnya diminum setiap 8 jam. Contoh yang fatal misalnya jika pasien salah menggunakan obat tetes mulut, diteteskan pada mata. Kesalahan seperti ini dapat dicegah jika pasien mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat dari tenaga kesehatan, khususnya tenaga farmasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan upaya percepatan dalam pemberdayaan masyarakat. Untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang penggunaan obat secara benar, dalam waktu dekat Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan akan meluncurkan suatu Gerakan Nasional. Gerakan ini akan melibatkan berbagai lintas sektor atau pemangku kepentingan terkait dengan komponen masyarakat, misalnya Kementerian/ Lembaga pemerintah, organisasi profesi kesehatan, institusi kesehatan dan pendidikan, lembaga dan organisasi kemasyarakatan, kepemudaan dan kemahasiswaan. Sementara ini gerakan yang diberi nama Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) sedang disiapkan regulasi termasuk pedoman pelaksanaannya. Selanjutnya akan dilakukan koordinasi lintas sektor, pencanangan secara resmi, dan sosialisasi pada seluruh Dinas Kesehatan Propinsi dan Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Keterlibatan IAI diharapkan dapat mengoptimalkan peran tenaga farmasi khususnya apoteker pengelola apotek dalam berkomunikasi dan memberikan edukasi serta pelayanan informasi obat pada masyarakat. Hal ini juga dilaksanakan dalam rangka upaya promotif dan preventif dalam penggunaan obat yang merupakan bagian dari upaya kesehatan masyarakat. Dengan demikian, apoteker dapat berperan aktif sejalan dengan upaya pembangunan kesehatan yang semakin diarahkan pada upaya kesehatan masyarakat. Selanjutnya GeMa CerMat akan dilaksanakan secara terus menerus, setidaknya hingga lima tahun ke depan agar dapat berhasil guna untuk mencapai penggunaan obat secara rasional pada masyarakat. (EgN). TOPIK UTAMA Waspada Resistensi Antimikroba dengan Penggunaan secara Bijak P enelitian Alexander Fleming tahun 1928 menghasilkan salah satu temuan terbesar pada abad ke-20 dan memulai revolusi pada dunia kesehatan, yaitu penisilin. Penisilin menjadi cikal bakal pengembangan antibiotik yang digunakan untuk membunuh atau menghambat bakteri penyebab infeksi. Penyakit infeksi yang mematikan pada masa itu (seperti pneumonia dan tuberkulosis) dapat disembuhkan, risiko kematian akibat infeksi saat operasi dan persalinan berkurang drastis. Selanjutnya antivirus, antijamur, dan antiparasit ditemukan dan berkembang, menjadikan HIV/AIDS dan malaria dapat diobati. Sehingga diprediksikan dunia bebas penyakit infeksi pada tahun 1960-an. Namun penggunaan antimikroba secara luas dan berlebihan menghasilkan kondisi yang sebaliknya. Bakteri dan patogen lain semakin berkembang untuk melawan obat yang digunakan membunuh mereka, menyebabkan munculnya mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba. Resistensi antimikroba adalah kekebalan mikroorganisme terhadap antimikroba yang sebelumnya efektif untuk terapi infeksi yang diakibatkan olehnya. Terapi standar menjadi tidak efektif, infeksi tetap berlanjut, dan meningkatkan risiko untuk menyebar. Sedangkan penemuan dan pengembangan antimikroba baru tidak sejalan dengan kecepatan mikroorganisme dalam beradaptasi. Mutasi mikroorganisme merupakan fenomena alami yang muncul ketika mikroorganisme memperbanyak diri atau saat terjadi pertukaran materi biologi di antara Oleh : Dra. Ardiyani, Apt, M.Si Ilustrasi bakteri mereka. Penggunaan antimikroba, walaupun telah diberikan dengan tepat dan benar, memicu resistensi. Penggunaan yang tidak tepat dan berlebihan menyebabkan kondisi ini lebih buruk. Peningkatan resistensi menyebabkan terapi lini pertama tidak efektif, dan selanjutnya memerlukan terapi antimikroba lain yang lebih mahal. Selain itu infeksi oleh patogen resisten membutuhkan terapi yang lebih lama dan kurang efektif. Kondisi di mana antimikroba tidak lagi efektif, dapat menyebabkan beberapa masalah dalam pengobatan, misalnya prosedur operasi menjadi lebih berbahaya akibat risiko infeksi, prosedur persalinan menjadi lebih rentan dan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak, dan risiko kemoterapi pada pasien kanker lebih besar karena sistem imun yang rendah. Resistensi antimikroba menyebabkan peningkatan lama perawatan, biaya pelayanan kesehatan dan angka kematian akibat infeksi. Resistensi antimikroba terjadi di seluruh wilayah di dunia, mekanisme resistensi baru muncul dan menyebar. Jumlah dan kecepatan perjalanan antar benua semakin memberikan kesempatan pada patogen resisten untuk menyebar secara global. Patogen resisten tidak mengenal perbatasan, sehingga menjadi ancaman serius untuk kesehatan masyarakat global. Selain itu penyakit infeksi menular yang semakin sulit ditangani (seperti SARS, MERS, Malaria) juga dapat mempengaruhi perekonomian, dimana pendapatan dari sektor pariwisata, investasi, dan perdagangan internasional berkurang. WHO memimpin pergerakan untuk menyusun rencana aksi global, menghasilkan kerangka pemerintahan internasional mengenai regulasi penggunaan antimikroba pada manusia, hewan dan lingkungan, untuk melawan resistensi antimikroba di 194 negara termasuk Indonesia. Hal. 09 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 TOPIK UTAMA Pemerintah dapat mencegah resistensi dengan meningkatkan pemantauan pada penyebab resistensi, meningkatkan upaya pencegahan dan kontrol infeksi, mengatur dan mempromosikan cara penggunaan obat yang tepat, membuat akses informasi tersedia secara luas mengenai akibat resistensi antimikroba dan bagaimana masyarakat dan tenaga kesehatan dapat berperan dalam pencegahan resistensi, serta memberi penghargaan terhadap inovasi dan perkembangan terapi baru. Sangat penting untuk tidak hanya mengobati infeksi namun mengurangi dan mengontrol infeksi, meningkatkan kondisi higienis dan sanitasi di dalam dan di luar rumah sakit, untuk mencegah penyebaran penyakit dan mencegah sakit. Salah satu masalah di Indonesia adalah masih tingginya persentase penggunaan antimikroba -terutama antibiotik- secara tidak tepat. Untuk itu Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan, melaksanakan kegiatan ”Workshop Penggunaan Antimikroba secara Bijak” di tingkat Nasional. Penggunaan antimikroba secara bijak bertujuan untuk mencegah munculnya bakteri resisten. Penggunaan secara bijak artinya menggunakan secara rasional dan paham, sehingga berhati-hati. Melalui kegiatan workshop ini, diharapkan selain dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peserta, juga terbentuk jejaring yang diintervensi secara konsisten dan berkelanjutan dalam melaksanakan upaya peningkatan penggunaan antimikroba secara rasional dan dikembangkan ke seluruh wilayah kerja. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan penggunaan obat secara rasional di semua tingkat pelayanan. ”Workshop Penggunaan Antimikroba secara Bijak” yang dilaksanakan tahun 2015 merupakan kelanjutan dari workshop sebelumnya Hal. 10 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 yang telah dilaksanakan di 3 (tiga) Propinsi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat. Workshop tahun ini dilaksanakan pada tanggal 26-28 Mei 2015, di Hotel Best Western Premier The Hive, Jakarta. Peserta yang diundang adalah Apoteker Instalasi Farmasi dari 14 Rumah Sakit Rujukan Nasional, perwakilan Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman Ibu Oce Yuliana N. Boymau, SF, Apt, MScPH yang menyampaikan “Global and Regional Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance”. Workshop hari kedua dilanjutkan dengan paparan dr. Hari Paraton, SpOG(K), Ketua KPRA, yaitu “Antibiotik Bijak Mencegah Munculnya Bakteri Resisten” dan ”Komunikasi Bijak. Selanjutnya materi “Pengendalian Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit” dan “Implementasi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di Rumah Sakit” disampaikan oleh Ibu Mariyatul Qibtiyah, SSi, Apt, Pembukaan Workshop Penggunaan Antimokroba dan pengetahuan apoteker rumah sakit dalam penggunaan antimikroba (terutama antibiotik) secara bijak, serta meningkatkan kemampuan melaksanakan praktek pelayanan kefarmasian dalam rangka peningkatan penggunaan antibiotik secara rasional. Workshop dibuka oleh Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, Drs. Bayu Teja Muliawan, M.Pharm, MM, Apt, dilanjutkan paparan oleh pakar dan anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RSCM, Prof. dr. Taralan Tambunan, SpA(K) dengan materi “Wisely Use of Antibiotic”. Selanjutnya paparan oleh WHO Representatif Indonesia, SpFRS, Sekretaris KPRA. Setelah paparan oleh narasumber, dilakukan diskusi kelompok dengan topik bahasan identifikasi masalah penggunaan antibiotik, identifikasi sumber daya manusia, menyusun rencana aksi/strategi untuk mengatasi masalah tersebut, serta rekomendasi dalam pelaksanaan Program Peningkatan Penggunaan Antibiotik secara Bijak di wilayah kerja masing-masing. Dari penyelenggaraan workshop ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik secara bijak perlu segera dilakukan untuk mengendalikan terjadinya resistensi. Permasalahan dalam penggunaan TOPIK UTAMA antibiotik yang sering dihadapi di rumah sakit antara lain: belum adanya kebijakan pemerintah untuk revisi pedoman penggunaan antibiotik setiap tahun, belum adanya kesadaran pengendalian resistensi antibiotik oleh tenaga kesehatan, belum ada atau belum optimalnya peran Tim PPRA di rumah sakit, serta belum terlaksananya pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan antibiotik. Sementara itu, dari sisi sumber daya, permasalahan yang terjadi antara lain: belum adanya komitmen anggota Tim PPRA rumah sakit untuk aktif dalam kegiatan, belum tersedianya tenaga farmasi klinik/mikrobiologi klinik, belum adanya dukungan pimpinan terhadap PPRA (kegiatan, fasilitas), keterbatasan anggaran rumah sakit untuk fasilitas, alat, dan sarana. Rekomendasi yang dihasilkan pada workshop ini antara lain: mengoptimalkan keterlibatan pihak manajemen rumah sakit untuk meningkatkan partisipasi anggota PPRA; berkoordinasi dengan bagian Diklat untuk memasukkan sosialisasi PPRA ke dalam kegiatan orientasi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS); mengusulkan penambahan jumlah dan peningkatan kompetensi SDM (farmasi/farmasi klinik); mencantumkan/menegaskan kembali poin revisi pedoman setiap tahun (secara berkala) dalam Permenkes; Pemda agar memfasilitasi kebutuhan Tim PPRA dan menyediakan anggaran untuk sosialisasi dan pelatihan; IAI/HISFARSI agar mengadakan sosialisasi, pelatihan/ workshop tentang penggunaan obat rasional, termasuk penggunaan antibiotik secara bijak; memberikan rekomendasi kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan kurikulumnya; serta mengadakan workshop untuk update pedoman penggunaan antibiotik yang sudah ada. Target/dampak yang diharapkan setelah mengikuti workshop ini antara lain penurunan prevalensi mikroba resisten di rumah sakit, penurunan konsumsi antibiotik (indikator WHO: penggunaan 5 macam antibiotik terbanyak di RS), peningkatan kualitas penggunaan antibiotik bijak, dan peningkatan kepatuhan terhadap guideline/pedoman antibiotik di rumah sakit. Kendali Mutu dan Kendali Biaya Obat melalui FORMULARIUM NASIONAL K esehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan Negara. Untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, diperlukan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat berupa kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam hal ini, yang menjadi tugas pemerintah adalah memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan upaya kesehatan, Salah satu upaya tersebut yaitu menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, termasuk obat. Dengan adanya kebutuhan standar yang jelas mengenai obat yang akan digunakan, maka pemerintah mengeluarkan undangundang, peraturan, dan buku pedoman yang dapat digunakan sebagai standar mutu obat resmi di Indonesia. Buku pedoman pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1962, adalah Farmakope Indonesia jilid I, yang mencantumkan monografi sediaan obat dan senyawa kimia yang dilengkapi dengan uraian, rumus, sifat fisikokimia, uji identifikasi, analisis kuantitatif, aturan dosis, dan persyaratan baku lainnya untuk menentukan mutu dan kemurniannya. Sebagai pelengkap buku Farmakope Indonesia, pada tahun 1966, diterbitkan Formularium Indonesia (FOI), yang memuat komposisi dari beberapa ratus sediaan farmasi yang umum digunakan di apotek. Buku ini mengalami revisi pada tahun 1978, yang kemudian diterbitkan dengan nama Formularium Nasional atau dikenal dengan nama “Fornas”. Awal pembuatan Fornas ini, adalah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1960 tentang PokokPokok Kesehatan, dengan tujuan untuk memberikan suatu pedoman bagi para tenaga kesehatan dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sehari-hari. Untuk mengenalkan Hal. 11 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 TOPIK UTAMA konsep obat esensial di Indonesia, diterbitkan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) pertama pada tahun 1980. DOEN merupakan daftar yang berisikan obat terpilih yang paling dibutuhkan dan diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. DOEN merupakan standar nasional minimal untuk pelayanan kesehatan. Seiring dengan perkembangan bidang kesehatan di Indonesia dalam mendukung berbagai program peningkatan mutu pelayanan kesehatan, maka pemerintah mulai memberi perhatian kembali kesehatan, melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi pengobatan, sehingga tercapai penggunaan obat rasional. Bagi tenaga kesehatan, Fornas bermanfaat sebagai “acuan” bagi penulis resep, mengoptimalkan pelayanan kepada pasien, memudahkan perencanaan, dan penyediaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam JKN, pembiayaan dilakukan dengan sistem paket berbasis diagnosa yaitu Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Sedangkan untuk dengan ketat Untuk menyusun Fornas, dibentuk Komite Nasional (Komnas) Penyusunan Fornas, terdiri dari Tim Ahli, Tim Evaluasi, Tim Pelaksana dan Tim Reviu. Tim Ahli beranggotakan pakar bidang kedokteran dan dokter gigi, baik umum maupun spesialis dan sub spesialis, farmakologi klinik, apoteker dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Komite ini diketuai oleh Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med. Sc, PhD, seorang pakar farmako epidemiologi klinik sekaligus Wakil Rektor Universitas Gajah Mada. Rapat Teknis Fornas 2015 kepada pembaharuan Fornas. Pada tahun 2013, pemerintah menerbitkan Fornas yang sama sekali berbeda dengan Fornas yang sudah ada terdahulu. Saat ini, penyusunan Fornas bertujuan untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan aksesibilitas obat yang akan digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan di seluruh fasilitas kesehatan. Fornas berisi daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan terkait Jaminan Kesehatan Nasional. Tujuan utama pengaturan obat dalam Fornas adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan Hal. 12 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 fasilitas kesehatan tingkat pertama dilakukan dengan sistem kapitasi. Dengan sistem pembiayaan ini, setiap fasilitas diwajibkan melakukan kendali mutu sekaligus kendali biaya pelayanan kesehatan, termasuk obat. Diharapkan fasilitas kesehatan dapat memberikan pelayanan dengan mutu yang terbaik (efektif) namun biaya yang efisien. Selain itu, setiap peserta BPJS Kesehatan tidak diperbolehkan dikenakan iur biaya termasuk untuk obat yang diresepkan. Oleh karena itu, Fornas menjadi instrumen yang tepat untuk melakukan kendali mutu dan kendali biaya penggunaan obat dalam JKN, dan disusun berdasarkan bukti ilmiah terkini (evidence based medicine). Obat yang tercantum dalam Fornas harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, sehingga proses seleksi dilakukan Wakil Ketua Komite adalah Prof. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK(K), pakar farmakologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebelum melakukan tugasnya, Tim Ahli wajib menandatangani Formulir Kesediaan dan Pernyataan Bebas Konflik Kepentingan (conflict of interest). Hal ini dilakukan agar proses penyusunan Fornas dilakukan secara transparan tanpa pengaruh dari pihak tertentu yang menginginkan produk obat tertentu dapat masuk dalam Fornas. Jika Tim Ahli memiliki konflik kepentingan pada obat tertentu, maka ia tidak diperbolehkan mengikuti pembahasan obat tersebut. Pemilihan obat dalam Fornas didasarkan atas beberapa kriteria, diantaranya adalah adanya keamanan dan khasiat yang memadai TOPIK UTAMA berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih, memiliki rasio manfaatrisiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan pasien, memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM, serta memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi. Apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada obat yang memiliki sifat yang paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah, memiliki sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan, memiliki stabilitas yang lebih baik dan mudah diperoleh. Untuk obat jadi dengan kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut: hanya bermanfaat jika diberikan dalam bentuk kombinasi tetap; kombinasi tetap menunjukan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada masing-masing komponen; perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut; dan kombinasi tetap dapat meningkatkan rasio manfaat-biaya. Untuk kombinasi antibiotik, kombinasi ini harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi atau efek merugikan lainnya. Proses penyusunan Fornas diawali dengan pengiriman surat permintaan usulan tertulis dari Ditjen Binfar dan Alkes kepada Rumah Sakit, Perhimpunan/Organisasi Profesi, Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/ Kota dan Puskesmas, serta unit pengelola program di Kementerian Kesehatan. Pengusulan obat dilakukan dengan mengisi Formulir Usulan Obat kepada Ditjen Binfar dan Alkes untuk dilakukan seleksi administratif, yaitu pemeriksaan asal usulan, data pendukung dan bukti ilmiah terkini, adanya izin edar dengan indikasi yang telah disetujui oleh BPOM, dan dengan catatan bahwa obat yang diusulkan tidak termasuk obat tradisional dan suplemen makanan. Usulan obat yang telah lulus seleksi administrasi akan dikompilasi dan dikelompokkan sesuai dengan kelas terapi. Daftar obat usulan dibahas dalam rapat pembahasan teknis bersama Tim Ahli dan rapat pleno yang dilakukan bersama Tim Ahli, Perhimpunan/ Organisasi Profesi, perwakilan Rumah Sakit, perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota, perwakilan Puskesmas, dan unit pengelola program di Kementerian Kesehatan. Hasil rapat pleno adalah rekomendasi daftar obat yang akan dicantumkan dalam Fornas yang kemudian akan mengalami penyempurnaan redaksional draft akhir Fornas, negosiasi dan penyusunan rancangan final Fornas. Atas dasar rekomendasi dari Tim Komnas Fornas, Menteri Kesehatan RI menetapkan Fornas melalui Keputusan Menteri Kesehatan. Selanjutnya dilakukan penetapan harga untuk setiap obat yang tercantum dalam Fornas melalui e-catalogue dengan proses lelang dan negosiasi. Sehingga setiap fasilitas kesehatan dapat melakukan penyediaan dan penggunaan obat dengan mengacu pada Formularium Nasional dan mekanisme pengadaannya melalui e-purchasing berdasarkan e-catalogue obat. Jika dalam kondisi tertentu dan mendesak dibutuhkan obat yang belum atau tidak tercantum dalam Fornas, dapat digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur Rumah Sakit. Hal ini dilakukan untuk memberikan justifikasi yang kuat atas digunakannya obat tersebut bagi peserta JKN. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan farmasi serta memberikan ruang perbaikan terhadap isi Fornas, meningkatkan kepraktisan dalam penggunaan dan penyerahan obat kepada pasien, dilaksanakan revisi Fornas secara berkala, yaitu paling lambat 2 (dua) tahun sekali. Hal ini dilakukan sesuai dengan UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Saat ini, Ditjen Binfar dan Alkes bersama dengan Tim Ahli Komnas Fornas sedang melakukan peninjauan terhadap Fornas 2013, dalam rangka penyempurnaan menjadi Fornas 2015. Dengan demikian, penyusunan Fornas merupakan salah satu wujud nyata pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah dalam menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat, agar masyarakat mendapatkan obat terpilih yang tepat, aman, berkhasiat, bermutu dan terjangkau sehingga akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, dan kendali mutu dan kendali biaya penggunaan obat dalam JKN dapat dilakukan secara optimal. Hal. 13 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 TOPIK UTAMA Lomba Desain Logo Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) Tahun 2015 Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian (tengah) bersama Juri Lomba Desain Logo GNMPO S alah satu penyebab masalah kesehatan adalah penggunaan obat secara tidak rasional, yang dapat mengakibatkan terapi kurang efektif dan efisien. Menurut WHO, lebih dari 50% peresepan dan penggunaan obat di dunia dilakukan secara tidak rasional. Penggunaan obat secara tidak rasional, dapat mengakibatkan terapi kurang efektif dan efisien. Di antara penggunaan obat yang tidak rasional tersebut adalah penggunaan antibiotik/ antimikroba secara tidak bijak yang mengakibatkan resistensi dan swamedikasi secara tidak tepat oleh masyarakat. Tetapi seringkali masyarakat kurang menyadari dan memahami bagaimana cara menggunakan obat yang benar. “Untuk itulah Kementerian Kesehatan membuat suatu gerakan nasional yang dinamakan Gerakan Masyarakat Hal. 14 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 Cerdas Menggunakan Obat atau GeMa CerMat”, ujar Drs. Bayu Teja M., M.Pharm, MM, Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Masyarakat sebagai konsumen sudah selayaknya mendapatkan informasi yang akurat dan memadai mengenai obat yang digunakan. Pengetahuan yang benar tentang obat, sangat kurang dikuasai oleh masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat agar mengetahui tentang bagaimana penggunaan obat yang benar. Informasi ini harus didapatkan dari tenaga kesehatan dan sumber informasi yang terpercaya. Hal ini juga menjadi tanggung jawab apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan khususnya dalam memberikan pelayanan kefarmasian. Peran apoteker terutama di apotek dan komunitas perlu ditingkatkan dalam memberikan pelayanan informasi tentang obat. Dalam rangka percepatan upaya peningkatan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, dan keterampilan masyarakat tentang pemilihan dan penggunaan obat secara tepat dan rasional, serta peningkatan peran apoteker di sektor pelayanan kefarmasian dalam memberikan informasi dan edukasi yang memadai bagi masyarakat, perlu dilakukan Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) secara bersama dan berkesinambungan dengan melibatkan lintas sektor dan pemangku kepentingan terkait. Gerakan yang semula diberi nama GNMPO (Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Obat) ini bertujuan TOPIK UTAMA untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang cara memilih, mendapatkan, menggunakan, menyimpan, dan membuang obat juga meningkatkan kemandirian masyarakat dalam memilih dan menggunakan obat secara benar. Dengan demikian dapat meningkatkan penggunaan obat secara rasional oleh masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan GeMa CerMat, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mengadakan Lomba Desain Logo GeMaCerMat yang melibatkan masyarakat umum, pelajar dan mahasiswa perorangan. Kepala Sub Direktorat Penggunaan Obat Rasional Drs. Heru Sunaryo Apt. mengatakan, kegiatan Lomba Desain Logo Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Obat bertujuan agar gerakan ini menyatu dengan masyarakat dan bisa dikenali dengan mudah oleh masyarakat. Lomba Desain Logo GNMPO diikuti oleh 119 peserta dengan total ada 170 karya desain logo. Lomba ini dinilai oleh dewan juri yang terdiri dari Drs. Heru Sunaryo Apt (Direktorat Bina Yanfar), Umarjono Hadi, S.Sn (ahli desain grafis, Puspromkes), Giri Inayah, S.Sos, MKm (ahli komunikasi kesehatan, Puskomblik), Niken Savitri A, S.Sn, M.Ds (ahli desain grafis, UPI YAI), dan Mira Nurfahlia Sahid, S.Pd (perwakilan dari masyarakat, Ketua Kumpulan Emak Blogger). Kriteria logo dalam lomba ini yaitu setiap desain harus mengandung makna peran serta masyarakat, obat dan unsur kepedulian, peran serta masyarakat, serta pengetahuan dan informasi, merupakan karya sendiri (orisinil), memiliki komposisi warna dan gambar yang proporsional serta terdapat tulisan GNMPO dan Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Obat. Dari 170 desain yang ikut dalam lomba ini, setelah melalui beberapa tahap penilaian, akhirnya terpilih 3 logo yang dianggap paling sesuai dengan kriteria dan berhak menjadi pemenang. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Nomor HK.02.04/4/726/2015 tentang Pemenang Lomba Desain Logo Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Obat, telah ditetapkan 3 (tiga) orang pemenang sebagai berikut: Juara I Nama : Anto Wibowo Alamat : Pulo Gebang Kirana Blok C/10/10 Jakarta 13950 Juara II Nama : Lukman Aziz Alamat : Jl. Sumber Pelita RT 009/001 No 33, Kel. Sumur Batu Kemayoran Jakarta Pusat Juara III Nama : Bayu Ahmad Ramdani Alamat : Jl Sukamulus No 10/143 C RT 001/008 Kel. Cicadas Kec. Cibeunying Kidul Kota Bandung 40121 Logo pemenang I yang telah direvisi sesuai dengan perubahan nama gerakan Panitia bersama Pemenang I, II, dan III Lomba Desain Logo GNMPO Hal. 15 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 LIPUTAN Direktur Bina Prodis Kefarmasian melakukan penandatanganan kerjasama dan kontrak I Penandatanganan Perjanjian Kerjasama dan Kontrak ndonesia merupakan mega center kekayaan hayati, seyogyanya kita harus mempunyai daftar tanaman obat di Indonesia bahkan seharusnya mempunyai standar mutu untuk BBOT yang tidak kalah dengan Farmakope Herbal yang sudah ada. Sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009, sediaan farmasi yang berupa obat tradisional harus memenuhi standar dan persyaratan yang telah ditentukan. Kementerian Kesehatan sampai saat ini telah mengeluarkan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) edisi 1 dan 3 suplemennya. Dalam perkembangannya, perlu perbaikan dan penyempurnaan monografi untuk penyusunan Farmakope Herbal Indonesia edisi 2. Hal itulah yang disampaikan oleh Direktur Bina Hal. 16 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si dalam Penandatanganan Perjanjian Kerjasama & Kontrak Kerjasama Swakelola antara Kementerian Kesehatan dengan Universitas Andalas, Universitas Gajah Mada, dan Institut Teknologi Bandung tanggal 26 Mei 2015 di Gedung Kemenkes. “Kami mengucapkan terima kasih kepada ketiga universitas ini (UNAND, ITB, UGM) yang telah mempunyai ikatan kerjasama (MoU) pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional dan telah melaksanakan penelitian sebelumnya dan semoga kerjasama ini dapat berlanjut untuk kedepannya. Melalui proses yang telah dilakukan, telah terpilih universitas-universitas yang dipercaya untuk melakukan penelitian dalam rangka penyusunan FHI edisi 2”, ujar LIPUTAN Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si. Pertemuan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama dan Kontrak Kerja Swakelola ini dilaksanakan dalam rangka Pelaksanaan Penelitian/ Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I antara Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dengan 3 (tiga) Fakultas Farmasi yaitu dari Universitas Andalas, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Gajah Mada. Pertemuan ini diikuti oleh 34 peserta, yang terdiri dari 6 peserta dari Universitas Andalas, 8 peserta dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, 3 peserta dari Universitas Gajah Mada, 4 peserta dari Tim Reviewer dan 13 peserta dari undangan dan tim dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Penyempurnaan FHI Edisi I dan Suplemennya dilakukan untuk penyempurnaan: rumus untuk penetapan kadar, perbaikan pola kromatografi, Perubahan metode penetapan kadar flavonoid total dan Standar dinilai terlalu tinggi bagi industri Perjanjian Kerjasama “Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I Paket 1,2,13,15,16” dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si, selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan Prof. Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc, selaku Dekan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Kontrak Kerja Swakelola “Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I Paket 1,2,13,15,16” dibuat dan ditandatangani oleh dan antara: Drs. Riza Sultoni, Apt, MM, selaku Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dan Srimiati, S.Sos, M.Si., selaku Kepala Bagian Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Perjanjian Kerjasama “Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I Paket 5,6,7,11,12,14” dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si, selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Kontrak Kerja Swakelola “Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I Paket 5,6,7,11,12,14” dibuat dan ditandatangani oleh dan antara: Drs. Riza Sultoni, Apt, MM, selaku Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan Dr. Satibi, M.Si., Apt. selaku Pejabat Pembuat Komitmen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Perjanjian Kerjasama “Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I Paket 3,4,8,9,10” dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si, selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan Prof. Dr. Helmi Arifin, MS, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Andalas, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Kontrak Kerja Swakelola “Pengujian Simplisia dan Ekstrak dalam rangka Revisi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I Paket 3,4,8,9,10” dibuat dan ditandatangani oleh dan antara Drs. Riza Sultoni, Apt, MM, selaku Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan Prof. Dr. Helmi Arifin, MS, Apt. selaku Pejabat Pembuat Komitmen Fakultas Farmasi Universitas Andalas, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Foto bersama Direktur Bina Prodis Kefarmasian dengan peserta penandatanganan kerjasama dan kontrak Hal. 17 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 LIPUTAN Apresiasi Kementerian Kesehatan pada Baksos Operasi Katarak di Kepulauan Riau Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M(K), Minggu (31/5/15) memberikan apresiasi dan menyaksikan pemberian piagam penghargaan dari MURI, atas keberhasilan operasi terhadap 320 pasien katarak dalam waktu 10 jam dengan teknik pachoemulsifikasi. Hal. 18 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 P elaksanaan Bakhti Sosial operasi katarak yang diselenggarakan atas kerjasama RS Awal Bros Batam (RSAB), Tim Penggerak PKK Kepulauan Riau dan Persatuan Dokter Ahli Mata Indonesia (Perdami) merupakan prakarsa PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul,Tbk, telah dilaksanakan sebelumnya pada Sabtu (23/5) lalu dan berhasil melakukan operasi katarak mata terhadap 320 pasien dengan melibatkan 25 dokter spesialis dalam waktu 10 jam. Kepala Perwakilan PT Sido Muncul Provinsi Kepulauan Riau, Susanti mengatakan, PT Sido Muncul menyambut baik penghargaan diberikan MURI atas kegiatan yang dilaksanakan bersama RSAB, Perdami dan Tim Penggerak PKK Provinsi Kepri. Ia menjelaskan, operasi katarak di Batam telah dilakanakan dua kali bersama RSAB. Kegiatan pertama tahun 2011 berhasil mengoperasi 182 bola mata dan kali ini sebanyak 328 mata. Sementara, kegiatan CSR operasi katarak gratis yang dilaksanakan Sido Muncul dan Perdami telah berlangsung sejak tahun 2011. Hingga saat ini sebanyak 42.000 mata berhasil dioperasi di 27 provinsi, 200 kabupaten/kota dan di 216 rumah sakit di Indonesia. Dalam menyukseskan kegiatan tersebut, PT Sido Muncul mendapat dukungan dari berbagai pihak LIPUTAN diantaranya Pemerintah Daerah, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,Kementerian Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Mabes TNI, sejumlah Kodam,sejumlah Polda, sejumlah universitas, sejumlah RS dan klinik mata, PBNU, NU FATAYAT, PUKAT/Keuskupan Surabaya, KOWANI,IWAPI, WITT,Pelindo, Yayasan Kick Andy, dan Media Group. Ia mengatakan, Direktur Utama PT Sido Muncul,Tbk, Irwan Hidayat menyatakan sangat senang atas bhakti sosial operasi katarak. Kegiatan pertama pada tahun 2006 silam terdapat 36 orang pasien dan tahun 2014 lalu sebanyak 223 pasien. Sementara tahun 2015 terdaftar sebanyak 500 orang dan setelah di screening hanya 328 orang yang lolos, tiga diantaranya anak-anak. Suksesnya pelaksanaan operasi juga tidak lepas dari kehadiran 22 dokter ahli yang bekerja selama 10 jam. Oleh karena itu, pihaknya sangat berterimakasih, berkat kerjasama penghargaan menjelaskan, MURI memberi apresiasi menyusul kegiatan operasi katarak dilaksanakan dengan teknik pachoemulsifikasi terbanyak yakni sebanyak 320 mata dan dilaksanakan dalam waktu sehari. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepri, Tjetjep Yudiana,SKM,MKes mengatakan bahwa biaya untuk operasi ini cukup mahal bagi masyarakat kurang mampu sehingga pemerintah daerah menyambut baik atas pelaksanaan operasi katarak dukungan dari berbagai pihak. Dengan banyaknya organisasi masyarakat maupun lembaga keagamaan yang berpartisipasi maka semakin banyak warga terbebas dari buta katarak. Direktur RSAB, Widya Putri,MARS mengatakan, bhakti sosial operasi katarak tahun ini sangat istimewa yakni mendapat apreasiasi dari MURI dan penghargaan dari Kementerian Kesehatan terhadap pihak-pihak yang mendukung pembangunan nasional. dr Widya Putri, MARS menjelaskan, tahun ini merupakan tahun ke-9 RSAB melaksanakan yang baik dengan Perdami, PT Sido Muncul, dan Tim Penggerak PKK Provinsi Kepri sehingga dapat berkontribusi mensukseskan program pemerintah dalam pembebasan buta katarak. Acara penyerahaan piagam penghargaan dari MURI, Minggu (31/5) disaksikan langsung Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M(K), di RSAB,Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepri, Tjetjep Yudiana,SKM,MKes, Direktur PT Awal Bros, Ir Arfan Awaloeddin. Perwakilan MURI, Awan Rahargo sebelum menyerahkan piagam dan mengucapkan terimakasih atas partisipasi yang luar biasa dari pihak swasta dalam upaya pembebasan buta katarak di Kepri. Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M(K), mengaku sangat bangga atas kerjasama yang baik antara PT Sido Muncul, RSAB, Perdami dan Tim Penggerak PKK Kepri sehingga dapat menyelenggarakan operasi katarak gratis. ” Saya berharap kegiatan ini dapat menginspirasi lembaga dan organisasi profesi lain untuk turut mengambil peran dalam Hal. 19 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 LIPUTAN pembangunan di bidang kesehatan,” ujar Menkes. Menkes yang juga merupakan Dokter spesialis mata dan ketua Perdami menjelaskan dengan gambling “Operasi katarak yang dilakukan pada kegiatan bakti sosial ini, dengan menggunakan tehnik “Fakoemulsifikasi” atau awam mengatakan tehnik laser. Dengan tehnik ini, waktu operasi lebih singkat, luka irisan operasi sangat kecil, dan tidak perlu dijahit, sehingga penyembuhan lebih cepat, dan risiko infeksi kecil dan lensa yang digunakan adalah lensa foldable intra oculer (lensa tanam lipat),” Ia mengatakan, pemerintah dengan dukungan masyarakat terus berupaya mengatasi masalah kesehatan yang bermutu diperkuat dengan jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi masyarakat miskin termasuk untuk operasi katarak. Apresiasi Kementerian Kesehatan sebelumnya adalah penyelenggaraan kegiatan Bakti Sosial Operasi Katarak Hal. 20 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 terhadap 40.000 Mata yang dilakukan bersama oleh RSPAD Gatot Subroto pada (19/11/14) lalu. Menkes menjelaskan bahwa di Indonesia, diperlukan operasi katarak untuk 240.000 orang setiap tahunnya. Rata-rata operasi katarak yang dilakukan baru mencapai 170.000 orang/tahun. Ini berarti, terdapat kesenjangan sekitar 70.000 penderita katarak yang belum dioperasi, dan setiap tahun akan meningkat. “Kesenjangan ini terkait dengan luasnya wilayah dan kondisi geografi Indonesia, dan masih terbatasnya pemahaman sebagian besar penduduk Indonesia bahwa ada kebutaan yang dapat diobati”, tutur Menkes. Pemerintah dengan dukungan masyarakat, berupaya mengatasi masalah ini dengan meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu, melalui penyiapan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan baik di Puskesmas maupun Rumah Sakit. Upaya ini diperkuat dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi masyarakat miskin, termasuk untuk pelayanan operasi katarak. Pelayanan kesehatan indera penglihatan diselenggarakan mulai dari pelayanan kesehatan primer di Puskesmas dan pelayanan rujukan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) serta di rumah sakit. Tetapi tidak lupa Menkes mengajak seluruh masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat menjaga selalu kebersihan agar mengurangi risiko bagi yang belum terkena, dan yang telah menjalani operasi agar Bahkan, pemerintah Indonesia telah menyusun rencana strategi nasional penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan. Upaya ini sejalan dengan komitmen global vision 2020 yang dicanangkan WHO, bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk dapat melihat secara optimal pada tahun 2020. humasinfar-RD LIPUTAN LINDUNGI MASYARAKAT DARI Kontak Lens Ilegal O perasi gabungan Kementerian Kesehatan, Interpol, Bareskrim Polri, dan Dirjen Bea Cukai menyita ratusan ribu pasang lensa kontak ilegal senilai lebih dari Rp10 miliar di sebuah gudang di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tim Inspeksi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI bekerjasama dengan BPOM dan POLRI telah melakukan penindakan peredaran produk ilegal secara online, khusus ke sumber peredaran lensa kontak ilegal di salah satu wilayah di Jakarta Pusat (10/6). Lokasi ini merupakan sumber peredaran lensa kontak ilegal ke seluruh Indonesia. Dari hasil penindakan, ditemukan 212.000 pasang lensa kontak ilegal yang dikemas dalam 303 box. Selain itu ditemukan juga proses pengemasan ilegal yang melanggar Permenkes No.1189/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Produksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Polri telah menarik semua barang bukti dan disimpan di gudang Kemenkes untuk selanjutnya dimusnahkan setelah selesai pemeriksaan. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D menegaskan bahwa kemasan lensa kontak ilegal ini sangat tidak steril dan tidak memiliki izin edar di Indonesia. Padahal untuk setiap pendistribusian alat kesehatan harus memiliki ijin yang terdaftar di Kementerian Kesehatan RI sebelum didistribusikan ke masyarakat. Selain itu, pengimpor juga harus mengantongi ijin sebagai distributor. Dirjen Binfar dan Alkes mengimbau kepada masyarakat untuk lebih hatihati dalam membeli alat kesehatan. Jangan tergiur dengan harga murah. “Suatu produk kesehatan seperti lensa kontak harus terjamin keamanan, mutu, dan manfaatnya. Belilah di optik yang berizin dan senantiasa mengkonsultasikan ke tenaga kesehatan sebelum menggunakannya”, tambah Maura. Untuk mencegah lebih banyak beredarnya alat kesehatan ilegal di Indonesia, Kementerian Kesehatan berupaya melakukan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat agar terlindung dari produk kesehatan tanpa izin. Kemenkes konsisten melakukan pengawasan produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan”, tegas Dirjen Binfar dan Alkes. Masyarakat dapat melihat produk alat kesehatan apa saja yang sudah memiliki izin edar dengan mengakses www.infoalkes.depkes.go.id dan memeriksa nomor izin distribusi. Jika tidak tertera di situs itu, maka produk tersebut ilegal dan dapat dilaporkan. Hal ini sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106 ayat 1 yaitu Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Dirjen Binfar dan Alkes menegaskan bahwa temuan Hal. 21 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 LIPUTAN lensa kontak tanpa izin ini masih dalam proses pendalaman untuk mengetahui secara lanjut asal usul serta seberapa besar distribusinya di masyarakat Indonesia mengingat perusahaan pengimpor alat kesehatan ini sudah beroperasi selama lebih dari tiga tahun. Menurut Dirjen Binfar dan Alkes, harga eceran sepasang lensa kontak ini di pasaran terhitung murah sekitar Rp40.000, sedangkan harga untuk distribusinya hanya sekitar Rp30.000. Ibu Dirjen menambahkan bahwa untuk setiap pendistribusian alat kesehatan harus memiliki izin yang terdaftar di Kemenkes sebelum didistribusikan ke masyarakat, selain itu perusahaan pengimpor juga harus mengantongi lisensi distribusi. Guna melindungi masyarakat, Tim Inspeksi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI bersama dengan Satgas Penegakan Hukum Pemberantasan Obat dan Makanan Ilegal secara rutin melakukan penindakan terhadap produk ilegal. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan dengan nama Operasi Pangea VIII tahun 2015. Dengan kegiatan ini, diharapkan masyarakat akan lebih terlindungi kesehatannya dari produk-produk yang belum terjamin keamanannya sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 104 ayat 1 yaitu Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/ atau keamanan dan/atau khasiat/ kemanfaatan. OPERASI PANGEA VIII 2015 PEMUSNAHAN Obat, Kosmetik, dan Alat Kesehatan Ilegal B adan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memusnahkan obat dan makanan ilegal yang ditemukan selama Operasi Pangea VIII. Target Operasi Pangea VIII selain obat, obat tradisional, kosmetik Hal. 22 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 dan suplemen kesehatan ilegal termasuk palsu, juga termasuk target prioritas khusus yaitu alat kesehatan ilegal termasuk palsu. Operasi ini sudah dilakukan secara aktif oleh BPOM sejak 2011 silam. LIPUTAN Dirjen Binfar dan Alkes memusnahkan obat, kosmetik, dan alat kesehatan ilegal “Semuanya ada 3,4 juta kemasan dengan nilai ekonomi keseluruhan Rp 27 miliar terdiri dari Rp 16,6 miliar farmasi dan sisanya nilai ekonomis alat kesehatan,” kata Kepala BPOM Roy Sparringa di lapangan kantor BPOM Jl Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Kamis (25/6/2015). Obat dan alat kesehatan ilegal ini berasal dari 32 perwakilan BPOM di Indonesia. Tangkapan BPOM tak sebatas obat dan makanan, namun juga sejumlah produk ilegal. “Tak hanya obat biasa, juga obat tradisional, suplemen kesehatan serta alat kecantikan. Macam-macam juga kasusnya. Ada yang tanpa izin edar, ada yang kadaluarsa, ada yang ditambah-tambahkan dosisnya,” jelas Kepala BPOM. Pemeriksaan dilakukan terhadap 69 sarana yang terdiri dari 66 sarana produksi atau distribusi sediaan farmasi, 1 sarana distribusi alat kesehatan dan 2 postal hub yaitu Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai Tipe Pratama Kantor Pos Pasar Baru serta Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Soekarno Hatta. Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dalam membeli lensa kontak. Hal ini disampaikan Maura menyusul temuan ratusan ribu pasang lensa kontak ilegal atau tanpa izin edar di sebuah gudang di Pasar Baru, Jakarta Pusat, belum lama ini. Menurut Ibu Dirjen, lensa kontak ilegal lebih berisiko merusak mata karena bahan-bahan yang terkandung di dalamnya belum teruji di laboratorium seperti halnya lensa kontak yang telah memiliki izin edar. “Karena langsung bersentuhan dengan mata, tentunya lensa kontak ini harus diuji dulu di laboratorium, apakah bahan-bahannya aman atau tidak. Sementara barangbarang ilegal tidak melalui tahapan itu dan langsung dijual di pasaran. Jadi keamanannya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Ibu Dirjen. Temuan lensa kontak di Pasar Baru juga menunjukkan kemasan alat kesehatan tersebut tidak steril, sehingga bisa membahayakan kesehatan mata. Ibu Dirjen menambahkan, kalau ingin beli lensa kontak, sebaiknya di tempattempat resmi seperti di optik. Karena lensa kontak ilegal itu lebih berisiko mengiritasi mata. Pemusnahan secara simbolis Hal. 23 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 LIPUTAN dilakukan di kantor BPOM Jalan Percetakan Negara Kamis petang dipimpin langsung Kepala BPOM Roy Sparingga. Sedang sisanya dibawa ke TPA Karawang untuk segera dimusnakan. Dalam keterangan persnya Kepala BPOM mengatakan bahwa peredaran produk obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetika dan pangan ilegal secara online semakin marak seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan pemanfaatan internet. Pada Operasi Pangea VIII ini, tim gabungan berhasil mengidentifikasi 216 situs internet yang memasarkan obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, dan kosmetika ilegal termasuk palsu. Temuan lainnya adalah 26 situs internet yang memasarkan obat yang disalahgunakan sebagai penggugur kandungan dan 51 situs internet yang memasarkan alat kesehatan (lensa kontak) ilegal. Badan POM juga berhasil mengungkap kegiatan pelaku yang telah melakukan tindakan kriminal dengan cara mengubah tanggal kedaluwarsa pada obat legal yang telah kedaluwarsa. Bahkan pelaku mengubah dosis bahan aktif obat legal pada kemasan, kemudian mendistribusikan produk tersebut ke sarana farmasi legal untuk dijual kembali. “Ini merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Karena, produk yang dijual secara online seringkali tidak jelas sumbernya, sehingga tidak dapat dijamin keamanan, khasiat/manfaat, dan mutunya,” kata Kepala BPOM. P Dirjen Binfar dan Alkes memeriksa kontak lens ilegal Pertemuan Pembinaan Perbendaharaan Tahun Anggaran 2015 engelolaan keuangan Negara yang dilakukan secara tertib, efisien, efektif, ekonomis, transparan, bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan, serta taat pada perundang – undangan merupakan sebuah keharusan. Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip – prinsip tepat waktu dan disusun sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam Hal. 24 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 bidang keuangan, diawali dengan penatausahaan seluruh penerimaan dan pengeluaran yang menjadi tanggungjawab bendahara pada satuan kerja masing – masing. Dalam rangka mendukung proses pengelolaan keuangan Negara, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan saat ini telah mengembangkan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN). SPAN adalah sebuah sistem yang dirancang dengan mengintegrasikan proses penganggaran, pelaksanaan dan pelaporan keuangan Negara sehingga diperoleh laporan LIPUTAN Inspektur Jenderal memberikan pengarahan keuangan yang akurat, akuntabel dan transparan. SPAN direncanakan akan menggantikan seluruh sistem yang digunakan untuk mendukung pengelolaan Keuangan Negara. Menilik pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-3/PB/2014 tentang Petunjuk Teknis Penatausahaan, Pembukuan dan Pertanggungjawaban Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola APBN serta verifikasi laporan pertanggungjawaban Bendahara, mencakup teknis pembukuan bendahara, format berita acara dan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara, rekonsiliasi internal satker, penyusunan dan verifikasi LPJ Bendahara menjadi acuan pelaksanaan penatausahaan bendahara. Disamping itu, kita juga mengenal Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai acuan tugas dan wewenang PPK, PPSPM dan Bendahara Pengeluaran. Yang perlu mendapat perhatian juga adalah peraturan-peraturan yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang telah mengalami beberapa kali perubahan dengan perubahan terakhir melalui Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2015. Untuk menghasilkan proses pengelolaan keuangan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan harus diawali dengan pembenahan pada tingkat satker. Untuk itu pada Pertemuan Pembinaan Perbendaharaan ini akan dilakukan pembahasan mengenai kebijakan Kementerian Kesehatan dalam pelaksanaan anggaran tahun 2015, evaluasi terhadap pelaksanaan SPAN dan evaluasi pelaksanaan aplikasi Sistem Laporan Bendahara Instansi (SILABI). Untuk itu, dilaksanakan Pertemuan Pembinaan Perbendaharaan Tahun Anggaran 2015 di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada tanggal 20 sampai dengan 21 Mei 2015 yang bertempat di Mess Aceh, Menteng, Jakarta Pusat. Acara yang dibuka oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D ini dihadiri peserta yang terdiri dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM) dan Bendahara Pengeluaran (DP) dari seluruh Satuan Kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; dan beberapa narasumber yang memaparkan materi, salah satunya adalah Inspektur Jenderal, Drs. Purwadi, Apt, MM.ME yang menyempatkan diri untuk hadir memberikan paparan mengenai feed back hasil pemeriksaan aparat pengawas fungsional terhadap Ditjen Binfar dan Alkes (Satker Pusat dan Daerah). Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan berharap kepada seluruh Satker di lingkungan Ditjen Binfar dan Alkes baik Satker Pusat maupun Satker Daerah (DK-07) di masing-masing wilayah dapat terus meningkatkan sinergisitas dan harmonisasi yang telah dibina selama ini, sehingga harapan untuk mempertahankan WTP di tahun-tahun yang akan datang dapat terwujud. Hal. 25 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 LIPUTAN Peningkatan Kapasitas bidang Farmakoekonomi melalui ISPOR Oleh : Erie Gusnellyanti, Apt, MKM Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan berkesempatan untuk hadir dan memberikan presentasi dalam pertemuan International Society for Pharmacoeconomic and Outcome Research (ISPOR) di tingkat internasional tahun ini. Pertemuan yang diadakan pada tanggal 16 – 20 Mei 2015 di Philadelphia, USA, mengambil tema “Integrating Big Data, Patient Data, and Cost Effectiveness into Clinical Practice: Promise and Prospects”. Pertemuan ini bersamaan dengan peringatan 20 tahun berdirinya ISPOR. Hal. 26 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 P ada kesempatan ini, mewakili Indonesia adalah Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Drs. Bayu Teja Mulyawan, Apt, M.Pharm. Beliau menyampaikan presentasi pada sesi yang difasilitasi oleh ISPOR Asia Consortium dengan topik “Managing Costs and Improving Quality of Health Care in ASEAN”. Presentasi tersebut terkait pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan khususnya terkait obat di Indonesia. Narasumber lainnya terdiri dari perwakilan negara ASEAN yaitu Malaysia, Thailand, Singapura dan Vietnam. Farmakoekonomi dalam Pelayanan Kesehatan Dalam pemilihan obat yang berdasarkan bukti ilmiah (evidence based medicines), faktor efikasi dan keamanan LIPUTAN (safety dan efficacy) merupakan salah satu pertimbangan yang utama. Namun karena terbatasnya anggaran kesehatan, terutama dalam sistem jaminan kesehatan, pertimbangan ekonomi menjadi sangat penting. Dengan diterapkannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia sejak tahun 2014, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat, menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Untuk itu Farmakoekonomi menjadi sangat penting dalam upaya pengendalian mutu dan biaya obat, terutama dalam sistem jaminan kesehatan. Selain itu juga dalam proses pemilihan dan penggunaan obat penggunaannya. Farmakoekonomi juga terkait dengan aspek klinis, ekonomi, dan kemanusiaan pada intervensi pelayanan kesehatan, sering digambarkan sebagai model ECHO (economic, clinical, humanistic outcome), dalam pencegahan, diagnosa, pengobatan dan manajemen penyakit. Ilmu farmakoekonomi telah berkembang dengan pesat di berbagai negara termasuk di AsiaPasifik. Data farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, terutama sebagai bukti pendukung dalam pengambilan keputusan obat apa saja yang akan digunakan dalam jaminan, di fasilitas kesehatan, misalnya dalam Formularium Nasional atau Formularium Rumah Sakit. Farmakoekonomi didefinisikan sebagai ilmu yang menggambarkan perbandingan antara biaya (cost) dari suatu obat dengan luaran (outcome) yang dihasilkan. Farmakoekonomi juga dapat digambarkan sebagai bidang studi yang melakukan evaluasi perilaku atau kesejahteraan individu, perusahaan dan pasar, yang relevan dengan penggunaan produk farmasi, pelayanan, dan program. Fokusnya terutama pada biaya (input) dan konsekuensi (outcome) dari dimasukkan dalam formularium/ daftar obat esensial atau untuk persetujuan obat baru. Sedangkan di Indonesia, ilmu ini masih baru berkembang, sehingga penerapannya belum banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan penggunaan obat. Kajian farmakoekonomi di Indonesia saat ini sangat dibutuhkan untuk menyediakan data ilmiah dalam proses seleksi obat Formularium. Saat ini telah ada organisasi di tingkat internasional yang mewadahi para peneliti, ilmuwan, pengambil kebijakan, industri farmasi, lembaga penelitian, serta peminat lainnya di bidang farmakoekonomi. Organisasi yang semula diberi nama APOR (Association of Pharmacoenomic and Outcome Research, sekarang telah diubah menjadi International Society for Pharmacoeconomic and Outcome Research (ISPOR). International Society for Pharmacoeconomic and Outcome Research (ISPOR) ISPOR adalah organisasi internasional yang mempromosikan ilmu farmakoekonomi (ekonomi kesehatan) dan riset outcome (disiplin ilmu yang mengevaluasi efek dari intervensi kesehatan termasuk klinis, ekonomi, dan patient centered outcome). ISPOR berdiri sejak 1995 sebagai organisasi publik non-profit untuk tujuan edukasi dan ilmiah, memiliki 8.700 anggota dari 115 negara dan ISPOR Regional Chapter dari 73 negara, termasuk Indonesia. ISPOR memfasilitasi penterjemahan riset tersebut menjadi informasi yang berguna bagi pengambil keputusan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas dan pemerataan pelayanan untuk peningkatan kesehatan. Sarana komunikasi yang digunakan ISPOR terutama melalui website : www. ISPOR.org, dapat diakses secara bebas oleh publik. Melalui website tersebut, dapat diperoleh informasi yang lengkap dan valid terkait perkembangan farmakoekonomi di seluruh dunia. Untuk pengembangan farmakoekonomi dan peningkatan kapasitas, beberapa kegiatan difasilitasi oleh ISPOR meliputi : a. Edukasi berupa Short Course, Distance Learning Program, Educational Webinars, video edukasi, dan lain-lain. b. Publikasi melalui 3 jurnal yaitu Value in Health, Value in Health Regional Issues dan Value & Outcome Spotlight. Selain itu ISPOR juga menerbitkan berbagai bulletin. c. Pertemuan rutin yaitu setiap tahun di America Utara, Eropa dan Amerika Latin. Sedangkan di AsiaHal. 27 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 LIPUTAN Pasifik setiap dua tahun. d. Mengembangkan berbagai tools baik untuk menjadi acuan bagi peneliti maupun decision makers. ISPOR 20th Annual International Meeting Sebagai wadah komunikasi dan transformasi informasi bagi berbagai pihak yang menggeluti bidang Farmakoekonomi, ISPOR melakukan pertemuan secara rutin dengan mengundang peserta dari semua negara. Pertemuan diadakan secara rutin di tingkat internasional setiap tahun (Annual International Meeting), di tingkat Eropa (Annual European Congress), di tingkat Amerika Latin (Latin America Conference) dan setiap dua tahun di tingkat Asia Pasifik (Asia Pacific Conference). Pada tahun ini, Annual International Meeting diadakan di Philadelphia, Amerika Serikat, tanggal 16 – 20 Mei 2015. “ISPOR senang untuk menyambut lebih dari 3700 peserta, mewakili 78 negara, dari penelitian, akademisi, pembuat kebijakan, pembayar dan kelompok pasien. Kualitas konten pertemuan dan diskusi, networking, dan kolaborasi yang terkait dengan pertemuan global ini mendorong terjadinya debat dalam diskusi dan membantu membangun konsensus,” kata Nancy Presentasi poster hasil penelitian Farmakoekonomi dari seluruh dunia Hal. 28 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 7. Risk Sharing/Performance-Based Arrangement for Drugs and Other Medical Products S. Berg, CEO dan Direktur Eksekutif ISPOR. Pada pertemuan tersebut, dipresentasikan berbagai hasil studi dan kebijakan terkait Farmakoekonomi dan Riset Outcome melalui sesi pleno, panel isu, simposium, dan workshop. Berbagai hasil penelitian juga disajikan dalam bentuk presentasi poster. Pada sesi pleno, topik yang dibahas adalah: 1. Taking Stock of The Learning Health Care System: What Have We Achieved and Why Does It Matter? 2. Cost-Effectiveness and Clinical Practice Guidelines: Have We Reached A Tipping Point? 3. Big Data, Big Systems, and Better Evidence: What Progress? Selain itu juga diadakan short course dengan berbagai topik, antara lain: 1. Introduction to Pharmacoeconomics 2. Introduction to Database Analysis of Observational Studies 3. Elements of Pharmaceutical/Biotech Pricing I – Introduction 4. Case Studies in Pharmaceutical/ Biotech Pricing II – Advanced 5. Meta-Analysis and Systematic Reviews in Comparative Effectiveness Research 6. Cost-Effectiveness Analysis Alongside Clinical Trials The ISPOR 2015 “Scientific Achievement Awards” diumumkan pada hari kedua pertemuan yaitu Selasa, 19 Mei 2015. ISPOR Awards Program ini dirancang untuk mendorong dan mengakui keunggulan dan prestasi teknis yang luar biasa di bidang farmakoekonomi/ekonomi kesehatan dan penelitian outcome. Selain prestasi ilmiah, juga disampaikan penghargaan ISPOR untuk prestasi seumur hidup dan penghargaan kepemimpinan untuk orang-orang yang telah memajukan disiplin ilmu ini di lapangan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain mendapatkan berbagai pengetahuan dan informasi tentang farmakoekonomi di seluruh dunia, pada pertemuan ini juga dapat dibangun jejaring komunikasi dengan berbagai pihak yang terlibat dalam bidang farmakoekonomi dari berbagai negara. Hal ini penting dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dalam upaya peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan program di bidang farmakoekonomi di Indonesia. (EgN) Adrian Towse, MA, MPhil, president ISPOR saat ini, pada pembukaan ISPOR 20th Annual International Meeting ARTIKEL Seberapa Seringkah Kita Tertipu Klaim (Khasiat)? Oleh: Muhammad Zulfikar Biruni, Apt. Klaim (n): pernyataan tentang suatu fakta atau kebenaran sesuatu. (Kamus Besar Bahasa Indonesia) P ernahkan anda melihat atau bahkan menggunakan: • Produk pangan yang diklaim dapat mengobati penyakit? • Produk makanan/minuman yang diklaim dapat memutihkan kulit dan digunakan seperti kosmetik (dipakai sebagai masker, dan sebagainya) bahkan digunakan berdasarkan dosis? • Produk air dalam kemasan yang diklaim dapat menyeimbangkan pH (derajat keasaman) tubuh, menyebabkan organ tubuh bekerja baik dan mencegah penuaan dini? • Produk obat tradisional yang diklaim dapat menyembuhkan? • Produk yang dipromosikan melalui testimoni dengan tanpa mengindahkan klaim pada penandaan produk (label/etiket) lalu diklaim menyembuhkan? • Produk yang bertuliskan “Sudah dipakai oleh ratusan/ribuan dokter/paramedis/dukun”? • Produk yang tidak memiliki nomor izin edar, produk dengan izin edar DEPKES RI, tidak memiliki alamat perusahaan/pabrik yang jelas, tidak ada tanggal produksi dan batas kadaluarsa namun tetap dipromosikan? • Produk yang bertuliskan “Hanya untuk kalangan sendiri”? Saat ini banyak sekali produk baik pangan maupun farmasi yang beredarkan di Indonesia yang diiklankan/dipromosikan dengan tidak berimbang, berlebihan, dan melenceng jauh dari klaim yang diajukan pada saat proses registrasi di Badan POM. Konsumen disuguhkan dengan informasi klaim yang tidak didasarkan hasil penelitian dan pengujian baik pengujian farmakologi, praklinik, maupun klinik namun seringkali hanya berdasar pada testimoni. Hal ini terutama banyak terjadi pada produk-produk yang dipasarkan melalui metode penjualan langsung maupun produk perusahaan multilevel marketing (MLM) yang dipasarkan melalui mitra usaha/downline. Nampaknya di Indonesia, seringkali testimoni produk lebih dipercaya sebagai klaim khasiat dibanding label/etiket produk itu sendiri. Sistem pemasaran mouthto-mouth seringkali membuat sales produk meledak dengan omzet luar biasa dan menyebar sampai ke pelosok negeri. Masyarakat sering lebih percaya pada katakata testimoni dan foto-foto yang memperlihatkan kondisi konsumen pada sebelum dan sesudah memakai produk (yang biasanya terlihat sangat berbeda), seolah-olah produk yang seharusnya berfungsi hanya sebagai makanan/minuman/obat tradisional/suplemen, kemudian dipercaya menjadi produk yang dapat mengobati, dapat menyembuhkan, membuat cantik, memutihkan kulit, dan klaim-klaim lain yang jauh dari klaim yang disetujui pada permohonan izin edar Badan POM. Acuan Peraturan PerundangUndangan Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008 tentang Registrasi Obat dinyatakan dengan jelas “Penandaan adalah keterangan yang lengkap mengenai khasiat, keamanan, cara penggunaannya serta informasi lain yang dianggap perlu yang dicantumkan pada etiket, brosur dan kemasan primer dan sekunder Hal. 29 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 ARTIKEL yang disertakan pada obat”. Merujuk pada peraturan tersebut, maka tidak dibenarkan produk selain obat diklaim berkhasiat menyembuhkan/ mengobati. Selain itu mengacu pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan dinyatakan dengan jelas “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk Bahan Tambahan Pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”. Peraturan tersebut sesungguhnya bertujuan agar konsumen terlindungi dari pangan yang tidak layak, tidak aman, dan dipalsukan. Jadi, pangan olahan yang beredar tidak boleh melenceng dari data yang disetujui pada waktu memperoleh surat persetujuan pendaftaran (registrasi) atau persetujuan perubahan data. Merujuk pada Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK. 00.05.4.2411 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, telah jelas dicantumkan mengenai tatacara klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat obat bahan alam. Status jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka jelas berbeda satu sama lain dan diklaim spesifik sesuai dengan tingkat pembuktian dan data dukung penelitiannya. Mari kita tinjau beberapa regulasi lain terkait klaim khasiat: 1. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen antara lain disebutkan bahwa (Pasal 8) pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan Hal. 30 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015 informasi secara lengkap dan benar; (Pasal 10) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai (b) kegunaan suatu barang dan/ atau jasa; (e) bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, informasi produk termasuk klaim khasiat harus disampaikan dengan lengkap, benar, dan tidak menyesatkan, yaitu didukung dengan bukti klinis yang lengkap dan valid. 2. Merujuk pada Permenkes 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan: Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Dan MakananMinuman, Iklan sediaan farmasi (sediaan farmasi adalah obat, obat tradisional dan kosmetika - “UU Nomor 36 Tahun 2009”) harus (1) objektif yaitu menyatakan hal yang benar sesuai dengan kenyataan, (2) tidak menyesatkan artinya tidak berlebihan perihal asal, sifat, kualitas, kuantitas, komposisi, kegunaan, keamanan dan batasan sebagai sediaan farmasi tertentu (obat, obat tradisional, dan kosmetika), dan (3) lengkap yaitu tidak hanya mencantumkan informasi tentang kegunaan dan cara penggunaan tetapi juga memberikan informasi tentang peringatan dan hal-hal lain yang harus diperhatian oleh pemakai. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi konsumen untuk cerdas memastikan kebenaran klaim khasiat sediaan farmasi yang dipakainya. 3. Merujuk pada Permenkes Nomor 1010 Tahun 2008 tentang Registrasi Obat, bilamana suatu produk diklaim menimbulkan khasiat secara klinis, maka produk harus didaftarkan sebagai obat. Beberapa suplemen kesehatan walaupun dapat memberikan efek fisiologi, namun tidak untuk ditujukan untuk menyembuhkan atau mengobati. Beberapa suplemen kesehatan seringkali diklaim dapat menyembuhkan dan mengobati, termasuk menghilangkan gejala penyakit, dipromosikan berlebihan, dipromosikan melalui cara sayembara/kuis terbuka yang menjanjikan hadiah/produk/jasa lain, bahkan disarankan untuk digunakan konsumen yang tidak membutuhkan. Kadang konsumen pun tertipu, alih-alih memenuhi kebutuhan yang telah tercukupi dari makanan, kita mengkonsumsi suplemen tanpa aturan. Kita telah tertipu informasi atas klaim khasiat. 4. Suplemen makanan dan produk pangan baik pangan segar maupun pangan olahan sesunguhnya tidak diformulasikan untuk menimbulkan khasiat secara klinis. Beberapa makanan malah klaim promosinya tidak sesuai penandaan dan fungsi produk seperti pada beberapa produk “makanan-kosmetik” seperti produk glucogen yang saat ini sedang booming. Dalam kemasan tercantum bahwa produk ialah makanan (registrasi MD), namun diklaim pada promosi di lapangan oleh para “agen/mitra” dapat mencerahkan kulit, detoksifikasi racun, dan sebagainya. Terdapat cara pemakaian pada kemasan produk, namun seringkali dalam kenyataannya “agen/mitra” menginstruksikan konsumen untuk mengkonsumsi produk dengan dosis dan takaran seperti seolah-olah merupakan obat. Merujuk pada pedoman periklanan makanan-minuman, iklan makanan tidak boleh dimuat dengan ilustrasi peragaan maupun kata-kata yang berlebihan, sehingga dapat menyesatkan konsumen. Selain itu, iklan makanan tidak boleh menjurus ke pendapat bahwa makanan yang bersangkutan berkhasiat sebagai obat. Jika kita pernah memakai ARTIKEL suatu produk makanan yang diklaim berkhasiat mengobati, mungkin saat itu kita telah tertipu. 5. Klaim khasiat harus dapat dibuktikan secara klinis, dengan data dukung hasil uji preklinis maupun uji klinis, bukan dengan testimoni. Produk air dalam kemasan/air alkali/air beroksigen yang diklaim dapat menyeimbangkan pH tubuh, menyebabkan organ tubuh bekerja baik dan mencegah penuaan dini harus didukung hasil uji klinis yang mengkorelasikan pH atau kadar oksigen dengan parameter-parameter dermatologis seperti kadar kolagen dan elastin di kulit, dan sebagainya. Beberapa referensi telaah dan pembahasan tentang air alkali (pH basa) ataupun air beroksigen secara farmakologis dapat banyak ditemukan, dan tidak ada satu pun membuktikan klaim khasiatnya. Bila kita tidak cermat terhadap klaim khasiat ini, mungkin juga kita bisa tertipu. 6. Klaim obat tradisional ialah “membantu” penyembuhan atau suatu indikasi yang “moderate”. Kembali merujuk pada Permenkes 386 Tahun 1994, Iklan atau promosi obat tradisional tidak boleh menggunakan kata-kata: super, ultra, istimewa, top, tokcer, cespleng, manjur dan katakata lain yang semakna yang menyatakan khasiat dan kegunaan berlebihan atau memberi janji bahwa obat tradisional tersebut pasti menyembuhkan. Dilarang mengiklankan obat tradisional yang dinyatakan berkhasiat untuk mengobati atau mencegah penyakit bahkan iklan obat tradisonal tidak boleh memuat pernyataan kesembuhan dari seseorang, anjuran atau rekomendasi dari profesi kesehatan, peneliti, sesepuh, pakar, panutan dan lain sebagainya. Ironi memang, seringkali kita mengkonsumsi obat tradisional yang diklaim menyembuhkan, kita lebih percaya testimoni dan promosi berlebihan, kita lebih senang tersugesti tanpa sadar telah tertipu. Ancaman Produk yang Melanggar Aturan Berdasarkan peraturan tentang Registrasi Obat, nomor registrasi produk baik obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, produk pangan terikat pada produk itu sendiri. Segala pelanggaran dapat mengarah pada pencabutan nomor izin edar yang berdampak penarikan produk dari peredaran, tidak peduli dengan sistem distribusi penjualan langsung (MLM) maupun penjualan bertingkat (melalui distributor/agen). Produk tanpa izin edar berarti produk tersebut ilegal. Peredaran produk ilegal diancam pidana terhadap produsen maupun pelaku usaha. Pentingnya Pengawasan Promosi dan Peningkatan Awareness Produk Pengawasan promosi dan peredaran sediaan farmasi (sediaan farmasi adalah obat, obat tradisional dan kosmetika), suplemen kesehatan, suplemen pangan, dan produk pangan, multak dilakukan semua pihak baik pemerintah, pelaku usaha, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri. Pengendalian promosi dan iklan perlu didukung payung peraturan yang komprehensif dan implemented. Kemenkes, Badan POM, industri dan asosiasi industri/pengusaha, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan YLKI harus bersinergi dan tegas untuk menertibkan produk-produk yang menyalahi peraturan dan kaidah periklanan/promosi. Selain itu, sosialisasi dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat oleh para profesi kesehatan, tentang aturan promosi dan korelasinya dengan klaim khasiat produk harus semakin gencar dilaksanakan. Perlindungan konsumen harus dikuatkan dengan didukung pendidikan kesehatan dan awareness produk demi membentuk masyarakat yang cerdas dan paham tentang kesehatan termasuk produk-produk kesehatan/pangan. Konsumen tertipu seringkali karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang produk. Akhir kata, keseluruh upaya tersebut harus kita laksanakan dengan segenap hati, demi mencapai masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. INFORMASI MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN INFORMASI SALAH MAKA PENGAMBILAN KEPUTUSAN SALAH DALAM TERAPI ANTARA KESEMBUHAN ATAU KE-TIDAK-SEMBUHAN DALAM FARMASI ANTARA PENGOBATAN RASIONAL ATAU IRASIONAL BER-BISNIS HARUS BER-ETIKA Hal. 31 l Buletin INFARKES Edisi III - Mei 2015