Draft Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014
Transcription
Draft Buletin Infarkes Edisi IV Agustus 2014
Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan EVALUASI IMPLEMENTASI PEDOMAN DAN STANDAR “Penggunaan obat yang mengacu pada Fornas akan meningkatkan efisiensi biaya obat dan pada akhirnya akan berdampak pada efisiensi biaya pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Untuk mengoptimalkan implementasi dari pedoman dan standar dalam penggunaan obat, agar mencapai tujuan penetapannya, diperlukan upaya untuk melakukan sosialisasi dan advokasi kepada dokter/penulis resep di fasilitas pelayanan kesehatan dan Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit, agar pedoman dan standar penggunaan obat tersebut dapat diterapkan secara optimal” demikian disampaikan oleh Kasubdit Standardisasi dr. Zorni Fadia ketika membacakan sambutan pembukaan Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian pada kegiatan Evaluasi Implementasi Pedoman Dan Standar Di Provinsi Sulawesi Tengah yang diselenggarakan pada tanggal 2 s.d 4 Juli 2014 di Hotel Santika Palu, Sulawesi Tengah. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan data evaluasi dalam penerapan pedoman dan standar kepada dokter penulis resep (prescriber) dan tenaga kefarmasian di Rumah Sakit dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional. Pelayanan kesehatan saat ini memiliki paradigma baru yaitu menempatkan pasien sebagai fokus pelayanan. Obat merupakan bagian penting dari pelayanan kesehatan. Biaya obat umumnya mencapai 3040% dari total biaya pelayanan kesehatan dan cenderung untuk terus meningkat. Oleh karena itu diperlukan pemilihan dan penggunaan obat yang efektif dan efisien. Konsep obat esensial merupakan pendekatan yang telah terbukti paling bermanfaat untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. Konsep ini diwujudkan dengan penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas). Fornas adalah daftar obat terpilih yang dibutuhkan dengan mempertimbangkan rasio manfaat terhadap risiko maupun manfaat terhadap biaya. Manfaat jaminan diberikan kepada peserta JKN dalam bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan kebutuhan medis sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang paripurna kepada pesertanya, bukan hanya pelayanan obat yang sesuai dengan kebutuhan. Hasil Kesimpulan: 1. Mengetahui informasi tentang Formularium Nasional (Fornas): 90,32% 2. Menggunakan e-catalog obat dalam penyediaan obat: 90%, - 10% masih pembelian langsung secara manual. - (Puskesmas memperoleh obat dari Dinas Kesehatan Kabupaten) 3. Kendala dalam pemanfaatan ecatalog (77,4%) antara lain: - masih banyak obat belum ada dalam e-katalog - beberapa obat belum ada distributornya - sistem pembelian obat yang tidak mudah Hal.03 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan 4. 5. 6. 7. - waktu pengiriman lama/ obat datang terlambat - sulit koneksi jaringan - petugas belum dilatih khusus - belum tersedia obat generik dalam Fornas - ada pabrikan yang tidak bisa memberikan harga sesuai e-catalog Masalah dalam ketersediaan item obat yang tercantum dalam Fornas: - kosong distributor (5 item obat) yaitu: diazepam injeksi, efedrin, kodein, ergotamin, sukralfat - stok kurang (3 item obat) yaitu: diazepam tablet, amlodipin, salbutamol, - tidak ada di pasaran/tidak tersedia (9 item obat) yaitu: CTM, prednison, cimetidin, ampisilin, GG, lidocain, salicyil, ambroxol, PCT. Yang menggunakan obat di luar Fornas: 32,25% Masalah dalam ketersediaan obat yang tercantum dalam Fornas terkait dengan dukungan dari pimpinan/managemen (25,80%) antara lain: - obat yang diperlukan kurang atau tidak tersedia - pengadaan yang lama Kendala lain dalam penerapan Fornas: - menambah obat yang dibutuhkan/masuk dalam Fornas - sosialisasi masih kurang - pasien menuntut obat di luar Fornas 8. Saran untuk pengembangan Fornas: - sosialisasi sampai di tingkat Puskesmas - meninjau kembali obat yang tercantum dalam Fornas - menambah obat yang tercantum dalam Fornas - sosialisasi kepada tenaga medis agar menggunakan Fornas dan DOEN - ketersediaan obat di Puskesmas harus tersedia untuk 144 jenis penyakit - meninjau kembali pabrikan pemenang tender, agar menyediakan obat sehingga tidak terjadi kekosongan obat. - e-catalog diharapkan pengadaan Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 04 obat lebih cepat. 9. Dari 9 RS yang hadir 8 RS sudah memiliki KFT: 88.89% 10. RS sudah memiliki Formularium RS: 88,89% 11. Fornas telah digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Formularium RS: 90% 12. Referensi yang digunakan dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit: DOEN, Fornas, Formularium spesialistik, DPHO. 13. Yang telah menggunakan SIM RS: 33,33% 14. Proporsi obat dalam Fornas di RS rata-rata : 59.99% 15. Jumlah item obat yang tersedia dalam fasilitas kesehatan Tingkat I di kab/kota: 85.81% Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PERTEMUAN PEMBINAAN PERBENDAHARAAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Pada tanggal 19 s.d 22 Juni 2014 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan Pertemuan Pembinaan Perbendaharaan Tahun 2014, bertempat di Hotel Grand Aquila Bandung, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi serta profesionalitas Pengelola Keuangan (PPK, PPSPM dan Bendahara) dalam melakukan penatausahaan pengelolaan keuangan meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban anggaran sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dinyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Pemerintahan yang bersih dan baik menuntut para pengelola keuangan Negara untuk dapat bekerja sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin kritis dan transparan dalam proses penyelenggaraan pemerintah, maka diperlukan peningkatan kualitas dan profesionalitas aparatur Negara khususnya Para Pengelola Keuangan (Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penandatangan SPM dan Bendahara). Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan Negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien, fungsi tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan yang di dalamnya terdapat perencanaan kas yang baik, pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan anggaran. Melalui pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi serta profesionalitas Para Pengelola Keuangan Satker Ditjen Binfar dan Alkes baik di Pusat maupun di Daerah dalam mengelola DIPA di unit kerja masing–masing sesuai dengan perkembangan dan ketentuan yang berlaku. Pertemuan ini dihadiri oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), PPSPM dan Bendahara Pengeluaran (BP) dari seluruh Satuan Kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, yang terdiri dari 5 Satker Pusat dan 33 Satker Dekonsestrasi Dinas Kesehatan Provinsi. Pertemuan Pembinaan Perbendaharaan ini merupakan rangkaian kegiatan sebagai upaya untuk menerapkan pengelolaan keuangan yang sejalan dengan prinsipprinsip pemerintahan yang baik terutama dalam pencatatan pembukuan para Bendahara Penerimaan dan Pengeluaran. Dalam pertemuan ini hadir beberapa narasumber yang menyampaikan materi-materi dengan metode penyampaian paparan, diskusi aktif dan praktek, khususnya tentang aplikasi SILABI (Sistem Laporan Bendahara Instansi). Materi yang disampaikan antara lain berasal dari: Biro Keuangan dan BMN Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan menyampaikan materi tentang Pembinaan Kebendaharaan dan Pengenalan SILABI Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan memberikan materi PMK 162/PMK/05/2013 tentang kedudukan dan tanggungjawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola APBN dan Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER3/PB/2014 tentang Juknis Penatausahaan Pembukuan dan Pertanggungjawaban Bendahara pada Satker Pengelola APBN Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Jakarta VII menyampaikan materi tentang Proses Penerbitan SP2D atas SPM yang diajukan, Rekonsiliasi dengan Satker, Konfirmasi PNBP, Validasi Penyetoran dan Pemantapan SILABI. Hal.05 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan SEMINAR PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI ALAT KESEHATAN INDONESIA: PERAN UNIVERSITAS SEBAGAI MESIN INOVASI Pada tanggal 18 Agustus 2014, telah dilaksanakan Seminar Peningkatan Daya Saing Industri Alat Kesehatan Indonesia: Peran Universitas Sebagai Mesin Inovasi di Hotel Borobudur Jakarta. Hadir dalam pertemuan ini Menteri BUMN, Dahlan Iskan, Wakil Menteri Kesehatan, Ali Gufron Mukti. Serta Dirjen Binfar dan Alkes, Maura Linda Sitanggang. Acara dihadiri oleh sekitar 400 undangan dari kalangan mahasiswa, staf pendidik, peneliti serta praktisi industri. Wamenkes Ali Gufron dalam sambutannya mengingatkan tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang sudah di depan mata, d i m a n a I n d o n e s i a d a n n e g a ra n e g a ra A S E A N a k a n m e m a s u k i babak baru dalam era perdagangan bebas. Kawasan ASEAN akan menjadi pasar terbuka dan terintegrasi yang berbasis produksi serta mobilitas arus barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja t e ra m p i l a k a n bergerak bebas. Untuk itu diperlukan penguatan terhadap produk-produk lokal dalam mengahadapi persaingan yang terjadi akibat perdagangan bebas, termasuk alat kesehatan. Menurutnya, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dalam negeri, termasuk pembinaan industri alat kesehatan dalam negeri. Peningkatan kapasitas bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Industri alat kesehatan dalam negeri melalui pelatihan teknis harmonisasi ASEAN dibidang alat kesehatan yang berpedoman kepada ASEAN Medical Device Directives yang direncanakan akan ditandatangani pada Agustus tahun 2014 dan diberlakukan segera setelah diratifikasi oleh negara-negara ASEAN. Sementara itu, Dirjen Binfar menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan RI telah menerbitkan Permenkes Nomor 86 tahun 2013 Tentang Peta Jalan Pengembangan Industri Alat Kesehatan pada tanggal 24 Desember 2013. Melalui peta jalan tersebut diharapkan pembangunan industri alat kesehatan akan berjalan lebih Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 06 terarah dan terbentuknya kerjasama sinergis antara pihak akademisi, industri dan pemerintah (kementerian terkait) termasuk Kementerian Kesehatan. “Universitas sebagai lembaga yang menghasilkan peneliti-peneliti dengan hasil penelitian yang tentunya bersifat inovatif, diharapkan mampu menjadi salah satu faktor yang mendukung p e n g u a t a n p ro d u k - p ro d u k a l a t kesehatan dalam negeri. Dengan membantu industri dalam negeri untuk memproduksi alat kesehatan inovatif yang belum pernah ada di Indonesia maupun memproduksi produk yang sejenis dengan produk impor dengan harga yang lebih ekonomis. Disamping itu, Universitas harus mengetahui dan mematuhi regulasi-regulasi yang terkait. Kementerian Kesehatan mengharapkan kerjasama antara Akademisi, Pelaku Usaha dan pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dapat terus d i t i n g k a t k a n . Te r u t a m a d a l a m pengembangan industri alat kesehatan dalam negeri”, papar Ibu Maura. Bersamaan dengan acara tersebut dilakukan pula peluncuran Gama-Cha: Bone Graft Indonesia. Produk ini merupakan perancah yang identik dengan tulang manusia yang mampu mempercepat pertumbuhan kembali jaringan tulang. Teknologi CHA pada perancah tersebut memungkinkan aplikasi lain seperti perancah untuk terapi sel, pembawa obat, protein, maupun molekul aktif lainnya. Produk yang unggul dari teknologi sebelumnya ini merupakan produk identik tulang pertama di dunia yang tersedia secara komersial. Produk ini dihasilkan oleh peneliti UGM, Dr Ika Dwi Ana dalam riset yang berlangsung sejak 1999 dan dipasarkan oleh PT Kimia Farma Tbk. Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PENGHARGAAN TINGKAT KEPATUHAN TERHADAP STANDAR PELAYANAN PUBLIK Lembaga negara pengawas pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia, menganugerahi predikat kepatuhan terhadap UU Pelayanan Publik kepada 78 instansi negara. Instansi negara penerima predikat kepatuhan itu terdiri atas 17 kementerian, 12 lembaga negara, 21 pemerintah provinsi dan 26 pemerintah kota. Penganugerahan predikat kepatuhan ini dilihat dari upaya instansi penerima predikat dalam memenuhi komponen standar pelayanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 dan Bab V UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam ketentuan itu tercantum bahwa sebuah unit layanan harus menyampaikan informasi, di antaranya, mengenai kejelasan waktu, prosedur, persyaratan dan biaya layanan. Atas dasar itu, Ombudsman RI kemudian melakukan pelbagai observasi di sejumlah unit layanan pada tingkat kementerian, lembaga, pemerintah provinsi dan kota. Hasilnya, pada akhir 2013, masih banyak unit layanan publik yang belum memampang standar layanannya. Padahal penyampaian informasi mengenai standar layanan kepada masyarakat selaku pengguna layanan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Oleh karenanya, lembaga negara pengawas pelayanan publik ini kemudian melakukan pendampingan pemenuhan komponen standar pelayanan ke sejumlah unit layanan publik sejak awal 2014. Hasilnya, sebanyak 452 unit layanan publik pada 78 instansi negara masuk kategori patuh tinggi terhadap UU Pelayanan Publik. Rinciannya terdiri atas 237 SKPD Kota, 178 SKPD Provinsi, 25 Kementerian dan 12 Lembaga. Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana, mengatakan, penyampaian predikat kepatuhan ini merupakan salah satu bentuk apresiasi atas usaha peningkatan kualitas pelayanan publik di tingkat unit layanan. Penganugerahan ini sekaligus juga memperingati lima tahun kelahiran UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik. “Sudah saatnya birokrasi kita menjadi birokrasi yang turun tangan untuk menggiatkan peningkatan kualitas pelayanan publik," terang Danang. Empat kementerian mendapat rapor hijau atau memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap UU Pelayanan Publik. Mereka adalah Kementerian ESDM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Kesehatan telah menerima penghargaan "Tingkat Kepatuhan Terhadap Standar Pelayanan Publik" dari Ombudsman RI dengan nilai yang tinggi yaitu 965 atau berada pada zona hijau dengan nilai 800-1000. Kementerian Kesehatan masuk dalam Lima besar kementerian yg mendapatkan penghargaan zona hijau. Sementara 4 Kementerian lainnya adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Penghargaan dari Ombudsman RI diberikan utk tingkat Kementerian/ Lembaga dan tingkat pemerintah daerah. Ombudsman RI memberikan penghargaan berdasarkan hasil observasi langsung ke unit layanan perizinan di Kementerian/Lembaga tanpa pemberitahuan. Ditjen Binfar dan Alkes turut berperan aktif sehingga Kemenkes mendapat penghargaan ini, mengingat Unit Layanan Terpadu di Kemenkes banyak didominasi oleh pelayanan publik yang diberikan oleh Ditjen Binfar dan Alkes. Memberikan pelayanan publik yang terbaik telah dan akan terus menjadi komitmen Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sehingga prestasi penghargaan dari Ombudsman RI ini dapat terus dipertahankan. Hal.07 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan SOSIALISASI PEDOMAN PENGEMBANGAN BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL Dalam rangka meningkatkan pemahaman dalam penerapan terkait pengembangan dan produksi BBOT terutama pada stakeholder industri obat tradisional, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes telah melaksanakan sosialisasi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional, yang berlokasi di Hotel Quest, Semarang, pada 11 s.d. 13 Agustus 2014. Sosialisasi diikuti oleh 39 orang yang terdiri pimpinan dan penanggungjawab produksi industri obat tradisional di wilayah Provinsi Jawa Tengah; pejabat dan staf Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; serta pejabat dan staf Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes. Bertindak sebagai narasumber pada sosialisasi tersebut ialah Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian – Kemenkes, Dra. R. Dettie Yuliati, Apt., M.Si.; Direktur Obat Asli Indonesia – Badan POM, DR. Sherley, Apt., M.Si.; Kepala Bidang Teknologi Rekayasa Biomedik – BPPT, Dr.rer.nat. Chaidir, Apt.; Kepala Subdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat – Kemenkes; Dita Noviansi S. A., S.Si., Apt., MM. Sosialisasi diawali dengan pemberian arahan dari Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian lalu dilanjutkan dengan pemberian materi terkait pengembangan bahan baku obat tradisional (BBOT). Dalam arahannya, Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyampaikan bahwa dalam rangka mensinergiskan seluruh gerak langkah pengembangan bahan baku obat tradisional telah disusun suatu pedoman sebagai kerangka perencanaan strategis dan komprehensif yang melingkupi kegiatan pengembangan, peningkatan kemandirian, dan daya saing industri bahan baku simplisia dan bahan baku ekstrak tanaman obat melalui Permenkes Nomor 88 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional. Pedoman (masterplan) ini diharapkan dapat menjadi dokumen dasar perencanaan dan operasional Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 08 pengembangan BBOT. Pedoman ini tentu merupakan guideline umum yang dalam penerapannya perlu disinergiskan dengan peraturan dan pedoman lain yang sudah ada. Lebih jauh dikatakan, pedoman ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh pelaku produsen obat tradisional dalam meningkatkan kemampuan dan pemahaman dalam proses pengembangan dan produksi BBOT (simplisia dan ekstrak) sehingga produk (jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka, suplemen, maupun kosmetik) yang dihasilkan dapat terjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatannya, serta berdaya saing. Hasil akhir pada proses ini diharapkan dapat mewujudkan kemandirian bahan baku obat dan bahan baku obat tradisional melalui produksi BBOT produksi dalam negeri. Produksi BBOT Masih Terkendala Berdasarkan laporan produksi BBOT, pemanfaatan potensi tanaman herbal termasuk biota laut Indonesia dirasakan belum dioptimalkan termasuk untuk pengembangan dan produksi sehingga dapat bersaing di Informasi kefarmasian dan alat kesehatan pasar. Padahal, berdasarkan data GP Jamu, pasar herbal internasional tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 150 USD dan Indonesia diperkirakan hanya meraup 0.22% pangsa pasar herbal tersebut. Berdasarkan analisis, telah dipetakkan kendala-kendala pengembangan BBOT di Indonesia yang melingkupi ketersediaan dan kontinyuitas tanaman, kualitas proses penanaman dan pengolahan pasca panen, dukungan penelitian pendukung yang applicable di industri, hambatan investasi dan upscalling produksi, kurangnya inovasi, serta kekuatan networking pasar. Kualitas dan Daya Saing Pengembangan dan produksi BBOT sebagai bagian dari pemanfaatan obat asli Indonesia sangat penting untuk dapat applicable di industri. Beberapa instansi pemerintah seperti Kementan, Kemenkes (melalui Badan Litbang Kesehatan), dan Badan POM telah melaksanakan pemetaan etnomedicine di Indonesia sebagai salah satu tahap optimalisasi pengembangan dan produksi BBOT. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengembangan dan produksi BBOT harus berorientasi pada pemenuhan persyaratan good agriculture practice, good post harvest practice, good production practice (cara pembuatan obat tradisional yang baik), dan good distribution practice. Keseluruhan hal tersebut diatas diharapkan dapat menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan, berkualitas dan berdaya saing. Alternatif Solusi Komprehensif Disebutkan bahwa Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional merupakan suatu guideline yang melingkupi prioritas, strategi, peran dari berbagai pihak dalam menyusun program/kegiatan sesuai koridor tupoksinya dalam rangka pengembangan BBOT. Rencana induk ini merupakan suatu pedoman perencanaan strategik dan komprehensif yang dapat dijadikan acuan stakeholder terkait pengembangan dan produksi BBOT di Indonesia. Sebagai suatu alternatif solusi, perlu dilaksanakan analisis terkait implementasi masterplan oleh seluruh stakeholder terkait dengan bersinergis satu sama lain sehingga keseluruhan proses dapat dioptimalisasi agar dapat meningkatkan daya saing produk obat tradisional dalam negeri di pasar regional dan internasional. Analisis implementasi ini antara lain melingkupi pemetaan dan optimalisasi industri hulu; kelembagaan; arahan program (riset, sarana prasarana, jejaring, dan kebijakan). Untuk mendukung implementasi di lapangan dalam meningkatkan pengembangan dan produksi BBOT, saat ini Pemerintah telah menerbitkan kebijakan termasuk melaksanakan koordinasi dan kerjasama strategis antara lain melalui koleksi, karakterisasi, seleksi dan budidaya tanaman obat Indonesia; penerbitan peraturan, pedoman dan referensi acuan terkait mutu dan standarisasi penanaman, pengolahan pasca panen, dan produksi bahan baku simplisia dan ekstrak; penerapan teknologi produksi simplisia dan ekstrak; serta bimtek cara produksi yang baik. Setelah pelaksanaan sosialisasi ini, diharapkan para stakeholder khususnya industri obat tradisional dapat menganalisis Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional tersebut lebih lanjut dan menerapkan hal-hal terkait dalam proses produksi dan operasionalisasinya. -ZulHal.09 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PEMERINTAH BERTAHAP BERALIH KE VAKSIN POLIO INJEKSI Kementerian Kesehatan secara bertahap beralih ke penggunaan vaksin polio berupa suntikan (injeksi). Dari empat kali pemberian vaksin polio, tiga kali masih oral dan satu sisanya, suntikan. Penerapan pemberian vaksin polio suntikan merupakan rekomendasi World Health Assembly (WHA), forum tertinggi World Health Organization, agar pada 2016 tidak lagi menggunakan vaksin polio oral melainkan injeksi. Vaksin suntik lebih aman dan mampu mengeradikasi kasus polio secara global ketimbang dalam pemberian secara oral. "Selain katanya agar bisa mengeradikasi polio secara global, mereka membuat konsep ini karena kalau oral, dikhawatirkan nanti ketika buang air besar, kalau kebetulan tidak di wc, seperti di sungai misalnya, virusnya bisa berpindah dan berubah. Tapi itu sebenarnya teori, faktanya masih perlu diselidiki," kata Wakil Menteri Kesehatan Prof. Ali Gufron Mukti di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (22/07/2014). Peralihan ini, lanjut Wamenkes adalah tantangan untuk negara Indonesia. Selain karena harganya lebih mahal 40-50 kali lipat dari vaksin oral, dari sisi ekonomi akan menyebabkan kerugian bagi pemasukan pendapatan ke negara. Itu terkait karena Indonesia juga merupakan negara pengekspor vaksin polio oral lebih ke 118 negara di dunia melalui Bio Farma. Ali Gufron Mukti menyebutkan untuk membeli kebutuhan vaksin polio suntik setidaknya membutuhkan biaya Rp 500 miliar. Itu sudah berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi pilot project untuk penerapan Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 10 vaksin polio suntik. "Karenanya kami akan lakukan secara bertahap, vaksin oral tidak langsung ditinggalkan, dari empat kali pemberian, sebanyak tiga vaksi diberikan secara oral dan satu sisanya adalah suntik. Ini juga yang sudah diterapkan oleh beberapa negara lain seperti India, Myanmar, Bangladesh dan Korea Utara," papar Wamenkes. Sambil bertahap, pemerintah Indonesia, lanjut Wamenkes, juga meminta WHO segera memberikan fasilitas agar Indonesia melalui Bio Farma bisa memproduksi sendiri vaksin polio injeksi. Informasi kefarmasian dan alat kesehatan HALAL BI HALAL DAN RAMAH TAMAH IDUL FITRI 1435 H DITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Ramadhan telah berlalu, namun demikian suasana Idul Fitri masih lekat dan kental. Animo umat muslim untuk saling menjalin silaturahmi bersama pun masih tinggi. Begitupun dengan jajaran pegawai di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, momen Idul Fitri merupakan saat yang tepat untuk meruntuhkan keegoisan dan membuka hati untuk saling memaafkan. Pada hari Selasa (08/07) Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menggelar acara halal bi halal dan ramah tamah dalam rangka menyambut Hari Raya Iedul Fitri 1435 Hijriah. Acara ini digelar di Ruang 803 - 805 Gedung Adhyatma Kementerian Kesehatan, dengan dihadiri oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang Ph.D beserta para pejabat eselon II dan seluruh jajaran staf di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dalam kesempatan ini seluruh jajaran di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bersilaturahmi dan saling bermaafmaafan. Hikmah Idul Fitri adalah kembali ke fitrah. Ibarat bayi yang baru dilahirkan lagi dan diibaratkan kain yang masih bersih. Seperti itulah kondisi umat muslim setelah menunaikan ibadah puasa selama sebulan lamanya. Halal Bi Halal adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Fenomena Halal bi halal sudah menjadi budaya. Budaya memaafkan, saling mengunjungi dan saling berbagi kasih sayang. Halal Bi Halal yang merupakan tradisi khas bangsa Indonesia akhirnya menjadi sebuah simbol yang merefleksikan bahwa Islam adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan. Halal bi halal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal bi halal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan (yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat), tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain. Selamat Idul Fitri 1435 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga seluruh amal ibadah kita diterima Allah SWT. Semoga kita semua semakin sehat wal afiat, semakin produktif dan semakin sukses dalam berkarya Hal.11 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PERTEMUAN PERCEPATAN PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS PERAWATAN Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa praktik kefarmasian dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan perundangundangan, begitu pula halnya dengan terbitnya PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, peran Apoteker sangat diperlukan pada fasilitas kesehatan sebagai tenaga yang professional di bidang Pelayanan Kefarmasian. Akan tetapi masih banyak puskesmas di Indonesia, dimana tugas-tugas yang berhubungan dengan obat (baik distribusi atau penggunaan obat) belum dilaksanakan oleh Apoteker atau Tenaga Kefarmasian. Dengan perubahan paradigma tadi, maka Apoteker sangat diharapkan untuk ikut berperan dalam mendukung patient safety. “Oleh karena itu dalam mendukung perubahan paradigma Patient Safety, berarti Apoteker harus turut serta dalam melaksanakan pelayanan Kefarmasian yang langsung pada pasien. Kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan kefarmasian antara lain memberikan informasi obat. Pasien berhak memperoleh informasi obat agar tidak terjadi penyalahgunaan obat atau kesalahan penggunaan obat”. Demikian disampaikan oleh Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Drs. Bayu Teja Muliawan, Apt, M.Pharm, MM dalam acara Pertemuan Percepatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Perawatan, yang berlangsung pada tanggal 19 s.d 21 Agustus 2014 di Hotel Sanur Paradise Plaza Denpasar, Bali. Dalam mendukung terbitnya Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 12 serta adanya perubahan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari drug oriented menjadi Patient Oriented, serta diperlukannya apoteker dalam mendukung pelaksanaan JKN, maka apoteker sebagai tenaga profesi kefarmasian mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan kefarmasian yang baik. Dengan berkembangnya paradigma pelayanan Kefarmasian dari Drug Oriented menjadi Patient Oriented, maka Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mensosialisasikan kepada Kepala Puskesmas tentang pentingnya peningkatan pengetahuan mutu Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker atau Pengelola Obat untuk di terapkan di Puskesmas. Kegiatan Pertemuan Percepatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Perawatan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan dilaksanakan dengan tujuan untuk mendukung peningkatan mutu pelayanan kefarmasian serta pembelajaran bagi para Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian di Puskesmas. melalui kegiatan Percepatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Perawat-an. Kegiatan ini dilaksanakan melalui pertemuan dengan diikuti oleh 57 orang (dari 6 Dinkes Kab/Kota dan 16 Puskesmas), yang terdiri dari Kepala Puskesmas dan Pengelola Obat, serta undangan dari organisasi profesi (PD IAI Bali). Narasumber yang terlibat dalam kegiatan ini diantaranya dari Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Praktisi dari RSU Santosa, Psikolog Klinis dari Universitas Gadjah Mada, praktisi dari Puskesmas Sumber Asih dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk paparan dan diskusi dengan narasumber dan di lanjutkan dengan praktek lapangan di Puskesmas Denpasar Timur I. Adapun praktek lapangan pelayanan kefarmasian ini dilakukan oleh para peserta Pengelola Obat dari puskesmas yang diundang. Dalam praktek lapangan ini para peserta turun langsung melakukan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat yang berobat di Puskesmas Denpasar Timur I. Terjadi interaksi langsung antara pasien dengan para peserta pengelola obat, terutama dalam hal pelayanan informasi obat (PIO) Dari kegiatan ini ini diharapkan dapat berlanjut dengan pelaporan yang baik dan berjenjang dari puskesmas ke Dinkes kab/kota/provinsi yang selanjutnya menjadi praktek rutin Apoteker di Puskesmas, dalam rangka menunjang pelaksanaan Percepatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Perawatan agar di peroleh hasil yang lebih optimal. Hal.13 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Ulasan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan MENCERDASKAN MASYARAKAT DALAM PENGGUNAAN OBAT MELALUI METODE CARA BELAJAR INSAN AKTIF (CBIA) Pengobatan sendiri atau swamedikasi (self medication) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit, sebelum mereka memutuskan untuk mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan/tenaga kesehatan. Lebih dari 60% masyarakat mempraktekkan self-medication ini, dan lebih dari 80% di antara mereka mengandalkan obat modern (Flora, 1991). Data Susenas Badan Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa lebih dari 60 % masyarakat melakukan pengobatan sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa 35,2 % masyarakat Indonesia menyimpan obat di rumah tangga, baik diperoleh dari resep dokter maupun dibeli sendiri secara bebas, di antaranya sebesar 27,8 % adalah antibiotik. (Kementerian Kesehatan, 2013). Apabila dilakukan dengan tepat dan benar, swamedikasi dapat menjadi sumbangan yang besar bagi pemerintah, terutama dalam pemeliharaan kesehatan secara Nasional. Namun jika sebaliknya, swamedikasi dapat menyebabkan permasalahan kesehatan akibat kesalahan penggunaan, tidak tercapainya efek pengobatan, timbulnya efek samping yang tidak diinginkan, penyebab timbulnya penyakit baru, kelebihan pemakaian obat (overdosis) karena penggunaan obat yang mengandung zat aktif yang sama secara bersama, dan sebagainya. Permasalahan kesehatan yang baru dapat saja timbul menyebabkan penyakit yang jauh lebih berat. Hal ini dapat disebabkan karena terbatasnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya informasi yang diperoleh dari tenaga kesehatan, maupun kurangnya kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk mencari informasi melalui sumber informasi yang tersedia. Untuk melakukan swamedikasi secara benar, masyarakat memerlukan informasi yang jelas, benar dan dapat dipercaya, Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 14 sehingga penentuan jenis dan jumlah obat yang diperlukan harus berdasarkan kerasionalan penggunaan obat. Swamedikasi hendaknya hanya dilakukan untuk penyakit ringan dan bertujuan mengurangi gejala, menggunakan obat dapat digunakan tanpa resep dokter sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku. Metode Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) atau “community based interactive approach” merupakan salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat digunakan dalam mengedukasi masyarakat untuk memilih dan menggunakan obat yang benar pada swamedikasi. Melalui metode ini diharapkan masyarakat, terutama para ibu agar lebih aktif dalam mencari informasi mengenai obat yang digunakan oleh keluarga. Informasi tersebut dapat berguna antara lain agar dapat menggunakan dan mengelola obat di rumah tangga secara benar. Selain itu diharapkan agar tujuan self-medication dapat Informasi kefarmasian dan alat kesehatan tercapai secara optimal. Sumber informasi produk tersebut dapat dicantumkan pada kemasan maupun package insert/brosur. Metode edukasi masyarakat melalui CBIA pertama kali dikembangkan oleh Prof. Dr. Sri Suryawati sejak tahun 1992, guru besar farmakologi dari Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada. Bersama timnya di Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM, metode ini telah dikembangkan selama bertahun-tahun, dan telah diadopsi oleh beberapa negara di Asia serta diakui oleh WHO. Pada tahun 2007, bekerja sama dengan Direktorat Penggunaan Obat Rasional, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dilaksanakan kegiatan pilot project selama dua hari di Pandeglang, Banten. Selanjutnya kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan metode CBIA dilaksanakan secara rutin oleh Kementerian Kesehatan RI mulai tahun 2008 hingga saat ini. Agar kegiatan ini dapat dilaksanakan pada sasaran yang lebih luas dan lebih banyak, maka pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Modul Peningkatan Keterampilan Memilih Obat untuk Swamedikasi. Modul ini terdiri dari 2 (dua) buku, yaitu Modul I untuk Tenaga Kesehatan dan Modul II untuk Kader Kesehatan. Modul ini dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/ Kota dan institusi lain yang berminat untuk melaksanakan kegiatan CBIA di wilayah kerjanya. Pelaksanaan Kegiatan Berbeda dengan kegiatan edukasi atau pelatihan pada umumnya, kegiatan edukasi masyarakat dengan metode CBIA dilaksanakan dengan cara melibatkan peserta secara aktif. Salah satu studi yang dilakukan oleh UGM, menunjukkan bahwa metode CBIA secara signifikan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peserta dibandingkan dengan metode ceramah dan tanya jawab (presentasi/ penyuluhan). Dengan CBIA, peserta dapat mengingat dengan lebih baik, karena dilakukan secara aktif dan visual melalui pengamatan secara langsung. Tutor dan fasilitator hanya berperan sebagai pemandu dalam diskusi, sedangkan informasi lebih lanjut yang dibutuhkan dapat disampaikan oleh Narasumber yang diundang. Dengan demikian kader yang sudah pernah dilatih, atau mahasiswa juga dapat dilibatkan sebagai tutor, sedangkan tenaga kesehatan Puskesmas atau Dinas Kesehatan dapat menjadi fasilitator. Narasumber dapat didatangkan dari profesi apoteker yang telah berpengalaman. Dalam CBIA, peserta dapat terdiri dari ibu rumah tangga, kader kesehatan (posyandu), tokoh masyarakat, anggota tim penggerak PKK, atau unsur/organisasi masyarakat lainnya. Untuk melatih cara melaksanakan CBIA, dilakukan pelatihan untuk pelatih (training of trainer, TOT) sekaligus melibatkan kader kesehatan di Puskesmas atau unsur masyarakat sebagai peserta edukasi secara langsung. Kegiatan TOT yang dilaksanakan di Propinsi umumnya melibatkan peserta dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau tenaga kesehatan Puskesmas setempat serta kader kesehatan (Posyandu) atau unsur/organisasi masyarakat lainnya. Dalam kegiatan CBIA, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok terdiri dari 6-8 orang kader. Kegiatan yang dilaksanakan dibagi menjadi 3 tahap yaitu: 1. Kegiatan I ( kelompok) Setiap kelompok dibagikan paket obat tertentu yang telah disiapkan, lalu peserta diminta untuk : a. Mengamati kemasan obat dan mempelajari informasi yang tertera yaitu nama dagang, nama bahan aktif, dosis/kekuatan bahan aktif, bahan aktif utama dan tambahan pada obat kombinasi. b. Mengelompokkan obat berdasarkan bahan aktif, bukan berdasarkan indikasi. c. Mendiskusikan hasil pengamatan di atas. 2. Kegiatan II (Kelompok) Tahap kegiatan ini bertujuan agar peserta berlatih mencari informasi dari kemasan, dengan cara meneliti setiap tulisan yang tersedia pada produk. Beberapa sediaan obat dalam bentuk cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes atau obat luar berupa krim dan salep, disertakan brosur dari pabrik sebagai informasi produk. Sedangkan sediaan tablet dalam kemasan obat bebas (over the counter/OTC) seringkali hanya menyediakan informasi produk pada kemasan terluar. Tahap ini merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan sebagai dasar melakukan self-medication, yaitu nama bahan aktif, indikasi, aturan penggunaan, efek samping dan kontraindikasi. Peran Tutor dalam tahap ini cukup besar, untuk mendorong semua kebutuhan informasi, yakni 5 (lima) komponen utama informasi ditemukan secara lengkap. Dalam kegiatan ini digunakan lembar kerja yang telah disediakan dengan jumlah lembar kerja yang tidak perlu dibatasi. Kelengkapan pengisian lembar kerja diharapkan dapat memacu aktifitas peserta pada tahap selanjutnya. Dengan dipimpin ketua kelompok, pencarian informasi dilakukan secara bersama - sama, sambil membandingkan kelengkapan informasi dari satu nama dagang dengan nama dagang yang lain. Hal.15 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan Walaupun kegiatan ini dilakukan dalam kelompok, namun tiap peserta harus mencatat untuk keperluan sendiri. Sambil mencatat informasi, peserta sekaligus dapat menelaah secara sederhana kelengkapan dan kejelasan informasi yang disajikan pada tiap kemasan. 3. Kegiatan 3 (individual) Kegiatan ini bertujuan untuk memupuk keberanian peserta mencari informasi sendiri. Perlu dipastikan dahulu bahwa lembar kerja pada kegiatan 2 telah terisi dengan baik. Dalam tahap ini, peserta diminta untuk mengerjakan pencatatan informasi seperti kegiatan 2, terhadap obat yang ada di rumah masing - masing. Setelah menjelaskan kegiatan 3, diskusi ditutup dengan rangkuman oleh salah satu Tutor atau Narasumber, mengidentifikasi kembali temuan-temuan penting yang diperoleh di masing-masing kelompok, dan memberikan pesanpesan untuk memperkuat dampak intervensi. Hasil Kegiatan Sampai dengan tahun 2013, kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dengan metode CBIA oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan telah dilaksanakan sebanyak 32 kali di 24 provinsi. Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan Penggerakan Penggunaan Obat Rasional maupun kegiatan tersendiri di Propinsi yang bersangkutan. Sedangkan jumlah tenaga kesehatan yang telah dilatih sampai dengan tahun 2012, adalah sebanyak 1.077 orang, kader kesehatan (Posyandu) sebanyak 2.098 orang, dan masyarakat umum sebanyak 4.657 orang. Adapun perkembangan jumlah tenaga kesehatan, kader kesehatan (Posyandu) dan masyarakat yang telah dilatih adalah sebagai berikut: Jumlah tenaga kesehatan, kader kesehatan dan masyarakat yang telah dilatih tersebut di atas masih belum mencakup jumlah peserta pelatihan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota. Kegiatan CBIA yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dapat melalui anggaran APBN (dana dekonsentrasi) maupun APBD. Sedangkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota umumnya melaksanakan kegiatan ini dengan menggunakan anggaran APBD maupun swadaya masyarakat. Kegiatan ini merupakan salah satu program yang menjadi perhatian dan memberikan daya ungkit dalam Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 16 peningkatan peran masyarakat dalam kesehatan khususnya dalam upaya peningkatan penggunaan obat secara rasional, di samping upaya kesehatan masyarakat lainnya. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan CBIA dapat terlihat melalui adanya peningkatan pengetahuan peserta khususnya kader kesehatan dan masyarakat setelah pelatihan dibandingkan dengan sebelumnya. Antusiasme dari peserta masyarakat terlihat dari diskusi dan pembahasan yang berlangsung, dimana peserta di seluruh kegiatan menyampaikan apresiasi mereka terhadap penyelenggaraan kegiatan CBIA yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Peserta tenaga kesehatan umumnya menyampaikan ketertarikan untuk melaksanakan kegiatan yang sama di wilayah kerja masing–masing, sebagai bagian dari upaya edukasi dan pemberdayaan masyarakat, karena metode yang diakukan sederhana, namun hasilnya cukup signifikan. Manfaat kegiatan CBIA Manfaat yang dapat diterima oleh masyarakat dengan adanya kegiatan edukasi melalui CBIA antara lain adalah: 1. Peningkatan pengetahuan tentang cara memilih dan menggunakan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan obat yang benar, antara lain dengan memahami bahwa: Logo lingkaran berwarna yang tertera memiliki arti tertentu yang tidak dijelaskan pada kemasan. Masyarakat dapat mengetahui bahwa swamedikasi dapat dilakukan hanya untuk obat yang berlogo hijau (obat bebas) dan biru (obat bebas terbatas). Obat berlogo biru disertai dengan peringatan yang harus diperhatikan oleh masyarakat sebelum minum obat. Sedangkan obat dengan logo merah dengan tulisan K berwarna hitam (obat keras) hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Pencantuman logo berwarna ini mengikuti ketentuan dari Kementerian Kesehatan. Informasi dalam kemasan obat lebih lengkap dibandingkan dengan iklan. Kemasan obat selalu mencantumkan informasi bahan aktif. Apabila dijumpai keraguan terhadap iklan, informasi dapat dicek langsung pada kemasan obat. Nama bahan aktif tercantum dibawah nama dagang. Kecuali obat kombinasi tertentu yang kandungannya banyak, misalnya hanya ditulis “multivitamin dan mineral”. Berbagai obat yang ada di pasaran, baik sirup atau tablet, sebagian besar isi bahan aktifnya sama atau hampir sama. Bila gejala sakit yang diderita memerlukan jenis obat tertentu, sebaiknya periksa dulu persediaan obat di rumah, apakah ada obat dengan kandungan zat aktif dan indikasi yang dibutuhkan tersedia, walaupun nama dagangnya berbeda. Adanya persamaan kandungan zat aktif antara obat bernama dagang dengan obat generik. Masyarakat dapat mengetahui dan menyadari bahwa obat generik yang umumnya tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah mengandung bahan aktif yang sama dengan obat bernama dagang yang banyak beredar di pasaran dengan harga yang bervariasi. Misalnya parasetamol tablet/sirup dan Antasida DOEN tersedia dalam berbagai nama dagang, dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga obat generik. Terdapat perbedaan atau persamaan kandungan zat aktif antara sediaan obat untuk orang dewasa dan anak-anak, yang nama dagangnya dibuat mirip atau menyerupai. Misalnya BodrexBodrexin, Inza-Inzana, MixagripMinigrip, padahal kandungan zat aktifnya berbeda walaupun indikasi sama. Harga obat bisa sangat bervariasi, walaupun kandungan isinya sama. Sediaan cairan seperti sirup umumnya lebih mahal dari pada tablet dengan kandungan bahan aktif yang sama. Harga obat eceran tertinggi (HET) tertera pada kemasan obat. Nama dagang dengan tambahan “Forte”, “Plus”, dan sebagainya, perlu dipelajari perbedaan kandungan dan kekuatannya dengan yang biasa. Sehingga peserta dapat lebih hati–hati dalam Hal.17 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan penggunaan dan dapat mengefisienkan biaya obat. Untuk tujuan promosi, seringkali nama bahan aktif ditulis dengan nama latin yang jarang diketahui masyarakat awam, padahal tersedia nama yang lazim. Sehingga sulit dikenali apakah obat tersebut sama dengan obat dengan nama dagang lain padahal kandungannya sama. Misalnya 1.3.7 trimetilxanthin merupakan kafein, acetaminophen dan para-aminophenol untuk mengganti parasetamol, dan lain lain. 2. Masyarakat dapat melakukan swamedikasi dengan benar dan rasional dengan memahami bahwa: Penggunaan sendok takar yang disediakan dalam kemasan pada saat meminum obat sirup sangat penting, karena tidak sama dengan sendok teh atau sendok makan yang tersedia di rumah tangga. Waktu minum obat harus dipatuhi sesuai aturan agar obat menjadi lebih efektif. Efek samping obat tidak dialami oleh semua pasien yang minum obat tertentu, namun dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat pada saat minum obat tersebut. Informasi bahwa obat tidak dapat digunakan pada kondisi tertentu tertera pada bagian Kontra Indikasi, yang umumnya jarang diketahui oleh masyarakat awam. 3. Menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat oleh masyarakat karena dalam diskusi ditegaskan bila terkena flu, demam atau diare tidak selalu harus menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik secara tidak tepat dapat menyebabkan resistensi. 4. Meningkatkan penggunaan obat generik dengan memahami bahwa obat bernama dagang (branded) dan obat generik dengan kandungan bahan aktif yang sama pasti memiliki khasiat yang sama. Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 18 Sehingga masyarakat dapat lebih cerdas untuk memilih obat generik yang harganya jauh lebih rendah, namun tidak meragukan mutunya. Rencana Tindak Lanjut Mengingat tingkat keberhasilan edukasi masyarakat dengan metode CBIA cukup signifikan dalam upaya peningkatan penggunaan obat rasional, Kementerian Kesehatan akan terus meningkatkan sasaran edukasi dan memperluas daerah pelatihan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dan institusi atau unit kerja lainnya yang terkait. Metode ini akan disempurnakan melalui revisi modul pelatihan dan penyusunan instrumen pemantauan dan evaluasi indikator keberhasilan CBIA. Melalui edukasi masyarakat dengan metode CBIA, diharapkan penggunaan obat secara rasional pada masyarakat dapat meningkat, sehingga menurunkan kesalahan dalam penggunaan obat. Ulasan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan SEKILAS TENTANG MANAJEMEN RESIKO ALAT KESEHATAN ISO 14971:2007 Medical Devices – Application of Risk Management To Medical Devices Oleh: Beluh Mabasa Ginting, ST, M.Si 1. Pendahuluan Manajemen resiko alat kesehatan (ISO 14971:2007 Medical Devices – Application Of Risk Mangement To Medical Devices) merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem manajemen mutu alat kesehatan itu sendiri (ISO 13485, Medical Devices- Quality Management Systems-Requirements For Regulatory Purposes) karena keluaran dari hasil manajemen resiko menjadi masukan untuk desain dan pengembangan untuk produk alat kesehatan itu sendiri dan mejadi prosedur wajib bagi industri alat kesehatan. Perlu diketahui juga ISO 14155: 2011, Clinical Investigation Of Medical Devices For Human Subjects – Good Clinical Practice menerapkan manajemen resiko alat kesehatan (ISO 14971) untuk mengestimasi resiko yang terkait dengan alat kesehatan sebelum investigasi klinis dilaksanakan. Persyaratan yang terdapat di dalam standar ini memberikan pabrik suatu kerangka untuk mengatur resiko yang terkait dengan penggunaan alat kesehatan berdasarkan pengalaman, pemahaman yang mendalam, pertimbangan yang diterapkan secara sistimatik Standar ini dikembangkan secara khusus untuk pabrik alat kesehatan/ sistem yang menggunakan prinsip penetapan manajemen resiko. Untuk pabrik lain, contoh industri pelayanan kesehatan lain, standar ini dapat digunakan sebagai petunjuk informatif di dalam mengembangkan dan memelihara sistem dan proses manajemen resiko. Standar ini sejalan dengan proses manajemen resiko yang dikhususkan untuk pasien, juga untuk operator, personil lain, peralatan lain dan lingkungan.Manajemen resiko adalah subjek yang komplek karena setiap stakeholder menempatkan suatu nilai yang berbeda terhadap kemungkinan tentang bahaya yang terjadi dan keparahannya. Konsep resiko memiliki dua komponen sebagai berikut: a) Kemungkinan terjadinya bahaya; b) Konsekwensi bahaya tersebut, separah apa bahaya itu terjadi. Konsep manajemen resiko secara khusus penting dalam keterkaitannya dengan alat kesehatan karena bervariasinya stakeholder termasuk praktisi medis, organisasi yang menyediakan pelayanan kesehatan, pemerintah, industri, pasien dan anggota masyarakat. Semua stakeholder perlu memahami bahwa penggunaan alat kesehatan dapat mengakibatkan beberapa tingkat resiko. Keberterimaan satu resiko untuk satu stakeholder dipengaruhi oleh komponen yang tersebut diatas dan persepsi stakeholder tentang resiko. Setiap persepsi stakeholder tentang resiko dapat sangat berbeda tergantung pada latar belakang budaya mereka, sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan tentang pemahaman sosial, aktual dan persepsi tentang kesehatan pasien, dan banyak faktor lain. Persepsi suatu resiko juga memperhitungkan beberapa hal contoh apakah terpapar bahaya karena tidak sengaja, apakah bahaya dapat dicegah, dari suatu sumber, karena kelalaian, muncul karena pemahaman yang kurang, atau langsung dari kelompok rentan dalam masyarakat. Keputusan menggunakan alat kesehatan untuk tujuan prosedur klinis khusus mesyaratkan resiko residu yang seimbang terhadap antisipasi manfaat dari prosedur. Keputusan tersebut sebaiknya memperhitungkan maksud penggunaan, kinerja dan resiko yang terkait dengan alat kesehatan, juga resiko dan manfaat yang terkait dengan prosedur klinis atau lingkungan penggunaan. Beberapa dari keputusan ini hanya dapat dilakukan oleh praktisi klinis yang sesuai dengan kualifikasinya dalam pemahamannya terhadap kondisi Hal.19 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan kesehatan seorang pasien atau opini yang dimiliki pasien. Sebagai stakeholder, pabrik membuat keputusan terkait dengan keselamatan dari alat kesehatan, termasuk keberterimaan resiko, memperhitungkan tingkat perkembangan industri yang dapat diterima pada umumnya dalam rangka untuk menentukan kesesuaian alat kesehatan untuk ditempatkan di pasar sesuai dengan maksud penggunaannya. Standar ini menetapkan satu proses dimana pabrik alat kesehatan dapat mengidentifikasi bahaya, memperkirakan dan mengevaluasi bahaya yang menyatu dengan alat kesehatan, mengendalikan resiko dan memantau keefektifan dari pengendalian resiko itu sendiri. 2. Ruang lingkup Standar ini menetapkan proses untuk pabrik alat kesehatan untuk mengidentifikasi bahaya yang menyatu dengan alat kesehatan, termasuk alat kesehatan diagnostik in vitro, untuk mengestimasi, mengevaluasi dan mengendalikan resiko yang menyatu, dan memantau keefektifan kendali resiko. Persyaratan standar ini dapat diterapkan untuk semua tahap siklus hidup (life-cycle) alat kesehatan. Resiko dapat diketahui melalui siklus hidup (life cycle) alat kesehatan, dan resiko yang dapat timbul pada satu titik siklus hidup alat kesehatan dapat diatur dengan menentukan titik yang benar-benar berbeda di dalam siklus hidup alat kesehatan. Oleh karena itu standar membutuhkan standar siklus hidup yang lengkap dari alat kesehatan.Ini berarti bahwa standar merekomendasikan pabrik mengaplikasikan prinsip-prinsip manajemen resiko terhadap alat kesehatan dari permulaan kosep sampai pengadaan dan pembuangan. Standar ini tidak dapat diterapkan untuk membuat keputusan klinis. Ruang lingkup standar ini tidak mencakup keputusan tentang penggunaan alat kesehatan. Keputusan penggunaan alat kesehatan dalam konteks prosedur klinis khusus mensyaratkan resiko residu seimbang terhadap manfaat yang telah diantisipasi dari prosedur atau resiko dan manfaat yang telah diantisipasi dari prosedur alternatif.Keputusan tersebut sebaiknya memperhitungkan maksud penggunaan, kinerja dan resiko yang terkait dengan alat kesehatan juga resiko dan manfaat yang menyatu dengan prosedur klinis atau lingkungan penggunaan.Beberapa dari keputusan ini dapat dilakukan oleh professional pelayanan kesehatan yang berkualifikasi dengan kemampuan memahami kondisi kesehatan seorang pasien dan opini yang dimiliki oleh pasien. Standar ini tidak menetapkan level resiko yang dapat diterima (acceptable risk level).Meskipun telah terjadi perdebatan yang signifikan tentang apa yang dimaksud dengan level resiko yang dapat diterima, standar ini tidak menetapkan level keberterimaan resiko. Menetapkan universal level untuk resiko yang dapat diterima tidak lah tepat karena didasari atas pendapat sangat bervariasinya alat kesehatan dan situasi yang dicakup oleh standar ini akan membuat universal level tidak berarti Sistem manajemen mutu sangat membantu di dalam mengatur resiko dengan tepat.Karena sebagian besar pabrik alat kesehatan menerapkan sistem manajemen mutu maka standar ini dibentuk sedemikian rupa agar dapat dengan mudah digabungkan ke dalam sistem manajemen mutu yang digunakan oleh pabrik. 3. Istilah dan definisi Sebagaimana diketahui bahwa manajemen resiko sebaiknya diwajibkan baik secara eksplisit atau Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 20 implisit di banyak negara dan kawasan dunia. Oleh karena itu telah dilakukan usaha untuk menggunakan definisi yang akan diterima secara luas oleh regulator. Sebagai contoh, Definisi istilah “maksud penggunaan (intended use)” mengkombinasikan definsi “maksud penggunaan (intended use)” yang digunakan di Amirika dan “tujuan penggunaan (intended purpose)” yang digunakan di masyarakat Eropah. Istilah ini secara esensial memiliki definisi yang sama. Ini dimaksudkan agar ketika mempertimbangkan maksud penggunaan alat kesehatan, pabrik harus memperhitungkan maksud si pengguna produk. Sumber utama untuk definisi adalah: ISO/IEC Guide 51:1999, Safety aspects – Guidelines for the inclusion in standards ISO 9000: 2005, Quality management systems – Fundamentals and vocabulary ISO 13485:2003, Medical devices – Quality management systems – Requirements for regulatory purposes. Beberapa defisi yang terkait dengan manajemen resiko alat kesehatan sebagai berikut: 1. Cedera (harm) Cedera fisik atau merusak kesehatan masyarakat, atau merusak hak milik atau lingkungan. 2. Bahaya (hazard) Sumber potensi cedera 3. Situasi berbahaya. Lingkungan dimana masyarakat, hak milik, atau lingkungan terpapari satu atau lebih bahaya. 4. Maksud penggunaan (intended use) Tujuan penggunaan (intended purpose). Penggunaan satu produk, proses atau layanan yang dimaksudkan sesuai dengan spesifikasi, petunjuk dan informasi yang disediakan oleh pabrik. 5. Alat kesehatan diagnostik in vitro Alat kesehatan yang dimaksudkan oleh pabrik untuk memeriksa Informasi kefarmasian dan alat kesehatan spesimen yang berasal dari tubuh manusia yang memberikan informasi untuk tujuan diagnostik, pemantauan atau kompatibilitas 6. Siklus hidup (life-cycle) Semua fase dalam hidup alat kesehatan, dari konsep awal sampai pengadaan akhir dan pembuangan. 7. Alat kesehatan Alat kesehatan adalah instrumen, apparatus, implement, mesin, appliance , implan, reagen untuk penggunaan in vitro, perangkat lunak, material atau artikel serupa lainnya atau yang terkait sesuai dengan maksud penggunaan sebagaimana yang dimaksud oleh produsen, dapat digunakan sendiri maupun kombinasi untuk manusia dengan satu atau beberapa tujuan sebagai berikut: diagnosis, pencegahan, pemantauan, perlakuan atau pengurangan penyakit; diagnosis, pemantauan, perlakuan, pengurangan atau kompensasi kondisi sakit; penyelidikan, penggantian, pemodifikasian, mendukung anatomi atau proses fisiologis; mendukung atau mempertahankan hidup; menghalangi pembuahan; desinfeksi alat kesehatan; menyediakan informasi untuk tujuan pengujian in vitro terhadap spesimen dari tubuh manusia. dan tidak mencapai kerja utama pada atau dalam tubuh manusia melalui proses farma- kologi, imunologi atau metabolisme tetapi dapat membantu fungsi yangdiinginkan dari alat kesehatan dengan cara tersebut. 8. Pasca-produksi (post-production) Bagian dari siklus hidup produksi setelah desain lengkap dan alat kesehatan telah diproduksi. 9. Resiko residu (residual risk) Resiko yang tetap ada setelah tindakan kendali resiko dilakukan 10. Resiko Kombinasi kemungkinan terjadinya cedera dan keparahan cedera 11. Analisis resiko Penggunaan sistimatik informasi yang tersedia untuk mengidentifikasi bahaya dan untuk mengestimasi resiko. 12. Penilaian resiko Keseluruhan proses yang membandingkan analisis resiko dan evaluasi resiko 13. Kendali resiko Proses dimana keputusan harus diambil dan dilakukan diimplementasikan dengan mengurangi resiko, atau dipertahankan dalam level yang ditetapkan. 14. Estimasi resiko Proses yang digunakan untuk menentukan nilai untuk kemungkinan terjadinya cedera dan keparahan dari cedera tersebut. 15.Evaluasi resiko Proses yang membandingkan estimasi resiko terhadap kriteria resiko yang diberikan untuk menentukan keberterimaan resiko. 16. Manajemen resiko Penerapan sistimatik kebijakan manajemen, prosedur dan praktek terhadap pelaksanaan analisis, evaluasi, kendali dan pemantauan resiko. 17. File manajemen resiko Sekumpulan rekaman dan dokumen lain yang dihasilkan oleh manajemen resiko 18. Keamanan (safety) Bebas dari resiko yang tidak dapat diterima 19.Keparahan Ukuran dari kemungkinan kosekuensi dari bahaya 20. Kesalahan guna Tindakan atau mediadakan tindakan yang mengakibatkan respon dari alat kesehatan berbeda dari yang dimaksudkan oleh pabrik atau dari yang diharapkan oleh pengguna Catatan 3: Respon fisiologi yang tidak diharapkan dari pasien tidak dianggap sebagai kesalahan guna 4. Persyaratan umum untuk manajemen resiko 4.1 Proses manajemen resiko Pabrik menetapkan proses manajemen resiko sebagai bagian dari desain alat kesehatan agar pabrik dapat menjamin secara sistematik bahwa elemen manajemen resiko yang disyaratkan ada di dalam proses. Analisis resiko, evaluasi resiko dan kendali resiko secara umum dikenal sebagai elemen penting dari manajemen resiko.Sebagai tambahan untuk elemen ini, standar ini menekankan bahwa proses manajemen resiko tidak hanya berakhir pada desain dan produksi (termasuk, jika relevan, sterilisasi, pengemasan, dan pelabelan) alat kesehatan, tetapi berlanjut pada fase pasca produksi. Oleh karena itu mengumpulkan informasi pasca produksi diidentifikasi sebagai bagian yang disyaratkan dari proses manajemen resiko. Lebih jauh lagi, disadari bahwa ketika pabrik menerapkan sistem manajemen, proses manajemen resiko sebaik terintegrasi secara keseluruhan ke dalam sistem manajemen mutu. Secara umum skematis proses manajemen resiko alat kesehatan dapat di gambarkan sebagai berikut: Hal.21 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan Maksud penggunaan dan Identifikasi karakteristik terkait dengan keamanan alat kesehatan Indentifikasi bahaya Estimasi resiko untuk setiap situasi berbahaya Penilaian Reksiko Analisis resiko Kendali resiko Analisis opsi kendali resiko Implementasi tindakan kendali resiko Evaluasi resiko residu Analisis resiko/manfaat Resiko yang timbul dari tindakan kendali resiko Kelengkapan kendali resiko Manajemen Reksiko Evaluasi resiko Evaluasi keseluruhan Laporan manajemen resiko Informasi produksi dan Pasca produksi Gambar – Skematis Yang Menggambarkan Proses Manajemen Resiko 4.2 Tanggung jawab manajemen Manajemen puncak harus memberikan bukti komitmennya terhadap proses manajemen resikodengan : menjamin ketersedian sumber daya yang cukup menjamin pengangkatan personil yang bermutu untuk manajemen resiko mendefinisikan dan mendokumentasikan kebijakan untuk menentukan kriteria keberterimaan resiko, kebijakan ini harus Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 22 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan menjamin bahwa kriteria didasari pada regulasi nasional atau regional yang dapat diterapkan dan standar internasional yang relevan, dan memperhitungkan informasi yang tersedia seperti kondisi yang diterima secara umum dengan memperhatikan pendapat stakeholder. meninjau ulang kesesuaian proses manajemen resiko pada interval terencana untuk menjamin keberlanjutan efektivitas proses manajemen resiko dan dokumen setiap keputusan dan tindakan yang diambil; jika pabrik memiliki sistem manajemen mutu, tinjau ulang ini harus menjadi bagian dari tinjau ulang sistem manajemen mutu. 4.3 Kualifikasi personil Personilberpengalaman dibutuhkan untuk melakukan tugas manajemen. Proses manajemen resiko mensyaratkan orang dengan bidang seperti berikut: bagiamana alat kesehatan dikonstruksikan; bagaimana alat kesehatan berkerja/berfungsi; bagaimana alat kesehatan diproduksi; bagaimana alat kesehatan digunakan secara tepat; bagaimana menerapkan proses manajemen resiko. 4.4Rencana manajemen resiko Kegiatan manajemen resiko harus terencana. Oleh karena itu untuk alat kesehatan khusus harus dipertimbangkan, pabrik harus menetapkan dan mendokumentasikan rencana manajemen resiko sesuai dengan proses manajemen resiko. Rencana manajemen resiko harus menjadi bagian dari file manajemen resiko. Rencana manajemen resiko ini paling tidak mencakup berikut: lingkup aktivitas manajemen resiko terencana, identifikasi dan uraian alat kesehatan dan fase siklus hidup untuk setiap dari rencana yang dapat diterapkan; penunjukan hak dan tanggung jawab; persyaratan untuk tinjau ulang kegiatan manajemen resiko; kriteria untuk keberterimaan resiko, berdasarkan kebijakan pabrik untuk menentukan resiko yang dapat diterima, termasuk kriteria untuk penerimaan resiko ketika kemungkinan terjadinya cedera yang tidak dapat diestimasi; verifikasi aktivitas; aktivitas terkait dengan pengumpulan dan tinjau ulang tentang produksi relevan dan informasi pasca produksi. 4.5File manajemen resiko Untuk alat kesehatan khusus yang sedang dipertimbangkan, pabrik harus menetapkan dan memelihara file manajemen resiko. Sebagai tambahan untuk persyaratan pasal lain dari standar ini, file manajemen resiko harus menyediakan ketertelusuran untuk setiap bahaya terindifikasi untuk: analisis resiko; evaluasi resiko; implementasi dan verifikasi tindakan kendali resiko; penentuan keberterimaan setiap resiko residu. Standar ini menggunakan istilah file manajemen resiko untuk menyatakan kapan pabrik dapat menempatkan atau menemukan tempat semua rekaman dan dokumen lain yang dapat diterapkan untuk manajemen resiko. Ketertelusuran dibutuhkan untuk membuktikan bahwa proses manajemen resiko telah diterapkan kepada setiap bahaya yang teridentifikasi. 5. Analisis resiko Analisis resiko harus dilakukan. Jika analisis resiko, atau informasi lain yang relevan tersedia untuk alat kesehatan serupa, maka analisis atau informasi dapat digunakan sebagai titik awal untuk analisis baru. Tingkat keterkaitan tergantung pada perbedaan diantara alat kesehatan dan apakah alat kesehatan memperlihatkan bahaya baru atau perbedaan yang signifikan di dalam keluaran, karakteristik, kinerja atau hasil.Pengembangan analisis yang ada juga didasari pada evaluasi sistimatik dari efek perubahan yang meningkatkan situasi berbahaya. 5.1Maksud penggunaan dan Identifikasi karakteristik terkait dengan keamanan alat kesehatan. Tindakan ini mendorong pabrik memikirkan tentang semua karakteristik yang dapat mempengaruhi keselamatan alat kesehatan. Pabrik juga harus mempertimbangkan pengguna yang dimaksudkan untuk alat kesehatan, contoh apakah untuk pengguna biasa (a lay user) atau untuk seorang professional medis yang terlatih yang akan menggunakan alat kesehatan. Analisis ini sebaiknya mempertimbangkan bahwa alat kesehatan dapat juga digunakan dalam situasi selain dari yang dimaksudkan oleh pabrik dan dalam situasi selain dari yang diperkirakan ketika alat kesehatan pertama kali dikonsep. 5.2Identifikasi bahaya Pabrik harus secara sistematik dalam melakukan pengidentifikasian bahaya yang teridentifikasi baik dalam kondisi normal dan kondisi gagal. Indentifikasi sebaiknya berdasarkan karakteristik keselamatan yang teridentifikasi 5.3 Estimasi resiko untuk setiap situasi berbahaya Resiko hanya dapat dinilai dan diatur pada saat situasi berbahaya telah diidentifikasi. Pendokumentasian urutan kejadian yang dapat diperkirakan secara wajar yang dapat mentransformasikan bahaya menjadi situasi berbahaya harus dilakukan secara sistimatis. Karena bahaya dapat terjadi baik ketika alat kesehatan berfungsi secara normal dan ketika gagal fungsi Hal.23 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan (malfunctions). Dalam praktek, kedua komponen resiko, kemungkinan dan konsekuensi sebaiknya dianalisis secara terpisah. Ketika pabrik menggunakan cara yang sistematik untuk mengkategorikan level keparahan atau kemungkinan terjadinya cedera, skema kategori sebaiknya terdefinisi dan direkam dalam file manajemen resiko. Ini mempermudahkan pabrik menangani resiko yang ekuivalen secara konsisten dan membuktikan bahwa pabrik telah berbuat demikian. 5.4 Evaluasi resiko Keputusan tentang keberterimaan resiko harus dibuat. Pabrik dapat menggunakan estimasi resiko terbaru dan mengevaluasi resiko tersebut menggunakan kriteria untuk keberterimaan resiko yang terdefinisi dalam rencana manajemen resiko. Pabrik dapat mensken resiko untuk menentukan yang mana perlu dikurangi. 6. Kendali resiko 6.1Analisis opsi kendali resiko Pabrik harus mengidentifikasi tindakan kendali resiko yang sesuai untuk pengurangan resiko sampai level yang dapat diterima. Pabrik harus menggunakan satu atau lebih opsi kendali resiko berikut dengan skala prioritas: keselamatan yang menyatu karena desain; tindakan protektif terhadap alat kesehatan itu sendiri atau dalam proses pembuatan; informasi untuk keselamatan. 6.2Implementasi tindakan kendali resiko Pabrik harus mengimplementasikan tindakan kendali resiko yang dipilih. Implementasi setiap tindakan kendali resiko harus diverifikasi. Verifikasi ini harus direkam di dalam file manajemen resiko. Keefektifan tindakan kendali resiko harus diverifikasi dan hasil hasilnya harus direkam di dalam file manajemen resiko. Sebagai ganti, studi validasi dapat digunakan untuk memverifikasi keefektifan tindakan kendali resiko. 6.3Evaluasi resiko residu Setelah tindakan kendali resiko diterapkan, setiap resiko residu harus dievaluasi menggunakan kriteia yang didefinisikan dalam rencana manajemen resiko. Hasil evaluasi ini harus direkam di dalam file manajemen resiko. Jika resiko residu tidak dapat menerima penggunaan kriteria yang didefinisikan dalam rencana manajemen resiko, tindakan kendali resiko selanjutnya harus diterapkan Untuk resiko residu yang dapat menerima penggunaan kriteria yang didefinisikan dalam rencana Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 24 manajemen resiko, pabrik harus memutuskan resiko residu mana yang diketahui dan informasi apa yang dibutuhkan untuk disertakan di dalam dokumen pendamping dalam rangka untuk mengetahui resiko residu ini. 6.4Analisis resiko/manfaat Jika resiko residu tidak dapat menerima penggunaan kriteria yang ditetapkan di dalam rencana manajemen resiko dan kendali resiko selanjutnya tidak dapat dipraktekkan, pabrik boleh menggumpulan dan meninjau ulang data dan literatur untuk menentukan jika manfaat medis dari maksud penggunaan menjadi lebih penting dari resiko residu. 6.5Timbulnya resiko dari tindakan kendali resiko Dampak dari tindakan kendali resiko harus ditinjau ulang dengan memperhatikan: pengenalan bahaya baru atau situasi berbahaya; apakah estimasi resiko untuk situasi berbahaya teridentifikasi sebelumnya dipengaruhi oleh pengenalan tindakan kendali resiko. Setiap resiko baru atau peningkatan resiko harus diatur .Hasil dari tinjau ulang ini harus direkam di dalam file manajemen resiko. 6.6Kelengkapan kendali resiko Pabrik harus menjamin bahwa resiko dari semua situasi berbahaya yang teridentifikasi telah dipertimbangkan. Hasil kegiatan ini harus direkam di dalam file manajemen resiko. Pada tahapan ini resiko dari semua bahaya sebaiknya dievaluasi. Pemeriksaan ini dibuat untuk menjamin bahwa tidak ada bahaya yang masih terresidu dalam kerumitan dari suatu analisis resiko yang kompleks. 7. Evaluasi keseluruhan keberterimaan resiko residu Setelah tindakan kendali resiko telah diimplementasikan dan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan diverifikasi, pabrik harus memutuskan jika resiko residu keseluruhan yang dimiliki oleh alat kesehatan dapat diterima menggunakan kriteria yang didefinisikan di dalam rencana manajemen resiko. Mungkin bisa terjadi semua resiko residu dapat melampaui kriteria pabrik untuk resiko yang dapat diterima, meskipun hal ini tidak terjadi pada masing-masing resiko residu.Hal ini bisa terjadi pada sistem yang kompleks dan untuk alat kesehatan dengan banyak resiko. Walaupun keseluruhan resiko residu melebihi kriteria di dalam rencana manajemen resiko, pabrik harus memiliki waktu untuk melakukan semua evaluasi resiko/manfaat untuk menentukan apakah resiko tinggi, tetapi manfaat besar, alat kesehatan harus dipasarkan. Penting bagi pengguna diinformasikan tentang pentingnya resiko residu keseluruhan. Oleh karena itu pabrik diinstruksikan untuk menyertakan informasi terkait dalam dokumen pendamping. 8. Laporan manajemen resiko Laporan manajemen resiko adalah bagian yang penting dari file manjemen resiko. Laporan manjemen resiko dimaksudkan untuk menjadi ringkasan dari tinjau ulang dari hasil akhir proses manjemen resiko. Laporan manajemen resiko bertindak sebagai dokumen level tinggi yang memberikan bukti bahwa pabrik telah menjamin bahwa rencana manajemen resiko telah benar-benar lengkap dan hasil konfirmasi menyatakan bahwa sasaran yang disyaratkan telah dicapai. Sebelum alat kesehatan dipasarkan, pabrik harus melakukan tinjau ulang proses manajemen resiko. Tinjau ulang ini paling tidak harus menjamin bahwa: rencana manajemen resiko telah diimplementasikan secara tepat; resiko residu keseluruhan yang dapat diterima; metode yang sesuai yang diterapkan untuk memperoleh informasi produksi yang relevan dan informasi pasca produksi Hasil tinjau ulang ini harus direkam seperti laporan manajemen resiko dan disertakan di dalam file manajemen resiko dan ditentukan di dalam rencana manajemen resiko untuk personil yang memiliki hak yang sesuai 9. Informasi produksi dan pasca produksi Manajemen resiko tidak berakhir meskipun alat kesehatan sudah diproduksi. Manajemen resiko sering dimulai dengan satu ide ketika tidak terdapat manifestasi fisik dari alat kesehatan. Estimasi resiko dapat diperbaharui melalui proses desain dan dibuat lebih akurat ketika satu prototype utama dirancang. Informasi yang digunakan dalam manajemen resiko dapat berasal dari setiap sumber termasuk produksi atau rekaman mutu. Bagaimanapun, tidak terdapat model yang dapat menggantikan alat kesehatan yang aktual di dalam pengguna yang sebenarnya. Oleh karena itu, pabrik harus memonitor informasi produksi dan pasca produksi untuk data dan informasi yang dapat mempengaruhi estimasi resiko alat kesehatan, dan konsekuensi terhadap keputusan manajemen resiko mereka. Pabrik juga harus memperhitungkan state of theart consideration dan kemudahan penerapannya. Informasi sebaiknya juga digunakan untuk meningkatkan proses manjemen resiko. Dengan informasi pasca produksi maka proses manajemen resiko benar menjadi proses tertutup yang berulang (iterative closed-loop process). Daftar Pustaka 1. ISO 14971:2007 Medical devices – Application of risk mangement to medical devices 2. ISO 13485, Medical devices- Quality management SystemsRequirements for regulatory purposes 3. ISO 14155: 2011, Clinical investigation of medical devices for human subjects – Good clinical practice Penulis : Beluh Mabasa Ginting, ST, M.Si 1. Staf Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan KemkesRI 2. Alumni Pasca Sarjana UI bidang studi Teknologi Biomedis (biomedical engineering) 3. Anggota Masyarakat Standar (MASTAN) 4. Tenaga Ahli Standardisasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bidang Alat Kesehatan (Health Care Technology/ICS 11) dengan nomor anggota 006/BSN/TAS-QC Hal.25 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan REVOLUSI MENTAL DALAM KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Inspirasi ini muncul dari sebuah fenomena; bahwa regulasi tentang keterbukaan informasi publik merupakan “revolusi budaya komunikasi” di Indonesia. Barangkali tidaklah berlebihan jika regulasi keterbukaan informasi publik ini merupakan pengejawantahan reformasi yang digagas sejak tahun 1998, oleh paramahasiswa. Keterbukaan informasi ini juga akan membawa era baru bagi kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Pada dasarnya setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (ps,28f Undang Undang Dasar 1945). Dengan merujuk pasal tersebut maka keterbukaan informasi publik melalui pemberdayaan TIK menjadi suatu hal yang sangat penting dan strategis. Setidaknya untuk menuju keterbukaan informasi publik Pemerintah sudah mempersiapkan 4(empat) regulasi melalui penerapan undang-undang. Diantara regulasi tersebut adalah: UU No:36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No:32/2002/tentang Penyiaran, UU No: 11/2008/tentang ITE dan UU No:14/2008/tentang KIP. Ke-empat undang undang tersebut dapat dijadikan landasan hukum untuk menuju keterbukaan informasi publik,apalagi ditambah dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Regulasi melalui perundangundangan, serta sosialisasi tetap belumlah dianggap cukup. Ini berarti upaya tersebut perlu secara terus menerus dilakukan melalui berbagai saluran publikasi di berbagai media massa, termasuk penerbitan buku. Revolusi Mental Diperlukan adanya revolusi mental dalam keterbukaan informasi publik. Apalagi dengan berkembangpesatnya media massa online dan teknologi informatika. Dengan mengusung semangat: “Membangun Keterbukaan Informasi Publik Melalui Pemberdayaan Teknologi Informasi dan Komunikasi”. tentunya hal ini mengandung maksud dan tujuan Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 26 tertentu dalam konteks membangun demokratisasi menuju masyarakat informasi dimasa mendatang. Untuk membudayakan dan membangun interkoneksi terhadap produk regulasi perundang-undangan serta implementasinya diperlukan suatu strategi tertentu Hal ini disamping agar khalayak masyarakat bisa mendapatkan ,informasi secara jelas dan akurat, juga untuk mencari umpan balik. Keterbukaan informasi publik yang dilakukan instansi pemerintah (tidak termasuk informasi yang dikecualikan) melalui pemberdayaan teknologi informasi dan komunikasi via website institusi Hal ini untuk memberikan ruang kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi melakukan pengawasan di dalamnya. Peran serta masyarakat yang dikonstruksi dalam bentuk pendapat, usulan dan kritik merupakan dialektika untuk mencari kebenaran. Berbagai pandangan tentang bagaimana membangun keterbukaan informasi publik yang terbuka, melalui pemberdayaan teknologi informasi dan komunikasi tentu sudah menjadi tuntutan. Publik diajak untuk berdiskusi bagaimana memahami keterbukaan informasi publik melalui pemberdayaan teknologi informasi, kemudian untuk diimplementasikan. Dengan konsep ini khalayak/publik bisa mendapatkan informasi yang sangat berharga, karena keterbukaan informasi publik akan lebih terbuka seluas mungkin. Berbagai konsep-konsep, kritik, pendapat, dan berbagai pandangan tentang “Pembangunan Keterbukaan Informasi Publik Melalui Pemberdayaan Teknologi Informasi” Informasi kefarmasian dan alat kesehatan serta dampaknya dilihat dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan. Keterbukaan informasi publik melalui pemberdayaan teknologi informasi, ditinjau dari berbagai aspek ini akan terlihat bahwa saat ini secara yuridis, kemerdekaan media dan akses informasi telah terlindungi. Siapa pun yang berkuasa, untuk membatasi keterbukaan informasi mungkin akan mendapatkan resistensi dari institusi yang belum memahami pentingnya keterbukaan informasi. Apakah kemudahan akses informasi, digunakan sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan dalam pasal 3 UU No: 14 tahun 2008 benar-benar bisa terwujud dengan mudah? mengingat resistensi awal dari mereka yang belum mengerti. Karena dalam praktek pelayanan informasi, tidak sedikit yang menggunakan kemudahan tersebut untuk memenuhi sebagaimana maksud yang di gagas dalam undang-undang tersebut. Undang-undang berjalan pararel dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat. Secara teoritis, kedua hal tersebut akan mendorong perubahan dalam akses dan pelayanan. Faktanya, belum banyak terjadi perubahan sebagaimana yang diharapkan. Prinsipprinsip good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas yang menjadi tuntutan semua pihak sudah semestinya dipegang teguh bukan saja di lingkup pemerintahan, namun juga di seluruh elemen masyarakat. Kehadiran Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik secara sistemik diharapkan dapat mewujudkan transparansi, peningkatan pelayanan dan pada gilirannya menghilangkan penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, minimal dapat ditekan ke tingkat yang paling rendah. Kalau seluruh komponen bahu membahu dalam melaksanakan reformasi di segala lini, kepemerintahan yang baik. Keterbukaan informasi publik Peluang untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Bahkan menurut analisis penulisnya keberadaan Media baru cenderung mendorong ke arah radikalisasi demokrasi melalui partisipasi dan transparansi. Meskipun demikian, manfaat-manfaat yang besar dari teknologi tersebut hanya mungkin bisa diserap dengan baik jika prasyarat pemanfaatan teknologi terpenuhi, yakni pendapatan (variabel ekonomi) dan pendidikan. Tanpa itu, teknologi justru akan memunculkan kesenjangan. Bagi Indonesia, pemanfaatan teknologi dalam rangka membangun demokrasi dan pemerintahan yang baik mutiak dilakukan jika Indonesia ingin menjadi pemenang dalam percaturan ekonomi-politik global yang kompetitif. Dalam artikel ini direkomendasikan bahwa usaha membangun infrastruktur teknologi harus pula diimbangi dengan pemba-ngunan infastruktur sosial- ekonomi. Adapula nyanyian miring yang berkata bahwa seideal apapun UU KIP, tanpa pemahaman dan pemaknaan komprehensif dari pemerintah dan lembaga-lembaga publik lainnya, para komisioner informasi publik, dan masyarakat, hanya akan menjadi ‘nyanyian usang’. Apa lagi jika kehadiran UU KIP ini hanya memberikan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu, seperti pemodal nasional maupun transnasional, maka idealitas dalam mewujudkan partisipasi masyarakat akan kembali tunduk kepada kepentingan modal dan menyuburkan neoliberalisme di Indonesia. Maka dari itu, kesiapan elemen dan piranti pendukungnya mutlak dibutuhkan. Teknologi informasi-komunikasi sebenarnya memberikan peluang bagi maksimalisasi manfaat berupa partisipasi masyarakat karena efesiensi dan efektifitas. Tetapi masih banyak tantangan dan permasalahan yang muncul jika tidak dipersiapkan sejak dini. Maka penyelenggara negara wajib memfasilitasi dan mendorong lahirnya kesadaran informasi warga negara sehingga mereka bisa memaksimalkan teknologi informasi komunikasi untuk kepentingan akses informasi publik. Apabila fungsi tersebut tidak berjalan, maka ketersediaan teknologi informasi-komunikasi sampai ke level lokal hanya akan memunculkan permasalahan sosio-kultural baru dan menggugurkan idealitas UU KIP ini. Maka dari itu sinergi dan pemahaman dari masing-masing pihak serta kesadaran untuk memaksimalkan teknologi informasi-komunikasi masih memberikan peluang bagi munculnya masyarakat partisipatif. Dengan munculnya masyarakat partisipatif tersebut, kepemerintahan yang bersih dan berdaya akan memberikan kesejahteraan dan keberadaban bagi masyarakat. Dengan demikian carut-marut reformasi dan berbagai permasalahan bangsa ini sedikit bisa dikurangi dengan partisipasi masyarakat secara maksimal. Negara ini memang harus ‘bergerak’ dan ‘berjalan’, dan masyarakat partisipatif adalah kunci dari cita-cita kolektif itu. Adapula yang menyoroti bahwa karena keterbatasan akses informasi maka budaya politik di Indonesia mengarah pada patrimonial di mana para pemegang kebijakan cenderung mengeksploitasi kekuasaan untuk kepentingan individu, bukan untuk kepentingan rakyat secara universal. Hal inilah yang melahirkan ketidak- siapan pejabat badan publik untuk melaksanakan UU No 14/2008 tentang KIP. Di bagian lain kesiapan masyarakat diharapkan dapat ikut serta ber- Hal.27 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Informasi kefarmasian dan alat kesehatan partisipasi dan mendorong keterbukaan informasi publik ini. Mengubah pola pikir tidak saja pada tingkatan pimpinan badan publik tetapi juga bagi masyarakat itu sendiri. Keterbukaan informasi publik yang dibangun UU KIP tidak akan berjalan jika tidak ada partisipasi masyarakat. Karena itu perlu adanya upaya mendorong masyarakat menggunakan hak-haknya untuk mengakses informasi dengan membudayakan keterlibatan mereka di arena keterbukaan informasi publik. Kita mungkin bisa berargumentasi jika,”kebijakan komunikasi publik pada dasarnya bukan saja menyangkut hubungan antar berbagai tingkatan kelembagaan pemerintah atau pertimbangan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi saja, namun juga merupakan persoalan mengenai hubungan antara negara dan warga negara”. Kebijakan komunikasi tersebut bukanlah sekadar tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah semata namun juga tanggung jawab masyarakat yang memiliki hak utama dalam akses informasi dan komunikasi. Praktik-praktik komunikasi publik pasti bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak: hak-hak publik atas informasi, hak tiap warga negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Layanan informasi bukan sekadar kegiatan dan aktivitas yang berkaitan dengan kelembagaan semata, melainkan juga menyangkut konteks situasi dimana lembaga pemerintah ada, konsep dasar layanan dan teknis-operasional layanan. Hal paling mendasar yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membentuk kepercayaan publik terhadap lembaga, yang bisa dimulai dari perumusan kebijakan umum, perubahan paradigma atau mindset sumber daya manusia, penataan kelembagaan, perluasan akses publik, pengemasan informasi yang menarik dan dibutuhkan oleh publik, serta pengembangan mekanisme umpan balik untuk publik kepada lembaga pemerintah. Tantangan terberat adalah mengembangkan cara-cara deliberatif dengan mengutamakan pelibatan publik melalui dialog, tukar pengala-man, dan penggalian masalah antara pemerintah dan warga negara untuk mencapai hubungan yang harmonis melalui informasi dan komunikasi. Keterlibatan warga (citizen engagement) yang merupakan inti dari demokrasi deliberatif mutiak diperlukan. Kata kunci, memgembangkan kerjasama antar-ide dan antarpihak dengan lebih menonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat dengan menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warganegara. Keterbukaan informasi publik, sebagaimana diamanatkan dalam UU No: 14/2008 tentang KIP merupakan pintu masuk untuk melakukan pengawasan, dan mereformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dianggap Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 28 berhasil ketika birokrasi mampu memberikan nilai tambah bagi efisiensi nasional, kesejahteraan rakyat, dan keadilan sosial. Keterbukaan informasi publik melalui pemberdayaan teknologi informasi dan komunikasi yang di lakukan oleh birokrasi secara profesional diasumsikan penulis mampu menjadi agen perubahan budaya birokrasi yang demokratis dan transparan. (terbebasnya budaya korupsi dan perekayasaan di birokrasi). Dalam kondisi tersebut kepercayaan publik terhadap birokrasi dan aparatumya niscaya akan tumbuh dan menguat kembali. Bila membahas keterbukaan informasi publik menuju e-government, dapat disimpuikan bahwa konsep egovernment dapat diimplementasikan pada penyelenggaraan pelayanan informasi publik sebagai amanat UU No:14/2008 tentang KIP untuk memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat. Regulasi tersebut untuk memudahkan kinerja petugas pelayanan informasi, sehingga menciptakan pelayanan informasi publik yang efektif dan efisien serta mudah diakses para pemohon informasi. Keberhasilan suatu sistem informasi manajemen pelayanan informasi publik berbasis elektronis yang merupakan penerapan e-government bergantung pada kualitas sistem, kualitas informasi dan kualitas penggunaan yang membentuk kualistas layanan publik. Hal ini akan mempengaruhi pada kepuasan pengguna/pemanfaat sistem dan berdampak pada kepuasan individu serta organisasi secara keseluruhan. Sumber: Bunga Rampai Membangun Keterbukaan Informasi Publik - Puslitbang Aptika Dan IKP Kolom Hikmah Informasi kefarmasian dan alat kesehatan “Tuhan tidak selalu memberi yang kita inginkan Tetapi Tuhan memberikan kita yang terbaik dan dibutuhkan” Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya . Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang kedelapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anakanak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si Hal.29 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 Kolom Hikmah Informasi kefarmasian dan alat kesehatan empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkalikali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014 l Hal. 30 sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan Kolom Hikmah Informasi kefarmasian dan alat kesehatan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di harihari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikanny a atas nama cinta.” Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. islampos.com Hal.31 l Buletin INFARKES Edisi IV - Agustus 2014
Similar documents
liputan - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai peran penting, memberikan dukungan koordinasi pelaksanaan tugas dan pemenuhan administrasi Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. D...
More informationtopik utama - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
sistem kesehatan diperlukan untuk mendukung kualitas pelayanan kesehatan pada semua tingkatan. Dalam topik utama kami sajikan artikel melawan resistensi antimikroba dengan penggunaan antimikroba se...
More informationUntitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
masyarakat merupakan bagian terpenting dalam seluruh pergerakan yang terjadi dalam lingkup kerja pemerintah. Salah satu tujuan mutasi adalah agar seseorang dapat menguasai dan mendalami pekerjaan l...
More information