liputan - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Transcription
Edisi V September - Oktober 2015 Sistem Informasi Peningkatan Sharing dan Akses Data Kefarmasian Era Otonomi Daerah Quantum Leap: Tantangan Berikutnya Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9 Jakarta Selatan | Lantai 8 R. 801 (021) 5214869, 5201590 ext: 8009 | www.binfar.kemkes.go.id DARI REDAKSI PENGANTAR PENGANTAR “Peran Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan” Gambar Sampul: Isa Islamawan, SH SUSUNAN REDAKTUR PENASIHAT Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan PENANGGUNG JAWAB Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai peran penting, memberikan dukungan koordinasi pelaksanaan tugas dan pemenuhan administrasi Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, peran dukungan manajerial menjangkau lebih dari peran koordinasi dan pemenuhan administrasi. Dukungan manajerial menjadi faktor penting bagi pelaksanaan program-program kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari sasaransasaran strategis kesekretariatan yang harus dimiliki oleh setiap unit utama Kemenkes. Sasaran strategis kesekretariatan antara lain meningkatkan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih, meningkatkan kompetensi dan kinerja aparatur Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, serta meningkatkan sistem informasi yang terintegrasi. Berangkat dari hal tersebut, kerja keras amat dibutuhkan untuk membawa Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes sukses mengimplementasikan strategi Kementerian Kesehatan RI. Buletin Edisi V kali ini mengetengahkan program-program yang diusung oleh Setditjen Bina Kefarmasian dan Alkes, antara lain Pengembangan Sistem Informasi Dalam Upaya Peningkatan Sharing (Berbagi) Dan Akses Data Kefarmasian Dalam Era Otonomi Daerah, tantangan berikutnya Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan tentang Komite Farmasi Nasional, menjadi topik utama. Tak ketinggalan berita-berita lainnya seputar kegiatan Ditjen Binfar dan Alkes yakni, Pameran Industri Kosmetika dan Jamu, Penyusunan Formularium, Konsultasi Teknis Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Sosialisasasi Gema Cermat dan sejumlah berita lainnya. Akhir kata kami berharap apa yang kami sajikan dalam buletin ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Salam Sehat! KETUA REDAKSI Kepala Bagian Hukum, Organisasi, Dan Hubungan Masyarakat DAFTAR ISI SEKRETARIS REDAKSI Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat Sistem Informasi Peningkatan Sharing dan Akses Data Kefarmasian Era Otonomi Daerah ANGGOTA REDAKSI Dra. Rully Makarawo, Apt Dra. Ardiyani, Apt, M.Si Aji Wicaksono, S.Farm, Apt Isnaeni Diniarti, S.Farm, Apt Wasiyah, S.AP Muhammad Isyak Guridno, S.Si, Apt Radiman, S.E Rudi, Amd. MI ALAMAT REDAKSI Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9 Jakarta Selatan Kementerian Kesehatan RI Setditjen Binfar dan Alkes, Subbagian Humas Lt. 8 R.801 (021) 5214869 / 5201590 Ext. 8009 Komite Farmasi Nasional (KFN) 06 Quantum Lead: Tantangan Berikutnya Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes 03 08 11 13 15 Peran Badan Publik Dalam Keterbukaan Informasi Publik Pameran Industri Kosmetika dan Jamu Formularium Nasional Untuk Semua Pihak Sukseskan Program Indonesia Sehat dan Nusantara Sehat Sosialisasi Gema Cermat 18 21 Rapat Kerja Kesehatan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015 25 27 29 30 Peningkatan Kapasitas Penanggung Jawab Teknis Bidang Obat Tradisional Buah Merah Kaya Akan Manfaat Sarang Semut, Tumbuhan Berkhasiat Sistem Informasi Peningkatan Sharing dan Akses Data Kefarmasian Era Otonomi Daerah R TOPIK UTAMA encana Strategis Kementerian Kesehatan periode 2015 – 2019 mengamanatkan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk meningkatkan akses dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan Rumah Tangga (PKRT) . Untuk itu, dibangun kebijakan yang bertujuan mencapai peningkatan pelayanan kefarmasian, peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan, produksi dan distribusi alkes, produksi dan distribusi kefarmasian, dan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Operasionalisasi kebijakan tersebut tidak dapat dilepaskan dari tersedianya data dan informasi kefarmasian yang lengkap, akurat, dan mutakhir. Ketersediaan data dan informasi tidak hanya penting dalam tahap perumusan suatu kebijakan, namun juga pada tahap implementasi dan tahap evaluasi. Untuk itu, perlu dirancang berbagai strategi dalam mewujudkan ketersediaan data dan informasi, mulai dari entry point, manajemen, pemanfaatan, hingga publikasinya. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan data dan informasi menghadapi tantangan desentralisasi dibidang kesehatan khususnya di bidang kefarmasian. Wewenang dan peran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/ Kota menjadi semakin besar, sehingga menimbulkan implikasi meningkatnya kebutuhan data dan informasi bagi pengambilan kebijakan di daerah. Sayang, data dan informasi kefarmasian pada tingkat nasional, terutama pada aspek kualitas data yang tersedia belum memadai. Sebab, belum terintegrasi dan terkoordinasi dalam satu mekanisme kerjasama yang baik, serta keterbatasan dalam pengambilan data antara Pusat dan Daerah semenjak Era Otonomi Daerah. Kondisi lain seperti infrastruktur yang kurang memadai, kurangnya jumlah SDM, data tersebar di banyak unit kerja, serta kurangnya koordinasi antar unit kerja di daerah merupakan gambaran sulitnya mendapatkan data dan informasi yang valid. Termasuk akses dan sharing data karena belum seluruh komputer terhubung internet. Di pusat tidak jauh berbeda kondisinya. Jumlah aplikasi yang cukup banyak, pengelolaan sistem informasi yang masih desentralisasi, output dari tiap sistem informasi belum terintegrasi secara maksimal. Hal ini jelas merupakan tantangan bagi pengelola data dan informasi di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Hal. 3 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 TOPIK UTAMA Alat Kesehatan mengumpulkan data dan informasi yang valid. Untuk berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan validitas data dan informasi, diantaranya pemutakhiran data kefarmasian tingkat propinsi maupun nasional. Mulai dari manajemen data, peningkatan kualitas entri data dan penyempurnaan model pemanfaatan data. Ditjen Binfar dan Alkes melalui dana dekonsentrasi memasukkan kegiatan pemutakhiran data tingkat propinsi sebagai salah satu menu kegiatan yang dapat diambil oleh propinsi. Hal ini bukti perhatian (concern) terhadap pentingnya data kefarmasian, baik dalam pengumpulan data terkait indikator program maupun data sarana kefarmasian. Hal. 4 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 Diharapkan dengan adanya pemutakhiran data tingkat Propinsi, akses dan sharing data yang berkualitas dari Propinsi maupun Kabupaten/Kota bisa didapatkan dengan mudah. Upaya lainnya adalah mengembangkan sistem informasi sebagai sarana publikasi data yang diperoleh dari daerah maupun pusat kepada masyarakat. Hal ini, selain merupakan media informasi publik juga merupakan wujud feedback terhadap daerah yang telah secara sukarela membantu dalam memberikan data. Salah satu sistem infomasi yang telah dikembangkan adalah Aplikasi Pemetaan Sarana Kefarmasian (APIF) berbasis website. TOPIK UTAMA Beberapa data dalam aplikasi ini adalah data-data terkait profil Instalasi Farmasi Propinsi/ Kabupaten /Kota, data Sarana Produksi Kefarmasian seperti Industri Farmasi, Perusahaan Besar Farmasi, Perusahaan Besar Bahan Baku Farmasi, Produksi Alat Kesehatan, Produksi Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), Industri Obat Tradisional, Usaha Kecil/Menengah Obat Tradisional serta data Sarana Distribusi Kefarmasian seperti Apotek, Toko Obat, Penyalur Alat kesehatan, Toko Alkes. Aplikasi APIF ini dapat dilihat secara online pada alamat apif.binfar. depkes.go.id. Aplikasi-Aplikasi lain juga telah dikembangkan oleh Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam upaya mendukung pelayanan publik, seperti e-Registrasi Alkes, e-Pharm, e-Licensing, STRA online dan lain-lain yang merupakan aplikasi berbasis online sistem. Semua ini untuk menjawab kebutuhan publik, baik masyarakat maupun dunia usaha untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi yang dibutuhkan di era Globalisasi ini. No Nama Aplikasi Pengguna Direktorat Internal – Pemberi Layanan 1 Alkes Kemenkes Alkes Kemenkes 3 Sistem Registrasi Online Sistem e-Monitoring Post Market Surveillance Sistem e-Payment Alkes Kemenkes 4 e-Sistem Surat Keterangan Alat Kesehatan Alkes 5 Aplikasi SIPNAP Prodis FM 6 Epharm Prodis FM 7 e-Licencing Prodis FM Kemenkes, Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten Kemenkes, Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten Kemenkes Kemenkes, Dinkes Provinsi 2 Eksternal – Pengguna Data Management PBF, Apotek, IFK PBF, Apotek, IFK Industri Farmasi 8 e-PBF Prodis FM 9 10 Report NPP e-Yanfar (e-Fornas) Prodis FM Yan Far 11 Pelayanan Informasi Obat 12 e-Logistic Obat Oblik 13 e-Catalog Obat dan Alkes LKPP 14 STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) Sekretariat 15 APIV Sekretariat Management 16 Sistem Pemutahiran Data Sekretariat Management PBF (Management) Yan Far Kemenkes, Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten Tabel daftar aplikasi yang dikembangan Ditjen Binfar dan Alkes Kedepan, dengan berbagai sistem informasi yang dikembangkan oleh Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat memberikan manfaat bagi Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada khususnya, dan pembangunan kesehatan pada umumnya, untuk mewujudkan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Hal. 5 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 TOPIK UTAMA KOMITE FARMASI NASIONAL “Kapasitas untuk menyediakan pelayanan kefarmasian yang baik tergantung pada dua hal; tenaga kerja yang kompeten dan tenaga akademis yang mampu mencetak tenaga kerja yang kompeten”. (Drs. Purwadi, Apt., MM., ME., Ketua KFN Periode 2014-2017) P ekerjaan kefarmasian meliputi pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Komite Farmasi nasional (KFN) merupakan unit non struktural yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan melalui Dirjen yang tugasnya untuk meningkatkan dan menjamin mutu tenaga kefarmasian (sesuai Permenkes nomor 889 tahun 2011 tentang registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga kefarmasian pasal 25 ayat 1 dan 2). Di dalam pasal 26, KFN mempunyai tugas sertifikasi dan registrasi, pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, serta pembinaan dan pengawasan. Susunan organisasi KFN terdiri dari: Divisi Sertifikasi dan Registrasi, Divisi Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan, dan Divisi Pembinaan dan Pengawasan. Anggota KFN ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan Direktur Jenderal berjumlah 9 orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari: Kementerian Kesehatan RI, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Organisasi Profesi, Organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian, Perhimpunan dari Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional. Divisi Sertifikasi dan Registrasi bertugas menyiapkan rancangan cetak biru sertifikasi dan registrasi; menyusun pedoman tata laksana sertifikasi dan registrasi serta melaksanakan registrasi. Divisi Pendidikan dan Pelatihan mempunyai tugas menyusun cetak biru pengembangan pendidikan berkelanjutan, menyusun pedoman pengembangan pendidikan berkelanjutan, menetapkan angka Satuan Kredit Profesi (SKP) pada pelaksanaan pengembangan pendidikan berkelanjutan. Divisi Pembinaan dan Pengawasan, mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kefarmasian dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Salah satu bentuk registrasi yang dilakukan KFN ialah registrasi Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi. Surat tanda registrasi berupa STRA Hal. 6 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 bagi Apoteker dan STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian. Syarat memperoleh STRA, Apoteker mengajukan permohonan kepada KFN dengan menggunakan Formulir, Surat permohonan STRA harus melampirkan fotokopi ijazah Apoteker, fotokopi surat sumpah/ janji Apoteker, fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku, surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik, surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi, pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar. TOPIK UTAMA Permohonan STRA dapat diajukan dengan menggunakan teknologi informatika atau secara online melalui website KFN. KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap . Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan. Surat permohonan STRTTK harus melampirkan fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker, surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik, surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian, surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian, dan pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi harus menerbitkan STRTTK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap. STRA atau STRTTK dapat dicabut karena, permohonan yang bersangkutan, pemilik STRA atau STRTTK tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan surat keterangan dokter, melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian, d. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. Pencabutan STRA disampaikan kepada pemilik STRA dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi profesi. Pencabutan STRTTK disampaikan kepada pemilik STRTTK dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian. Di dalam website resmi KFN, disebutkan bahwa selama tahun 2015, ada 1917 orang apoteker yang permohonan STRAnya telah di approve oleh KFN. KFN juga mendata hingga saat ini terdapat 54187 orang tenaga apoteker yang terdiri dari 12467 apoteker laki-laki dan 41720 apoteker wanita. Hingga tahun 2015 pula, 54187 apoteker telah terdaftar secara resmi. Anggota KFN periode 2014 - 2017: 1. Drs. Purwadi, Apt., MM., ME. (Ketua merangkap Anggota) 2. Dr. Faiq Bahfen, SH 3. Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si 4. Prof. Dr. Tutus Gusnidar K., Apt. 5. Dr. Umi Athiyah, Apt., M.S. 6. Drs. Nurul Falah Eddy P., Apt. 7. Drs. Ahaditomo, Apt., M.S. 8. Drs. Bambang Triwara, Apt., Sp.FRS 9. Dra. Suzana Indah Astuti, M.Si., Apt. Hal. 7 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 TOPIK UTAMA Quantum Leap: Tantangan Berikutnya Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes R.Himawan roy.himawan@kemkes.go.id S ekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan merupakan unit kerja yang bertugas memberikan dukungan koordinasi pelaksanaan tugas dan pemenuhan administrasi dalam pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dukungan itu berbentuk koordinasi lintas program maupun lintas sektor. Sebagai contoh, dalam hal siklus perencanaan dan penganggaran, Sekretariat Ditjen bertugas memberikan fasilitasi dan koordinasi, untuk memastikan kebutuhan kegiatan teknis Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat terakomodir dalam dokumen perencanaan-penganggaran. Contoh lainnya, dalam hal penatalaksanaan kewajiban keuangan-barang milik negara, maka Sekretariat Ditjen menjalankan tugas yang sama, sehingga pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan memenuhi standar ketentuan yang berlaku. Alhamdulilaahirabbil’aalamin, kedua tugas tersebut telah dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, di bidang perencanaan-penganggaran, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan tidak pernah menjumpai dokumen penganggaran yang mendapat ‘bintang’ karena kekurangan dokumen perencanaan. Bila pun ada ‘bintang’, hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang ada di luar kendali Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, seperti: belum turunnya persetujuan Presiden. Dalam hal penatalaksanaan administrasi keuangan dan BMN, Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan mendapat predikat Wajar Tanpa Pendapat dari Badan Pemeriksa Keuangan. Sebuah kebanggaan bagi Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mampu berkontribusi positif pada pencapaian predikat Kementerian Kesehatan. Contoh lainnya adalah pencapaian Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam penilaian/ evaluasi penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Pada periode empat tahun terakhir, hasil penilaian Hal. 8 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 penyelenggaraan SAKIP Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan senantiasa berada pada tingkat A. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan program telah memenuhi unsur-unsur transparansi dan akuntabilitas. Untuk itu, tidaklah berlebihan bila Sekretariat Ditjen mendapat apresiasi atas kinerja maksimalnya dalam menjalankan tugas memberikan dukungan koordinasi dan pemenuhan administrasi. Akan tetapi, apakah kinerja tersebut sudah cukup untuk mengantar Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan sejajar dengan program kesehatan lain? Sasaran Strategis Kesekretariatan Sesungguhnya peran kesekretariatan dalam Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan lebih dari itu. Bila kita merujuk ke dokumen Rencana Strategis, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2015-2019, maka dapat dilihat bahwa peran dukungan manajerial menjangkau lebih dari peran koordinasi dan pemenuhan TOPIK UTAMA administrasi saja. Dalam Renstra, dukungan manajerial menjadi faktor penting bagi pelaksanaan program kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari sasaran strategis kesekretariatan yang harus dimiliki oleh setiap unit utama Kemenkes. Sasaran strategis pertama, meningkatkan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih. Meliputi pengelolaan keuangan yang efektifefisien-ekonomis-taat peraturan, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dengan memperhatikan rasa keadilan serta kepatutan. Melakukan upaya pengawasan melekat yang bermutu. Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan harus merumuskan kegiatan-kegiatan yang mengandung prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan bersih tersebut. Dengan demikian, kegiatankegiatan Sekretariat Ditjen akan membawa seluruh unit teknis Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melakukan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih. Sasaran strategis kedua, meningkatkan kompetensi dan kinerja aparatur Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Upaya ini dapat dilakukan dengan menyusun standar kompetensi jabatan struktural untuk semua tingkat eselon, dan mengembangkan sistem kaderisasi yang efektif. Dalam hal ini, Sekretariat Ditjen dapat belajar dari cara BPJS Kesehatan (BPJS-K) mengembangkan karir pegawainya melalui talent pool. Sistem talent pool memungkinkan manajemen BPJS-K memiliki informasi tentang potensi yang dimiliki oleh setiap pegawainya. Identifikasi potensi tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menyusun peta karier pegawai, sehingga setiap pegawai memiliki informasi yang cukup tentang masa depan kariernya di BPJS-K. Sebagai hasilnya, di lingkungan pegawai tercipta nuansa persaingan sehat yang pada akhirnya berkontribusi positif terhadap kinerja BPJS-K. Sesungguhnya Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki kualitas aparatur yang dapat diandalkan. Keberadaan sistem kaderisasi dapat membantu Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk mendapatkan outcome terbaik dari talenta para aparaturnya. Tentunya, perumusan sistem kaderisasi tersebut merupakan tanggung jawab Sekretariat Ditjen. Sasaran strategis ketiga, meningkatkan sistem informasi yang terintegrasi. Inilah sasaran strategis yang memiliki daya dorong luar biasa bagi kesuksesan penyelenggaraan program. Sebagaimana diketahui, operasional Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem informasi. Berdasarakan pemantauan, setidaknya terdapat lebih dari 11 sistem informasi yang disusun oleh Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Mulai dari sistem registrasi (seperti e-licensing sarana produksi dan distribusi kefarmasian, e-regalkes, STRA online), sistem pemetaan (seperti aplikasi pemetaan sarana kefarmasian dan alat kesehatan–APIF, e-FORNAS, e-logistic), sampai sistem pelaporan online (seperti e-report PBF, SIPNAP, e-watch Alkes, e-yanfar, dan e-reporting Binfar Alkes). Seluruh sistem tersebut memiliki data dan menghasilkan Hal. 9 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 TOPIK UTAMA informasi yang berharga, namun belum termanfaatkan secara saling terkoneksi. Akibatnya, seluruh sistem informasi tersebut cenderung ‘hidup menyendiri’ dan tidak termanfaatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan maupun perumusan kebijakan. Bila Sekretariat Ditjen ingin mendorong Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan beberapa langkah lebih maju, maka integrasi sistem informasi merupakan alternatif yang layak untuk ditempuh. Kita dapat belajar dari beberapa perusahaan swasta yang telah mengembangkan decision support system untuk mendukung operasional perusahaan mereka. Sistem tersebut menggabungkan berbagai data terkait operasional perusahaan, mengolahnya sesuai prosedur tertentu, dan menyajikan output informasi yang menggambarkan kinerja perusahaan maupun bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dengan logika yang sama, dapat diusulkan sistem registrasi e-licensing sarana produksi dan distribusi kefarmasian terkoneksi dengan sistem STRA online. Pendekatan ini memungkinkan jajaran Ditjen memperoleh informasi persentase tenaga kefarmasian yang bekerja di sektor kefarmasian nasional, ataupun track record setiap tenaga kefarmasian yang ada di Indonesia. Logika yang sama juga dapat diterapkan untuk sistem e-report PBF dengan APIF, sehingga informasi yang pemetaan yang ditampilkan akan lebih berbobot, aktual, dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan advokasi program. Tentunya hal-hal tersebut masih berupa ide kasar yang perlu mendapat penyempurnaan. Namun, bila kesadaran dan komitmen akan pentingnya integrasi sistem informasi tumbuh pada setiap jajaran Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, maka bukan tidak mungkin hal tersebut akan tercapai dalam waktu dekat. Quantum Leap: Rencana Aksi Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Uraian-uraian tersebut merupakan informasi yang diperoleh dari dokumen Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 dan sumber-sumber lain yang dijumpai. Tentunya, bila Sekretariat Ditjen ingin melangkah menuju hal-hal tersebut, diperlukan komitmen perencanaan periode lima tahunan yang menjabarkan secara detil hal-hal tersebut dalam sebuah dokumen. Sesuai kaidah SAKIP, setiap satuan kerja di lingkup unit utama wajib menyiapkan Rencana Aksi Kegiatan sebagai sumber dokumen kinerja. Untuk itu, tidaklah berlebihan bila uraian-uraian di atas dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam dokumen Rencana Aksi Kegiatan Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, serta menjadi langkah-langkah operasional selama Hal. 10 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 lima tahun ke depan. Penulis meminjam istilah Quantum Leap, yang dengannya seorang Emirsyah Satar berhasil membawa Garuda Indonesia meloncat dari jurang kerugian dan ketertinggalan menuju podium keuntungan dan keunggulan. Sebuah loncatan serupa, dibutuhkan oleh Sekretariat Ditjen dalam menampilkan kinerja terbaiknya untuk membawa Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan sejajar dengan program kesehatan lain. Seperti keberhasilan yang telah dicapai Sekretariat Ditjen dalam tugas pemberian dukungan koordinasi maupun administrasi pelaksanaan program selama beberapa tahun terakhir, maka loncatan ini hendaknya dapat pula berhasil memenuhi tujuannya. Lazimnya sebuah lompatan, selain kejelasan arah sebuah lompatan, diperlukan keberanian untuk menanggung sakit yang sedikit lebih besar dari biasanya, serta kekuatan seluruh sumber daya untuk menggerakkan kaki sedikit lebih tinggi dan lebih jauh dari biasanya. Penulis meyakini, hal-hal tersebut telah dimiliki oleh segenap aparatur Sekretariat Ditjen, dan menunggu mobilisasi yang kuat untuk menghasilkan kinerja yang unggul. Untuk itu, Quantum Leap di lingkup Sekretariat Ditjen dapat dimulai dengan sebuah Rencana Aksi Kegiatan yang hidup. ARTIKEL PERAN BADAN PUBLIK DALAM KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Terbuka, bukan berarti telanjang. Tapi ada sisi lain yang dikecualikan sesuai dengan uji konsekuensi yang telah dilakukan. Badan publik tak boleh serampangan melakukan pengecualian. Ada rambu-rambu yang harus dipenuhi, termasuk menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat secara mudah, murah, cepat dan akurat. K ebebasan dan keterbukaan tentu merupakan anugrah yang diharapkan banyak pihak. Sebaliknya, ketidakpastian dan ketidakteraturan menjadi sesuatu yang harus dihindari. Dalam konteks inilah kebebasan informasi diharapkan menjadi spirit demokratisasi yang menawarkan kebebasan sekaligus tanggung jawab secara bersamaan. Kebebasan informasi, di satu sisi harus mendorong akses publik terhadap informasi secara luas. Sementara di sisi yang lain, kebebasan informasi juga sekaligus dapat membantu memberikan pilihan langkah yang jelas bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan secara strategis. Iklim seperti ini pula yang diharapkan dapat melahirkan model governability dimana negara dapat memfungsikan dirinya secara efektif dan efisien tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berdampak konsekuensi logis akan kewajiban untuk membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat, tentunya dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana tercantum pada UU tersebut dan juknis/juklak terkait. Di dalam UU No 14 Tahun 2009 Pasal 4 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini. Setiap Orang berhak melihat dan mengetahui Informasi Publik, menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik, mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini dan menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setiap pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan tersebut. Setiap pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pentingnya badan publik menyelenggarakan keterbukaan informasi publik diantaranya bertujuan agar membentuk opini publik melalui informasi yang akurat, informasi publik yang akurat dapat mencegah rumor negatif dan tidak benar beredar, meminimalisir korupsi dan penyalahgunaan informasi orang dalam, memperbaiki kinerja badan publik secara lebih tepat, membangun hubungan baik dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap badan publik, menjamin akuntabilitas lembaga tersebut. Kewajiban badan publik dalam rangka keterbukaan informasi publik adalah menunjuk dan mengangkat pejabat pengelola informasi dan dokumentasi, menetapkan standar prosedur operasional, menyediakan dan memberikan informasi (secara berkala, serta merta, tersedia setiap saat, dan berdasarkan permintaan), menyediakan sarana dan prasarana, menetapkan standar biaya., menyediakan anggaran, menanggapi keberatan, serta membuat dan Hal. 11 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 ARTIKEL mengumumkan laporan pelayanan informasi. Ada 4 jenis informasi yang terdapat di dalam UU No 14 tahun 2008. Pertama, Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala. Informasi jenis ini Disediakan/diumumkan secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu tertentu setidaknya setiap 6 bulan sekali. Penyebarluasan informasi disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Contohnya adalah informasi berkaitan dengan Badan Publik (profil, kedudukan, kepengurusan, maksud dan tujuan didirikannya badan publik), informasi kegiatan dan kinerja Badan Publik, informasi ttg laporan keuangan, informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Untuk Sekretariat Direktorat Jenderal Binfar & Alkes, contoh Informasi yang diumumkan secara berkala adalah: Profil Kefarmasian Ditjen Binfar dan Alkes, Buku Kinerja Ditjen Binfar dan Alkes, Daftar Sarana Apotek Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Toko Obat Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Industri Kosmetika Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Industri Obat Tradisional Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Usaha Kecil/ Mikro Obat Tradisional Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Industri Farmasi Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Pedagang Besar Farmasi Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Penyalur Alat Kesehatan Seluruh Indonesia, Daftar Sarana Cabang Penyalur Alat Kesehatan Seluruh Indonesia, Laporan Tahunan Ditjen Binfar dan Alkes, DIPA Ditjen Binfar dan Alkes, Daftar Sarana Industri Alkes, Daftar Sarana Industri PKRT, serta Laporan Tahunan Setditjen Binfar dan Alkes Kedua, Informasi Yang harus diumumkan secara serta merta. Informasi jenis ini Wajib diumumkan tanpa penundaan. Biasanya Menyangkut ancaman terhadap hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Informasi ini sifatnya aktif, artinya informasi yang wajib diumumkan seketika terjadinya keadaan yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umm seperti informasi Hal. 12 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 tentang bencana, kerusuhan massal, dll. Ketiga, informasi yang wajib tersedia setiap saat. Informasi jenis ini sifatnya informasi pasif, artinya untuk memperolehnya harus dilakukan dengan mengajukan permintaan. Informasi yang wajib tersedia setiap saat mencakup daftar seluruh informasi dalam penguasaan badan publik, keputusan badan publik dan pertimbangannya, kebijakan badan publik dan dokumen pendukungnya, rencana proyek dan anggaran tahunannya, perjanjian badan publik dengan pihak ketiga, informasi dalam pertemuan yang bersifat terbuka untuk umum, prosedur kerja yang berkaitan dengan layanan publik, laporan layanan akses informasi, informasi lain yang telah dinyatakan terbuka untuk diakses publik berdasar putusan sengketa informasi publik. Keempat, daftar informasi yang dikecualikan. Sesuai dengan permenkes no 1 tahun 2015, Dokumen informasi yang dikecualikan di lingkungan Kementerian Kesehatan, dikategorikan menjadi: dokumen keuangan, dokumen Barang Milik Negara (BMN), dokumen hukum, dokumen terkait produk/putusan Konsil Kedokteran Indonesia, dokumen identitas masyarakat, dokumen pengawasan, dokumen kepegawaian, dokumen produk/putusan yang berkaitan dengan kefarmasian dan alat kesehatan, dokumen penelitian dan pengembangan, dokumen terkait fasilitas kesehatan, dokumen kependidikan, dokumen tertentu, dokumen yang terkait dengan sistem keamanan teknologi informasi. LIPUTAN PAMERAN INDUSTRI KOSMETIKA DAN JAMU “Pemerintah terus berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, agar dunia usaha tetap bergairah melakukan investasi di Indonesia, sehingga industri kosmetik dan jamu nasional mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri (Menteri Perindustrian Saleh Husein)” I ndustri kosmetik, jamu dan obat tradisional di Indonesia merupakan salah satu sektor strategis yang mampu menggerakkan roda perekonomian nasional. Oleh karena itu, upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif agar dunia usaha tetap melakukan investasinya di Indonesia sekaligus meningkatkan daya saing yang tinggi sehingga industri kosmetik, jamu, dan obat tradisional dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan gencar dilakukan oleh pemerintah saat ini. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan selaku unit utama di Kementerian Kesehatan RI selalu berupaya melakukan pembinaan dan pengembangan industri obat tradisional agar tetap terjamin dalam mutu dan ketersediaan bahan baku dengan melakukan berbagai langkah pembinaan ke hulu dan hilir pada industri ini. Pada tanggal 1 September 2015, Kementerian Kesehatan RI ikut berperan aktif dalam pameran Industri Kosmetik dan Jamu yang diadakan oleh Kementerian Perindustrian di Plasa Industri dengan memberikan arahan dan penjelasan kepada para pengunjung pameran seputar perizinan industri kosmetik dan obat tradisional. Dapat disampaikan, industri kosmetik nasional memberikan kontribusi yang cukup signifikan baik dari nilai ekspor, omzet, maupun penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2012, nilai ekspor kosmetik mencapai Rp. 9 triliun atau tiga kali lipat dari tahun sebelumnya sebesar Rp. 3 triliun. Dari segi penjualan di dalam negeri juga mengalami peningkatan, pada tahun 2013 mencapai Rp. 11,2 triliun atau tumbuh 15% dibandingkan tahun 2012 sebesar Rp. 9,7 triliun. Sedangkan dari segi penyerapan tenaga kerja, sebanyak 760 perusahaan kosmetik yang tersebar di wilayah Indonesia telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 75.000 orang secara langsung dan 600.000 orang secara tidak langsung. “Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, industri kosmetik nasional juga menunjukkan tren industri yang meningkat. Saat ini, produk kosmetik selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga diekspor hingga menembus pasar internasional, seperti: ASEAN, Jepang, Timur Tengah, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Afrika,” tegas Menperin. Sementara itu, industri jamu dan obat tradisional juga mencatatkan prestasi yang cukup menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut terlihat dari omzet yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, penjualan mencapai Rp. 14 triliun dan pada tahun 2014 diperkirakan mencapai Rp. 15 triliun. Hal. 13 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Saat ini, terdapat 1.247 industri jamu yang terdiri dari 129 Industri Obat Tradisional (IOT) dan selebihnya termasuk golongan Usaha Menengah Obat Tradisional (UMOT) dan Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Bahkan, industri obat tradisional mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 15 juta orang, dimana 3 juta terserap di industri jamu yang berfungsi sebagai obat dan 12 juta orang lainnya terserap di industri jamu yang telah berkembang kearah makanan, minuman, kosmetik, spa, dan aromaterapi. Dengan diterbitkannya UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Menperin memastikan mampu mendorong pertumbuhan industri kosmetik dan jamu nasional baik dalam skala besar maupun skala kecil dan menengah.“Undang-undang ini memiliki peraturan turunan yaitu Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035, dimana industri kosmetik dan jamu menjadi salah satu industri andalan, yaitu industri prioritas yang berperan besar sebagai penggerak utama (prime mover) perekonomian di masa yang akan datang,” jelasnya. Di samping itu, menurut Menperin, Pemerintah juga terus berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif agar dunia usaha tetap bergairah melakukan investasinya di Indonesia sehingga industri kosmetik dan jamu nasional mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Meskipun demikian, saat ini industri jamu nasional mendapat tantangan dengan beredarnya produk jamu ilegal. Jamu ilegal Hal. 14 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 tersebut mengandung bahan baku obat atau bahan kimia yang dilarang, tidak memiliki izin edar, dan bahkan banyak yang tidak memiliki Izin Usaha Industri. Keberadaan produk obat tradisional atau herbal tersebut selain meresahkan masyarakat karena kualitas yang tidak memenuhi standar kesehatan juga akan menimbulkan kompetisi yang tidak sehat dengan produk obat tradisional atau herbal yang legal dan terjamin kualitasnya. Pameran yang akan berlangsung sampai dengan tanggal 4 September 2015 ini dibuka langsung oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin, Presdir PT. Mustika Ratu Putri Kuswisnu Wardani, serta Presdir PT. Nyonya Meneer Charles Saerang dengan pengguntingan. Dalam pameran ini, Kementerian Kesehatan tidak ketinggalan dengan kampanye “Bude Jamu” (Bugar dengan Jamu) dengan menyediakan jamu yang dapat dinikmati oleh pengunjung, Menteri Perindustrian Saleh Husin juga menyempatkan diri untuk mencicipi jamu di stan pameran Kementerian Kesehatan RI ini. (humasbinfar_RD) LIPUTAN RAPAT PLENO FORMULARIUM FORMULARIUM NASIONAL UNTUK SEMUA PIHAK Formularium Nasional harus memenuhi harapan semua pihak, terutama masyarakat. Obat harus tersedia, aman, terjangkau dan rasional sesuai standar. Sehingga pelayanan kesehatan lebih bermutu dengan belanja obat yang terkendali. M enteri Kesehatan, Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M(K) membuka Rapat Pleno Formularium Nasional (Fornas) 2015, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (3/9). Fornas merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan, sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hadir dalam acara tersebut, Ketua Komnas Penyusunan Fornas Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med. Sc., Ph.D dan anggota Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional. Hadir pula Direktorat terkait di lingkungan Kemenkes dan unit pengelola program kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), BPJS Kesehatan, pakar dari perguruan tinggi di bidang kesehatan, praktisi kedokteran dan farmasi, Dinas Kesehatan Provinsi terpilih, rumah sakit milik pemerintah maupun swasta serta organisasi profesi. Dalam sambutannya, Menkes mengatakan, JKN telah berjalan hampir tahun sejak 1 Januari 2014. Masih banyak yang harus diperbaiki, salah satunya dalam memastikan tercapainya aksesibilitas, affordibility, dan penggunaan rasional dalam pelayanan kesehatan yang komprehensif. “Dengan mempertimbangkan basis bukti terkini dan biaya manfaat pengobatan dari usulan berbagai pengambil kebijakan. Karena itu Fornas yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan seluruh peserta dan terpenuhi dengan sumber daya yang tersedia. Dalam rapat pleno ini diharapkan dapat menghasilkan draft Fornas 2015. Dalam pengimplementasiannya, Fornas bersifat dinamis sehingga perlu dilakukan evaluasi atau revisi obat Fornas sesuai dengan kebutuhan medis dan perkembangan ilmu pengetahuan,” kata Menkes Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek berharap pelaksanaan revisi Formularium Nasional (Fornas) 2015 dapat diperoleh hasil penyempurnaan Fornas, sehingga makin melengkapi kebutuhan terapi sesuai indikasi medis secara rasional. Saat penyusunan Fornas, Pemerintah menyiapkan konsep penyediaan daftar dan harga obat dalam JKN. Dengan mempertimbangkan basis bukti terkini dan biaya manfaat pengobatan dari usulan berbagai stakeholders. Oleh karena itu Fornas yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan seluruh peserta dan terpenuhi dengan sumber daya yang tersedia. Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, Drs. Bayu Tedja Mulyawan M.Pharm, MM., menyebutkan, Item obat yang diusulkan untuk dimasukkan dalam Fornas 2015 berjumlah 389 item terdiri dari 611 bentuk sediaan/ kekuatan. “Kemudian setelah dilaksanakan pembahasan teknis sebanyak 5 kali, telah dihasilkan draft Fornas 2015 dengan jumlah 574 item obat dalam 1060 bentuk sediaan/ kekuatan terbagi dalam 29 Kelas Terapi dan 90 Sub Kelas Terapi,” katanya. Dalam pembahasan teknis disepakati bahwa kriteria obat yang dimasukkan dalam Formularium Nasional harus memenuhi prinsipprinsip efficacy, safety, availability, accessibility, affordability serta pembicaraan dalam setiap rapat Hal. 15 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN pembahasan Fornas bersifat confidential dan tidak konflik kepentingan. Proses revisi Fornas dilakukan sebagai upaya penyempurnaan, tidak hanya untuk menyesuaikan dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi di bidang obat dan kedokteran, pola penyakit maupun program kesehatan, tetapi juga untuk memberikan ruang perbaikan terhadap isi Fornas, meningkatkan kepraktisan dalam penggunaan dan penyerahan obat kepada peserta, yang disesuaikan dengan kompetensi tenaga kesehatan dan tingkat pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan JKN. Fornas bertujuan untuk menyediakan acuan nasional bagi RS dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang melaksanakan SJSN, menyediakan acuan bagi tenaga medis untuk menetapkan pilihan obat yang tepat, paling efficacious dan aman, dengan harga yang terjangkau, mendorong penggunaan obat secara rasional sesuai standar, sehingga pelayanan kesehatan lebih bermutu dengan belanja obat yang terkendali (cost effective). Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kegiatan Revisi Formularium Nasional telah dimulai sejak November 2014, dengan mengirimkan surat permintaan usulan ke 812 instansi yang terdiri dari Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Dinas Kesehatan Provinsi, Organisasi Profesi dan unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan. Dari jumlah tersebut ada 180 instansi yang memberikan usulan terdiri dari 4 Dinas Kesehatan Provinsi, 4 unit program Kementerian Kesehatan, 104 RS pemerintah, 34 RS swasta dan 34 Organisasi Profesi. Dalam penyusunannya, Pemerintah menyiapkan konsep penyediaan daftar dan harga obat dalam JKN, dengan mempertimbangkan basis bukti terkini dan biaya manfaat pengobatan dari usulan berbagai stakeholders, sehingga Fornas yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan seluruh peserta dan terpenuhi dengan sumber daya yang tersedia. Dalam perjalanan implementasinya, sehingga perlu dilakukan evaluasi/review obat Fornas sesuai dengan kebutuhan medis dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sesuai amanat Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dielaborasi dalam Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Perpres No. 12 Tahun 2013, bahwa pelayanan Hal. 16 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) untuk peserta jaminan kesehatan pada fasilitas kesehatan, berpedoman pada daftar dan harga obat dan BMHP yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, disusun secara transparan dan akuntabel oleh Komite Nasional Fornas, serta ditinjau kembali paling lambat 2 (dua) tahun sekali. Komite Nasional Fornas 2015 telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan terdiri dari: pakar di bidang farmakologi, farmakologi klinik, praktisi farmasi, wakil dari organisasi profesi dokter dan dokter spesialis, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Koordinasi Keluarga Besar Nasional (BKKBN), wakil dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta unit terkait di Kementerian Kesehatan. Sebagai upaya penyempurnaan Fornas 2013, telah dilaksanakan evaluasi/reviu, pertama pada tahun 2014, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159/ MENKES/SK/V/2014. Proses revisi Fornas dilakukan sebagai upaya penyempurnaan, tidak hanya untuk menyesuaikan dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi di bidang obat dan kedokteran, pola penyakit maupun program kesehatan, tetapi juga untuk memberikan ruang perbaikan terhadap isi Fornas, meningkatkan kepraktisan dalam penggunaan dan penyerahan obat kepada peserta, yang disesuaikan dengan kompetensi tenaga kesehatan dan tingkat pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan JKN. Dalam proses penyusunan revisi Fornas, usulan obat yang diterima berasal dari Organisasi Profesi LIPUTAN Dokter Spesialis, Fasilitas Kesehatan Rujukan dan Primer, Dinas Kesehatan Prov/Kab/Kota, serta unit program terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan, untuk selanjutnya dibahas dalam rapat pembahasan teknis, dihadiri oleh Komite Nasional Fornas dan ahli yang terkait. Komnas Fornas dalam melakukan pembahasan telah mempertimbangkan bahwa setiap obat yang dapat masuk dalam Fornas harus sudah terdaftar di Indonesia dengan indikasi penggunaan sesuai dengan indikasi yang disetujui oleh Badan POM, serta memiliki rasio manfaat-risiko yang paling menguntungkan, rasio manfaat-biaya yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung, juga dapat mempertimbangkan masukan atau saran dari Komite HTA pada kajian obat yang terkait. Selain itu, mengoptimalkan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien kepada masyarakat dan Memudahkan perencanaan dan penyediaan obat di Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Dalam rangka menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat, telah ditetapkan regulasi yang terkait di bidang obat yaitu : 1. Formularium Nasional (Fornas), yang merupakan penetapan jenis item obat yang dijamin oleh BPJS berdasarkan kriteria pemilihan obat. Kriteria pemilihan obat dalam Fornas adalah sebagai berikut: a. Memiliki khasiat dan keamanan berdasarkan bukti ilmiah mutakhir dan valid. b.Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan. c. Memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh Badan POM. d.Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi. e.Dalam kriteria ini tidak termasuk obat tradisional dan suplemen makanan f. Apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada obat yang memiliki kriteria berikut: Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah, sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan, stabilitasnya lebih baik, dan mudah diperoleh. g. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut: obat hanya bermanfaat bagi penderita jika diberikan dalam bentuk kombinasi tetap, kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada masing-masing komponen, perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut, kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio), dan untuk antibiotik, kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi atau efek merugikan lainnya. 2. Kebijakan e-catalogue yang merupakan penetapan harga obat berdasarkan hasil lelang dan negosiasi. Hal tersebut ditetapkan sebagai salah satu upaya dalam menjamin kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan pada era JKN untuk mencapai patient safety dimana masyarakat dapat memperoleh obat yang aman, bermutum berkhasiat dan costeffectiveness. Hal. 17 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Pentingnya Peningkatan Mutu Pelayanan Kefarmasian RAPAT KONSULTASI TEKNIS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN P rogram Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melakukan upaya-upaya strategis dan inovatif pada periode pembangunan kesehatan 2010-2014 yang lalu. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan dengan terstruktur untuk mengatasi tantangan dan mencapai target program yang telah diamanahkan dalam RPJMN maupun Renstra Kementerian Kesehatan. Rapat Konsultasi Teknis Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian merupakan salah satu forum Nasional yang diselenggarakan oleh Unit Eselon II Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Forum ini diselenggarakan dalam rangka berkoordinasi dalam hal teknis pelaksanaan dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya, seperti organisasi profesi kefarmasian. Forum ini juga untuk mengawali pelaksanaan pembangunan kefarmasian dan alat kesehatan di periode 2015-2019, atau periode RPJMN ke-III dalam pembangunan jangka panjang (2004-2025). Kegiatan ini juga sejalan dengan Kebijakan dan Pemantapan Pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan Periode 2015-2019, yang telah termuat dalam RPJMN 2015-2019 (Perpres No. 2 Tahun 2015) dan Renstra Kementerian Kesehatan (SK Menkes No. 52 Tahun 2015). Pada tahun ini, Rapat Konsultasi Teknis Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian diselenggarakan di Hotel Royal Hal. 18 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Kuningan, 8-11 September 2015. Dalam Rapat Konsultasi Teknis kali ini diadakan juga paparan mengenai “Peran Serta Masyarakat dalam Peningkatan POR” oleh Prof. Sri Suryawati, paparan mengenai “Seleksi Obat dalam JKN” oleh Prof. Iwan Dwiprahasto, dan pada awal tahun 2015 ini. Rakonas tersebut telah menghasilkan rekomendasi kepada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk melanjutkan dan meningkatkan upaya mewujudkan aksesibilitas, mutu, dan kemandirian sediaan farmasi maupun Renstra Kementerian Kesehatan. Walaupun terdapat beberapa kelemahan dan timbulnya tantangan baru, saya ingin mengajak Saudara-saudara sekalian untuk mencermati capaian program kita selama 5 tahun terakhir, baik dari sisi paparan mengenai “Mutu Pelayanan Kefarmasian dalam Pelayanan Kesehatan Primer” oleh Dra. A. Adji Prayitno Setiadi, M.S., Apt. Selain paparan, Rakontek Dit Bina Yanfar kali ini juga mengadakan beberapa diskusi panel yang dipimpin oleh Kepala PPSDM, Dirjen BUK, Dir Bina Oblik & Perbekkes, Kepala Puskesmas, Direktur BPJS. Dalam sabutannya Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D mengatakan di tingkat Ditjen Binfar dan Alkes telah dilaksanakan Rapat Konsultasi Nasional di dua regional dan alat kesehatan, terutama dalam rangka mensukseskan programprogram prioritas Kemenkes seperti Program Indonesia Sehat dan Program Nusantara Sehat. “Saya berharap, kita dapat melaksanakan rekomendasi tersebut. Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melakukan upayaupaya strategis dan inovatif pada periode pembangunan kesehatan 2010-2014 yang lalu. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan dengan terstruktur untuk mengatasi tantangan dan mencapai target program yang telah diamanahkan dalam RPJMN produksi dan distribusi, manajemen logistik dan perbekalan kesehatan, sampai kepada pelayanan kefarmasian” ujar Dirjen Binfar Alkes Dirjen Binfar dan Alkes mengatakan, tantangan yang harus diantisipasi Program dalam periode 2015-2019 adalah disparitas ketersediaan obat antar region, provinsi, dan kabupaten/ kota. Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah belum optimalnya pemanfaatan sistem informasi terkait manajemen logistik, misal. e-logistic, pemantauan e-purchasing, sampai dengan pengendalian harga obat. Ketersediaan obat dan vaksin akan Hal. 19 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN dipantau sampai ke tingkat Puskesmas. Selain itu, kualitas manajemen logistik obat dan perbekkes juga menjadi perhatian, mengingat semakin banyak pihak yang menyadari arti penting pengelolaan obat satu pintu (terpadu). Dengan demikian, menjadi hal yang prioritas bagi kita untuk meningkatkan manajemen logistik obat dan perbekkes, terutama di sektor publik. Periode 2010-2014 juga telah diwarnai dengan meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Persentase instalasi yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta meningkatkan penggunaan obat rasional telah dilakukan. Namun semua hal tersebut belum berjalan secara optimal sebagaimana diharapkan. Untuk itu, pada saat SJSN diterapkan, secara regulasi, tidak ada perubahan yang berarti. Regulasi yang sudah ada tetap diterapkan, tidak bertentangan dengan regulasi yang terkait SJSN. Hanya beberapa kebijakan yang perlu diperkuat, untuk mendukung implementasi SJSN sesuai ketentuan yan ada. Misalnya penerapan Formularium Nasional sebagai daftar obat yang ditetapkan Menkes peserta jaminan mendapatkan mutu pelayanan kesehatan yang terbaik dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Sehingga pelayanan berjalan secara efektif dan efisien melalui sistem kendali mutu sekaligus kendali biaya. Dengan demikian, diharapkan aksesisibilitas, keterjangkauan dan penggunaan obat secara rasional dapat tercapai. Selain itu, terdapat juga paparan dari Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan Dr. B. Eka A. Wahjoeni, M.Kes. Dalam paparannya dikatakan, Strategi Kementerian Kesehatan dalam mendukung Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional adalah dengan farmasi RS yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar meningkat menjadi 45,9% di tahun 2014 (dari semula 25% di tahun 2010). Penggunaan obat rasional di puskesmas meningkat menjadi 69,9% (semula 56,3%). Hal menunjukkan perbaikan kualitas pelayanan kefarmasian, baik di tingkat fasilitas kesehatan dasar maupun rujukan. Secara garis besar, saat ini, sudah cukup banyak regulasi maupun kebijakan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan pelayanan kefarmasian. Standarnya pun sudah disiapkan untuk beberapa faskes, yaitu untuk di RS dan apotek. Upaya pemerintah dalam menjamin akses terhadap obat untuk dijamin oleh BPJS, juga sistem penyediaan obat terpusat (group purchasing) melalui e-catalog, sistem pemantauan ketersediaan, dsb. Dengan demikian, dalam SJSN nanti, tentunya tetap harus sesuai ketentuan perundangan yang sudah ada, dan tidak boleh bertentangan. SJSN juga merupakan kesempatan yang baik sekali bagi Apoteker, untuk melaksanakan praktik kefarmasian sebagaimana amanah UU Kesehatan dan PP 51. Pelayanan kefarmasian tidak lagi hanya berfokus pada produk, sebagai penyedia, tetapi juga berfokus pada kepuasan pasien (pharmaceutical care), Karena setiap provider wajib menjamin meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan juga meningkatkan mutu pelayanan kesehatan itu sendiri. Untuk memastikan pemerataan pelayanan kesehatan yang bermutu di Indonesia maka salah satu target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 – 2019 adalah jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Rumah Sakit yang terakreditasi. Ditargetkan pada 2019 sebanyak 481 Kabupaten/ Kota sudah memiliki RS yang terakreditasi. Saat ini sudah ada 17 Kabupaten/Kota yang sudah memiliki rumah sakit yang terakreditasi. Hal. 20 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Sosialisasi Gema Cermat P enggunaan obat oleh pasien/masyarakat harus disertai informasi yang memadai dari tenaga kesehatan, agar efek pengobatan dapat tercapai dan resiko dapat dihindari, sehingga keselamatan pasien (patient safety) dapat terjamin. Program pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan Penggunaan Obat Rasional (POR) belum menunjukkan hasil yang optimal pada masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan Gerakan Nasional untuk meningkatkan kepedulian, kesadaran, pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan penggunaan obat secara rasional. Pada tanggal 6-9 Oktober 2015, bertempat di Hotel Alana Surabaya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI mengadakan pertemuan Sosialisasi Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat). Pertemuan tersebut bertujuan untuk mensosialisasikan GeMa CerMat kepada beberapa stakeholder terkait seperti seksi farmasi dari Dinas Kesehatan Propinsi seluruh Indonesia, PD IAI Jawa Timur, PC IAI Surabaya, Fakultas Farmasi dan Kedokteran Universitas Airlangga. Acara Sosialisasi dibuka secara resmi oleh Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, Drs. Bayu Teja Muliawan, M.Pharm, MM, didampingi oleh Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Hertanto, SKM, M.Si. Dalam kegiatan ini juga mengundang Narasumber dari Prof. Sri Suryawati, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Pusat Promosi Kesehatan, Pakar Komunikasi Ananto Pratikno serta praktisi media sosial dan blogger, Mira Sahid. Selain diberikan paparan, juga diadakan diskusi kelompok, dalam rangka membahas dan mendapatkan kesepakatan dalam kebijakan dan tehnis pelaksanaan GeMa CerMat. Dalam paparannya, Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian menyampaikan tentang Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam POR. Menurut WHO, lebih dari 50% obat di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Oleh karena itu, terbalik dengan kondisi tersebut, sepertiga penduduk dunia kesulitan mendapatkan akses memperoleh obat esensial. Definisi POR menurut WHO adalah pasien menerima obat yang tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan, untuk jangka waktu yang cukup, dan pada biaya yang terjangkau untuknya (secara individu) dan komunitas/masyarakat. Kebijakan Obat Rasional Kebijakan obat nasional merupakan dokumen resmi yang berisi komitmen semua pihak dalam menetapkan tujuan dan sasaran nasional dibidang obat termasuk Hal. 21 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN prioritas dan strategi dalam penerapan komponen pokok kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Kebijakan obat nasional disusun dengan bertujuan menjamin: 1. Ketersediaan, pemerataan & keterjangkauan obat, termasuk obat esensial 2. Menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat 3. Penggunaan Obat Yang Rasional. Dalam hal penggunaan obat yang rasional, ada 4 (empat) strategi untuk meningkatkan penggunaan obat rasional. Pertama, sisi regulasi. Kebijakan obat esensial harus didasarkan pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Nasional, Pedoman Penggunaan Obat serta kebijakan kewajiban menggunakan obat generik untuk seluruh stakeholder. Kedua, sisi manajerial yang meliputi implementasi kebijakan dan NSPK serta koordinasi dengan pemerintah daerah dan organisasi profesi. Ketiga, sisi edukasi yang meliputi peningkatan kompetensi tenaga kesehatan, kader dan masyarakat serta sosialisasi pada masyarakat melalui media promosi. Dan yang keempat sisi finansial yang meliputi Penggunaan obat generik (minimisasi biaya) serta penggunaan obat secara cost-effective (rasio efektifitas-biaya tinggi). Metode Edukasi POR Paparan kemudian dilanjutkan oleh Prof. Sri Suryawati, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM yang memaparkan tentang “Pengembangan metode edukasi POR oleh masyarakat”. Menurut Prof. Sri Suryawati, Promosi POR pada provider saja hanya memperbaiki sebagian dari masalah penggunaan obat, karena swamedikasi adalah pilihan terbanyak masyarakat, karena masyarakat lebih sering memperoleh obat dari sarana-sarana distribusi informal. Dalam hal perspektif masyarakat terkait penggunaan obat, lanjut Prof. Sri, masyarakat pada umumnya mengobati gejala, bukan penyakitnya. Hal ini karena tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk memahami penyakit. “Jadi bila gejala hilang, diartikan ‘sembuh’, Itu menjadi salah satu penyebab mengapa tidak menggunakan antibiotika secara penuh” ujar Prof. Sri. Bentuk-bentuk ketidakrasionalan penggunaan obat yang sering terjadi di masyarakat ialah diantaranya menggunakan obat tak sesuai dengan petunjuk provider, swamedikasi dengan obat resep temasuk antibiotika, penggunaan berlebihan obat yang relatif aman, penggunaan Hal. 22 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 kombinasi obat yang tidak diperlukan, serta penggunaan obat mahal sementara pilihannya yang lebih murah tersedia. Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% masyarakat melakukan pengobatan sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa 35,2% masyarakat Indonesia menyimpan obat di rumah tangga, baik diperoleh dari resep dokter maupun dibeli sendiri secara bebas, di antaranya sebesar 27,8 % adalah antibiotik. (Kementerian Kesehatan, 2013). Metode Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) atau “community based interactive approach” merupakan salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat digunakan dalam mengedukasi masyarakat untuk memilih dan menggunakan obat yang benar pada swamedikasi. Melalui metode ini diharapkan masyarakat, terutama para ibu agar lebih aktif dalam mencari informasi mengenai obat yang digunakan oleh keluarga. Informasi tersebut dapat berguna antara lain agar dapat menggunakan dan mengelola obat di rumah tangga secara benar. Selain itu diharapkan agar tujuan self-medication dapat tercapai secara optimal. Sumber informasi produk tersebut dapat dicantumkan pada kemasan maupun package insert/brosur. Berbeda dengan kegiatan edukasi atau pelatihan pada umumnya, kegiatan edukasi masyarakat dengan metode CBIA dilaksanakan dengan cara melibatkan peserta secara aktif. Salah satu studi yang dilakukan oleh UGM, menunjukkan bahwa metode CBIA secara signifikan dapat LIPUTAN meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peserta dibandingkan dengan metode ceramah dan tanya jawab (presentasi/penyuluhan). Dengan CBIA, peserta dapat mengingat dengan lebih baik, karena dilakukan secara aktif dan visual melalui pengamatan secara langsung. Tutor dan fasilitator hanya berperan sebagai pemandu dalam diskusi, sedangkan informasi lebih lanjut yang dibutuhkan dapat disampaikan oleh Narasumber yang diundang. Dengan demikian kader yang sudah pernah dilatih, atau mahasiswa juga dapat dilibatkan sebagai tutor, sedangkan tenaga kesehatan Puskesmas atau Dinas Kesehatan dapat menjadi fasilitator. Narasumber dapat didatangkan dari profesi apoteker yang telah berpengalaman. Dalam CBIA, peserta dapat terdiri dari ibu rumah tangga, kader kesehatan (posyandu), tokoh masyarakat, anggota tim penggerak PKK, atau unsur/organisasi masyarakat lainnya. Untuk melatih cara melaksanakan CBIA, dilakukan pelatihan untuk pelatih (training of trainer, TOT) sekaligus melibatkan kader kesehatan di Puskesmas atau unsur masyarakat sebagai peserta edukasi secara langsung. Kegiatan TOT yang dilaksanakan di Propinsi umumnya melibatkan peserta dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan/atau tenaga kesehatan Puskesmas setempat serta kader kesehatan (Posyandu) atau unsur/ organisasi masyarakat lainnya. Komunikasi Untuk Meningkatkan POR Untuk mencapai target peningkatan POR di masyarakat, harus ada komunikasi yang efektif dari semua pihak yang terkait. Untuk itu, pakar komunikasi Ananto Pratikno menjelaskan tips-tips berkomunikasi yang efektif. Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan ini diolah menjadi pesan dan dikirim melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Penerima menerima pesan, dan sesudah mengerti isi pesan itu kemudian menanggapi dan menyampaikan tanggapannya kepada pengirim pesan. Penggunaan media untuk menyampaikan pesan dapat mengalami gangguan atau hambatan yang akan mengurangi kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan. Gangguan komunikasi tersebut antara lain : pengacau indra, suara keras atau lemah, bau menyengat, atau udara panas. Selain itu ada faktor pribadi antara lain, prasangka, lamunan, perasaan tidak mampu. Komunikasi terjadi pada situasi antara lain; waktu, tempat, cuaca iklim dalam keadaan alam serta psikologi tertentu. Situasi ini dapat terjadi secara alamia, terjadi dengan sendirinya, atau direkayasa karena dibuat manusia. Situasi ini dapat resmi formal, tetapi dapat juga resmi nonformal. Situasi dapat mempengaruhi jalannya komunikasi dan tentu saja hasilnya. Oleh karena itu, pada waktu berkomunikasi dengan orang lain, kita tidak hanya mempertimbangkan isi dan cara menyampaikan tetapi juga melihat situasi ketika berkomunikasi akan disampaikan. Selain melibatkan peran serta masyarakat di ‘dunia nyata’, peningkatan POR juga bisa dilakukan di ‘dunia maya’. Saat ini, perkembangan dunia maya begitu cepat telah mengubah tatanan masyarakat. Apabila sosial media berhasil digunakan untuk peningkatan POR, penyebarannya ke masyarakat bisa lebih massif dan lebih banyak lapisan masyarakat yang merasakan. Hal itu disampaikan oleh Mira Sahid, SPd., seorang praktisi sosial media yang sekaligus founder kumpulan emak blogger. Menurut Mira Sahid, Media Sosial merupakan sebuah upaya baru untuk mendorong geliat insudtri kreatif. Menurut wikipedia Sosial media adalah sebuah media online, dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi berbagai media seperti blog, jejaring, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Di era digital seperti saat ini, hampir semua orang terkena sindrom media sosial. Artinya pola hidup dan tingkah laku seseorang sedikit banyak bergantung pada keberadaan mediamedia sosial yang tersedia. Berbagai situs jejaring sosial hadir untuk mewadahi hasrat manusia untuk saling berkomunikasi dengan orang lain. Mengapa informasi saat ini lebih banyak menyebar lewat media sosial? Ada beberapa kelebihan media sosial dibanding media lain. Diantaranya adalah biaya relatif lebih terjangkau, akses luas tanpa batas, mudah diakses oleh seluruh lapisan konsumen, mudah dioperasikan . Hal. 23 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 Hal. 24 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Menyongsong MEA Masyarakat Harus Menikmati Layanan Kesehatan Menyongsong MEA, masyarakat harus menikmati layanan kesehatan. Untuk itu harus ada upaya meningkatkan SDM, melengkapi sarana kesehatan dan ketersediaan obat. Seluruh masalah harus mendapat solusi dari Rapat Kerja Kesehatan Daerah ini. K ementerian Kesehatan mendukung penuh pembangunan kesehatan di Provinsi Kepulauan Riau, hal itu ditegaskan Menkes pada sambutan dan dialog langsung dengan peserta rapat kerja kesehatan daerah (rakerkesda) Kepulauan Riau yang digelar di hotel Allium Batam(12/10) Keseriusan Kementerian Kesehatan ditunjukan dengan hadirnya para pejabat Eselon I Kementerian Kesehatan diantaranya Inspektur Jenderal, Kepala Badan PPSDM, Direktur BUK Rujukan, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, SAM Bidang Mediko Legal, dan para Eselon III & IV terkait Rakerkesda tahun 2015 ini mengusung tema Optimalisasi Pembangunan Kesehatan dalam Menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Tahun 2015 di Provinsi Kepulauan Riau, adapun Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI sekaligus Pembina Hal. 25 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Wilayah Kesehatan Wilayah Kepri, menjelaskan bahwa pemilihan tema kali ini, seiring dengan dinamika kesehatan di tingkat regional Asean yang terus berkembang. Bagi Provinsi Kepri, tema yang diambil sangat tepat karena daerah ini adalah wilayah yang berbatas dengan negara luar. Dirjen juga menyoroti agar persoalan pelayanan kesehatan yang senantiasa diberikan, agar bisa terus ditingkatkan. Termasuk, terus meningkatkan sumber daya manusia di bidang (Rakerkesda) 2015 Provinsi Kepulauan Riau dibuka secara resmi oleh Pj. Gubernur Agung Mulyana di Hotel Allium Jodoh Kota Batam, Minggu (11/10). Dalam sambutannya Agung Mulyana menjelaskan, pentingnya pembangunan bidang kesehatan 2016 yang harus disusun secara cermat sebagai fondasi untuk menaruh arah kebijakan kesehatan yang tepat. Ini penting, sesuai Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Provinsi Kepri, pembangunan bidang kesehatan termanfaatkan untuk membantu kesehatan masyarakat. Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kepri Tjetjep Yudiana, SKM, M.Kes, menjelaskan, Rakerkesda diharapkan bisa menjawab kompleksnya permasalahan kesehatan yang terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Saat ini memang permasalahan kesehatan terus berkembang dengan kompleks. Ini yang akan kita coba bahas dan cari solusi, guna mengatasi persoalan kesehatan. Sehingga muaranya, persoalan kesehatan seperti Kepri yang wilayahnya merupakan lintas batas, pelayanan kesehatan bisa maksimal diberikan. Pembangunan sektor kesehatan terus dimaksimalkan, terlebih menyongsong diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir tahun ini, sehingga diharapkan dengan memaksimalkan sektor kesehatan, masyarakat akan lebih siap menyambut dan menyongsong masyarakat ekonomi Asean. Rapat Kerja Kesehatan Daerah harus sesuai dengan arah kebijakan yang telah kita susun. Sehingga masyarakat kita di tahun 2016 nanti, bisa menikmati pelayanan kesehatan sesuai dengan yang seharusnya. Selain menyoroti persoalan pembangunan bidang kesehatan, Pj Gubernur juga menekankan pentingnya peluang investasi dibidang alat kesehatan. Dan untuk peluang itu, Kepri memiliki nilai lebih, guna menunjang peluang investasi tersebut dan menekankan pentingnya efisiensi dana BPJS Kesehatan agar dana yang tersedia bisa benar-benar kesehatan tersebut, jelasnya. Rakerkesda sendiri diikuti 128 orang dari para Kepala Dinas provinsi, kabupaten/kota, Direktur rumah sakit, Doker dan Dokter Keluarga yang bertugas di daerah, BPJS Kesehatan dan juga para pelaku kesehatan di Kepri. Rakerkesda dilangsungkan dari tanggal 11 – 14 Oktober 2015 dengan membahas berbagai program kesehatan yang dilaksanakan dan perencanaan kedepan dalam pembangunan kesehatan di kepulauan Riau. (humasbinfar_RD) Hal. 26 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Peningkatan Kapasitas Penanggung Jawab Teknis Bidang Obat Tradisional I ndonesia memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman obat dari 40.000 tanaman obat yang ada di seluruh dunia. Hal itu merupakan potensi yang besar bagi pengembangan usaha industri obat tradisional. Oleh karena itu, demi terjaminnya mutu produk maka semua proses mulai dari hulu hingga hilir perlu menerapkan manajemen jaminan mutu. Dalam rangka meningkatan kemampuan penanggung jawab teknis di Industri/Usaha Obat Tradisional sehingga dapat menghasilkan obat yang memenuhi standar mutu dan mampu bersaing di pasar nasional maupun global, telah diselenggarakan “Peningkatan kapasitas Penanggung Jawab Teknis Bidang Obat Tradisional” oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Ditjen Binfar dan Alkes Kemenkes RI. Kegiatan tersebut dibuka oleh Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang Ph.D hari Senin, 12 Oktober 2015 di Hotel Quest Semarang. Kegiatan ini dihadiri oleh 60 peserta dari Dinkes Jawa Tengah dan Dinkes Jawa Timur. Kegiatan ini juga diisi oleh materi paparan dari BPOM mengenai “Implementasi CPOTB dalam Pemastian Mutu Produk Obat Tradisional”, paparan mengenai “Peningkatan Daya Saing UMKM Bidang Obat Tradisional” dari Deputi Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian UMKM, paparan dari IAI mengenai “Praktek Bertanggung jawab Apoteker di Industri Obat Tradisional”, paparan mengenai Peluang dan tantangan Pengembangan Obat Tradisional” dari GP Jamu. Dalam kegiatan tersebut, Dirjen Binfar Alkes memaparkan mengenai “Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pengembangan Industri dan usaha Obat Tradisional”. Dalam paparannya, Dirjen Binfar dan Alkes menjelaskan pengembangan industri obat tradisional bertujuan mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan, menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia agar memiliki daya saing, tersedianya obat tradisional menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul. Untuk mendukung kegiatan pengembangan industri obat tradisional, perlu dilakukan beberapa rencana aksi. Diantaranya adalah: memilih duta jamu dari kalangan public figure; adanya talase jamu di instansi pemerintah dan Puskesmas; Iklan layanan masyarakat melalui media cetak dan elektronik; adanya Bulog bahan baku obat tradisional; adanya laboratorium pendukung; membuat gerakan nasional yang berdaya ungkit; serta menyusun peta jalan pengembangan obat tradisional (hulu-hilir). Nilai eksport OT Indonesia tahun 2013 mencapai US$ 23,44 juta. Hal. 27 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 LIPUTAN Sedangkan nilai ekspor periode Januari – Juni 2014 sebesar US$ 29,13 juta, mengalami peningkatan 600% dari nilai eksport Januari – Juni 2013. Pertumbuhan eksport OT Indonesia periode 2009 – 2013 mengalami kenaikan rata2 sebesar 6,49% per tahun. Negara-negara tujuan ekspor Obat Tradisional Indonesia ialah Pakistan, Bangladesh,Malaysia, Vietnam, dan Jepang. Strategi yang dipaparkan dalam mengembangkan Industri Jamu di Indonesia diantaranya adalah peningkatan ketersediaan bahan baku obat tradisional yang terstandar, membangun networking, sertifikasi lembaga penjaminan mutu bahan baku. koordinasi pengembangan bahan baku terstandar dengan stakeholder, pengembangan produk yang terkait dengan mutu, regulasi, dan pemasarannya ditingkat nasional regional dan global Namun demikian, dalam mengembangkan Industri Jamu di Indonesia masih menemukan banyakn kendala. Diantara kendala-kendala yang ada yaitu data registrasi OT di Badan POM menunjukkan bahwa sekitar 70 % obat Tradisional (Jamu) diproduksi oleh usaha Mikro Kecil dan Menengah, permasalahan utama yang dihadapi UMKM OT adalah keterbatasan SDM yang akhirnya menyulitkan dalam memahami regulasi, dan mengaplikasikan serta mematuhi secara konsisten. Kemudian ketidakmampuan UMKM OT dalam melengkapi dokumen registrasi seringkali menyebabkan terhambatnya proses registrasi produk UMKM. Kendala-kendala yang lain ialah kurangnya koordinasi antara Dinas-Dinas terkait dalam pengembangan, penelitian dan sosialisasi serta pemasaran industri jamu, dunia kesehatan masih belum bisa menerima jamu sebagai pelayanan kesehatan formal, belum adanya pendidikan jamu secara komprehensif, belum semua industri Obat Tradisional memenuhi CPOTB. Walaupun masih mengalami beberapa kendala, Industri Jamu di Indonesia masih memiliki peluang yang sangat bagus. Beberapa peluang yang ada adalah gaya hidup masyarakat tentang kesehatan dan kecantikan yang semakin meningkat (back to nature), potensi pangsa pasar ekspor, dukungan pemerintah dalam membudayakan jamu dengan membuat pojok jamu dan gerakan minum jamu bersama, saintifikasi jamu yang dihasilkan digunakan untuk terapi komplementer difasilitas kesehatan oleh karena itu perlu sinergitas pemerintah pusat daerah, pengusaha dan akademisi untuk mewujudkannya, tingginya potensi Hal. 28 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 pasar lokal dan global. Sementara itu, untuk meningkatkan daya saing Industri Jamu dan Obat Tradisional, diberikanlah paparan mengenai “Peningkatan Daya Saing UMKM Bidang Obat Tradisional” dari Deputi Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian UMKM. Permasalahan umum yang terjadi pada sektor UMKM di Indonesia adalah kurangnya wawasan dan pola pikir UMKM untuk mempromosikan produkproduk unggulan daerah, kurangnya kesadaran akan peningkatan kualitas produk, kurangnya akses untuk mempromosikan produk UMKM, pengolahan produksi masih menggunakan teknologi yang bersifat tradisional, sistem Manajemen yang masih tidak terkelola dengan baik, kemampuan pemasaran Produk yang terbatas, terbatasnya tingkat produksi pemesanan produk oleh pembeli, rendahnya akses informasi pemasaran produk, legalitas formal dan perlindungan usaha yang belum memadai, terbatasnya akses kredit pada lembaga keuangan. ARTIKEL T ahukah kalian manfaat Buah Merah untuk kesehatan kita? Buah asli endemik dari Papua ini merupakan buah asli Papua yang tidak bisa ditemukan di Pulau lain. Papua bukan saja memiliki kekayaan alam tambang saja, tetapi banyak keanekaragaman dan tumbuhan lain disana. Buah merah adalah sejenis buah tradisional dari Papua. Oleh masyarakat Wamena, Papua. Buah ini disebut Kuansu. Nama ilmiahnya Pandanus Conoideus karena tanaman buah merah termasuk tanaman keluarga panda-pandanan dengan pohon menyerupai pandan, tinggi tanaman ini dapat mencapai 16 meter dengan batang bebas cabang sendiri setinggi 5-8 m. Kultivar buah berbentuk lonjong dengan kuncup tertutup. Buah merah sendiri panjangnya 55 cm, diameter 10-15 cm, dan bobot 2-3 kg. Warnanya saat matang berwarna merah marun memiliki potensi sebagai sumber minyak nabati selain kelapa dan kelapa sawit. Masyarakat lokal Papua, mempercayai bahwa manfaat sari buah merah mampu mengobati berbagai jenis penyakit mematikan seperti HIV/ADS. Selain itu, Buah Merah juga dapat mengobati Kanker, Tumor, Stroke, Tekanan darah tinggi, Asam urat, Diabetes mellitus, Osteoporosis, Gangguan mata, serta meningkatan gairah dan kesuburan. Pengolahan Buah Merah dengan cara dibelah dan dikeluarkan isinya, setelah itu dipotong kecil-kecil (diameter 5-10 cm). Potongan buah tersebut direbus sampai mendidih sampai lunak dan mengeluarkan isinya dilakukan dengan cara menumbuk. Setelah air rebusan ditiriskan kemudian diperas dan disaring untuk mendapatkan sari (cairannya). Cairan ini dimasukkan ke dalam wadah seperti wajan, selanjutnya dimasak hingga mengeluarkan minyak. Minyak akan Buah Merah Kaya Akan Manfaat Oleh : Vivi S. Ariany, S.Ked terang, walau sebenarnya ada jenis tanaman ini yang berbuah berwarna coklat dan coklat kekuningan. Penelitian khasiat pengobatan Buah Merah pertama kali dilakukan oleh peneliti dosen Universitas Cenderawasih (UNCEN) di Jayapura, yaitu Drs. I Made Budi M.S sebagai ahli gizi, beliau meneliti bahwa ternyata dalam ujud sari Buah Merah banyak mengandung antioksidan (Kandungan rata-rata) Karoten 12.000 ppm, Betakaroten 700 ppm, Tokoferol 11.000 ppm. Nutrisi Buah Merah juga mengandung omega –3, omega –6, dan asam lemak omega 9. Buah Merah juga mengandung vitamin dan mineral yaitu Fe, Mg, Ca dan Zn. Secara tradisional Buah Merah digunakan sebagai sumber minyak nabati (minyak karotenoid). Minyak Buah Merah juga digunakan sebagai penyedap makanan pokok untuk sagu dan ubi jalar. Buah Merah mengandung lemak 35%/berat kering. Kandungan asam lemak sama dengan kandungan asam lemak dari minyak goreng pada umumnya, dengan demikian buah merah juga muncul dengan sendirinya (terpisah dari air) dipermukaan. Minyak Buah Merah siap digunakan. Seyogyanya kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah, seperti Buah Merah yang kaya akan manfaat dan berguna bagi kesehatan. Sudah seharusnya, Pemerintah dalam hal ini melakukan pengembangan terhadap Buah Merah ini sebagai tanaman asli bermanfaat untuk Indonesia. Salam, lets back to nature. Hal. 29 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 ARTIKEL S ebenarnya apa sih Sarang Semut itu? Sarang Semut adalah tumbuhan epifit yang dimanfaatkan semut sebagai sarangnya, Sarang Semut juga obat yang berasal dari daerah timur Papua. Sarang Semut merupakan jenis tanaman yang berasal dari genus Mymecoda sp. Sarang Semut atau bahasa latinnya disebut Myrmecodia pendans adalah tanaman endemik di daerah Papua setelah Buah Merah dan Sagu. Sarang Semut ini juga banyak ditemukan di daerah hutan pegunungan tengah Papua, seperti kabupaten Puncak Jaya, Tolikara, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, dan Paniai. Berdasarkan hasil penelitian ilmiah dari Pusat Bioteknologi LIPI, terbukti bahwa sarang semut mengandung senyawa-senyawa aktif yang telah dikenal da;am dunia medis untuk pengobatan berbagai penyakit. Dr. M. Ahkam Subroto, Sang Ahli Peneliti Utama LIPI mengatakan bahwa senyawa aktif yang ada dalam Sarang Semut itu adalah flavonoid, tanin, polifenol. Sarang Semut diperkaya oleh banyak kandungan dari berbagai jenis senyawa, vitamin dan mineral. Terdapat kandungan Flavonoid yang dapat berfungsi sebagai Antioksidan dalam tubuh. Tanin merupakan astrigen yang mengikat dan mengendapkan protein berlebih dalam tubuh. Selain itu, sarang semut juga terdapat polifenol yang merupakan asam fenolik dan Sarang Semut, Tumbuhan Berkhasiat flavonoid, tokoferol (vitamin E) sekitar 313 ppm, alfa-tokoferol, magnesium, kalsium dan fosfor. Sarang Semut membawa manfaat bagi kesehatan tubuh dan dapat dijadikan sebagai obat alamiah berbagai gangguan penyakit dan kesehatan tubuh lainnya. Kandungan Flavonoid di dalam Sarang Semut memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit Kanker dan Tumor yang bersarang dalam tubuh baik jinak maupun ganas, seperti kanker otak, hidung, payudara, lever, paru-paru, usus, rahim, kulit, prostat, dan kanker darah atau biasa disebut dengan leukemia. Kandungan multimineral yang ada di dalam Sarang Semut terutama kalsium dan kalium ini mampu mengobati penyakit gangguan jantung termasuk jantung koroner dan penyakit Stroke. Kandungan antioksidan ini yang berupa flavonoid dan tokoferol serta berbagai macam mineral dapat Hal. 30 l Buletin INFARKES Edisi V - September 2015 menyembuhkan prostat dan fungsi ginjal agar tetap bekerja dengan baik, mengobati penyakit wasir dan ambeien. Kandungan flavonoid, tannin dan mineral juga dapat mengatasi keputihan pada wanita, memperlancar siklus menstruasi. Kandungan flavonoid dan tokofenol juga dapat melancarkan sirkulasi darah dan oksigen dalam tubuh sehingga keseimbangan oksigen dan darah dalam tubuh dapat terjaga. Senyawa alami Sarang semut membawa sejuta manfaat bagi kesehatan. Selain itu ada banyak juga manfaat lain dari sarang semut yaitu untuk menambah dan mempertahankan kekebalan dalam tubuh, meningkatkan kinerja vitamin, dan yang paling penting adalah sarang semut ini bersifat alamiah dan aman dikonsumsi. -Salam. Kembali ke herbal- 35 30 25 20 15 10 5 0 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Similar documents
Untitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
melakukan pekerjaan kefarmasian di sarana produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian. Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes No. 889 tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Ker...
More informationtopik utama - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
PENANGGUNG JAWAB Plt. Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan KETUA REDAKSI Kepala Bagian Hukum, Organisasi, Dan Hubungan Masyarakat SEKRETARIS REDAKSI Kepala Subbagian Hubungan Masya...
More informationUntitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
yang berorientasi pada kebutuhan; 4) Meningkatkan kemampuan IPTEK; dan 5) Meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam, dan bioteknologi. Pelaksanaan kelima strategi in...
More informationUntitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Rivo Yolandra, SH Mariani Sipayung, SH Adityo Nugroho, S.IK Radiman, S.E ALAMAT REDAKSI Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9, Jakarta Selatan Kementerian Kesehatan RI Setditjen Kefarmasian dan ...
More information